1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini disusun disusun untuk melengkapi tugas selama kepanitraan klinik di Ilmu Bedah di
RSUP Fatmawati
Jakarta. Dalam kesempatan ini, terima kasih kepada dr. Rugun Maria Tobing, Sp.BTKV selaku selaku pembimbing di kepaniteraan klinik Bedah di RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan makalah ini. Demikianlah, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan khususnya bagi mahasiswa kedokteran.
Jakarta, November 2017
Penulis
2
LEMBAR PERSETUJUAN
Referat dengan Judul “Hemotoraks” Hemotoraks” Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu bedah di RSUP Fatmawati periode Oktober – Oktober – Desember Desember 2017
Jakarta, November 2017
(dr. Rugun Maria Tobing, Sp. BTKV)
3
BAB I PENDAHULUAN
Hemotoraks adalah suatu keadaan dimana darah berada dalam kavum pleura. Darah dapat muncul dari berbagai macam sumber, antara lain dari parenkim paru, atau laserasi dinding dada. Pada trauma tumpul, diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan insersi chest tube. Hemotoraks paling sering disebabkan oleh trauma, baik trauma tusuk ataupun trauma tumpul. Selain itu dapat juga merupakan komplikasi dari penyakit, iatrogenik, ataupun terjadi secara spontan.1 Identifikasi dan terapi yang tepat terhadap hemotoraks traumatik merupakan hal yang diperlukan pada pasien yang cedera. Pada kasus hemotoraks non traumatik, investigasi mengenai penyebab yang mendasari terjadinya hemotoraks perlu dilakukan saat mulainya pemberian terapi. Hemotoraks
dikatakan masif apabila
akumulasi darah melebihi 1500mL atau sepertiga lebih dari volume darah pasien. 1 Trauma masih menyebabkan sekitar 150.000 kematian tiap tahunnya. Trauma toraks terjadi pada sekitar 60% dari kasus multiple trauma. Di Amerika, kira-kira terjadi hingga 300.000 kasus pertahun kejadian
hemotoraks yang berhubungan
dengan trauma. Oleh sebab itu, sebagai dokter layanan primer sangat diperlukan kemampuan untuk mendiagnosis danm memberi tatalaksana kegawatan pada kasus trauma toraks khususnya hemotoraks.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Anatomi dan Fisiologi Thoraks
Thoraks adalah daerah tubuh yang terletak antara leher dan abdomen. Struktur thoraks lebih rata di bagian depan dan belakang, dan melengkung dibagian samping. Rangka dinding toraks yang dinamakan cavea thoracis dibentuk oleh 12 columna vertebralis dan kolumna spinal di belakang, costae dan spatium intercostale di samping, serta sternum dan kartilago costalis didepan. Di bagian atas, toraks berhubungan dengan leher dan dibagian bawah dipisahkan dari abdomen dengan diafragma. Cavea thoracis melindungi paru dan jantung dan merupakan tempat perlekatan otot-otot toraks, ekstremitas superior, abdomen, dan punggung.2 Cavitas thoracis (rongga toraks) dapat dibagi menjadi: bagian tengah yang disebut mediastinum dan bagian lateral yang ditempati pleura dan paru. Bagian mediastinum terdiri dari jantung, lengkungan aorta, vena cava superior, esophagus bawah, dan bagian bawah trakea.
Gambar 2.1 Rongga toraks 3 Paru diliputi oleh selapis membrane tipis yang disebut pleura visceralis, yang beralih di hilus pulmonalis (tempat saluran udara utama dan pembuluh darah masuk ke paru-paru) menjadi pleura parietalis dan menuju ke
5
permukaan dinding toraks. Diantara pleura visceralis dan pleura parietalis terdapat suatu rongga yang disebut cavitas pleuralis dan ada pada setiap sisi toraks. 2 Pleura membagi rongga toraks menjadi tiga kompartemen terpisah – mediastinum sentral dan dua kompartemen lateral, dengan masing-masing terisi oleh paru. Sistem kompartemen ini berguna untuk mencegah pergerakan paru atau jantung agar tidak mengganggu
satu sama lain. Sistem
kompartemen juga berguna untuk membatasi penyebaran infeksi lokal dan memperluas cedera traumatik.4 2.2.Trauma Thoraks
Trauma thoraks adalah seluruh trauma pada rongga thoraks dan struktur yang ada didalamnya, termasuk paru, jantung, pembuluh darah besar, cabang trakeobronkhial, dan esophagus.5 Pada kebanyakan kasus trauma toraks, mekanisme cedera dapat memprediksi kondisi klinis. Laserasi sederhana ataupun luka tusuk yang tidak mengenai pleura biasanya dapat ditangani secara konservatif, seperti manajemen luka sederhana ataupun observasi. Luka tusuk yang mencederai pleura dapat mengakibatkan pneumotoraks, dan pada 75% kasus disertai pula dengan hemotoraks. Trauma tumpul dapat mengakibatkan kerusakan jaringan melalui trauma langsung, kompresi, dan kekuatan akselerasi ataupun deselerasi. Derajat kerusakan jaringan dapat menentukan kondisi klinis juga penanganannya.6 Trauma toraks dibagi menjadi 2 yaitu trauma tembus dan trauma tumpul. Trauma tembus biasanya diakibatkan oleh luka tembak, atau luka tusuk, dengan penyebaran tenaga pada area yang kecil, tidak seluas trauma tumpul. Pada luka tembak, arah tembakan peluru, tidak dapat dipredikisi dengan jelas, sehingga seluruh organ dada memiliki risiko tinggi. Pada trauma
6
tumpul kekuatan hantaman didistribusikan ke area yang luas, dan kerusakan visceral terjadi akibat tahanan, penyebaran kekuatan hantaman, dan tekanan. 2.3.Hemotoraks 2.3.1
Definisi
Hemotoraks adalah keadaan dimana terdapat darah didalam rongga pleura. Untuk mendiferensiasikannya dengan efusi pleura hemoragik, secara definisi dikatakan hemotoraks apabila mengandung paling tidak 50% dari nilai hematokrit darah tepi. Hemotoraks merupakan salah satu manifestasi yang sering terjadi pada trauma tumpul toraks. Hemotoraks juga sering dikaitkan dengan trauma tusuk toraks, ataupun trauma tumpul dinding toraks yang disertai cedera skeletal. Dalam kasus yang lebih sedikit, hemotoraks dapat terjadi akibat dari kelainan pleura, iatrogenik, ataupun terjadi secara spontan.7 2.3.2
Epidemiologi
Angka insiden hemotoraks tidak diketahui secara pasti. Namun, trauma toraks terjadi paling tidak sebanyak 60% dari seluruh kasus politrauma, dan menyumbang 20% hingga 25% mortalitas. Hemotoraks paling banyak disebabkan oleh trauma toraks. Estimasi kasar angka kejadian hemotoraks sehubungan dengan insidensi trauma di United States dalah sebanyak 300.000 kasus per tahunnya. Mortalitas yang berhubungan dengan cedera jantung ataupun cedera pembuluh darah besar cukup signifikan, dimana terdapat >50% meninggal dalam waktu ccepat dan <10-15% nya dapat bertahan dalam perawatan, dengan tanda vital yang kritis. 8 2.3.3
Patofisiologi
Etiologi dari hemotoraks terbagi menjadi 2 yaitu traumatik dan non traumatik. Hemotoraks traumatik merupakan akibat dari trauma tumpul toraks ataupun trauma tembus toraks. Sedangkan hemotoraks non traumatik dapat merupakan akibat dari berbagai penyakit seperti neoplasia , lung sequester,
7
ruptur adhesi pleura pada kasus pneumotoraks, infark pulmonar, tuberkulosis, infeksi pulmonar (DHF), fistula arterivena pulmonar, serta kelainan abdominal.7
Gambar 2.2 Massive Hemothorax10 Respon fisiologis cepat terhadap hemotoraks
a.
Respon Hemodinamik Respon hemodinamik merupakan respon yang multifaktorial dan bergantung pada derajat keparahan hemotoraks, dinilai dari klasifikasinya. Hemotoraks diklasifikasikan berdasarkan jumlah darah yang hilang, yaitu moderate, minimal, dan massive. Hemotoraks dikatakan
minimal
apabila
jumlah
darah
yang
hilang
tidak
menimbulkan perubahan hemodinamik yang signifikan. Kehilangan darah sebanyak 750mL pada pria dengan berat badan 70kg semestinya tidak
menyebabkan
perubahan
hemodinamik
yang
signifikan.
Sedangkan kehilangan darah sebanyak 750-1500mL pada individu yang sama dapat menyebabkan gejala awal syok (takikardia, takipnea, penurunan tekanan nadi).
8
Perubahan
hemodinamik
yang
signifikan
disertai
tanda
buruknya perfusi biasanya mulai terjadi pada kehilangan darah lebih dari 30% volume darah seluruh tubuh (1500-2000ml). Dikarenakan kavitas pleura pada individu 70 kg dapat menampung hingga 4L darah atau lebih, perdarahan masif dapat terjadi tanpa bukti eksternal hilangnya darah. Respon hemodinamik yang terjadi biasanya juga dipengaruhi oleh kecepatan akumulasi darah, kondisi komorbid, dan trauma lain yang terjadi seiring dengan trauma toraks.7,9 b.
Respon Respiratorik Respon
respiratorik
pada
hemotoraks
dipengaruhi
oleh
beberapa faktor. Kegagalan pernapasan yang berhubungan dengan kejadian trauma dapat terjadi secara langsung ataupun tidak langsung. Akumulasi darah pada kavitas pleura dapat menyebabkan efek desak ruang, sehingga dapat mempengaruhi pergerakan dada normal. Pada kasus trauma, abnormalitas ventilasi dan oksigenasi dapat terjadi, terutama apabila berhubungan dengan trauma dinding toraks. Jumlah darah yang dapat menyebabkan gejala tersebut bergantung pada beberapa faktor seperti faktor organ yang cedera, derajat keparahan cedera, serta ketahanan dasar kardiopulmonar.7,9 Kegagalan pernapasan tidak langsung pada kejadian trauma dapat diakibatkan oleh infeksi pulmonar, fibrotoraks sebagai komplikasi, dan trauma pada pasien dengan penyakit komorbid sebelumnya.7 Resolusi fisiologis pada hemotoraks
Darah yang memasuki kavitas pleura terekspos dengan gerakan diafragma, paru, dan struktur intratoraks lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya defibrinasi pada darah sehingga terjadi incomplete clotting . Dalam
9
beberapa jam setelah terjadinya perdarahan, bekuan yang terbentuk akan mulai lisis oleh karena enzim pleura. Lisis dari sel darah merah menyebabkan peningkatan konsentrasi protein pada cairan pleura dan meningkatkan tekanan osmotic kavitas pleura. Peningkatan tekanan osmotic intrapleura ini menghasilkan gradient osmotic antara kavitas pleura dan jaringan sekitarnya yang memudahkan terjadinya transudasi cairan menuju kavitas pleura. Dengan cara ini, hemotoraks yang awalnya sedikit dan asimtomatik dapat menjadi efusi pleura hemoragik yang lebih berat dan simtomatik Respon fisiologis lambat terhadap hemotoraks
Reaksi fisiologis lambat dari hemotoraks adalah empyema dan fibrotoraks. Empyema terjadi karena adanya kontaminasi bakteri pada hemotoraks yang tertahan. Apabila tidak terdeteksi dan tidak ditangani, keadaan ini dapat berlanjut menuju bakterimia dan syok sepsis. Fibrotoraks terjadi karena adanya deposisi fibrin yang berkembang pada hemotoraks, dan menyelubungi permukaan pleura visceral dan parietal. Proses adesif ini menyebabkan paru tertahan sehingga tidak dapat mengembang penuh. Hal ini menyebabkan atelectasis persisten dan penurunan fungsi pulmonar.7 2.3.4
Klasifikasi
Hemotoraks Traumatik
Trauma
merupakan
penyebab
tersering
hemotoraks.
Hemotoraks harus selalu dipertimbangkan pada setiap pasien yang datang ke IGD dengan riwayat trauma tumpul ataupun trauma tembus toraks atau trauma torakoabdominal.
10
Normalnya, cavitas pleura hanya merupakan sebuah rongga
potensial yang berisi sedikit lubrikan untuk mengurangi friksi saat paru mengembang. Perdarahan yang terjadi pada cavitas pleura dapat disebabkan oleh trauma ekstrapleural maupun intrapleural.
Extrapleural injury Trauma pada dinding dada dengan kekerasan pada membrane pleura dapat menyebabkan perdarahan kedalam cavitas pleura. Sumber perdarahan yang memungkinkan pada trauma toraks adalah arteri interkosta dan arteri mammaria interna. Pada kasus non traumatik, kasus penyakit jarang seperti bone exoxtoses dapat menjadi penyebab.8
Intrapleural injury Trauma tumpul ataupun trauma tusuk yang melibatkan struktur intratoraks dapat menyebabkan hemotoraks. Hemotoraks massif dapat terjadi apabila trauma terjadi pada arteri besar, struktur vena toraks, ataupun jantung. Hal ini termasuk aorta, percabangan braciocephalic aorta, percabangan utama arteri pulmonal, vena cava superior dan vena braciocephalic, vena cava inferior, vena azygos, dan vena pulmonaris mayor. Trauma pada
jantung dapat menyebabkan
hemotoraks apabila terjadi hubungan antara pericardium dan cavitas pleura8 Trauma pada parenkim paru dapat menyebabkan hemotoraks, namun biasanya self-limited karena tekanan vascular pulmonar normalnya cenderung rendah. Cedera parenkim paru biasanya berhubungan dengan pneumotoraks dan hanya menyebabkan sedikit perdarahan. Hemotoraks yang terjadi akibat keganasan biasanya terjadi akibat penempelan tumor yang mengenai permukaan pleura. Gangguan pada aorta toraks dan
11
cabang-cabang besarnya seperti diseksi ataupun aneurisma juga dapat menyebabkan hemotoraks.8 Trauma
ekstrapleural
dan
intrapleural
yang
menyebabkan
hemotoraks akan memicu respon fisiologis yang dibagi menjadi respon cepat dan respon lambat. Respon cepat ditandai dengan adanya respon hemodinamik
dan
respon
respiratori,
sedangkan
respon
lambat
bermanifestasi pada empiema dan fibrotoraks. Derajat keparahan dari respon patofisiologi bergantung pada lokasi cedera, cadangan fungsional pasien, dan jumlah kehilangan darah7.
Hemotoraks Non-traumatik
Hemotoraks non-traumatik atau hemotoraks spontan adalah terdapatnya hematokrit, pada cairan pleura minimal sebanyak 50% dari hematocrit darah perifer, tanpa diserta riwayat trauma yang mengenai paru ataupun kavitas pleura. Rata-rata sebanyak 5% pasien dengan pneumotoraks spontan akan datang dengan hemotoraks. Sumber darah pada hemotoraks spontan dapat beragam. Namun penyebab tersering adalah robeknya adhesi vascular antara pleura parietal dan visceral.8 Terdapat beberapa penyebab dari hemotoraks spontan, diantaranya:
⁻
Vaskular: diseksi aorta/aneurisma, malformasi arteriovena, Ehlers-Danlos (aneurysmal disease)
⁻
Koagulopati: drug induced , kongenital
⁻ Neoplasma: neurofibromatosis, penyakit metastasis, germ cell tumor , thymoma
⁻
Bermacam-macam: eksostosis, endometriosis
12
2.3.5
Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang mengikuti hemotoraks sangat beragam, terutama pada hemotoraks traumatik, tergantung pada jumlah dan kecepatan perdarahan, adanya penyakit pulmonary sebelumnya, serta mekanisme cedera. Nyeri dada dan dyspnea merupakan gejala yang sering ditemukan. Pada pasien dengan jumlah perdarahan yang banyak, dapat ditemukan tanda-tanda syok seperti takikardi dan hipotensi. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan pasien mengalami takipnea. Pada auskultasi paru dapat ditemukan penurunan suara nafas. Perkusi paru dalam posisi duduk dapat menunjukkan adanya bunyi redup pada ketinggian costae tertentu sesuai dengan jumlah perdarahan. 2.3.6
Penegakkan Diagnosis a. Anamnesis
Adanya hemotoraks harus selalu dicurigai pada setiap pasien yang datang dengan riwayat trauma, terutama trauma yang mengenai toraks dan abdomen. Oleh sebab itu, pada pasien dengan riwayat trauma perlu ditanyakan mekanisme cedera yang terjadi. Apakah ada kemungkinan terjadinya fraktur pada costae, cedera vaskular toraks, laserasi paru, dan cedera lainnya yang dapat menimbulkan hemotoraks. Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat adanya kemungkinan penyakit lain yang mendasari terjadinya hemotoraks seperti riwayat perdarahan lama (hemophilia), riwayat penggunaan obat fibrinolitik yang memungkinkan terjadinya hemotoraks pada trauma yang minimal, serta riwayat keganasan.
13
b. Pemeriksaan Fisik
Pada kasus trauma, pemeriksaan fisik secara menyeluruh sangat diperlukan. Pengawasan terhadap tanda vital, status neurologis mulai saat kejadian hingga perjalanan sampai ke IGD sebisa mungkin menjadi
perhatian.
Pada
hemotoraks
minimal
dan
moderate,
pemeriksaan fisik seringkali tidak menunjukkan tanda yang signifikan sehingga adanya hemotoraks hanya
dapat dideteksi melalui
pemeriksaan penunjang seperti foto x-ray, FAST, ataupun CT scan. Namun, hemotoraks yang massif dan signifikan secara klinis kemungkinan dapat dideteksi melalui pemeriksaan fisik.
⁻ Inspeksi: bervariasi, namun dapat ditemukan adanya memar, lasrerasi, deformitas dinding dada, gerakan dada paradoksal pada fraktur costae, bekas luka tusuk pada trauma tembus
⁻ Palpasi: dapat ditemukan nyeri tekan, krepitasi apabila terjadi fraktur costae, dan penurunan ekspansi dada, penurunan fremitus.
⁻ Perkusi: suara ketok redup setinggi perdarahan. Apabila disertai pneumotoraks dapat ditemukan suara hipersonor pada lapang atas paru
⁻ Auskultasi: penurunan suara nafas Deviasi mediastinal ataupun trakea biasanya tidak ditemukan, kecuali hemotoraks yang terjadi adalah hemotoraks massive. Pada hemotoraks massive yang sudah menyebabkan hipovolemia berat juga dapat terlihat vena jugularis yang mendatar. Tanda-tanda diatas dapat tidak muncul apabila pasien diposisikan dalam po sisi supinasi.
14
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pada kasus trauma, setelah pasien dalam keadaan stabil, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnostic. Pemeriksaan darah lengkap dan analisa gas darah perlu dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan
adanya
kelainan
seperti
anemia,
tanda
distres
pernapasan seperti hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis.
Radiografi
Untuk mendeteksi adanya hemotoraks, dilakukan foto xray toraks. Apabila diindikasikan dapat pula dilakukan USG toraks,dan CT scan toraks.10,11 Pada foto xray toraks, hemotoraks
ditandai dengan adanya
gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul, dan opaque pada hemitoraks dibandingkan dengan hemitoraks yang lain. Hemotoraks yang minimal terkadang tidak terlihat jelas karena tersamarkan dengan gambaran struktur diafragma dan viscera abdomen, pada posisi duduk. Apabila pasien dalam keadaan supinasi, darah akan tersebar ke kavitas pleura sehingga hanya akan terlihat gambaran hemitoraks yang lebih berkabut dibandingkan sebelahnya. Selain itu apat pula dinilai apakah hemotoraks
cukup
massive
sehingga
menimbulkan
deviasi
mediastinum dan trakea. 8,9,10 CT scan menjadi pemeriksaan yang sering digunakan pada evaluasi pasien trauma, dan dapat mendeteksi cairan dengan jumlah lebih sedikit dibandingkan dengan foto xray. Cairan yang terdeteksi pada kavitas pleura selalu dianggap sebagai darah hingga terbukti sebaliknya. Apabila sifat cairan yang ada dalam kavitas pleura masih menjadi pertanyaan, penilaian Hounsfield Unit mungkin dapat
15
bermanfaat. Darah memiliki nilai Hounsfield Unit sekitar 35-70 HU. Adanya arterial blush pada CT menandakan adanya perdarahan dan perlu dilakukan intervensi segera. Adanya kelainan yang persisten pada foto xray mengindikasikan perlunya evaluasi dengan CT, terutama pada pasien yang tidak menunjukkan perkembangan klinis.8,11
Gambar 2.3 Foto Xray pasien hemotoraks. A. posisi supine. B. posisi upright12
Gambar 2.4 CT scan dengan kontras, massive hemotoraks
kiri8
16
Penggunaan USG untuk evaluasi trauma sudah menjadi hal rutin pada departemen emergensi. USG lebih mungkin digunakan dibandingkan CT scan, terutama pada pasien yang tidak cukup stabil untuk transportasi. Pada sebuah studi prospektif didapatkan bahwa penggunaan USG untuk mendiagnosis hemotoraks pada 61 pasien trauma memiliki sensitivitas 92% dan spesifisitas 100%. 8
Gambar 2.5 Hasil USG hemotoraks kanan
Hemotoraks minimal perlu untuk dilakukan pemeriksaan serial dann foto xray berulang karena kemungkinan terjadinya peningkatan volume darah. 10 2.3.7
Penatalaksanaan
Pada umumnya, penatalaksanaan hemotoraks menyerupai penatalaksanaan pada pneumotoraks. Apabila hemotoraks yang terjadi masih minimal, observasi dalam jangka waktu tertentu perlu dilakukan. Apabila hemotoraks yang terjadi sudah moderate ataupun massive, perlu dilakukan drainase dengan tube thoracostomy. 10 Tube thoracostomy merupakan tatalaksana lini pertama pada hemotorak. Penempatan tube sangat penting untuk efektifitas drainase dari kavitas pleura. Penempatan tube harus diarahkan secara posterior agar terjadi drainase spontan pada pasien dengan posisi supinasi. tube
17
thoracostomy aman apabila diletakkan pada ICS 5 atau 6 pada garis mid-aksilla
(pada
kebanyakan
pasien
berdasarkan
pengalaman
operator). Pada riwayatnya, penggunaan chest tube dengan diameter yang lebih besar kadang digunakan pada hemotoraks untuk mencegah bekuan darah menyumbat drainase. ATLS menyarankan untuk menggunakan chest tube berukuran 36F.
Namun sebuah
analisa
prospektif menyatakan bahwa penggunaan tube dengan ukuran 28F hingga 32F dibandingkan dengan ukuran 36F hingga 40F pada 293 pasien tidak menunjukkan perbedaan outcome yang signifikan. Kebanyakan dokter bedah menggunakan tube berukuran 32F hingga 36F
untuk
hemotoraks.
Apabila
tersedia,
pasien
sebaiknya
mendapatkan antibiotic profilaksis Cefazoline sebelum dilakukan torakostomi (rekomendasi Eastern Association for Surgery for Trauma). 8 o
Tube torachostomy Tube
thoracostomy merupakan
tindakan
diagnostic
sekaligus
terapeutik untuk pasien dengan hemotoraks massif. Apabila pada tube tracheostomy didapatkan darah >1500 mL ataupun mencapai 200 mL/ 4 jam, hal tersebut menunjukkan adanya hemotoraks massif dan merupakan indikasi untuk dilakukan operasi. Dan walaupun pasien tidak menunjukkan gejala tersebut, bukti bahwa terdapat perdarahan yang masih berlangsung ataupun perdarahan berulang, serta kondisi klinis pasien dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan intervensi operatif.6 Prosedur pemasangan tube thoracostomy 13 1. Tentukan lokasi insersi, biasanya pada setinggi mammae (ICS 5),
anterior dari garis mid-aksilla pada bagian yang bermasalah. Pada hemotoraks bisa digunakan 2 chest tube
18
2. Persiapkan area insersi untuk operasi (a dan antisepsis), tutup
dengan duk steril 3. Anestesi lokal pada kulit dan periosteum costae 4. Buat insisi horizontal sepanjang 2-3 cm pada daerah yang telah
ditentukan. Insisi lapis demi lapis melewati jaringan subkutan, kira-kira tepat diatastulang costae 5. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem. Letakkan jari (dengan
memakai handscoen) kedalam insisi untuk mencegah cedera pada organ lain dan membebaskan apabila terdapat adhesi, bekuan darah, dll. Apabila tube sudah masuk ditempat yang tepat, lepas klem dari tube 6. Klem bagian ujung proksimal tube thoracostomy dan masukkan
kedalam kavitas pleura sesuai dengan panjang yang telah ditentukan. Tube harus diarahkan secara posterior sepanjang rongga dinding dada. 7. Periksa adanya fogging pada tube seiring ekspirasi atau dengarkan
adanya suara gerakan udara. 8. Sambungkan ujung tube thoracostomy pada wadah underwater-
seal 9. Jahit tube untuk fiksasi 10. Pakaikan verban oklusif dan lekatkan tube pada toraks 11. Periksa foto xray post thoracostomy, AGD, dan saturasi O2 untuk
evaluasi keberhasilan drainase
19
Gambar 2.6
Prosedur pemasangan tube tracheostomy
12
A. tube
thoracostomy dilakukan di linea midklavikula ICS V (inframammary crease) untuk mencegah cedera iatrogenik pada hepar atau lien. B. Heavy scissors digunakan untuk memperoleh akses ke ruang pleura melewati otot interkostalis. Tindakan ini dilakukan di atas costae untuk mencegah kumparan saraf di bawah costae. C. insisi secara digital
dieksplorasi
untuk
memastikan
lokasi
intratoraks
dan
mengidentifikasi adhesi pleura. D. chest tube berukuran 28F dimasukkan secara superior posterior menggunakan klem besar.
20
Tube thoracostomy adalah prosedur yang paling umum digunakan dalam trauma toraks. Apabila terjadi hemotoraks yang disertai bekuan, (clotted hemothorax), dapat dilakukan VATS atau torakotomi untuk mengevakuasi bekuan tersebut secepat mungkin. Semakin cepat dilakukan evakuasi, semakin kecil kemungkinan untuk terjadinya empyema pasca trauma. Meskipun begitu, hanya 15% pasien
trauma toraks yang membuthkan intervensi torakotomi.
Indikasi
dilakukannya
torakotomi
terus
berubah
seiring
berkembangnya terapi non invasive lainnya.10 o
Tindakan Operatif Tindakan operatif awal pada trauma toraks akut adalah anterior torakotomi.
Dilakukan
melalui
ICS
4,
anterior
torakotomi
memudahkan untuk dapat mengassess cedera intratoraks dan melakukan hemostasis temporer jika diperlukan. Anterior torakotomi dextra dan sinistra dapat mengakses struktur jantung dan pembuluh pembuluh darah terkait, dan membantu dalam membebaskan tamponade jantung. Torakotomi anterior dapat diperpanjang ke berbagai jalur sehingga menambah akses, seperti pemanjangan melalui sternum yang membentuk insisi “clamshell”, sehingga membuka akses yang baik untuk struktur mediastinum. Torakotomi posterolateral memberi akses yang baik untuk paru ipsilateral, hilum, dan kavitas pleura serta mediastinum posterior. Penggunaan Video-assisted Thoracic Surgery (VATS) pada trauma akut masih kontroversial. VATS dapat berguna untuk mengeksplorasi kavitas pleura, control perdarahan kecil, ataupun evakuasi hemotoraks. Namun VATS harus dilakukan oleh operator terlatih dan indikasinya terbatas.8
21
2.3.8
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hemotoraks diantaranya adalah:
Retained Hemothorax Didefinisikan sebagai adanya minimal 500 mL darah yang tidak terdrainase
setelah
pemasangan
tube
thoracostomy,
yang
merupakan estimasi dari gambaran CT scan, atau adanya gambaran opasifikasi
pada
foto
xray
toraks.
Apabila
kondisi
klinis
memungkinkan, darah yang tertahan harus segera di evakuasi karena dapat menyebabkan komplikasi lain seperti empyema ataupun fibrotoraks. Intervensi cepat pada retained clot hemothorax dapat berupa torakoskopi. Terkadang dilakukan pemasangan chest tube yang kedua. Namun apabila gagal dapat pula dilakukan pemberian obat fibrinolitik intrapleura. Perbandingan retrospektif pada pasien retained hemothorax yang diberi streptokinase intrapleura dan dilakukan
torakoskopi
menunjukkan
bahwa
pasien
dengan
intervensi torakoskopi memiliki durasi rawat yang lebih singkat, dan
lebih
sedikit
yang
membutuhkan
torakotomi.
Namun,
pemberian fibrinolitik tetap dinilai bermanfaat untuk drainase inisial, dan sebagai alternative untuk pasien yang kurang memungkinkan untuk terapi invasive.8
Empyema Empyema biasanya terjadi akibat infeksi yang timbul pada retained hemothorax.
Hal
ini
membutuhkan
kemungkinan juga perlu dekortikasi.8
drainase
bedah
dan
22
Fibrotoraks Merupakan komplikasi jangka panjang yang tidak sering terjadi, yang berasal dari retained hemothorax. Perlu dilakukan torakotomi dan dekortikasi untuk menangani fibrotoraks.8
2.3.9
Prognosis
Hingga saat ini, prognosis pasien dengan hemotoraks cenderung baik. Mortalitas pada hemotoraks traumatik bergantung pada keparahan cedera yang dialami. Morbiditas yang terjadi juga bergantung pada keparahan cedera, serta risiko yang berhubungan dengan adanya retained hemothorax, yaitu empyema dan fibrotoraks. Empyema terjadi pada 5% kasus sedangkan fibrotoraks terjadi pada 1% kasus. Retained hemothorax terjadi pada sekitar 10-20% kasus hemotoraks trauma, dan prognosis setelah dilakukan evakuasi pada retained hemothorax juga baik. Prognosis jangka panjang dan jangka pendek
pada
mendasarinya.
hemotoraks
spontan
tergantung
pada
penyakit
yang
23
BAB III KESIMPULAN
Hemotoraks adalah keadaan dimana terdapat darah didalam rongga pleura. Berdasarkan etiologinya, hemotoraks diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu hemotoraks traumatik dan hemotoraks non traumatik. Sedangkan berdasarkan jumlah perdarahan yang terjadi, hemotoraks dibagi menjadi hemotoraks minimal, moderate, dan massive. Gejala klinis yang dialami pasien dengan hemotoraks sangat beragam tergantung dari mekanisme cedera, dan tingkat keparahan. Keluhan sesak dan nyeri dada cukup sering ditemuukan pada kasus hemotoraks. Penegakkan diagnosis hemotoraks dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik seringkali tidak menunjukan perbedaan yang signifikan terutama pada hemotoraks minimal, sehingga pemeriksaan penunjang radiologi menjadi baku dalam mendeteksi hemotoraks. Pemeriksaan radiologi yang sering dilakukan adalah foto x ray toraks, USG, dan CT scan toraks. Penatalaksanaan lini pertama pada hemotoraks adalah pemasangan tube thoracostomy untuk drainase, yang merupakan tatalaksana terapeutik sekaligus diagnostik. Apabila ditemukan perdarahan yang massive dapat dilakukan tatalaksana lanjutan seperti torakotomi. Komplikasi dari hemotoraks adalah retained hemothorax, empyema, dan fibrotoraks. Hingga saat ini prognosis hemotoraks yang diberi penatalaksanaan cenderung baik.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.
May J, Ades. Porous diaphragm syndrome: haemothorax secondary to
haemoperitoneum following laparoscopic hysterectomy. BMJ Case Rep. 2013 Dec 05 2.
Snell R. Clinical anatomy by regions 9th Ed. USA: Lippincott Williams
and Wilkins, 2012 3.
Martini FH., et al. Fundamentals of anatomy and physiology 9th Ed. San
Fransisco: Pearson Education, 2012. 4.
Marieb EN. Marieb’s Human Anatomy 6th Ed. Boston: Pearson Inc, 2012.
5.
Duncan T, et al. Trauma Book 2012. Ventura County Medical Center,
2012. 6.
Pearlman M, et al. Tintinalli’s emergency medicine manual 8th ed. USA:
American college of emergency physicians, 2015. 7.
Mahoozi HR, Volmerig J. Modern management of traumatic hemothorax.
J trauma treat 2016,5:3 8.
Broderick SR. Hemothorax: etiology, diagnosis, management. Thorac
Surg Clin 23 (2013) 89--96 9.
Elhabashy S. Cardio-thoracic injury, Essentials all critical care nurse
needs to know. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2015. 10. Mattox KL., et al. Trauma 7th Ed. New York: McGraw-Hill Medical Inc, 2013. 11. Lugo, Victor W., et al. Chest trauma: an overview. J Anesth Crit Care Open Access 2015, 3(1): 00082 12. Brunicardi, F. Charles, et al. Schwartz’s Principles of Surgery 10th Ed. New York: McGraw-Hill Medical Inc, 2015. 13. American college of surgeon. Advanced Trauma Life Support, student course manual 9th ed, 2012