BAB 1 PENDAHULUAN
Gangguan haid atau disebut juga dengan perdarahan uterus disfungsional merupakan keluhan yang sering menyebabkan menyebabkan seorang perempuan perempuan datang berobat ke ke dokter atau tempat pertolongan pertama lainnya. Keluhan gangguan haid bervariasi dari ringan sampai berat dan tidak jarang menyebabkan rasa frustasi baik bagi penderita maupun dokter yang merawatnya. Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama masa hidupnya.
1,2
Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterik. Haid yang tidak teratur pada masa 3-5 tahun setelah menarche dan pramenopause (3-5 tahun menjelang menopause) merupakan keadaan yang lazim dijumpai. Tetapi pada masa reproduksi (umur 20-40 tahun), haid yang tidak teratur bukan merupakan keadaan yang lazim, karena selalu dihubungkan dengan keadaan abnormal. Perdarahan abnormal dari uterus tanpa disertai kelainan organik, hematologik, melainkan hanya merupakan gangguan fungsional disebut sebagai perdarahan uterus disfungsional. disfungsional. Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional dibedakan dalam bentuk akut dan kronis. Sedangkan Sedangkan secara kausal perdarahan uterus disfungsional mempunyai dasar ovulatorik (10% - 20 %) dan anovulatorik (80% - 90 %).
1
Perdarahan uterus disfungsional akut umumnya dihubungkan dengan keadaan anovulatorik, tetapi perdarahan uterus disfungsional kronis dapat terjadi pula pada siklus anovulatorik. Walaupun ada ovulasi tetapi pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik ditemukan umur korpus luteum yang memendek, memanjang atau insufisiensi. Pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik, akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif maka kadar progesteronnya rendah dan ini menjadi dasar bagi terjadinya perdarahan. 3 Siklus haid normal adalah sekitar 28 dengan dan volume darah sekitar 33,3± 16ml. Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah diagnosis pengecualian ketika tidak ada kelainan patologi pada panggul atau menyebabkan medis lain. PUD biasanya ditandai dengan aliran menstruasi yang berkepanjangan dengan atau tanpa perdarahan yang berat. Ini mungkin terjadi dengan atau tanpa ovulasi.
3
Menorrhagia (hypermenorrhoea) didefinisikan sebagai siklus perdarahan menstruasi yang terjadi selama beberapa siklus berturut-turut selama pada tahun reproduksi. Secara obyektif menorrhagia didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 80 ml per siklus,
persentil ke-90 di sebuah studi dari 476 wanita Gothenberg diterbitkan oleh Hallberg et al. pada tahun 1966. Perdarahan bulanan lebih dari 60 ml dapat mengakibatkan anemia dengan defisiensi zat besi dan dapat mempengaruhi kualitas hidup. Penderita perdarahan uterus disfungsional akut biasanya datang dengan perdarahan banyak, sehingga cepat ditangani karena merupakan keadaan gawat darurat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis dengan perdarahan sedikit-sedikit dan berlangsung lama bukan merupakan keadaan gawat darurat. Meskipun tidak darurat tetapi perdarahan uterus disfungsional kronis justru memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh sehubungan dengan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya seperti anemia sekunder, yang dapat menganggu fungsi reproduksi. repr oduksi.
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Definisi
1,3
Perdarahan bukan haid adalah perdarahan yang terjadi dalam masa antar 2 haid. Perdarahan itu tampak terpisah dan dapat dibedakan dari haid atau 2 jenis perdarahan ini menjadi satu yaitu yang pertama metroragia dan yang kedua menometroragia. Metroragia adalah perdarahan antar siklus haid yang ireguler dan kadang dengan durasi yang lebih lama manakala menometrorhagia adalah perdarahan yang berlebihan dan durasi lama dengan interval yang lebih sering. Dysfunctional uterine bleeding (DUB) atau perdarahan uterus perdarahan
abnormal
yang
dapat
terjadi
di
dalam
siklus
disfungsional adalah maupun di luar siklus
menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus – hipofisis – ovarium
- endometrium), tanpa kelainan organik ( RCOG, 2007). Perdarahan ini juga
didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan/atau tidak teratur
tanpa adanya
patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan perdarahan umum.
2. 2
Siklus Menstruasi Normal
2,5,6,7,12,13,14
Menstruasi normal terjadi akibat turunnya kadar progesteron dari endometrium yang kaya
estrogen. Siklus menstruasi yang menimbulkan ovulasi disebabkan interaksi
kompleks antara berbagai organ. Disfungsi pada tingkat manapun dapat mengganggu ovulasi dan siklus menstruasi. Siklus menstruasi normal terjadi setiap 21-35 hari dan berlangsung
sekitar
2-7
hari.
Pada
saat
menstruasi,
jumlah
darah
yang hilang
diperkirakan 35-150 ml, biasanya berjumlah banyak hingga hari kedua dan selanjutnya berkurang sampai menstruasi berakhir (Wiknjosastro, dkk, 2007). Siklus menstruasi normal dapat dibagi menjadi 2 segmen yaitu, siklus ovarium (indung telur) dan siklus uterus (rahim). Siklus indung telur terbagi lagi menjadi 2 bagian, yaitu siklus folikular dan siklus luteal, sedangkan siklus uterus dibagi menjadi masa proliferasi (pertumbuhan) dan masa sekresi. Siklus haid normal adalah sekitar 28 dengan dan volume darah sekitar 33,3± 16ml. ( Winkjosastro,dkk, 2009 )
Perubahan di dalam rahim merupakan respon terhadap perubahan hormonal. Rahim terdiri dari 3 lapisan yaitu perimetrium (lapisan terluar rahim), miometrium (lapisan otot rehim, terletak di bagian tengah), dan endometrium (lapisan terdalam rahim). Endometrium adalah lapisan yang berperan di dalam siklus menstruasi. 2/3 bagian endometrium disebut desidua fungsionalis yang terdiri dari kelenjar, dan 1/3 bagian terdalamnya disebut sebagai desidua basalis. Siklus menstruasi normal berlangsung selama 21-35 hari, 2-8 hari adalah waktu keluarnya darah haid yang berkisar 20-60 ml per hari. Sistem hormonal yang mempengaruhi siklus menstruasi adalah: 1. FSH-RH ( follicle stimulating hormone releasing hormone) yang dikeluarkan hipotalamus untuk merangsang hipofisis mengeluarkan FSH 2. LH-RH (luteinizing hormone releasing hormone) yang dikeluarkan hipotalamus untuk merangsang hipofisis mengeluarkan LH 3. PIH ( prolactine inhibiting hormone) yang menghambat hipofisis untuk mengeluarkan prolaktin
Gambar 1 : gambar hormon siklus yang mempengaruhi siklus menstruasi
13
Pada setiap siklus menstruasi, FSH yang dikeluarkan oleh hipofisis merangsang perkembangan folikel-folikel di dalam ovarium (indung telur). Pada umumnya hanya 1 folikel yang terangsang namun dapat perkembangan dapat menjadi lebih dari 1, dan folikel tersebut berkembang menjadi folikel de graaf yang membuat estrogen. Estrogen ini menekan
produksi FSH, sehingga hipofisis mengeluarkan hormon yang kedua yaitu LH. Produksi hormon LH maupun FSH berada di bawah pengaruh releasing hormones yang disalurkan hipotalamus ke hipofisis. Penyaluran RH dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik estrogen terhadap hipotalamus. Produksi hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang baik akan menyebabkan pematangan dari folikel de graaf yang mengandung estrogen. Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dari endometrium. Di bawah pengaruh LH, folikel de graaf menjadi matang sampai terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi, dibentuklah korpus rubrum yang akan menjadi korpus luteum, di bawah pengaruh hormon LH dan LTH ( luteotrophic hormones, suatu hormon gonadotropik). Korpus luteum menghasilkan progesteron yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kelenjar endometrium. Bila tidak ada pembuahan maka korpus luteum berdegenerasi dan mengakibatkan penurunan kadar estrogen dan progesteron. Penurunan kadar hormon ini menyebabkan degenerasi, perdarahan, dan pelepasan dari endometrium. Proses ini disebut haid atau menstruasi. Apabila terdapat pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut dipertahankan. Pada tiap siklus dikenal 3 masa utama yaitu: 1. Masa menstruasi yang berlangsung selama 2-8 hari. Pada saat itu endometrium (selaput rahim) dilepaskan sehingga timbul perdarahan dan hormon-hormon ovarium berada dalam kadar paling rendah 2. Masa proliferasi dari berhenti darah menstruasi sampai hari ke-14. Setelah menstruasi berakhir, dimulailah fase proliferasi dimana terjadi pertumbuhan dari desidua fungsionalis untuk mempersiapkan rahim untuk perlekatan janin. Pada fase ini endometrium tumbuh kembali. Antara hari ke-12 sampai 14 dapat terjadi pelepasan sel telur dari indung telur (disebut ovulasi) 3. Masa sekresi. Masa sekresi adalah masa sesudah terjadinya ovulasi. Hormon progesteron dikeluarkan dan mempengaruhi pertumbuhan endometrium untuk membuat kondisi rahim siap untuk implantasi (perlekatan janin ke rahim)
Siklus ovarium : 1. Fase folikular. Pada fase ini hormon reproduksi bekerja mematangkan sel telur yang berasal dari 1 folikel kemudian matang pada pertengahan siklus dan siap untuk proses ovulasi (pengeluaran sel telur dari indung telur). Waktu rata-rata fase folikular pada manusia berkisar 10-14 hari, dan variabilitasnya mempengaruhi panjang siklus menstruasi keseluruhan 2. Fase luteal. Fase luteal adalah fase dari ovulasi hingga menstruasi dengan jangka waktu rata-rata 14 hari. Folikel menjadi korpus luteum. Mulai 10-12 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi secara perlahan-lahan.
Gambar 2 : Gambar perubahan hormon selama siklus menstruasi
14
Siklus hormonal dan hubungannya dengan siklus ovarium serta uterus di dalam siklus menstruasi normal:
1. Setiap permulaan siklus menstruasi, kadar hormon gonadotropin (FSH, LH) berada pada level yang rendah dan sudah menurun sejak akhir dari fase luteal siklus sebelumnya 2. Hormon FSH dari hipotalamus perlahan mengalami peningkatan setelah akhir dari korpus luteum dan pertumbuhan folikel dimulai pada fase folikular. Hal ini merupakan pemicu untuk pertumbuhan lapisan endometrium 3. Peningkatan level estrogen menyebabkan feedback negatif pada pengeluaran FSH hipofisis. Hormon LH kemudian menurun sebagai akibat dari peningkatan level estradiol, tetapi pada akhir dari fase folikular level hormon LH meningkat drastis (respon bifasik) 4. Pada akhir fase folikular, hormon FSH merangsang reseptor (penerima) hormon LH yang terdapat pada sel granulosa, dan dengan rangsangan dari hormon LH, keluarlah hormon progesteron 5. Setelah perangsangan oleh hormon estrogen, hipofisis LH terpicu yang menyebabkan terjadinya ovulasi yang muncul 24-36 jam kemudian. Ovulasi adalah penanda fase transisi dari fase proliferasi ke sekresi, dari folikular ke luteal 6. Kedar estrogen menurun pada awal fase luteal dari sesaat sebelum ovulasi sampai fase pertengahan, dan kemudian meningkat kembali karena sekresi dari korpus lutk mempersiapkan siklus berikutnya. Fase – fase dalam siklus menstruasi
Setiap satu siklus menstruasi terdapat 4 fase perubahan yang terjadi dalam uterus. Fase-fase ini merupakan hasil kerjasama yang sangat terkoordinasi antara hipofisis anterior, ovarium, dan uterus. Fase-fase tersebut adalah : 1. Fase Menstruasi : fase endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai perdarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Fase ini biasanya berlangsung selama 3 – 4 hari. 2. Fase Pasca menstruasi : Fase ini, terjadi penyembuhan luka akibat lepasnya endometrium. Kondisi ini mulai sejak fase menstruasi terjadi dan berlangsung selama ± 4 hari. 3. Fase proliferasi : Setelah luka sembuh, akan terjadi penebalan pada endometrium ± 3,5 mm. Fase ini berlangsung dari hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus menstruasi.
4. Fase sekresi : Fase ini berlangsung dari hari ke-14 sampai ke-28. Fase ini endometrium kira-kira tetap tebalnya, tetapi bentuk kelenjar berubah menjadi panjang berkelok-kelok dan mengeluarkan getah yang makin lama makin nyata. Bagian dalam sel endometrium terdapat glikogen dan kapur yang diperlukan sebagai bahan makanan untuk telur yang dibuahi. 2.3 Patofisiologi
6,8
Patologi DUB bervariasi. Gambaran penting salah satu kelompok DUB adalah gangguan aksis hipotalamus - pituitari - ovarium sehingga anovulatorik. Kurangnya
progesteron
meningkatkan
menimbulkan
siklus
stimulasi esterogen terhadap
endometrium. Endometrium yang tebal berlebihan tanpa pengaruh progestogen, tidak stabil dan terjadi pelepasan irreguler. Secara umum, semakin lama anovulasi maka semakin besar resiko perdarahan yang berlebihan. Ini adalah bentuk DUB yang paling sering ditemukan pada gadis remaja (Ely, et al, 2006; Walden, 2006).
6
Korpus luteum defektif yang terjadi setelah ovulasi dapat menimbulkan DUB ovulatori. Hal ini menyebabkan stabilisasi endometrium yang tidak adekuat, yang kemudian lepas secara irreguler. Pelepasan yang irreguler ini terjadi jika terdapat korpus luteum persisten dimana dukungan progestogenik tidak menurun setelah 14 hari sebagaimana normalnya, tetapi terus berlanjut diluar periode tersebut. Ini disebut DUB ovulatori. Secara garis besar, kondisi di atas dapat terjadi pada siklus ovulasi (pengeluaran sel telur/ovum dari indung telur), tanpa ovulasi maupun keadaan lain, misalnya pada wanita premenopause (folikel persisten). Sekitar 90% perdarahan uterus disfungsional (perdarahan rahim) terjadi tanpa ovulasi (anovulation) dan 10% terjadi dalam siklus ovulasi (Behera, et al , 2006).
2.3.1
8
DUB pada siklus ovulasi
6
DUB pada siklus ovulasi adalah perdarahan rahim yang bisa terjadi
pada
pertengahan menstruasi maupun bersamaan dengan waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi
karena rendahnya kadar hormon estrogen, sementara hormon progesteron tetap
terbentuk. Ovulasi abnormal (DUB ovulatori) terjadi pada 15 - 20 % pasien DUB dan mereka memiliki endometrium sekretori yang menunjukkan adanya ovulasi setidaknya intermitten jika tidak reguler. Pasien ovulatori dengan perdarahan abnormal lebih sering memiliki patologi organik yang mendasari, dengan demikian mereka bukan pasien DUB
sejati menurut definisi tersebut (Schrager, 2002). Secara umum, DUB ovulatori sulit untuk diobati secara medis (RCOG, 2007). 2.3.2
DUB pada siklus tanpa ovulasi (anovulation )
2,4,6
DUB pada siklus tanpa ovulasi adalah perdarahan pada
masa
ovulasi,
pre-menopause
sehingga
progesteron
kadar
rendah.
dan
masa reproduksi.
hormon
rahim
Hal
yang
ini
karena
estrogen berlebihan
Akibatnya
dinding
sering
terjadi
tidak
terjadi
sedangkan
hormon
rahim (endometrium) mengalami
penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti penyangga (kaya pembuluh darah dan kelenjar) yang memadai. Kondisi inilah penyebab terjadinya perdarahan rahim karena dinding rahim yang rapuh. Anovulasi kronik adalah penyebab DUB yang paling sering. Keadaan anovulasi kronik menerus terjadi
akibat
stimulasi
esterogen
terhadap
endometrium
terus
yang menimbulkan pelepasan irreguler dan perdarahan. Anovulasi sering pada
gadis perimenarche.
menimbulkan
Setiap
kelenjar, progesteron
esterogen
yang
lama
dapat
pertumbuhan endometrium yang melebihi suplai darahnya dan terjadi
perkembangan kelenjar, stroma, dan sinkron.
Stimulasi
stroma,
kegagalan
darah
produksi progesteron
dan
disebabkan
pembuluh
pembuluh berbagai
endometrium juga
dapat
darah endometrium.
etiologi
yang
tidak
mempengaruhi
Kegagalan
produksi
penyakit
thiroid,
endokrin seperti
hiperprolaktinemia, dan tumor ovarium yang menghasilkan hormon, penyakit Cushing, dan yang paling penting adalah sindroma ovarium polikistik atau sindroma Stein – Leventhal (RCOG, 2007).
2.4
Gambaran Klinis DUB
2
Polymenorrhea (Sering,teratur dengan siklus kurang dari 21 hari)
Hypermenorrhea (Perdarahan yang banyak dalam siklus nomal)
Menorrhagia (Perdarahan yang lama dan banyak dalam siklus teratur)
metrorrhagia (Perdarahan yang terjadi diluar siklus biasan ya)
menometrorrhagia (Perdarahan yang sering,dengan perdarahan yang banyak serta waktu yang memanjang diluar siklus yang biasanya)
Perdarahan rahim yang dapat terjadi setiap saat dalam siklus menstruasi. Jumlah perdarahan
bisa
sedikit dan
terus - menerus
atau
banyak dan berulang. Kejadian
tersering pada menarche (atau menarke: masa awal seorang wanita mengalami menstruasi) atau masa pre-menopause. 2.4.1
DUB pada siklus ovulasi
6
Karakteristik DUB bervariasi, mulai dari perdarahan banyak tapi jarang, hingga spotting atau perdarahan yang terus menerus. Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan (oligomenorea).
siklus
Untuk menegakan diagnosis
pendek (polimenorea) perlu
atau
dilakukan kerokan
panjang
pada
mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur sehingga haid
tidal
lagi
dikenali
masa siklus
maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat
menolong (Strictland and Wall, 2006). Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa ada sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologi: 1. Korpus luteum persistens yaitu dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang bersamaan
dengan
ovarium
membesar.
Dapat
juga
menyebabkan
pelepasan
endometrium tidak teratur. 2.
Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia atau polimenorea. gangguan
Dasarnya
LH
ialah
releasing
kurangnya produksi
faktor.
Diagnosis
progesteron
dibuat,
apabila
disebabkan oleh hasil
biopsi
endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan. 3. Apopleksia uteri: pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah dalam uterus. 4.
Kelainan darah seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam mekanisme pembekuan darah.
(RCOG, 2007)
2.4.2
6
DUB pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)
Perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu bagian baru sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya. Jadilah perdarahan rahim berkepanjangan (Wiknjosastro, dkk, 2007). Pada tipe ini berhubungan dengan fluktuasi kadar estrogen dan jumlah folikel yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia dan kemudian diganti oelh folikel-folikel baru . Endometrium
dibawah pengaruh estrogen akan tumbuh terus, dan dari endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium hiperplastik kistik. Jika gambaran ini diperoleh pada saat kerokan dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatoar (Schrager, 2005). Biasanya
perdarahan disfungsional ini terjadi pada masa pubertas dan masa
pramenopause. Pada masa pubertas terjadi sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan lancar. Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan bahwa
lambat
laun
keadaan
menjadi
normal
dan
siklus
haid
menjadi
ovulatoar. Sedangkan pada wanita dewasa dan terutama dalam masa pramenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas (Strictland and Wall, 2006).
2.5
Faktor Penyebab
6
Hingga saat ini penyebab pasti perdarahan rahim disfungsional (DUB) belum diketahui secara pasti. Beberapa kondisi yang dikaitkan dengan perdarahan rahim disfungsional, antara lain :
Kegemukan (obesitas)
Faktor psikis
Alat kontrasepsi hormonal
Alat kontrasepsi dalam rahim (intra uterine devices)
Beberapa penyakit dihubungkan dengan
perdarahan
rahim (DUB),
misalnya:
trombositopenia (kekurangan trombosit atau faktor pembekuan darah), diabetes melitus, dan lain-lain
Walaupun jarang, perdarahan rahim dapat terjadi karena: tumor organ reproduksi, kista ovarium ( polycystic ovary disease), infeksi vagina, dan lain-lain.
(RCOG, 2007)
2.6
Diagnosis
8,10,11
Anamnesis
dan
pemeriksaan
klinis
yang
lengkap
harus
dilakukan
dalam
pemeriksaan pasien. Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penyakit
sistemik, maka penyelidikan lebih jauh mungkin diperlukan. Abnormalitas pada pemeriksaan pelvis harus diperiksa dengan USG dan laparoskopi jika diperlukan. Perdarahan
siklik
(reguler) didahului oleh tanda premenstruasi (mastalgia, kenaikan berat badan karena meningkatnya cairan tubuh, perubahan mood, atau kram abdomen) lebih cenderung bersifat ovulatori. Sedangkan, perdarahan lama yang terjadi dengan interval tidak teratur setelah mengalami amenore berbulan - bulan, kemungkinan bersifat anovulatori. (RCOG,2007) Peningkatan suhu basal tubuh (0,3 - 0,6 ºC), peningkatan kadar progesteron serum (> 3 µg/ml) dan atau perubahan sekretorik pada endometrium yang terlihat pada biopsi yang dilakukan saat onset perdarahan, semuanya merupakan bukti ovulasi. Diagnosis
DUB
setelah eksklusi penyakit organik traktus genitalia, terkadang menimbulkan kesulitan karena tergantung pada apa yang dianggap sebagai penyakit organik, dan tergantung pada sejauh mana penyelidikan dilakukan untuk menyingkirkan penyakit traktus genitalia (Behera, et al , 2006). Pasien berusia dibawah 40 tahun memiliki resiko yang sangat rendah mengalami karsinoma endometrium, jadi pemeriksaan patologi endometrium bukan keharusan. Pengobatan
medis
dapat
digunakan
sebagai
pengobatan
lini
pertama
dimana
penyelidikan secara invasif dilakukan hanya jika gejala menetap. Resiko karsinoma endometrium pada pasien DUB perimenopause
adalah sekitar 1%. Jadi, pengambilan
sampel endometrium penting dilakukan. Pemer ik saan F isik
Pada pemeriksaan umum dinilai adanya hipo/hipertiroid dan gangguan homeostasis seperti ptekie, selain itu perlu diperhatikan tanda-tanda yang menunjuk kearah kemungkinan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit menahun dan lain-lain. Pada pemeriksaan ginekologik perlu dilihat apakah tidak ada kelainan-kelainan organik, yang menyebabkan perdarahan abnormal (polip, ulkus, tumor, kehamilan terganggu)1
Pemer ik saan penu nj ang:
1. Pemeriksaan darah: Hemoglobin, uji fungsi thiroid , dan kadar HCG, FSH, LH, Prolaktin dan androgen serum jika ada indikasi atau skrining gangguan perdarahan jika ada tampilan yang mengarah kesana. 2. Transvaginal sonografi dilakukan bila wanita memiliki:
Umur ≥ 35
Memiliki risiko untuk mendapat kanker endometrium seperti diabetes, sindrom polikistik ovari, anovulasi eugonodal kronik, hirsutism, kondisi ketidakstabilan estrogen yang berkepanjangan.
Perdarahan terus - terusan walaupun dengan terapi hormon empirik.
Organ pelvik yang tidak bisa diperiksa secara adekuat sewaktu pemeriksaan f isik.
Bukti klinis mengarah ke abnormalitas ovari atau uterus.
Gambar 3 : Gambar Transvaginal sonografi 15 Transvaginal USG bisa mendeteksi abnormalitas struktur termasuk polip, fibroid, masa lain, kanker endometrial dan area yang mengalami penebalan fokal endometriosis. Sonohisterografi yaitu USG setelah dimasukkan saline ke uterus berguna dalam menentukan samada perlu dilakukan histeroskopi (pemeriksaan yang lebih invasif) dan merancang reseksi masa intraunterine. 3.
Deteksi
patologi
endometrium
melalui
histeroskopi.
Wanita
tua
gangguan
dengan
(a) dilatasi menstruasi,
dan
kuretase
wanita
dan
muda
(b)
dengan
perdarahan tidak teratur atau wanita muda (< 40 tahun) yang gagal berespon terhadap pengobatan
harus
menjalani
sejumlah
traktus genitalia mungkin terlewatkan
pemeriksaan bahkan saat
endometrium. Penyakit organik kuretase. Maka penting
untuk
melakukan kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai pada seluruh kasus perdarahan uterus abnormal berulang atau berat. Pada wanita yang
memerlukan
investigasi,
histeroskopi
lebih
sensitif
dibandingkan
dilatasi dan kuretase dalam mendeteksi
abnormalitas endometrium. Pada wanita yang memerlukan investigasi, histeroskopi (biopsi secara langsung) lebih sensitif dibandingkan dilatasi dan kuretase dalam mendeteksi abnormalitas endometrium. Histereskopi hanya bisa dilakukan jika terapi medikamentosa gagal, perdarahan menstruasi persisten irreguler/ persistent erratic menstrual bleeding atau transvaginal saline sonografi menunjukkan patologi intrauterine lokal seperti polip atau mioma. Wanita dengan umur lebih 40 tahun atau dengan berat badan sama atau lebih dari 90kg lebih sering digunakan tehnik ini untuk mendapatkan sampel karena risiko untuk mendapat kanker lebih tinggi dan untuk menyingirkan kemungkinan penyebab-penyebab memerlukan tes yang banyak dan masa lebih lama.7
Gambar 4 : Hysteeroscopy15 Laparoskopi: Laparoskopi bermanfaat pada wanita yang tidak berhasil dalam uji coba terapeutik. (Behera, et al , 2006)
2.7
Penatalaksanaan
8
Setelah menegakkan diagnosa dan setelah menyingkirkan berbagai kemungkinan kelainan organik, teryata tidak ditemukan penyakit lainnya, maka langkah selanjutnya adalah melakukan prinsip-prinsip pengobatan sebagai berikut: 1. Menghentikan perdarahan. 2. Mengatur menstruasi agar kembali normal 3. Transfusi jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 8 gr%.
2.7.1
Menghentikan perdahan
8,9,16
Menurut The Royal College of Obstetricians and Gynecologist (2007), langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut:
Ku r et (cur ettage)
Hanya untuk wanita yang sudah menikah. Tidak bagi gadis dan tidak bagi wanita menikah tapi belum sempat berhubungan intim.
Obat (medik amentosa)
1. Golongan estrogen. Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya: estradiol valerat (nama generik) yang relatif menguntungkan karena tidak membebani kerja liver dan tidak menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain, misalnya: etinil estradiol, tapi obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver. Dosis dan cara pemberian:
Estrogen konjugasi (estradiol valerat): 2,5 mg diminum selama 7-10 hari.
Benzoas estradiol: 20 mg disuntikkan intramuskuler. (melalui bokong)
Jika perdarahannya banyak, dianjurkan masuk Rumah Sakit (rawat inap), dan diberikan Estrogen
konyugasi
(estradiol
valerat):
25
mg
secara
intravena
(suntikan lewat selang infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat diulang tiap 34 jam. Tidak boleh lebih 4 kali sehari. Estrogen intravena dosis tinggi (estrogen konjugasi 25 mg setiap 4 jam sampai perdarahan
berhenti)
akan
mengontrol
secara
akut
melalui
perbaikan
proliferatif
endometrium dan melalui efek langsung terhadap koagulasi, termasuk peningkatan fibrinogen dan agregasi trombosit. Terapi
estrogen
bermanfaat
menghentikan
perdarahan khususnya pada kasus endometerium atrofik atau inadekuat. Estrogen juga diindikasikan pada kasus DUB sekunder akibat depo progestogen (Depo Provera). Kekurangan dari terapi ini adalah bahwa setelah suntikan dihentikan, perdarahan dapat timbul lagi (Schrager, 2006). 2. Obat Kombinasi Terapi siklik merupakan terapi yang paling banyak digunakan dan paling efektif. Pengobatan
medis
ditujukan
pada
pasien
dengan
perdarahan
yang
banyak
atau
perdarahan
yang
terjadi
setelah
beberapa
bulan
amenore.
Cara
terbaik
adalah
memberikan kontrasepsi oral ; obat ini dapat dihentikan setelah 3 - 6 bulan dan dilakukan observasi untuk melihat apakah telah timbul pola menstruasi yang normal. Banyak pasien yang mengalami anovulasi kronik dan diperlukan pengobatan berkelanjutan (Ely,et al , 2006). Paparan estrogen kronik dapat menimbulkan perdarahan endometrium selama penarikan progestin. Oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan pengobatan menggunakan kombinasi kontrasepsi oral dengan regimen menurun secara bertahap. Dua hingga empat pil diberikan setiap hari, setiap enam hingga duabelas jam, selama 5 sampai 7 hari untuk mengontrol perdarahan akut. Formula ini biasanya mengontrol perdarahan akut dalam 24 hingga 48 jam; penghentian obat akan menimbulkan perdarahan berat. Pada hari ke-5 mulai diberikan kontrasepsi oral siklik dosis rendah dan diulangi selama 3 siklus agar terjadi regresi teratur endometrium yang berproliferasi berlebihan. Cara lain, dosis pil kombinasi dapat diturunkan bertahap (4 kali sehari, kemudian 3 kali sehari, kemudian 2 kali sehari) selama 3 hingga 6 hari, dan kemudian dilanjutkan sekali setiap hari (Ely, et al , 2006). Kombinasi kontrasepsi oral menginduksi atrofi endometrium, karena paparan estrogen progestin kronik akan menekan gonadotropin pituitari dan menghambat steroidogenesis endogen. Kombinasi ini berguna untuk tatalaksana DUB ja ngka panjang pada pasien tanpa kontraindikasi dengan manfaat tambahan yaitu mencegah kehamilan. Khususnya untuk
pasien
endometrium mengontrol
perimenarche, basal,
perdarahan
berat
yang
lama
dapat mengelupaskan
sehingga tidak responsif terhadap progestin. Kuretase untuk
perdarahan dikontraindikasikan karena tingginya resiko terjadinya sinekia
intrauterin (sindroma Asherman) jika endometrium basal dikuret. Kontrasepsi oral aman pada wanita hingga usia 40 dan diatasnya yang tidak obesitas, tidak merokok dan tidak hipertensi. 3. Golongan progesteron Pertimbangan di sini ialah bahwa sebagian besar perdarahan fungsional bersifat anovulatoar, sehingga pemberian obat progesteron mengimbangi pengaruh estrogen terhadap endometrium. Obat untuk jenis ini, antara lain:
Medroksi progesteron asetat (MPA): 10-20 mg per hari, diminum selama 7-10 hari.
Norethisteron: 3×1 tan blet, diminum selama 7-10 hari. Kaproas hidroksi-progesteron 125 mg secara intramuskular.
4. AINS (anti inflamasi non steroid) Menorragia dapat dikurangi dengan obat anti inflamasi non steroid. Fraser dan Shearman membuktikan bahwa AINS paling efektif jika diberikan selama 7 hingga 10 hari sebelum onset menstruasi yang diharapkan pada pasien DUB ovulatori, tetapi umumnya dimulai pada onset menstruasi dan dilanjutkan selama espisode perdarahan dan berhasil baik. Obat ini mengurangi kehilangan darah selama menstruasi (mensturual blood loss/MBL dan manfaatnya paling besar pada DUB ovulatori dimana jumlah pelepasan prostanoid paling tinggi (Slap, 2003).
2.7.2
Mengatur menstruasi agar kembali normal
6
Setelah perdarahan berhenti, langkah selanjutnya adalah pengobatan untuk mengatur siklus menstruasi, misalnya dengan pemberian: Golongan progesteron: 2×1 tablet diminum selama 10 hari. Minum obat dimulai pada hari ke 14-15 menstruasi (Strictland and Wall, 2003).
2.7.3
Transfusi jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%.
6
Terapi ini mengharuskan pasien untuk menginap di Rumah Sakit atau klinik. Satu kantong darah (250 cc) diperkirakan dapat menaikkan kadar hemoglobin (Hb) 0,75 gr%. Ini berarti, jika kadar Hb ingin dinaikkan menjadi 10 gr% maka kurang lebih diperlukan 4 kantong darah (Strictland and Wall, 2003).
Algoritma Tatalaksana PUD
10
Hb <7,5 g/dL
Hb masih dalam batas normal
Infus RL, oksigen dan transfusi darah -Estrogen konjugasi 2,5mg PO setiap 6 jam - Prometasin 25mg PO/IM setiap 46jam/kebutuhan
Perdarahan akut berhenti:
-asam traneksamat 3x1g
-Obat Kombinasi : ulang siklus 3 bulan
-asam mafenamat 3x500mg (jika nyeri)
-Kontraindikasi: Progestin selama
-dilatasi & kuratase (D&K) (jika masih
14 hari, berhenti selama 14 hari.
berdarah dalam 12-24jam)
Ulangi 3 bulan
Respon adekuat
Ya
Teruskan pengobatan/berhenti: sesuai
Tidak
-USG TV/SIS -biopsi endometrium
keinginan pasien
-ablasi endometrium -reseksi histereskopi -histerektomi
2. 8 Prognosis
Dubia ad bonam bila segera ditangani
2.9
RINGKASAN
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau dysfunctional uterine bleeding ( DUB ) adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi tanpa penyakit organik, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus - hipofisis - ovarium axis). PUD merupakan penyebab utama perdarahan vaginal abnormal sepanjang usia reprodutif wanita; menarche dan premenopause. Anamnesis, pemeriksaan laboratorium dan penunjang yang terarah penting dalam menegakkan diagnosa dan merancang terapi. Evaluasi dan mengikuti perkembangan pasien selama terapi penting untuk melihat keberhasilan terapi. Pengobatan medis dapat digunakan sebagai pengobatan lini pertama dimana penyelidikan secara invasif dilakukan hanya jika simptom menetap.
10
DAFTAR PUSTAKA
1.
Behera M, Elia G, Price, T, Queenan J. 2006. Dysfunctional Uterine Bleeding . Online: www.emedicine.com. Diakses tanggal 4 April 2014
2.
Wiknjoksastro, Hanifa, dkk. 2007. Ilmu Kandungan Ed 2, Cet 5. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
3.
Gale Encyclopedia of Medicine. Copyright 2008 The Gale Group, Inc. All rights reserved.Diunduhdar ihttp://medicaldictionary.thefreedictionary.com/Abnormal+uteri ne+bleeding.
4.
A Estephan, MD. Dysfunctional uterine bleeding in emergency medicine. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/795587-overview#a0104
5.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2007: 103-113
6.
J V Pinkerton, MD. Dysfunctional uterine bleeding (DUB). Diunduh dari http://www.merckmanuals.com/professional/gynecology_and_obstetrics/menstrual_a bnormalities/dysfunctional_uterine_bleeding_dub.html#v1062277 24 Oktober 2012
7.
J O Schorge, J I Schaffer, L M Halvorson, B L Hoffman, K D Bradshaw, F G Cunningham, et al. Reproductive endocrinology. Williams gynaecology. McGrawHill Co. Inc. China: 2008
8.
G A Vilos, MD. G Lefebvre, MD. G R Graves, MD. Guideline for the management abnormal
uterine
bleeding .
Diunduh
dari
http://www.sogc.org/guidelines/public/106E-CPG-April2014.pdf 9.
K Poppe. D Glinoer. B Velkenier. Thyroid autoimmunity and female infertility. Diunduh
dari
http://www.thyrolink.com/merck_serono_thyrolink/en/images/Thyroid-Inter-42008_tcm1553_84956.pdf?Version= 10.
A Hestiantoro SpOG, B Wiweko SpOG. Panduan tatalaksana perdarahan uterus disfungsional .
Himpunan
Perkumpulan
obstetri
endokrinologi-reproduksi
dan
ginekologi
Indonesia
dan
fertilitas
2007.
Indonesia.
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/97345251/Panduan-Tatalaksana-PUD 11.
Queenan, J. T., Elia, G. F. W., 2004. Dysfuntional Uterine Bleeding. Diakses dari http://www.emedicine.com/
12.
http://emedicine.medscape.com/article/795587-followup#a2651 diakses tanggal 5 April 2014 jam 14.21
13.
http://img.medscape.com/pi/emed/ckb/obstetrics_gynecology/252558-1336968276110-1622624.jpg diakses tanggal 5 April 2014 jam 11.00
14.
http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/menstrual-cycle-gynecologylecture.html diakses tanggal 5 April 2014 jam 13.10
15.
http://burndownblog.files.wordpress.com/2011/05/vaginal-sonogram.jpg
diakses
tanggal 5 April 2014 jam 21.46 16.
Mansjoer, A., et al., 2006. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.