Diagnosis Gangguan Panik dan Penatalaksanaannya Ivanalia Soli Deo 112015170 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Koresponden:
[email protected] Abstrak Gangguan panik merupakan gangguan yang terutama ditandai dengan serangan panik berulang. Serangan panik terjadi secara spontan, tidak terduga dan sebenarnya merupakan suatu keadaan dimana secara objektif tidak ada bahaya. Serangan disertai gejala otonomik yang berat tertutama sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan. Akibat keluhan fisik yang berat pada waktu serangan, orang dengan gangguan panik akan cenderung menghindari tempat atau situasi dimana serangan panik pernah terjadi terutama tempat yang dinilai sulit untuk keluar dengan cepat saat terjadi serangan panik. Hal inilah yang sering dianggap sebagai penyebab terjadinya Agorafobia. Saat ini, penatalaksaan yang tersedia untuk serangan panik adalah penatalaksanaan secara farmakoterapi dan psikoterapi. Tujuan utama penatalaksanaan gangguan panik adalah untuk mengurangi atau mengeliminasi gejala serangan panik, mencegah dan mengantisipasi ansietas serta mengatasi keadaan komorbid yang menyertainya. Kata Kunci: gangguan panik, serangan panik, agorafobia Abstract Panic disorder is a disorder that primarilly characterized by recurrent panic attacks. Panic attack occur spontaneously, unexpected and in fact there is no danger situation. Panic attacks are accompanied by autonomic symptms, especially the cardiovascular system and respiratory system. As a result of severe physical complaints at the time of the attacks, people with panic disorder will tend to avoid places or situations where panic attacks have occurred, mainly place considered difficult to get out quickly during a panic attack. It is often regarded as the cause of Agoraphobia. Currently, treatment available fot panic attacks are pharmacotherapy and psycotherapy. The main objective treatment of panic disorder is to reduce or eliminate the symptoms of panic attacks, prevent and anticipate anxiety, and resolve the comorbid. Key Words: panic disorder, panic attack, agoraphobia Pendahuluan Diantara beberapa gangguan cemas yang dikenal, gangguan panik merupakan gangguan yang lebih sering dijumpai akhir-akhir ini. 1 Gangguan panik merupakan gangguan yang terutama ditandai dengan serangan panik berulang. Serang panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, terdiri atas periode rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya seikit serangan selama satu tahun. Serangan panik yang terjadi disertai gejala otonomik terutama sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan. Gejala yang timbul akan mirip dengan gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di dada, berdebardebar, keringat dingin, hingga merasa seperti tercekik.2
Gangguan panik dialami oleh lebih kurang 1.7% dari populasi orang dewasa di negara barat. Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat menggambarkan berapa jumlah individu yang mengalami gangguan panik, namun para profesional merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang datang mencari pertolongan.1 Pasien gangguan panik sering ditemukan pada mereka yang berada pada usia produktif yakni antara 18-45 tahun. Selain itu penderita gangguan panik lebih umum ditemukan pada wanita, terutama mereka yang belum menikah serta wanita post-partum. Serangan panik jarang ditemukan pada wanita hamil.3 Pembahasan Definisi Panik berasal dari kata “pan” yaitu nama Dewa Yunani yang tinggal dipegunungan dan hutan serta mempunyai tingkahlaku yang sulit diramalkan. Ide terkait gangguan panik mungkin memiliki dasar dari catatan Jacob Mendes DaCosta yang menemukan gejala seperti serangan jantung yang ditemukan pada tentara dalam perang saudara di Amerika. Dalam sindrom DaCosta didapati gejala-gejala psikologis dan somatik yang saat ini masuk dalam kriteria diagnostik untuk gangguan panik. Pada tahun 1871 istilah agorafobia pertama kali dipakai untuk menggambarkan kondisi pasin yang takut pergi ketempat-tempat umum sendirian. Agorafobia berasal dari bahasa Yunani “agora” dan “phobos” yang berarti takut terhadap situasi atau suasana pasar. Pada tahun 1895 deskripsi gangguan panik pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam kasus agorafobia.4 Gangguan panik saat ini didefinisikan sebagai gangguan yang ditandai dengan serangan panik berulang. Serang panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, terdiri atas periode rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu tahun.2 Serangan panik dapat terjadi meskipun secara objektif tidak ada bahaya.5 Serangan panik disertai gejala otonomik terutama sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan, diantaranya rasa nyeri di dada, sesak nafas, berdebardebar, tremor, dan pusing.2 Gangguan panik sering juga disebut anxietas paroksismal episodik.5 Epidemiologi Gangguan panik dialami oleh lebih kurang 1.7% dari orang dewasa di negara-negara barat.1 Angka kejadian sepanjang hidup untuk gangguan panik adalah 1.5-5% dan untuk serangan panik adalah 3-5.6%.2 Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat menggambarkan berapa jumlah individu yang mengalami gangguan panik, namun para profesional merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang datang meminta pertolongan. 1
Jenis kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena dari pada laki-laki, walaupun kurangnya diagnosis gangguan panik pada laki-laki mungkin berperan dalam distribusi yang tidak sama tersebut.2 Perbedaan antara kelompok Hispanik, kulit putih non-Hispanik, dan kulit hitam adalah sangat kecil. Faktor sosial satu-satunya yang dikenali berperan dalam perkembangan gangguan panik adalah riwayat perceraian atau perpisahan yang belum lama. Gangguan paling sering berkembang pada dewasa muda - usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun. Tetapi baik gangguan panik maupun agorafobia dapat berkembang pada setiap usia. Sebagai contohnya. gangguan panik telah dilaporkan terjadi pada anak-anak dan remaja. dan kemungkinan kurang diagnosis pada mereka.2 Etiologi I. Faktor Biologis Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah menghasilkan berbagai temuan; satu interpretasi adalah bahwa gejala gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam struktur otak dan fungsi otak.2 Pada otak pasien dengan gangguan panik beberapa neurotransmiter mengalami gangguan fungsi, yaitu serotonin GABA (Gama Amino Butiric Acid) dan norepinefrin. Hal ini didukung oleh fakta bahwa Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) efektif pada terapi pasien-pasien dengan gangguan cemas, termasuk gangguan panik.1 Sistem saraf otonomik pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli yang berulang dan berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang sedang.2 Serangan panik merupakan respons terhadap rasa takut yang terkondisi yang ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdaa, korteks prefrontal dan hipokampus, yang berperan terhadap timbulnya panik. Dalam model ini, seorang dengan gangguan panik menjadi takut akan terjadi serangan panik.1 Terdapat beberapa zat yang dapat menginduksi terjadinya serangan panik (panicogens). Diantaranya adalah: carbon dioksida (5-35%), sodium laktat dan bicarbonat, bahan neurokimiawi yang bekerja melalui sistem neurotransmiter spesifik (yohimbin, α2-adrenergik receptor antagonist, mchlorophenylpiperazine/mCP, bahan yang berefek sero-tonergik), cholecytokinin dan caffein, serta isoproterenol. Zat-zat tersebut diduga mempengaruhi sistem noradrenergik, serotonergik dan reseptor GABA dalam susunan syaraf pusat secara langsung.6
II. Faktor Genetika Gangguan panik memiliki keterlibatan komponen genetika yang jelas. Angka prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan panik. Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan resiko gangguan panik sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat pertama pasien dengan gangguan panik dibandingkan dengan sanak saudara derajat pertama dari pasien dengan gangguan psikiatrik lainnya. Demikian juga pada kembar monozigot.1,2 III.
Faktor Psikososial Baik teori kognitif perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan untuk menjelaskan
patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori kognitif perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau melalui proses pembiasan klasik. Teori psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan. Apa yang sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan ringan menjadi suatu perasaan ketakutan yang melanda, lengkap dengan gejala somatik.2 Pada pasien-pasien dengan gangguan panik, terdapat kesulitan dalam mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi nirsadar yang terkait. Misalnya pasien mempunyai harapan dapat melakukan balas dendam terhadap orang tertentu. Harapan ini merupakan suatu ancaman terhadap figur yang melekat. Pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki gaya kelekatan yang bermasalah, dalam bentuk preokupasi terhadap kelekatannya itu. Mereka sering berpandangan bahwa perpisahan dan kelekatan sebagai suatu yang mutually exclusive; hal ini karena sensitivitas yang tinggi baik akan kehilangan kebebasan maupun kehilangan akan rasa aman dan perlindungan. Kesulitan ini tampak dalam keseharian pasien yang cenderung menghindari perpisahan dan pada saat yang sama menghindari kelekatan yang intens.1 Banyak pasien menggambarkan serangan panik seperti timbul tiba-tiba, dengan tidak adanya
faktor
psikologis
yang
terlibat.
Tetapi
eksplorasi
psikodinamik
sering
mengungkapkan penginduksi psikologis serangan panik yang jeas. Walaupun serangan panik secara neurofisiologis berhubungan dengan locus ceruleus, awitan panik umumnya terkait dengan faktor lingkungan atau psikologis. Pasien dengan gangguan panik memiliki isiden yang lebih tinggi mengalmi peristiwa hidup yang penuh tekanan, khususnya kehilngan, dibandingkan subjek kontrol di bulan-bulan sebelum awitan gangguan panik. Lebih jauh, pasien secara khas mengalami penderita lebih hebat akan peristiwa hidup daripada subjek
kontrol.Riset membuktikan bahwa penyebab serangan panik cenderung melibatkan arti peristiwa yang menimbulkan stres secara tidak disadari serta bahwa patogenesis serangan panik dapat berkaitan dengan faktor neurofisiolois yang diceruskan reaksi psikologis.2 Perjalanan Penyakit1,2 Gangguan ini biasa dimulai pada akhir masa remaja, awal masa dewasa atau pada usia pertengahan. Pada umumnya tidak ditemukan stresor saat awitan, walaupun sering pula dihubungkan dengan adanya stresor psikososial. Gangguan panik biasanya berlangsung kronis, sangat bervariasi pada tiap pasien. Dalam jangka panjang, 30-40% pasien tidak lagi mengalami serangan panik, 50% mengalami gejala ringan sehingga tidak mempengaruhi kehidupannya. Sisanya masih mengalami gejala yang bermakna. Pada serangan pertama atau kedua, pasien sering mengabaikan dan baru menyadari setelah frekuensi dan intensitas bertambah. Hal ini juga dapat dipacu oleh konsumsi kafein dan nikotin yang berlebihan. Depresi sering menyertai, yaitu pada 40-80% kasus. Walaupun jarang terungkap ide bunuh diri, namun risiko tersebut meningkat dan 20-40% diantaranya juga mengkonsumsi alkohol atau zat lainnya. Sering terjadi perubahan perilaku, interaksi dalam keluarda dan hasil akademis dan pekerjaan mungkin dapat memburuk. Agorafobia yang terjadi pada gangguan panik akan reda bila gangguan paniknya mendapatkan terapi. Sebagian besar kasus agorafobia dianggap disebabkan gangguan panik. ketika gangguan panik diobati, agorafobia sering membaik seiring waktu. Untuk perbaikan agorafobia yang cepat dan sempurna, kadang-kadang diindikasikan terpai perilaku. Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering menimbulakn ketidakmampuan dan berifat kronis, serta gangguan depresif dan ketergantuangan alkohol sering mempesulit perjalanan gangguan. Tanda dan Gejala Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang. Serangan panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai gejala otonomik yang kuat, terutama sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan.1 Serangan sering dimulai selama 10 menit, gejala meningkat secara cepat.1,2 Kondisi cemas pada gangguan panik biasanya terjadi secara tiba-tiba, dapat meningkat hingga sangat tinggi disertai gejala-gejala yang mirip gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti tercekik. Hal ini dialami tidak terbatas pada situasi atau rangkaian kejadian tertentu dan biasanya tidak terduga sebelumnya. Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya menjadi sangat khawatir bahwa ia akan mengalami lagi keadaan tersebut (anticipatory anxiety). Hal itu membuatnya berulangkali berusaha mencari pertolongan dengan pergi ke rumah sakit terdekat.1
Gejala mental utama adalah rasa takut yang ekstrim dan rasa kematian serta ajal yang mengancam. Pasien biasnaya tidak mampu menyebutkan sumber rasa takutnya; mereka menjadi bingung dan memiliki masalah berkonsentrasi.2 Tanda fisik yang menyertai adalah takikardia, palpitasi, dispne dan berkeringat. Penderita akan segera berusaha keluar dari situasi tersebut dan mencari pertolongan. Serangan dapat berlangsung selama 20-30 menit, jarang sampai lebih dari satu jam. Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi, kesulitan bicara seperti gagap dan gangguan memori. Depresi, derealisasi dan depersonalisasi bisa dialami saat serangan panik. Sering pasien merasa seperti akan menjadi gila.1 Agorafobia yang dilami oleh pasien dengan gangguan panik menyebabkan penderita menolak untuk meninggalkan rumah ketempat yang sulit mendapatkan pertolongan. 1,2 Mereka akan lebih memilih ditemani anggota keluarga atau teman di jalan yang ramai, toko yang ramai, ruang tertutup (terowongan, lift, dsb), serta kendaraan tertutup (bus, pesawat, dsb). Perilaku seperti ini dapat menyebabkan masalah perkawinan yang dapat disalahdiagnosiskan sebagai masalah utama.2 Gejala penyerta lainnya adalah depresi, obsesif kompulsif dan pemeriksa harus waspada terhadap tendensi bunuh diri.1,2 Kriteria Diagnostik (PPDGJ III)5,7 Di dalam klasifikasi ini, suatu serangan panik yang terjadi pada suatu situasi fobik yang sudah ada dianggap sebagai ekspresi dari keparahan fobia tersebut. Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F40.-). Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan: a. Pada keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya. b. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable situations) c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode diantara serangan-serangan panik (meskipun demikian, umumnya dapat terjadi juga anxietas antisipatorik, yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi) Kriteria Diagnostik (DSM V)5,8
Berdasarkan kriteria diagnostik DSM V gangguan panik merupakan serangan panik berualang yang tak terduga atau ketidaknyamanan intes yang mencapai puncaknya dalam
beberapa menit diikuti dengan gejala. Selain itu untuk mendiagnosis serangan panik, kita harus menemukan minimal 4 gejala dari 13 gejala berikut ini: 1. Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat 2. Berkeringat 3. Gemetaran 4. Sensasi seperti sesak nafas 5. Perasaan tersedak atau leher serasa dicekik 6. Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada 7. Mual atau distress abdominal 8. Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan 9. Rasa panas dikulit, menggigil 10. Parestesi (mati rasa atau sensasi kesemutan) 11. Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri) 12. Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila 13. Takut mati Setidaknya satu serangan telah diikuti dari salah satu atau kedua hal berikut, dalam kurun waktu 1 bulan (atau lebih): 1. Kekahwatiran terus menerus terkait serangan panik dan konsekuensinya (misalnya kehilangan kendali, mengalami serangan jantung, atau menjadi “gila” 2. Perubahan maladaptif yang signifikan dalam perilaku yang berhubungan dengan serangan (misalnya perilaku untuk menghindari serangan panik seperti menggindari situasi asing). 3. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya penyalahgunaan obat) atau kondisi medis lainnya (misalnya hipertiroidisme, gangguan cardiopulmonary). 4. Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan sebagai gangguan mental lain (misalnya, serangan panik tidak terjadi hanya saat menanggapi situasi sosial yang ditakuti, seperti dalam gangguan kecemasan sosial: dalam menanggapi objek fobia, seperti pada fobia spesifik: dalam menanggapi obsesi, seperti pada gangguan obsesifkompulsif: dalam menanggapi pengingat peristiwa traumatis, seperti dalam gangguan stres pasca trauma: atau dalam menanggapi pemisahan dari tokoh keterikatan, seperti dalam gangguan kecemasan pemisahan). Diagnosis Banding Gangguan panik, harus dibedakan dari sejumlah kondisi medis yang mengasilkan simtomatologi serupa.4 Kapanpun seorang pasien, tanpa memandang usia atau faktor risiko, melapor ke ruang gawat darurat dengan gejala keadaan yang berpontensi fatal (contohnya infark miokardium), anamnesis medis yang lengkap harus didapatkan dan pemeriksaan fisik harus dilakukan, begitu pula dengan prosedur laboratorium. Ketika adanya keadaan yang
mengancam jiwa telah disingkirkan, kecurigaan klinisnya adalah gangguan panik. 2 Selain itu, kondisi seperti gangguan endokrin (hipotiroid dan hipertiroid), hipoglikemia episodik, disfungsi vestibular, zat tertentu, penyakit paru obstruksif, gangguan sistem jantung, memiliki gejala yang sama seperti gangguan panik sehingga sulit untuk dibedakan.4 Diagnosis banding pskiatri gangguan panik mencakup hipokondriasi, gangguan depersonalisasi, fobia sosial dan spesifik, gangguan stres pascatrauma, gangguan depresif, dan skizofrenia. Serangan panik yang terduga adalah tanda khas gangguan panik, serangan panik terikat situasi umumnya menunjukan suatu kondisi yang berbeda, seperti fobia sosial atau fobia spesifik (jika terpajan dengan situasi fobik), gangguan obsesif kompulsif (ketika mencoba menolak suatu kompulsi), atau gangguan depresif (ketika dipenuhi ansietas).2 Pemicu Panik3 Salah satu upaya untuk mengatasi gangguan panik adalah dengan cara menjauhkan pasien dari segala pemicu gangguan panik. Adapun beberapa pemicu gangguan panik antara lain: cedera (oleh sebab kecelakaan atau operasi), penyakit somatic, adanya konflik dengan orang lain, penggunaan ganja, penyalahgunaan stimulan (seperti caffeine, decongestant, cocaine dan obat-obatan simpatomimetik), berada pada tempat-tempat tertutup atau tempat umum (terutama pada gangguan panik yang disertai agoraphobia), penggunaan sertraline, sindrom putus obat golongan SSRI. Pada beberapa penelitian, gejala-gejala serangan panik sering timbul pada pasien penderita gangguan panik yang mengalami hiperventilasi, menginhalasi CO2, konsumsi caffeine, atau yang mendapat injekasi natrium laktat hipertonis atau larutan salin hipertonis, kolesistokinin, isoproterenol, fulamazenil, atau naltrexone. Penatalaksanaan Penatalaksanaan panik terdiri dari penatalaksanaan secara farmakoterapi dan psikoterapi.1 Tujuan utama penatalaksanaan gangguan panik adalah untuk mengurangi atau mengeliminasi gejala serangan panik, mencegah dan mengantisipasi ansietas serta mengatasi keadaan komorbid yang menyertainya.2 Penggunaan modalitas terapi harus diperhatikan dari segi faktor resiko serta keuntungan dari masing-masing terapi sesuai dengan kebutuhan masing-masing dari penderita. I. Farmakoterapi I.1
Golongan Obat9 Saat ini, obat anti-panik dibagi dalam empat golongan. Yaitu golongan trisiklik
(contohnya imipramine, clomipramine), golongan benzodiazepine (contohnya alprazolam),
golongan reversible inhibitors of monoamine oxydase-A (RIMA) (contohnya: moclobemide), dan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) (contohnya: sertaline, fluoxetine, paroxetine, fluvoxamine, citalopram). I.2 Sediaan Obat Anti-Panik dan Dosis Anjuran9 Nama Generik Imipramine Clomipramine Alprazolam Moclobemide Sertraline Fluoxetine
Nama Dagang Tofranil Anafranil Xanax Aurorix Zoloft Antiprestin
Sediaan Tab 25mg Tab 25mg Tab 0.25;0.5;1mg Tab 150mg Tab 50mg Caps 10;20mg
Dosis Anjuran 75-150mg/hari 75-150mg/hari 2-4mg/hari 300-600mg/hari 50-100mg/hari 20-40mg/hari
I.3 Mekanisme Kerja9 Mekanisme kerja obat anti-panik adalah menghambat reuptake serotonin pada celah sinaptik antar neuron, sehingga pada awalanya terjadi peningkatan serotonin dan sensitivitas reseptor (timbul gejala efek samping anxietas, agitasi, insomnia), sekitar 2 sampai 4 minggu, kemudian seiring dengan peningkatan serotonin terjadi penurunan sensitivitas reseptor (down regulation). Penurunan sensitivitas reseptor tersebut berkaitan dengan penurunan serangan panik (adrenergic overcivity) dan juga gejala depresi yang menyertai akan berkurang pula. Penurunan hipersensitivitas melalui dua fase tersebut disebut juga efek bifasik. Temuan mutahir menunjukan adanya komorbit antara gangguan obsesif komplusif, fobia sosial, dan gangguan panik. dihipotesiskan mereka berasal dari satu jenis gangguan dasar yaitu berkaitan dengan hipersensitivitas dari serotonergic receptors. I.4 Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis9 Semua jenis obat anti panik (Trisiklik, Benzodiazepin, Reversible Inhibitor of Monoamine Oxydase-A (RIMA), SSRI) sama efektifnya menanggulangi sindrom panik pada tahap sedang dan pada stadium awal dari gangguan panik. Bagi mereka yang sensetif terhadap efek samping golongan trisiklik atau adanya penyakit organik sebagai penyulit, dapat beralih ke golongan SSRI atau RIMA di mana efek samping relatif lebih ringan. Alprazolam merupakan obat yang paling kurang toksik dan “onset of action” yang lebih cepat. Mulai dengan dosis rendah, secara perlahan-lahan dosis dinaikkan dalam beberapa minggu untuk meminimalkan efek samping dan mencegah terjadinya toleransi obat. Dosis efektif dicapai dalam waktu 2-3 bulan. Apabila dosis tidak dinaikkan secara perlahan-lahan,
penderita tidak akan merasakan manfaatnya, atau malah akan mundur dari perkembangan yang sudah mulai membaik pada awal pengobatan dalam beberapa minggu. Dosis efektif untuk Alprazolam pada umumnya sekitar 4 mg/hari, pada beberapa kasus dapat mencapai 6 mg/hari. Untuk golongan Trisiklik, dosis efektif biasanya sekitar 150-200 mg/hari. Alprazolam umumnya telah mulai berkhasiat dalam waktu beberapa hari setelah pemberian obat, sedangkan Trisiklik/RIMA/ SSRI baru menunjukkan efek setelah pemberian 4-6 minggu. Imipramin atau Clomipramine dapat dimulai dengan 25-50 mg/hari, (dosis tunggal pada malam hari), dinaikkan secara bertahap dengan penambahan 25 mg/hari dengan selang waktu beberapa hari sampai 1 minggu, hingga tercapai dosis efektif yang mampu mengendalikan sindrom panik (biasanya sampai sekitar 150-200 mg/hari), dengan efek samping yang dapat ditoleransi oleh penderita. Dosis efektif dipertahankan sekitar 6 bulan, kemudian dikurangi perlahan-lahan sampai 1-2 bulan. Dosis pemeliharaan (maintenance) umumnya agak tinggi, meskipun sifatnya individual, Imipramin/Clomiperamin sekitar 100-200 mg/hari dan Setraline sekitar 100 mg/hari, serta bertahan untuk jangka waktu yang lama (1-2 tahun). Batas lamanya pemberian obat bersifat individual, umumnya selama 6 bulan sampai 12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi penderita sudah memungkinkan (bebas gejala dalam kurun waktu tertentu). Dalam 3 bulan setelah bebas obat sekitar 75% penderita menunjukkan gejala kambuh. Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semul diulangi untuk selama 2 tahun. Setelah itu diboba lagi diberhentikan perlahan-lahan dalam kurun waktu 3 bulan dan seterusnya. Ada beberapa penderita yang memerlukan pengonatan bertahun-tahun untuk mempertahankan bebas gejala dan bebas dari disabilitas. II. Psikoterapi II.1 Terapi Kognitif dan Perilaku Terapi kognitif dan perilaku merupakan terapi yang efektif untuk gangguan panik yang memerlukan usaha serta kerjasama dari terapis dan individu itu sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa psikoterapi ini mengungguli terapi secara farmakologis, beberapa yang lain mengatakan hal yang sebaliknya. Tetapi kombinasi farmakologi dan psikoterapi lebih efektif dibandingkan terapi itu secara tersendiri. Dua fokus utama terapi kognitif gangguan panik adalah instruksi mengenai keyakinan salah pasien dan informasi mengenai serangan panik. Instruksi mengenai keyakinan yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk salah mengartikan sensai tubuh ringan sebagai tanda khas akan terjadinya serangan panik,
ajal atau kematian. Informasi mengenai serangan panik mencakup penjelasan bahwa, ketika serangan panik terjadi, serangan ini terbatas waktu dan tidak mengancam nyawa.2 Terapi ini secara tidak langsung mengajak individu untuk membentuk kembali pola perilaku menjadi lebih rasional serta restrukturisasi kognitif. Individu dilatih untuk membuat daftar pengalaman harian serta cara individu dalam menyikapi berbagai peristiwa yang dialami dan dilakukan evaluasi setiap kali pertemuan. Pada sebuah penelitian mengenai perbandingan terapi kognitif dan perilaku dengan terapi perilaku itu sendiri, diperoleh fakta bahwa terapi kognitif dan perilaku, keduanya menjadi kombinasi terapi yang lebih unggul secara bersama-sama dibandingkan dengan terapi perilaku secara tunggal.10 II.2
Terapi Relaksasi
Terapi ini bermanfaat secara relatif cepat untuk meredakan serangan panik dan memenangkan individu. Tujuan terapi relaksasi adalah memberikan pasien rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Teknik dasar menggunakan terapi relaksasi otot dan membayangkan situasi yang membuat santai, sehingga pasien menguasai teknik yang dapat membantu saat terjadi serangan panik. Individu diperkenalkan kepada sensasi ketegangan dan sesudah itu sensasi relaks. Individu harus bisa membedakan antara sensasi saat panik dengan sensasi relaks. 1 Relaksasi dapat berfungsi sebagai teknik tunggal atau sebagai kombinasi bersama terapi lainnya, seperti terapi perilaku dan desentisasi sistematik. Sebelum dilakukan terapi relaksasi, individu perlu dipersiapkan dan diberi penjelasan yang cukup agar dapat bekerja sama dan memfokuskan dirinya untuk melakukan relaksasi itu sendiri. Tehnik relaksasi ini sebaiknya tidak digunakan untuk keadaan asma bronkial, pasien dengan psikosis akut, depresi agitatif atau yang mudah terkena disosiasi. Pada permulaan terapi relaksasi pada gangguan panik dapat timbul ansietas yang diinduksi oleh relaksasi itu sendiri. 2 II.3
Pelatihan Pernapasan
Karena hiperventilasi yang berhubungan dengan serangan panik mungkin berkaitan dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, satu pendekatan langsung untuk mengendalikan serangan panik adalah melatih pasien mengendalikan dorongan untuk melakukan hiperventilasi. Setelah pelatihan seperti itu, pasien dapat menggunakan tehnik untuk membantu mengendalikan hiperventilasi selama serangan panik. II.4
Pajanan In Vivo
Pajanan in vivo dahulu merupakan terapi perilaku lazim untuk gangguan panik. Tehnik ini meliputi pemajanan pasien terhadap stimulus yang ditakuti yang semakin lama semakin berat: dari waktu ke waktu pasien menjadi mengalami desensitisasi terhadap pengalaman tersebut. Dahulu, fokusnya adalah pada stimulus eksternal; baru-baru ini, tehnik ini telah mencakup pajanan sensasi internal yang ditakuti pasien (contohnya, takipnea dan rasa takut mengalami serangan panik).11 II.5
Psikoterapi Dinamik
Psikoterapi dinamik merupakan sebuah terapi psikiatri yang diterapkan dari teori Sigmund Freud. Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas yang tidak disadari telah dihipotesiskan, simbolis situasi yang dihindari, kebutuhan untuk menekan impuls dan keuntungan sekunder gejala tersebut. Individu diajak untuk lebih memahami diri dan lingkungannya (berdasarkan tilikan), bukan hanya sekedar menghilangkan gejalanya semata.12 Pengalaman traumatik yang terutama terjadi pada awal kehidupan dapat menimbulkan konflik psikologis. Sebagian besar aktivitas mental dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan pikiran sadar dilindungi dari pengalaman konflik dengan mekanisme yang dirancang untuk mengurangi kecemasan. Mekanisme tersebut berkembang dalam kehidupan dewasa dan menghasilkan gejala psikologis atau kurangnya kemampuan untuk pertumbuhan dan pemenuhan personal. Keluarga individu dan hubungan pribadi sebelumnya dapat bermakna dalam mencapai tujuan psikoterapi itu sendiri, yaitu pemahaman dan perubahan pada individu. Pada sebuah penelitian, penerapan psikoterapi dinamik dengan pemberian klomipramin menunjukkan bahwa angka kekambuhan berkurang dibandingkan dengan terapi klomipramin itu sendiri.12 Prognosis1 Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun penderita dengan fungsi premorbid yang baik serta durasi serangan yang singkat bertendensi untuk prognosis yang lebih baik. Prevensi dan Rehabilitasi1 Pencegahan primer (yaitu bagi yang belum pernah mengalami gangguan panik), maka harus waspada bila dalam keluarganya ada yang mengalami. Juga, menurut penelitian, bila
seseorang pernah mengalami cemas perpisahan (separation anxiety) ketika pertama kali masuk sekolah, maka bisa jadi ketika dewasa mungkin akan mengalami gangguan panik. Pencegahan sekunder (bila individu pernah mengalami serangan panik satu kali) dan telah berobat ke dokter, maka pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi kekambuhan adalah dengan melakukan latihan relaksasi secara teratur dan terus menerus, datang konsultasi sampai dinyatakan sembuh oleh dokter. Kesimpulan Gangguan panik merupakan gangguan yang terutama ditandai dengan serangan panik berulang. Serang panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai gejala otonomik terutama sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan. Gejala yang timbul akan mirip dengan gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti tercekik. Gangguan panik dialami oleh lebih kurang 1.7% dari populasi orang dewasa di negara barat. Etiologi dari gangguan panik berasal dari faktor biologis, genetika dan psikososial. Penatalaksanaan panik terdiri dari penatalaksanaan secara farmakoterapi dan psikoterapi. Tujuan utama penatalaksanaan gangguan panik adalah untuk mengurangi atau mengeliminasi gejala serangan panik, mencegah dan mengantisipasi ansietas serta mengatasi keadaan komorbid yang menyertainya.
Daftar Pustaka 1. Elvira SD, Kusumadewi I. Buku ajar pskiatri fkui: gangguan panik. Ed 2. Jakarta: FKUI;2014. 2. Saddock BJ. Saddock VA. Buku ajar psikiatri klinis. Ed ke-2. Jakarta: EGC;2010. 3. McLean PD, Woody SR. Panic disorder and agoraphobia. in: anxiety disorders inadults. Oxford University Press;2001. Cp.5. 4. Saddock BJ. Saddock VA, Alcott V. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry. Ed 10th. Philadelphia USA: Lippincott Wiliams&Wilkins; 2007.h587-97. 5. Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNIKA Atmajaya;2013. 6. Han J, Park M, Hales RE. Anxiety disorders in lippincott’s primary care psychiatry. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2009.p61-79. 7. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I Direktorat Jenderal Pelayanan Medik;1993. 8. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Ed 5th. Washington, DC London, England: American Psychiatric Publishing. 9. Maslim R. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Ed 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNIKA Atmajaya;2007. 10. Manjula M, Kumariah, V et al. Cognitive behavior therapy in the treatment of panic disorder. Indian Journal of Psychiatry. 2009 Apr-Jun; 51(2): 108-110. 11. Elvira SD. Buku ajar psikiatri fakultas kedokteran universitas Indonesia: psikoterapi. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK UI. Jakarta: 2013. Hal 390-405. 12. Adikusumo A. Buku ajar psikiatri fakultas kedokteran universitas Indonesia: relaksasi. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK UI. Jakarta: 2013. Hal 416-420.