Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis
KARS
KEMENTERIAN KESEHATAN RI 2013
Disclaimer Buku ini didanai oleh United States Agency for International Development dibawah USAID Tuberculosis CARE I, Cooperative Agreement No. AID-OAA-A-10-00020 Buku ini menjadi mungkin berkat dukungan yang baik dari rakyat Amerika melalui United States Agency for International Development (USAID). Isi menjadi tanggung jawab TB CARE I dan tidak mencerminkan visi USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
KATA PENGANTAR
I
ndonesia merupakan negara ke-4 dengan jumlah pasien tuberkulosis terbanyak di dunia. Pengobatan tuberkulosis merupakan salah satu cara untuk mengendalikan infeksi dan menurunkan penularan tuberkulosis. Program Tuberkulosis Nasional telah berhasil mencapai target Millenium Development Goals berupa meningkatkan penemuan kasus baru BTA positif sebanyak 70 % dan angka kesembuhan 85% namun sebagian rumah sakit dan praktik swasta masih belum melaksanakan strategi Directly Observed Treatment Short- course (DOTS) maupun International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). Upaya memperluas penerapan strategi DOTS masih merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam pengendalian tuberkulosis. Monitoring dan evaluasi telah dilakukan pada tahun 2005 dengan hasil angka putus obat yang masih tinggi mencapai 50-85 % meskipun angka penemuan kasus tuberkulosis sudah cukup tinggi. Tata laksana tuberkulosis yang seharusnya sesuai pedoman nasional dan ISTC tetapi pada praktiknya lebih cenderung kepada pengalaman dan pengetahuan masing-masing praktisi. Buku pedoman yang telah tersedia saat ini memiliki isi yang baik tetapi tidak disusun berdasarkan Praktik Kedokteran Berbasis Bukti, oleh sebab itu dibuatlah Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tuberkulosis ini. Tujuan PNPK ini adalah membuat pedoman berdasarkan bukti ilmiah untuk para praktisi yang menangani tuberkulosis dan memberikan rekomendasi bagi rumah sakit dan penentu kebijakan untuk menyusun protokol setempat atau paduan praktik klinik. PNPK ini juga dapat dijadikan sebagai dasar bagi Kolegium untuk menyusun kurikulum pendidikan dokter. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya ditujukan kepada seluruh anggota tim penyusun termasuk para pakar yang telah memberikan kontribusi. Hal yang sama ditujukan kepada Kementerian Kesehatan RI, khususnya seluruh anggota Konsorsium Upaya Kesehatan, Dirjen Bina Upaya Kesehatan dan Menteri Kesehatan RI atas bantuan dan kerjasamanya. Akhirnya tim penyusun dengan tangan terbuka mengharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan buku pedoman ini.
Jakarta, September 2013 Tim Penyusun
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR SINGKATAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan C. Sasaran BAB II METODOLOGI A. Penelusuran Kepustakaan B. Penilaian C. Peringkat Bukti D. Derajat Rekomendasi BAB III PROGRAM NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS A. Latar Belakang B. Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis BAB IV TUBERKULOSIS PARU A. ϐ B. Diagnosis Tuberkulosis C. Pengobatan Tuberkulosis Paru D. Tuberkulosis Resisten Obat BAB V A. B. C. D. E. F. G. BAB VI
vi
TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS Tuberkulosis Milier Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus Tuberkulosis Paru dengan HIV / AIDS Tuberkulosis Paru pada Ibu Hamil dan Menyusui Tuberkulosis Paru dengan Penyakit Ginjal Kronik Tuberkulosis Paru dengan Kelainan Hati Hepatitis Imbas Obat
TUBERKULOSIS EKSTRAPARU A. Tuberkulosis Pleura
iii iv vi vi vii 1 1 5 5 7 7 7 7 7 8 8 15 17 17 22 25 36 41 41 42 43 49 51 53 54 58 60
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
B. C. D. E. F. G. H. I. J. BAB VII A. B. C. D. E.
Limfadenopati Tuberkulosis Tuberkulosis Saluran Urogenital Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat Tuberkulosis Tulang dan Sendi Tuberkulosis Gastrointestinal Tuberkulosis Endometrium Tuberkulosis Perikardial Tuberkulosis Kulit Pengobatan Tuberkulosis Ekstraparu TUBERKULOSIS PADA ANAK Penemuan Kasus Pasien Tuberkulosis Anak Diagnosis TB Anak Diagnosis TB pada anak dengan sistem skoring Tata Laksana Efek Samping Obat Pencegahan Tuberkulosis
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
61 61 64 68 71 73 74 76 77 81 82 83 90 100 100
vii
DAFTAR TABEL 1.1. Penerapan Strategi DOTS di Berbagai Fasilitas Kesehatan 4.1 Dosis Rekomendasi Obat Antituberkulosis Lini Pertama untuk Dewasa 4.2 Paduan Standar Pasien TB Kasus Baru (Dengan Asumsi atau Diketahui Peka OAT) 4.3 'H¿QLVL+DVLO3HQJREDWDQ 4.4 Pendekatan Berdasarkan Gejala Untuk Mengobati Efek Tidak Diinginkan Abat Antituberkulosis 5.1 Dosis Yang Direkomendasikan Untuk Pasien Dewasa Dengan Penurunan Fungsi Ginjal Dan Untuk Pasien Dewasa Dengan Hemodialisis 6.1 Pemeriksaan yang Dianjurkan untuk Diagnosis Tuberkulosis Ekstraparu 6.2 Estimasi Produksi Cairan Serebrosinal, Volume dan Jumlah yang Aman untuk Pungsi Lumbal 7.1 Sistem Skoring Diagnosis TB Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer 7.2 Rekomendasi WHO untuk Terapi Tuberkulosis pada Anak
2 25 27 32 33 53 59 66 97 98
DAFTAR GAMBAR 4.1. 4.2 5.1 6.1 7.1
viii
Algoritme Diagnosis Tuberkulosis Paru pada Dewasa Algoritme Pengobatan Tuberkulosis Paru pada Dewasa Algoritme Tata Laksana TB-HIV Algoritma Diagnosis Tuberkulosis Susunan Saraf Pusat Alur Tata Laksana TB Anak di Layanan Primer
24 33 46 68 93
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
DAFTAR SINGKATAN x 2RHZE/4R3H3: 2 bulan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan dilanjutkan 4 bulan rifampisin, isoniazid yang diberikan secara intermiten 3 kali seminggu x 2RHZE/4RH: 2 bulan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan dilanjutkan 4 bulan rifampisin, isoniazid x 2RHZE/6HE: 2 bulan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan dilanjutkan 6 bulan isoniazid, etambutol x 2RHZES/1RHZE/5RHE: 2 bulan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol, sterptomisin dan dilanjutkan 1 bulan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan dilanjutkan 5 bulan rifampisin, isoniazid, etambutol x 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs / 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs: Z: 6 bulan pirazinamid, HWDPEXWRONDQDPLVLQOHYRÀRNVDVLQHWLRQDPLGVLNORVHULQGDQGLODQMXWNDQ EXODQSLUD]LQDPLGHWDPEXWROOHYRÀRNVDVLQHWLRQDPLGVLNORVHULQ x BKPM: balai kesehatan paru masyarakat x BTA: basil tahan asam x DOTS: Directly Observed Treatment Short Course x DPS: dokter praktik swasta x EBM: evident base medicine x ETD: efek obat tidak diinginkan x Gerdunas TB: gerakan terpadu nasional pengendalian tuberkulosis x +,9KXPDQLPPXQRGH¿FLHQF\YLUXV x INH: isoniazide x ISTC: International Standards for Tuberculosis Care x KDT:obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap x MDG: Millenium Development Goals x MDR-TB: multidrugs-resistance tuberculosis x OAT: obat antituberkulosis x PAS: para amino salisilat x PMO: pengawas menelan obat x PNPK: pedoman nasional pelayanan kedokteran x PPK: panduan praktik klinik
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
ix
x x x x x x x
x
PPM: public private mix SKRT: survei kesehatan rumah tangga SPS: dahak sewaktu, pagi, sewaktu TB-RR: tuberkulosis resistens rifampisin TB: tuberkulosis WHO: World Health Organization XDR-TB: extensively-drugs resistance tuberculosis
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang
T
uberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB
yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena TB. Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang.1,2 Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati urutan keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia merupakan negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006.1,2
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka penemuan dan angka kesembuhan, penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC).2,3 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
1
Pada awalnya, penerapan strategi DOTS di Indonesia hanya dilaksanakan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Seiring berjalannya waktu, strategi DOTS mulai dikembangkan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) dan rumah sakit baik pemerintah maupun swasta. Hasil survei prevalens TB tahun 2004 melaporkan bahwa pola pencarian pengobatan sebagian besar pasien TB ketika pertama kali sakit adalah rumah sakit sehingga melibatkan rumah sakit untuk melaksanakan strategi DOTS menjadi sesuatu yang penting yang memberikan kontribusi berarti terhadap upaya penemuan pasien TB.2,4 Tabel 1.1 menggambarkan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang telah menerapkan strategi DOTS. Tabel 1.1. Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang telah menerapkan strategi DOTS.
Jumlah total FPK
Jumlah (%) FPK yang telah menerapkan DOTS
7352
7200 (98%)
BP4
26
26 (100%)
RS Paru
9
9 (100%)
1645 563 78 147 848
30%
90.000
Tidak diketahui
Fasulitas pelayanan kesehatan Puskesmas
Rumah Sakit RS Pemerintah RS BUMN RS TNI/Polri RS Swasta Praktisi Swasta
*sumber: data provinsi pada pertemuan evaluasi nasional TB 2010
Dikutip dari (2)
Upaya perluasan strategi DOTS ke rumah sakit merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam mengendalikan TB. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh program nasional TB pada tahun 2005 menyebutkan bahwa meskipun angka penemuan kasus TB di rumah sakit cukup tinggi, angka keberhasilan pengobatan
2
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
masih rendah, yaitu di bawah 50% dengan angka putus berobat mencapai 50%-85%.4 Public-Private Mix (PPM) adalah keterlibatan seluruh penyedia kesehatan publik dan swasta, formal dan informal dalam penyediaan perawatan TB sesuai dengan International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) untuk pasien yang telah atau diduga menderita TB. Belum terdapat komitmen kuat dari pihak manajemen (pimpinan rumah sakit) dan tenaga medis (dokter umum dan spesialis) serta paramedis dalam penanggulangan TB sesuai ISTC. Laporan hasil evaluasi Joint External TB Monitoring Mission (JEMM) 2011 menyebutkan, dari sekitar 1523 rumah sakit di Indonesia, hanya 38% yang melaksanakan program DOTS. Public private mix memungkinkan semua penyedia layanan kesehatan untuk berpartisipasi dalam memberikan gabungan yang tepat dari tugas pelayanan kesehatan yang selaras dengan program pengendalian penyakit nasional dan dilaksanakan secara lokal.5 Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya angka putus obat mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman terhadap OAT (obat anti TB) yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan bertambah lamanya pengobatan. Angka putus obat di rumah sakit di Jakarta pada tahun 2006 sekitar 7%. Berdasarkan laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2009, proporsi putus obat pada pasien TB paru kasus baru dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif berkisar antara 0,6%-19,2% dengan angka putus obat tertinggi yaitu di provinsi Papua Barat;; angka putus obat di Jakarta pada tahun 2009 sebesar 5,7%.4 Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya kasus putus obat pada pasien TB paru. Komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dengan pasien merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan pengobatan. Penelitian yang dilakukan oleh Janani dkk.6 di Srilanka pada tahun 2002 menyatakan bahwa putus obat berhubungan dengan kebiasaan merokok, riwayat pengobatan TB sebelumnya, dan luas lesi radiologis. Penelitian di India pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa putus obat berhubungan dengan jenis kelamin, konsumsi alkohol, usia, status pengobatan TB dan jumlah kuman BTA pada awal pemeriksaan.7 Penelitian di Uzbekistan pada tahun 2005 menyatakan bahwa putus obat juga berhubungan dengan status pekerjaan.8
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
3
Selain itu juga terdapat beberapa penelitian lain yang menyatakan bahwa putus obat berhubungan dengan status perkawinan, jarak rumah ke tempat pengobatan (RS), penghasilan, efek samping pengobatan, tingkat pendidikan, penyakit penyerta (DM, hepatitis, tumor paru, dll), sumber biaya pengobatan, jenis pengobatan yang digunakan dan pengawas menelan obat (PMO). 9,10 Pelatihan DOTS bagi dokter praktik swasta telah dilaksanakan di sepuluh kota / kabupaten di delapan provinsi (Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Jambi). Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) bekerjasama dengan Program TB Nasional telah membentuk sebuah sistem yang memfasilitasi para spesialis paru di Jakarta agar mendukung pelaksanaan PPM di Indonesia sehingga dapat meningkatkan angka diagnosis dan kesembuhan pasien TB. Perkumpulan Dokter Paru Indonesia pusat telah melatih 23 dokter spesialis paru dan 23 perawat di wilayah DKI. Jumlah total keseluruhan dokter yang sudah dilatih 250 orang (data Subdit TB, tidak dipublikasikan).2
Permasalahan 1. Penanganan TB yang seharusnya sesuai dengan pedoman nasional dan International Standard for Tuberculosis Care (ISTC), dalam praktik sebagian dokter tidak mengikutinya tetapi lebih cenderung menggunakan pengalaman dan pengetahuan semasa pendidikan 2. Buku pedoman yang sudah ada sebenarnya isinya sudah baik tetapi ditulis tidak sesuai dengan evidence-based medicine (EBM), oleh sebab itu PNPK ini dibuat sesuai EBM agar menjadi acuan bagi para praktisi yang menangani TB 3. Lebih dari 75% dokter praktik swasta tidak terpajan Directcly Observed Treatment Short Course (DOTS) dan ISTC 4. Data TB nasional tidak mencerminkan keadaan sebenarnya karena sebagian besar dokter praktik terutama dokter praktik swasta (DPS) tidak memberikan kontribusi kepada data surveilans nasional 5. Ancaman TB resisten obat akibat tata laksana TB yang tidak tepat 6. Belum ada keseragaman dalam tata laksana TB
4
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
B. Tujuan 1. Tujuan umum Membuat pedoman berdasarkan bukti ilmiah untuk para praktisi yang menangani TB 2. Tujuan khusus a. Memberi rekomendasi bagi rumah sakit / penentu kebijakan untuk menyusun protokol setempat atau panduan praktik klinis (PPK) dengan melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini b. 0HQLQJNDWNDQDQJNDQRWL¿NDVLSDVLHQ7% c. Mencegah TB resisten obat d. Menjadi dasar bagi kolegium untuk membuat kurikulum e. Menurunkan morbiditas dan mortalitas TB
C. Sasaran 1. Semua tenaga medis yang terlibat dalam penanganan TB, termasuk dokter spesialis, dokter umum dan perawat. Panduan ini diharapkan dapat diterapkan di layanan kesehatan primer dan rumah sakit. 2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan dan kelompok profesi terkait.
Daftar pustaka 1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2012 [Internet]. 2013 [cited 2013 May 15]. Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr12_main.pdf. 2. Kementrian Kesehatan RI. Rencana aksi nasional: public private mix pengendalian TB Indonesia: 2011- 2014. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2011. 3. Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Indonesia. Panduan tata laksana TB sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk dokter praktik swasta (DPS). Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 2011 4. Kementerian Kesehatan RI. Terobosan menuju akses universal: Strategi pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2010. 5. World Health Organization. Public private mix for TB care and control: A toolkit. World Health Organization. Geneva, 2010. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
5
6. Pinidiyapathirage J, Senaratne W, Wickremasinghe R. Prevalence and predictors of default with tuberculosis treatment in Srilanka. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2008;;39:1077-82. 7. Vijay S, Kumar P, Chauhan LS, Hanumanthappa B, Kizhakkethil, Rao SG. Risk factors associated with default among new smear positive TUBERKULOSIS patients treated under DOTS in India. Plos ONE. 2010;;5:1-9. 8. Coker R. Tuberculosis, non-compliance and detention for the public health. J Med Ethics. 2000;;26:157-9. 9. Erawatyningsih E, Purwanta, Subekti H. Factors affecting incompliance with medication among lung tuberculosis patients. Berita Kedokteran Masyarakat. 2009;;25:117-23. 10. Chan-Yeung M, Noertjojo K, Leung CC, Chan SL, Tam CM. Prevalence and predictors of default from tuberculosis treatment in Hongkong. Hongkong Med J. 2003;;9:263-8.
6
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
BAB II METODOLOGI
A. Penelusuran pustaka Penelusuran kepustakaan dilakukan secara manual dan secara elektronik, kata kunci yang digunakan yaitu tuberculosis, guidelines, DOTS, ISTC.
B. Telaah kritis Setiap bukti ilmiah yang diperoleh dilakukan telaah kritis oleh pakar dalam bidang Ilmu Pulmonologi, Penyakit Dalam, Anak, Bedah Ortopedi, Bedah Digestif, Kulit, Kebidanan, Neurologi, Urologi.
C. Peringkat bukti Level evidence yang digunakan adalah: x Level I : metaanalisis, uji klinis besar dengan randomisasi x
Level II : uji klinis lebih kecil / tidak dirandomisasi
x
Level III : penelitian retrospektif, observasional
x
Level IV : serial kasus, laporan kasus, konsensus, pendapat ahli
D. Derajat rekomendasi Berdasarkan peringkat di atas dapat dibuat rekomendasi sebagai berikut: x
Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level I
x
Rekomendasi B bila berdasar pada bukti level II
x
Rekomendasi C bila berdasar pada bukti level III
x
Rekomendasi D bila berdasar pada bukti level IV
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
7
BAB III PROGRAM NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
A. Latar belakang
P
engendalian tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberculosis (OAT) yang digunakan adalah paduan (regimen) standar isoniazid (INH), asam para amino salisilat (PAS) dan streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam para amino salisilat kemudian diganti dengan pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri atas isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 6 bulan.1
Pada tahun 1995 Program Nasional Pengendalian TUBERKULOSIS mulai menerapkan strategi directly observed treatment short course (DOTS) dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.1 Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain:1 x Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,7% dari total jumlah pasien TB dunia, dengan setiap tahun ada 450.000 kasus baru dan 65.000 kematian. Penemuan kasus TB apusan dahak basil tahan asam (BTA) positif sejumlah 19.797 pada tahun 2011.2
8
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
x Pada tahun 2009, prevalens HIV pada kelompok TB di Indonesia adalah sekitar 2,8%. x Prevalens TB resisten OAT ganda (multidrug resistance = MDR) di antara kasus TB baru adalah sebesar 2%, dan di antara kasus pengobatan ulang adalah sebesar 12%, sesuai laporan WHO tahun 2012.2 x Pada tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. x Hasil survei TB di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan bahwa prevalens TB dengan apusan dahak BTA positif secara nasional adalah 110 per 100.000 penduduk. Sampai tahun 2011, keterlibatan dalam program Pengendalian TB dengan strategi DOTS meliputi 98% Puskesmas, sementara di rumah sakit umum dan Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM) mencapai sekitar 50%.
Pedoman Nasional Pengendalian TB I. Visi dan Misi1 Visi “Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan” Misi a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani dalam pengendalian TB. b. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya pengendalian TB. d. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
9
II. Tujuan dan Sasaran Tujuan Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.1 Sasaran Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana strategis Kementerian Kesehatan dari 2009 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan prevalens TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sasaran luaran adalah:3 (1) meningkatkan persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90%;; (2) meningkatkan persentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%;; (3) meningkatkan persentase provinsi dengan crude death rate (CDR) di atas 70% mencapai 50%;; (4) meningkatkan persentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%.
III. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia1 1.
Dasar Hukum Dalam rangka penyelenggaraan Program Nasional TB sebagai dasar hukum adalah: 1. UU No 23/92: Kewenangan penyelenggaraan Program Nasional ada pada pemerintah – Pasal 6: Pemerintah bertugas dan mengatur,membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan merata & terjangkau masyarakat. – Pasal 9: Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. – Pasal 53: hak perlindungan hukum KUHP ps 50 jalankan UU KUHP ps 51 atas perintah atasan
10
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
2. UU No 32 th 2004 tentang Pemerintah daerah: – amandemen UUD 1945 Pasal 17 dan Pasal 18, istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan” Sebagai landasan atau aspek legal penyelenggaraan penanggulangan TB nasional adalah:1 a. Kepmenkes No 364/Menkes/SK/V/2009 tanggal 13 Mei 2009 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan TB b. SK Menkes RI Nomor 13/2013 tentang Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat c. Surat Edaran Dirjen Bina Pelayanan Medik No. YM.02.08/III/673/07 tentang penatalaksaan TB di Rumah Sakit d. SK Menkes No.1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Kolaborasi TB- HIV 2. Target Program TB Target program penanggulangan TB Nasional adalah:1 x Mulai tahun 2005 menemukan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan pasien baru TB BTA positif x Menyembuhkan paling sedikit 85% dari semua pasien baru TB BTA positif yang diobati. Kenaikan anga penemuan semua kasus TB sebesar 5% dari capaian tahun sebelumnya (SPK 2013). Sedangkan Millenium Development Goals (MDGs) menargetkan pada tahun 2015 angka insidens dan kematian akibat TB dapat diturunkan sebesar 50% dibanding tahun 1990. Pada tahun 2010, target-target tersebut sudah dapat tercapai. 3. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut:1 a. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan asas desentralisasi dalam kerangka autonomi dengan Kabupaten / kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
11
dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana). b. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan memperhatikan strategi Global Stop TB partnership. c. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program pengendalian TB. d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB kebal obat ganda. e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah, B/BKPM, Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya. f. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan di antara sektor pemerintah, non-pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB). g. Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan. h. Obat anti-TB (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin ketersediaannya. i. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. j. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB. k. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. l. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs. 4. Strategi Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014 Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri atas 7 strategi:1,3
12
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
a. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu. b. Menghadapi tantangan TB/HIV, TB resisten obat ganda, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya. c. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix (PPM) dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB Care. d. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB. e. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB. f. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB. g. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis. 5. Kegiatan1 a. Tata laksana pasien TB: x Penemuan tersangka (suspek) TB x Diagnosis x Pengobatan b. Manajemen Program: x Perencanaan x Pelaksanaan o Pencatatan dan pelaporan o Pelatihan o Bimbingan teknis o Pemantapan mutu laboratorium o Pengelolaan logistik x Pemantauan dan Evaluasi c. Kegiatan Penunjang: x Promosi x Kemitraan x Penelitian
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
13
d. Kolaborasi TB / HIV di Indonesia, meliputi: x Membentuk mekanisme kolaborasi x Menurunkan beban TB pada ODHA dan x Menurunkan beban HIV pada pasien TB. 6. Organisasi Pelaksanaan Aspek manajemen program:1 a. Tingkat Pusat Upaya penanggulangan TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas-TB) yang merupakan forum lintas sektor di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Menteri Kesehatan R.I sebagai penanggung jawab teknis upaya penanggulangan TB. Pelaksanaan program TB secara nasional dilaksanakan oleh Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung, cq. Sub Direktorat TB. b. Tingkat Provinsi Di tingkat provinsi dibentuk Gerdunas-TB provinsi yang terdiri atas Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Pelaksanaan program TB di tingkat provinsi dilaksanakan dinas kesehatan provinsi. c. Tingkat Kabupaten / Kota Di tingkat kabupaten / kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri atas Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Pelaksanaan program TB di tingkat kabupaten / kota dilaksanakan oleh dinas kesehatan kabupaten / kota.
Aspek Tata Laksana Pasien TB:1
14
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, B/BKPM, Klinik Pengobatan dan DPS. a.
Puskesmas Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri atas Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan didukung oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan JHRJUD¿V\DQJVXOLWGDSDWGLEHQWXN3XVNHVPDV3HODNVDQD0DQGLUL330 \DQJ dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA. Rumah Sakit Rumah Sakit Umum, B/BKPM, dan klinik pengobatan lain yang dapat melaksanakan semua kegiatan tata laksana pasien TB. Dokter Praktik Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya. Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit.
b.
c.
B. Standar internasional untuk pelayanan TB1
(International Standards for TB Care, ISTC) dan (Patients’ Charter For TB Care, PCTC).
Pada tahun 2005 International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) dikembangkan oleh semua organisasi profesi internasional dan diperbarui pada tahun 2009. Standar tersebut juga didukung oleh organisasi profesi di Indonesia;; International Standards for Tuberculosis Care merupakan standar minimal yang harus dipenuhi dalam tata laksana pasien TB, yang terdiri atas 6 standar untuk penegakan diagnosis TB, 7 standar untuk pengobatan TB, 4 standar untuk penyakit penyerta dan infeksi HIV pada TB dan 4 standar untuk fungsi tanggung jawab kesehatan masyarakat.4,5
Beberapa hal yang perlu diketahui dalam ISTC tersebut adalah:
1) Standar tersebut dibuat dan akan digunakan oleh semua profesi yang terkait dalam penanggulangan TB di semua tempat, 2) Standar digunakan untuk menangani semua pasien TB, baik TB anak, TB
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
15
paru BTA positif dan BTA negatif, TB ekstraparu, TB kebal obat serta TB/ HIV, 3) Tiap orang yang menangani TB harus menjalankan fungsi kesehatan masyarakat dengan tingkat tanggung jawab yang tinggi terhadap masyarakat dan pasien, 4) Konsisten dengan pedoman internasional yang sudah ada.
Daftar pustaka 1. Surya A, Bassri C, Kamso S, ed. Pedoman Nasional Pengendalian TB. 2nd ed. Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;; 2011. 2. World Health Organization. Global tuberculosis report 2012 [Internet]. 2013 [cited 2013 May 15]. Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr12_main.pdf. 3. Kementrian Kesehatan RI. Terobosan menuju akses universal: strategi pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta, 2010. 4. Hopewell PC PM, Maher D, Uplekar M, Raviglione MC. International standards for tuberculosis care (ISTC). Lancet Infect Dis. 2006;;6:710-25. 5. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for tuberculosis care (ISTC), 2nd ed. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. The Hague, 2009.
16
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
BAB IV TUBERKULOSIS PARU $'H¿QLVLSDVLHQ7% Tersangka pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB ( sebelumnya dikenal sebagai suspek TB ) 3DVLHQ7%EHUGDVDUNDQNRQ¿UPDVLKDVLOSHPHULNVDDQEDNWHULRORJLV Adalah seorang pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis, biakan atau diagnostik cepat yang diakui oleh :+2 PLVDO *HQH;SHUW 6HPXD SDVLHQ \DQJ PHPHQXKL GH¿QLVL LQL KDUXV dicatat tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum. Termasuk dalam tipe pasien tersebut adalah : - Pasien TB paru BTA positif : Pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan dahaknya positif dengan cara pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat (misalnya GeneXpert) 3DVLHQ7%EHUGDVDUNDQGLDJQRVLVNOLQLV Adalah seseorang yang memulai pengobatan sebagai pasien TB namun tidak PHPHQXKL GH¿QLVL GDVDU GLDJQRVLV EHUGDVDUNDQ NRQ¿UPDVL KDVLO SHPHULNVDDQ bakteriologis. Termasuk dalam tipe pasien ini adalah : - Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil foto toraks sangat mendukung gambaran TB - Pasien TB ekstra paruWDQSDKDVLONRQ¿UPDVLSHPHULNVDDQODERUDWRULXP &DWDWDQ - Pasien TB dengan diagnosis klinis apabila kemudian terbukti hasil pemeriksaan laboratorium BTA positif (sebelum atau setelah menjalani pengobatan) KDUXV GLNODVL¿NDVLNDQ NHPEDOL VHEDJDL SDVLHQ 7% GHQJDQ NRQ¿UPDVL KDVLO
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
17
SHPHULNVDDQEDNWHULRORJLVVHEDJDLPDQDGH¿QLVLSDVLHQWHUVHEXWGLDWDV - Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya dianjurkan pada pasien dengan dengan pertimbangan sebagai berikut : Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung TB Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal : pada TB meningen, TB milier, pasien dengan HIV positif dsb. Tindakan pengobatan untuk kepentingan pasien dan sebaiknya diberikan atas persetujuan tertulis dari pasien atau yang diberi kuasa. Apabila fasilitas memungkinkan, segera diupayakan pemeriksaan penunjang yang sesuai misal : pemeriksaan biakan, pemeriksaan diagnostik cepat dsb. untuk memastikan diagnosis.
Semua orang dengan batuk produktif dua sampai tiga minggu yang tidak dapat dijelaskan sebaiknya dievaluasi untuk TB. Standar 1 International Standards for Tuberculosis Care
.ODVL¿NDVL7% 'LDJQRVLV 7% GHQJDQ NRQ¿UPDVL EDNWHULRORJLV DWDX NOLQLV GDSDW GLNODVL¿NDVLNDQ berdasarkan:1,2 -‐
lokasi anatomi penyakit;;
-‐
riwayat pengobatan sebelumnya;;
-‐
hasil bakteriologis dan uji resistensi OAT;; (pada revisi guideline WHO tahun 2013 hanya tercantum resisten obat)
-‐
status HIV.
D.ODVL¿NDVLEHUGDVDUNDQORNDVLDQDWRPL1 -‐
18
TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial.
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
7%PLOLHUGLNODVL¿NDVLNDQVHEDJDL7%SDUXNDUHQDWHUGDSDWOHVLGLSDUX3DVLHQ \DQJPHQJDODPL7%SDUXGDQHNVWUDSDUXKDUXVGLNODVL¿NDVLNDQVHEDJDLNDVXV TB paru. -‐
TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstraparu dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan NRQ¿UPDVLEDNWHULRORJLV
E.ODVL¿NDVLEHUGDVDUNDQULZD\DWSHQJREDWDQ1,2 x
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
x
.DVXV GHQJDQ ULZD\DW SHQJREDWDQ sebelumnya adalah pasien yang pernah PHQGDSDWNDQ 2$7 EXODQ DWDX OHELK .DVXV LQL GLNODVL¿NDVLNDQ OHELK ODQMXW berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut: o Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode rekuren (baik untuk kasus yang benar-benar kambuh atau episode baru yang disebabkan reinfeksi). o Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan. o Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut- turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan. (Pada UHYLVLJXLGHOLQH:+2WDKXQNODVL¿NDVLLQLGLUHYLVLPHQMDGLpasien dengan perjalanan pengobatan tidak dapat dilacak (loss to follow up) yaitu pasien yang pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan). o .ODVL¿NDVLEHULNXWLQLEDUXGLWDPEDKNDQSDGDUHYLVLguideline WHO tahun 2013 yaitu: NDVXV GHQJDQ ULZD\DW SHQJREDWDQ ODLQQ\D adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
19
tidak diketahui atau tidak didokumentasikan. o Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB (TB 03) lain XQWXNPHODQMXWNDQSHQJREDWDQ.ODVL¿NDVLLQLWLGDNODJLWHUGDSDWGDODP revisi guideline WHO tahun 2013). o 3DVLHQ \DQJ WLGDN GLNHWDKXL ULZD\DW SHQJREDWDQ VHEHOXPQ\D adalah pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas. 3HQWLQJ GLLGHQWL¿NDVL ULZD\DW SHQJREDWDQ VHEHOXPQ\D NDUHQD WHUGDSDWQ\D ULVLNR resisten obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan pemeriksaan biakan spesimen dan uji resistensi obat atau metode diagnostik cepat yang telah disetujui WHO (Xpert MTB/RIF) untuk semua pasien dengan riwayat pemakaian OAT.1,2 F .ODVL¿NDVL EHUGDVDUNDQ KDVLO SHPHULNVDDQ EDNWHULRORJLV GDQ XML UHVLVWHQVL obat Semua pasien suspek / presumtif TB harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk PHQJNRQ¿UPDVLSHQ\DNLW7%3HPHULNVDDQEDNWHULRORJLVPHUXMXNSDGDSHPHULNVDDQ DSXVDQGDKDNDWDXVSHVLPHQODLQDWDXLGHQWL¿NDVLM. tuberculosis berdasarkan biakan atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat rekomendasi WHO (Xpert MTB/ RIF).2 Pada wilayah dengan laboratorium jaminan mutu eksternal, kasus TB paru dikatakan apusan dahak positif berdasarkan terdapatnya paling sedikit hasil pemeriksaan apusan dahak BTA positif pada satu spesimen pada saat mulai pengobatan. Pada GDHUDKWDQSDODERUDWRULXPGHQJDQMDPLQDQPXWXHNVWHUQDOPDNDGH¿QLVLNDVXV7% apusan dahak positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen pada pemeriksaan apusan dahak adalah BTA positif.2 Kasus TB paru apusan negatif adalah:2 1. Hasil pemeriksaan apusan dahak BTA negatif tetapi biakan positif untuk M. tuberculosis 2. Memenuhi kriteria diagnostik berikut ini: o keputusan oleh klinisi untuk mengobati dengan terapi antiTB lengkap;; DAN o temuan radiologis sesuai dengan TB paru aktif DAN: 20
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
-‐
terdapat bukti kuat berdasarkan laboratorium atau manifestasi klinis;; ATAU
-‐
bila HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui tetapi tinggal di daerah dengan prevalens HIV rendah), tidak respons dengan antibiotik VSHNWUXPOXDVGLOXDU2$7GDQÀXRURNXLQRORQGDQDPLQRJOLNRVLGD
.DVXV7%SDUXWDQSDSHPHULNVDDQDSXVDQGDKDNWLGDNGLNODVL¿NDVLNDQDSXVDQQHJDWLI tetapi dituliskan sebagai “apusan tidak dilakukan”.2 G.ODVL¿NDVLEHUGDVDUNDQVWDWXV+,91 x .DVXV7%GHQJDQ+,9SRVLWLIDGDODKNDVXV7%NRQ¿UPDVLEDNWHULRORJLVDWDX klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien telah terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi ARV. x .DVXV 7% GHQJDQ +,9 QHJDWLI DGDODK NDVXV 7% NRQ¿UPDVL EDNWHULRORJLV atau klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian hari KDUXVGLVHVXDLNDQNODVL¿NDVLQ\D x .DVXV 7% GHQJDQ VWDWXV +,9 WLGDN GLNHWDKXL DGDODK NDVXV 7% NRQ¿UPDVL bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui +,9SRVLWLIGLNHPXGLDQKDULKDUXVGLVHVXDLNDQNODVL¿NDVLQ\D Menentukan dan menuliskan status HIV adalah penting untuk mengambil keputusan pengobatan, pemantauan dan menilai kinerja program. Dalam kartu berobat dan register TB, WHO mencantumkan tanggal pemeriksaan HIV, dimulainya terapi SUR¿ODNVLVNRWULPRNVD]ROGLPXODLQ\DWHUDSLDQWLUHWURYLUDO
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
21
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang dicurigai TB paru sebaiknya mengirimkan dua spesimen dahak untuk pemeriksaan mikroskopik ke laboratorium yang terjamin kualitasnya. Bila mungkin diperoleh paling sedikit satu spesimen pagi karena memiliki hasil yang terbaik. Semua orang dengan temuan foto toraks tersangka TB sebaiknya mengirimkan spesimen dahak untuk pemeriksaan mikrobiologi. Standar 2 dan 4 International Standards for Tuberculosis Care
B. Diagnosis tuberkulosis Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu spesimen NRQ¿UPDVL M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis sesuai TB. WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan / atau isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan: x Semua pasien dengan riwayat OAT.3,4 TB resisten obat banyak didapatkan pada pasien dengan riwayat gagal terapi.5 x Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat. x Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat. x Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.6 WHO juga merekomendasi uji resistensi obat selama pengobatan berlangsung pada situasi berikut ini: x Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada akhir fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan berikutnya. Jika hasil apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat atau pemeriksaan Xpert MTB/RIF harus dilakukan.
22
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Metode konvensional uji resistensi obat :+2 PHQGXNXQJ SHQJJXQDDQ PHWRGH ELDNDQ PHGLD FDLU GDQ LGHQWL¿NDVL M. tuberculosis cara cepat dibandingkan media padat saja. Metode cair lebih sensitif mendeteksi mikobakterium dan meningkatkan penemuan kasus sebesar 10% dibandingkan media padat di samping lebih cepat memperoleh hasil sekitar 10 hari dibandingkan 28-42 hari dengan media padat.5
Metode cepat uji resistensi obat (uji diagnostik molekular cepat) Xpert assay GDSDW PHQJLGHQWL¿NDVL M. tuberculosis dan mendeteksi resisten ULIDPSLVLQGDULGDKDN\DQJGLSHUROHKGDODPEHEHUDSDMDP$NDQWHWDSLNRQ¿UPDVL7% resisten obat dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan kebutuhan metode biakan dan uji resistensi obat konvensional yang penting untuk menegakkan GLDJQRVLVGH¿QLWLI7%SDGDSDVLHQGHQJDQDSXVDQ%7$QHJDWLIGDQXMLUHVLVWHQVLREDW untuk menentukan kepekaan OAT lainnya selain rifampisin.7 'LDJQRVLV 7% GLWHJDNNDQ EHUGDVDUNDQ WHUGDSDW SDOLQJ VHGLNLW VDWX VSHVLPHQ NRQ¿UPDVL M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis dan radiologis sesuai TB.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
23
Suspek TB
Sputum mikroskopia (BTA)
BTA (+)
Foto toraks
BTA (-)
Kasus definitif TB BTA (+)
Lihat klinis dan foto toraks
Tidak sesuai TB
Antibiotik 2 minggu
Perbaikan
Bukan TB
Sesuai TB
Kasus TB BTA (-)
Tidak perbaikan, klinis sesuai TB
Obati sesuai kasus TB BTA (-) serta melakukan pemeriksaan biakan sputum M.tb
Gambar 4.1. Algoritme diagnosis TB paru pada dewasa
24
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
C. Pengobatan tuberkulosis paru Tujuan pengobatan TB adalah:2 -‐
Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
-‐
Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
-‐
Mencegah kekambuhan TB
-‐
Mengurangi penularan TB kepada orang lain
-‐
Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.
World Health Organization merekomendasikan obat kombinasi dosis tetap (KDT) untuk mengurangi risiko terjadinya TB resisten obat akibat monoterapi. Dengan KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat yang harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien dan kesalahan resep oleh dokter juga diperkecil karena berdasarkan berat badan.2,8 Dosis harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok berat badan 30-37 kg BB, 38-54 kg BB, 55-70 kg BB dan lebih dari 70 kg BB.9 Tabel 4.1. Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa Dosis rekomendasi OAT
Harian
3 kali per minggu
Dosis (mg/kgBB)
Maksimum (mg)
Dosis (mg/kgBB)
Maksimum (mg)
5 (4-6)
300
10 (8-12)
900
Rifampisin
10 (8-12)
600
10 (8-12)
600
Pirazinamid
25 (20-30)
-
35 (30-40)
-
Etambutol
15 (15-20)
-
30 (25-35)
-
Streptomisin*
15 (12-18)
15 (12-18)
1000
Isoniazid
*Pasien berusia di atas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg per hari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada pasien kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg per hari. Dikutip dari (2)
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
25
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri atas isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri atas isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat anti TB yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri atas kombinasi 2 obat (isoniazid), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat direkomendasikan. Standar 8 International Standards for Tuberculosis Care
Paduan obat standar untuk pasien dengan kasus baru Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT kecuali:2 o tinggal di daerah dengan prevalens tinggi resisten isoniazid ATAU o riwayat kontak dengan pasien TB resisten obat. Pasien kasus baru seperti ini cenderung memiliki pola resistensi obat yang sama dengan kasus sumber. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji resistensi obat sejak awal pengobatan dan sementara menunggu hasil uji resistensi obat maka paduan obat yang berdasarkan uji resistensi obat kasus sumber sebaiknya dimulai. Lihat Tabel 4.2. Paduan 2RHZE/6HE didapatkan lebih banyak menyebabkan kasus kambuh dan kematian dibandingkan paduan 2RHZE/4RH.10 Berdasarkan hasil penelitian metaanalisis ini maka WHO merekomendasikan paduan 2RHZE/4RH.2 Pasien yang menerima OAT tiga kali seminggu memiliki angka resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang menerima pengobatan harian. Oleh sebab itu WHO merekomendasikan pengobatan dengan paduan harian sepanjang periode pengobatan OAT (2RHZE/4RH) pada pasien dengan TB paru kasus baru dengan alternatif paduan 2RHZE/4R3H3 yang harus disertai pengawasan ketat secara langsung oleh pengawas menelan obat (PMO).2,11 Obat program yang berasal dari pemerintah Indonesia memilih menggunakan paduan 2RHZE/4R3H3 dengan pengawasan ketat secara langsung oleh PMO. 26
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Tabel 4.2. Paduan obat standar pasien TB kasus baru (dengan asumsi atau diketahui peka OAT) Fase intensif
Fase lanjutan
RHZE 2 bulan
RH 4 bulan Dikutip dari (2)
Berdasarkan hasil penelitian metaanalisis maka WHO merekomendasikan paduan standar untuk TB paru kasus baru adalah 2RHZE/4RH Rekomendasi A Paduan alternatif 2RHZE/4R3H3 harus disertai pengawasan ketat secara langsung untuk setiap dosis obat. Rekomendasi B
3DGXDQREDWVWDQGDUXQWXNSDVLHQGHQJDQULZD\DW2$7VHEHOXPQ\D Global Plan to Stop TB 2006-2015 mencanangkan target untuk semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji resistensi OAT pada awal pengobatan. Uji resistensi obat dilakukan sedikitnya untuk isoniazid dan rifampisin dan tujuannya DGDODKPHQJLGHQWL¿NDVL7%UHVLVWHQREDWVHGLQLPXQJNLQVHKLQJJDGDSDWGLEHULNDQ pengobatan yang tepat.2,12 Jenis pengobatan OAT ulang bergantung pada kapasitas laboratorium daerah setempat. Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji resistensi obat berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien.13 Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji resistensi obat konvensional dengan media cair atau padat dan mendaparkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan empiris sambil menunggu hasil uji resistensi obat.2 Pasien dengan kasus seperti ini dapat menerima kembali paduan OAT lini pertama (2RHZES/1RHZE/5RHE).2,14 Perlu dicatat bahwa pengobatan ulang dengan paduan OAT lini pertama ini tidak didukung oleh bukti uji klinis. Metode ini didesain untuk digunakan pada daerah dengan prevalens rendah TB resisten obat primer dan bagi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
27
pasien yang sebelumnya diobati dengan paduan yang mengandung rifampisin pada fase 2 bulan pertama.15
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalens resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Uji resistensi obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitivitas/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimalkan kemungkinan penularan. Cara-cara pengontrolan infeksi yang memadai seharusnya dilakukan. Standar 11 International Standards for Tuberculosis Care
Pemantauan respons pengobatan Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapi. Pemantauan yang regular DNDQ PHPIDVLOLWDVL SHQJREDWDQ OHQJNDS LGHQWL¿NDVL GDQ WDWD ODNVDQD UHDNVL REDW tidak diinginkan. Semua pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya pengobatan.2 Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respons pengobatan TB paru dipantau dengan apusan dahak BTA.2 Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi seluruh obat yang diberikan, respons bakteriologis, resistensi obat dan reaksi tidak diinginkan untuk setiap pasien pada Kartu Berobat TB.2 WHO merekomendasi pemeriksaan apusan dahak BTA pada akhir fase intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik kasus baru dan pengobatan ulang. Apusan dahak BTA dilakukan pada akhir bulan kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang. Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan apusan dahak BTA negatif.2 28
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal berikut ini:13 -‐
supervisi kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk;;
-‐
kualitas OAT yang buruk;;
-‐
dosis OAT di bawah kisaran yang direkomendasikan;;
-‐
resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang banyak;;
-‐
terdapatnya komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terapi;;
-‐
pasien memiliki M. tuberculosis resisten obat yang tidak memberikan respons terhadap terapi OAT lini pertama;;
-‐
bakteri mati yang terlihat oleh mikroskop.
Foto toraks untuk memantau respons pengobatan tidak diperlukan, tidak dapat diandalkan.14
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien. Standar 13 International Standard for Tuberculosis Care
Menilai respons pengobatan pada pasien TB kasus baru Pemeriksaan dahak tambahan (pada akhir bulan ketiga fase intensif sisipan) diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif.2 Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan pada pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA masih positif pada akhir bulan ketiga. Tujuan utamanya adalah mendeteksi kuman resisten obat tanpa harus menunggu bulan kelima untuk mendapatkan terapi yang tepat.2
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
29
Pada daerah yang tidak memiliki kapasitas laboratorium untuk biakan dan uji resistensi obat maka pemantauan tambahan dengan apusan dahak BTA positif pada bulan ketiga adalah pemeriksaan apusan dahak BTA pada satu bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan (bulan keenam).2 Bila hasil apusan dahak BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir pengobatan berarti pengobatan gagal dan Kartu Berobat TB ditutup dengan hasil “gagal” dan Kartu Berobat TB yang baru dibuka dengan tipe pasien “pengobatan setelah gagal.” Bila seorang pasien didapatkan TB dengan strain resisten obat maka pengobatan dinyatakan gagal kapanpun waktunya.2 Pada pasien dengan apusan dahak BTA negatif (atau tidak dilakukan) pada awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan kedua pengobatan maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut. Pemantauan dilakukan secara klinis dan berat badan merupakan indikator yang sangat berguna.2
Respons terhadap terapi pada pasien TB paru harus dimonitor dengan pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) waktu fase intensif selesai (dua bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase intensif, apus dahak harus diperiksa kembali pada akhir bulan ketiga dan, jika positif, biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus dilakukan. Pada pasien TB ekstraparu dan pada anak, penilaian respons pengobatan terbaik adalah secara klinis. Standar 10 International Standards for Tuberculosis Care
Pemeriksaan dahak tambahan (pada akhir bulan ketiga setelah fase intensif sisipan) diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif. Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan pada pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA masih positif pada akhir sisipan. Rekomendasi A
30
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
0HQLODLUHVSRQV2$7OLQLSHUWDPDSDGDSDVLHQ7%GHQJDQULZD\DW pengobatan sebelumnya Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya bila spesimen yang diperoleh pada akhir fase intensif (bulan ketiga) adalah BTA positif maka biakan dahak dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan.2 Bila apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif maka sebaiknya dilakukan kembali apusan dahak BTA pada akhir bulan kelima dan akhir pengobatan (bulan kedelapan). Bila hasil apusan dahak bulan kelima tetap positif maka pegobatan dinyatakan gagal. Bila laboratorium yang tersedia sudah memiliki kapasitas yang cukup maka biakan dahak dan uji resistensi obat dilakukan pada awal pengobatan dan bila hasil apusan dahak BTA positif saat pengobatan.2 6HPXDNDVXV7%GHQJDQNRQ¿UPDVLEDNWHULRORJLVGDQNOLQLVKDUXVGLWHPSDWNDQGDODP kelompok hasil pengobatan berikut ini (Tabel 4.3) kecuali TB resisten rifampisin (TB-RR) atau TB resisten obat ganda, yang ditempatkan dalam kelompok paduan obat lini kedua.
3HQJREDWDQ SDVLHQ 7% GHQJDQ ULZD\DW SXWXV REDW SHUMDODQDQ pengobatan tidak dapat dilacak) Bila seorang pasien satu kali saja tidak berkunjung untuk mengambil OAT pada fase intensif maka pemberi layanan TB / puskesmas harus menghubungi pasien tersebut dalam satu hari setelah OAT habis, sedangkan pada fase lanjutan adalah satu minggu setelah OAT habis. Penting untuk mengetahui penyebab ketidakhadiran pasien sehingga tindakan yang tepat dapat diambil dan pengobatan dapat dilanjutkan.2 Biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan pada pasien yang menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut atau lebih.2
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
31
Tabel 4.3. 'H¿QLVLKDVLOSHQJREDWDQ +DVLO Sembuh
'H¿QLVL 3DVLHQ7%SDUXGHQJDQNRQ¿UPDVLEDNWHULRORJLVSDGDDZDO pengobatan dan apusan dahak BTA negatif atau biakan negatif pada akhir pengobatan dan / atau sebelumnya.
Pengobatan lengkap
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki bukti gagal TETAPI tidak memiliki rekam medis yang menunjukkan apusan dahak BTA atau biakan negatif pada akhir pengobatan dan satu kesempatan sebelumnya, baik karena tidak dilakukan atau karena hasilnya tidak ada.
Pengobatan gagal
Pasien TB dengan apusan dahak atau biakan positif pada bulan kelima atau setelahnya selama pengobatan. Termasuk MXJDGDODPGH¿QLVLLQLDGDODKSDVLHQGHQJDQVWUDLQNXPDQ resisten obat yang didapatkan selama pengobatan baik apusan dahak BTA negatif atau positif.
Meninggal
Pasien TB yang meninggal dengan alasan apapun sebelum dan selama pengobatan.
Putus obat (pada revisi guideline WHO 2013 GH¿VLQLLQLGLUHYLVL menjadi “tidak dapat dilacak”)
Pasien TB yang tidak memulai pengobatan atau menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut atau lebih.
Dipindahkan (pada revisi guideline WHO GH¿VLQLLQL direvisi menjadi “tidak dievaluasi”)
Pasien yang dipindahkan ke rekam medis atau pelaporan lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Pengobatan sukses
Jumlah pasien TB dengan status hasil pengobatan sembuh dan lengkap. Dikutip dari (1,2)
Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya bila spesimen yang diperoleh pada akhir fase intensif (bulan ketiga) adalah BTA positif maka biakan dahak dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan. Rekomendasi A
32
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
TB Paru TB Paru Kasus Baru
OAT Kategori I
TB Paru Kasus Pengobatan Ulang
OAT Kategori II, bila terdapat hasil biakan sputum M.Tb dan uji kepekaan obat maka terapi disesuaikan
Gambar 4.2. Algoritme pengobatan TB paru pada dewasa.
Efek OAT yang tidak diinginkan Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa kejadian tidak diinginkan yang bermakna namun sebagian kecil dapat mengalaminya. Karena itu penting memantau klinis pasien selama pengobatan sehingga efek tidak diinginkan dapat dideteksi segera dan ditata laksana dengan tepat. Pasien yang sehat dapat mencegah efek samping induksi obat. Neuropati perifer seperti kebas atau rasa seperti terbakar pada tangan atau kaki sering terjadi pada perempuan hamil, infeksi HIV, penyalahgunaan alkohol, malnutrisi, diabetes, penyakit hati kronik, gagal ginjal.2 Pada pasien seperti ini sebaiknya diberikan pengobatan pencegahan dengan piridoksin 25 mg/ hari bersama dengan OAT.16 Lihat Tabel 4.4. (IHN WLGDN GLLQJLQNDQ 2$7 GDSDW GLNODVL¿NDVLNDQ PD\RU GDQ PLQRU 3DVLHQ \DQJ mengalami efek samping OAT minor sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simptomatik. Pada pasien yang mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT penyebab sebaiknya dihentikan pemberiannya.2
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
33
Tabel 4.4. Pendekatan berdasarkan gejala untuk mengobati efek tidak diinginkan OAT Efek tidak diinginkan (ETD)
Kemungkinan obat penyebab
Mayor Ruam kulit dengan atau tanpa gatal
Sterptomisin, isoniazid, rifampisin, pirazinamid Streptomisin
Pengobatan Hentikan obat penyebab dan rujuk kepada dokter ahli segera Hentikan OAT
Tuli (tidak didapatkan kotoran yang mneyumbat telinga pada pemeriksaan otoskopi) Pusing (vertigo dan nistagmus) Streptomisin Jaundis (penyebab lain disingkirkan), Isoniazid, hepatitis pirazinamid, rifampisin Bingung (curigai gagal hati akut Sebagian besar terinduksi obat bila terdapat jaundis) OAT Gangguan penglihatan (singkirkan Etambutol penyebab lainnya) Syok, purpura, gagal ginjal akut Streptomisin
Hentikan streptomisin
Minor
Lanjutkan OAT, cek dosis OAT
Anoreksia, mual, nyeri perut
Pirazinamid, rifampisin, isoniazid
Nyeri sendi
isoniazid
Rasa terbakar, kebas atau kesemutan di tangan dan kaki Rasa mengantuk
isoniazid
Air kemih berwarna kemerahan
rifampisin
6LQGURPÀXGHPDPPHQJJLJLO malaise, sakit kepala, nyeri tulang)
Pemberian rifampisin intermiten
isoniazid
Hentikan streptomisin Hentikan OAT
Hentikan OAT Hentikan etambutol Hentikan streptomisin Berikan obat dengan bantuan sedikit makanan atau menelan OAT sebelum tidur, dan sarankan untuk menelan pil secara lambat dengan sedikit air. Bila gejala menetap atau memburuk, atau muntah berkepanjangan atau terdapat tanda-tanda perdarahan, pertimbangkan kemungkinan ETD mayor dan rujuk ke dokter ahli segera $VSLULQDWDXREDWDQWLLQÀDPDVL nonsteroid, atau parasetamol Piridoksin 50-75 mg/ hari(13) Pastikan untuk memberi obat sebelum tidur Pastikan pasien diberitahukan sebelum mulai minum obat dan bila hal ini terjadi adalah normal Ubah pemberian rifampisin intermiten menjadi setiap hari13
Dikutip dari (2)
34
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
3HQJDZDVDQGDQNHWDDWDQSDVLHQGDODPSHQJREDWDQ2$7 Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk mencapai kesembuhan, mencegah penularan dan menghindari kasus resisten obat. Pada “Stop TB Strategy” mengawasi dan mendukung pasien untuk minum OAT merupakan landasan DOTS dan membantu mencapai target keberhasilan pengobatan 85%.17 Kesembuhan pasien dapat dicapai hanya bila pasien dan petugas pelayanan kesehatan berkerjasama dengan baik dan didukung oleh penyedia jasa kesehatan dan masyarakat.14 Pengobatan dengan pengawasan membantu pasien untuk minum OAT secara teratur dan lengkap. Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan metode pengawasan yang direkomendasikan oleh WHO dan merupakan paket pendukung yang dapat menjawab kebutuhan pasien. Pengawas menelan obat (PMO) harus mengamati setiap asupan obat bahwa OAT yang ditelan oleh pasien adalah tepat obat, tepat dosis dan tepat interval, di sampingitu PMO sebaiknya adalah orang telah dilatih, yang dapat diterima baik dan dipilih bersama dengan pasien. Pengawasan dan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan akan memberikan kesempatan lebih EDQ\DNXQWXNHGXNDVLLGHQWL¿NDVLGDQVROXVLPDVDODKPDVDODKVHODPDSHQJREDWDQ TB. Directly Observed Treatment Short CourseVHEDLNQ\DGLWHUDSNDQVHFDUDÀHNVLEHO dengan adaptasi terhadap keadaan sehingga nyaman bagi pasien.2,16,18 Directly Observed Treatment Short Course mengandung lima komponen: 1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional 2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis. 3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung. 4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan. 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar.
Pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB Salah satu komponen penting surveilans adalah pencatatan dan pelaporan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang dapat diolah, dianalisis, diintepretasi, disajikan dan disebarluaskan. Data yang dikumpulkan harus akurat, lengkap dan tepat waktu
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
35
sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program TB diperoleh dari pencatatan di semua sarana pelayanan kesehatan dengan satu sistem baku.9 Formulir yang digunakan dalam pencatatan TB di fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan penyakit paru, klinik dan dokter praktek swasta, dll. adalah:9 x x x x x x x x
Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01) Kartu identitas pasien TB (TB.02) Register TB sarana pelayanan kesehatan (TB.03 sarana pelayanan kesehatan) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10) Register Laboratorium TB (TB.04)
D. Tuberkulosis resisten obat .DVXV7%GLNODVL¿NDVLNDQGDODPNDWHJRULEHUGDVDUNDQXMLUHVLVWHQVLREDWGDULLVRODW NOLQLV\DQJGLNRQ¿UPDVLM. tuberculosis yaitu:1 x Monoresisten: isolat M. tuberculosis kebal terhadap salah satu OAT lini pertama. x Poliresisten: isolat M. tuberculosis kebal dua atau lebih OAT lini pertama selain kombinasi rifampisin dan isoniazid. x Resisten obat ganda atau dikenal dengan multidrug-resistant tuberculosis (MDR- TB): isolat M. tuberculosis resisten minimal terhadap isoniazid and rifampisin yaitu OAT yang paling kuat dengan atau tanpa disertai resisten terhadap OAT lainnya. x Resisten berbagai OAT / extensively drug-resistant tuberculosis (XDR-TB): adalah 7%UHVLVWHQREDWJDQGD\DQJGLVHUWDLUHVLVWHQWHUKDGDSVDODKVDWXÀXRURNXLQRORQ dan salah satu dari tiga obat injeksi lini kedua (amikasin, kapreomisin atau kanamisin). x Resisten rifampisin: resisten terhadap rifampisin yang dideteksi menggunakan metode fenotipik dan genotipik, dengan atau tanpa resisten terhadap OAT
36
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
lain. Apapun dengan resisten rifampisin termasuk dalam kategori ini, baik monoresisten, poliresisten, resisten obat ganda atau resisten berbagai OAT. x Resisten OAT total / totally drug-resistant tuberculosis (TDR-TB): TB resisten dengan semua OAT lini I dan lini II. Pasien TB resisten obat ganda diobati dengan OAT lini kedua atau obat cadangan. Obat lini kedua ini tidak seefektif OAT lini pertama dan menyebabkan lebih banyak efek samping.19 Kriteria suspek TB resisten obat berdasarkan Program Nasional adalah: 1. kasus kronik atau pasien gagal pengobatan dengan OAT kategori II, 2. pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ketiga dengan OAT kategori II, 3. pasien yang pernah diobati TB secara substandar di fasyankes tanpa DOTS, termasuk penggunaan OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin, 4. pasien gagal pengobatan dengan OAT kategori I, 5. pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan OAT kategori I, 6. kasus TB kambuh, 7. pasien yang kembali setelah lalai pada pengobatan kategori I dan / atau kategori II, 8. pasien suspek TB dengan keluhan yang tinggal dekat pasien TB resisten obat JDQGD NRQ¿UPDVL WHUPDVXN SHWXJDV NHVHKDWDQ \DQJ EHUWXJDV GL EDQJVDO 7% resisten obat ganda, 9. pasien koinfeksi TB-HIV, yang tidak memberikan respons klinis terhadap pengobatan TB dengan OAT lini pertama. Diagnosis TB resisten obat ganda dipastikan berdasarkan hasil uji resistensi dari laboratorium dengan jaminan mutu eksternal. Semua suspek TB resisten obat ganda diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. Jika hasil uji kepekaaan terdapat M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid maka dapat ditegakkan diagnosis TB resisten obat ganda.20 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
37
Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji resistensi dan frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Di bawah ini beberapa strategi pengobatan TB resisten obat ganda:19 x
x
x
Pengobatan paduan standar. Data survei resistensi obat dari populasi pasien yang representatif digunakan sebagai dasar paduan pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji resistensi individual. Seluruh pasien akan mendapatkan paduan pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB resisten obat ganda VHEDLNQ\DGLNRQ¿UPDVLGHQJDQXMLUHVLVWHQVLREDW Pengobatan paduan empiris. Setiap paduan pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji resistensi pada populasi representatif. Biasanya paduan pengobatan empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji resistensi obat individual. Pengobatan paduan individual. Paduan pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji resistensi pasien bersangkutan.
Paduan obat standar TB resisten obat ganda di Indonesia adalah minimal 6 bulan IDVHLQWHQVLIGHQJDQSDGXDQREDWSLUD]LQDPLGHWDPEXWRONDQDPLVLQOHYRÀRNVDVLQ etionamid, sikloserin dan dilanjutkan 18 bulan fase lanjutan dengan paduan obat SLUD]LQDPLG HWDPEXWRO OHYRÀRNVDVLQ HWLRQDPLG VLNORVHULQ =( .Q/I[(WR Cs / 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs). Etambutol dan pirazinamid dapat diberikan namun tidak termasuk obat paduan standar, bila telah terbukti resisten maka etambutol tidak diberikan.19,20 Pengobatan TB resisten obat ganda dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif dan lanjutan. Lama fase intensif paduan standar Indonesia adalah berdasarkan konversi biakan. Obat suntik diberikan selama fase intensif diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan atau minimal 4 bulan setelah konversi biakan. Namun rekomendasi WHO tahun 2011 menyebutkan fase intensif yang direkomendasikan paling sedikit 8 bulan. Pendekatan individual termasuk hasil biakan, apusan dahak BTA, foto toraks dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik. Sedangkan total lamanya pengobatan paduan standar yang berdasarkan konversi biakan adalah meneruskan pengobatan minimal 18 bulan setelah konversi
38
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
biakan. Namun WHO tahun 2011 merekomendasikan total lamanya pengobatan adalah paling sedikit 20 bulan.2,19
Daftar pustaka 1. :RUOG+HDOWK2UJDQL]DWLRQ'H¿QLWLRQDQGUHSRUWLQJIUDPHZRUNIRUWXEHUFXORVLVUHYLVLRQ Geneva: WHO Press;; 2010. 2. World Health Organization. Treatment of tuberculosis: guidelines. 4th ed. Geneva: WHO Press;; 2010. 3. World Health Organization. The Global Plan to Stop TB, 2006–2015. Mandelbaum-Schmid J, editor. Geneva: WHO Press;; 2006. 4. World Health Organization. The global MDR-TB & XDR-TB response plan 2007-2008. Geneva: WHO Press;; 2007. 5. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: WHO Press;; 2008. 6. Espinal M, Raviglione MC. From threat to reality: the real face of multidrug-resistant tuberculosis. Am J of Respir and Crit Care Med. 2008;;178:216-7. 7. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. 2011 update. Geneva: WHO Press;; 2011. 8. Menzies D, Benedetti A, Paydar A, Martin I, Royce S, Pai M, et al. Effect of duration and intermittency of rifampin on tuberculosis treatment outcomes: a systematic review and meta- analysis. PloS Medicine. 2009;;6(9):e1000146. 9. Surya A, Bassri C, Kamso S, ed. Pedoman Nasional Pengendalian TB. 2nd ed. Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;; 2011. 10. Barnard M, Albert H, Coetzee G, O’Brien R, Bosman ME,. Rapid molecular screening for multidrug-resistant tuberculosis in a high-volume public health laboratory in South Africa. Am J of Respir and Crit Care Med. 2008;;177:787-92. 11. American Thoracic Society, CDC, Infectious Diseases Society of America. Treatment of tuberculosis. Morbidity and Mortality Weekly Report: Recommendations and Reports. 2003 Contract No.: RR-11. 12. Menzies D, Benedetti A, Paydar A, Royce S, Pai M, Burman W, et al,. Standardized treatment of active tuberculosis in patients with previous treatment and/or with mono-resistance to isoniazid: a systematic review and meta-analysis. PloS Medicine. 2009;;6(9):e1000150. 13. Toman K. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment, and monitoring: questions and answers. 2nd ed. Geneva: World Health Organization;; 2004. 14. Williams G, Alarcon E, Jittimanee S, Walusimbi M, Sebek M, Berga E, et al. Care during the intensive phase: promotion of adherence. Int J of Tuberc and Lung Dis. 2008;;12(6):601-5. 15. World Health Organization. The Stop TB Strategy: building on and enhancing DOTS to meet
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
39
16.
17. 18. 19.
the TB-related Millennium Development Goals 2006. Rusen ID I-KN, Alarcon E, Billo N, Bissell K, Boillot F, et al. Cochrane systematic review of directly observed therapy for treating tuberculosis: good analysis of the wrong outcome. Int Journ of Tuberc and Lung Dis. 2007;;11(2):120-1. Hopewell PC PM, Maher D, Uplekar M, Raviglione MC,. International standards for tuberculosis care. Lancet Infectious Diseases. 2006;;6(11):710-25. WHO/IUATLD Global Project on Anti-tuberculosis Drug Resistance Surveillance 2000. Anti- tuberculosis drug resistance in the world: report no 22000. Geneva: WHO Press;; 2000. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis: emergency update 2011. Geneva: WHO Press;; 2011.
20. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. TB: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. TB TK, editor. Jakarta: PDPI;; 2011.
40
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
BAB V TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A. Tuberkulosis Milier
M
enegakkan diagnosis TB milier merupakan tantangan yang dapat
menimbulkan keraguan pada dokter yang berpengalaman sekalipun. ϐǡ
ǡ HRCT relatif sensitif dan menunjukkan gambaran nodul milier yang terdistribusi
Ǥ ϐǡ CT-‐Scan dan magnetic resonance imaging (MRI) berguna untuk menentukan keterlibatan organ lain (TB ekstraparu) pada Ǥ
ǡ ǡ M. tuberculosis dari ǡ
diagnosis. Tuberkulosis milier yang tidak diobati akan berakibat fatal dalam 1 tahun. Diagnosis dan pemberian anti tuberkulosis segera dapat menyelamatkan Ǥǡ interaksi obat pada HIV/AIDS merupakan masalah utama dalam pengobatan.
ǡ tuberkuloma otak.2Kriteriadiagnosis TB milier:1 1
1. Presentasi klinis sesuai dengan diagnosis tuberkulosis seperti demam dengan peningkatan suhu di malam hari, penurunan berat badan, anoreksia, takikardi, keringat malam menetap setelah pemberian antituberkulosis selama 6 minggu. 2. Foto toraks menunjukkan gambaran klasik pola milier 3. Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang bayangan milier yang dapat dilihat pada foto toraks maupun HRCT
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
41
4. Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi menunjukkan tuberkulosis Pengobatan TB milier: x Rawat inap x Paduan obat:5+=(5+ x Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang x Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan - tanda / gejala meningitis - - -
sesak napas tanda / gejala toksik demam tinggi
B. Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko tersering pada pasien TB paru. Saat ini, prevalens terjadinya TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalens pasien DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalens penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang non-diabetes.3 Diabetes berhubungan dengan peningkatan risiko kegagalan dan kematian dalam pengobatan tuberkulosis. Pasien dengan diabetes melitus mempunyai risiko relatif gabungan kegagalan dan kematian sebesar 1,69 (IK 95%, 1,36-2,12). Risiko relatif untuk kematian dalam pengobatan tuberkulosis sebesar 1,89 (IK95%, 1,52-2,36). Diabetes juga berhubungan dengan peningkatan risiko relaps dengan RR 3,89 (IK 95% 2,43-6,23).4 Pasien TB-DM infeksinya lebih berat (45% vs 22,7%) (p<0,01), muatanmycobacterial yang lebih banyak (2,9 + 1,3 (+) vs 1,9 + 1,7 (+) (p<0,01), tingkat kegagalan pengobatan yang lebih tinggi (17% vs 2%) dan waktu konversi yang lebih lama 2,5 + 3 bulan vs 1,6 + 1,4 bulan. Setelah 1 tahun, pasien TB-DM cenderung lebih banyak yang menjadi TB resistens obat ganda dibanding TB non DM (5% vs 0,8 %
42
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
p=0,056%). Pasien TB-DM juga mengalami keterlambatan pemulihan indeks massa tubuh dan kadar hemoglobin yang merupakan hal terpenting pada proses pemulihan.5,6 Penanganan TB-DM harus difokuskan pada diagnosis awal, pengendalian kadar gula darah serta monitoring ketat klinis dan pengobatan. Dengan demikian perlu dilakukan skrining TB yang teratur pada pasien DM, terutama yang menunjukkan JHMDOD\DQJVSHVL¿N7 Rekomendasipengobatan tuberkulosis dengan diabetes melitus: x x x x x
Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas obat oral antidiabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
&7XEHUNXORVLV3DUXGHQJDQ+,9$,'6 Diagnosis TB pada Pasien HIV Deteksi dini tuberkulosis pada pasien HIV harus dilakukan dengan teliti dan diperlukan pengalaman praktisi. Diagnosis TB pada pasien HIV berbeda dengan diagnosis 7%SDGDXPXPQ\DNDUHQDJHMDOD7%SDGDSDVLHQ+,9WLGDNVSHVL¿N7XEHUNXORVLV ekstraparu lebih sering ditemukan pada pasien dengan HIV dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila ditemukan TB ekstraparu harus dipikirkan kemungkinan infeksi HIV. Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan adalah limfadenopati pada leher, abdominal, aksila, mediastinal, efusi pleura, efusi perikardial, efusi peritonealdan meningitis.8
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
43
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tuberkulosis dengan infeksi HIV pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi maka pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi. Standar 14 ISTC
Baik deteksi dini TB pada pasien HIV maupun deteksi dini HIV pada pasien TB keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini koinfeksi TB-HIV sehingga dapat memulai pengobatan lebih cepat dan keberhasilan pengobatan akan lebih baik. Algoritma tatalaksana TB-HIV dapat dilihat pada gambar 5.1. Hal-hal yang perlu diketahui dalam menegakkan diagnosis pada pasien TB dengan HIV adalah sebagai berikut: x Gambaran klinis Gambaran klinis TB secara umum diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB-HIV, demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting.Tuberkulosis ekstraparu perlu diwaspadai pada orang hidup dengan HIV/AIDS(ODHA) karena kejadiannya lebih sering dibandingkan TB dengan HIV negatif. Tuberkulosis ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut. x Sputum BTA Karenasulitnya diagnosis TB padapasien HIV secaraklinisdanpemeriksaan sputum BTA lebih sering negatif, diperlukan pemeriksaan biakan M. tuberculosis yang merupakan baku emas untuk diagnosis TB. Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahaknya negatif, biakan sangat dianjurkan karena dapat membantu menegakkan diagnosis TB. Perlu juga dilakukan uji sensitivitas obat untuk mengetahui TB MDR karena HIV merupakan salah satu faktor risiko TB-MDR.8 44
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
x Xpert MTB/RIF PenggunaanXpert MTB/RIF dalam algoritma diagnostik TB untuk populasi ODHA adalah cost-effective dalam mengurangi kematian dini orang dengan HIV lanjut dan sangat cost-effective dalam meningkatkan harapan hidup ODHA yang memulai terapi ARV. Algoritma menggunakan Xpert MTB/RIF lebih sensitif dibandingkan dengan menggunakan skrining gejala, BTA dan foto toraks. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF meningkatkan sensitivitas, ketepatan waktu dan deteksi resistensi rifampisin pada pasien dengan HIV. Diagnosis TB dengan resisten obat pada pasien dengan HIV memungkinkan inisiasi terapi yang tepat.8,9 x Foto toraks Gambaran foto toraks bervariasi baik lokasi maupun bentuknya. Umumnya gambaran foto toraks pada TB terdapat di apeks, tetapi pada TB-HIV bukan di apeks terutama pada HIV lanjut. Pada TB-HIV awal gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks TB pada umumnya, namun pada HIV ODQMXW JDPEDUDQ IRWR WRUDNV VDQJDW WLGDN VSHVL¿N 3DGD SDVLHQ 7%+,9 VHULQJ ditemukan gambaran TB milier. x Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif. Pemberian antibiotik pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu diagnosis TB paru tidak direkomendasikan lagi karena hal ini dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis TB dengan konsekuensi keterlambatan pengobatan TB ehingga meningkatkan risiko kematian. Penggunaan antibiotik quinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB dengan HIV positif harus dihindari, sebab golongan antibiotik ini respons terhadap mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara dan kemungkinan timbulnya kuman kebal obat. Antibiotik golongan quinolon ini dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Lihat Gambar 5.1.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
45
Gambar 5.1. Algoritme tata laksana TB-HIV
Pencegahan pajanan Faktor yang dapat meningkatkan angka penularan adalah letak infeksi TB (paru atau laring), sputum BTA positif, kavitas serta aerolisasi saat batuk atau berbicara. Paparan terhadap pasien TB sputum BTA negatif memberikan transmisi yang lebih rendah dibandingkan pasien TB sputum BTA positif.Vaksinasi BCG pada orang dengan HIV dikontraindikasikan karena potensinya untuk menyebabkan penyakit TB diseminata.8
46
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Harus dijelaskan pada pasien HIV bahwa tinggal di lingkungan berisiko tinggi untuk terjadinya penularan TB (seperti lingkungan kumuh dan panti jompo) akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi M. tuberculosis Rekomendasi B
Pada fasilitas kesehatan dan lingkungan berisiko tinggi untuk terjadinya penularan TB, pasien dengan kecurigaan infeksi TB harus dipisahkan dari pasien lain, terutama dari pasien HIV Rekomendasi A
Pengobatan tuberkulosis pada pasien HIV Pada prinsipnya tata laksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV sama seperti pasien TB tanpa HIV. Obat TB pada pasien HIV sama efektifnya dengan pasien TB tanpa HIV. Pengobatan pasien dengan koinfeksi TB-HIV lebih sulit dari pada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien TB-HIV mempunyai sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan infeksi hepatitis sehingga sering timbul efek samping obat, interaksi antar obat yang akan memperburuk kondisi pasien dan obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya maka pengobatan pun menjadi lebih panjang serta kepatuhan pasien sering terganggu.8
Semua pasien (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailibilitinya telah diketahui. Standar 8 ISTC
o Fase awal: 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB o Fase lanjutan: 4 bulan INH dan RIF, atau 6 bulan INH dan etambutol o Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak direkomendasi untuk pasien TB dengan HIV karena mudah terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
47
Semua pasien TB dengan HIV atau pasien TB yang tinggal dilingkungan dengan prevalens HIV tinggi,pengobatan TB fase awal dan fase lanjutan harus diberikan setiap hari Rekomendasi A
Untuk pasien yang tidak mungkin diberikan setiap hari, pemberian 3 kali seminggu merupakan alternatif Rekomendasi B
Dosis OAT yang diberikan dianjurkan untuk mengikuti anjuran internasional dan sangat dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT). Prinsip pengobatan pasien TB- HIV adalah mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan antiretroviral (ARV) dimulai sesegera mungkin setelah dapat ditoleransi dalam 2-8 minggu pengobatan fase awal. Pengobatan ARV sebaiknya hanya diberikan oleh dokter yang telah dilatih khusus HIV karena obat ARV bisa berinteraksi dengan OAT dan juga dapat meningkatkan risiko efek samping. Efavirenz (EFV) mewakili golongan NNRTI baik digunakan untuk pemberian ART pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan dibanding Nevirapine. Pada pemberian OAT dan ARV perlu diperhatikan interaksi antar obat-obat yang digunakan, peran ARV, tumpang tindih efek samping obat, immune-reconstitution LQÀDPPDWRU\V\QGURPH (IRIS) dan masalah kepatuhan pengobatan.
Semua pasien tuberkulosis dengan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksilainnya. Standar 15 ISTC
Pasien dengan infeksi HIV mudah sekali terkena infeksi oportunistik sehingga semua pasien HIV yang telah terdiagnosis TB sebagai salah satu infeksi opportunistik harus diberikan kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lain.Pada pusat layanan
48
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
NHVHKDWDQ \DQJ PHPSXQ\DL IDVLOLWDV SHPHULNVDDQ &' SUR¿ODNVLV NRWULPRNVD]RO direkomendasikan untuk pasien dengan nilai CD4 <200 sel/mm3 pada pasien HIV tanpa TB, sedangkan pada pasien HIV yang telah didiagnosis TB kotrimoksazol dapat diberikan langsung tanpa melihat nilai CD4. Pemberian kotrimoksazol tersebut dapat menurunkan kejadian infeksi oportunistik seperti Pneumocystis jiroveci pneumonia, toxoplasmosis infection, malaria dll. Berdasarkan data observasi pencegahan kotrimoksazol pada pada pasien HIV menurunkan mortalitas 50%. Pemberian Isoniazid sebagai pencegahan dan terapi TB laten
Pasien dengan HIV setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita tuberkulosis aktif, sebaiknya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan Standar 16 ISTC
Anak berusia < 5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita tuberkulosis aktif, sebaiknya diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid. Standar 19 ISTC
Sehubungan Indonesia merupakan negara endemik TB, maka hal ini belum diterapkan di Indonesia, menunggu hasil kajian dari implementasi awal yang akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.10 '7XEHUNXORVLV3DUXSDGD,EX+DPLOGDQ0HQ\XVXL Tuberkulosis maternal berhubungan dengan peningkatan risiko abortus spontan, mortalitas perinatal, kecil untuk usia gestasi dan berat badan lahir rendah. Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada infeksi tuberkulosis in utero yang merupakan akibat penyebaran hematogen maternal. Tuberkulosis kongenital sulit didiagnosis karena gejalanya mirip infeksi neonatal dan kongenital lainnya. Gejala biasanya muncul pada 2-3 minggu pascapartus. Gejalanya berupa hepatosplenomegali, distress pernapasan, demam dan foto toraks biasanya abnormal.11 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
49
Isoniazid (Kategori Kehamilan A) direkomendasikan untuk TB pada kehamilan meskipun terdapat peningkatan risiko hepatotoksisitas pada ibu hamil.Gejala harus dimonitor dengan pemeriksaan fungsi hati yang dianjurkan setiap 2 minggu pada 2 EXODQSHUWDPDGDQVHWLDSEXODQSDGDEXODQEHULNXWQ\D,VRQLD]LGVHEDJDLSUR¿ODNVLV juga aman dan direkomendasikan pada daerah berisiko tinggi seperti koinfeksi dengan HIV atau riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis.12Suplementasi piridoksin 50mg/hari dianjurkan untuk setiap ibu hamil yang mengkonsumsi isoniazid karena GH¿VLHQVLVHULQJWHUMDGLSDGDLEXKDPLOGLEDQGLQJNDQSRSXODVLXPXP11,12 Rifampisin (Kategori Kehamilan C) dapat menyebabkan pendarahan yang berhubungan dengan hipoprotrominemia pada bayi apabila dikonsumsi pada trimester ketiga kehamilan. Penggunaan rifampisin direkomendasikan pada ibu hamil dengan tuberkulosis dan vitamin K harus diberikan pada ibu (10mg/hari) dan bayi setelah melahirkan apabila rifampisin digunakan pada trimester tiga kehamilan menjelang partus.12 Etambutol (Kategori Kehamilan A) direkomendasikan untuk TB pada kehamilan. Pirazinamid (Kategori Kehamilan belum tersedia). Sampai saat ini belum terdapat laporan efek samping penggunaan obat ini pada penatalaksanaan pasien TB. Apabila pirazinamid tidak digunakan maka paduan obat 9 bulan isoniazid, rifampisin dan etambutol dianjurkan.12 Streptomisin (Kategori Kehamilan belum tersedia) berhubungan dengan ototoksisitas janin dan TIDAK DIREKOMENDASIKAN untuk pengobatan tuberkulosis pada wanita hamil.12,13 Fluorokuinolon (Kategori Kehamilan B3) hanya digunakan pada wanita hamil apabila keuntungan terapi lebih besar dibandingkan risikonya dan hanya dapat digunakan oleh dokter yang sudah berpengalaman dalampenanganan tuberkulosis.12 Meskipun terdapat konsentrasi OAT yang disekresikan pada ASI namun konsentrasinya minimal dan bukan merupakan kontraindikasi pada perempuan
50
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
menyusui. Konsentrasi OAT pada ASI sangat rendah sehingga tidak bisa diandalkan XQWXNWHUDSL7%SDGDED\L$SDELODED\LPHPEXWXKNDQWHUDSL7%PDXSXQSUR¿ODNVLV maka harus diberikan paduan obat standar yang dosisnya sesuai dengan berat badan. Ibu dengan TB paru sensitif obat dapat melanjutkan OAT sambil menyusui dan ED\LQ\D PHQGDSDW SUR¿ODNVLV 7% VHODPD EXODQ GHQJDQ ,1+ PJNJ%%KDUL apabila terbukti tidak menderita TB dan diikuti dengan vaksinasi BCG. Bayi dengan ASI hanya mendapatkan 20% dosis INH dibandingkan dengan dosis yang seharusnya didapatkan sedangkan untuk OAT lainnya konsentrasinya lebih kecil.Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi. Pemberian antituberkulosis yang cepat dan tepat merupakan cara terbaik mencegah penularan dari ibu ke bayinya.11-13 Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektivitas obat kontrasepsi hormonal berkurang. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan.12,13 E. Tuberkulosis Paru dengan Penyakit Ginjal Kronik Pasien dengan penyakit ginjal kronik, sedang menjalani dialisis serta pasca transplantasi ginjal mempunyai peningkatan risiko untuk menderita tuberkulosis. Respons terhadap uji tuberkulin menurun sekitar 50% pada pasien dengan penyakit ginjal kronik sehingga diagnosis TB tidak dapat disingkirkan pada pasien dengan hasil uji tuberkulin negatif. Stadium pada penyakit ginjal kronik adalah:14 x Stadium 1 : Klirens kreatinin dan fungsi normal namun terdapat kelainan traktus urinarius seperti ginjal polikistik dan struktur abnormal x Stadium 2 : Klirens kreatinin 60-90 ml/menit x Stadium 3 : Klirens kreatinin 30-60 ml/menit x Stadium 4 : Klirens kreatinin 15-30 ml/menit x Stadium 5 : Klirens kreatinin <15 ml/menit dengan atau tanpa dialisis
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
51
x x x
x x
x x
x
Pasien dengan TB paru maupun TB ekstra paru harus menerima anti tuberkulosis standar GHQJDQPRGL¿NDVLLQWHUYDOGRVLVGHQJDQGXUDVLVWDQGDU .HPRSUR¿ODNVLVMXJDGLEHULNDQSDGDSDVLHQ\DQJ%8.$17%DNWLIQDPXQPHPSXQ\DL riwayat pengobatan TB sebelumnya. 8QWXNNHPRSUR¿ODNVLVGDSDWPHQJJXQDNDQLVRQLD]LGPJKDULSLULGRNVLQPJ hari selama 6 bulan atau isoniazid + rifampisin + piridoksin selama 3 bulan atau rifampisin WXQJJDO VHODPD EXODQ .HWLJD UHJLPHQ WHUVHEXW DGHNXDW XQWXN NHPRSUR¿ODNVLV Penggunaan isoniazid jangka panjang tidak direkomendasikan. 7LGDN WHUGDSDW EXNWL XQWXN UHJLPHQ NHPRSUR¿ODNVLV OHELK GDUL EXODQ XQWXN LVRQLD]LG tunggal, 3 bulan untuk isoniazid + rifampisin atau 4-6 bulan untuk rifampisin tunggal. $SDELOD SDVLHQ \DQJ VHGDQJ PHQMDODQL NHPRSUR¿ODNVLV PHQXQMXNNDQ JHMDOD 7% PDND pemeriksaan lebih lanjut segera dilakukan. Rekomendasi A
Jika pasien menunjukkan gejala TB maka dilakukan pemeriksaan untuk mengisolasi organisme untuk uji kepekaan. Tuberkulosis ekstra paru harus dipikirkan pada pasien dengan gejala sistem ik atau sistem VSHVL¿N\DQJWLGDNGDSDWGLMHODVNDQWHUXWDPDSDGDSDVLHQ\DQJVHGDQJPHQMDODQLGLDOLVLV atau dialisis peritoneal, biasanya sering dijumpai peritonitis TB. Rifampisin dapat berinteraksi dengan paduan obat imunosupresan, meningkatkan kemungkinan penolakan transplantasi, dosis mycophenolatemofetil, takrolimus dan sisklosporin sehingga memerlukan penyesuaian dosis. Dosiskortikosteroid harus digandakan pada pasien yang menerima rifampisin. Rekomendasi B
Pengobatan TB yang dianjurkan adalah 2 bulan isoniazid, rifampisisn, etambutol dan pirazinamid dilanjutkan dengan 4 bulan isoniazid dan rifampisin. Isoniazid dan rifampisin dieliminasi melalui eksresi bilier sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis. Selama menerima isoniazid, pasien dengan gangguan ginjal maupun gagal ginjal harus diberikan bersama dengan piridoksin untuk mencegah neuropati perifer. Eksresi etambutol dan metabolit pirazinamid terjadi di ginjal sehingga diperlukan penyesuaian dosis untuk kedua obat tersebut. Etambutol diberikan 15 mg/kg BB dan pirazinamid 25 mg/kg BB sebanyak 3x seminggu. Streptomisin menyebabkan
52
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
peningkatan nefrotoksik dan ototoksik sehinggga streptomisin sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, namun apabila harus diberikan maka dosisnya 15mg/kgBB (dosis maksimal 1 gram) yang diberikan 2-3 kali seminggu dengan memonitor kadar obat dalam darah.13Penyesuaian dosis dalam pemberian 2$7 SDGD SHQGHULWD7% GHQJDQ LQVX¿VLHQVL JLQMDO GDQ JDJDO JLQMDO WHUPLQDO \DQJ menjalani hemodialisis dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Dosis yang direkomendasikan untuk pasien dewasa dengan penurunan fungsi ginjal dan untuk pasien dewasa dengan hemodialisis
Obat
Perubahan pd Frekuensi?
Dosis & Frekuensi yang disarankan pada pasien dengan kliren VNUHDWLQLQPOPQWDWDXSDGD pasien dialysis
Isoniazid
Tidak ada perubahan
300 mg sekalisehariatau 900 mg 3x/ minggu
Rifampin
Tidak ada perubahan
600 mg sekali sehari atau 600 mg 3x/ minggu
Pirazinamid
Ya
25-35 mg/kg per dosis 3x/minggu (tdk setiap hari)
Etambutol
Ya
15-25 mg/kg per dosis 3x/minggu (tdk setiap hari)
Dikutip dari (14) )7XEHUNXORVLV3DUXGHQJDQ.HODLQDQ+DWL Pasien dengan pembawa virus hepatitis, riwayat hepatitis akut serta konsumsi alkohol yang berlebihanapabila tidak terdapat bukti penyakit hati kronik dan fungsi hati normal dapat mengkonsumsi OAT standar. Reaksi hepatotoksik lebih sering terjadi sehingga perlu diantisipasi lebih lanjut. Pada pasien dengan penyakit hati lanjut dan tidak stabil, pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Apabila kadar SGOT >3x normal sebelum terapi dimulai maka paduan obat berikut ini perlu dipertimbangkan. Semakin tidak stabil dan lanjut penyakit hatinya maka semakin sedikit obat hepatotoksik yang bisa digunakan. Monitoring klinis dan pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan secara berkala.15 Paduan obat yang dapat diberikan adalah:16
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
53
x Dua obat hepatotoksik o 9 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol o 2 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol + streptomisin diikuti 6 bulan isoniazid + rifampisin o 6-9 bulan rifampisin + pirazinamid + etambutol x Satu obat hepatotoksik o 2 bulan isoniazid, etambutol, streptomisin diikuti 10 bulan isoniazid+etambutol x Tanpat obat hepatotoksik o EXODQVWUHSWRPLVLQHWDPEXWROÀXRURNXLQRORQ x
Penggunaan antituberkulosis pada kelainan hati berdasarkan bergantung dari derajat beratnya penyakit dan derajat dekompensasi. Pada penyakit hati derajat sedang (Sirosis Child B) dapat digunakan satu atau dua obat hepatotoksik sementara seluruh obat hepatotoksik seluruhnya harus dihindari pada sirosis Child C.
x
Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
x
Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
x
Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2RHES/6RH atau 2HES/10 HE
x
Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik, sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan EMB maksimal 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan 6RH
x
Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru atau spesialis penyakit dalam
*+HSDWLWLV,PEDV2EDW Hepatitis imbas obat biasanya terjadi + 20 hari setelah terapi antituberkulosis dimulai dan berlangsung selama + 14 hari. Insidens kumulatifnya adalah 2,55%. Gejala yang
54
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
paling sering ditemukan adalah mual, muntah dan anoreksia. Sekitar 79,25% pasien sembuh, 16,98% pasien mengalami perbaikan, 1,89% pasien gagal dengan serum SGOT dan SGPT tetap meningkat dan 1,89% orang meninggal.17 Faktor risiko terpenting pada hepatitis imbas obat adalah penurunan berat badan 2 kg atau lebih dalam 4 minggu pertama pengobatan tuberkulosis. Faktor risiko lainnya berupa infeksi hepatitis C, usia >60 tahun dan TB resistens obat ganda.18 Sebanyak 33% pasien dengan hepatitis imbas obat tidak menunjukkan gejala klinis termasuk 8 orang dengan hepatotoksisitas berat sehingga pemeriksaan fungsi hati berkala berguna untuk mendeteksi kerusakan hati asimtomatis, mengurangi angka perawatan di RS dan meningkatkan komplians pengobatan tuberkulosis.19Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik.Tatalaksana hepatitis imbas obat:13 x Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) J OAT dihentikan x Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali J OAT dihentikan x Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan: o Bilirubin >2 J OAT dihentikan o SGOT, SGPT >5 kali J OAT dihentikan o SGOT, SGPT >3 kali J teruskan pengobatan, dengan pengawasan Paduan OAT yang dianjurkan :13 x Hentikan OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ) x Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan INH desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES x Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
55
+7XEHUNXORVLVSDGD*HULDWUL Kesulitan diagnosis tuberkulosis pada geriatri adalah kurangnya kemampuan penderita untuk memberikan keterangan dengan jelas mengenai gejala yang dirasakan karena keterbatasan tertentu yang terkait usia seperti berkurangnya memori, tuli, buta, confusion state ataupun gangguan berbicara. Penyakit kronik lain dan beberapa jenis penyakit keganasan yang sering terjadi pada usia geriatri akan memberikan gambaran klinis yang tumpang tindih.20 Terapi tuberkulosis pada geriatri tidak mudah karena populasi geriatri terutama yang sangat tua tidak dapat diandalkan untuk minum obat secara teratur, pada waktu yang tepat atau dalam dosis yang tepat, terutama jika beberapa obat harus diminum secara bersamaan. Memori yang buruk, penglihatan yang buruk, dan kebingungan mental mungkin menjadi faktor yang mendasari kondisi ini. Penderita geriatri sering menjadi apatis tentang pengobatan mereka dan sering didapatkan kurangnya tekad atau keinginan untuk menyelesaikan program pengobatan enam bulan. Dalam suatu studi retrospektif, telah dilaporkan bahwa penderita geriatri hampir tiga kali lipat lebih mungkin untuk bereaksi terhadap OAT dibandingkan dengan pasien-pasien yang lebih muda. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa usia lanjut merupakan prediktor penting hepatotoksisitas akibat INH dan rifampisin. Manfaat terapi etambutol dan streptomisin harus dipertimbangkan terhadap risiko dalam pengelolaan pasien usia lanjut dan dosisnya juga harus disesuaikan mengingat efek samping yang sering terjadi pada pasien geriatri.20,21
Daftar Pustaka 1. Sharma SK, Mohan A, Sharma A. Challenges in the diagnosis & treatment of miliary tuberculosis. Indian J Med Res. 2012;135(5):703-‐30. 2. Chaudhry LA, Ebtesam B-‐E, Al-‐Solaiman S. Milliary tuberculosis with unusual paradoxical ƌĞƐƉŽŶƐĞĂƚϯǁĞĞŬƐŽĨĂŶƟƚƵďĞƌĐƵůŽƵƐƚƌĞĂƚŵĞŶƚ͘:ŽůůWŚLJƐŝĐŝĂŶƐ^ƵƌŐWĂŬ͘ϮϬϭϮ͖ϮϮ;ϭͿ͗ϰϯͲϱ͘ 3. Cahyadi, A, Venty. TB Paru pada Pasien Diabetes Mellitus. J Indon Med Assoc. 2011;;61:173-8. ϰ͘ Baker MA, Harries AD, Jeon CY, Hart JE, Kapur A, Lonnroth K, et al. The impact of diabetes on ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐƚƌĞĂƚŵĞŶƚŽƵƚĐŽŵĞƐ͗ĂƐLJƐƚĞŵĂƟĐƌĞǀŝĞǁ͘DDĞĚ͘ϮϬϭϭ͖ϵ͗ϴϭ͘ 5. ŚĂŶŐ:d͕ŽƵ,z͕zĞŶ>͕tƵz,͕,ƵĂŶŐZD͕>ŝŶ,:͕ĞƚĂů͘īĞĐƚŽĨƚLJƉĞϮĚŝĂďĞƚĞƐŵĞůůŝƚƵƐŽŶ ƚŚĞĐůŝŶŝĐĂůƐĞǀĞƌŝƚLJĂŶĚƚƌĞĂƚŵĞŶƚŽƵƚĐŽŵĞŝŶƉĂƟĞŶƚƐǁŝƚŚƉƵůŵŽŶĂƌLJƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͗ĂƉŽƚĞŶƟĂů ƌŽůĞŝŶƚŚĞĞŵĞƌŐĞŶĐĞŽĨŵƵůƟĚƌƵŐͲƌĞƐŝƐƚĂŶĐĞ͘:&ŽƌŵŽƐDĞĚƐƐŽĐ͘ϮϬϭϭ͖ϭϭϬ;ϲͿ͗ϯϳϮͲϴϭ͘ ϲ͘ &ĂƵƌŚŽůƚͲ:ĞƉƐĞŶ͕ZĂŶŐĞE͕WƌĂLJŐŽĚ'͕<ŝĚŽůĂ:͕&ĂƵƌŚŽůƚͲ:ĞƉƐĞŶD͕ĂďLJĞD'͕ĞƚĂů͘dŚĞƌŽůĞ ŽĨĚŝĂďĞƚĞƐĐŽͲŵŽƌďŝĚŝƚLJĨŽƌƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐƚƌĞĂƚŵĞŶƚŽƵƚĐŽŵĞƐ͗ĂƉƌŽƐƉĞĐƟǀĞĐŽŚŽƌƚƐƚƵĚLJĨƌŽŵ
56
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
DǁĂŶnjĂ͕dĂŶnjĂŶŝĂ͘D/ŶĨĞĐƚŝƐ͘ϮϬϭϮ͖ϭϮ͗ϭϲϱ͘ 7. ^ĂŶŐŚĂŶŝZE͕hĚǁĂĚŝĂ&͘dŚĞĂƐƐŽĐŝĂƟŽŶŽĨĚŝĂďĞƚĞƐĂŶĚƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͗ŝŵƉĂĐƚŽŶƚƌĞĂƚŵĞŶƚ ĂŶĚƉŽƐƚͲƚƌĞĂƚŵĞŶƚŽƵƚĐŽŵĞƐ͘dŚŽƌĂdž͘ϮϬϭϯ͖ϲϴ;ϯͿ͗ϮϬϮͲϯ͘ 8. ǡ ͘WĞĚŽŵĂŶEĂƐŝŽŶĂů dĂƚĂůĂŬƐĂŶĂ<ůŝŶŝƐ/ŶĨĞŬƐŝ,/sĚĂŶdĞƌĂƉŝŶƟƌĞƚƌŽǀŝƌĂůƉĂĚĂKƌĂŶŐĞǁĂƐĂ͘:ĂŬĂƌƚĂ͖ϮϬϭϭ͘ ϵ͘ t,K͘ yƉĞƌƚ DdͬZ/& ŝŶĐƌĞĂƐĞƐ ƟŵĞůLJ d ĚĞƚĞĐƟŽŶ ĂŵŽŶŐ ƉĞŽƉůĞ ůŝǀŝŶŐ ǁŝƚŚ ,/s ĂŶĚ ƐĂǀĞƐ ůŝǀĞƐ͗ŝŶĨŽƌŵĂƟŽŶŶŽƚĞƐ͘ϮϬϭϯ͘ 10. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed.; 2009. 11. >ŽƚŽKD͕ǁŽǁŽůĞ/͘dƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŝŶƉƌĞŐŶĂŶĐLJ͗ĂƌĞǀŝĞǁ͘:WƌĞŐŶĂŶĐLJ͘ϮϬϭϭ͖ϮϬϭϮ͗ϭͲϳ͘ 12. YƵĞĞŶƐůĂŶĚdƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐĂƌĞĞŶƚƌĞ͘'ƵŝĚĞůŝŶĞƐĨŽƌƚƌĞĂƚŵĞŶƚŽĨƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŝŶƉƌĞŐŶĂŶĐLJ͘ ϮϬϬϲ ĐŝƚĞĚ ϮϬϭϮ ϯϭ KĐƚ͗ ǀĂŝůĂďůĞ ĨƌŽŵ͗ ŚƩƉ͗ͬͬǁǁǁ͘ŚĞĂůƚŚ͘ƋůĚ͘ŐŽǀ͘ĂƵͬĐŚƌŝƐƉͬƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐͬ ĚŽĐƵŵĞŶƚƐͬŐƵŝĚĞůŝŶĞƐͬŐƵŝĚĞůŝŶĞͺƉƌĞŐŶĂŶĐLJ͘ƉĚĨ. 13. t,K͘dƌĞĂƚŵĞŶƚŽĨƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŐƵŝĚĞůŝŶĞƐ͘ϰth ed.; 2010. ϭϰ͘ DŝůďƵƌŶ ,͕ ƐŚŵĂŶ E͕ ĂǀŝĞƐ W͕ ŽīŵĂŶ ^͕ ƌŽďŶŝĞǁƐŬŝ &͕ <ŚŽŽ ^͕ Ğƚ Ăů͘ 'ƵŝĚĞůŝŶĞƐ ĨŽƌ ƚŚĞ ƉƌĞǀĞŶƟŽŶ ĂŶĚ ŵĂŶĂŐĞŵĞŶƚ ŽĨ DLJĐŽďĂĐƚĞƌŝƵŵ ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ ŝŶĨĞĐƟŽŶ ĂŶĚ ĚŝƐĞĂƐĞ ŝŶ ĂĚƵůƚ ƉĂƟĞŶƚƐǁŝƚŚĐŚƌŽŶŝĐŬŝĚŶĞLJĚŝƐĞĂƐĞ͘dŚŽƌĂdž͘ϮϬϭϬ͖ϲϱ;ϲͿ͗ϱϱϳͲϳϬ͘ 15. ĂďĂůŝŬ͕ƌĚĂ,͕ĂŬŝƌĐŝE͕ŐĐĂ^͕KƌƵĐ<͕<ŝnjŝůƚĂƐ^͕ĞƚĂů͘DĂŶĂŐĞŵĞŶƚŽĨĂŶĚƌŝƐŬĨĂĐƚŽƌƐ ƌĞůĂƚĞĚƚŽŚĞƉĂƚŽƚŽdžŝĐŝƚLJĚƵƌŝŶŐƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐƚƌĞĂƚŵĞŶƚ͘dƵďĞƌŬdŽƌĂŬƐ͘ϮϬϭϮ͖ϲϬ;ϮͿ͗ϭϯϲͲϰϰ͘ ϭϲ͘ hƉĂĚŚLJĂLJZ͕^ŝŶŐŚ͘dƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŝŶ>ŝǀĞƌŝƌƌŚŽƐŝƐ͘DĞĚŝĐŝŶĞhƉĚĂƚĞ͘ϮϬϭϮ͖ϮϮ͗ϰϳϲͲϴ͘ 17. ^ŚĂŶŐW͕yŝĂz͕>ŝƵ&͕tĂŶŐy͕zƵĂŶz͕,Ƶ͕ĞƚĂů͘/ŶĐŝĚĞŶĐĞ͕ĐůŝŶŝĐĂůĨĞĂƚƵƌĞƐĂŶĚŝŵƉĂĐƚŽŶĂŶƟͲ ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐƚƌĞĂƚŵĞŶƚŽĨĂŶƟͲƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐĚƌƵŐŝŶĚƵĐĞĚůŝǀĞƌŝŶũƵƌLJ;d>/ͿŝŶŚŝŶĂ͘W>Ž^KŶĞ͘ ϮϬϭϭ͖ϲ;ϳͿ͗ĞϮϭϴϯϲ͘ ϭϴ͘ tĂƌŵĞůŝŶŬ/͕ƚĞŶ,ĂĐŬĞŶE,͕ǀĂŶĚĞƌtĞƌĨd^͕ǀĂŶůƚĞŶĂZ͘tĞŝŐŚƚůŽƐƐĚƵƌŝŶŐƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ ƚƌĞĂƚŵĞŶƚŝƐĂŶŝŵƉŽƌƚĂŶƚƌŝƐŬĨĂĐƚŽƌĨŽƌĚƌƵŐͲŝŶĚƵĐĞĚŚĞƉĂƚŽƚŽdžŝĐŝƚLJ͘ƌ:EƵƚƌ͘ϮϬϭϭ͖ϭϬϱ;ϯͿ͗ϰϬϬͲ ϴ͘ ϭϵ͘ tƵ^͕yŝĂz͕>ǀy͕ŚĂŶŐz͕dĂŶŐ^͕zĂŶŐ͕ĞƚĂů͘īĞĐƚŽĨƐĐŚĞĚƵůĞĚŵŽŶŝƚŽƌŝŶŐŽĨůŝǀĞƌĨƵŶĐƟŽŶ ĚƵƌŝŶŐ ĂŶƟͲdƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ ƚƌĞĂƚŵĞŶƚ ŝŶ Ă ƌĞƚƌŽƐƉĞĐƟǀĞ ĐŽŚŽƌƚ ŝŶ ŚŝŶĂ͘ D WƵďůŝĐ ,ĞĂůƚŚ͘ ϮϬϭϮ͖ϭϮ͗ϰϱϰ͘ 20. ,ĂƵĞƌ͕ƌŽĚŚƵŶ͕ůƚŵĂŶŶ͕&ŝĞďŝŐ>͕>ŽĚĚĞŶŬĞŵƉĞƌZ͕,ĂĂƐt͘dƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŝŶƚŚĞĞůĚĞƌůLJ ŝŶ'ĞƌŵĂŶLJ͘ƵƌZĞƐƉŝƌ:͘ϮϬϭϭƵŐ͖ϯϴ;ϮͿ͗ϰϲϳͲϳϬ͘ 21. ZĂũĂŐŽƉĂůĂŶ^͘dƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐĂŶĚĂŐŝŶŐ͗ĂŐůŽďĂůŚĞĂůƚŚƉƌŽďůĞŵ͘ůŝŶ/ŶĨĞĐƚŝƐ͘ϮϬϬϭ͖ϯϯ;ϳͿ͗ϭϬϯϰͲ ϵ͘
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
57
BAB VI TUBERKULOSIS EKSTRAPARU
D
H¿QLVL WXEHUNXORVLV HNVWUDSDUX DGDODK SDVLHQ GHQJDQ WXEHUNXORVLV RUJDQ selain paruseperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, traktus genitorinarius, kulit, tulang dan sendi serta selaput otak. Diagnosis dibuat berdasarkan satu spesimen dengan biakan positif atau histologi atau bukti klinis kuat yang konsisten dengan tuberkulosis ekstraparu dan diikuti keputusan klinisi untuk memulai terapi antituberkulosis. Pasien dengan diagnosis tuberkulosis paru dan HNVWUDSDUXGLNODVL¿NDVLNDQVHEDJDLNDVXVWXEHUNXORVLVSDUX1
Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga TB ekstraparu, spesimen bagian tubuh yang terlibat diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi jika fasilitas dan sumber daya memadai. Standar 3 ISTC
Biopsi jaringan dan aspirasi jarum halus bertujuan untuk mendapatkan bahan yang cukup untuk diagnosis. Pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis tuberkulosis ekstraparu dapat dilihat pada Tabel 6.1. Apabila terdapat kemungkinan TB ekstraparu maka beberapa sampel di bawah ini harus ditempatkan pada pot kering dan dikirim untuk biakan tuberkulosis:2 x Biopsi kelenjar getah bening x Pus yang didapatkan pada aspirasi kelenjar getah bening x Biopsi pleura x Seluruh sampel bedah dikirim untuk biakan rutin x Seluruh sampel radiologis dikirim untuk biakan rutin x Sampel histologi x Sampel aspirasi x Sampel otopsi
58
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Tabel 6.1. Pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis tuberkulosis ekstraparu Organ
Pencitraan
Kelenjar Getah Bening
-
Biopsi
Biakan
Nodus
Nodus atau aspirasi
Tulang atau Sendi
Foto polos dan CT MRI
Lokasi penyakit
Biopsi atau abses paraspinal Cairan sendi
Sistem Pencernaan
8OWUDVRQRJUD¿ CT Abdomen
Omentum Usus besar
Biopsi Asites
Sistem Genital dan 8URJUD¿LQWUDYHQD Saluran Kemih 8OWUDVRQRJUD¿
Lokasi penyakit
Urin pagi hari Lokasi penyakit Kuret endometrium
Disseminata
HRCT Toraks 8OWUDVRQRJUD¿
Paru Hati Sumsum tulang
Bilasan bronkus Hati Sumsum tulang Darah
Sistem saraf pusat
CT Kepala MRI
Tuberkuloma
Cairan serebrospinal
Lokasi penyakit
Lokasi penyakit
Kulit Perikardium
Ekokardiogram
Perikardium
Cairan perikardium
Abses hati
8OWUDVRQRJUD¿
Lokasi penyakit
Lokasi penyakit
Dikutip dari (2) Diagnosis cepat untuk kompleks M. tuberculosis pada spesimen pertama hanya digunakan apabila:2 1. .RQ¿UPDVLFHSDWGLDJQRVLV7%SDGDSDVLHQGHQJDQ%7$SRVLWLIDNDQPHQJXEDK tatalakasana atau 2. Sebelum melakukan large contact-tracing initiative 3. Diagnosis TB ekstraparu tetap dipertimbangkan meskipun hasil diagnosis cepat negatif pada cairan pleura, cairan serebrospinal dan urin 4. Gejala klinis dan hasil laboratorium lain sesuai dengan TB selaput otak harus segera diterapi meskipun hasil diagnosis cepatnya negatif karena kondisi pasien dapat mengalami perburukan. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
59
A. Tuberkulosis Pleura Gejala klinis yang paling sering adalah batuk (70%), nyeri dada (75%) dan demam dengan derajat yang rendah hingga tinggi (86%). Gejala TB lain seperti penurunan berat badan, malaise, keringat malam hari dapat terjadi. Gejala klinis yang berat berupa demam tinggi yang menetap lebih dari 2 minggu atau kondisi gagal napas dilaporkan terjadi pada 7% kasus. Pleuritis TB hampir selalu melibatkan salah satu hemitoraks saja (90-95%).3,4 3UHVHQWDVL NOLQLV QRQVSHVL¿N GDQ VLIDW SDXVLEDVLOHU SDGD 7% SOHXULWLV PHUXSDNDQ tantangan diagnosis. Diagnosis TB pleuritis bergantung pada terdapatnya basil tuberkulosis pada sputum, cairan pleura, biopsi pleura maupun granuloma di pleura SDGD SHPHULNVDDQ KLVWRSDWRORJLV 3HPHULNVDDQ 13&5 PHPSXQ\DL VHQVLWL¿WDV WHUEDLN 3HPHULNVDDQ VSXWXP GDQ FDLUDQ SOHXUD PHQLQJNDWNDQ VHQVLWL¿WDV 13&5 dari 51,7% menjadi 70,6%.2 Metode konvensional seperti pemeriksaan langsung cairan pleura, biakan cairan pleura dan biopsi pleura terbukti tidak cukup dalam PHQHJDNNDQ SOHXULWLV 7% 'LDJQRVLV SOHXULWLV 7% GDSDW PHQJJXQDNDQ DNWL¿WDV adenosine deaminase, protein cairan pleura, laktat dehidrogenase dan komponen seluler. Penentuan aktivitas adenosine deaminase, kadar laktat dehidrogenase dan UDVLROLPIRVLWQHWUR¿OSDGDFDLUDQSOHXUDVHQVLWL¿WDVQ\DPHQFDSDLXQWXN7% pleuritis. Pasien diduga TB pleuritis jika salah satu dari ketiga tes tersebut menunjukkan KDVLOSRVLWLIGHQJDQVSHVL¿VLWDV'LDJQRVLV7%SOHXULWLVGLWHJDNNDQELODNHWLJD pemeriksaan tersebut menunjukkan hasil positif. Kombinasi pemeriksaan antara DGHQRVLQH GHDPLQDVH GDQ ODNWDW GHKLGURJHQDVH PHPSXQ\DL VHQVLWL¿WDV GDQ VSHVL¿VLWDV5,6 Pengobatan TB pleura sama dengan pengobatan TB paru dengan paduan 2RHZE/4RH. Evakuasi cairan seoptimal mungkin dilakukan sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan kortikosteroid (Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM). Operasi dilakukan pada kondisi yang berat dan tidak membaik dengan terapi medis seperti empiemektomi/pleurektomi dan dapat disertai dekortikasi.7 Kegagalan diagnosis dan terapi TB pleuritis dapat menyebabkan penyakit menjadi
60
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
progresif dan dapat melibatkan organ lain pada 65% pasien. Komplikasi yang SDOLQJ SHQWLQJ GDUL 7% SOHXUD DGDODK WHUMDGLQ\D ¿EURWRUDNV GDQ SHQHEDODQ SOHXUD \DQJPHQHWDS'H¿QLVLSDVWL¿EURWRUDNVDGDODKSHQHEDODQPHPEUDQSOHXUDPLQLPDO 5 mm meluas di seluruh bagian hemitoraks dan menetap > 8 minggu setelah fase LQWHQVLI .RPSOLNDVL ODLQ \DQJ GDSDW PXQFXO DGDODK SOHXULWLV NDONDUHD NDOVL¿NDVL ¿EURWRUDNV GHQJDQ DWDX WDQSD GHIRUPLWDV GLQGLQJ GDGD SHQ\DNLW SDUX NURQLV QRQ VSHVL¿N&23' GHQJDQDWDXWDQSDEURQNLHNWDVLVHNVDVHUEDVL7%ODPEDWGDQ¿VWXOD internal maupun eksternal.7 B. Limfadenopati Tuberkulosis Limfadenitis servikal tuberkulosis dapat terjadi pada usia berapa pun terutama pada usia 10-30 tahun. Limfadenopati lebih sering terjadi pada perempuan. Gejala konstitusional hanya terjadi pada 33-85% pasien. Diagnosis ditegakkan melalui DVSLUDVL MDUXP KDOXV GDQ ELRSVL NHOHQMDU 3DGD ELRSVL GDSDW GLWHPXNDQ LQÀDPDVL granulomatous kaseosadengansel Langhans.8 Terapi limfadenopati tuberkulosis sama dengan pengobatan TB paru yaitu 2RHZE/4RH. Tidak terdapat perbedaan angka kesembuhan maupun angka NHNDPEXKDQ DQWDUD ODPD SHQJREDWDQ EXODQ GHQJDQ EXODQ 6HEXDK ¿WXU XQLN yang mengganggu keberhasilan pengobatan adalah pasien mengalami perburukan gejala selama pengobatan (paradox upgrade reaction/PUR). Tingkat PUR bervarisi seperti pembesaran node, node baru atau pengeringan sinus pada pasien yang telah menerima pengobatan selama minimal 10 hari. Pengobatan dapat diperpanjang pada PUR dan diberikan kortikosteroid. Eksisi bedah dipertimbangkan pada limfadenitis yang memberikan gejala klinis simptomatis dan kasus resistensi pengobatan.9 C. Tuberkulosis Saluran Urogenital 'LDJQRVLV WXEHUNXORVLV VDOXUDQ XURJHQLWDO VXOLW NDUHQD JHMDODQ\D QRQVSHVL¿N Hal yang paling penting adalah anamnesis pasien. Riwayat infeksi tuberkulosis sebelumnya baik tuberkulosis paru maupun ekstraparu memberikan petunjuk penting pada banyak kasus. Periode laten antara infeksi tuberkulosis dan tuberkulosis saluran urogenital dapat mencapai 30 tahun. Gangguan miksi dan urgensi kronik yang tidak Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
61
respons terhadap antibiotik dapat mengarah kepada tuberkulosis saluran urogenital. Epididimimitis kronik merupakan manifestasi tuberkulosissaluran urogenital yang paling sering ditemukan pada saluran genital laki-laki, biasanya ditemukan bersama GHQJDQ¿VWXODVNURWDO*HMDODODLQ\DQJWHUNDGDQJGLWHPXNDQDGDODKQ\HULSXQJJXQJ pinggang dan suprapubik, hematuria, frekuensi miksi bertambahdan nokturia. Pasien biasanya mengeluh miksi yang sedikit-sedikit dan sering yang awalnya hanya terjadi di malam hari dan kemudian dirasakan juga pada siang hari. Kolik ginjal jarang ditemukan, hanya terjadi pada 10 persen pasien. Gejala konstitusi seperti demam, penurunan berat badan serta keringat malam juga jarang ditemukan. Gejala biasanya intermiten dan sudah berlangsung beberapa saat sebelum pasien mencari pengobatan. Hematospermia, sistitis rekuren serta pembengkakan testis yang menimbulkan rasa nyeri dapat juga ditemukan pada tuberkulosis saluran urogenital.10 Diagnosis mikrobiologi tuberkulosis saluran urogenital ditegakkan melalui isolasi organisme penyebab dari urin atau biopsi jaringan pada media padat konvensional atau radiometri. Setidaknya 3 spesimen urin pagi hari (5 spesimen lebih baik) dibiakkan pada (1) media biakan Lowenstein-Jensen untuk mengisolasi M. tb, bacille calmette-Guerin (BCG) dan mikobakteria nontuberkulosis (2)media telur SLUXYDW PHQJDQGXQJ SHQLVLOLQ XQWXN PHQJLGHQWL¿NDVL M. bovis, yang merupakan anaerob parsialdan tumbuh dibawah permukaan media biakan. Tiap spesimen harus diinokulasi secepat mungkin setelah diambil. Biakan positif atau analisis histologi spesimen biopsi yang dikombinasikan dengan PCR terkadang masih dibutuhkan SDGDEHEHUDSDSDVLHQXQWXNPHQGDSDWNDQGLDJQRVLVGH¿QLWLI'LDJQRVLVWXEHUNXORVLV saluranurogenital ditegakkan berdasarkan pola histologi atau deteksi kompleks M.. tb melaui PCR pada 25-30% pasien.10,11 Deteksi bakteri tahan asam pada urin dengan mikroskopi (pewarnaan asam Ziehl- Nielsen) tidak dapat menjadi patokan karena dapat juga ditemukan M. smegmatis \DQJPHUXSDNDQEDNWHULWDKDQDVDPMXJD$NWL¿WDVELRORJLVEDNWHULWDKDQDVDPKDQ\D dapat dilihat melalui penanaman mikobakteria.10 Hasil laboratorium yang sering ditemukan adalah piuria, albuminuria dan hematuria.
62
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Urin biasanya steril dan pada sebagian besar (80%) pasien mengandung leukosit. Hematuria makroskopik terjadi pada 10% pasien sedangkan hematuria mikroskopik terjadi pada hampir 50% pasien.10 Pemeriksaan foto polos saluran urogenital sangat penting karena dapat menunjukkan NDOVL¿NDVL GL GDHUDK JLQMDO GDQ VDOXUDQ XURJHQLWDO EDZDK 3HPHULNVDDQ XURJUD¿ pada awal penyakit dapat mendeteksi perubahan pada satu kaliks berupa nekrosis parenkim. Lesi ginjal dapat tampak sebagai distorsi kaliks. Pada kaliks dapat terjadi ¿EURVLVGDQREVWUXNVLWRWDOGDQPHPEHQWXNGHIRUPLWDVNDOLNVNHFLOPXOWLSHONDOLVHDO berat dan destruksi parenkim. Pada stadium lanjut dapat ditemukan distorsi kaliseal, VWULNWXUXUHWUDGDQ¿EURVLVNDQGXQJNHPLK10 Prosedur Diagnosis Tuberkulosis Saluran Urogenital 1. Suspek 2. Riwayat tuberkulosis sebelumnya (TB paru maupun estraparu) 3. Gejala 4. 3HPHULNVDDQ¿VLV 5. Uji tuberkulin 6. Analisis urin (leukosit, eritosit, bakteri) 7. Pemeriksaan radiologis a. Pielogram intravena b. CT Scan 'LDJQRVLVGH¿QLWLI 1. Pemeriksaan mikroskopik (Ziehl-Nielsen pewarnaan asam) 2. Kultur (urin, pulasan, sekresi, ejakulat, spesimen jaringan) 3. PCR 4. Pemeriksaan histologi (spesimen jaringan) dikombinasikan dengan pewarnaan Ziehl Nielsen dan/atau PCR
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
63
Sebanyak50-75% laki-laki dengan tuberkulosis genital mempunyai kelainan radiologis di saluran kemih sehingga lokasi primer di epididimis harus diperiksa.Rekomendasi B
Paduan obat antituberkulosis standar selama 6 bulan efektif untuk tuberkulosis saluran urogenital tanpa komplikasi. Pertimbangan khususdilakukan apabila terdapat gangguan fungsi ginjal. Meskipun paduan obat antituberkulosis merupakan terapi utama namun prosedur bedah seperti bedah ablasi dapatdilakukan pada sepsis atau abses. Eksisi bedah pada ginjal yang sudah tidak berfungsi lagi atau lesi luas pada ginjal yang fungsinya hanya sebagian masih menjadi kontroversi. Nefrektomi diindikasikan apabila terjadi komplikasi seperti infeksi saluran kemih atas berat dengan bakteri gram positif maupun gram negatif, batu dan hipertensi. Bedah rekonstruksi diperlukan terutama untuk memperbaiki striktur pada ureter 1/3 distal GDQ¿EURVLVNDQGXQJNHPLK%HGDKUDGLNDOPDXSXQUHNRQVWUXNWLIGLODNXNDQSDGD bulan pertama fase intensif antituberkulosis.10,12
x
Durasi pengobatan tuberkulosis saluran urogenital adalah 6 bulan untuk kasus tanpa komplikasi. Terapi 9-12 bulan diberikan pada kasus dengan komplikasi (kasus kambuh, imunospresi dan HIV/AIDS) x Kateter ureter J ganda dapat digunakan pada striktur uretra untuk beberapa tujuan seperti stenting setelah dilatasi, mempertahankan drainase selama proses penyembuhan dan XQWXNH¿NDVLWHUDSL x Nefrektomi direkomendasikan pada pasien dengan hipertensi akibat komplikasi nefropati tuberkulosis Rekomendasi B
D. Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat Sebagian besar pasien dengan TB meningitis memiliki riwayat sakit kepala dengan keluhan tidak khas selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala iritasi meningeal. *HMDODQRQVSHVL¿NPHOLSXWLPDODLVHDQRUHNVLDUDVDOHODKGHPDPPLDOJLDGDQVDNLW kepala. Orang dewasa biasanya menunjukkan gejala klasik meningitis, yaitu demam, VDNLW NHSDOD GDQ NDNX NXGXN \DQJ GLVHUWDL GH¿VLW QHXURORJLV IRNDO SHUXEDKDQ
64
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
perilaku dan penurunan kesadaran. Riwayat TB hanya didapatkan pada sekitar 10% pasien. Fototoraks yang menunjukkan TB paruditemukan pada 30-50% pasien. Sekitar 10% pasien TB meningitis juga mengalami TB tulang belakang. Apabila TB meningitistidak diobati maka dapat menyebabkan kerusakan otak seperti gangguan mental, paralisis motorik, kejang serta perilaku abnormal.13,14 Lihat Gambar 6.1. Rekomendasi:15 1. Tuberkulosis meningitis merupakan kegawatan medis, keterlambatan penanganan sangat berhubungan dengan mortalitas. Terapi OAT empiris harus segera diberikan SDGDSDVLHQ\DQJGLGXJD7%PHQLQJLWLV-DQJDQPHQXQJJXNRQ¿UPDVLGLDJQRVLV molekuler maupun mikrobiologis. 2. Diagnosis TB meningitis ditegakkan berdasarkan lumbal pungsi dan pemeriksaan cairan seresbrospinal. Suspek TB meningitis apabila terdapat leukositosis cairan serebrospinal (terutama limfosit), protein cairan serebrospinal meningkat serta perbandingan glukosa cairan serebrospinal dan plasma <50%. Ketepatan diagnosis meningkat dengan semakin banyaknya cairan serebrospinal (CS) yang diperiksakan untuk pemeriksaan mikroskopik maupun biakan M. tuberculosis, lumbal pungsi dapat diulang apabila diagnosis masih meragukan. Lihat Gambar 6.2. 3. Pencitraan penting untuk diagnosis tuberkuloma serebral dan tuberkulosis yang PHOLEDWNDQNRUGDVSLQDOLVPHVNLSXQJDPEDUDQUDGLRORJLVWLGDNPHQJNRQ¿UPDVL diagnosis. Diagnosis jaringan (histopatologi dan biakan mikobakterium) harus dilakukan bila memungkinkan melalui biopsi lesi maupun sampel diagnosis ekstraneural seperti paru, cairan lambung, kelenjar getah bening, hati dan sumsum tulang. 4. Penatalaksanaan segala bentuk TB sistem saraf pusat harus terdiri dari 4 obat yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid pada dua bulan pertama dan dilanjutkan dengan dua obat yaitu isoniazid dan rifampisin selama minimal 10 bulan. Kortikosteroid (deksametason atau prednisolon) harus diberikan pada seluruh pasien TB meningitis tanpa melihat derajatnya. 5. Semua pasien yang diduga maupun terbukti TB susunan saraf pusat harus
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
65
ditawarkan untuk pemeriksaan HIV. Prinsip diagnosis dan penatalaksanaan TBsusunan saraf pusat sama pada pasien dengan dan tanpa infeksi HIV meskipun infeksi HIV memperluas diagnosis banding dan terapi anti retroviral mempersulit penanganan.
x x
x x
Penemuan BTA pada cairan serebrospinal dan jaringan merupakan diagnosis cepat terbaik untuk diagnosis tuberkulosis sistem saraf pusat Bakteri dapat terlihat di cairan serebrospinal pada hampir 80% dewasa dengan TB meningitis meskipun diagnosis tergantung pada volume cairan serebrospinal dan cara pemeriksaan. Pada usia berapapun 10% volume cairan serebrospinal dapat diambil untuk pemeriksaan, setidaknya sebanyak 6 ml cairan serebrospinal. (Tabel 6.2) Biopsi jaringan mempunyai nilai diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan cairan serebrospinal untuk dignosis tuberkuloma dan tuberkulosis spinal Biopsi otak stereotaktik dapat dipertimbangkan untuk diagnosis tuberkuloma apabila alat diagnostik lain gagal menegakkan diagnosis tuberkulosis ekstraneural Rekomendasi A
Tabel 6.2 Estimasi produksi cairan serebrosinal, volume dan jumlah yang aman untuk pungsi lumbal. Usia
Produksi cairan seresbropinal (m/. jam)
Volume cairan serebrospinal (ml)
Jumlah cairan serebrospinal yang aman untuk diambil untuk pungsi lumbal
Dewasa
22
150-170
15-17
Remaja
18
120-170
12-17
Anak
12
100-150
10-15
Bayi
10
60-90
6-9
Neonatus
1
20-40
2-4 Dikutip dari (11)
66
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
x x x x
x x x x x x
x
Setiap pasien TB meningitis harus dilakukan CT-Scankepala dengan kontras sebelum diterapi atau dalam 48 jam pertama terapi CT-Scan kepala dapat membantu diagnosis TB meningitis dan memberikan informasi dasar yang penting terutama untuk pertimbangan intervensi bedah pada hidrosefalus Semua pasiendengan tuberkuloma serebral atau tuberkulosis spinal sebaiknya dilakukan MRI untuk menentukan perlunya intervensi bedah dan melihat respons terapi Seluruh pasien harus mempunyai foto toraks Rekomendasi A
Rekomendasi paduan obat terapi lini pertama untuk segala bentuk tuberkulosis sistem saraf pusat selama minimal 12 bulan. Setiap pasien TB meningitis diberikan kortikosteroid tanpa memandang tingkat keparahan Dosis kortikosteroid untuk dewasa (> 14 tahun) dapat dimulai dari 0,4 mg/kgbb/hari dengan tappering off dalam 6-8 minggu Thalidomide tidak digunakan untuk terapi rutin TB meningitis Indikasi bedah: hidrosefalus, abses serebral tuberkulosis dan tuberkulosis vertebra dengan paraparesis Dekompresi bedah segera harus dipertimbangkan pada lesi ekstradural yang menyebabkan paraparesis Rekomendasi A
Hidrosefalus communicating dapat diterapi dengan furosemide (40 mg/24 jam) dan acetazolamide (10-20 mg/kgBB) atau dengan pungsi lumbal berulang Rekomendasi B
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
67
Gambar 6.1. Algoritma diagnosis tuberkulosis susunan saraf pusat Dikutip dari (11)
E. Tuberkulosis Tulang dan Sendi *HMDODWXEHUNXORVLVWXODQJGDQVHQGLWLGDNVSHVL¿NGDQSHUMDODQDQNOLQLVQ\DODPEDW sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis dan destruksi tulang dan sendi. Hanya 50% pasien dengan tuberkulosis tulang dan sendi yang foto toraksnya sesuai
68
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
dengan TB sehingga menutupi diagnosis. Nyeri atau bengkak merupakan keluhan yang paling sering ditemui. Demam dan penurunan berat badan hanya terdapat pada beberapa pasien. Fistula kulit, abses, deformitas sendi dapat ditemukan pada penyakit lanjut.16,17 Pasien dapat mengalami malaise, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, keringat malam dan demam pada malam hari, tulang belakang kaku dan nyeri bila digerakkan serta deformitas kifosis yang nyeri bila diperkusi. Tuberkulosis arthritis biasanya meliputi sendi tunggal namun lesi multifocal dapat ditemukan. Gejalaklinis yang penting adalah pembengkakan, nyeri dan gangguan fungsi yang progresif selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada arthritis panggul terdapat spasme paraspinal di sekitar tulang vertebra yang terlibat yang relaks ketika tidur sehingga PHPXQJNLQNDQ SHUJHUDNDQ SDGD SHUPXNDDQ \DQJ WHULQÀDPDVL GDQ PHQ\HEDENDQ tangisan di malam hari yang khas. Manifestasi tuberkulosis osteomielitis ekstraspinal dapat berupa abses dingin yaitu pembengkakan yang tidak teraba hangat, eritema maupun nyeri. Pada pemeriksaan seksama dapat ditemukan small knuckle kyphosis pada palpasi.16,17 Baku emas untuk diagnosis tuberkulosis tulang dan sendi adalah biakan mikobakterium jaringan tulang atau cairansinovial. Aspirasi jarum dan biopsi (CT- guided GLUHNRPHQGDVLNDQ XQWXN NRQ¿UPDVL 7% VSRQGLOLWLV $QDOLVLV FDLUDQ VHQG iperifer biasanya tidak membantu. Kecurigaan terhadap infeksi TB merupakan indikasi biopsi sinovial. Uji sensitivitas antimikrobial isolat penting dikerjakan.17 Tidak ada temuan radiologis yang patognomoni kuntuk TB tulang dan sendi. Pada infeksi awal dapat ditemukan pembengkakan jaringan lunak, osteopenia dan destruksi tulang. Pada infeksi lanjut dapat dijumpai kolaps struktur, perubahan sklerotik dan NDOVL¿NDVLMDULQJDQOXQDN3DGD7%VSRQGLOLWLVGDSDWWDPSDNOHVLRVWHROLWLNPXUQLWDQSD keterlibatan ruang diskus dan dapat terlihat di beberapa tempat. Abses paravertebra dapat terlihat pada foto polos. Pada TB artritis dapat dijumpai triad Phemister yaitu osteopenia juksta-artrikular, erosi tulang perifer dan penyempitan gradual ruang diskus.Tuberkulosis daktilitis pada tangan atau kaki dapat menunjukkan gambaran
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
69
seperti balon pada tulang falang. Foto toraks dapat dilakukan untuk mengetahui bekas TB atau TB paru. Pemeriksaan MRI dapa tmenentukan perluasan infeksi ke jaringan lunak dan struktur di sekitar tulang seperti medulaspinalis.16,17 Pengobatan biasanya diberikan selama 9-12 bulan dengan mempertimbangkan SHQHWUDVLREDW\DQJOHPDKNHGDODPMDULQJDQWXODQJGDQMDULQJDQ¿EURVDVHUWDVXOLWQ\D memonito rrespon spengobatan. Respons klinis paling baik dinilai melalui indicator klinis seperti nyeri, gejala konstitusional, mobilitas dan tanda neurologis.17 Komplikasi terpenting TB spondilitis adalah kompresi korda spinalis. Pasien TB spondilitis mempunyai risiko paraparesis atau paraplegia yang dibagi menjadi:16 1. Paraplegia awitan cepat, merupakan fase aktif penyakit vertebra awitannya dalam WDKXQSHUWDPD3DWRORJL\DQJWHUMDGLDGDODKHGHPDLQÀDPDVLMDULQJDQJUDQXODVL tuberkel, abses tuberkel, jaringan perkijuan tuberkel atau yang jarang ditemukan dalam lesi iskemik korda spinalis. 2. Paraplegia awitan lambat, muncul lebih dari 2 tahun setelah penyakit ditemukan di kolum vertebra. Komplikasi neurologis dapat berhubungan degan penyakit atau kompresi mekanik pada korda spinalis. Patologi yang dapat terjadi adalah jaringan perkijuan, debris tuberkel, gibus internal, stenosis kanalis vertebra atau GHIRUPLWDV EHUDW7LQJNDW NHSDUDKDQ GH¿VLW QHXURORJLV WHUJDQWXQJ SDGD GHUDMDW gangguan motorik. Indikasi bedah pada tuberculosis tulang dan sendi adalah:16 1. Komplikasi neurologis yang tidak respons terhadap terapi konservatif 2. Destruksi tulang progresif 3. Tidak respons terhadap terapi konservatif 4. Pencegahan kifosis berat pada anak dengan lesi dorsal ekstensif (kifosis> 400 pada awitan penyakit) 5. Pasien dengan abses dingin pada dada 6. Diagnosis tidak jelas
70
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
F. Tuberkulosis Gastrointestinal Gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri perut (80,6%), penurunan berat badan (74,6%), diare/konstipasi (25,4 %), diare (16,4%), darah pada rektum (11,9%), nyeri tekan abdomen (37,3 %), massa abdomen (13,4%) dan limfadenopati (1,5%). Lesi makroskopik yang ditemukan pada endoskopi paling sering ditemukan di sebelah kanan (caecum dan ascending colon) dan ulkus primer (ulkus 88 %, nodul 50,7%, penyempitan lumen (44,8%), lesi polipoid 10,4%). Setelah terapi TB sebagian besar ulkus 87,2%, nodul 84,6%, lesi polipoid 85,7%, penyempitan lumen 76,2% dan deformitas katup ileo-saekal (76,5%) mengalami resolusi. Organ yang paling sering terlibat adalah ileum terminal karena prevalens kelenjar getah bening di daerah tersebut tinggi dan waktu kontak isi usus halus lebih lama. Lesi yang paling sering ditemukan adalah ulkus dan penyempitan lumen paling sering ditemukan di usus halus.18 Tuberkulosis usus besar jarang ditemukan dan diagnosisnya mirip dengan tumor kolon, LQÀDPPDWRU\ERZHOGLVHDVH, kolitis iskemik atau kolitis infeksi. Pasientuberkulosis gastrointestinal yang bersamaan dengan TB paru ditemukan pada kurang dari 25% pasien. Diagnosis TB gastrointestinal membutuhkan sulit terutama pada daerah nonendemis. Beberapa pasien terkadang didiagnosis dengan LQÀDPPPDWRU\ERZHO disease dan mendapatkan obat-obatan imunosupresan yang menyebabkan penyebaran TB lebih lanjut.18 Gejala klinis dapat berupa gejala akut maupun kronik intermiten. Sebagian besar pasien mengalami nyeri perut, demam, diare dan konstipasi, penurunan berat badan, anoreksia dan malaise. Pasien dengan TB peritoneumbiasanya bermanifestasi sebagai TB gastrointestinal, ditemukan pada individu berusia <40 tahun dan frekuensinya OHELKEHVDUSDGDSHUHPSXDQ0DQLIHVWDVLNOLQLVQ\DWLGDNVSHVL¿NGDQPLULSGHQJDQ penyakit gastrointestinal lainnya seperti LQÀDPPDWRU\ERZHOGLVHDVH, kanker ovarium lanjut, mikosis dalam, infeksi Yersinia dan amebomas. Pasien dengan TB peritoneum dapat mengalami pembesaran abdomen mulai dari asites dan nyeri perut. Adhesi GDSDW PHQ\HEDENDQ REVWUXNVL XVXV KDOXV 3DGD SHPHULNVDDQ ¿VLV GLWHPXNDQ Q\HUL tekan absomen difus, doughy abdomen, hepatomegali dan asites. Faktor risiko TB
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
71
peritoneum adalah infeksi HIV, sirosis, diabetes melitus keganasan dan menerima dialisis peritoneal.18,19 Tuberkulosis peritoneal mempunyai 3 tipe yaitu:19 1. Tipe basah dengan asites 2. Tipe kista dengan pembesaran abdomen 3. 7LSH¿EURWLNGHQJDQPDVVDDEGRPHQ\DQJWHUGLULGDULSHQHEDODQPHVHQWHULXP dan omentum Kombinasi tipe-tipe tersebut juga dapat ditemukan. Selama infeksi, peritoneum menjadi tebal, hiperemis dan lebih suram. Lapisan peritoneum viseral dan parietal dipenuhi oleh nodul tuberkulosis multipel. Asites terjadi akibat cairan eksudat yang berasal dari tuberkel. Sekitar 90% pasien dengan TB peritonitis mempunyai asites.17 Beberapa kriteria diagnosis untuk TB abdomen:18 1. Hasil biopsi kelenjar getah bening mesenterik menunjukkan bukti histologi tuberkulosis 2. Inokulasi atau biakan pada jaringan tertentu menunjukkan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis 3. Pemeriksaan histopatologis menunjukkan tuberkulosis dengan nekrosis kaseosa 4. Bukti histologi kuman tahan asam pada lesi CT-Scan pada TB peritoneum menunjukkan penebalan peritoneum, asites dengan septa halus dan omental caking. Meskipun kelainan radiologis tidak ditemukan bukan berarti tidak terdapat TB abdomen, foto polos abdomenpada 50% kasus TB abdomen KDVLOQ\DQRUPDO8OWUDVRQRJUD¿VDQJDWPHPEDQWXPHQGHWHNVLNHWHUOLEDWDQSHULWRQHDO Penggunaan barium juga kadang tidak dapat mendeteksi tuberkulosis.Uji tuberkulin hanya sensitif pada dua pertiga kasus. Apusan BTA maupun biakan cairan peritoneum bisanya tidak cukup dan kepositifannya rendah. Aktivitas adenosine deaminase pada cairan asites telah direkomendasikan untuk diagnosis TB peritoneum namun masih menjadi kontroversi. Uji PCR pada biopsi jaringan dan biakan M. tuberculosis sangat berguna pada pasien dengan asites. Biakan tuberkel kadang memberikan hasil negatif 72
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
meskipun terdapat granuloma kaseosa. Pemeriksaan laparoskopi dan laparatomi VDQJDWH¿VLHQXQWXNPHQGLDJQRVLV7%SHULWRQHDO+DVLOSHPHULNVDDQWHUVHEXWGDSDW dikategotikan menjadi 3 kelompok yaitu:19 1. Peritoneum yang dipenuhi dengan tuberkel multipel 2. Penebalan peritonium 3. 3HULWRQLWLV¿EURDGHVLI Terapi TB abdomen merekomendasikan terapi antituberkulosis konvensional selama minimal 6 bulan termasuk RHZE pada 2 bulan pertama. Durasi pengobatan dapat diperpanjang hingga 12-18 bulan. Komplikasi TB abdomen dapat berupa ulkus, SHUIRUDVL SHUOHQJNHWDQ REVWUXNVL SHQGDUDKDQ SHPEHQWXNDQ ¿VWXOD GDQ VWHQRVLV Terapi bedah diperlukan pada beberapa kasus terutama pada kasus yang sudah PHQLPEXONDQNRPSOLNDVLVHSHUWLSHUIRUDVLREVWUXNVL¿VWXODDWDXSHQGDUDKDQ18 G. Tuberkulosis Endometrium Tuberkulosis genital mencakup sekitar 5% infeksi pelvis dan ditemukan pada sekitar 10% kasus TB paru. Salah satu jenis TB genital adalah TB endometrial yang mencakup sekitar 60-70% kasus TB genital pada wanita pascamenopause.20Tuberkulosis endometrium merupakan salah satu penyebab infertilitas tersering di India. Tuberkulosis endometrium jarang terdiagnosis sebab seringkali disertai dengan JHMDODWLGDNVSHVL¿NEDKNDQDVLPWRPDWLV*HMDOD\DQJSDOLQJVHULQJGLMXPSDLSDGD wanita usia subur adalah gangguan siklus menstruasi atau nyeri pelvis, sementara padawanita pascamenopause seringkali ditemukan pyometra atau leucorrhea.21 Pemeriksaan radiologis digunakan sebagai petunjuk adanya infeksi M. tuberculosis di endometrium. Pada pasien TB endometrial, pemeriksaan USG transvaginal menunjukkan penebalan endometrium atau pyometra.22Histerosalpingogram dapat memperlihatkan gambaran distorsi rongga uterus. Kuretase endometrial dapat digunakan untuk diagnosis TB endometrial. Diagnosis TB endometrial dapat ditegakkan apabila ditemukan gambaran granulomatosa melalui pemeriksaan histopatologi sediaan biopsi atau kuretase jaringan endometrium. Sampel kuretase
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
73
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu untuk pemeriksaan histopatologi, biakan dan sensitivitas, serta untuk inokulasi pada hewan percobaan. Pemeriksaan terakhir jarang dikerjakan karena tidak tersedia luas. Ditemukannya tuberkel pada sediaan hasil kuretase endometrium mendukung diagnosis TB endometrial. Pemeriksaan BTA dari darah mentruasi dapat juga dikerjakan tetapi seringkali hasilnya tidak memuaskan.23 Pemeriksaan DNA mikobakterium berdasarkan pemeriksaan PCR mengindikasikan infeksi basil tuberkel menyebabkan penyakit laten atau subklinis yang berpotensi menyebabkan manifestasi klinis di masa yang akan datang.24 Terapi yang diberikan sama dengan terapi TB paru. Setelah pemberian OAT, dapat dilakukan dilatasi dan kuretase ulang untuk menilai apakah terdapat konversi jaringan endometrial. Pada sebagian besar kasus, akan dijumpai perbaikan siklus mentruasi. Apabila setelah pengobatan konsepsi tidak terjadi, dapat dipertimbangkan XQWXN GLODNXNDQ KLVWHURVDOSLQJRJUD¿ GDQ ODSDURVNRSL23 Perempuan infertil tanpa kelainan tuba maupun endometrium yang diberikan OAT berdasarkan hasil PCR- TB endometrium positif memberikan hasil yang baik pada kesempatan konsepsi spontan.24 +7XEHUNXORVLV3HULNDUGLXP Tuberkulosis merupakan penyebab 4% perikarditis akut, 7% tamponade jantung dan 6% perikarditis konstriktif. Tuberkulosis merupakan penyabab utama perikarditis pada negara nonindustri.25Gejala yang muncul terutama bersifat sistemik, yaitu demam, penurunan berat badan, anoreksia dan malaise. Sekitar 25% pasien dengan TB perikarditis memiliki keterlibatan organ lain seperti pleuritis dan limpadenitis.26 Presentasi klinis TB perikardial sangat bervariasi, yaitu dapat berupa perikarditis akut dengan atau tanpa efusi;; tamponade jantung yang bersifat silent, efusi perikardial berulang, gejala toksik dengan demam persisten, perikarditis konstriktif akut, perikarditis konstriktif subakut, perikarditis konstriktif-efusif atau perikarditis NRQVWULNWLINURQLNGDQNDOVL¿NDVLSHULNDUGLDO27 (YDOXDVLDZDO7%SHULNDUGLWLVPHOLSXWLSHPHULNVDDQIRWRWRUDNVHNRNDUGLRJUD¿XQWXN membuktikan ada efusi, dan CT/MRI untuk melihat tanda peradangan, efusiperikardial
74
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
dan pembesaran nodus limfatikus mediastinal/trakeobronkial. Perikardiosintesis dilakukan untuk tujuan diagnostic dan terapeutik. Perikardiosintesis terapeutik dilakukan pada tamponade jantung. Cairan yang diambi lharus diperiksakan untuk biakan, analisis cairan untuk membedakan eksudat atau transudat, serta, uji indirek seperti interferon gamma atau adenine deaminase (ADA) jika diperlukan. Variabilitas deteksi basil tuberkel pada pemeriksaan pulasan langsung cairan perikardial bervariasi antara 0-42%. Biakan positif cairan perikardial bervariasi antara 50-75%.Diagnosis GH¿QLWLI7%SHULNDUGLWLVEHUGDVDUNDQGDULEHEHUDSDNULWHULDEHULNXW25 1. Biakan M. tb positif dari efusi perikardial atau jaringan 2. BTA positif atau granuloma kaseosa pada spesimen biopsi perikardial 3. PCR (+) pada spesimen biopsi perikardial (NRNDUGLRJUD¿ VDQJDW EHUJXQD XQWXN GLDJQRVLV HIXVL SHULNDUGLDO WXEHUNXORVLV ELOD WHUGDSDW NHODLQDQ LQWUDSHULNDUGLDO VHSHUWL ODSLVDQ HNVXGDWLI ODSLVDQ ¿EULQ GDQ SHQHEDODQ SHULNDUGLXP*DPEDUDP HNRNDUGLRJUD¿ SDGD WXEHUNXORVLV SHULNDUGLDO berupa:25 1. /DSLVDQ HNVXGDWLI \DQJ GLGH¿QLVLNDQ VHEDJDL JDPEDUDQ HFKR SDGDW GHQJDQ tampilan seperti massa mengelilingi epikardium 2. /DSLVDQ¿EULQ\DQJGLGH¿QLVLNDQVHEDJDLJDULVPXOWLSHODWDXVWUXNWXUVHSHUWL pita dari epikardium ke perikardium yang menonjol ke ruang perikardial. 3. Penebalan perikardium> 2 mm pada ekokardiogram 2 dimensi Manajemen optimal termasuk SHULFDUGLDO ZLQGRZ terbuka untuk mencegah reakumulasi cairan. Perikardiosintesis sering gagal karena stadium lanjut efusi ¿EULQRVDSHLNDUGLRWRPLGHQJDQGUDLQWHUEXNDNRPSOHWGDSDWGLODNXNDQ3HQJREDWDQ antituberkulosismeningkatkan angka tahan hidup TB perikarditis. Paduan obat yangsama dengan TB paru yaitu 2RHZE/4RH telah menunjukkan hasil yang efektif untuk TB perikardial. Kortikosteroid memberikan manfaat untuk mencegah reakumulasi cairan.25
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
75
x
Pemberian kortikosteroid dengan dosis prednisolon 1 mg/kgbb dengan tappering off dalam 11 minggu Rekomendasi A
I. Tuberkulosis Kulit Invasi kulit M. tuberculosis jarang ditemukan di negara maju. Penularan terjadi akibat inhalasi droplet dan jarang disebabkan oleh inokulasi langsung di kulit.28 Presentasi klinis TB kulit berupa lesi kronik, tidak nyeri, non-patognomonik, dapat berupa papula kecil dan eritema hingga tuberkuloma besar.29 Meskipun morfologi lesi sangat bervariasi, terdapat beberapa temuan khas, yaitu gambaran scrofuloform, SODNDQXODUGHQJDQEDWDVYHUXNRVDSDGDOXSXVYXOJDULVDWDXSODNKLSHUWUR¿28 'LDJQRVLV GH¿QLWLI GLWHJDNNDQ EHUGDVDUNDQ ELDNDQ VHGLDDQ ELRSVL %LDNDQ mikobakterial masih merupakan baku emas untuk menentukan mikobakteria, tetapi memiliki yield rate yang rendah dan memerlukan waktu beberapa minggu. Biakan sampel kulit terutama diperlukan untuk diagnosis pada pasien dengan AIDS atau imunokompromais karena manifestasi kulit dan lesi histopatologis biasanya tidak khas. Biakan hanya positif pada 6% kasus lupus vulgaris. Media biakan yang paling sering digunakanadalah media berbasis telur (Lowenstein-Jensen) dan media semisintetik dengan agar. Media biakan solid tradisional seperti Lowenstein-Jensen membutuhkan waktu 4 sampai 8 minggu untuk memberikan hasil. Media cair dapat mempercepat pertumbuhan dan dapat mendeteksi pertumbuhan dalam 3 sampai 7 hari. Spesimen biopsi dapat dibiakkan jika disimpan dalam larutan salin dan idealnya GLDPELO VHEHOXP 2$7 GLEHULNDQ .ODVL¿NDVL WXEHUNXORVLV NXOLW GDSDW GLOLKDW SDGD Tabel 6.3.29-31
76
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Tabel 6.3 . .ODVL¿NDVLWXEHUNXORVLVNXOLW .ODVL¿NDVL
Contoh
Cara penyebaran
x Eksogen: tuberklosis chancre, TB verukosa kutis, lupus vulgaris x Endogen: o /DQJVXQJVNURIXORGHUPD7%RUL¿VLDOLV o Hematogen: TB milier akut, abses TB metastatik, lupus vulgaris o Limfatik: lupus vulgaris
Jenis bakteri
x Multibasiler: TB chancre VNURIXORGHUPD 7% RUL¿VLDOLV 7% milier akut, TB gumatosa x Pausibasiler: TB verukosa kutis, lupus vulgaris, tuberkulid Dikutipdari(31)
Terapi standar tuberkulosis 2RHZE/4RH diberikan untuk tuberkulosis kulit selama 6 bulan. Kombinasi dengan pembedahan dapat dipertimbangkan pada lupus vulgaris, tuberkulosis verukosa dan skrofuloderma untuk mencegah kekambuhan dan resistensi.31,32 J. Pengobatan Tuberkulosis Ekstraparu Paduan terapi adekuat dapat dimulai tanpa menunggu hasil biakan bila histologi dan gambaran klinis sesuai dengan diagnosis tuberkulosis. Seluruh pasien TB ekstraparu harus melakukan foto toraks untuk menyingkirkan TB paru. Paduan terapi adekuat harus diteruskan meskipun hasil biakan negatif. Tuberkulosis paru dan TB ekstraparu diterapi dengan paduan obat yang sama namun beberapa pakar menyarankan 9-12 bulan untuk TB meningitis karena mempunyai risiko serius pada disabilitas dan mortalitas dan 9 bulan untuk TB tulang dan sendi karena sulitnya memonitor respons terapi. Kostikosteroid direkomendasikan untuk TB perikardial dan TB meningitis. Pada TB meningitis etambutol diganti dengan streptomisin. Terapi bedah mempunyai peran kecil dalam penatalaksanaan TB ekstraparu. Terapi bedah dilakukan pada komplikasi lanjut penyakit seperti hidrosefalus, uropati obstruktif, perikarditis konstriktif dan keterlibatan neurologis akibat penyakit Pott (TB spinal). Apabila terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang cukup banyak maka drainase, aspirasi maupun insisi dapat membantu. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
77
x x x
Pasien dengan TB ekstraparu, paduan obat selama 6-9 bulan (2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB diikuti dengan 4-7 bulan INH dan RIF) Pengecualian rekomendasi 6-9 bulan untuk TB ekstraparu pada sistem saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang dan sendi, yaitu selama 9-12 bulan Terapi ajuvan kortikosteroid harus ditambahkan pada TB sistem saraf pusat dan perikardial Rekomendasi A
Terapi dengan kortikosteroid dimulai secara intravena secepatnya, kemudian disulih oral tergantung perbaikan klinis. Rekomendasi kortikosteroid yang digunakan adalah deksametason 0,3-0,4 mg/kg di tapering-off selama 6-8 minggu atau prednison 1 mg/ kg selama 3 minggu, lalu tapering-off selama 3-5 minggu. Evaluasi pengobatan TB ekstraparu dilakukan dengan memantau klinis pasien, tanpa melakukan pemeriksaan histopatologi ataupun biakan.
Pada pasien tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis Standar 10 ISTC
Daftar Pustaka 1. ĞĮŶŝƟŽŶƐŽĨƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐĐĂƐĞƐ͘ĐŝƚĞĚϮϬϭϯDĂƌĐŚϯ͘ǀĂŝůĂďůĞĨƌŽŵ͗ŚƩƉ͗ͬͬǁǁǁ͘ǁŚŽ͘ ŝŶƚͬƚďͬƉƵďůŝĐĂƟŽŶƐͬŐůŽďĂůͺƌĞƉŽƌƚͬϮϬϬϳͬƚĂďůĞͺϱͬĞŶͬ 2. E/͘dƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͗ůŝŶŝĐĂůĚŝĂŐŶŽƐŝƐĂŶĚŵĂŶĂŐĞŵĞŶƚŽĨƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͕ĂŶĚŵĞĂƐƵƌĞƐĨŽƌ ŝƚƐƉƌĞǀĞŶƟŽŶĂŶĚĐŽŶƚƌŽů͘ϮϬϭϭ͘ĐŝƚĞĚϮϬϭϮKĐƚŽďĞƌϭϳ͘ǀĂŝůĂďůĞĨƌŽŵ͗ŚƩƉ͗ͬͬǁǁǁ͘ŶŝĐĞ͘ ŽƌŐ͘ƵŬͬŐƵŝĚĂŶĐĞͬ'ϭϭϳ. 3. Schluger, N. W. Rom WL The host immune response to tuberculosis. State of the Art Am J Respir Crit Care Med. 1998;;157:679-691. 4. Seibert, A. F, Haynes, J, & Middleton, R. Bass JB Tuberculous pleural effusion: twenty years experience. Chest. 1991;;99:883-886 5. 'ŚĂŶĞŝD͕ƐůĂŶŝ:͕ĂŚƌĂŵŝ,͕ĚŚĂŵŝ,͘^ŝŵƉůĞŵĞƚŚŽĚĨŽƌƌĂƉŝĚĚŝĂŐŶŽƐŝƐŽĨƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ ƉůĞƵƌŝƟƐ͗ĂƐƚĂƟƐƟĐĂůĂƉƉƌŽĂĐŚ͘ƐŝĂŶĂƌĚŝŽǀĂƐĐdŚŽƌĂĐŶŶ͘ϮϬϬϰ͖ϭϮ;ϭͿ͗ϮϯͲϵ͘ ϲ͘ <ƵŵĂƌW͕^ĞŶD<͕ŚĂƵŚĂŶ^͕<ĂƚŽĐŚsD͕^ŝŶŐŚ^͕WƌĂƐĂĚ,<͘ƐƐĞƐƐŵĞŶƚŽĨƚŚĞEͲWZ ĂƐƐĂLJŝŶĚŝĂŐŶŽƐŝƐŽĨƉůĞƵƌĂůƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͗ĚĞƚĞĐƟŽŶŽĨD͘ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŝŶƉůĞƵƌĂůŇƵŝĚĂŶĚ ƐƉƵƚƵŵĐŽůůĞĐƚĞĚŝŶƚĂŶĚĞŵ͘W>Ž^KŶĞ͘ϮϬϭϬ͖ϱ;ϰͿ͗ĞϭϬϮϮϬ͘ 7. ůƵŵďĞƌŐ,D͕ƵƌŵĂŶt:͕ŚĂŝƐƐŽŶZ͕ĂůĞLJ>͕ƚŬŝŶĚ^͕&ƌŝĞĚŵĂŶ>E͕ĞƚĂů͘ŵĞƌŝĐĂŶ dŚŽƌĂĐŝĐ^ŽĐŝĞƚLJͬĞŶƚĞƌƐĨŽƌŝƐĞĂƐĞŽŶƚƌŽůĂŶĚWƌĞǀĞŶƟŽŶͬ/ŶĨĞĐƟŽƵƐŝƐĞĂƐĞƐ^ŽĐŝĞƚLJŽĨ ŵĞƌŝĐĂ͗ƚƌĞĂƚŵĞŶƚŽĨƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘ŵ:ZĞƐƉŝƌƌŝƚĂƌĞDĞĚ͘ϮϬϬϯ͖ϭϲϳ;ϰͿ͗ϲϬϯͲϲϮ͘ ϴ͘ <ĂŶĚĂůĂs͕<ĂůĂŐĂŶŝz͕<ŽŶĚĂƉĂůůŝEZ͕<ĂŶĚĂůĂD͘ŝƌĞĐƚůLJŽďƐĞƌǀĞĚƚƌĞĂƚŵĞŶƚƐŚŽƌƚĐŽƵƌƐĞ
78
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
ϵ͘ 10. 11. 12. 13.
ϭϰ͘ 15.
ϭϲ͘ 17. ϭϴ͘
ϭϵ͘
20. 21. 22. 23. Ϯϰ͘
25. Ϯϲ͘ 27.
Ϯϴ͘
ŝŶŝŵŵƵŶŽĐŽŵƉĞƚĞŶƚƉĂƟĞŶƚƐŽĨƚƵďĞƌĐƵůŽƵƐĐĞƌǀŝĐĂůůLJŵƉŚĂĚĞŶŽƉĂƚŚLJƚƌĞĂƚĞĚŝŶƌĞǀŝƐĞĚ ŶĂƟŽŶĂůƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐĐŽŶƚƌŽůƉƌŽŐƌĂŵŵĞ͘>ƵŶŐ/ŶĚŝĂ͘ϮϬϭϮ͖Ϯϵ;ϮͿ͗ϭϬϵͲϭϯ͘ &ŽŶƚĂŶŝůůĂ :D͕ ĂƌŶĞƐ ͕ ǀŽŶ ZĞLJŶ &͘ ƵƌƌĞŶƚ ĚŝĂŐŶŽƐŝƐ ĂŶĚ ŵĂŶĂŐĞŵĞŶƚ ŽĨ ƉĞƌŝƉŚĞƌĂů ƚƵďĞƌĐƵůŽƵƐůLJŵƉŚĂĚĞŶŝƟƐ͘ůŝŶ/ŶĨĞĐƚŝƐ͘ϮϬϭϭ͖ϱϯ;ϲͿ͗ϱϱϱͲϲϮ͘ ĞŬD͕>ĞŶŬ^͕EĂďĞƌ<'͕ŝƐŚŽƉD͕:ŽŚĂŶƐĞŶd͕ŽƩŽ,͕ĞƚĂů͘hŐƵŝĚĞůŝŶĞƐĨŽƌƚŚĞ ŵĂŶĂŐĞŵĞŶƚŽĨŐĞŶŝƚŽƵƌŝŶĂƌLJƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘ƵƌhƌŽů͘ϮϬϬϱ͖ϰϴ;ϯͿ͗ϯϱϯͲϲϮ͘ DĂĚĞďZ͕DĂƌƐŚĂůů:͕EĂƟǀK͕ƌƚƵƌŬ͘ƉŝĚŝĚLJŵĂůƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͗ĐĂƐĞƌĞƉŽƌƚĂŶĚƌĞǀŝĞǁŽĨ ƚŚĞůŝƚĞƌĂƚƵƌĞ͘hƌŽůŽŐLJ͘ϮϬϬϱ͖ϲϱ;ϰͿ͗ϳϵϴ͘ tŝƐĞ':͕^ŚƚĞLJŶƐŚůLJƵŐĞƌ͘ŶƵƉĚĂƚĞŽŶůŽǁĞƌƵƌŝŶĂƌLJƚƌĂĐƚƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘ƵƌƌhƌŽůZĞƉ͘ ϮϬϬϴ͖ϵ;ϰͿ͗ϯϬϱͲϭϯ͘ ƌĂŶĐƵƐŝ&͕&ĂƌƌĂƌ:͕,ĞĞŵƐŬĞƌŬ͘dƵďĞƌĐƵůŽƵƐŵĞŶŝŶŐŝƟƐŝŶĂĚƵůƚƐ͗ĂƌĞǀŝĞǁŽĨĂĚĞĐĂĚĞŽĨ ĚĞǀĞůŽƉŵĞŶƚƐĨŽĐƵƐŝŶŐŽŶƉƌŽŐŶŽƐƟĐĨĂĐƚŽƌƐĨŽƌŽƵƚĐŽŵĞ͘&ƵƚƵƌĞDŝĐƌŽďŝŽů͘ϮϬϭϮ͖ϳ;ϵͿ͗ϭϭϬϭͲ ϭϲ͘ ŚĞƌŝĂŶ͕dŚŽŵĂƐ^s͘ĞŶƚƌĂůŶĞƌǀŽƵƐƐLJƐƚĞŵƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘Ĩƌ,ĞĂůƚŚ^Đŝ͘ϮϬϭϭ͖ϭϭ;ϭͿ͗ϭϭϲͲ 27. dŚǁĂŝƚĞƐ'͕&ŝƐŚĞƌD͕,ĞŵŝŶŐǁĂLJ͕^ĐŽƩ'͕^ŽůŽŵŽŶd͕/ŶŶĞƐ:͘ƌŝƟƐŚ/ŶĨĞĐƟŽŶ^ŽĐŝĞƚLJ ŐƵŝĚĞůŝŶĞƐĨŽƌƚŚĞĚŝĂŐŶŽƐŝƐĂŶĚƚƌĞĂƚŵĞŶƚŽĨƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŽĨƚŚĞĐĞŶƚƌĂůŶĞƌǀŽƵƐƐLJƐƚĞŵŝŶ ĂĚƵůƚƐĂŶĚĐŚŝůĚƌĞŶ͘:/ŶĨĞĐƚ͘ϮϬϬϵ͖ϱϵ;ϯͿ͗ϭϲϳͲϴϳ͘ ŐƌĂǁĂůs͕WĂƚŐĂŽŶŬĂƌWZ͕EĂŐĂƌŝLJĂ^W͘dƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŽĨƐƉŝŶĞ͘:ƌĂŶŝŽǀĞƌƚĞďƌ:ƵŶĐƟŽŶ^ƉŝŶĞ͘ ϮϬϭϬ͖ϭ;ϮͿ͗ϳϰͲϴϱ͘ DŽƵƐĂ,Ͳ>͘ŽŶĞƐĂŶĚ:ŽŝŶƚƐdƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘ĂŚƌĂŝŶDĞĚƵůů͘ϮϬϬϳ͖Ϯϵ;ϭͿ͗ϭͲϵ͘ DƵŬĞǁĂƌ^͕ZĂǀŝZ͕WƌĂƐĂĚ͕<^͘ŽůŽŶƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͗ĞŶĚŽƐĐŽƉŝĐĨĞĂƚƵƌĞƐĂŶĚƉƌŽƐƉĞĐƟǀĞ ĞŶĚŽƐĐŽƉŝĐ ĨŽůůŽǁͲƵƉ ĂŌĞƌ ĂŶƟͲƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ ƚƌĞĂƚŵĞŶƚ͘ ůŝŶ dƌĂŶƐů 'ĂƐƚƌŽĞŶƚĞƌŽů͘ ϮϬϭϮ͖ϯ͗ĞϮϰ͘ <ĂƌĂŶŝŬĂƐD͕WŽƌƉŽĚŝƐ<͕ĂƌŽŐŽƵůŝĚŝƐW͕DŝƚƌĂŬĂƐ͕dŽƵnjŽƉŽƵůŽƐW͕>LJƌĂƚnjŽƉŽƵůŽƐE͕ĞƚĂů͘ dƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐŝŶƚŚĞƉĞƌŝƚŽŶĞƵŵ͗ŶŽƚƚŽŽƌĂƌĞĂŌĞƌĂůů͘ĂƐĞZĞƉ'ĂƐƚƌŽĞŶƚĞƌŽů͘ϮϬϭϮ͖ϲ;ϮͿ͗ϯϲϵͲ ϳϰ͘ 'ƵŶŐŽƌĚƵŬ <͕ hůŬĞƌ s͕ ^ĂŚďĂnj ͕ ƌŬ ͕ dĞŬŝƌĚĂŐ /͘ WŽƐƚŵĞŶŽƉĂƵƐĂů ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ ĞŶĚŽŵĞƚƌŝƟƐ͘/ŶĨĞĐƚŝƐKďƐƚĞƚ'LJŶĞĐŽů͘ϮϬϬϳ͖ϮϬϬϳ͗ϭͲϯ͘ DĂĞƐƚƌĞ D͕ DĂŶnjĂŶŽ ͕ >ŽƉĞnj ZD͘ WŽƐƚŵĞŶŽƉĂƵƐĂů ĞŶĚŽŵĞƚƌŝĂů ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘ /Ŷƚ : 'LJŶĂĞĐŽůKďƐƚĞƚ͘ϮϬϬϰ͖ϴϲ;ϯͿ͗ϰϬϱͲϲ͘ 'ĂƚŽŶŐŝ<͕<ĂLJs͘ŶĚŽŵĞƚƌŝĂůƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐƉƌĞƐĞŶƟŶŐǁŝƚŚƉŽƐƚŵĞŶŽƉĂƵƐĂůƉLJŽŵĞƚƌĂ͘: KďƐƚĞƚ'LJŶĂĞĐŽů͘ϮϬϬϱ͖Ϯϱ;ϱͿ͗ϱϭϴͲϮϬ͘ dƌŝƉĂƚŚLJ^E͕dƌŝƉĂƚŚLJ^E͘'LJŶĂĞĐŽůŽŐŝĐĂůdƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐͲĂŶƵƉĚĂƚĞ͘/ŶĚ:dƵď͘ϭϵϵϴ͖ϰϱ͗ϭϵϯͲϳ͘ :ŝŶĚĂůhE͕sĞƌŵĂ^͕ĂůĂz͘&ĂǀŽƌĂďůĞŝŶĨĞƌƟůŝƚLJŽƵƚĐŽŵĞƐĨŽůůŽǁŝŶŐĂŶƟͲƚƵďĞƌĐƵůĂƌƚƌĞĂƚŵĞŶƚ ƉƌĞƐĐƌŝďĞĚŽŶƚŚĞƐŽůĞďĂƐŝƐŽĨĂƉŽƐŝƟǀĞƉŽůLJŵĞƌĂƐĞĐŚĂŝŶƌĞĂĐƟŽŶƚĞƐƚĨŽƌĞŶĚŽŵĞƚƌŝĂů ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘,ƵŵZĞƉƌŽĚ͘ϮϬϭϮ͖Ϯϳ;ϱͿ͗ϭϯϲϴͲϳϰ͘ zŽŽŶ^͕,ĂŚŶz^͕,ŽŶŐ:D͕>ĞĞK:͕,ĂŶ,^͘dƵďĞƌĐƵůŽƵƐƉĞƌŝĐĂƌĚŝƟƐƉƌĞƐĞŶƟŶŐĂƐŵƵůƟƉůĞ ĨƌĞĞŇŽĂƟŶŐŵĂƐƐĞƐŝŶƉĞƌŝĐĂƌĚŝĂůĞīƵƐŝŽŶ͘:<ŽƌĞĂŶDĞĚ^Đŝ͘ϮϬϭϮ͖Ϯϳ;ϯͿ͗ϯϮϱͲϴ͘ ZĞƵƚĞƌ ,͕ ƵƌŐĞƐƐ >:͕ >ŽƵǁ s:͕ ŽƵďĞůů &͘ dŚĞ ŵĂŶĂŐĞŵĞŶƚ ŽĨ ƚƵďĞƌĐƵůŽƵƐ ƉĞƌŝĐĂƌĚŝĂů ĞīƵƐŝŽŶ͗ĞdžƉĞƌŝĞŶĐĞŝŶϮϯϯĐŽŶƐĞĐƵƟǀĞƉĂƟĞŶƚƐ͘ĂƌĚŝŽǀĂƐĐ:^Ĩƌ͘ϮϬϬϳ͖ϭϴ;ϭͿ͗ϮϬͲϱ͘ DĂŝƐĐŚ͕^ĞĨĞƌŽǀŝĐWD͕ZŝƐƟĐ͕ƌďĞůZ͕ZŝĞŶŵƵůůĞƌZ͕ĚůĞƌz͕ĞƚĂů͘'ƵŝĚĞůŝŶĞƐŽŶƚŚĞ ĚŝĂŐŶŽƐŝƐĂŶĚŵĂŶĂŐĞŵĞŶƚŽĨƉĞƌŝĐĂƌĚŝĂůĚŝƐĞĂƐĞƐĞdžĞĐƵƟǀĞƐƵŵŵĂƌLJ͖dŚĞdĂƐŬĨŽƌĐĞŽŶ the diagnosis and management of pericardial diseases of the European society of cardiology. Ƶƌ,ĞĂƌƚ:͘ϮϬϬϰ͖Ϯϱ;ϳͿ͗ϱϴϳͲϲϭϬ͘ ǁĂƌŝ ͕ 'ŚŽƐŚ ͕ WĂƵĚĞů Z͕ <ŝƐŚŽƌĞ W͘ ĐůŝŶŝĐŽĞƉŝĚĞŵŝŽůŽŐŝĐĂů ƐƚƵĚLJ ŽĨ ϱϬ ĐĂƐĞƐ ŽĨ ĐƵƚĂŶĞŽƵƐ ƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ ŝŶ Ă ƚĞƌƟĂƌLJ ĐĂƌĞ ƚĞĂĐŚŝŶŐ ŚŽƐƉŝƚĂů ŝŶ ƉŽŬŚĂƌĂ͕ EĞƉĂů͘ /ŶĚŝĂŶ : Dermatol. 2010;55(3):233-‐7.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
79
Ϯϵ͘ sĂƌĂŝŶĞ&͕ZŝĐŚD>͘dƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͗WƌĂĐƟĐĂůŐƵŝĚĞĨŽƌĐůŝŶŝĐŝĂŶƐ͕ŶƵƌƐĞƐ͕ůĂďŽƌĂƚŽƌLJƚĞĐŚŶŝĐŝĂŶƐ ĂŶĚŵĞĚŝĐĂůĂƵdžŝůŝĂƌŝĞƐ͘WĂƌŝƐ͗WĂƌƚŶĞƌƐŝŶ,ĞĂůƚŚ͖ϮϬϭϯĐŝƚĞĚϮϬϭϯ:ƵůLJϮϰ͘ǀĂŝůĂďůĞĨƌŽŵ͗ ŚƩƉ͗ͬͬǁǁǁ͘ƌĞĩŽŽŬƐ͘ŵƐĨ͘ŽƌŐͬŵƐĨͺĚŽĐƐͬĞŶͬƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐͬƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐͺĞŶ͘ƉĚĨ. 30. ƌĂǀŽ&'͕'ŽƚƵnjnjŽ͘ƵƚĂŶĞŽƵƐƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘ůŝŶĞƌŵĂƚŽů͘ϮϬϬϳ͖Ϯϱ;ϮͿ͗ϭϳϯͲϴϬ͘ 31. ůŵĂŐƵĞƌͲŚĂǀĞnj:͕KĐĂŵƉŽͲĂŶĚŝĂŶŝ:͕ZĞŶĚŽŶ͘ƵƌƌĞŶƚƉĂŶŽƌĂŵĂŝŶƚŚĞĚŝĂŐŶŽƐŝƐŽĨ ĐƵƚĂŶĞŽƵƐƚƵďĞƌĐƵůŽƐŝƐ͘ĐƚĂƐĞƌŵŽƐŝĮůŝŽŐƌ͘ϮϬϬϵ͖ϭϬϬ;ϳͿ͗ϱϲϮͲϳϬ͘ 32. dƵƌĂŶ͕zƵƌƚE͕zĞƐŝůŽǀĂz͕ĞůŝŬK/͘>ƵƉƵƐǀƵůŐĂƌŝƐĚŝĂŐŶŽƐĞĚĂŌĞƌϯϳLJĞĂƌƐ͗ĂĐĂƐĞŽĨĚĞůĂLJĞĚ ĚŝĂŐŶŽƐŝƐ͘ĞƌŵĂƚŽůKŶůŝŶĞ:͘ϮϬϭϮ͖ϭϴ;ϱͿ͗ϭϯ͘
80
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
BAB VII TUBERKULOSIS PADA ANAK
T
uberkulosis (TB) pada anak merupakan spektrum TB yang unik dan mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan TB orang dewasa. Pada TB anak permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis,
pengobatan, dan pencegahan, serta TB pada HIV. Gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pada anak, sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan berkualitas baik. Seringkali, walaupun spesimen berhasil diperoleh, M. tuberculosis jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun biakan.1,2 Mengingat sulitnya penegakan diagnosis TB pada anak, pelaporan jumlah kasus TB anak yang akurat juga mengalami kesulitan. Estimasi jumlah pasien TB anak adalah sekitar 10-15% dari jumlah kasus TB dewasa.3 Laporan TB anak di Indonesia pada tahun 2012 menyatakan jumlah kasus TB anak 8,2% dari seluruh kasus, namun permasalahannya adalah jika dirinci data dari masing-masing propinsi, angkanya bervariasi antara 1,7-15,6%. Angka ini menyiratkan belum adanya standar penegakan diagnosis TB pada anak sehingga menghasilkan rentang data yang sangat besar;; kemungkinan overdiagnosis di beberapa propinsi, tetapi underdiagnosis di propinsi lainnya. Data ini pun sebagian besar berasal dari puskesmas dan RS yang sudah menjalankan strategi DOTS dalam pelayanan TB. Data TB anak dari dokter praktik swasta hampir seluruhnya belum masuk dalam sistem rekam lapor TB nasional. Bahkan RS pemerintah pun belum seluruhnya melaksanakan strategi DOTS. Kecenderungan yang teramati di lapangan adalah TB anak di layanan primer pemerintah umumnya masih under-diagnosis sedangkan di layanan swasta terjadi over-diagnosis yang luar biasa.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
81
A. Penemuan kasus pasien TB anak Meskipun Indonesia adalah negara dengan jumlah kasus TB yang besar, sampai saat ini skrining masal terhadap TB belum dilakukan. Anak (menurut sistem rekam lapor TB adalah mereka yang berusia 0-14 tahun) dapat terkena TB pada usia berapa pun namun tersering pada usia 1-4 tahun. Risiko morbiditas dan mortalitas tertinggi adalah pada bayi dan anak kurang dari 2 tahun, yaitu kelompok usia yang tersering mengalami TB diseminata. Perjalanan penyakit TB anak dari terinfeksi menjadi sakit TB mayoritas terjadi selama 1 tahun setelah anak terinfeksi, oleh sebab itu angka TB pada anak juga merupakan indikator berlangsungnya transmisi kuman TB di komunitas.4,5 Pasien TB anak dapat ditemukan melalui 2 pendekatan utama, yaitu investigasi terhadap anak yang kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif dan menular, serta anak yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala dan tanda klinis yang mengarah ke TB. 1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah pasien TB (umumnya pasien TB dewasa dan masih mungkin pasien anak) yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif. 2. Anak yang menunjukkan tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB pada anak. TB anak merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/ umum atau sesuai organ terkait. x x x
82
Makin muda usia anak, makin tinggi risiko morbiditas dan mortalitas TB Pendekatan diagnosis TB anak melalui 2 cara: investigasi anak yang kontak erat dengan pasien TB BTA positif dan investigasi anak dengan keluhan tanda dan gejala klinis sesuai TB Adanya pasien TB anak merupakan indikator masih berlangsungnya transmisi kuman TB di komunitas Rekomendasi C
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
B. Diagnosis TB anak Diagnosis pasti TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu M. tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Mengingat kesulitan penegakan diagnosis pasti, maka DQDPQHVLVGDQSHPHULNVDDQ¿VLV\DQJWHUDUDKGDQFHUPDWVDQJDWGLSHUOXNDQ Rekomendasi pendekatan diagnosis TB pada anak:2 1. Anamnesis (riwayat kontak erat dengan pasien TB dan gejala klinis sesuai TB) 2. 3HPHULNVDDQ¿VLVWHUPDVXNDQDOLVLVWXPEXKNHPEDQJDQDN 3. Uji tuberkulin 4. .RQ¿UPDVLEDNWHULRORJLVXSD\DNDQVHPDNVLPDOPXQJNLQ 5. Pemeriksaan penunjang lain yang relevan (foto toraks toraks, pungsi lumbal, biopsi dan yang lainnya sesuai lokasi organ yang terkena) 6. Skrining HIV pada kasus dengan kecurigaan HIV TB anak merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik / umum atau sesuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
*HMDODVLVWHPLNXPXP7%SDGDDQDN6 x %DWXNODPDDWDXSHUVLVWHQPLQJJXEDWXNEHUVLIDWnon-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab lain batuk telah disingkirkan. x 'HPDP ODPD PLQJJX GDQDWDX EHUXODQJ WDQSD VHEDE \DQJ MHODV EXNDQ demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai keringat malam. x Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive). x Berat badan turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas ATAU
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
83
berat badan tidak naik dengan adekuat ATAU tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik. x Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. x Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja apabila tidak disertai GHQJDQ JHMDODJHMDOD VLVWHPLNXPXP ODLQ EXNDQ PHUXSDNDQ JHMDOD VSHVL¿N 7% pada anak.
Gejala klinis terkait organ Gejala klinis organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena, misalnya: kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut: 1. TB kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): 3HPEHVDUDQ.*%PXOWLSHOGLDPHWHUFPNRQVLVWHQVLNHQ\DOWLGDNQ\HUL dan kadang saling melekat atau NRQÀXHQV. 2. TB otak dan selaput otak: x Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena, misalnya kejang, kuduk kaku, dan lain-lain. x Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya proses desak ruang. 3. TB sistem skeletal: x Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus). x Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah panggul. x Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas. x Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis): bengkak pada persendian tangan atau kaki 4. Skrofuloderma: 'LWDQGDLDGDQ\DXONXVGLVHUWDLGHQJDQ¿VWXODMHPEDWDQNXOLWDQWDUWHSLXONXV (skin bridge). 84
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
5. TB mata: x .RQMXQJWLYLWLVÀLNWHQXODULVFonjunctivitis phlyctenularis). x Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi). x Skleritis TB 6. TB organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
x x
*HMDODVLVWHPLN7%EDWXNSHUVLVWHQGHPDPODPDEHUDWEDGDQWXUXQPDODLVH dan keringat malam Gejala lokal tergantung pada organ yang terkena
Uji tuberkulin Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak dapat dilakukan penegakan diagnosis TB pada anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular (BTA positif) merupakan salah satu informasi penting adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin. Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin atau Mantoux test.2 Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark dan PPD (3XUL¿HG3URWHLQ'HULYDWLYH) yang sama dari Staten yang dikemas ulang oleh Biofarma. Pembacaan hasil uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara Mantoux (intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dengan mengukur diameter transversal. Uji tuberkulin dinyatakan positif yaitu: 1. Pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk anak dengan riwayat imunisasi BCG diameter indurasinya > 10mm 2. Pada kelompok anak dengan imunokompromais (HIV, gizi buruk, keganasan dan lainnya) diameter indurasinya > 5mm Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
85
8ML WXEHUNXOLQ \DQJ SRVLWLI PHQDQGDNDQ DGDQ\D UHDNVL KLSHUVHQVLWL¿WDV WHUKDGDS antigen TB (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak, artinya anak sudah terinfeksi TB. Anak yang terinfeksi TB (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu sakit TB karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB.7 Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka secara klinis anak (pasien) akan tampak sehat. Keadaan ini disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi sakit TB serta menunjukkan gejala klinis dan radiologis. Uji tuberkulin relatif mudah dan murah, penelitian menunjukkan bahwa potensi tuberkulin tetap konstan setelah vial dibuka selama 1 bulan.8
x
8MLWXEHUNXOLQSRVLWLI7$13$DGDJHMDODXPXPGDQDWDXVSHVL¿NGDQUDGLRORJL INFEKSI TB (TB Laten)
x
8MLWXEHUNXOLQSRVLWLI',7$0%$+JHMDODXPXPGDQDWDXVSHVL¿NVHUWDUDGLRORJL SAKIT TB
Pemeriksaan Darah dan Serologis Selain uji tuberkulin, banyak pemeriksaan darah yang beredar secara komersial dengan tujuan menilai respons imun tubuh terhadap TB seperti halnya uji tuberkulin. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pemeriksaan-pemeriksaan tersebut tidak lebih unggul daripada uji tuberkulin. Pemeriksaan Interferon-gamma release assay (IGRA’s), meskipun dapat membedakan infeksi TB alamiah dengan BCG, tetap tidak dapat membedakan antara sakit TB atau hanya terinfeksi TB.9 Pemeriksaan IGRA pada anak tidak menunjukkan keunggulan mengingat harganya yang mahal dan masih rendahnya bukti akurasi pada bayi dan anak.10,11 Pemeriksaan lain seperti laju endap darah dan darah perifer untuk melihat limfositosis tidak direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan secara komersial (PAP TB, MycoDot, ICT, ELISA dan lainnya) tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB, terutama TB pada anak.2 86
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
x Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis yang paling baik untuk membuktikan adanya infeksi TB. x Pemeriksaan IGRA mempunyai potensi keunggulan dibanding uji tuberkulin, namun studi pada anak belum banyak. Harga pemeriksaan IGRA relatif mahal dan saat ini belum tersedia di Indonesia. x Pemeriksaan serologi tidak direkomendasikan penggunaannya baik untuk diagnostik TB pada pasien dewasa maupun anak. x Pemeriksaan darah (LED, limfositosis) tidak ada rujukannya, dan tidak dianjurkan dalam pedoman diagnosis TB nasional maupun internasional
Pemeriksaan Bakteriologis 3HPHULNVDDQEDNWHULRORJLVPHQJLGHQWL¿NDVLDGDQ\DEDVLOWDKDQDVDPVHFDUDODQJVXQJ dan Mycobacterium tuberculosis dari biakan atau metode pemeriksaan lainnya. 8SD\D XQWXN PHODNXNDQ NRQ¿UPDVL GLDJQRVLV KDUXV GLODNXNDQ EDKNDQ GL WHPSDW dengan fasilitas terbatas. Spesimen yang tepat dari organ yang terlibat dievaluasi untuk pemeriksaan bakteriologis yaitu dengan pulasan langsung (direct smear) untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan pemeriksaan biakan untuk menumbuhkan kuman TB. Ada 3 cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sampel spesimen bakteriologis pada anak: 1. Ekspektorasi Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan pemerisaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun dan semua anak dengan gejala TB yang lebih berat. 2. Aspirasi lambung Aspirasi lambung dengan (sonde lambung) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari. 3. Induksi sputum Induksi sputum relatif mudah, aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
87
semua umur, dengan hasil yang lebih baik daripada aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Pemeriksaan sampel dari 1 induksi sputum menghasilkan 3 kali nilai positif yang lebih tinggi daripada aspirasi lambung.13,14 Metode ini aman dan relatif mudah sehingga bisa dikerjakan pada pasien rawat jalan. Untuk melakukannya diperlukan pelatihan dan peralatan yang sederhana. Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) dapat memberikan gambaran yang khas, yaitu menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB. Bila pada suatu kasus yang dicurigai TB ekstraparu dan memerlukan tindakan bedah yang merupakan kesempatan baik mendapatkan spesimen, pemeriksaan histopatoloi hendaknya dilakukan. Idealnya pemeriksaan histopatologi dilakukan pada spesimen yang diperoleh dengan cara biopsi eksisi. Bila tidak memungkinkan melakukan biopsi eksisi maka pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus (¿QHQHHGOH aspiration biopsy/FNAB) dapat membantu penegakan diagnosis TB pada anak.15 Pemeriksaan foto toraks Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Selain itu, variabilitas antar pembaca hasil foto toraks cukup besar.16 Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut: a. 3HPEHVDUDQNHOHQMDUKLOXVDWDXSDUDWUDNHDOGHQJDQWDQSDLQ¿OWUDWYLVXDOLVDVLQ\D selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral) b. Konsolidasi segmental/lobar c. Efusi pleura d. Milier e. Atelektasis
88
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
f. Kavitas g. .DOVL¿NDVLGHQJDQLQ¿OWUDW h. Tuberkuloma Pemeriksaan radiologi yang dilakukan harus memenuhi kualitas yang baik, dan direkomendasikan dibaca oleh radiologist yang terlatih membaca hasil Rontgen toraks pada anak. Deskripsi hasil foto toraks yang bersifat umum seperti ‘bronkopneumonia dupleks, TB masih mungkin’ perlu disikapi dengan hati-hati dalam arti harus disesuaikan dengan data klinis dan penunjang lain. Kecuali gambaran khas seperti milier, deskripsi radiologis saja tidak dapat dijadikan dasar utama diagnosis TB anak. Pemeriksaan terkini TB Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan 1XFOHLF$FLG$PSOL¿FDWLRQ7HVWmisalnya Xpert MTB/RIF. WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas dan belum ada rekomendasi khusus untuk penggunaannya pada anak. Data menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu x .RQ¿UPDVLGLDJQRVLVGHQJDQSHPHULNVDDQEDNWHULRORJLVSXODVDQODQJVXQJGDQELDNDQ serta histopatologi harus selalu diupayakan sesuai ketersediaan fasilitas x Pemeriksaan radiologis membantu menegakkan diagnosis, namun harus dibaca oleh tenaga yang terlatih x Induksi sputum merupakan cara pengambilan spesimen yang paling baik dan dapat dikerjakan untuk semua anak baik di ruang rawat inap maupun rawat jalan
menunjukkan pasien bukan TB.17,18 Pada pasien anak penggunaan cara ini terbentur masalah klasik yaitu kesulitan mendapatkan spesimen bakteriologis.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
89
C. Diagnosis TB pada anak dengan sistem skoring Penggunaan sistem skoring banyak mengundang kontroversi, karena beberapa studi menunjukkan bahwa sistem skoring cukup baik namun banyak studi lain yang menyatakan banyak kelemahan yang dimiliki sistem skoring. Bukti yang ada menunjukkan banyak kelemahan sistem skoring.19 Namun demikian, tenaga kesehatan di layanan kesehatan dengan fasilitas terbatas / layanan primer seringkali mengalami kesulitan mendiagnosis TB pada Anak. Selain keterbatasan alat diagnosis, tiadanya tenaga dokter juga menjadi kendala diagnosis TB pada anak. Hal ini menyebabkan besaran masalah TB pada anak tidak terdata karena tenaga kesehatan di layanan kesehatan primer ragu atau kurang peraya diri untuk mendiagnosis TB anak sehingga terjadi under-diagnosis. Di sisi lain agaknya justru terjadi over-diagnosis TB anak di layanan swasta karena cenderung menggampangkan. Sistem skoring diagnosis TB Anak yang disusun oleh Pokja TB Anak Kemenkes RI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.20 Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai nilai 6 atau lebih. Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif dan uji tuberkulinnya SRVLWLIQDPXQWLGDNGLGDSDWNDQJHMDODPDNDDQDNFXNXSGLEHULNDQSUR¿ODNVLV,1+ terutama anak balita. Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan: 1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas 2. Gibbus, koksitis 3. Tanda bahaya: -‐ Kejang, kaku kuduk -‐ Penurunan kesadaran -‐ Kegawatan lain, misalnya sesak napas
90
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Sistem skoring diagnosis TB Anak di fasilitas pelayanan kesehatan primer20 Parameter Kontak TB
0 Tidak jelas
1 -
Uji tuberkulin (Mantoux)
Negatif
-
Berat Badan/ Keadaan Gizi
-
Demam yang tidak diketahui penyebabnya Batuk kronik Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang Foto toraks
-
2 3 Laporan keluarga, BTA (+) BTA(-) /BTA tidak jelas/ tidak tahu - 3RVLWLIPP DWDXPPSDGD imunokompro- mais)
BB/TB<90% Klinis gizi buruk atau BB/ atau BB/TB <70% U<80% atau BB/U <60% PLQJJX -
Skor
-
-
- -
PLQJJX FPOHELK dari 1 KGB, tidak nyeri
- -
- -
-
Ada pem- bengkakan
-
-
Normal Gambaran kelainan sugestif TB tidak jelas
-
-
Skor Total
Catatan: -‐ Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan. -‐ 'HPDPPLQJJX GDQEDWXNPLQJJX \DQJWLGDNPHPEDLNVHWHODKGLEHULNDQ pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas -‐ Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau SDUDWUDNHDOGHQJDQWDQSDLQ¿OWUDWDWHOHNWDVLVNRQVROLGDVLVHJPHQWDOOREDUPLOLHU NDOVL¿NDVLGHQJDQLQ¿OWUDWWXEHUNXORPD -‐ Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG harus dievaluasi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
91
dengan sistem skoring TB anak -‐ Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
x
Sistem skoring hanya digunakan di fasilitas kesehatan primer yang terbatas, baik keterbatasan tenaga medis maupun perangkat diagnosis
x
Kasus yang meragukan harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
x
Untuk fasilitas layanan kesehatan yang lebih lengkap, sistem skoring dapat digunakan sebagai penapisan awal, namun harus dilengkapi dengan pemeriksaan diagnosis yang lebih lengkap Rekomendasi C
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB pada anak dan diberikan pengobatan OAT harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat. Apabila respons klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
92
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Skrining
TB Aktif
Beri OAT 2 bln terapi
Respons (+)
Respons (-‐)
Terapi TB diteruskan Rujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut Gambar 7.1 Alur Tata Laksana TB Anak di layanan primer
.ODVL¿NDVLGDQ'H¿QLVL.DVXV7%$QDN %HEHUDSDLVWLODKGDODPGH¿QLVLNDVXV7%$QDN 1. Suspek TB Anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB Anak 2. Pasien TB Anak: pasien TB Anak yang didiagnosis oleh dokter atau petugas TB untuk diberikan pengobatan TB. 3. 3DVLHQ7%$QDNSDVWLGH¿QLWLI DQDNGHQJDQKDVLOELDNDQSRVLWLIM.tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif 3HQHQWXDQNODVL¿NDVLGDQWLSHNDVXV7%SDGDDQDNKDUXVGLWXOLVVHVXDLXUXWDQVHEDJDL berikut: A. Lokasi atau organ tubuh yang terkena: 1. TB Paru. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
93
2. TB Ekstraparu. TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB ekstraparu. 3DVLHQGHQJDQ7%SDUXGDQ7%HNVWUDSDUXGLNODVL¿NDVLNDQVHEDJDL7%SDUXGDODP pencatatan, tetapi dalam diagnosis tetap disebutkan ke duanya sesuai organ terkena. B. Pemeriksaan bakteriologis: 1. BTA positif: sekurang-kurangnya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 2. BTA negatif: kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: x Hasil BTA negatif dengan biakan positif M. tuberculosis, atau x Diputuskan oleh dokter untuk diobati OAT dan gambaran radiologis mendukung gambaran TB paru aktif, dan ada bukti kuat baik secara klinis atau laboratorium adanya infeksi HIV atau status HIV negatif atau tidak diketahui tetapi tidak ada perbaikan dengan antibiotik spektrum luas NHFXDOL2$7ÀXRURNXLQRORQGDQDPLQRJOLNRVLGD 3. BTA tidak diperiksa Kasus TB anak tanpa hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, diagnosis menggunakan sistem skoring. Kasus ini diregister sebagai kasus BTA tidak diperiksa. C. Riwayat pengobatan sebelumnya: 1. Baru Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan dengan hasil pemeriksaan EDNWHULRORJLVVHVXDLGH¿QLVLGLDWDVORNDVLSHQ\DNLWELVDSDUXDWDXHNVWUDSDUX 2. Pengobatan ulang Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1 EXODQ GHQJDQ KDVLO SHPHULNVDDQ EDNWHULRORJLV VHVXDL GH¿QLVL GL DWDV ORNDVL penyakit bisa paru atau ekstraparu. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, DQDNGDSDWGLNODVL¿NDVLNDQVHEDJDLUHODSVJDJDODWDXGHIDXOW 94
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
D. Berat dan ringannya penyakit 1. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll 2. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV. E. Status HIV Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB SDGDDQDNGLNODVL¿NDVLNDQVHEDJDL 1. HIV positif 2. HIV negatif 3. HIV tidak diketahui
Penulisan Diagnosis TB Anak x TB paru / ekstraparu (pilih salah satu, atau keduanya, sesuai organ terkena x
Pemeriksaan bakteriologis: …………………
x
Riwayat pengobatan OAT sebelumnya: …………………..
x
Risiko kecacatan / kematian: ………………..
x
Status HIV: ………………………….
D. Tata laksana TB anak
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
95
Tata laksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan SUR¿ODNVLV SHQFHJDKDQ 7HUDSL7%GLEHULNDQSDGDDQDN\DQJVDNLW7%VHGDQJNDQSUR¿ODNVLV 7%GLEHULNDQSDGDDQDN\DQJNRQWDN7%SUR¿ODNVLVSULPHU DWDXDQDN\DQJWHULQIHNVL 7%WDQSDVDNLW7%SUR¿ODNVLVVHNXQGHU Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan utama dari pemberian obat anti TB sebagai berikut: 1. Menyembuhkan pasien TB 2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya 3. Mencegah TB relaps 4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat 5. Menurunkan transmisi TB 6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin 7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang Beberapa hal penting dalam tata laksana TB Anak adalah: x Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi. x Pemberian gizi yang adekuat. x Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan. Mengingat tingginya risiko TB disseminata pada anak kurang dari 5 tahun, maka terapi TB hendaknya diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Terdapat beberapa perbedaan penting antara anak dengan dewasa, di antaranya adalah usia muda mempengaruhi kecepatan metabolism obat sehingga anak terutama usia kurang dari 5 tahun memerlukan dosis yang lebih tinggi (mg/kgBB) dibandingkan anak besar atau dewasa.21,22 Jenis anti TB lini pertama dan dosisnya tercantum dalam Tabel 7.1.
96
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Tabel 7.1. OAT yang dipakai dan dosisnya
Nama Obat
Dosis harian PJNJ%%KDUL
Isoniazid (H)
10 (7-15)
Dosis maksimal PJKDUL
Efek samping
300
Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitis Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Rifampisin (R)
15 (10-20)
600
Pirazinamid (Z)
35 (30-40)
-
Toksisitas hepar, artralgia, gastrointestinal
-
Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah hijau, hipersensitivitas, gastrointestinal
Etambutol (E)
20 (15–25)
Rekomendasi A
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian OAT setiap hari lebih baik dibandingkan pemberian OAT intermiten. Al-Dossaury dkk tahun 2002 melakukan penelitian observasi pada 175 anak TB dengan strategi DOTS mendapat terapi setiap hari 2 minggu pertama dengan isoniazid, rifampisin, dan pyrazinamid, kemudian diikuti dengan 6 minggu isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid setiap 2 kali perminggu, diikuti dengan 16 minggu isoniazid dan rifampisin 2 kali perminggu mendapatkan hasil dari 81% anak yang menyelesaikan terapi, hanya 37% yang menunjukkan respons yang baik terhadap terapi.23 Menon dkk melakukan metaanalisis terhadap 4 Randomized Control Trial (466 anak) mendapatkan hasil anak dengan terapi intermitten cenderung mendapatkan hasil yang kurang baik bila dibandingkan dengan terapi setiap hari (OR 0,27, 96% CI 0,15-0,51. Analisis Intention to treat, OR 0.66 (95% IK 0.23 sampai 1.84).24 Anak yang lebih kecil umumnya memiliki jumlah kuman yang jauh lebih sedikit (paucibacillary) sehingga transmisi kuman TB dari pasien anak juga lebih rendah, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
97
serta rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif tidak sekuat pada orang dewasa, kecuali pada BTA positif, TB berat dan adult-type TB. Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial 2 bulan pertama kemudian diikuti oleh Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan. Kombinasi 3 obat tersebut memiliki success rate lebih dari 95% dan efek samping obat kurang dari 2%. Pada Tabel 7.2 disajikan paduan obat anti TB pada anak. Tabel 7.2. Paduan OAT pada anak Jenis TB
Fase intensif
Fase lanjutan
TB ringan
2HRZ
4HR
TB BTA positif
2HRZ tambah E dan atau S
4HR
TB berat
10HR
Lama 6 bulan 12 bulan
Respons terapi dan pemantauan: x Idealnya setiap anak dipantau setidaknya: tiap 2 minggu pada fase intensif dan setiap 1 bulan pada fase lanjutan sampai terapi selesai x Penilaian meliputi: penilaian gejala, kepatuhan minum obat, efek samping, dan pengukuran berat badan x Dosis obat mengikuti penambahan berat badan x Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu pemantauan pengobatan x Pemantauan sputum harus dilakukan pada anak dengan BTA (+) pada diagnosis awal, yaitu pada akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-6. x Foto rontgen tidak rutin dilakukan karena perbaikan radiologis ditemukan dalam jangka waktu yang lama, kecuali pada TB milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2 – 4 minggu. x Anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi TB harus dirujuk untuk penilaian dan terapi, anak mungkin mengalami resistensi obat, komplikasi TB yang tidak biasa, penyebab paru lain atau masalah dengan keteraturan (adherence) minum obat 98
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
Kortikosteroid Kortikosteroid dapat digunakan untuk TB dengan komplikasi seperti;; meningitis TB, sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar, dan perikarditis TB. Pada kondisi meningitis TB berat kortikosteroid meningkatkan survival dan menurunkan morbiditas, sehingga kortiosteroid dianjurkan pada kasus meningitis TB.25 Steroid dapat pula diberikan pada TB milier dengan gangguan napas yang berat, efusi pleura dan TB abdomen dengan asites. Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4 mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu, kemudian tappering-off bertahap 1-2 minggu sebelum dilepas. Immune reconstitution Disebut juga reaksi paradoksal, perburukan klinis (gejala baru atau perburukan gejala, tanda, atau manifestasi radiologis) biasa terjadi setelah terapi anti TB akibat peningkatan kapasitas respons imun yang akan merangsang perburukan penyakit, demam dan peningkatan ukuran kelenjar limfe atau tuberkuloma. Imun rekonstitusi terjadi akibat peningkatan status gizi atau akibat terapi anti TB sendiri. Pada pasien TB dengan HIV imun rekonstitusi dapat terjadi setelah pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dan disebut LPPXQH UHFRQVWLWXWLRQ LQÀDPPDWRU\ V\QGURPH ,5,6 . Untuk mencegah IRIS, maka ARV diberikan 2-6 minggu setelah OAT dimulai. Untuk mengurangi risiko hepatotoksisitas, dipertimbangkan mengganti nevirapin dengan sediaan yang lain. Jika terjadi IRIS, terapi TB tetap diteruskan, sebagian kasus bisa ditambahkan kortikosteroid, namun jika terjadi keraguan hendaknya anak dirujuk ke level yang lebih tinggi.26 Nutrisi Status gizi pasien sangat penting untuk bertahan terhadap penyakit TB, dan malnutrisi berat berhubungan dengan mortalitas TB. Penilaian yang terus menerus dan cermat pada pertumbuhan anak perlu dilakukan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau PXVFOHZDVWLQJ Pemberian air susu ibu tetap diberikan, jika masih dalam periode menyusui.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
99
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan dengan makanan yang mudah diterima anak dan bervariasi. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat di atasi. Piridoksin ,VRQLD]LGGDSDWPHQ\HEDENDQGH¿VLHQVLSLULGRNVLQVLPSWRPDWLNWHUXWDPDSDGDDQDN dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan ARV. Suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada bayi yang mendapat ASI ekslusif, HIV positif atau malnutrisi berat.2
D. Tata laksana efek samping obat Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Pemberian etambutol untuk anak yang mengalami TB berat tidak banyak menimbulkan gejala efek samping selama pemberiannya sesuai dengan rentang dosis yang direkomendasi.27 Efek samping yang paling penting adalah hepatotoksisitas, yang dapat disebabkan oleh isoniazid, rifampisin atau pirazinamid. Enzim hati tidak rutin diperiksa, pada keadaan peningkatan enzim hati ringan tanpa gejala klinis (kurang dari 5 kali nilai normal) bukan merupakan indikasi penghentian terapi obat anti TB. Jika timbul gejala hepatomegali atau ikterus harus segera dilakukan pengukuran kadar enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB. Penapisan ke arah penyebab hepatitis lain harus dilakukan. Obat TB diberikan kembali jika fungsi hati kembali normal, diberikan dengan dosis yang lebih kecil dalam rentang terapi, dengan tetap memonitor kadar enzim hati. Konsultasi ke ahli hepatologi diperlukan untuk tata laksana lebih lanjut.28
E. Pencegahan TB Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG) Vaksin BCG merupakan vaksin yang berisi M. bovis hidup yang dilemahkan. Efek proteksi sangat bervariasi mulai dari 0-80% bahkan di wilayah endemis TB diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG memberikan proteksi yang cukup baik terhadap terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis TB).29 Sebaliknya pada anak terinfeksi HIV maka vaksin BCG tidak banyak memberikan 100
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata, yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada pasien imunokompromas. WHO menetapkan bahwa vaksinasi BCG merupakan kontraindikasi pada anak terinfeksi HIV yang bergejala. Hal ini sering menjadi dilema bila bayi mendapat BCG segera setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila status HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT) telah dilakukan maka vaksinasi BCG dapat diberikan pada bayi yang lahir dari ibu +,9SRVLWLINHFXDOLMLNDDGDNRQ¿UPDVLED\LWHODKWHULQIHNVL+,930
Penulisan Diagnosis TB Anak x TB paru / ekstraparu (pilih salah satu, atau keduanya, sesuai organ terkena x
Pemeriksaan bakteriologis: …………………
x
Riwayat pengobatan OAT sebelumnya: …………………..
x
Risiko kecacatan / kematian: ………………..
x
Status HIV: ………………………….
3HPEHULDQSUR¿ODNVLV,1+ Sekitar 50-60% anak kecil yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB diseminata yang berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan SHPEHULDQNHPRSUR¿ODNVLVXQWXNPHQFHJDKVDNLW7% 3UR¿ODNVLVSULPHUGLEHULNDQSDGDEDOLWDVHKDW\DQJPHPLOLNLNRQWDNGHQJDQSDVLHQ7% dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB. Obat yang diberikan adalah ,1+GHQJDQGRVLV PJNJ%%KDULVHODPDEXODQdengan pemantauan dan evaluasi minimal satu kali per bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu GLEHULNDQ%&*VHWHODKSHQJREDWDQSUR¿ODNVLVGHQJDQ,1+VHOHVDLGDQDQDNEHOXP
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
101
atau tidak terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada anak dengan kontak erat TB yang LPXQRNRPSURPDLVVHSHUWLSDGD+,9NHJDQDVDQJL]LEXUXNGDQODLQQ\DSUR¿ODNVLV ,1+WHWDSGLEHULNDQPHVNLSXQXVLDGLDWDVWDKXQ3UR¿ODNVLVVHNXQGHUGLEHULNDQ kepada anak-anak dengan bukti infeksi TB (uji tuberkulin atau IGRA positif) namun tidak terdapat gejala dan tanda klinis TB.2, 31 Dosis dan lama pemberian INH sama dengan pencegahan primer. 3UR¿ODNVLV,1+PJNJ%%GHQJDQUHQWDQJGRVLVPJNJ%%GLEHULNDQSDGD anak balita dan anak imunokompromais di segala usia yang kontak erat dengan pasien TB BTA positif Rekomendasi A
Daftar pustaka
102
1.
Rahman N, Pedersen KK, Rosenfeldt V, Johansen IS. Challenges in diagnosing tuberculosis in children. Dan Med J. 2012;;59:A4463.
2.
World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on management of tuberculosis in children. Geneva: World Health Organization;; 2006. (WHO/HTM/TB/2006.371)
3.
Nelson LL, Wells CD. Global epidemiology of childhood tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2004;;8:636-47.
4.
Marais BJ, Hesseling AC, Gie RP, Schaaf HS, Beyers N. The burden of childhood tuberculosis and the accuracy of community-based surveillance data. Int J Tuberc Lung Dis. 2006;;10:259–63.
5.
Marais BJ. Childhood tuberculosis--risk assessment and diagnosis. S Afr Med J. 2007;;97:978-82.
6.
Rigouts L. Clinical practice: diagnosis of childhood tuberculosis. Eur J Pediatr. 2009;;168:1285-90.
7.
Hocaoglu AB, Erge DO, Anal O, Makay B, Uzuner N, Karaman O. Characteristics of children with positive tuberculin skin test. Tuberk Toraks 2011;;59:158-63.
8.
Fernández-Villar A, Gorís A, Otero M, Chouciño N, Vázquez R, Muñoz MJ, dkk. &RQVHUYDWLRQRI3URWHLQ3XULÀHG'HULYDWLYHV577XEHUFXOLQ$UFK%URQFRQHXPRO 2004;;40:301-3.
9.
Mandalakas AM, Detjen AK, Hesseling AC, Benedetti A, Menzies D. Interferon-Ȗ
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
release assays and childhood tuberculosis: systematic review and meta-analysis. Int J Tuberc Lung Dis. 2011;;15:1018–32. 10. Chiappini E, Bonsignori F, Accetta G, Boddi V, Galli L, Biggeri A, et al. Interferon- gamma release assays for the diagnosis of Mycobacterium tuberculosis infection in children: a literature review. Int J Immunopathol Pharmacol. 2012;;25:335-43. 11. Chiappini E, Bonsignori F, Mangone G, Galli L, Mazzantini R, Sollai S, et al. Serial T-SPOT.TB and quantiFERON-TB-Gold In-Tube assays to monitor response to antitubercular treatment in Italian children with active or latent tuberculosis infection. Pediatr Infect Dis J. 2012;;31:974-7. 12. World Health Organization. Commercial serodiagnostic tests for diagnosis of tuberculosis: policy statement. 2011. Diunduh dari: http://whqlibdoc.who.int/ publications/2011/9789241502054_eng.pdf 13. Oberhelman RA, Soto-Castellares G, Gilman RH, Caviedes L, Castillo ME, Kolevic L, et al. Diagnostic approaches for paediatric tuberculosis by use of different specimen types, culture methods, and PCR: a prospective case–control study. Lancet Infect Dis. 2010;;10:612–20. 14. Zar HJ, Hanslo D, Apolles P, Swingler G, Hussey G. Induced sputum versus gastric ODYDJH IRU PLFURELRORJLFDO FRQÀUPDWLRQ RI SXOPRQDU\ WXEHUFXORVLV LQ LQIDQWV DQG young children: a prospective study. Lancet. 2005;;365:130–4. 15. Ligthelm LJ, Nicol MP, Hoek KGP, Jacobson R, van Helden PD, Marais BJ, et al. ;SHUW07%5,)IRUUDSLGGLDJQRVLVRIWXEHUFXORXVO\PSKDGHQLWLVIURPÀQHQHHGOH aspiration biopsy specimens. J Clin Microbiol. 2011;;49:3967–70. 16. Swingler GH, du Toit G, Andronikou S, van der Merwe L, Zar HJ. Diagnostic accuracy of chest radiography in detecting mediastinal lymphadenopathy in suspected pulmonary tuberculosis. Arch Dis Child. 2005;;90:1153-6. 17. Nicol MP, Workman L, Isaacs W, Munro J, Black F, Eley B, et al. Accuracy of the Xpert MTB/RIF test for the diagnosis of pulmonary tuberculosis in children admitted to hospital in Cape Town, South Africa: a descriptive study. Lancet Infect Dis. 2011;;11:819–24. 18. Chang K, Lu W, Wang J, Zhang K, Jia S, Li F, et al. Rapid and effective diagnosis of tuberculosis and rifampicin resistance with Xpert MTB/RIF assay: a meta-analysis. J Infect. 2012;;64:580–8. 19. Edwards DJ, Kitetele F, Van Rie A. Agreement between clinical scoring systems used for the diagnosis of pediatric tuberculosis in the HIV era. Int J Tuberc Lung Dis. 2007;;11:263-9. 20. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasitonal TB Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
103
21. Donald PR, Maritz JS, Diacon AH. The pharmacokinetics and pharmacodynamics of rifampicin in adults and children in relation to the dosage recommended for children. Tuberculosis. 2011;;91:196-207. 22. Rapid advice: treatment of tuberculosis in children. Geneva: World Health Organization;; 2010. (WHO/HTM/TB/2010.13) 23. Al-Dossary FS, Ong LT, Correa AG, Starke JR. Treatment of childhood tuberculosis with a six month directly observed regimen of only two weeks of daily therapy. Pediatr Infect Dis J. 2002;;21:91-7. 24. Menon P, Lodha R, Sivanandan S, Kabra S. Intermittent or daily short course chemotherapy for tuberculosis in children: meta-analysis of randomized controlled trials. Indian Pediatrics. 2010;;47:67–73 25. Schoeman JF, Zyl LE, Laubscher JA, Donald PR. Effect of corticosteroids on LQWUDFUDQLDO SUHVVXUH FRPSXWHG WRPRJUDSKLF ÀQGLQJV DQG FOLQLFDO RXWFRPH LQ young children with tuberculous meningitis. Pediatrics.1997;;99:226-31. 26. Shelburne SA 3rd, Hamill RJ, Rodriguez-Barradas MC, Greenberg SB, Atmar RL, 0XVKHU':HWDO,PPXQHUHFRQVWLWXWLRQLQÁDPPDWRU\V\QGURPHHPHUJHQFHRID unique syndrome during highly active antiretroviral therapy. Medicine (Baltimore). 2002;;81:213-27. 27. :RUOG +HDOWK 2UJDQL]DWLRQ (WKDPEXWRO HIÀFDF\ DQG WR[LFLW\ /LWHUDWXUH UHYLHZ and recommendations for daily and intermittent dosage in children. Geneva: World Health Organization;; 2006. (WHO/HTM/TB/2006.365). 28. )U\GHQEHUJ$5*UDKDP607R[LFLW\RIÀUVWOLQHGUXJVIRUWUHDWPHQWRIWXEHUFXORVLV in children: review. Trop Med Int Health. 2009;;14:1329-37. 29. Colditz GA, Brewee TF, Berkey CS, Wilson ME, Burdich E, Fineberg HV, dkk. The HIÀFDF\RIEDFLOOXV&DOPHWWH*XHULQYDFFLQDWLRQRIQHZERUQVDQGLQIDQWVLQWKH prevention of tuberculosis: meta-analysis of the published literature. Pediatrics. 1995;;96:29-35. 30. :+2*XLGHOLQHVIRULQWHQVLÀHGFDVHÀQGLQJIRUWXEHUFXORVLVDQGLVRQLD]LG preventive therapy for people living with HIV in resource-constrained settings. World Health Organization, Geneva. 2010. 31. Smieja MJ, Marchetti C, Cook D, Smail FM. Isoniazid for preventing tuberculosis in non-HIV infected persons. (Review). Cochrane Database Syst Rev 2000;; 2:CD001363.
104
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
ORGANISASI YANG TERLIBAT 1. Kementrian Kesehatan RI Konsorsium Upaya Kesehatan Jl.HR rasuna Said Blok X5 Kav 4-9 Telp: (021) 520 1590 Faximile: (021) 526 1814, 520 3872 Surat elektronik:
[email protected] a. Prof. dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K) b. dr. Broto Wasisto, MPH c. Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp. A (K) d. Prof. Dr. dr. Sudarto Ronoatmojo, M. Sc e. Prof. dr. Amal Chalik Sjaaf, SKM, Dr. PH f. Prof. Elly Nurachma, DNSc g. dr. Djoti Atmodjo, Sp. A, MARS h. dr. Diar Indriarti MARS (sekretariat) i. dr. Fainal Wirawan, MM. MARS (secretariat) 2. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia 3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) a. GU0$UL¿Q1DZDV6S3. 0$56 b. DR. dr. Erlina Burhan, M. Sc, Sp. P (K) c. dr. Sri Dhuny Atas Asri, Sp. P d. dr. Windi Novriani, Sp. P 4. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) a. dr. Nastiti N. Rahajoe, Sp. A (K) b. dr. Darmawan Budi Setyanto, Sp. A (K) c. dr. Nastiti Kaswandani, Sp. A (K) 5. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) a. Dr. Anna Uyainah ZN, Sp. PD, K-P, MARS b. DR. dr. Ari Fahrial Syam, Sp. PD, K-GEH, FINASIM, MMB, FACP Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
105
6. Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) 7. Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia (PDS PATKLIN) 8. Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI) 9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 10. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) 11. Persatuan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (PABI) 12. Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi & Traumatologi Indonesia (PABOI) 13. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI) 14. Perhimpunan Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) 15. Himpunan Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia (HBTKVI) 16. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 17. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) 18. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) 19. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) 20. Perhimpunana Perawat Nasional Indonesia (PPNI) 21. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
106
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS
SUSUNAN TIM PAKAR PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA TB Ketua Sekretaris
: DR. dr. Erlina Burhan, M. Sc, Sp.P (K) Jakarta : dr. Anna Uyainah, Sp.PD, K-P, MARS
Tim Pakar
Jakarta : DR. dr. Ari Fahrial Syam, Sp. PD, K-GEH, FINASIM, MMB, FACP dr. Darmawan Budi Setyanto, Sp. A (K) GU0$UL¿Q1DZDV6S3. 0$56 dr. Nastiti N. Rahajoe, Sp. A (K) dr. Nastiti Kaswandani, Sp. A (K) dr. Sri Dhuny Atas Asri, Sp. P dr. Windi Novriani, Sp P
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
107
KONTRIBUTOR Nama
Institusi
Prof. Ida Parwati, SpPK, PhD
PAPKLIN
dr. Seno Adjie. SpOG
POGI
dr. Finny Fitri Y. SpA (K)
IDAI
dr. Retno Asih S, SpA(K)
IDAI
dr. Ery Ovianto, SpA
IDAI
dr. Seno Adjie. SpOG
POGI
dr. Jemfy Naswil.
PB IDI
dr. Zulrasdi
IDI
drs. A Haditomo. Apt
IAI
dr. Soedarsono, SpP (K)
RSUD Soetomo
dr. Bambang Sigit Riyanto, SpPD (KP)
RSUP Sardjito
dr. Arto Yuwono Soetoro, SpPD (K)
RSUP Hasan Sadikin
dr. Prayudi Santoso, SPPD (K)
RSUP Hasan Sadikin
dr. Setiawan Dati Kusumo
WHO
dr. Vini Fadhiani
FHI
dr. Triya Novita Dinihari
Subdit TB, KEMKES
dr. Diar Indriarti, MARS
Subdit Rumah Sakit Publik, KEMKES
dr. Adriani Vita H
Subdit Rumah Sakit Publik, KEMKES
dr. John Sugiharto, MPH
TB CARE I
dr. Fainal Wirawan, MM. MARS
TB CARE I
108
TATA LAKSANA TUBERKULOSIS