Pokok-pokok Pemikiran Tentang Bali Lima Tahun ke Depan (2018-2023) Oleh: I Made Bram Sarjana Bappeda Kabupaten Badung
a) Latar Belakang Permasalahan Pembangunan di Bali Bali merupakan pulau kecil dengan potensi yang besar dan telah berkontribusi tidak hanya untuk masyarakatnya, namun juga bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebutan-sebutan yang diberikan kepada Bali seperti Island of the Gods, Island of Peace, the Last Paradise menunjukkan pengakuan masyarakat dunia terhadap Bali. Predikat atau pujian tersebut bukanlah rekayasa, namun muncul karena aspek-aspek yang melekat dan identik dengan Bali termasuk masyarakatnya, yaitu keindahan alam serta spirit budaya khas masyarakat Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu. Terkait dengan budaya ini, sekalipun spirit budaya masyarakat Bali dijiwai dan bernafaskan pada nilai-nilai ajaran Agama Hindu, masyarakat Bali juga mengakui dan menghormati pluralisme/kebhinekaan. Kebhinekaan bahkan telah menjadi bagian dari sejarah peradaban masyarakat Bali. Penghormatan atas kebhinekaan ini pula yang menjadi salah satu sumbangsih nyata Bali bagi tegaknya NKRI dan Pancasila. Keindahan alam, spirit budaya masyarakat yang bernafaskan Agama Hindu serta semangat kebhinekaan ini seolah menjadi “magnet” yang membuat orang-orang dari berbagai penjuru nusantara bahkan dunia ingin mengetahui dan “menikmati” Bali. “Magnet” daya tarik Bali ini yang selanjutnya menjadi pilar kemajuan sosial ekonomi Bali dalam wujud sektor pariwisata. Dalam perkembangannya, sektor pariwisata ternyata mengalami kemajuan dengan demikian pesatnya, meninggalkan sektor-sektor lain yang secara kesejarahan merupakan akar dan pilar dari perekonomian daerah Bali. Sektor pariwisata sebagai salah satu sub sistem ekonomi yang tumbuh dan berkembang dalam sistem kapitalisme global, akhirnya menjadi kekuatan pendorong perubahan sosial dan transformasi ekonomi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Perubahan sosial tersebut tentunya telah mengubah wajah Bali di masa kini. Tentunya perubahan sosial tidak dapat dihindari, namun perlu dipahami dan dipelajari agar dapat diantisipasi serta dikendalikan. Perubahan sosial yang terjadi di Bali tentunya dapat dilihat dari dua perspektif. Dari perspektif positif-optimis, perubahan yang terjadi di Bali saat ini memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Perekonomian maju pesat, pertumbuhan ekonomi senantiasa melampaui rata-rata nasional, demikian pula pendapatan per kapita. Infrastruktur modern telah terbangun, Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai salah satu ciri dan identitas masyarakat modern pun telah menjangkau Bali, dan lain sebagainya. Intinya, kesejahteraan masyarakat Bali telah
berada di atas rata-rata daerah lainnya. Kemajuan ekonomi Bali menjadi barometer bagi daerah lainnya. Sebaliknya dari perspektif negatif-pesimis perubahan sosial Bali di masa kini telah memarjinalkan masyarakat Bali, karena perekonomian dibangun berdasarkan kekuatan kapitalisme global, bukan oleh masyarakat lokal. Lahan pertanian telah menyusut berganti dengan lahan beton, di beberapa tempat Subak hanya tinggal papan nama, sehingga aktivitas pertanian yang menjadi jiwa nenek moyang masyarakat Bali sudah luntur. Padahal konon budaya Bali dibangun oleh budaya agraris yang membuat orang Bali merasa amat dekat dengan alam. Sebagian masyarakat juga telah menjadi kalangan yang materialis dan hedonis. Mengacu pada konsep Rwa Bhineda, maka Bali di masa kini dan masa depan merupakan ko-eksistensi antara dua kondisi tersebut. Dimensi positif dan negatifnya selalu ada dan muncul secara bersamaan, dan memang akan selalu seperti itu, seperti hakekat ajaran Rwa Bhineda. Oleh sebab itulah perubahan-perubahan ini perlu dipahami, dipelajari sehingga dapat diantisipasi dan dipelajari, demi keberlanjutan Bali. Hal ini terlebih Bali telah berkontribusi begitu besar untuk orang Bali sendiri maupun Indonesia bahkan dunia, sehingga tidak ada pilihan lainnya bahwa Bali harus dijaga, Bali harus dilestarikan. Perubahan-perubahan memang pasti terjadi namun esensi, wit kearifan lokal masyarakat Bali tidak boleh sirna. Orang Bali tidak boleh melupakan “kawitan”-nya, karena tanpa kawitan maka ia tercabut dari akar dan asal muasalnya”. Perubahan boleh saja terjadi pada bentuk di permukaan, namun esensi dan spirit kearifan lokalnya harus tetap hidup. Di tengah desakan dan tekanan perubahan yang demikian kuat maka Bali pun harus dibentengi oleh ketahanan sosial (social resilience) masyarakat yang Kuat ditunjang dengan kemampuan perekonomian yang Kuat pula. Ketahanan sosial yang kuat tentunya berbasis pada simpulsimpul budaya sebagai bentengnya. Namun ”benteng” yang dibangun ini mesti pula merupakan benteng yang dinamis, tidak mengungkung dan menghambat kemajuan-kemajuan sosial. Dengan demikian setiap insan Bali pun mesti Progresif, memiliki kemauan dan kemampuan untuk berpikiran maju dan terbuka, seiring dengan kemajuan peradaban. Selanjutnya orang Bali pun mesti Berbudaya dalam artian menjunjung tinggi nilai-nilai universal kehidupan sebagaimana telah terangkum dalam Tri Hita Karana, yaitu mampu mengembangkan sikap mental yang positif melalui hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta (Parhyangan), mampu membangun relasi sosial yang baik dengan sesama (Pawongan), serta harmonis dengan alam sekitarnya (Palemahan). Oleh sebab itu diperlukan upaya-upaya yang nyata, terarah, sistematis, komprehensif dan berencana mulai dari hulu, tengah dan hilir untuk mewujudkan “Bali yang Kuat, Progresif dan Berbudaya“.
b) Isu Strategis dan Tantangan Pembangunan Bali Identifikasi atas isu strategis pembangunan Bali perlu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang perlu diantisipasi dalam memperkuat Bali di masa depan, baik dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Identifikasi atas isu strategis juga akan membantu dalam memahami tantangan pembangunan yang dihadapi Bali. Dalam rangka
2
melestarikan dan memperkuat Bali berlandaskan pada spirit Bali, maka isu strategis pembangunan Bali diidentifikasi dari perspektif Tri Hita Karana yang meliputi dimensi Parhyangan, Pawongan dan Palemahan, yang antara satu sama lainnya saling berkaitan. Beberapa isu strategis pokok dan tantangan pembangunan Bali jangka menengah tahun 2018-2023 berdasarkan perspektif Tri Hita Karana adalah sebagai berikut: I.
Dimensi Parhyangan: a. Taksu Bali: Taksu merupakan suatu aura, vibrasi dan kekuatan spiritual yang tidak kasat mata namun bisa dirasakan keberadaannya. Taksu tanah Bali muncul sebagai dampak dari berbagai aktivitas spiritual keagamaan masyarakat Bali yang berlandaskan Agama Hindu. Aktivitas spiritual dan keagamaan ini dilakoni dan digerakkan oleh masyarakat sepanjang hari dan sepanjang tahun. Aktivitas spiritual keagamaan ini tentunya menuntut dukungan sumberdaya finansial, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Dalam prakteknya di masa kini, sumberdaya finansial yang dibutuhkan semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya harga-harga barang. Sedangkan sumberdaya alam yang dibutuhkan misalnya buah-buahan, daun-daunan, yang dalam perkembangannya saat ini jumlahnya semakin terbatas sehingga untuk memenuhi kebutuhannya masyarakat, perlu didatangkan dari luar Bali sehingga harganya pun menjadi semakin mahal. Demikian pula dari segi sumberdaya manusia pelaksana, sebagian masih terikat dengan tradisi gugon tuwon, anak mula keto, tanpa dilandasi pemahaman terhadap tattwa dan sastra Agama Hindu. Oleh sebab itu tantangan yang dihadapi adalah menjaga Taksu Bali agar tetap hidup berlandaskan pada kekuatan sumberdaya alam, sumberdaya finansial dan manusia yang lebih baik. Ketergantungan dari aspek sumberdaya dari luar membuat upaya menjaga Taksu Bali menjadi amat rentan. b. Suprastruktur Parhyangan: Aktivitas spiritual masyarakat amat didukung oleh keberadaan suprastruktur parhyangan mulai dari pelinggih sebagai sarana pemujaan di masing-masing rumah, banjar, dadia, kahyangan tiga, hingga kahyangan jagat. Keberadaan, pelestarian dan kesucian setiap bangunan suci ini tentunya menjadi tanggung jawab masing-masing pengemong-nya. Tantangan ke depan adalah bahwa operasional bangunan suci ini semakin besar baik dari aspek pemeliharaan maupun upakara-nya, sehingga menimbulkan persoalan sejauhmana kemampuan masyarakat pengemong, khususnya generasi masa depan dalam menjaga kesinambungannya.
3
II. Dimensi Pawongan: a.
Pertumbuhan Penduduk: Penduduk Bali dalam beberapa dekade terakhir terus mengalami pertumbuhan yang tinggi, utamanya karena faktor migrasi. Migrasi penduduk tidak hanya terjadi pada daerah-daerah urban namun juga hingga daerah rural di seluruh wilayah Bali. Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini akan menimbulkan sejumlah permasalahan sosial, mengingat carrying capacity dan ruang hidup yang tersedia amat terbatas, karena luas Pulau Bali yang kecil. Oleh sebab itu pertumbuhan penduduk ini menjadi tantangan besar yang mesti ditangani dan dikendalikan, agar Bali tidak mengalami over capacity yang mengganggu keharmonisan kehidupan.
b.
Ketimpangan: Secara umum tingkat kesejahteraan masyarakat Bali telah berada di atas ratarata Indonesia dan daerah lainnya. Sekalipun demikian masih terdapat permasalahan kesenjangan sosial ekonomi antar desa-kota, maupun antar wilayah Bali Utara-Bali Selatan. Ketimpangan ini perlu dipersempit untuk menjaga keseimbangan dan harmonisasi mobilitas penduduk agar tidak terkonsentrasi di wilayah Selatan, karena akan berimplikasi pula pada penyerapan sumberdaya kehidupan yang eksesif di wilayah Selatan. Demikian pula potensi sosial ekonomi pedesaan harus semakin diberdayakan agar dapat muncul sebagai simpul-simpul perekonomian baru yang dapat menekan laju urbanisasi.
c.
Profesionalisme: Profesionalisme yang dimaksud adalah dalam konteks ketenagakerjaan, yang telah menjadi tuntutan dan kebutuhan di era modern. Profesionalisme menjadi kebutuhan karena perekonomian Bali yang telah amat terhubung dengan perekonomian internasional/global mengakibatkan kompetisi menjadi semakin terbuka. Pada sektor pariwisata misalnya, profesionalisme akan mempengaruhi kualitas layanan yang diberikan serta kualitas produk-produk kepariwisataan yang ditawarkan kepada wisatawan. Saat ini, sebagai destinasi pariwisata, Bali tidak hanya bersaing dengan daerah lainnya di Indonesia, namun juga bersaing dengan berbagai destinasi di negara lain. Sedangkan
pada
sektor
pertanian,
profesionalisme
petani
tentunya
mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk pertanian yang dihasilkannya. Dengan demikian banyaknya ragam komoditi pertanian yang masuk ke Bali dari daerah lain dan bahkan dari luar negeri, tentunya profesionalisme petani amat dibutuhkan.
Termasuk
pula
dalam
sektor
publik,
profesionalisme
para
penyelenggara layanan publik amat dibutuhkan seiring dengan semakin kompleks dan dinamisnya kehidupan masyarakat yang membutuhkan penanganan pemerintah. Oleh sebab itu tantangan ke depan adalah meningkatkan etos kerja dan profesionalisme masyarakat Bali di berbagai sektor.
4
d.
Tatanan sosial: Bagi sebagian kalangan, kemajuan-kemajuan sosial di Bali nampaknya disetarakan dengan liberalisasi yang kebablasan. Liberalisasi yang kebablasan di sebagian kalangan masyarakat nampak dari sejumlah fenomena seperti seks pranikah bahkan bergonta-ganti pasangan yang berimplikasi pada penyebaran HIV-AIDS, maraknya bermunculan sekolah-sekolah dengan bahasa pengantar asing dan kurikulum ala Barat, sehingga sejak usia dini anak-anak Bali, generasi masa depan Bali, alam berpikir dan perilakunya telah dididik, dirancang dan dibentuk dengan pola Barat (asing). Dalam kesehariannya sebagian anak-anak Bali yang sejak usia dini telah mengenyam pendidikan ala Barat menjadi lebih fasih berkomunikasi dengan Bahasa asing daripada Bahasa Ibunya sendiri. Bahasa mencerminkan budaya, oleh sebab itu fenomena ini merupakan suatu bentuk penjajahan budaya, Neo Imperialisme dan Neo Kolonialisme yang akan dapat merusak tatanan sosial masyarakat Bali dan nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Fenomena
lainnya
adalah
maraknya
tumbuh
ormas
yang
menggunakan simbol-simbol adat dan keagamaan, namun justru melakukan tindakan Adharma, seperti aksi-aksi kekerasan bahkan pembunuhan. Ormasormas ini secara gencar pula mempublikasikan dirinya secara terbuka dan merekrut generasi muda dari kota hingga di perdesaan sehingga muncul menjadi sebuah “kekuatan politik”. Kondisi-kondisi yang tidak sehat tersebut tidak boleh dibiarkan, karena akan merusak seluruh tatanan yang ada, serta akan menjadi cerminan kondisi Bali di masa depan. Tentunya ini bukan merupakan kondisi yang diimpikan dan didambakan oleh masyarakat Bali yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Oleh sebab itu tantangan pembangunan pada aspek ini adalah menumbuhkan kembali nilai-nilai spiritualitas, nilai-nilai Dharma sehingga dapat teraktualisasikan dalam dimensi pikiran, perkataan dan perbuatan, tidak sebatas pada bahasa-bahasa simbol.
III. Dimensi Palemahan: a.
Perubahan Iklim: Perubahan iklim telah menjadi isu global, dan sebagai bagian dari masyarakat global yang turut merasakan dampaknya, masyarakat Bali berkewajiban turut berpartisipasi dalam upaya meminimalisir dampak perubahan iklim. Banyak kearifan lokal yang dapat direvitalisasi kembali sebagai bagian dari kontribusi Bali terhadap isu perubahan iklim. Pelaksanaan Catur Brata Penyepian merupakan salah satu bentuk kontribusi Bali terhadap penanganan perubahan iklim. Tidak dilaksanakannya aktivitas sosial ekonomi masyarakat dan tidak menyalakan lampu telah turut mengurangi emisi gas karbon yang berperan dalam perubahan iklim. Tantangan selanjutnya adalah meningkatkan kesadaran dan pemahaman
5
kepada masyarakat terkait berbagai kearifan lokal yang dapat menjadi sumbangsih Bali terhadap penanggulangan perubahan iklim. b.
Air bersih: Seluruh aktivitas kehidupan membutuhkan dukungan air bersih. Kehidupan manusia membutuhkan air bersih, hewan dan tumbuhan juga membutuhkan air bersih. Bali dengan jumlah penduduk yang padat dan terus meningkat dari tahun ke tahun tentunya juga membutuhkan suplai air bersih yang turut mengalami peningkatan. Di sisi lain keberadaan wilayah hutan yang menunjang sumbersumber air bersih cenderung tetap bahkan ada yang berkurang. Oleh sebab itu keberadaan hutan dan wilayah-wilayah yang menunjang ketersediaan air bersih perlu dipertahankan. Alternatif lainnya adalah dengan memanfaatkan teknologi desalinasi sehingga air laut dapat pula dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi. Tantangannya adalah mengimplementasikan teknologi desalinasi terhadap air laut agar dapat dimanfaatkan sebagai air bersih yang layak dikonsumsi. Tentunya hal ini tetap dilakukan dengan memperhitungkan pula faktor resiko dan dampaknya terhadap ekosistem laut.
c.
Pangan Pangan merupakan kebutuhan pokok kehidupan, yang sejatinya sumberdayanya dimiliki oleh Bali. Namun seiring dengan kemajuan pembangunan fisik, sebagian lahan pertanian yang menjadi basis produksi pangan telah mengalami peralihan fungsi. Mendorong peningkatan produktivitas dan swasembada pangan khususnya beras telah menjadi wacana yang sulit untuk diwujudkan. Oleh sebab itu lahan-lahan pertanian yang masih ada di berbagai wilayah di Bali perlu dijaga dan dipertahankan secara sistematis melalui dukungan seluruh sistem yang terkait dengannya, mulai dari sistem pengairan, pola tanam dan pemeliharaan, teknologi pengolahan, termasuk ketrampilan dan kompetensi petani hingga sistem tata niaganya. Tantangan Bali dalam aspek ini adalah mempertahankan dan merevitalisasi lahan pertanian tanaman pangan yang masih ada, sekaligus mulai mengarah pada diversifikasi pola konsumsi untuk menghindari ketergantungan yang demikian tinggi terhadap pangan beras.
d.
Energi Sekalipun dari segi ukuran Pulau Bali tergolong kecil, namun konsumsi energi yang dibutuhkan untuk menunjang seluruh aktivitas kehidupan di Bali amat tinggi. Hal ini sebagai konsekuensi dari kemajuan industri pariwisata dan tingginya laju pertumbuhan penduduk di Bali. Hingga saat ini Bali masih menggantungkan diri dari suplai energi dari Pulau Jawa. Kemandirian energi untuk Bali tentu bukan merupakan opsi yang bisa dipilih, mengingat Bali memang tidak memiliki potensi untuk itu. Oleh sebab itu tantangan yang perlu disikapi ke depan adalah mengembangkan
budaya
hemat
energi
sekaligus
mengimplementasikan
teknologi tepat guna dalam rangka penghematan energi yang ramah lingkungan.
6
e.
Infrastruktur Infrastruktur memiliki peranan yang penting dalam mendukung kemajuan sosial ekonomi Bali. Berbagai infrastruktur modern telah dibangun di Bali, yang terkini adalah pembangunan jembatan di atas perairan dan underpass serta short cut pada jalur Denpasar-Gilimanuk. Sekalipun demikian masih terdapat sejumlah persoalan
pembangunan
yang
menuntut
adanya
inovasi-inovasi
dan
pengembangan di bidang infrastruktur, seperti kemacetan lalu lintas di wilayah perkotaan Denpasar dan Badung, masih terdapat jalan lintas kabupaten yang rusak, belum mencapai kondisi mantap dan terang-benderang, tidak berfungsi optimalnya drainase yang berimplikasi pada terjadinya banjir, adanya kawasan kumuh dengan sanitasi yang buruk, infrastruktur jaringan internet yang terkonsentrasi di Bali Selatan, masih adanya wilayah di Bali yang berada dalam kondisi tidak terjangkau sinyal telepon (blank spot), dan masih adanya keluarga dengan rumah tidak layak huni dan sebagainya. Dengan demikian tantangan Bali ke depan adalah mendorong pembangunan infrastruktur publik berkualitas yang dapat semakin memperlancar aksesibilitas antar wilayah, sekaligus meningkatkan keamanan dan kenyamanan masyarakat.
c) Pemetaan Potensi Sumberdaya Pembangunan Bali Bali memiliki beragam sumberdaya pembangunan dari berbagai sektor, seperti pertanian, pariwisata dan industri kerajinan. Namun sumberdaya yang tidak kalah pentingnya dalam rangka memperkuat Bali ke depan adalah sumberdaya politik, dalam artian peta kekuatan politik Bali yang nantinya akan dikelola untuk dapat mendorong dan bersinergi dengan kepemimpinan di tingkat Provinsi Bali. Pemetaan sumberdaya politik eksisting, saat ini, berdasarkan partai politik yang dipercaya menjalankan roda pemerintahan (eksekutif): 1) Kota Denpasar
: PDI-P
2) Kabupaten Badung
: PDI-P
3) Kabupaten Tabanan
: PDI-P
4) Kabupaten Jembrana
: PDI-P
5) Kabupaten Buleleng
: PDI-P
6) Kabupaten Karangasem : Nasdem 7) Kabupaten Gianyar
: PDI-P
8) Kabupaten Klungkung : Gerindra 9) Kabupaten Bangli
: PDI-P
Melihat sumberdaya politik yang seperti itu pada dasarnya konsolidasi antara kepemimpinan tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota lebih mudah dilakukan karena adanya kesamaan platform politik. Momentum ini menjadi amat tepat dan menjadi modal dasar dalam mengharmonisasikan perencanaan pembangunan Bali pada tahun 2018-2023.
7
Selanjutnya pemetaan secara umum atas potensi sumberdaya perekonomian Bali berdasarkan atas kewilayahan dan kondisi masing-masing wilayah adalah sebagai berikut: 1) Kota Denpasar
: Jasa, perdagangan, pariwisata
2) Kab. Badung
: Pariwisata, perdagangan, industri kerajinan
3) Kab. Tabanan
: Pertanian, peternakan, industri kerajinan, pariwisata
4) Kab. Jembrana
: Pertanian/perkebunan,
peternakan,
pariwisata
(skala
terbatas) 5) Kab. Buleleng
: Pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata
6) Kab. Karangasem : Pertanian/perkebunan lahan kering, industri kerajinan, pariwisata 7) Kab. Gianyar
: Pertanian/perkebunan, industri kerajinan, pariwisata
8) Kab. Klungkung
: Pertanian/perkebunan,
peternakan, industri
kerajinan,
pariwisata 9) Kab. Bangli
: Pertanian/perkebunan, peternakan, pariwisata
Pemetaan di atas hanya bersifat garis besar sehingga secara umum jenis potensi yang dimiliki nampak hampir sama. Sekalipun demikian pada dasarnya bobot potensi yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten tentunya berbeda, sehingga diperlukan kajian lebih lanjut sehingga dapat diketahui potensi terbesar yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten. Setiap kabupaten/kota
selayaknya
mengembangkan
sektor
yang
paling
potensial
dan
mengoptimalkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masingmasing daerah. Berdasarkan potensi yang dimiliki, maka terdapat daerah-daerah yang berfungsi pada level hulu, misalnya sebagai penyedia pangan dan air, terdapat daerah yang melaksanakan fungsi pada level tengah, melaksanakan aktivitas pengolahan sumberdaya berdasarkan bahan baku yang disuplai oleh daerah hulu dan terdapat pula daerah-daerah pada level hilir, yang menyerap dan memanfatkan hasil olahan sumber daya pada daerah tengah. Ketiga daerah ini saling mendukung dan bersinergi satu sama lain dalam jalinan kesatuan hulutengah-hilir. Tujuannya adalah mewujudkan sinergi dan konektivitas antar wilayah dalam konsep Bali sebagai satu kesatuan manajemen pulau (One Island Management), dan menghindari terjadi homogenitas pengembangan sektor ekonomi. Hal ini memang tidak mudah diwujudkan, karena membutuhkan kemauan, kerelaan dan dukungan secara politik dan penganggaran, sehingga setiap kabupaten dapat mengubah mind set dan orientasi kebijakan pembangunan ekonominya tidak semata-mata mengejar sektor pariwisata yang dipersepsikan sebagai jalan yang paling cepat dalam mencapai kemajuan ekonomi. d) Rumusan Pokok Pemikiran untuk Bali Tahun 2018-2023 Berdasarkan isu strategis dan tantangan pembangunan, serta potensi yang telah dipetakan maka perlu dilakukan langkah-langkah sistematis berencana yang berpedoman pada suatu dokumen perencanaan komprehensif berupa Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana agar terjalin suatu aktivitas pembangunan yang bersinergi antar wilayah,
8
kabupaten/kota, provinsi dan nasional sebagai satu kesatuan sistem pembangunan nasional. Mengingat besarnya tantangan yang dihadapi, maka pelaksanaannya harus berlandaskan pada semangat gotong-royong, menyama braya, dengan mengedepankan ajaran Tri Sakti Bung
Karno
yaitu
Berdaulat
secara
Politik,
Berdikari Secara
Ekonomi,
dan
Berkepribadian secara Budaya. Oleh sebab itu dirumuskan pokok-pokok pikiran tentang Pembangunan Bali Tahun 2018-2023 melalui visi dan misi pembangunan Bali Tahun 20182023 sebagai berikut: Visi: “Memantapkan Arah Pembangunan menuju Bali yang Kuat, Progresif dan Berbudaya” Makna dari uraian visi di atas adalah bahwa arah pembangunan Bali harus direncanakan dengan baik untuk memperkuat kembali tatanan sosial budaya dan ekonomi masyarakat sehingga semakin solid dan tangguh dalam menghadapi tantangan dan kompetisi yang semakin ketat. Masa depan Bali terletak pada ketahanan sosial masyarakatnya, oleh sebab itu aspek-aspek kehidupan masyarakat yang berlandaskan pada kearifan lokal bernafaskan Hindu harus ditata dan diperkuat sebagai “benteng” dalam menghadapi perubahan bahkan transformasi sosial. Ini adalah makna dari Kuat. Sedangkan Progresif bermakna sikap dan kultur masyarakat Bali, dapat beralih dari tradisi gugon tuwon, melainkan memahami tattwa dan sastra agama yang menjadi landasan dalam menuju kemajuan-kemajuan. Progresif bermakna adaptif dan bergerak maju mengikuti perubahan jaman, namun berlandaskan pada kekuatan identitas dan kultural sebagai manusia Bali yang berorientasi masa depan. Selanjutnya Berbudaya merupakan semangat untuk mempertebal kembali spirit menyama braya, gotong royong, budaya santun dan saling menghormati antar sesama, serta menghargai kebhinekaan. Jalinan tiga dimensi yaitu Kuat, Progresif dan Berbudaya ini berorientasi pada Bali yang Jagadhita, ditunjang oleh manusia-manusia yang berbudaya Bali, berjiwa nasionalis membela NKRI dan Pancasila, serta Go Global, kompetitif, mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya dalam era liberalisasi ekonomi dunia. Visi tersebut diraih melalui sembilan misi pembangunan Bali tahun 2018-2023 sebagai berikut: Misi: 1) Memperkuat sendi-sendi kehidupan melalui kearifan lokal yang bernafaskan Agama Hindu dan menghormati kebhinekaan. 2) Memupuk semangat menyama braya dan gotong royong sebagai modal sosial kehidupan masyarakat Bali. 3) Menata sistem pelayanan publik yang profesional, responsif dan akuntabel 4) Memperkuat harmonisasi dan integrasi kebijakan pembangunan antar kabupaten/kota dalam kerangka satu kesatuan sistem pembangunan Bali yang berkelanjutan.
9
5) Memberdayakan pelaku-pelaku usaha ekonomi produktif dan ekonomi kreatif berbasis lokal. 6) Mengakselerasi pembangunan infrastruktur inovatif yang berorientasi pada peningkatan aksesibilitas antar wilayah. 7) Mendorong penerapan teknologi tepat guna yasang efisien dan ramah lingkungan. 8) Meningkatkan profesionalisme di sektor-sektor strategis untuk menciptakan insan-insan yang kompetitif dan mampu bersaing secara global 9) Mewujudkan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
e) Penutup Bali merupakan masterpiece (Maha karya) Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa yang patut disyukuri. Bali juga merupakan sebuah spirit yang harus diperjuangkan bersama. Oleh sebab itu setiap insan, terutama orang Bali, memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral untuk menjaga dan melestarikan Bali dari berbagai aspek. Untuk mewujudkannya maka pembangunan Bali harus dilaksanakan secara sistematis dan terencana untuk mencapai arah dan sasaran yang jelas. Pokok-pokok pikiran ini menawarkan sebuah haluan dan peta jalan untuk mewujudkan Bali yang Kuat, Progresif dan Berbudaya, berlandaskan semangat menyama braya dan gotong-royong yang ditunjang oleh kesatuan arah dan gerak pembangunan seluruh kabupaten/kota se-Bali. Di masa kini dan masa depan tantangan dan permasalahan yang dihadapi Bali dan masyarakatnya semakin berat dan kompleks. Oleh sebab itu langkah-langkah nyata dan yang dilaksanakan secara bersama harus dilakukan demi keberlanjutan Bali. Perspektif, cara berpikir dan cara-cara kerja yang lama sudah tidak dapat digunakan lagi untuk memecahkan beragam tantangan dan permasalahan pembangunan yang kompleks tersebut. Kondisi yang demikian harus dihadapi pula dengan cara berpikir dan kerja yang baru, bahkan revolusioner. Dalam perubahan tersebut kearifan lokal budaya Bali hendaknya tetap menjadi kompas dan lentera agar Bali tidak kalah dan salah arah. Oleh sebab itu Bali Tahun 2018-2023 harus diupayakan menjadi Bali yang Kuat, Progresif dan Berbudaya.
10