Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran
Konsorsium Upaya Kesehatan Direktorat Jendral Bina Upoaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Kedokteran
Konsorsium Upaya Kesehatan Direktorat Jendral Bina Upoaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi
v
Ringkasan
vii
BAB I. PENDAHULUAN
1
1. Latar Belakang
1
2. Dasar Hukum
2
3. Tujuan
3
4. Sasaran
3
BAB II. STANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN
5
A. Pendahuluan
5
B. Peran standar pelayanan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
6
C. Jenis standar pelayanan kedokteran
7
BAB III. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN A. Uraian umum
9 9
B. Penyusunan PNPK
10
C. Proses Pembuatan PNPK
11
BAB IV. PANDUAN PRAKTIK KLINIS
13
A. Panduan Praktik Klinis (PPK): Pengertian Umum
13
B. Penyusunan PPK
14
C. Isi PPK
15
D. Perangkat untuk pelaksanaan PPK
15
E. Penerapan PPK
16
F. Revisi PPK
18
BAB V. ALUR KLINIS DAN PENUNJANG PPK YANG LAIN
19
A. Alur klinis ( Clinical Pathway)
19
B. Algoritme
22
C. Protokol
22
D. Prosedur
23
D. Standing orders
23
BAB VI. DISCLAIMER/PENYANGKALAN
25
BAB VII. PENUTUP
27
LAMPIRAN
28
DAFTAR ISTILAH KUNCI
51
DAFTAR PUSTAKA
53 v
Ringkasan Upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan harus dilakukan secara berkesinambungan. Pemahaman dan penerapan evidence-based practice oleh dokter secara individual merupakan hal yang baik untuk peningkatan kualitas pelayanan. Namun untuk penyakit atau kondisi klinis yang jumlahnya banyak, berisiko tinggi, mahal, serta bervariasi dalam praktik diperlukan standardisasi. Satu upaya penting yang dilakukan oleh Kemenkes adalah pembuatan standar pelayanan. Di tingkat nasional diperlukan penyusunan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berisi pernyataan yang sistematis, mutakhir, evidence-based untuk membantu dokter / pemberi jasa pelayanan lain dalam menangani pasien dengan kondisi tertentu. PNPK disusun oleh panel pakar (dari organisasi profesi, akademisi, klinis, pakar lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan hasilnya disahkan oleh Menteri Kesehatan. Karena sifatnya yang canggih, mutakhir, maka PNPK harus diterjemahkan menjadi Panduan Praktik Klinis (PPK) oleh masih-masing fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sesuai dengan keadaan setempat. PPK disusun oleh Staf Medis fasyankes, dengan mengacu pada PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka lain. Karena jumlah PNPK terbatas, maka sebagian besar PPK dibuat dengan merujuk pada sumber lain (artikel asli, meta-analisis, PNPK negara lain, buku ajar, panduan organisasi profesi, petunjuk pelaksanaan program, dst). PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi langkah termasuk clinical pathway (CP -untuk penyakit yang perjalanannya dapat diprediksi dan memerlukan penanganan multidisiplin), algoritme (diagram untuk pengambilan keputusan yang cepat), protokol (panduan pelaksanaan tugas yang cukup kompleks), prosedur (panduan langkah-langkah tugas teknis), dan standing orders (instruksi tetap kepada perawat). Perlu ditekankan CP tidak dibuat untuk semua penyakit namun terbatas pada penyakit atau kondisi klinis yang lebih kurang homogen, perjalanan klinisnya dapat diprediksi, serta memerlukan pendekatan multidisiplin. Dalam setiap buku PPK harus disertakan disclaimer (wewanti, penyangkalan) yang intinya menegaskan bahwa PPK hanya bersifat rekomendasi / advis, dan untuk implementasinya harus disesuaikan dengan keadaan pasien. Disarankan disclaimer mencakup minimal pernyataan bahwa (1) PPK dibuat untuk average patients, (2) PPK disusun untuk penyakit tunggal, (3) respons pasien terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi, (4) PPK dianggap sahih pada saat dicetak, dan (5) praktik dokter harus mengakomodasi persepsi dan keinginan pasien dan keluarga. Dalam hal dokter tidak melaksanakan apa yang tertulis di PPK, ia harus menjelaskan alasannya dalam rekam medis.
vii
Bab 1 Pendahuluan Latar Belakang Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi segala tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara substansi pelayanan medis harus berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi medis yang telah ditapis efektivitas, keamanan, aspek sosio–ekonomi– budayanya sehingga menuju pada pemerataan, peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan yang memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Untuk penyelenggaraan pelayanan medis yang baik dalam arti efektif, efisien, berkualitas serta merata dibutuhkan masukan berupa sumber daya manusia, fasilitas, peralatan, dan dana sesuai dengan prosedur serta metode yang memadai. Perkembangan sosial ekonomi dan politik akhir-akhir ini telah melahirkan masyarakat yang makin sadar hukum, sadar hak konsumen, termasuk konsumen
pelayanan
kesehatan
(pasien).
Salah
satu
dampak
akibat
meningkatnya kesadaran hukum tersebut adalah meningkatnya tuntutan hukum kepada pemberi pelayanan kesehatan, baik kepada institusi maupun kepada tenaga kesehatan. Namun belum semua institusi pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan siap dalam menghadapi masalah tersebut. Pada saat ini sektor kesehatan melengkapi peraturan perundang-undangannya dengan disahkannya Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada bulan Oktober 2004 yang diberlakukan mulai bulan Oktober 2005. Pengaturan praktik kedokteran tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter gigi, serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter/dokter gigi. Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 pasal 44 ayat (1) menyatakan: Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Ayat (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud dibedakan menurut 1
jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (3) Standar pelayanan untuk dokter dan dokter gigi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri. Standar pelayanan kedokteran (SPK) sebagaimana yang dimaksud dalam Undang Undang Praktik Kedokteran dalam implementasinya adalah Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional yang dimaksud sesuai dengan Pasal 50 ayat 1 dan pasal 51 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Pedoman ini merupakan acuan bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi dalam menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusun standar prosedur operasional sebagaimana diamanahkan oleh UU Praktik Kedokteran.
Dasar Hukum 1.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 44 ayat (1), pasal 50 dan 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
2
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 6.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 439/Menkes/Per/VI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
7.
Peraturan Menteri Kesehatan no147/MENKES/PER/2010 tentang Perizinan RS
8.
PERMENKES no 1438/MENKES/PER/IX/2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran
Tujuan Memberikan pedoman bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi dalam menyusun PNPK dan panduan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusun SPO.
Sasaran 1.
Kementerian Kesehatan
2.
Organisasi profesi
3.
Fasilitas pelayanan kesehatan
3
.
4
Bab 2 Standar Pelayanan Kedokteran Pendahuluan Dalam pustaka, undang-undang, peraturan, dan panduan pelayanan kesehatan banyak sekali istilah yang menggunakan kata standar , yang mungkin di satu sisi bersifat tumpang tindih, di lain sisi mungkin artinya berbeda untuk satu orang dengan orang lain. Contohnya: standar pelayanan, standar pelayanan minimal, standar prosedur operasional (SPO), standard operating procedure (SOP) , standar pemeriksaan, standar fasilitas, dsb. Istilah standar yang digunakan dalam ranah yang melibatkan pasien, keluarga, dan pihak lain sangat rentan karena kata standar dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus dilakukan. Karenanya kata atau istilah standar dalam ranah pelayanan
sebaiknya dihindarkan. Dalam ranah kedokteran klinis, bila terdapat masalah yang belum terpecahkan, maka terdapat alur pemecahan masalah sebagai berikut: 1.
Kelompok yang diharapkan paling awal memberikan solusi adalah para peneliti . Mereka menawarkan cara apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah, seringkali tanpa memperhitungkan apakah cara tersebut murah atau mahal, memerlukan alat sederhana atau canggih, sumber daya manusia tertentu, dan dapat diterapkan atau tidak.
2.
Proses yang berupaya untuk menyaring apakah opsi yang ditawarkan oleh peneliti tersebut dapat diterapkan adalah health technology assessment (HTA). HTA mengkaji hasil penelitian dengan menelaah efikasi, efektivitas, efisiensi (dengan kajian ekonomi), serta aspek-aspek lainnya seperti masalah sumber daya dalam arti kata yang luas, sosial, budaya, bahkan agama.
3.
Hasil kajian HTA menjadi bahan penting dalam penyusunan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berlaku secara nasional
dan Panduan Praktik Klinis (PPK) yang berlaku lokal.
5
4.
Para dokter melakukan praktik dengan panduan PPK tersebut untuk menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang kemungkinan hasil pengobatan. Dalam tataran pelaksanaan, PPK mungkin memerlukan satu atau lebih perangkat untuk merinci panduan agar dapat dilakukan secara spesifik dalam bentuk alur klinis (clinical pathway), algoritme, protokol, prosedur, atau standing orders.
5.
Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan pihak fasilitas pelayanan secara terus-menerus melaksanakan audit klinis untuk menjamin bahwa apa yang dilakukan oleh para pemberi jasa memang benar sesuai dengan apa yang harus dilakukan seperti yang tercantum pada PPK.
Uraian tersebut dapat diringkas sebagai berikut: 1
Para peneliti menawarkan apa yang dapat dilakukan (what we can do)
2
HTA mengkaji opsi yang ditawarkan mana yang layak diterapkan (which we can do)
3
PPK menetapkan apa yang seharusnya dilakukan (what we should do)
4
Praktisi menerapkan apa yang harus dilakukan (doing what we should do)
5
Penjamin mutu – audit klinis (did we do what we should do)
Peran standar pelayanan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan senantiasa dilakukan oleh para pemberi jasa pelayanan dari waktu ke waktu. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran berlangsung dengan amat cepat, sehingga pemanfaatan kemajuan tersebut tidak serta-merta dapat dilakukan secara seragam dan konsisten. Pemanfaatan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang dilakukan oleh orang per orang dengan melakukan pendekatan evidence-based medicine (dengan langkah-langkah memformulasi pertanyaan penelitian, menelusur evidence mutakhir, melakukan telaah kritis evidence yang sahih, penting, dan dapat diterapkan, dan menerapkannnya pada pasien secara individual) merupakan hal yang amat baik. Namun untuk penyakit atau kondisi klinis yang jumlahnya 6
banyak, yang berisiko tinggi, atau cenderung menggunakan sumber daya yang besar, apalagi apabila terdapat variasi yang luas dalam praktik seyogianya dilakukan “standardisasi”. Standardisasi, bila dirancang dan dilaksanakan
dengan baik dipercaya banyak manfaatnya baik bagi pasien, keluarga, pemberi jasa pelayanan, serta fasilitas pelayanan.
Jenis standar pelayanan kedokteran Mengingat sangat bervariasinya keadaan di fasilitas pelayanan kesehatan di tanah air kita, maka mustahil dapat dibuat panduan yang dapat berlaku untuk semua rumah sakit yang ada. Untuk itu diperlukan 2 jenis “standar”; ya ng satu bersifat nasional yang menjadi rujukan bagi semua fasyankes yang ada, dan satunya bersifat lokal yang disesuaikan dengan kondisi lokal, sebagai berikut: 1. “Standar” yang bersifat nasional (hanya dibuat untuk penyakit atau kondisi klinis dengan syarat-syarat tertentu) disebut sebagai Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) 2. “Standar” yang berlaku lokal untuk fasyankes disebut Panduan Praktik Klinis (PPK) yang dapat disertai dengan
Alur klinis (clinical pathway)
Algoritme
Protokol
Prosedur
Standing orders
Catatan: PPK merupakan format teknis untuk istilah standar prosedur operasional (SPO) yang terdapat dalam Undang-undang Praktik Kedokteran.
7
8
Bab 3 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) adalah penyataan yang
dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence), untuk membantu dokter dan dokter gigi dalam membuat keputusan klinis tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis tertentu. PNPK ini pada prinsipnya merupakan rekomendasi, dan dibuat berdasarkan evidence mutakhir. Berbeda dengan format lain dalam standar pelayanan yang
merupakan pendekatan langkah demi langkah dalam pelayanan terhadap pasien, PNPK berisi informasi tentang tata laksana pasien yang dianggap paling efektif. Dokter menggunakan informasi pada PNPK ini bersama dengan pengetahuan dan pengalamannya untuk menentukan rencana tata laksana yang paling sesuai terhadap pasien dengan memperhitungkan keadaan lokal. Dalam pustaka istilah Clinical Practice Guidelines (atau Clinical Guidelines) digunakan baik untuk pedoman yang dibuat oleh kelompok pakar dan bersifat nasional/global, maupun yang telah diadaptasi sesuai dengan kondisi fasilitas setempat. Dalam dokumen ini, (1) untuk mengakomodasi pelbagai istilah yang tumpang tindih, dan (2) menyadari perbedaan fasilitas yang amat luas di antara fasyankes yang ada, dibedakan 2 jenis dokumen: 1.
Dokumen lengkap yang dibuat oleh kelompok pakar (profesi, akademisi, pakar lain) dengan koordinasi Kementerian Kesehatan disebut sebagai Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Dalam pustaka PNPK setara dengan National Clinical Practice Guidelines.
2.
Dokumen yang dibuat oleh fasilitas kesehatan dengan mengacu pada PNPK dan / atau sumber lain disebut sebagai Panduan Praktik Klinis (PPK)
9
Penyusunan Penyusunan PNPK Pemilihan topik
Topik PNPK dapat diajukan oleh siapa saja: jajaran Kemenkes, organisasi profesi, (perhimpunan) rumah sakit, dekan fakultas kedokteran / kedokteran gigi, dst. Kemenkes (d.h.i. Konsorsium Upaya Kesehatan) bila perlu menulis surat kepada institusi yang potensial memberi usulan topik. Bila jumlah usulan terlalu banyak dilakukan pembahasan untuk menentukan prioritas. Persyaratan PNPK
PNPK diperlukan bila suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu memiliki satu atau lebih karakteristik berikut:
jumlah kasusnya kasusnya banyak banyak (high volume)
mempunyai risiko tinggi (high risk)
cenderung memerlukan biaya tinggi/banyak sumber daya (high cost)
terutama bila terdapat variasi yang luas (high variablitiy) di variablitiy) di antara para praktisi untuk penanganan kasus yang sama. Siapa yang menyusun PNPK
PNPK disusun oleh panel pakar yang bersifat multidisiplin dari organisasi profesi, akademisi, pakar lain, di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan RI. Karakteristik PNPK
Hasil akhir PNPK harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
10
Sahih / valid
Reproducible
Cost-effective
Representatif, sering harus multidisiplin
Dapat diterapkan dalam praktik
Fleksibel
Jelas
Terjadwal untuk dilakukan revisi
Dapat digunakan sebagai kriteria untuk audit klinis
Proses pembuatan PNPK Pembentukan Panel Pakar
Panel pakar dibentuk oleh KUK sesuai dengan topik yang akan dibuat PNPKnya. Panel pakar bersifat multidisiplin mencakup semua aspek yang hendak dibahas; jumlah anggota Panel bervariasi, pada umumnya antara 6-10 orang. Idealnya anggota Panel mencakup para pakar di pusat dan daerah. Dalam rapat pertama dengan panel pakar dilakukan hal-hal berikut:
Penjelasan maksud pembuatan PNPK
Penjelasan format PNPK (lihat Lampiran)
Kesepakatan cara kerja, termasuk time-table
Penentuan Ketua, Wakil Ketua, serta 1 atau 2 Sekretaris. Panel dapat mengusulkan 1 atau 2 dokter (disebut sebagai PIC – person in charge) – (lihat bawah).
Menentukan person-in-charge (PIC)
Person-in-charge (PIC) adalah staf yang dipilih untuk membantu penyusunan
PNPK dari awal sampai akhir. PIC dapat disediakan oleh KUK (dokter muda yang dikontrak untuk tujuan tersebut), atau disediakan oleh satu atau lebih anggota Panel (misalnya staf muda di departemen terkait). Persyaratan PIC adalah sebagai berikut:
dokter;
memahami evidence-based medicine dan langkah-langkahnya;
mampu menulis / menyunting dokumen ilmiah dengan baik.
Bila perlu PIC akan diberikan pelatihan secukupnya. Tugas utama PIC adalah:
Menyiapkan draft awal PNPK;
Mengorganisasi komunikasi dengan semua anggota Panel untuk membahas kemajuan penulisan PNPK melalui email;
Merevisi draft PNPK dari awaktu ke waktu;
Membantu KUK dalam penyuntingan akhir PNPK. 11
Pengembangan draft PNPK dan rapat-rapat
Draft awal PNPK dibuat oleh PIC di bawah arahan Ketua, Sekretaris,
serta anggota panel.
Draft awal tersebut dikembangkan bersama oleh seluruh anggota Panel
dengan mekanisme yang disepakati, terutama komunikasi melalui email.
Setiap bulan dilakukan rapat Panel yang dikordinasi oleh KUK untuk membahas perkembangan pembuatan draft PNPK, menyunting, melakukan revisi, dan lain-lain yang relevan. Bila dipandang perlu dapat diundang nara sumber yang tidak masuk dalam Panel untuk memperoleh masukan dalam hal-hal yang khusus.
Dalam 3 atau 4 kali pertemuan draft diharapkan sudah selesai dan diajukan dalam rapat pleno KUK.
Draft akhir yang sudah disepakati oleh Panel dan KUK diajukan
kepada Dirjen Pelayanan Medis untuk dibahas dan dimintakan pengesahannya oleh Menteri Kesehatan. Tampilan PNPK
Tampilan PNPK dibakukan, dengan sampul yang menunjukkan pengesahan dari Kementerian Kesehatan berupa logo Kemenkes dan logo organisasi profesi yang beperan dalam pembuatan PNPK.
Nama-nama pakar yang langsung berperan dalam pembuatan PNPK tercantum dicantumkan sebagai kontributor.
Format PNPK
Format baku PNPK mencakup Judul, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Diskusi, Simpulan dan Rekomendasi, Daftar Pustaka, Serta Lampiran (lihat Lampiran).
12
Bab 4 Panduan Praktik Klinis Panduan praktik klinis (PPK) adalah istilah teknis sebagai pengganti standar prosedur operasional (SPO) dalam Undang-undang Praktik Kedokteran yang
merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi, bahwa “standar” merupakan hal yang
harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis SPO dibuat berupa PPK yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: alur klinis (clinical pathway), protokol, prosedur, algoritme, standing order.
PPK: Pengertian Umum PNPK dibuat berdasarkan pada evidence mutakhir , sehingga bersifat ”ideal” dan tidak selalu dapat diterapkan di semua fasyankes. Karena tidak ada panduan pelayanan yang dapat dilakukan untuk semua tingkat fasilitas, maka PNPK harus diterjemahkan sesuai dengan fasilitas setempat menjadi PPK. Berikut contoh-contoh mengapa PPK dapat sama atau tidak di fasyankes yang berbeda:
PPK untuk demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok, karena tidak memerlukan peralatan dan keahlian canggih sama semua fasyankes.
Di suatu rumah sakit tipe A, PPK untuk penyakit jantung bawaan biru mencakup pemberian prostaglandin, tindakan balloon atrial septosomy (BAS), dilanjutkan dengan bedah korektif, karena semua sumber daya tersedia. Di rumah sakit tipe A yang lain fasilitas bedah jantung anak tidak tersedia, sehingga PPK-nya adalah setelah pasien didagnosis, diberikan prostaglandin dan dilakukan BAS, pasien harus dirujuk.
Di rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe B yang memiliki ahli bedah saraf, alur klinis (clinical pathway) stroke non-hemoragik memerlukan pendekatan multidisiplin yang antara lain melibatkan ahli bedah saraf. Namun di rumah sakit tipe B yang lain ahli bedah saraf tidak tersedia harus dibuat alur klinis yang berbeda.
Dengan demikian maka PPK bersifat hospital specific. 13
Tujuan PPK mencakup: Meningatkan mutu pelayanan pada keadaan klinis dan lingkungan
tertentu
Mengurangi jumlah intervensi yang tidak perlu atau berbahaya
Memberikan opsi pengobatan terbaik dengan keuntungan maksimal
Memberikan opsi pengobatan dengan risiko terkecil
Memberikan tata laksana dengan biaya yang memadai
Penyusunan PPK PPK seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit / kondisi klinis yang ditemukan dalam fasyankes. Namun dalam pelaksanaannya dapat dibuat secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang ada di tiap bagian. Bila tersedia PNPK, PPK dibuat dengan rujukan utama PNPK. Namun karena PNPK hanya dibuat untuk sebagian kecil penyakit / kondisi klinis, maka sebagian besar PPK (dengan segala turunannya) dibuat dengan memperhatikan fasilitas setempat dan merujuk pada:
Pustaka mutakhir berupa artikel asli
Systematic review atau meta-analisis
PNPK dari negara lain
Buku ajar
Panduan dari organisasi profesi
Petunjuk pelaksanaan program dari Kemenkes
Kesepakatan para staf medis
Di rumah sakit umum PPK dibuat untuk penyakit-penyakit terbanyak untuk setiap departemen, sedangkan untuk rumah sakit tipe A dan tipe B yang memiliki pelayanan subdisiplin harus dibuat PPK untuk penyakit-penyakit terbanyak sesuai dengan divisi / subdisiplin masing-masing. Pembuatan PPK dikoordinasi oleh Komite Medis setempat dan berlaku setelah disahkan oleh Direksi.
14
Isi PPK Pada uumnya PPK berisi butir-butir berikut: 1.
Pengertian
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan fisis
4.
Prosedur diagnostik
5.
Diagnosis banding
6.
Pemeriksaan penunjang
7.
Terapi
8.
Edukasi
9.
Prognosis
10.
Daftar pustaka
Perangkat untuk pelaksanaan PPK Dalam PPK mungkin terdapat hal-hal yang memerlukan rincian langkah demi langkah. Untuk ini, sesuai dengan karakteristik permasalahan serta kebutuhan, dapat dibuat clinical pathway (alur klinis), algoritme, protokol, prosedur, maupun standing order . Contoh:
Dalam PPK disebutkan bahwa tata laksana stroke non-hemoragik harus dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta intervensi dari hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik penyakit stroke non-hemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis (clinical pathway, CP ); sehingga perlu dibuat CP untuk stroke non-hemoragik.
Dalam PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu dilakukan hemodialisis. Uraian rinci tentang hemodialisis dimuat dalam protokol hemodialisis pada dokumen terpisah. 15
Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan kejang demam kompleks perlu dilakukan pungsi lumbal. Uraian pelaksanaan pungsi lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur pungsi lumbal dalam dokumen terpisah.
Dalam tata laksana kejang demam diperlukan pemberian diazepam rektal dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh perawat bila dokter tidak ada; ini diatur dalam standing order”. “
Penerapan PPK Panduan Praktik Klinis (termasuk ”turun an-turunannya”: clinical pathway ,
algoritme, protokol, prosedur, standing orders) merupakan panduan yang harus diterapkan sesuai dengan keadaan pasien. Oleh karenanya dikatakan bahwa semua PPK bersifat rekomendasi atau advis . Apa yang tertulis dalam PPK tidak harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali.
Berikut alasan mengapa PPK harus diterapkan dengan memperhatikan kondisi pasien secara individual. 1 PPK dibuat untuk ’average patients’ . Pasien dengan demam tifoid ada yang masih dapat bekerja seperti biasa, di sisi lain ada yang hampir meninggal. PPK dibuat bukan untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan untuk pasien rata-rata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah kotor, tidak mau makan minum, mengigau, dan seterusnya. 2 PPK dibuat untuk penyakit atau kondisi kesehatan tunggal. Kembali pada pasien demam tifoid. Pada PPK demam tifoid seolah-olah pasien tersebut hanya menderita demam tifoid; dia tidak menderita hipertensi, tidak ada asma, tidak obes atau malnutrisi, tidak alergi kloramfenikol, dan seterusnya. Padahal dalam praktik seorang pasien datang dengan keluhan utama yang sesuai dengan demam tifoid, namun mungkin ia juga menderita diabetes, alergi kloramfenikol, hipertensi dan sebagainya. Contoh lain, seorang yang menderita kardiomiopati obstruktif menurut PPK harus diberikan propranolol; namun bila ternyata ia menderita asma berat, maka propranolol tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien gonore yang harusnya diberikan penisilin namun tidak boleh diberikan karena ia alergi penisilin. Atau seorang anak yang menderita diare 16
berdarah; menurut PPK misalnya harus diberikan ko-trimoksazol sebagai obat awal; namun bila ia menderita penyakit jantung bawaan biru dan memperoleh warfarin maka ko-trimoksasol tidak dapat diberikan. 3 Respons pasien terhadap prosedur diagnostik dan terapeutik sangat bervariasi. Ada pasien yang disuntik penisilin jutaan unit tidak apa-apa,
namun ada pasien lain yang baru disuntik beberapa unit sudah kolaps atau manifestasi anafilaksis lain. Hal yang sama juga terjadi pada prosedur diagnostik, misal penggunaan zat kontras untuk pemeriksaan pencitraan. 4 PPK dianggap valid pada saat dicetak . Kemajuan teknologi kesehatan berlangsung amat cepat. Bila suatu obat yang semula dianggap efektif dan aman, namun setahun kemudian terbukti memiliki efek samping yang jarang namun fatal, misalnya disritmia berat, maka obat tersebut tidak boleh diberikan. Di lain sisi, bila ada obat lain yang lebih efektif, tersedia, dapat dijangkau, lebih aman, lebih sedikit efek sampingnya, maka obat tersebut harus diberikan sebagai pengganti obat yang ada dalam PPK. 5 Praktik kedokteran modern mengharuskan kita mengakomodasi apa yang dikehendaki oleh keluarga dan pasien. Sesuai dengan paradigma evidence-based practice , yakni dalam tata laksana pasien diperlukan
kompetensi dokter, bukti ilmiah mutakhir, serta preferensi pasien (dan keluarga), maka clinical decision making process harus menyertakan persetujuan pasien. Bila menurut ilmu kedokteran ada obat atau prosedur yang sebaiknya diberikan, namun pasien atau keluarganya tidak setuju, maka dokter harus mematuhi kehendak pasien, tentunya setelah pasien diberikan penjelasan yang lengkap. Orang yang paling berwenang menilai secara komprehensif keadaan pasien adalah dokter yang bertugas merawat. Dialah yang akhirnya menentukan untuk memberikan atau tidak memberikan obat atau prosedur sesuai dengan yang tertulis dalam PPK. Dalam hal ia tidak melaksanakan apa yang ada dalam PPK, maka ia harus menuliskan alasannya dengan jelas dalam rekam medis, dan ia harus siap untuk mempertanggungjawabkannya . Bila ini tidak
dilakukan maka dokter tersebut dianggap lalai melakukan kewajibannya kepada pasien. 17
Revisi PPK PPK merupakan panduan terkini untuk tata laksana pasien, karenanya harus selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran. Untuk itu PPK secara periodik perlu dilakukan revisi, biasanya setiap 2 tahun. Idealnya meskipun tidak ada perbaikan, peninjauan tetap dilakukan setiap 2 tahun. Masukan untuk revisi diperoleh dari PNPK yang baru (bila ada), pustaka mutakhir, serta pemantauan rutin apakah PPK selama ini dapat dan sudah dikerjakan dengan baik. Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber yang berharga untuk revisi PPK; namun bila audit klinis belum dilaksanakan, pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula. Untuk menghemat anggaran, di rumah-rumah sakit yang sudah mempunyai ‘intranet’, PPK dan panduan lain dapat di -upload yang dapat diakses setiap saat
oleh para dokter dan profesional lainnya, dan bila perlu dicetak.
18
Bab 5 Alur klinis & penunjang PPK yang lain Perangkat yang diperlukan untuk pelaksanaan PPK tertentu perlu diuraikan lebih lanjut dalam Bab terpisah ini, mengingat terdapatnya kecenderungan untuk terdapatnya perbedaan persepsi, terutama yang menyangkut alur klinis (clinical pathway).
Alur klinis (Clinical Pathway) Clinical pathway (CP, alur klinis) memiliki banyak sinonim, di antaranya care pathway , care map, integrated care pathways, multidisciplinary pathways of care, pathways of care, collaborative care pathways. CP dibuat untuk memberikan rincian apa yang harus dilakukan pada kondisi klinis tertentu. CP memberikan rencana tata laksana hari demi hari dengan standar pelayanan yang dianggap sesuai. Pelayanan dalam CP bersifat multidisiplin sehingga semua pihak yang terlibat dalam pelayanan (dokter/dokter gigi, perawat, fisioterapis, dll) dapat menggunakan format yang sama. Kelebihan format ini adalah perkembangan pasien dapat dimonitor setiap hari, baik intervensi maupun outcome-nya. Oleh karena itu maka CP paling layak dibuat untuk penyakit atau kondisi klinis yang memerlukan pendekatan multidisiplin , dan perjalanan klinisnya dapat diprediksi (pada setidaknya 70% kasus). Bila dalam perjalanan klinis ditemukan hal-hal yang menyimpang, ini harus dicatat sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut. Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam CP dapat tidak sesuai dengan harapan karena:
memang sifat penyakit pada individu tertentu,
terapi tidak diberikan sesuai dengan ketentuan,
pasien tidak mentoleransi obat, atau
terdapat ko-morbiditas. 19
Apa pun yang terjadi harus dilakukan evaluasi dan dokter memberikan intervensi sesuai dengan keadaan pasien. Pada umumnya di rumah sakit umum hanya 30% pasien dirawat dengan CP. Selebihnya pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). CP hanya efektif dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau kondisi kesehatan yang perjalanannya predictable , khususnya bila memerlukan perawatan multidisiplin. Beberapa pertanyaan yang dapat muncul: a. Apakah CP perlu dibuat untuk semua penyakit?
Jawabnya telah dijelaskan di atas, tidak. CP hanya untuk penyakit yang perjalanan klinisnya predictable dan memerlukan penanganan multidisiplin. b. Apakah CP dibuat untuk perincian biaya perawatan? Tidak. PPK dan semua perangkatnya, termasuk CP, harus patient oriented ,
bukan DGR (diagnosis-related group) -oriented , length of stay oriented , atau BPJSoriented. Bahwa setelah CP dibuat digunakan untuk keperluan penghitungan pembiayaan tentu hal tersebut sah-sah saja. c. Dapatkah penyakit lain dibuat CP sesuai dengan kondisi lokal?
Ide pembuatan CP adalah membuat standardisasi pemeriksaan dan tata laksana pasien yang memililiki pola tertentu. Bila perjalanan klinis suatu penyakit sangat bervariasi, misalnya diare atau sepsis, tentu sulit untuk membuat ‘standar’ pemeriksaan dan tindakan yang diperlukan hari demi
hari. CP juga tidak efektif bila terdapat ko-morbiditas. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk membuat CP bagi penyakit apa pun, dengan catatan:
ditetapkan kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas,
bila pasien sudah dirawat dengan CP namun ternyata mengalami komplikasi atau terdapat ko-morbiditas, maka pasien tersebut harus dikeluarkan dari CP dan dirawat dengan perawatan biasa.
Keputusan untuk membuat CP pada kasus-kasus seperti ini dilakukan atas kesepakatan staf medis dengan mempertimbangkan efektivitas, sumber daya, dan waktu yang diperlukan. 20
Berikut adalah contoh CP untuk diare pada bayi dan anak, yang secara keseluruhan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi sehingga biasanya tidak dibuat CP, namun dengan kriteria tertentu yang ketat dapat dibuat CP. Contoh: CP untuk diare akut pada bayi dan anak Kriteria inklusi (pasien harus memenuhi semua yang tersebut di bawah ini)
Usia lebih 1 bulan dan kurang dari 5 tahun
Menderita diare akut tanpa komplikasi
Perkiraan derajat dehidrasi <10%
Tidak ada penyakit penyerta atau riwayat penyakit berbahaya
Tidak ada indikasi akut abdomen
Kriteria eksklusi (pasien dengan satu atau lebih keadaan ini): Terdapat ko-morbiditas bermakna (neurologis, metabolik, penyakit
jantung bawaan, inflammatory bowel disease , etc)
Pasien dengan imunokompromais
Muntah, atau nyeri perut tanpa diare
Diare >5 hari
Pasien harus dikeluarkan dari CP (dan dirawat dengan perawatan biasa) bila selama perawatan salah satu dari hal-hal berikut terjadi:
Tidak terdapat perbaikan klinis dalam waktu 48 jam
Terdapat muntah empedu dengan nyeri perut
Diagnosis awal diragukan
Tinja berdarah
Format CP
CP adalah dokumen tertulis. Terdapat pelbagai jenis format CP yang tergantung pada jenis penyakit atau masalah serta kesepakatan para profesional. Namun pada umumnya format CP berupa tabel yang kolomnya 21
merupakan waktu (hari, jam), sedangkan barisnya merupakan observasi / pemeriksaan / tindakan / intervensi yang diperlukan. Format CP dapat amat rumit dan rinci (misalnya pemberian obat setiap 6 jam dengan dosis tertentu; bila ini melibatkan banyak obat maka menjadi amat rumit). Sebagian apa yang harus diisi dapat merupakan check-list , namun tetap harus diberikan ruang untuk menuliskan hal-hal yang perlu dicatat. Ruang yang tersedia untuk mencatat hal-hal yang diperlukan juga dapat amat terbatas, lebih-lebih format yang sama diisi oleh semua profesi yang terlbat dalam perawatan, karena sifat multidisiplin CP.
Algoritme Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon pengambilan keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa yang harus dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan yang efektif dalam beberapa keadaan klinis tertentu misalnya di ruang gawat darurat atau instalasi gawat darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan
menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat untuk memberikan pertolongan.
Protokol Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi tertentu yang cukup kompleks. Misalnya dalam PPK disebutkan bila pasien mengalami atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu perlu dilakukan pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan panduan berupa protokol ,
bagaimana melakukan
pemasangan ventilasi mekanik, dari
pemasangan endotracheal tube, mengatur konsentrasi oksigen, kecepatan pernapasan, bagaimana pemantauannya, apa yang harus diperhatikan, pemeriksaan berkala apa yang harus dilakukan, dan seterusnya. Dalam protokol harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang mungkin timbul dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu intervensi harus dihentikan, dan seterusnya.
22
Prosedur Prosedur merupakan uraian langkah-demi-langkah untuk melaksanakan tugas teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh perawat (misalnya cara memotong dan mengikat talipusat bayi baru lahir, merawat luka, suctioning , pemasangan pipa nasogastrik), atau oleh dokter (misalnya pungsi lumbal atau biopsi sumsum tulang).
Standing orders Standing orders adalah suatu set instruksi dokter kepada perawat atau
profesional kesehatan lain untuk melaksanakan tugas pada saat dokter tidak ada di tempat. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien tertentu, atau secara umum dengan persetujuan Komite Medis. Contoh: perawatan pascabedah
tertentu,
pemberian
antipiretik
untuk
demam,
pemberian
antikejang per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia tertentu.
23
24
Bab 6
Disclaimer (Penyangkalan, Wewanti) Sejalan dengan uraian dalam bab terdahulu, dalam setiap dokumen tertulis PPK serta perangkat implementasinya mutlak harus dituliskan disclaimer (wewanti, penyangkalan). Hal ini amat diperlukan untuk: (1) menghilangkan
kesalahpahaman atau salah persepsi tentang arti kata “ standar ” , yang bagi sebagian orang dimaknai sebagai “sesuatu yang harus dilakukan tanpa kecuali”; (2) menjaga autonomi dokter bahwa keputusan klinis merupakan
wewenangnya sebagai pihak yang dipercaya oleh pasien untuk memberikan pertolongan medis. Dalam disclaimer (yang harus dicantumkan pada setiap dokumen PPK) harus tercakup butir-butir yang telah dikemukakan di atas, sebagai berikut:
PPK dibuat untuk average patients
PPK dibuat untuk penyakit / kondisi patologis tunggal
Reaksi individual terhadap prosedur diagnosis dan terapi bervariasi
PPK dianggap valid pada saat dicetak
Praktik kedokteran modern harus lebih mengakomodasi preferensi pasien dan keluarganya
Disclaimer harus dicantumkan di bagian depan setiap buku PPK. Di luar negeri
seringkali disclaimer mencakup banyak hal lain yang rinci, misalnya pernyataan:
PPK berisi panduan praktis, tidak berisi uraian lengkap tentang penyakit / kondisi
PPK bukan merupakan hal terbaik untuk semua pasien
PPK bukan merupakan standard of medical care
Penyusun tidak menjamin akurasi informasi yang ada dalam PPK
Penyusun tidak bertanggung jawab terhadap hasil apa pun akibat penggunaan PPK
Bila dokter ragu disarankan melakukan konsultasi 25
26
Bab 7 Penutup Dokumen ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi penyusun standar pelayanan kedokteran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing organisasi profesi, fasilitas maupun fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian diharapkan dapat disusun standar pelayanan agar terselenggara pelayanan medis yang efektif, efisien, bermutu dan merata sesuai sumber daya, fasilitas, prafasilitas, dana dan prosedur serta metode yang memadai menurut jenis dan strata pelayanan kesehatan masing-masing. Dalam penerapannya PPK perlu terlebih dahulu dijabarkan oleh pihak rumah sakit, disesuaikan sumber daya yang dimiliki.
27
Lampiran 1 Format Laporan PNPK Laporan PNPK rata-rata setebal 50-100 halaman, namun sangat bergantung pada keluasan topik yang dibahas. Format laporan PNPK secara umum adalah sebagai berikut: Judul Daftar isi Daftar tabel, Gambar, Singkatan Ringkasan Eksekutif (Bahasa Inggris) Bab 1. Pendahuluan: Berisi pembenaran / alasan mengapa diperlukan PNPK, dengan selalu mencantumkan salah satu atau lebih high volume, high risk, high cost, high variability Bab 2. Metodologi
Pertanyaan klinis utama
Strategi pencarian bukti: database yang dikunjungi,
Telaah kritis
Peringkat bukti
Derajat rekomendasi
Bab 3. Hasil dan Pembahasan Bab 4. Simpulan dan rekomendasi Daftar Pustaka
Lampiran Catatan: Format laporan bila perlu dapat dimodifikasi, namun butir-butirnya tetap dipertahankan. Misalnya rekomendasi untuk topic tertentu dapat dikumpulkan pada akhir PNPK, namun untuk topic lainnya lebih memadai bila dibuat per jenis bahasan.
28
Lampiran 2 Contoh Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Berikut adalah contoh beberapa judul PNPK (yang setara dengan National Clinical Practice Guidelines ) dari Indonesia dan luar negeri. Perhatikan bahwa
PNPK mencakup satu kondisi spesifik yang memenuhi salah satu atau lebih kriteria high volume, high risk, high cost, high variability). PNPK Indonesia:
1. PNPK Tata Laksana HIV-AIDS 2. PNPK Penanganan Trauma 3. PNPK Tata Laksana Bayi Berat Lahir Rendah 4. PNPK Tata Laksana Eklamsia 5. PNPK Tata Laksana Tuberkulosis 6. PNPK Asfiksia Neonaturum 7. PNPK Epilepsi pada Anak 8. PNPK Tata laksana Talasemia 9. PNPK Tata Laksana Penyakit Gagal Ginjal Terminal 10. PNPK Sepsis pada Dewasa 11. PNPK Diabetes Melitus 12. PNPK Karsinoma Payudara 13. PNPK Peritonitis Pasca-tukak lambung 14. PNPK Tata Laksana Penyakit Hirschsprung 15. PNPK Pertumbuhan Janin Terhambat 16. PNPK Ketuban Pecah Dini 17. PNPK Perdarahan Pascasalin
29
Clinical Practice Guidelines Mancanegara American Association of Clincal Endocrinologists. Medical Guideline for Clinical Practice for the Management of Diabetes Mellitus. http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/DMGuidelines2007.pdf American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline: Diagnosis and Evaluation of the Child With Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder. http://aappolicy.aappublications.org/cgi/reprint/pediatrics;105/5/1158.pdf Guideline for Alzheimer’s Disease Management. http://www.caalz.org/PDF_files/Guideline-FullReport-CA.pdf ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With Congenital Heart Disease. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/118/23/2395 ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With Congenital Heart Disease: Executive Summary. 49 halaman, 202 rujukan. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/118/23/2395 Americal College of Cardiology / American Heart Association (2002): Guideline update for the management of chronic stable angina. 136 halaman, 1053 rujukan MOH Malaysia. Clinical Practice Guidelines Management of Dengue Fever in Children, 2005. 22 halaman, 33 rujukan. http://www.acadmed.org.my Malaysian Society of Neurosciences, Academy of Medicine Malaysia, Ministry of Health Malaysia. Clinical practice guidline. Management of stroke. 37 halaman, 150 rujukan. http://www.acadmed.org.my Indeks untuk pelbagai jenis CPG di Malaysia dapat diakses melalui http://www.acadmed.org.my/index.cfmMOH Malaysia. Clinical Practice Guidelines Management of Dengue Fever In Children, 2005. 22 halaman, 33 rujukan. http://www.acadmed.org.my Malaysian Society of Neurosciences, Academy of Medicine Malaysia, Ministry of Health Malaysia. Clinical practice guidline. Management of stroke. 37 halaman, 150 rujukan. http://www.acadmed.org.my
Singapore MOH Clinical Prctice Guideline 2004. Management of atrial fibrillation. http://www.moh.gov.sg/cpg
30
Lampiran 3 Contoh Panduan Praktik Klinis Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat untuk setiap rumah sakit / fasilitas pelayanan kesehatan, dengan mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan Medis (PNPK) dan / atau pustaka mutakhir dengan menyesuaikan dengan kondisi setempat. PPK dibuat oleh Staf Medis setiap departemen / divisi di bawah koordinasi Komite Medis, dan baru dapat dilaksanakan setelah diresmikan oleh Direksi. Format PPK dapat sangat bervariasi. PPK dapat dibuat atas dasar penyakit (stroke , demam tifoid), atau masalah (perdarahan, penurunan kesadaran), atau campuran keduanya. Urutan topik dapat berdasarkan departemen / divisi atau menurut abjad. Di rumah sakit besar PPK perlu dibuat per departemen. Berikut dua contoh dari departemen medis dan 2 dari departemen bedah. Pada umumnya PPK mencakup hal-hal berikut: 1. Pengertian 2. Anamnesis 3. Pemeriksaan fisis 4. Prosedur diagnostik 5. Diagnosis banding 6. Pemeriksaan penunjang 7. Terapi 8. Edukasi 9. Prognosis 10. Pustaka
31
PPK: Demam tifoid pada anak Batasan dan uraian umum Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella; 96% kasus demam tifoid disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.
Patogenesis Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus ( plaque Peyeri). Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami bakteriemi kedua, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra-intestinal). Masa inkubasi adalah 10-14 hari.
Anamnesis Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
Pemeriksaan fisis Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid, yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang dapat terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan laboratorium Darah tepi
32
Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum tulang, defisiensi besi, atau perdarahan usus.
Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul
Limfositosis relatif
Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat
Pemeriksaan serologi
Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut ke fase konvalesens.
Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot )
Biakan Salmonela
Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit
Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
Pemeriksaan radiologis
Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
Foto abdomen, digunakan apabila diduga terjadi komplikasi intra-intestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air -fluid level , bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen.
Penyulit
Perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang, defence musculaire positif, pekak hati hilang
Ekstraintestinal: ensefalopati tifoid, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok septik, pielonefritis, endokarditis, osteomielitis, dll.
Diagnosis banding
Stadium dini: influenza, gastroenteritis, bronkitis, bronkopneu- monia,
Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, malaria.
Demam tifoid berat: sepsis, leukemia, limfoma.
33
Tata laksana
Medikamentosa
Antipiretik bila suhu tubuh >38,5°C. Kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat.
Antibiotik (berturut-turut sesuai lini pengobatan) 1. Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kg/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10 – 14 hari, tidak dianjurkan pada leukosit <2000/µl , dosis maksimal 2g/hari atau 2. Amoksisilin 150-200 mg/kg/hari, oral atau IV selama 14 hari 3.
Seftriakson 20-80 mg/kg/hari selama 5-10 hari
Tindakan bedah Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus. Konsultasi Bedah Anak bila dicurigai komplikasi perforasi usus.
Pencegahan dan pendidikan
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro-fekal, maka pencegahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses.
Imunisasi 1. Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik. 2. Vaksin polisakarida (capsular Vi polysaccharide ), pada usia 2 tahun atau lebih diberikan secara intramuskular dan diulang setiap 3 tahun. 3. Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari (hari 1, 3, dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
Daftar pustaka 1.
34
Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004.
2.
Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3.
Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004. 4.
Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB Saunders: Philadelphia; 2002.
PPK: Hipoglikemia Batasan dan Uraian
Kadar glukosa darah < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada DM terjadi karena:
Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral.
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan.
Masukan makan tidak adekuat: jumlah kalori / waktu makan tidak tepat.
Kegiatan jasmani berlebihan.
Diagnosis Gejala dan tanda klinis:
Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara.
Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis:
Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis.
Waktu makan terakhir, jumlah masukan gizi.
35
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya.
Lama menderita DM, komplikasi DM.
Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik , dll.
Pemeriksaan fisis
Pucat, diaforesis,
Tekanan darah
Frekuensi denyut jantung
Penurunan kesadaran
Defisit neurologik fokal transien
Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum: 1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia 2. Kadar glukosa plasma rendah 3.
Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
Diagnosis banding Hipoglikemia karena o
o
Obat: o
(sering): insulin, sulfonilurea, alkohol,
o
(kadang): kinin, pentamidine
o
(jarang): salisilat, sulfonamid
Hiperinsulinisme endogen: o
36
Insulinoma
o
Kelainan sel jenis lain
o
Sekretagogue: sulfonilurea
o
Autoimun
o
Sekresi insulin ektopik
o
Penyakit kritis: o
Gagal hati
o
Gagal ginjal
o
Gagal jantung
o
Sepsis
o
Starvasi dan inanisi
o
Defisiensi endokrin:
o
o
o
Kortisol, growth hormone
o
Glukagon, epinefrin
Tumor non-sel : o
Sarkoma
o
Tumor adrenokortikal, hepatoma
o
Leukemia, limfoma, melanoma
Pasca-prandial: o
Reaktif (setelah operasi gaster)
o
Diinduksi alkohol
Pemeriksaan penunjang
Tes fungsi ginjal
Tes fungsi hati
C-peptide
Tata laksana Stadium permulaan (sadar )
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat
Stop obat hipoglikemik sementara,
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab 37
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga hipoglikemia):
Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus intra vena,
Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infus, 6 jam per kolf,
Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer: o
Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
o
Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 %: o
Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV
o
Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV
o
Bila GDs 100 - 200 mg/dL tanpa bolus Dekstrosa 40 %
o
Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10 %
5. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %. 6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %. 7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale tiap 6 jam: GD
(mg/dL)
RI
(Unit, subkutan)
< 200
0
200 – 250
5
250 – 300
10
300 – 350
15
> 350
20
38
Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti: adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya insulin)
Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 – 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadaran menurun
Daftar Pustaka 1.
PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2002.
2.
Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8.
3.
Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine.15th ed. New York: McGrawHill, 2001:2138-43.
PPK: Luka Bakar Kriteria diagnosis
• Kerusakan kulit akibat trauma, panas, listrik, kimia, radiasi. 1. Derajat kedalaman I
: kerusakan hanya mengenai epidermis.
II : kerusakan sampai sebagian dermis. IV : kerusakan seluruh dermis atau lebih dalam. 2. Luas luka bakar dalam % dari luas permukaan tubuh 3. Lokasi luka bakar.
Konsultasi
• Disiplin ilmu lain sesuai dengan penyakit yang menyertai atau komplikasi yang timbul.
Perawatan RS
• Rawat inap diberlakukan untuk luka derajat II atau IV: -
Luka bakar derajat ≥II seluas >10% pada anak-anak, >15% pada dewasa.
-
Derajat IV > 2%.
39
-
Luka bakar disertai trauma berat lain, trauma inhalasi.
-
Luka bakar listrik.
-
Luka bakar mengenai wajah, tangan, kaki, kemaluan, perineum.
Terapi
• Didahulukan penanggulangan terhadap gangguan jalan napas dan sirkulasi. •
Perkiraan jumlah cairan dengan menggunakan rumus Baxter: Hari I diperkirakan memerlukan: (berat badan dalam kg x % luas luka bakar x 4) cc ringer laktat.
Terapi pada luka: -
Derajat II, obat topikal untuk luka.
-
Derajat IV, obat topikal yang dapat menembus skar (silversulfadiazin).
•
Antibiotik bila luka kotor.
•
Toksoid tetanus 1 cc setiap 2 minggu, 3 x berturut-turut. ATS diberikan pada semua yang belum pernah mendapat toksoid.
•
Sukralfat sebagai protektor mukosa lambung pada luka bakar luas.
•
Dipuasakan sementara bila ada gangguan saluran cerna.
•
Diberikan nutrisi enteral dini (sedapatnya dalam 8 jam pertama pasca cedera); diperlukan asupan kalori dan protein tinggi.
• Fisioterapi. •
Untuk trauma karena bahan kimia, perlu dibilas secara tuntas dengan air.
•
Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang kulit yang mati (skar). Jika mungkin dilanjutkan dengan skin graft (SISG). Pembedahan ini dapat dilakukan setelah diyakini sirkulasi stabil.
Penyulit
• Gangguan saluran napas.
40
•
Gangguan sirkulasi bila berlanjut dapat menyebabkan kegagalan organ multipel.
•
Kelebihan atau kekurangan cairan maupun elektrolit.
•
Infeksi pada kulit, saluran napas, saluran kemih.
•
Ulkus stres.
•
Parut hipertrofi dan kontraktur, untuk jangka panjang.
•
Deformitas penampilan yang hebat.
• SIRS (systemic inflammatory response syndrome).
Informed consent • Perlu tertulis (derajat luka nakar, persentase luka bakar dari total luas permukaan tubuh, area tubuh yang terkena, penyebab). Bila dilakukan tindakan debridemen/pembersihan luka bakar atau penutupan luka kulit untuk penyelamatan atau perbaikan kondisi dengan risiko kegagalan umum atau kegagalan penutupan/penambalan skin graft
Standar tenaga
• Dokter Umum untuk luka bakar ringan. •
Dokter Spesialis Bedah yang berkecimpung pada luka bakar berat.
•
Paramedis yang berkecimpung pada perawatan luka bakar.
•
Dokter spesilais bedah plastik.
Lama perawatan
• Sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan luas luka. Dirawat sampai luka lebih kecil dari indikasi perawatan.
Masa pemulihan
• Sangat bervariasi, mungkin 2 tahun atau lebih bergantung pada parut yang terjadi.
Luaran
• Sembuh dengan kecacatan warna kulit saja sampai kecacatan berat, tidak dapat menggerakkan sendi. • Kematian.
Autopsi/risalah rapat •
Mungkin diperlukan bila terjadi kematian. Luas dan beratnya luka bakar dapat menjadi penyebab langsung kematian. Penyebab lain beragntung pada kegagalan fungsi organ yang ditemukan.
41
PPK: Mola hidatidosa Definisi Suatu kelainan berupa proliferasi sel tropoblas kehamilan yang abnormal.
Patologi Dapat berupa mola hidatidosa komplit atau parsial. Mola Hidatidosa komplet mempunyai kariotipe 46,XX yang semua berasal dari paternal. Secara klinik tidak dijumpai embrio atau fetus kecuali pada kehamilan ganda. Secara mikoskopis dijumpai degenerasi hidropik villi chorialis dan hyperplasia sel tropoblas yang difus. Pada mola hidatidosa partial terdapat jaringan embrio atau fetal, degenerasi hidopik villi dan hiperplasia bersifat fokal dengan ukuran bervariasi.
Epidemiologi 10-20% dari kehamilan.
Manifestasi klinis Berdasarkan gejala klinik seperti pada tabel diatas. Gambaran sarang tawon pada ultra sonografi menunjukkan mola hidatidosa komplit, sedang pada mola parsial akan dijumpai gambaran multikistik pada plasenta.Pada mola komplit umumnya dijumpai kista lutein yang menetap. Keluarnya gelembung mola dari ostium.
Diagnosis Diferensial Gejala klinis
Mola komplit
Mola parsial
N=307 (%)
N=83 (%)
Perdarahan pervaginam
97
73
Pembesaran uterus yang cepat
51
4
Kista lutein yang menetap
50
0
Toxemia
27
3
Hiperemesis
26
0
Hipertiroid
7
0
Emboli sel tropoblast
2
o
Kriteria diagnosis Berdasarkan gejala klinis seperti pada tabel diatas.
42
Gambaran sarang tawon pada ultra sonografi menunjukkan mola hidatidosa komplit, sedang pada mola parsial akan dijumpai gambaran multikistik pada plasenta.Pada mola komplit umumnya dijumpai kista lutein yang menetap. Keluarnya gelembung mola dari ostium.
Diagnosis Banding Hamil biasa, mioma dengan kehamilan
Pemeriksaan penunjang Beta hCG serum Foto toraks T3, T4 dan TSH bila terdapat gejala hipertiroid
Terapi Kuret isap Kuret manual dengan sendok kuret. (Selama tindakan kuret diberikan oxytocin drip ).
Penyulit Pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan umum pasien, faktor pilihan pengobatan, faktor stadium penyakit, factor adanya penyulit infeksi, faktor penyembuhan luka.
Informed consent Penjelasan tentang stadium penyakit, rencana terapi, hasil pengobatan dan kemungkinan komplikasi pengobatan. Lama perawatan
Lama perawatan tergantung beberapa faktor antara lain keadaan umum, pilihan pengobatan, stadium penyakit, adanya penyulit, penyembuhan luka. Pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan umum pasien, factor pilihan pengobatan, factor stadium penyakit, factor adanya penyulit infeksi, factor penyembuhan luka. Output
Sembuh dengan beta hCG normal
Patologi anatomi Pemeriksaan histologi hasil kuretase
Indikator
Pemeriksaan ginekologi
43
Pemeriksaan beta hCG serum setiap dua minggu sampai 3 kali hasil pemeriksaan yang normal dan setiap bulan sampai 6 bulan berikutnya
Daftar pustaka 1.
Berkowitz RS, Goldstein DP in: Berek JS, Hacker NF. Practical Gynecologic Oncology. Williams&Wilkins 3rd ed. Baltimore 2002; 457-80.
2.
Benedet JL, Nga HYS, Hacker NF. Staging classifications and clinical practice guidelines of gynecologic cancer. FIGO committee on Gynecologic Oncology and IGCS Guidelines Committee. 2nd Ed. Elsevier, 2003: 122-4
Lampiran 4 Contoh Clinical Pathway Clinical pathway dapat sangat bervariasi dari satu penyakit ke penyakit lain, dari satu
rumah sakit ke rumah sakit lain. Satu contoh CP yang lengkap untuk bedah kaisar dapat dilihat di http://www.health.qld.gov.au/caru/pathways/docs/pathway_caes.pdf. Seperti CP pada umumnya, tampak bahwa formatnya berupa tabel yang kolomnya merupakan waktu, sedangkan barisnya merupakan observasi / pemeriksaan / tindakan / intervensi yang diperlukan. Pada contoh ini semua jenis tindakan dan perlakuan dijadwalkan, termasuk pendidikan dan penjelasan kepada pasien yang memakan porsi yang cukup besar dari 15 halaman CP yang ada .
44
Lampiran 5 Contoh Protokol Uji tempel pada dermatitis kontak Indikasi dermatitis kontak alergi (pembuktian dan mencari etiologi) dermatitis kontak iritan dengan DD/DKA dermatitis kronis yang belum diketahui penyebabnya
Persiapan lesi kulit dalam keadaan tidak aktif sebaiknya dilakukan setelah 2 minggu lesi tenang tidak mengkonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik (prednison > 10mg) minimal selama 3 hari sebelum uji atau sesuai waktu paruh obat dapat digunakan alergen standar (Eropa) atau non-standar dengan pengenceran dan vehikulum yang sesuai
Pelaksanaan Bahan uji tempel diisikan pada unit uji tempel Uji tempel dilaksanakan dengan posisi pasien dalam keadaan duduk atau tidur Pasien diminta untuk membuka pakainan sehingga daerah punggung atau lengan atas bagian lateral dapat terlihat Dilakukan pembersihan lokasi uji dengan kapas alkohol 70% Unit uji tempel yang telah diisi, ditempelkan pada lokasi uji dan ditambahkan plester hipoalergenik di luarnya ( untuk fiksasi )
Unit uji tempel dibiarkan menempel selama 48 jam. Untuk menghindari terlepasnya unit uji tempel, selama waktu tersebut lokasi uji tidak boleh basah dan pasien dianjurkan untuk membatasi aktivitasnya
Setelah 28 jam unit dibuka, diberi tanda dengan larutan gentian violet
Setelah ditunggu 15-30 menit untuk menghilangkan efek tekanan, hasil uji tempel dibaca sesuai metode ICDRG yaitu : ?
ertema
+
eritema, infiltrat, papul 45
++
eritema, infiltrat, papul, vesikel
+++
eritema, infiltrat, papul, vesikel berkonfluesi atau bula
-
negatif
IR
reaksi iritan
NT
tidak dilakukan uji
Pasien diizinkan pulang namun lokasi uji tetap dianjurkan untuk tidak basah / kena air
Pada hari ke-3 (72 jam) dan hari ke-4 (96 jam) dilakukan pembacaan ulang dengan cara yang sama
Dari hasil pembacaan disimpulkan reaksi yang timbul bersifat alergik atau iritan
Hasil uji tempel yang positif bermakna (minimal +) dinilai relevansinya melalui anamnesis dan gambaran klinis. Hasil dengan relevansi positif ditetapkan sebagai penyebab kelainan kulit saat ini
Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif bermakna (+,++,+++) dan daftar benda yang mengandung zat tersebut
Hasil uji tempel yang positif bermakna namun relevansi negatif tetap dianjurkan untuk dihindari.
Daftar pustaka
46
1.
Lachapelle JM, Maibach HI. The methodology of patch testing. In: Lachapelle JM, Maibach HI ed. Patch testing / Prick testing a practical guide. Berlin: SpringerVerlag 2003: 27-66
2.
Wahlberg LE, Elsner P, Kanerva L, Maibach HI. Management of positive patch test reactions. Berlin: Springer-Verlag 2003.
Lampiran 6 Contoh Prosedur Pemasangan sonde lambung Indikasi o Pemberian makanan enternal pada: a. Pasien dengan refleks isap/telan yang tidak baik, misalnya bayi prematur atau pasien kelainan neurologis b. Pasien-pasien yang tidak dapat makan peroral o Pemberian obat-obatan secara langsung o Pemeriksaan analisis getah lambung (biokimia, kultur) o -Dekompresi dan pengososngan lambung Kontraindikasi o Pasca-esofagoplatis o Perforasi esophagus Alat yang dibutuhkan o Alat pengisap listrik/manual o
o o o o o
Sonde lambung (“feeding tube”): untuk bayi ukuran 5 Fr -8 Fr, untuk anak ukuran
9 Fr-12 Fr Plester, pinset Air steril atau NaCL 0,9% Semprit 5 ml dan 20 m Stetoskop Monitor jantung (bila ada)
Cara o o o
o o
Pasien ditidurkan telentang dengan kepala lebih tinggi Lubang hidung dan orafaring dibersihkan dengan pengisap secara hati-hati Panjang bagian sonde lambung yanga akan dimasukkan diperkirakan dengan jalan mengukur jarak dari lobang hidung ke orofaring terus ke esofagus, sampai batas plester berada di lubang hidung Sambil memasukkan sonde, denyut jantung dipantau (awas bradikardia) Semprit dipasang pada pangkal sonde Bila diisap, cairan lambung akan mengalir keluar, ini ditampung sesuai dengan kebutuhan Bila sonde lambung akan dipergunakan untuk pemberian makanan atau obat. Diperiksa sekali lagi apakah ujung sonde tersebut betul berada di lambung (bukan di paru) yaitu dengan memasukkan udara
47
melalui semprit 5-10 ml dan didengarkan di daerah lambung dengan stetoskop Bila sonde lambung akan dipergunakan untuk dekompresi udara maka pangkal sonde dimasukkan ke dalam bejana berisis air steril atau air bersih Sonde difiksasi dengan plester
Catatan o Pada anak/bayi dengan distress pernapasan sebaiknya sonde lambung dimasukkan melalui mulut. Caranya sama hanya sambil mendorong perlahanlahan anak dimintakan untuk melakukan gerakan menelan. o Bila terdapat tahanan sewaktu pemasukan sonde, hendaknya jangan terus dipaksakan (bahaya perforasi).
48
Lampiran 7 Contoh Algoritme Kontrasepsi Emergensi Permintaan pasien akan kontrasepsi emergensi
Mungkinkah pasien telah hamil?
Tes kehamilan, ultrasonografi dan tatalaksana yang sesuai
Menanyakan keterangan hari pertama haid terakhir, panjang siklus dan hari tersebut dalam siklus Menilai risiko
Apakah hubungan seksual terjad dalam 72 jam terakhir?
Adakah riwayat tromboembolisme atau migrain saat ini dengan riwayat migrain fokal
AKDR sebagai pilihan selama masih dalam 5 hari pascaovulasi
Rekomendasi untuk AKDR atau kontrase si emer ensi il ro estin
Ketersediaan kontrasepsi emergensi
Pemeriksaan tekanan darah
Edukasi pasien Meresepkan pil kontrasepsi emergensi Peencanaan follow up
49
Lampiran 8 Contoh Standing order Admiting orders : Preoperative cardiac surgery
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Ukur beart dan tinggi badan pasien Identifikasi alergi, dilabel tertulis dengan “alergi terhadap ………….” *tanda tangan persetujuan tindakan operasi : ………………..
Pemeriksaan tanda vital : diperiksa setiap jam Nutrisi per oral setelah tengah malam Hibiclens shower (sabun) pada pagi hari: basahi badan, cuci dari leher ke bawah dengan 2 oz Hibiclens, bilas dan ulangi (jangan dipakai pada wajah, kepala, membran mukosa atau luka terbuka) Foto polos toraks EKG Darah lengkap, pemeriksaan metabolism dasar, profil lipid Urinalisis (jika operasi katup) Pemeriksan golongan darah dan cross match terhadap 2 kantong PRC (waspadai operasi jika pasien dalam pengobatan anti trombolisis) *Restoril _________ mg per oral setiap jam (dapat diulangi sekali) Nitrogliserin 1/150 g sublingual jika perlu (angina)
Tanda tangan dokter
Tanggal
*Dokter harus melengkapi bagian bertanda bintang dan mengeliminasi item yang tidak diinginkan. Dokter harus melengkapi seluruh poin.
50
Daftar istilah kunci Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) adalah penyataan yang dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence),
untuk membantu dokter dan pembuat keputusan klinis tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis yang spesifik. PNPK disusun oleh kelompok pakar dari organisasi profesi, akademisi, serta pakar lain yang terkait yang dikoordinasi oleh Kemenkes. PNPK disahkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam pustaka PNPK setara dengan National Clinical Practice Guidelines.
Panduan Praktik Klinis, (Clinical Practice Guidelines, PPK) merupakan panduan
yang bersifat rekomendasi untuk membantu dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan pelayanan pada pasien dengan penyakit atau kondisi klinis tertentu. Panduan ini berbasis bukti dan memberikan informasi tentang pelayanan yang paling efektif, aman, dan cost-effective. Dokter atau dokter gigi menerapkan PPK sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk menentukan rencana pelayanan yang tepat kepada pasien. PPK disusun oleh fasilitas kesehatan dengan mengacu pada PNPK dan / atau sumber pustaka mutakhir; di rumah sakit penyusunan PPK dikoordinasi oleh Komite Medis. Clinical pathway (CP, alur klinis) adalah bagian atau kelengkapan PPK yang
mengatur, mengurutkan, dan menggabungkan intervensi yang dilakukan oleh dokter, perawat, profesional lain yang terlibat dalam perawatan pasien. CP dinilai efektif dan efisien bila diterapkan pada penyakit atau kondisi klinis yang perjalanan klinisnya dapat diprediksi serta memerlukan pendekatan multidisiplin. Perencanaan tata laksana dibuat tercetak dalam format tabel, apa yang harus dilakukan, kapan dilakukan, apa outcome-nya dari hari ke hari, bahkan untuk kasus tertentu dalam hitungan jam. Stroke non-hemoragik, persalinan normal, bedah kaisar, apendektomi, pemasangan device untuk menutup defek pada penyakit jantung bawaan merupakan contoh-contoh tata laksana kasus yang layak untuk dibuat CP. Sinonim : care pathway, care map, integrated care pathways, multidisciplinary pathways of care, pathways of care, collaborative care pathways.
Algoritme adalah skema rekomendasi tata laksana pasien yang dirancang untuk
pengambilan keputusan yang cepat, misalnya di instalasi gawat darurat. Algoritme biasanya disusun sebagai flowchart yang terstruktur, decision tree, ataupun decision grid . Protokol merupakan pemandu lengkap tentang cara melakukan tugas yang
kompleks, seperti pemasangan dan pengaturan ventilator mekanik, pelaksanaan hemodialisis. Prosedur adalah panduan langkah demi langkah untuk tugas teknis tertentu, seperti
biopsi sumsum tulang, pemasangan infus, pungsi lumbal. 51
Standing orders merupakan suatu set instruksi dokter yang ditujukan kepada
perawat atau profesional kesehatan lain untuk memberikan intervensi kepada pasien selama dokter tidak ada di tempat. Standing order dapat dibuat untuk set kegiatan tertentu (misalnya pada operasi tertentu perawat mengukur tanda vital, memasang kateter uretra, memasang infus, memberikan suntikan obat tertentu tanpa perintah dokter. Standing order juga dilaksanakan pada kondisi pasien tertent; missal pasien anak dengan kejang demam diberikan diazepam rektal, anak dengan hiperpireksi diberikan parasetamol, dsb. Disclaimer (penyangkalan, wewanti). Dalam kamus disclaimer merupakan sinonim refusal , denial , rejection. Disclaimer diartikan sebagai pernyataan formal untuk
menolak bertanggung jawab secara hukum. Dalam konteks panduan praktik klinis (PPK) disclaimer menunjukkan pembatasan atau penolakan atas tanggung jawab hukum dalam penggunaan PPK, biasanya disertai dengan keterangan ringkas. Misalnya: “…penggunaan PPK ini harus disesuaikan dengan keadaan pasien secara individual karena…”, “…panduan ini bukan buku ajar sehingga tidak memuat informasi yang lengkap …”, “…penyusun PPK ini tidak menjamin keakuratan informasi dalam panduan ini …”, “…. kami tidak bertanggung jawab atas hasil apa pun akibat penggunaan PPK ini …” dan seterusnya. Penyangkalan ini harus dimuat di setiap PPK.
52