REFERAT HIPERTIROID PADA MOLA HYDATIDOSA
Diajukan kepada Yth. : dr. Pugud Samodro, Sp.PD
Disusun oleh : Renata Nadhia M. P
G1A212106
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2013
1
LEMBAR PENGESAHAN
Referat Hipertiroid pada Mola Hydatidosa
Disusun Oleh Renata Nadhia M. Putri G1A212106
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
Disetujui dan disahkan Pada tanggal
Mei 2013
Mengetahui, Pembimbing
dr. Pugud Samodro, Sp.PD
2
BAB I PENDAHULUAN
Mola Hydatidosa adalah suatu penyakit trophoblastik pada kehamilan yang sering terjadi pada usia reproduksi dimana wanita berumur lebih dari 35 tahun memiliki risiko 2 kali lipat sedangkan wanita berusia 40 tahun memiliki 5-10 kali lipat risiko mengalami Mola Hydatidosa (Moore E L, 2008) Angka insiden Mola Hydatidosa di negara maju adalah 1 dalam 1500 kehamilan. Hipertiroid pada wanita hamil sulit ditemukan karena banyak gejala hipertioid juga berhubungan dengan kondisi kehamilan. Diperkirakan 0,2 % dari kehamilan mengalami hipertiroid, dimana 90 % kasus disebabkan karena Penyakit Graves sisanya yaitu tiroiditis sub akut, toxic multinoduler goiter , adenoma toksik, TSH-dependent thyrotoxicosis, T3 atau T4 eksogen, Iodineinduced hyperthyroidism, Hipermesis gravidarum serta Mola Hydatidosa (Chaniwala NU et al., 2008) Hubungan antara hipertiroid dengan Mola Hydatidosa pertama kali ditemukan tahun 1955 oleh Tisne dkk di Amerika Selatan yang melaporkan adanya ambilan tiroid yang tinggi pada 3 wanita dengan Mola Hydatidosa dan mereka juga mempunyai gejala klinis hipertiroid yang menghilang dalam beberapa hari setelah mola tersebut diangkat. Prevalensi hipertiroid pada pasein dengan Mola Hydatidosa adalah 25-64% di AS, akan tetapi banyak pasien Mola Hydatidosa tidak mengalami atau sangat sedikit dengan gejala klinis hipertiroid meskipun telah terjadi peningkatan kadar T4 dan T3. Dilaporkan sekitar 5% yang mengalami gejala klinis hipertiroid. Beberapa juga melaporkan adanya krisis tiroid pada pasien hipertiroid dengan Mola Hydatidosa (Chaniwala NU et al., 2008)
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Hipertiroid
a. Definisi Disebut juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan (Aru et al, 2007). b. Etiologi Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter multinodular toksis dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada penyakit Graves adalah akibat antibody reseptor TSH yang merangsang aktivitas
tiroid.
Sedang
pada
goiter
multinodular
toksik
ada
hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri. c. Patogenesis Grave’s disease adalah penyakit autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi pada TSHR (antibodi terhadap thyroglobulin, hormon T3 dan T4 juga dapat dihasilkan). Antibodi ini menyebabkan hipertiroidisme karena berikatan dengan TSHR dan menstimulasi pembentukan T3 dan T4 yang sangat banyak.Hal ini membuat timbulnya gejala klinik pada hipertiroidisme dan pembesaran kelenjar tiroid (Brent GA, 2008) Tipe – Tipe Antibodi pada TSHR 1. TSI (Thyroid stimulating imunoglobulin) Antibodi ini (terutama IgG) bekerja sebagai Long Acting Thyroid Stimulants, mengaktifkan sel secara lebih lama dan lambat daripada TSH, yang akan meningkatkan produksi dari hormon tiroid. 2. TGI (Thyroid growth immunoglobulins) Antibodi ini berikatan langsung dengan TSHR dan telah melibatkan pertumbuhan tiroid. 3. TBII (Thyrotrophin Binding-Inhibiting Inmunoglobulins)
4
Antibodi ini menghambat TSH dengan reseptornya. Beberapa dari TBII dapat bertindak seperti TSH untuk menghasilkan
hormon
tiroid tetapi ada yang bukan menghasilkan tiroid tetapi menghambat TSI dan TSH berikatan dan menstimulasi reseptornya (Abalovich M et al., 2007) d. Gejala klinis Gejala pada hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot (Halim, 2007). e. Diagnosis Diagnosis hipertiroid dapat dinilai dari adanya tanda dan gejala serta pemeriksaan laboratorium. Tanda dan gejala hipertiroid dapat dinilai menggunakan index wayne dan new castle. Namun yang biasa digunakan yaitu indeks Wayne (Tabel 1)
5
Tabel 1. Indeks Wayne Gejala yang baru timbul atau
ada
tidak
Tanda-tanda
ada
tidak
bertambah berat
Sesak bila bekerja
+1
Kelenjar tiroid teraba
+3
-3
Berdebar-debar
+2
Bising kelenjar tiroid
+2
-2
Kelelahan
+2
Eksoftalmos
+2
Lebih suka udara panas
-5
Lebih suka udara dingin
+5
Tak dipengaruhi suhu
-
Keringat berlebihan
Kelopak
mata
+1
ketinggalan
+4
Gerakan hiperkinetik
+1
+3
Tremor halus pada jari
+2
-2
Keguguran
+2
Tangan yang panas
+1
-1
Nafsu makan bertambah
+3
Tangan yang basah
+4
-
Nafsu makan berkurang
-3
Atrium fibrilasi
Berat badan naik
-3
Nadi yang teratur:
Berat badan menurun
+3
-3
<80/menit
0
80-90/menit
+3
>90/menit
Interpretasi: Skor
Interpretasi
20 atau lebih
Hipertiroid
Kurang dari 10
Tidak ada hipertiroid klinis
10 – 19
Meragukan
-2
6
0
f.
Penatalaksanaan Obat antitiroid (Propiltiourasil atau metimazol)
Obat ini memperlambat fungsi tiroid dengan cara mengurangi pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar. Kedua obat tersebut diberikan per-oral (ditelan), dimulai dengan dosis tinggi, selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan darah terhadap hormon tiroid. Dosis yang lebih tinggi bisa mempercepat pengendalian fungis tiroid, tetapi resiko terjadinya efek samping juga meningkat (Sherwood, 2001). Efek samping yang terjadi bisa berupa reaksi alergi (ruam kulit), mual, hilang rasa dan penekanan sintesa sel darah merah di sumsum tulang. Penekanan sumsum tulang bisa menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah putih, sehingga penderita sangat peka terhadap infeksi. Pada wanita hamil, penggunaan propiltriurasil lebih aman dibandingkan dengan metimazol karena lebih sedikit obat yang sampai ke janin (Guyton, 1997). Obat ini biasanya bisa mengendalikan fungsi tiroid dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan. Obat-obat
beta bl oker (misalnya
propanolol)
Obat ini diberikan bersama obat antitiroid (Propiltiourasil atau metimazol). Manifestasi klinis hipertiroidisme yaitu akibat dari pengaktifan simpatis yang dirangsang oleh hormon tiroid, maka manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat beta; yang berfungsi menurunkan takikardi, kegelisahan, dan keringat berlebihan (Sherwood, 2001). Pengobatan dengan yodium radioaktif (RAI)
Pada pasien dengan hipertiroid juga perlu diberikan yodium radioaktif yang menghancurkan kelenjar tiroid. Yodium radioaktif peroral memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap tubuh, tetapi memberikan pengaruh yang besar terhadap kelenjar tiroid. Karena itu dosisnya disesuaikan sehingga hanya menghancurkan sejumlah kecil tiroid agar pembentukan hormon kembali normal, tanpa terlalu banyak
7
mengurangi fungsi tiroid. Sebagian besar pemakaian yodium radioaktif pada akhirnya menyebakan hipotiroidisme. Yodium radioaktif tidak diberikan kepada wanita hamil karena bisa melewati sawar plasenta dan bisa merusak kelenjar tiroid janin. Operatif
Tiroidektomi
yaitu
dimana
pembedahan.
Pembedahan
kelenjar
tiroid
tiroidektomi
diangkat
subtotal
sesudah
melalui terapi
propiltiourasil prabedah. Prinsif umum dari pembedahan ini adalah operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid, klinis maupun biokimiawi. Indikasi bedah pada hipertiroid : 1. Perlu mencapai hasil definitif cepat. 2. Keberatan terhadap antitiroid. 3. Penanggulangan dengan antitiroid tidak memuaskan. 4. Struma multinoduler dengan hipertiroid. 5. Nodul toksik soliter.
2. Mola Hidatidosa
a. Definisi Mola hidatidosa (MH) adalah suatu kehamilan abnormal yang sebagian atau seluruh stroma vili korialisnya langka akan vaskularisasi, edematous, dan mengalami degenerasi hidropik berupa gelembung yang menyerupai anggur (Martaadisoebrata, 2005; Prawirohardjo, 2005). Kehamilan mola merupakan komplikasi kehamilan yang tidak biasa, yang ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal dan diklasifikasikan menjadi mola hidatidosa parsial dan mola hidatidosa komplit (Berkowitz dan Goldstein, 2009). b. Etiologi Hingga saat ini, belum diketahui penyebab kejadian mola hidatidosa. Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi berpengaruh terhadap patogenesis mola hidatidosa. Faktor-faktor tersebut menghasilkan
8
proliferasi
tak
terkontrol
pada
trofoblas
(Vorvick,
2010;
Martaadisoebrata, 2005). c. Gejala klinis Perdarahan vaginal
Perdarahan vaginal merupakan gejala utama mola hidatidosa, dimana gejala yang mencolok dan dapat bervariasi mulai spotting sampai perdarahan yang banyak. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisa intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia. Hiperemesis gravidarum
Pasien biasanya mengeluh mual muntah hebat. Hal ini akibat dari proliferasi trofoblas yang berlebihan dan akibatnya memproduksi terus menerus B HCG yang menyebabkan peningkatan B HCG hiperemesis gravidarum tampak pada 15 -25 % pasien mola hidatidosa. Walaupun hal ini sulit untuk dibedakan dengan kehamilan biasa. 10% pasien mola dengan mual dan muntah cukup berat sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit. Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tropoblastik yang berlebihan, volume vesikuler villi yang besar rasa tidak enak pada uterus akibat regangan miometrium yang berlebihan. Pada sebagian besar pasien ditemukan tanda ini tetapi pada sepertiga pasien uterus ditemukan lebih kecil dari yang diharapkan. Hipertiroid
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat (10%), namun gejala hipertiroid jarang muncul. Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus.
Makin
besar
uterus
makin
besar
kemungkinan
terjadi
9
tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka dianjurkan agar pada setiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif dan memerlukan evakuasi segera karena gejala-gejala ini akan menghilang dengan menghilangnya mola. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat thyrotropin – like effect dari Chorionic Gonadotropin Hormon. Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 iu/L yang bersifat tirotoksis. Sekitar 7 % mola hidatidosa komplit datang dengan keluhan seperti hipertensi, takikardi, tremor, hiperhidrosis, gelisah emosi labil dan warm skin. Kista teka lutein
Kelainan lain yang menyertai MHK adalah adanya kista lutein, sebagai akibat dari rangsangan berlebihan terhadap ovaruim oleh hCG yang sangat tinggi. Kista yang timbul dapat unilateral maupun bilateral dengan besar yang bervariasi. Umumnya kista ini akan mengecil kembali setelah jaringan mola dievakuasi. Dengan demikian, kista tidak perlu diangkat kecuali jika ditemukan komplikasi berupa torsio atau ruptur, bila memberikan keluhan mekanis dapat dilakukan dekompresi atau aspirasi d. Patogenesis Pembahasan Mola Hidatidosa Komplit (MHK) terpisah dengan Mola Hidatidosa Parsial. Di antara teori yang digunakan untuk menjelaskan patogenesis MHK adalah teori yang dikemukakan oleh Hertig, et al., Park, et al., dan teori sitogenik. a) Teori Hertig, et al.
10
Hertig, et al , menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuk kista-kista kecil yang makin lama makin
besar,
hingga
kemudian
terbentuk
gelembung
mola.
Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang edematous tersebut. b) Teori Park, et al. Berbeda dengan teori Hertig, et al , Park menyatakan bahwa faktor primer pada kejadian MHK adalah adanya jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, dysplasia, maupun neoplasia. Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi abnormal, dimana terjadi absorpsi cairan berlebihan ke dalam vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah yang pada akhirnya menyebabkan kematian embrio. c) Teori Sitogenik Teori ini merupakan teori yang banyak digunakan saat ini. Teori ini menerangkan bahwa kehamilan MH terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak aktif, dibuahi oleh sperma haploid (23x). Hasil konsepsi tersebut kemudian mengadakan penggandaan sendiri (endoreduplikasi) menjadi 46xx. Sehingga dua unsur x pada kromosom MH berasal dari sperma (unsur ayah), tidak ada unsur ovum di dalamnya. Dengan kata lain, teori ini disebut juga Diploid Androgenetic (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). Pada kehamilan yang sempurna, harus terdapat kromosom baik dari sperma maupun ovum. Unsur ovum akan membentuk bagian embrional (janin) dan unsur sperma diperlukan untuk pembentukan bagian ekstraembrional, seperti plasenta, amnion, dan lain-lain, secara seimbang. Ketiadaan unsur ovum pada MH menjadikan tidak
11
adanya
bagian
embrional,
hanya
akan
terbentuk
bagian
ektraembrional yang patologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik. Abnormalitas ovum dapat terjadi karena gangguan pada proses meiosis berupa kejadian nondisjunction. Gangguan proses meiosis ini antara lain terjadi pada kelainan strukstural kromosom yaitu balanced translocation (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). MH dapat pula terjadi akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus (dispermi). Pembuahan tersebut dapat terjadi dengan dua sperma haploid 23x atau satu sperma haploid x dan haploid y. Akibatnya dapat terbentuk hasil konsepsi 46xx atau 46xy. Pada pembuahan dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46xx hasil endoreduplikasi dan 46xx hasil pembuahan dengan dispermi, walaupun tampaknya sama, namun berbeda genotip. Sebagian menganggap bahwa 46xx heterozigot, yang berasal dari pembuahan dengan dispermi meniliki potensi keganasan yang lebih besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23y (46yy) dianggap tidak pernah bisa terjadi/nonviable (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). Patogenesis Mola Hidatidosa Parsial Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal, 23x, dibuahi dengan dispermi. Dapat dibuahi oleh dua haploid 23x, satu haploid 23x dan satu haploid 23y, atau dua haploid 23yy. Hasil konsepsi dapat berupa 69xxx, 69 xxy, atau 69 xyy. Kromosom 69yyy tidak pernah ditemukan (Bashabsheh, 2011 dan Murphy, 2011). Sehingga pada MHP disebut sebagai Diandro Triploid . Unsur embrional dapat terbentuk karena pada MHP terdapat unsur ovum. Namun, komposisi unsur ovum dengan sperma tidak seimbang. Unsur sperma yang tidak normal tersebut yang menyebabkan terbentuknya plasenta abnormal, yang merupakan gabungan dari vili korialis yang
12
normal dan yang mengalami degeneras hidropik. Oleh karena itu, fungsi plasenta dalam hal ini pun tidak dapat mempertahankan janin hingga viable. Biasanya terjadi kematian janin/ Intrauterin Fetal Death (IUFD) yang sangat dini (Berkowitz dan Goldstein, 2009; Zhou, Chen, Li, et al., 2012). e. Diagnosis a) Anamnesis Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan berupa keterlambatan haid (amenore), perdarahan pervaginam, perut terasa lebih besar dari lamanya amenore, tidak merasa gerakan janin seiring terjadinya perbesaran rahim. b) Pemeriksaan Klinis Ginekologi Pada pemeriksaan ditemukan uterus yang lebih besar dari usia kehamilan dan tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti denyut jantung janin, ballotemen, atau gerakan janin. c) Laboratorium Pada hasil laboratorium dapat ditemukan kadar β-hCG yang lebih tinggi dari normal d) USG Pada pemeriksaan tampak gambaran vesikuler di kavum uteri. Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil permeriksaan patologi anatomi (PA). Secara mikroskopis akan tampak gambaran stroma vili yang edematous, tidak mengandung pembuluh darah (avaskuler), disertai hyperplasia sel sito dan sel sinsitiotrofoblas. Berdasarkan hasil PA dapat pula diprediksi prognosis MHK, akan mengalami transformasi keganasan atau tidak, dengan melihat pada proliferasi sel-sel trofoblas. Proliferasi yang berlebihan memungkinkan transformasi ke arah keganasan lebih besar (Martaadisoebrata, 2005).
13
f.
Terapi Mola Hidatidosa a) Perbaikan Keadaan Umum Sebelum melakukan evakuasi jaringan mola, keadaan umum ibu diperbaiki sesuai dengan penyulit yang menyertai. Transfusi darah untuk mengatasi anemia berat dan syok hipovolemik, penanganan preeklampsia, serta pemberian obat antitiroid. Tindakan yang dilakukan sebelum penderita stabil dapat merangsang terjadinya syok ireversibel, eklampsia, atau krisis tiroid, yang dapat berakibat pada kematian. Penanganan emboli paru hanya berupa penanganan suportif berupa pemberian antikoagulan dan oksigenasi hingga gejala akutnya berkurang (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010). b) Evakuasi jaringan MH merupakan kehamilan patologis yang sering disertai dengan penyulit sehingga pada prinsipnya jaringan mola harus dievakuasi secapat mungkin. Terdapat dua cara evakuasi, meliputi kuret vakum ( suction curretage) dan histerektomi total. Kuret vakum merupakan metode pilihan bagi wanita yang masih harus mempertahankan fertilitasnya, sedangkan histerektomi total dilakukan pada wanita dengan usia > 35 tahun dengan jumlah anak cukup, sebagai tindakan profilaksis
terhadap
terjadinya
keganasan
di
uterus
(Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010). c) Profilaksis Tindakan profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu histerektomi total dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan pada golongan risiko tinggi yang menolak atau tidak dapat dilakukan histerektomi total, atau pada wanita dengan hasil PA yang mencurigakan. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
14
1) Metrotreksat 20 mg/hari, intramuskular, Asam Folat 10 mg (3x1), sebagai antidote dan Cursil 35 mg (2x1) sebagai hepatoprotektor, selama 5 hari berturut-turut. 2) Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut, tidak
memerlukan
antidote
maupun
hepatoprotektor
(Martaadisoebrata, 2005). d) Follow up Sebanyak 15%-20% dari penderita pasca-MH dapat mengalami transformasi keganasan menjadi Tumor Trofoblas Gestasional (TTG).
Masa
laten
terjadinya
keganasan
sangat
bervariasi.
Keganasan dapat terjadi dalam kurun waktu satu minggu hingga tiga tahun pascaevakuasi. Tujuan dari follow up adalah untuk melihat proses involusi berjalan normal baik anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar β-hCG, dan kembalinya fungsi haid. Selain itu, untuk menentukan adanya transformasi keganasan, terutama pada tingkat yang sangat dini. Pada umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up berlangsung selama satu tahun. Dalam tiga bulan pertama pascaevakuasi, penderita datang untuk kontrol setiap dua minggu. Kemudian dalam tiga bulan berikutnya, penderita datang setiap satu bulan. Selanjutnya dalam enam bulan terakhir, penderita datang tiap dua bulan. Selama follow up, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: 1) Keluhan, berupa perdarahan, batuk, atau sesak nafas 2) Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda subinvolusi 3) Kadar β-hCG, terutama bila ditemukan terdapat tanda-tanda distorsi dari kurva regresi normal. Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan slah satu dari tiga tanda tersebut, penderita harus dirawat untuk pemeriksaan
15
yang lebih intensif meliputi USG, foto thorak, dan lain-lain (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010). Follow up dihentikan apabila sebelum satu tahun wanita sudah mengalami kehamilan normal, atau bila setelah satu tahun tidak ada keluhan, uterus, fungsi haid, dan kadar β-hCG dalam batas normal. Selama masa follow up, wanita dianjurkan untuk tidak hamil terlebih dahulu, karena dapat menimbulkan salah interpretasi. Jadwal follow up harus ditepati karena kemungkinan terjadinya transformasi keganasan lebih besar pada MHK pertama (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
16
3. Hipertiroid Pada Mola Hydatidosa
Penyakit trophoblastik pada kehamilan adalah istilah umum dari spektrum proliferasi abnormal trophoblas. Mola Hydatidosa menujukkan suatu bentuk jinak dari penyakit trophoblastik sedangkan koriokarsinoma merupakan
bentuk
yang
ganas,
dan
sering
mengalami
metastase.
Diperkirakan 75-80 % pasien pada awalnya terdiagnosis memiliki MH berbentuk jinak dan mengalami resolusi spontan setelah dilatasi dan kuretage, tapi 15-25 % selanjutnya bisa menjadi lokal invasif dan 3-5 % akhirnya terbukti mengalami metastase. Selama kehamilan, beberapa perubahan fisiologik yang terjadi pada fungsi tiroid yaitu peningkatan 2-3 kali lipat konsentrasi Thyroxine Binding Globulin (TBG), peningkatan 30-100% konsentrasi T3 total dan T4, peningkatan serum tiroglobulin, peningkatan kliren yodium pada ginjal dan stimulasi kalenjar tiroid oleh Human Chorionic Gonadotropin (hCG) (Albaar MT, 2009; Moeller LK, 2009). Kehamilan umumnya menghasilkan peningkatan aktivitas tiroid yang membuat individu untuk mempertahankan diri pada kondisi eutyroid. Akan tetapi, baik hiper maupun hipo bisa terjadi pada kehamilan. Penilaian fungsi tiroid pada kehamilan sangat penting untuk mencegah komplikasi ibu dan bayi berupa peningkatan risiko abortus spontan, kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah, kematian janin dalam kandungan, dan preeklampsia (Moeller LK, 2009).
17
Tabel 2. Fungsi tiroid selama kehamilan
Diagnosis hipertiroid sangat sulit terutama pada trimester pertama karena gejala klinik hipertiroid hampir mirip (Albaar MT, 2009). Gejala klinis hipertiroid dengan MH sering tidak ada gejala atau sangat sedikit ditemukan, gejala ini berbeda dengan penyakit graves pada kehamilan dimana biasanya sering disertai dengan pembesaran kalenjar tiroid dan exoptalmus (Kim JM and Arakawa K, 1976). Frekuensi gejala klinis wanita dengan hipertiroid tidak ditemukan secara pasti. Higgin dkk menemukan bukti klinis hipertiroid pada 9 dari 14 pasien. Galton dkk menemukan peningkatan fungsi tiroid pada semua pasien yang diteliti, tapi tidak ditemukan gejala klinik pada grup ini (Chaniwala NU et al., 2008)
18
Gambar 1. Algoritme evaluasi hipertiroid selama kehamilan.
Ada dua kondisi spesifik pada kehamilan yang menyebabkan hipertiroid yaitu hiperemesis gravidarum dan penyakit trophoblastik. Hiperemesis gavidarum dikaitkan dengan hCG yang mengiduksi peningkatan kadar estradiol, akan tetapi hubungan antara hiperemesis dan hipertiroid masih belum sepenuhnya dipahami. Akan tetapi baik hiperememis gravidarum maupun MH ini perlu diidentifikasi segera karena pengobatan penyakit dasar akan mengatasi kondisi hipertiroidnya (Albaar MT, 2009; Meister LHF et al., 2005) Human Chorionic Gonadotropin terdapat pada plasenta tersusun dari sub unit alpha yang mirip dengan sub unit alpha hormon pituitary glycoprotein seperti LH, FSH dan TSH, dan sub unit b pada hCG memiliki stuktur 85% yang hampir sama pada 114 asam amino dan 12 residual sistein pada sub unit b dari TSH (Albaar MT, 2009; Fantz CR et al., 1999). Karena
19
struktur yang hampir mirip tersebut dari hCG dengan TSH menyebabkan hCG dapat merangsang stimulasi reseptor TSH (TSHr) dalam menghasilkan hormon tiroid seperti hormon TSH pada umumnya. Ini dapat dibuktikan pada suatu penelitian sel tiroid pada tikus, yang menghasilkan peningkatan ambilan yodium dan produksi cAMP setelah diberikan hCG. Pada kultur folikel tiroid pada manusia didapatkan stimulasi ambilan yodium, organifikasi dan sekeresi dari T3 (Albaar MT, 2009). Studi lain yang dilakukan oleh Herschman dan Higgins menujukkan bahwa hCG memiliki aktifitas menstimulasi tiroid dan ditemukan bahwa adanya suatu hubungan yang
erat
diantara
kadar
serum
hCG
yang
diukur
dengan
radioimmunoassay, molar TSH yang diukur dengan bioassay dan T3. 11 Pada trimester pertama kehamilan, hCG mencapai konsentrasi tertinggi, ini membuat stimulasi pada kalenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid dan menekan kadar TSH. Pada trimester kedua dan ketiga, konsentrasi TSH akan meningkat secara bertahap karena penurunan kadar hCG. Mekanisme ini menghasilkan kurva seperti cermin. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa setiap 10.000 mIU/L peningkatan hCG akan diikuti dengan peningkatan 0,6 pmol/L ( 0,1 ng/dL kadar FT4 dan menurunkan kadar TSH 0,1mIU/L. Peningkatan FT4 pada trimester pertama diduga dapat diketahui bila kadar hCG 50.000 – 75.000 mIU/L bertahan sampai lebih dari 1 minggu (Albaar MT, 2009). Pada pasien hiperthiroid yang disebabkan oleh penyakit tropoblastik akan terjadi peningkatan FT4 dan konsentrasi T3, penurunan TSH, dan peningkatan hCG secara signifikan. Walaupun konsentrasi FT4 dan T3 dapat meningkat pada konsentrasi hCG > 50.000 IU/L tetapi pada pasien tumor trophoblastik, serum hCG biasanya melebihi 300.000 IU/L dan selalu melebihi 100.000 IU/L. Pasien tirotoksikosis juga mengalami rasio T4 menjadi T3 lebih tinggi dibandingkan dengan Penyakit Graves (Fantz CR, 1999). Kalenjar tiroid biasanya tidak membesar atau hanya sedikit membesar, jarang melebihi ukuran 2 kali normal, dan opthalmopathy tidak
20
ditemukan pada kondisi ini. Selain Mola Hydatidosa menyebabkan hipertiroid, peningkatan kadar hCG juga dihubungkan penyakit tropoblastik yang lain seperti koriokarsinoma, embrional sel karsinoma, teratokarsinoma dan testicular karsinoma. HCG menginduksi hipertiroid tanpa proses neoplasma secara terbatas pada trimester pertama dan jika diperlukan dapat diberikan pengobatan standar antitiroid seperti PTU (Meister LHF, 2005). Pada pasien dengan hCG yang meningkat oleh karena proses neoplasma sering memerlukan tindakan kemoterapi selain tindakan pembedahan. 4. Penatalaksanaan hipertiroid pada mola hydatidosa
Penatalaksanaan pada Mola Hydatidosa terdiri dari dua fase yaitu evakuasi mola segera dan tindak lanjut untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan keganasan. Mola harus dikeluarkan biasanya dilakukan melalui tindakan dilatasi dan kuretase atau lebih dikenal sebagai kuret (Syafii et al., 2006). Sebagai alternatif dapat digunakan oksitosin atau prostaglandin untuk membuat rahim berkontraksi dan mengeluarkan isinyaC (Ehlen et al., 2002). Pada tahap pra bedah adalah mempersiapkan penderita menjadi eutiroidi untuk mencegah terjadinya krisis tiroid, digunakan kombinasi obat yaitu PTU 200 mg. Obat tersebut memiliki efek menghambat reaksi autoimun pada proses pembentukan hormon tiroid dan mencegah sintesis hormon tiroid sehingga dapat menurunkan kadar hormon T3 dan T4. Pemberian obat Propiltiourasil (PTU) pada wanita hamil dalam dosis 3 x 50-100 mg per hari. Penelitian yang dilakukan oleh Adam (2011) menyatakan bahwa pada 13 wanita hamil dengan hipertiroid selama kehamilan tidak menemukan kelainan pada bayi yang dilahirkan setelah pemberian Propiltiourasil
(PTU)
dalam
dosis
3
x
50-100
mg
per
hari
(Djokomuljanto, 2006). Apabila Propiltiourasil (PTU) diberikan pada dosis yang melebihi 3 x 50-100 mg per hari akan memiliki efek samping yaitu kerusakan pada organ ginjal, organ hati (Olson, 2003 dan Gunawan GS, 2007). Karena perjalanan penyakit hipertiroidi dapat berlangsung sangat
21
cepat, dianjurkan untuk memberikan OAT kepada setiap penderita dengan fungsi tiroid yang meningkat, walaupun tidak disertai hipertiroidi klinis.
22
BAB III KESIMPULAN
1. Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormone peptide yang disusun oleh kedua sub unit disebut rantai alfa dan beta. Sub unit alfa identik dengan TSH, sementara rantai beta berbeda dengan keduanya. Dengan demikian, hormone struktur parsial antara TSH dengan hCG mengakibatkan hCG bisa bertindak sebagai hormone tirotropik.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abalovich M et al. 2007. Management of thyroid dysfunction during pregnancy and postpartum : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinology Metabolik 92 (suppl) : S1 Adam MJ. 2011. Penatalaksanaan Penderita Hipertiroid Dengan Kehamilan dan Laktasi. Artikel Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam. Divisi EndokrinMetabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makasar. Albaar MT, Adam JM. Gestational Transient Thyrotoxicosis: Clinical Practice. Acta Med Indones - Indones J Intern Med. 2009. 41(2) : 99-104 Aru W., Sudoyo, dkk, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. Bashabsheh AM. 2012. Clinico – Pathological Study of Hydatidiform Moles in a Sample from Department of Obstetrics & Gynecology at Damascus University. European Journal of Scientific Research. Pathological Study of Hydatidiform Moles in a Sample from Department of Obstetrics & Gynecology at Damascus University. (55) 4 : 517 – 520. Berkowitz, R. S., Goldstein, D. P. 2009. Molar Pregnancy. N Engl J Med 2009; 360:1639-164. Brent GA. 2008. Clinical practice. Graves disease. N Engl J med 2008; 358: 2594 Chaniwala NU, Woolf PD, Bruno CP, Kaur S, Spector H, Yacono K. Thyroid Storm Caused by a Partial Hydatidiform Mole. Thyroid 2008 16(4). 479-480 Ehlen GT, Vancouver BCP, Bessette , Sherbrooke QC, Gerulath AH, Toronto ONL, Jolicoeur, RN, Ottawa ONR, Savoin, Moncton NB. 2002. Gestational. Fantz CR, Dagogo SJ, Ladenson JH, Gronowski AM. Thyroid Function during Pregnancy: Case Conference. Clinical Chemistry. 1999 ; 45 (12) : 2250 – 2258
24
Gunawan GS. 2007. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Departemen Farmakologi dan Teurapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 441 -442 hal. Guyton and Hall. Hipertiroidisme. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Jakarta : EGC.1997. Halim A.M., 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan Terapi. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Kim JM, Arakawa K. Severe Hyperyhyroidism Associated with Hydatiform Mole: Clinical Report. Anesthesiology. 1976 ; 41(5) : 445 -4489 Lauralee Sherwood. Kelenjar Tiroid Dalam : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.2001. Lurain, J. R. 2010. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and management of hydatidiform mole. Am J Obstet Gynecol:531-539 Martaadisoebrata, D. 2005. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional. Jakarta: EGC. Meister LHF, Hauck PR, Graf H, Carvalho GA. Hyperthyroidism Due to Secretion of Human Chorionic Gonadotropin in a Patient With Metastatic Choriocarcinoma. Arq Bras Endocrinol Metab. 2005 49(2). 319 – 322 Moeller LK. Thyroid Disease in Pregnancy. Hvidovre hospital. Avalaible at http://www.gyncph.dk/secher/index.htm. Moore
EL, Hernandez E. Hydatiform Mole. at:http://emedicine.medscape.com/article/254657. Last September 24, 2008
Available update :
Murphy MK, Ronnett MB. 2011. Diagnosis of Hydatidiform Moles: Morphology and Ancillary Techniques. The Johns Hopkins University School of Medicine. 1 – 25. Olson J. 2003. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi. Jakarta : Mc Graw Hill Education, 190-192 hal. Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Syafii, Aprianti S, Hardjoeno. 2006. Kadar B-HCG Penderita Mola Hidatidosa Sebelum dan Sesudah Kuretase. Penelitian. (13) : 1-3. 25
Vorvick, L. J. 2010. Hydatidiform Mole. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001907/. Accessed on nd 22 November 2012. Zhou, Xi, Yongli Chen, Yongmei Li, et al.. 2012. Partial hydatidiform mole progression into invasive mole with lung metastasis following in vitro fertilization. Oncology Letters Vol. 3 Num. 3: 659-661.
26