PSIKOFARMAKA
A. Definisi Sejumlah besar obat farmakologis yang digunakan untuk mengobati gangguan mental disebut dengan tiga istilah umum yang digunakan saling berganti-ganti : obat psikotropik, obat psikoaktif, dan obat psikoterapeutik (Kaplan, 2010). Obat psikotropik adalah adalah obat yang yang bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, dan mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri (altered (altered reaction to the painful stimulus), stimulus ), digunakan untuk analgesik, antitusif, antispamodik, dan pramedikasi anestesi dalam praktik kedokteran (Maslim, 2007). Akan tetapi kita harus ingat pula bahwa bila gangguan mental itu disebabkan oleh suatu
masalah psikologis atau pun
sosial, maka tidak ada obat apa pun yang dapat menyelesaikan persoalan itu, kecuali pasien itu sendiri dan dokter serta obat hanya sekedar membantunya ke arah penyelesaian atau ke arah penyesuaian diri yang lebih baik (Maramis, 2009). Psikotropik hanya menubah keadaan jiwa pasien sehingga lebih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik (FKUI, 2009). Kemanjuran pengobatan psikotropik, seperti juga dalam farmakoterapi pada umumnya, tergantung pada pemberian obat yang dapat mempengaruhi sasaran pengobatan dalam dosis yang sesuai, dalam bentuk preparat yang cocok, melalui jalan pemberian yang efektif dan dalam jangka waktu yang tertentu (Maramis, 2009).
B. Pembagian obat psikotropik Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropik dapat dibedakan menjadi 4 golongan yaitu antipsikosis (major ( major tranquilizer, neuroleptik ); ); antiansietas (minor tranquilizer ); ); antidepresi; dan antimania (mood (mood stabilizer ) (FKUI, 2009).
Penggolongan Psikotropik 1. Antipsikosis a. Antipsikosis tipikal golongan fenotiazin : klorpromazin, flufenazin, perfenazin, tioridazin trifluperazin b. Antipsikosis tipikal golongan lain : klorprotiksen, droperidol, haloperidol, loksapin, molindon, tioktiksen c. Antipsikosis quetiapin,
atipikal sulpirid,
:
klozapin,
ziprasidon,
olanzapin,
risperidon,
aripriprazol,
zotepin,
amilsulpirid 2. Antiansietas a. Golongan
benzodiazepin
:
diazepam,
alprazolam,
klordiazepoksid, klonazepam, klorazepat, lorazepam b. Golongan lain : buspiron, zolpidem 3. Antidepresi a. Golongan trisiklik : imipramin, amitriptilin b. Golongan
heterosiklik
(generasi
kedua
dan
ketiga)
:
amoksapin, maprotilin, trazodon, bupropion, venlafaksin, mirtazapin, nefazodon c. Golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) : fluksetin, paroksetin, setralin, fluvoksamin, sitalopram d. Penghambat MAO : isokarboksazid, fenelzin e. Golongan serotonin norepinephrin reuptake inhibitor (SNRI) : venlafaksin 4. Antimania (mood stabilizer) a. Litium b. Antimania lain : karbamazepin, asam valproat
1. Antipsikosis Obat antipsikosis pertama yaitu klorpromazin, diperkenalkan pada tahun 1951 sebagai pramedikasi anestesi (antiemetik). Segera setelah itu, obat ini diuji coba sebagai obat skizofrenia dan terbukti mengurangi waham dan halusinasi tanpa menyebabkan rasa kantuk berlebih (Katona, 2012).
Selanjutnya
ditemukan
generasi
kedua
antipsikotik
yaitu
haloperidol, yang penggunaannya cukup luas hingga selama 4 dekade (FKUI, 2009). a. Indikasi dan penggunaan antipsikosis Pada umumnya obat antipsikosis dipakai terhadap : 1) Sindrom otak organik yang akut dan menahun, misalnya pada delirium 2) Skizofrenia, psikosis manik-depresif jenis mania, parafrenia involusi dan psikosis reaktif (kecuali terhadap psikosis depresi reaktif) 3) Gangguan non-psikiatrik : misalnya (hiper-) emesis, alergi dan untuk potensiasi suatu analgetikum. (Maramis, 2009). b. Golongan antipsikosis Antipsikosis dibagi menjadi obat tipikal dan atipikal, dengan perbedaan utama pada profil efek sampingnya. Antipsikosis atipikal saat ini direkomendasikan sebagai terapi lini pertama bagi psikosis dengan onset baru, tetapi antipsikosis tipikal masih digunakan secara luas (Katona, 2012). Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikosis golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = ekstrapiramidal symptoms) symptoms) yang umum terjadi dengan obat antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin
4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikosis atipikal diduga efektif untuk gejala positif (seperti bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negatif (miskin kata kata, afek yang datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif menurun) pasien skizofrenia (FKUI, 2009). Antipsikotik atipikal mencakup olanzapin, olanzapin, quetiapin, risperidon, zotepin, klozapin, amisulpirid, ziprasidon, dan aripriprazol (Katona, 2012). Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan
menyebabkan
reaksi
ekstrapiramidal
yang
kuat.
Golongan antipsikosis tipikal umumnya hanya berespons untuk gejala positif (FKUI, 2009). Antipsikosis yang sering digunakan saat ini adalah golongan fenotiazin (klorfromazin, thioridazin, flufenazin, dan trifluoperazin),
golongan
butirofenon
thioxantin
(flupentiksol,
(haloperidol),
zuklopentiksol),
golongan golongan
difenilbutilpiperidin (pimozid), dan golongan substitusi benzamid (sulpirid) (Katona, 2012). Obat antipsikosis tipikal 1) Phenothiazine a) Rantai aliphatic
: chlorpromazine
b) Rantai piperazine
:
perphenazine,
trifluoperazine,
fluphenazine c) Rantai piperidine 2) Butyrophenone
: thioridazine : haloperidol
3) Didephenyl-butyl-piperidine
: pimozide
Obat antipsikosis atipikal 1) Benzamide
: supiride
2) Dibenzodiazepine
: clozapine, olanzapine, quetiapine,
zotepine 3) Benzisoxazole (Maslim, 2007).
: risperidon, aripiprazole
c. Mekanisme kerja Antipsikosis tipikal menghambat reseptor dopamin, tetapi juga menghambat reseptor kolinergik, adrenergik, dan histaminergik. Antipsikosis atipikal juga menghambat reseptor dopamin, biasanya dengan afinitas yang lebih rendah; selain sebagai antagonis 5HT2. Obat ini memiliki aktivitas yang relatif kecil pada reseptor-reseptor lain. Obat-obatan yang lebih lama (fenotiazin) relatif nonselektif, sedangkan sulpirid dan amisulpirid merupakan penghambat reseptor dopamin D2 yang sangat selektif (Katona, 2012).
d. Sediaan Obat dan Dosis Anjuran Golongan
Nama Obat
Sediaan
Dosis Anjuran
Phenothiazine
Klorpromazi
Tablet 25 mg - 100 mg
150
n
Ampul 50 mg/2cc
mg/hari
Flufenazin
Tablet 2,5 mg – mg – 5 5 mg
10 - 15mg/hari
–
600
Vial 25mg/cc butyrophenone
Haloperidol
Tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5
5 - 15mg/hari
mg Injeksi 5 mg/cc, 50 mg/cc Diphenyl-butyl-
Pimozide
Tablet 4 mg
2 - 4 mg/hari
Sulpiride
Amp 100 mg/2cc
3-6 amp/hari
Tablet 200 mg
300-600 mg/hari
piperidine Benzamine
Dibenzodiazepine
Klozapin
Tablet 25 mg, 100 mg
25 – 25 – 100 100 mg/hari
Benzisoxazole
Risperidon
Tablet 1 mg, 2 mg, 3 mg
2 – 6 6 mg/hari
e. Pengaturan Dosis Waktu paruh :12-24 jam (pemberian obat 1-2 x perhari) Dosis awal (dosis anjuran)dinaikkan tiap 2-3 hari dosis efektif (Mulai timbul peredaan sindrom psikosis)
dievaluasi
tiap 2 minggu,
bila
perlu
naikkan
minggu)
turunkan
dosis dosis tiap
2
optimal, minggu
dipertahankan dosis
(8-12
maintenance,
dipertahankan (6 bulan-2 tahun) tappering off tiap 2-4 minggu stop f.
Cara pemberian Biasanya per oral, dengan metablisme tingkat pertama yang ekstensif pada hati. Banyak golongan obat juga dapat diberikan melalui suntikan intramuskular (IM) kerja singkat atau (sangat jarang) melalui suntikan intravena. Beberapa obat (seperti flupentiksol, flufenazin, dan risperidon) dapat diberikan melalui injeksi depot setiap 1-4 minggu. Cara ini memangkas metabolisme tingkat pertama, dapat meningkatkan kepatuhan dan setidaknya memungkinkan pengawasan yang lebih ketat (Katona, 2012).
g. Lama pemberian Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang multiepisode, terapi pemeliharaan diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian
yang
cukup
lama
ini
dapat
menurunkan
derajat
kekambuhan 2,5-5 kali. Pada umumnya pemberian obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali (Maslim, 2007). h. Efek samping Pada pasien melaporkan bahwa gangguan pergerakan, mengantuk, penambahan berat badan, dan disfungsi seksual merupakan efek samping antipsikotik yang paling menyulitkan. Penambahan berat badan (terutama dengan klozapin dan olanzapin) dan gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus terutama dikaitkan dengan antipsikosis atipikal. Klozapin dapat menyebabkan kejang dan agranulositosis yang berpotensi fatal, dan memerlukan pengawasan hematologi secara teratur. Karena efek dopaminergik yang lebih poten, antipsikotik tipikal sepertinya
lebih
menyebabkan
gangguan-gangguan
pergerakan
ekstrapiramidal (karena penurunan availabilitas dopamin pada jalur nigrostriatal) dan meningkatkan prolaktin, yang menimbulkan efekefek endokrin (akibat blokade dopamin tubero-infundibulum), bila dibandingkan dengan antipsikosis atipikal. Kedua tipe antipsikosis ini dapat
menyebabkan
efek
antikolinergik,
antiadrenergik,
antihistaminergik, dan efek samping pada jantung. Gangguan pergerakan mencakup reaksi distonik akut, gejala parkinsonisme atau akatisia. Distonia akut dan parkinsonisme mencerminkan adanya ketidakseimbangan dopamin/asetilkolin yang diinduksi obat dan merespons terhadap pemberian obat antikolinergik seperti prosiklidin. Akatisia kurang berespons terhadap antikolinergik, beta-bloker atau benzodiazepin dapat bermanfaat. Efek endokrin mencakup hiperprolaktinemia dan sebagai akibatnya amenorea, galaktorea, dan disfungsi seksual. Efek antikolinergik mencakup mulut kering, konfusi, dan retensi urin. Efek antiadrenergik mencakup hipotensi postural dan impotensi. Blokade histaminergik menyebabkan sedasi (Katona, 2012). i.
Interaksi Obat Antipsikosis + antipsikosis lain = potensi efek samping obat dan tidak ada bukti lebih efektif ( tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti psikosis). Misalnya, chlorpromazine + reserpine = potensiasi efek hipotensif. Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat (hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung). Antipsikosis + anti-ansietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat ( acute adjunctive therapy). therapy). Antipsikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada pagi hari sebelum dilakukan ECT ( electro convulsive therapy) therapy) oleh karena angka mortalitas yang tinggi.
Antipsikosis
+
antikonvulsan
=
ambang
konvulsi
menurun,
kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-related (dose-related ). ). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis Haloperidol. Antipsikosis + antasida = efektivitas obat anti-psikosis menurun disebabkan gangguan absorpsi. (Maslim, 2007).
2. Antiansietas Antiansietas terutama berguna untuk pengobatan simtomatik penyakit psikoneurosis (keluhan subyektif tanpa gangguan somatik s omatik yang nyata dengan fungsi mental-kognitif tidak terganggu) dan berguna untuk terapi tambahan penyakit somatis dengan ciri ansietas (perasaan cemas) dan ketegangan mental. Ansietas didefiniskan sebagai perasaan khawatir atau ketakutan yang ditandai dengan gejala fisik seperti palpitasi, berkeringat dan tanda-tanda steres lainnya. Obat yang digunakan untuk pengobatan ansietas adalah sedatif, atau obat-obat yang secara umum memiliki sifat yang sama dengan sedatif (FKUI, 2009). a. Penggolongan 1) Benzodiazepine Diazepam, chlordiazepoxide, lorazepam, clobazam, bromazepam, alprazolam 2) Non- benzodiazepine Sulpride, buspirone, hydroxyzine (Maslim, 2007). b. Mekanisme kerja Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitas dari sistem limbik SSP yang terdiri dari “dopaminergic, “dopaminergic, noradrenergic, serotoninergic neurons” neurons” yang dikendalikan dikendalikan oleh GABA-ergic neuron (Maslim, 2007).
Mekanisme kerja benzodiapzepin merupakan potensiasi inhibisi neuron dengan GABA sebagai mediatornya (Katona, 2012). c. Sediaan Obat dan dosis Anjuran Golongan
Nama Obat
Benzodiazepine
Diazepam
Sediaan
Dosis Anjuran
Tablet 2 mg - 5 mg
Oral = 2-3 x 2-5
Ampul 10 mg/2cc
mg/hari Injeksi
=
5-10
mg (im/iv)
Non-
chlordiazep
Tablet 5 mg – mg – 10 10 mg
2-3
oxide
Capsul 5 mg
mg/hari
Lorazepam
Tablet 0,5 - 1 - 2 mg
2-3 x 1 mg/hari
Clobazam
Tablet 10 mg
2-3 x 10 mg/hari
Capsul 50 mg
2-3 x 50-100
Sulpiride
benzodiazepine
x
5-10
mg/hari Buspirone
Tablet 10 mg
2-3 x 10 mg/hari
Hydroxyzine
Caplet 25 mg
3 x 25 mg/hari
d. Pengaturan dosis Mulai dengan dosis anjuran naikkan tiap 3-5 hari dosis optimal pertahankan 2-3 minggu turunkan 1/8 x setiap 2-4 minggu dosis pemeliharaan bila kambuh naikkan lagi dan bila tetap efektif
pertahankan 4-8 minggu tappering off. e. Lama pemberian Pada sinrom ansietas yang disebabkan faktor situasi eksternal, pemberian obat tidak lebih dari 1-3 bulan. Pemberian yang sewaktu-waktu dapat dilakukan apabila sindrom ansietas dapat diramalkan waktu datangnya dan hanya pada situasi tertentu, serta terjadinya tidak sering.
Penghentian selalu secara bertahap agar tidak menimbulkn gejala lepas obat (withdrawal symptoms) (Maslim, 2007). f.
Cara pemberian Biasanya per oral, tetapi pemberian secara intramuskular, intravena atau per rektal mungkin diperlukan pada status epileptikus dan pada pasien-pasien yang berlaku kasar (Katona, 2012). Penggunaan jangka panjang obat antiansietas tidak dianjurkan karena risiko terjadinya toleransi dan ketergantungan. Dianjurkan pembatasan penggunaan benzodiazepin hanya selama 2-4 2 -4 minggu saja dan selama itu pasien akan lebih mudah menerima bentuk terapi lain (Maramis, 2009).
g. Efek samping Efek
samping
untuk
golongan
antiansietas,
khususnya
benzodiazepin adalah : 1) Reaksi yang lazim : kelelahan, mengantuk, ataxia 2) Reaksi yang jarang terjadi : konstipasi, inkontinensia, retensi urin, disartria, mata kabur, diplopia, hipotensi, nausea, mulut kering, ruam kulit, tremor 3) Efek paradoksikal : kebingungan, depresi, nyeri kepala, perubahan libido, vertigo, gangguan memori, insomnia, halusinasi, eksitasi dan ansietas. Efek samping benzodiazepin terjadi karena kerjanya pada susunan saraf pusat. Dapat terjadi sedasi, kelelahan, dan psikomotor yang terganggu. Efek samping yang jarang terjadi adalah meningkatnya hostilitas dan perilaku agresif. Ketergantungan fisik dapat terjadi terutama pada penggunaan jangka panjang dengan dosis tinggi (Maramis, 2009). h. Interaksi obat Benzodiazepine + CNS depressants = potensi efek sedasi dan penekanan pusat napas, risiko timbulnya timbulnya respiratory failure.
Benzodiazepine + CNS stimultant (amphetamine, caffeine, appetite supressants) = antagonisme efek anti-ansietas , sehingga efek benzodiazepine menurun Benzodiazepine
+
neuroleptika
=
manfaat
efek
klinis
dari
benzodiazepine mengurangi kebutuhan dosis neuroleptika, sehingga risiko efek samping neuroleptika mengurang (Maslim, 2007).
3. Antidepresi Antidepresi adalah obat untuk mengatasi atau mencegah deperesi mental. Depresi didefinisikan sebagai gangguan mental dengan penurunan mood, kehilangan minat atau perasaan senang, adanya perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tidur atau penurunan selera makan, sulit konsentrasi atau kelemahan fisik. Depresi terbagi menjadi tiga yakni gangguan distimia, depresi mayor (depresi klinis) dan depresi depresi yang tidak terklasifikasi. Distimia adalah suatu bentuk gangguan mood depresi yang ditandai dengan ketiadaan kesenangan atau kenikmatan hidup yang berlangsung terus-menerus selama paling sedikit 2 tahun. Gajala umumnya menghindar dari kehidupan sosial, gangguan tidur, dan tidak bisa menikmati hidup, yang paling buruk dapat berupa keinginan bunuh diri, dan isolasi terhadap kehidupan sosial. Depresi mayor atau depresi klinik adalah keadaan perasaan sedih, melankolis, atau murung yang berlanjut hingga mengganggu fungsi sosial dan kehidupan sehari-hari pasien (FKUI, 2009). a. Golongan antidepresi Obat antidepresi mempunyai banyak golongan. Tiga yang terbesar adalah golongan trisiklik, inhibitor monaminoksidase, dan inhibitor ambilan kembali serotonin (SSRI= Selective Serotonin Reuptake Inhibitor ) (Maramis, 2009). 1) Golongan trisiklik
Golongan
trisiklik,
sebenarnya
lebih
tepat
disebut
heteroiklik karena maprotilin mempunyai empat cincin. Kelompok ini terdiri dari amitriptilin, imipramin, klomipramin, maprotilin dan amoksapin (Maramis, 2009). Obat ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali neurotransmiter di otak. Dari beraneka jenis antidepresi trisiklik terdapat perbedaan potensi dan selektivitas hambatan ambilan kembali berbagai neurotransmiter. Ada yang sangat sensitif terhadap norepinefrin, ada yang sensitif terhadap serotonin dan ada pula yang sensitif terhadap dopamin (FKUI, 2009). 2) Golongan penghambat monoaminoksidase (MAO) MAO dalam tubuh berfungsi dalam proses deaminasi oksidatif katekolamin di mitokondria. Proses ini dihambat oleh penghambat MAO karena terbentuk suatu kompleks antara penghambat MAO dan MAO. Akibatnya kadar epinefrin, norepinefrin, dan 5-HT dalam otak naik. Penghambat MAO tidak hanya menghambat MAO, tetapi juga enzim-enzim lain, karena itu obat ini mengganggu metabolisme banyak obat di hati. Penghambatan enzim ini sifatnya ireversibel. Peghambatan ini mencapai puncaknya dalam beberapa hari, tetapi efek antidepresinya baru terlihat setelah 2-3 minggu. Sedangkan pemulihan metabolisme ketokolamin baru terjadi setelah obat dihentikan 1-2 minggu (FKUI, 2009). 3) Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) (SSRI) Golongan obat ini kurang memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik atau histaminergik, sehingga efek sampingnya lebih ringan. Obat ini merupakan golongan obat yang secara spesifik menghambat ambilan serotonin. Obat yang termasuk golongan
ini adalah fluoksetin, paroksetin, sertralin, fluvoksamin, sitalopram dan S-sitalopram. Obat ini merupakan inhibitor spesifik P450 isoenzim (FKUI, 2009). b. Mekanisme kerja Sindrom depresi disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa “aminergic neurotransmitter ” (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada celah sinaps neuron di SSP (khususnya pada sistem limbik) sehingga aktivitas reseptor serotonin menurun (Maslim, 2007). Mekanisme kerja yang umum dimiliki oleh antidepresan adalah dengan
menghambat
re
uptake
aminergic
neurotransmitter,
menghambat penghncuran oleh enzim monoamine oksidase. Sehingga terjadi peningktan jumlah aminergic neurotransmitter pada celah sinaps neuron tersebut yang dapat meningkatkan aktivitas reseptor serotonin (Maslim, 2007). c. Sediaan Obat dan dosis anjuran Golongan
Nama Obat
Trsiklik
Amitriptilin
Tablet 25 mg
75-150 mg/hari
Imipramine
Tablet 25 mg
75-150 mg/hari
Mocloemide
Tablet 150 mg
300-600 mg/hari
Sertraline
Tablet 50 mg
50-100mg/hari
fluoxetine
Capsul 10-20
20-40 mg/hari
MAO
Sediaan
Dosis Anjuran
inhibitor SSRI
mg
d. Pengaturan dosis Dosis inisiasi (< dosis anjuran) 1 minggu dosis anjuran4 minggu dosis optimal/dosis stabilisasi 2-3 bulan turunkan sampai dosis pemeliharaan (1/2 dosis optimal) 3-6 bulan tappering off selama 1 bulan dosis inisiasi stop e. Lama pemberian
Obat antidepresi dapat diberhentikan total. Kalau kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya. Pemberian obat antidepresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh karena “addiction potential”nya sangat minimal (Maslim, 2007). f. Cara Pemberian Diberikan per oral. Sebagian besar obat antidepresan dapat diberikan satu kali sehari dan mengalami metabolisme yang bervariasi dan luas pada metabolisme tingkat pertama di hati. Respons antidepresan jarang muncul dalam waktu kurang dari dua minggu dan mungkin belum tampak sepenuhnya dalam enam minggu, walaupun respons parsial dini memprediksikaan adanya kesembuhan. Pasien yang tidak diperingatkan mengenai efek terapi yang tertunda, biasanya cenderung menjadi kurang mematuhi pengobatannya (Katona, 2012). g. Indikasi Indikasi utama penggunaan antidepresan adalah episode depresi sedang atau berat. Antidepresan juga berguna pada pasien fobia ansietas,
gangguan
pascatrauma,
panik,
bulimia
gangguan cemas
nervosa,
gangguan
stres
menyeluruh, gangguan obsesif-
kompulsif, di mana dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan dan untuk mencegah kekambuhan depresi (Katona, 2012). h. Efek samping Efek samping obat antidepresan terbagi atas : 1) Efek antikolinergik : mulut kering, mata kabur, gangguan akomodasi,
meningkatnya
tekanan
intraokuler,
konstipasi,
hipotensi postural, retensi urin, berkeringat, ileus 2) Efek susunan saraf pusat : pusing, kelelahan, bingung, tremor, disartria, insomnia, kejang, mendadak jatuh, eksaserbasi gejala psikotik 3) Kardiovaskuler : hipotensi, sinus takikardi, aritmia, konduksi atrioventrikuler terganggu
4) Hematologis : depresi sumsum tulang, leukopenia, agranulositosis, purpura, trombositopenia, anemia hemolitik, hemolitik, hiponatremia 5) Lain-lain : hipo atau hipertermia, gangguan pernapasan, gangguan libido,exantema, tinitus, keluhan gastrointestinal, gangguan fungsi hepar, berat badan bertambah (Maramis, 2009). i.
Interaksi obat Trisiklik + haloperidol/phenotiazine = mengurangi kecepatan ekskresi dari triksiklik. Terjadi potensiasi efek antikolinergik (ileus paralitik, disuria, gangguan absorbsi). SSRI + MAO = serotonin = serotonin malignant syndrome dengan syndrome dengan gejala-gejala : gastrointestinal distress (mual, muntah, diare), agitation (mudah marah, ganas), restlessness (gelisah), gerakan kedutan otot MAO + sympathomimetic drugs drugs = efek potensiasi yang dapat menjurus ke krisis hipertensi, dimana ada risiko terjadi serangan stroke. MAO + senyawa mengandung “tyramine” (keju, anggur, dll) = dapat terjadi krisis hipertensi dengan risiko serangan stroke pada pasien usia lanjut. Obat antidepresi + CNS depressants depressants (morphine, benzodiazepine, alkohol, dll) = potensiasi efek sedasi dan penekanan terhadap pusat napas risiko timbulnya “respiratory “respiratory failure” failure” (Maslim, 2007).
4. Mood Stabilizer Antimania atau mood stabilizer adalah obat yang kerjanya terutama mencegah naik turunnya mood pada pasien gangguan bipolar (sindrom manik depresi) (FKUI, 2009). Pada gangguan ini didapatkan mood yang berayun antara dua kutub, mania dan depresi, sehingga dibutuhkan obat yang mampu meredam ayunan mood tersebut agar fluktuasinya berada dalam batas normal. Obat yang sering digunakan adalah lithium dan beberapa antikonvulsan, seperti karbamazepin dan valproat, juga juga beberapa
yang lebih baru seperti lamotrigin, oxkarbazepin, dan topiramat (Maramis, 2009). a. Penggolongan 1) Mania akut Haloperidol, karbamazepine, asam valproat, divalproex 2) Profilaksis mania Lithium carbonate (Maslim, 2007). b. Sediaan Obat dan dosis Anjuran Golongan
Mania
Nama Obat
Haloperidol
akut
Sediaan
Dosis Anjuran
Tablet 0,5-1,5-
4,5 – 4,5 – 15 15 mg/hari
5 mg
Karbamazepin
Tablet 200 mg
400 - 600 mg/hari 2-3 x perhari
Asam Valproat
Syr.
3 x 250 mg/hari
250mg/5ml Divalproex
Tablet 250 mg
3 x 250 mg/hari
Profilaksis Lithium
Tablet 200-
250-500 mg/hari
mania
300-400-500
carbonate
mg
c. Pengaturan dosis Biasanya mulai dengan dosis 250-500 mg/hari (1-2 x sehari) dinaikkan
250 mg/hari setiap minggu dosis efektif dan optimal
(1000-1500 mg/hari)
dipertahankan
sekitar 2-3 bulan
diturunkan
sampai dosis meintenancetapering off. d. Lama pemberian Pada penggunaan untuk sindrom mania akut, setelah gejala-gejala mereda, lithium carbonate harus diteruskan sampai lebih dari 6 bulan,
dihentikan secara gradual (tapering off) bila memang tidak ada indikasi lagi. Pada gangguan afektif bipolar dan unipolar, penggunaan harus diteruskan sampai beberapa tahun, sesuai dengan indikasi profilaksis serangan sindrom mania/depresi. Penggunaan jangka panjang ini sebaiknya dalam dosis minimum dengan kadar serum lithium terendah yang masih efektif untuk terapi profilaksis (Maslim, 2007). e. Cara pemberian Lithium dikonumsi melalui mulut dan diekresikan oleh ginjal. Lithium memiliki kisaran terapeutik yang sempit. Sebelum memulai terapi litium, fungsi ginjal dan tiroid harus dievaluasi. Kadar serum lithium harus diawasi secara teratur, dan darah diambil 8-12 jam setelah dosis terakhir. Pada pasien yang menggunakan karbamazepin, pemeriksaan darah lengkap setiap 6 bulan (Katona, 2012). f. Mekanisme kerja Sindrom mania disebabkan oleh tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps neuron, khususnya pada sistem limbik, yang berdampak terhadap “dopamine “dopamine receptor supersensitivity”. supersensitivity”. Efek anti mania dari lithium disebabkan kemampuannya mengurangi “dopamine “ dopamine receptor supersensitivity”, supersensitivity”,
dengan
meningkatkan
“cholinergic -muscarinic “cholinergic-muscarinic
activity” activity” dan menghambat “cyclic “ cyclic AMP (adenosine monophosphate) monophosphate ) dan phosphoinositides dan phosphoinositides (Maslim, (Maslim, 2007). g. Efek samping Efek
samping
dari
lithium
meliputi
mual,
tremor
halus,
penambahan berat badan, edema, polidipsia, poiluria, eksaserbasi psoriasis dan jerawat. Serta hipotiroidisme. Toksisitas ditandai dengan muntah, diare, tremor kasar, bicara tidak jelas/pelo, ataksia, mengantuk, konfusi, kejang dan koma. Penatalaksanaan untuk toksisitas/overdosis
meliputi
penghentian
penggunaan
lithium,
diuresis paksa (manitol secara intravena), hemodialisis, atau dialisis peritoneum. Karbamazepin dapat menyebabkan dikrasia darah dan
ruam, dan dapat mengganggu kadar obat lain dalam darah yang dimetabolisme oleh jalur P450 yang sama. Efek samping yang sering dijumpai pada pengguanaan asam valproat adalah mual, iritasi lambung, diare dan penambahan berat badan (Katona, 2012). h. Kontraindikasi Pengguanaan lithium harus dihindari pada penyakit ginjal, jantung, tiroid dan addison, serta pada ibu hamil dan menyusui. Dehidrasi dan diuretik dapat menyebabkan toksisitas lithium. Interaksi yang tidak diinginkan juga dapat muncul antara lithium dan OAINS, bloker kanal kalsium, dan beberapa antibiotik. Karbamazepin juga memiliki efek teratogenik dan dapat mengganggu kerja kontrasepsi oral, sehingga harus menggunakan alat kontrasepsi tipe lainnya. i.
Interaksi obat Lithium + diuretik Thiazide = dapat meningkatkan konsentrasi serum lithium sebanyak 50 % sehingga risiko intoksikasi menjadi besar, sehingga dosis lithium harus dikurangi 50% agar tidak terjadi intoksikasi. ACE inhibitor + lithium = dapat meningkatkan konsentrasi serum lithium sehingga menimbulkan gejala intoksikasi. Haloperidol + lithium = efek neurotoksis bertambah (dyskinesia, ataxia), tetapi efek neurotoksis tidak tampak pada penggunaan kombinasi lithium dengan haloperidol dosis rendah (kurang dari 20 mg/h). Keadaan yang sama untuk lithium + carbamazepine. NSAID + lithium = dapat meningkatkan konsentrasi serum lithium, sehingga resiko intoksikasi menjadi besar. Aspirin dan paracetamol (analgesics) tidak ada interaksi dengan lithium (Maslim, 2007).
C. Hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat Dalam memilih obat psikotropik perlu diperhatikan : 1. Indikasi dan kemanjuran terhadap gangguan atau penyakit, dinamika gejala atau pun gejala sasaran 2. Keamanan
:
insidensi,
jenis
dan
beratnya
efek
samping
serta
kontraindikasi 3. Cara dan jadwal pemberian yang efektif dan mudah 4. Harga tidak terlalu memberatkan pasien maupun pihak lain serta kemudahan
mendapatkan
obat
itu,
terutama
bila
pemakaiannya
berlangsung jangka panjang
Dalam medikasi psikotropik jangan lupa akan : 1. Efek plasebo. Dilaporkan antara 24-76 % respons plasebo pada perbandingan dengan beberapa antiansietas, 30 % pasien dengan skizofrenia dapat menunjukkan perbaikan dengan plasebo. 2. Gangguan iatrogenik, yaitu gangguan yang disebabkan oleh pengobatan dokter. 3. Kemungkinan (percobaan) bunuh diri, terutama pada pasien dengan depresi, 4. Kealpaan pasien minum obat, terutama bila frekuensi pemakaian obat itu lebih dari dua kali sehari atau jadwalnya j adwalnya rumit (Maramis, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
FKUI. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI Kaplan, H I., Sadock, B J., dan Grebb, J A., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid dua. Tangerang : Binarupa Aksara Publisher Katona, C., Cooper, C., dan Robertson, M., 2012. At a Glance Psikiatri Edisi Keempat. Jakarta : Penerbit Erlangga Maramis, W F. dan Maramis, A A., 2009. Catatan Ilmu Kedoktera Jiwa Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press Maslim, R., 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga. Jakarta : PT Nuh Jaya