PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya rongga potensial. Perdarahan ke dalam rongga pleura dapat menghasilkan cedera ekstrapleura atau intrapleura.1
ETIOLOGI Penyebab umum dari hemotoraks adalah trauma toraks. Hemotoraks juga dapat terjadi pada pasien dengan defek pembekuan darah, operasi toraks atau jantung, infark pulmonal, kanker pleura atau paru, dan tuberkulosis.2,3,4 Selain itu, penyebab lainnya adalah pemasangan kateter vena sentral dan tabung torakostomi.1
EPIDEMIOLOGI Untuk menentukan frekuensi populasi dengan hemotoraks secara general cukup sulit. Hemotoraks kecil dapat dihubungkan dengan fraktur kosta dan dapat tidak teridentifikasi atau tidak membutuhkan penanganan. Karena penyebab terbanyak adalah dari trauma, estimasi populasi dapat dilihat dari statistik trauma. 150.000 kematian karena trauma terjadi setiap tahun. Pada suatu periode, anak-anak yang mengalami trauma, 4,4% dari jumlah tersebut mengalami trauma toraks. Mortalitas trauma toraks dengan hemopneumotoraks adalah 26,7% dan hemotoraks adalah 57,1%. Hemotoraks non-traumatik memiliki angka mortalitas yang lebih rendah.1
PATOFISIOLOGI Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic. Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah.1
1
Perubahan hemodinamik bervariasi, tergantung pada jumlah perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria 70 kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 7501500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal syok yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah.1 Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah, perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.1 Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding dada. Sebuah kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan pasien mengalami dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan cadangan paru dan jantung yang mendasari.1
2
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan utama.1 Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru, dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura dimulai.1 Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi besar dan gejala efusi pleura berdarah.1 Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.1
MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis yang muncul pada pasien dengan hemotoraks adalah nyeri dada, napas pendek, takikardi, hipotensi, pucat, dingin, dan takipneu.2,3,4 Pasien juga dapat mengalami anemia sampai syok.5
DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik paru, foto toraks, analisis cairan pleura, torasentesis, USG, dan CT scan.1,3,4,5 Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan tandatanda seperti pada efusi pleura. Pada hemitoraks yang sakit, pergerakan akan terlihat berkurang. Perkusi pada hemitoraks yang sakit terdengar redup dan pada auskultasi suara napas menurun atau menghilang sama sekali.5 3
Pada foto toraks juga tampak seperti pada efusi pleura. Pada kasus trauma tumpul, hemotoraks sering dihubungkan dengan cedera toraks lainnya yang dapat terlihat pada foto toraks, seperti fraktur kosta atau pneumotoraks.1
CT scan merupakan pemeriksaan yang cukup akurat untuk mengetahui cairan pleura atau darah, dan dapat membantu untuk mengetahui lokasi bekuan darah. Selain itu, CT scan juga dapat menentukan jumlah bekuan darah di rongga pleura.1
Pada analisis cairan pleura, setelah dilakukan aspirasi, cairan tersebut diperiksa kadar hemoglobin atau hematokrit. Dikatakan hemotoraks jika kadar hemoglobin atau hematokrit cairan pleura separuh atau lebih dari kadar hemoglobin atau hematokrit darah perifer.5
TATALAKSANA Tujuan terapi adalah agar pasien dalam keadaan stabil, menghentikan perdarahan, dan mengeluarkan darah dan udara yang ada pada rongga pleura. Pasien diberikan oksigen,
4
memastikan airway, breathing, dan circulation. Jika pasien hipotensi, infus diberikan dan dimulai resusitasi cairan yang sesuai dengan menggunakan Ringer Lactate. Transfusi darah dapat diberikan jika dibutuhkan.1 Torakostomi atau chest tube adalah terapi utaman untuk pasien dengan hemotoraks. Pemasangannya selama beberapa hari untuk mengembangkan paru ke ukuran normal. Torakotomi adalah prosedur pilihan untuk operasi eksplorasi rongga dada ketika hemotoraks masif atau terjadi perdarahan persisten. Torakotomi juga dilakukan ketika hemotoraks parah dan chest tube tidak dapat mengontrol perdarahan. Torakotomi dilakukan bila perdarahan > 200 ml/jam dan tidak ada tanda-tanda perdarahan berkurang.1,5 Fibrinolysis intrapleural digunakan untuk mengevakuasi hemotoraks residual dalam kasus dimana drainase dengan torakostomi inisial tidak adekuat. Dosis yang digunakan adalah streptokinase (250.000 IU) atau urokinase (100.000 IU) dalam 100 ml saline steril. Dalam studi mengenai penggunaan fibrinolysis intrapleural dalam kasus hemotoraks clotted traumatic, dengan memasukkan agen fibrinolysis secara harian dalam jangka waktu 2-15 hari, memberikan hasil penyembuhan sebanyak 92%.1
PROGNOSIS Prognosis umum pada pasien dengan hemotoraks cukup baik. Mortalitas berhubungan dengan berat ringannya cedera pada trauma toraks. Empyema dapat terjadi pada 5% kasus, sedangkan fibrotoraks dapat terjadi pada 1% kasus. Prognosis jangka pendek dan jangka panjang pada pasien dengan hemotoraks non-traumatik bergantung pada penyebab hemotoraks.1
PENUTUP Hemotoraks merupakan kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Untuk menegakkan diagnosis ini, dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Terapi dapat diberikan jika diagnosis kerja telah ditegakkan agar tidak terjadi komplikasi lain.
5
DAFTAR PUSTAKA
1. Mancini,
Mary
C.
Hemothorax.
29
Januari
2014.
http://emedicine.medscape.com/article/2047916-overview
Tersedia diakses
di pada
tanggal 30 Juni 2014. 2. Boston
Medical
Center.
Pleural
Diseases.
2014.
Tersedia
di
http://www.bmc.org/thoracicsurgery/diseasesandconditions-pleural.htm diakses pada tanggal 30 Juni 2014. 3. Heller,
Jacob
L.
Hemothorax.
9
Oktober
2012.
Tersedia
di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000126.htm diakses pada tanggal 30 Juni 2014. 4. Light, R. W. dan Lee, Y. C. G. Hemothorax. 9 Oktober 2012. Tersedia di https://www.medstarhealth.org/eHealth/AdamHealthContent/article/hemothor ax/000126_117_1 diakses pada tanggal 30 Juni 2014. 5. SMF Ilmu Penyakit Paru. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: FK Unair-RSU Dr. Soetomo. 2005.
6