Mengenali Tanda-Tanda serta Cara Penanganan dan Pencegahan Penyakit Pneumokoniosis Gabby Agustine 102010322 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara Nomor 6, Jakarta 11510
[email protected]
Pendahuluan Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja sangat banyak, tergantung pada bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja. Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan antara lain: golongan fisik (suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik), golongan kimiawi (bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan, awan atau kabut), golongan biologis (bakteri, virus atau jamur), golongan fisiologis (biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja), golongan psikososial (lingkungan kerja yang mengakibatkan stres).1 Berbagai penyakit paru saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi, tuberkulosis maupun non tuberkulosis, asma dan penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru dan juga penyakit paru akibat kerja merupakan contoh penyakit-penyakit yang mempunyai dampak luas di masyarakat. Khusus di Indonesia, penyakit-penyakit infeksi paru masih menyebabkan morbiditas, demikian pula dengan silikosis, asma bronkial dan penyakit paru obstruktif. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 1980 menunjukkan bahwa hampir 1
sepertiga (28,4%) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru. Pada survei berikutnya di tahun 1986 angka ini ternyata meningkat menjadi 30,5%, sehingga berdasarkan survei kesehatan rumah tangga nasional terbaru ini menyatakan bahwa satu di antara tiga kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru.1
Diagnosis klinis Langkah pertama dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah dengan melakukan diagnosis klinis. Diagnosis klinis meliputi
anamnesis, pemeriksaa fisk, pemeriksaan penunjang dan
pemeriksaan tempat kerja seandainya diperlukan. Pada anamnesis, yang perlu ditanyakan pada pasien adalah riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan penunjang boleh dilakukan sesuai dengan indikasi penyakit. Pemeriksaan tempat kerja boleh dilakukan untuk memeriksa beberapa hal yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan. 2 Berikut adalah hasil diagnosis klinis laki-laki berusia 45 tahun yang bekerja sebagai penambang. 1. Anamnesis Anamnesis adalah wawancara seksama yang dilakukan pasien yang berguna untuk menunjang diagnosis penyakit seorang pasien. Seringkali, diagnosis yang baik sudah dapat menentukan penyakit seseorang. Anamnesis merupakan gabungan dari keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala dan tanda suatu penyakit sehingga dapat melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang sesuai untuk penyakit tersebut.2 Dalam penegakan diagnosis penyakit paru lingkungan atau penyakit paru kerja, maka anamnesis tentang riwayat pekerjaan atau lingkungan merupakan suatu alat yang amat berguna dalam menentukan apakah suatu problem respirasi ada hubungannya dengan suatu paparan debu tertentu. Pertanyaan pada anamnesis harus sistematis, lengkap (dctil), dan kronologis.2 Anamnesis meliputi pertanyaan tentang :
Identitas pasien 2
Riwayat penyakit paru dan kesehatan umum -
Adanya keluhan : sesak napas, batuk-batuk, batuk berdahak, napas berbunyi (mengi), kesulitan napas.
-
Adanya riwayat merokok, jenis rokok, jumlah rokok yang dikonsumsi rata-rata tiap hari.
-
Problem pernapasan sebelumnya, obat-obatan yang dikonsumsi. Bagi pekerja apakah ada hari-hari tidak dapat masuk kerja dan apa alasannya.
-
Kapan keluhan-keluhan di atas mulai dan apakah ada hubungan dengan pekerjaan.
Riwayat penyakit dahulu -
Apakah sebelumnya menderita : asma, atopi, penyakit kardiorespirasi.
-
Paparan bahan-bahan yang pernah diterimanya : kebisingan, getaran, radiasi, zatzat kimiawi, asbes dan sebagainya.
Riwayat pekerjaan -
Daftar pekerjaan yang pernah dijalani scjak awal (kronologis).
-
Aktivitas kerja dan material yang digunakan tiap posisi (bagian tugas).
-
Lama dan intensitas paparan bahan pada tiap posisi kerja.
-
Alat proteksi kerja yang digunakan (respirator, sarung tangan, baju pelindung kerja dan sebagainya).
-
Kecukupan ventilasi ruang kerja.
-
Selain seorang pekerja apakah pekerja-pekerja lain juga terkena paparan dan berefek pada kesehatannya.
-
Tugas tambahan lain yang dialami.
-
Paparan lain (yang dialami) di luar tempat kerja
-
Penyakit-penyakit yang pernah diderita (kronologis) yang ada hubungannya dengan paparan bahan di tempat kerja atau lingkungan.2
2. Pemeriksaan Fisik Observasi menyeluruh terhadap pasien akan mengungkapkan pasien yang napasnya memburu pada waktu istirahat atau setelah melakukan tes fungsi paru. Mungkin ditemukan jari tabuh pada kasus asbestosis, berilosis atau kanker paru. Pada auskultasi paru dapat 3
ditemukan krepitasi halus pada basal paru pasien dengan asbestosis atau silikosis. Mungkin terdapat mengi atau ronkhi pada pasien dengan asma yang berhubungan dengan pekerjaan. Manifestasi extrapulmo penyakit berilium kronis, kanker paru atau mesotelioma ganas harus dicari jika dianggap perlu. Hal ini juga penting dalam menentukan diagnosis banding atau mencari kemungkinan terjadinya komplikasi, misalnya gagal jantung atau stenosis katup mitral yang mungkin tidak berhubungan dengan kerja.2 3.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Rontgen paru - Kalsifikasi KGB hilus, yaitu perkapuran “berbentuk cangkang telur” dapat -
ditemukan pada beberapa kasus silikosis. Pekerja terpajan asbes dapat menunjukkan adanya penebalan pleura atau
-
kalsifikasi atau efusi misalnya penumpulan sudut kostofrenikus. Dapat juga gambaran “shaggy heart” (jantung yang berbulu kasar). Komplikasi Tuberculosis, fibrosis masif yang progresif, dan pneumotoraks dapat berhubungan dengan beberapa kasus silikosis. Pemeriksaan rontgen paru selalu bermanfaat pada pekerja dengan gejala pernapasan kronis, misalnya batuk, sesak napas untuk menyaring kasus tuberkulosis, infeksi lain, atau keganasan. Diagnosis silikosis atau asbestosis tidak boleh didasarkan pada satu foto saja; biasanya harus berdasarkan paling sedikit dua foto dengan jarak beberapa bulan
-
diantaranya. Pemeriksaan rontgen paru yang menunjukkan adanya bayangan nodular luas di kedua lapang paru terutama daerah tengah dan atas; disingkirkannya kemungkinan penyebab lain bayangan pada pemeriksaan rontgen paru; dan riwayat pajanan terhadap debu yang mengandung silikon. Pemeriksaan rontgen paru juga dapat menunjukkan adanya kalsifikasi kelenjar limfe hilus yang tampak seperti “kalsifikasi kulit telur”. Biopsi menunjukkan nodul silikon dengan gambaran serat kolagen dalam susunan kosentris yang beberapa di antaranya mungkin terbungkus hialin. Kristal Birefringent dapat terlihat dalam
nodul tersebut. Computed Tomography (CT) Scanning. Penggunaan tes diagnostik ini sekarang meningkat utamanya untuk deteksi asbestosis. Hal ini karena hasil deteksi adanya asbestosis dengan foto toraks konvensional kurang sensitif, kesalahan sekitar 10-15%. Lebih tepat lagi hasilnya 4
apabila menggunakan High-resolution Computed Tomographic (HRCT) Scanning,
dapat lebih baik dalam mengevaluasi kelainan pada pleura maupun parenkim paru. Tes Fungsi Paru Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru, kapasitas difusi) merupakan tes diagnostik yang penting untuk menentukan status fungsi paru pasien dengan penyakit paru kerja, terlebih pada proses interstitial. Meskipun hasil tes fungsi paru tidak spesifik untuk beberapa penyakit paru akibat kerja, tetapi pemeriksaan ini amat penting untuk evaluasi sesak napas, membedakan adanya kelainan paru tipe restriktif atau obstruktif dan mengetahui tingkat gangguan fungsi paru. Selain itu tes fungsi paru dapat dipakai untuk diagnosis adanya kelainan obstruksi saluran napas (adanya hiperreaktif bronkus dengan tes bronkodilator atau tes provokasi memakai paparan bahan-bahan yang diambil dari tempat kerja atau lingkungannya).
Tes
provokasi
untuk
menentukan
diagnosis
asma
kerja
menggunakan paparan bahan yang dicurigai sebagai pemicu serangan merupakan baku emas diagnosis asma kerja. Uji latih jantung paru dapat dilakukan untuk menilai gangguan fungsi dan progresivitas penyakit pada pasien dengan penyakit paru akibat kerja tertentu. Selain itu juga dapat digunakan untuk menentukan penyebab sesak napas, untuk membedakan apakah penyebabnya dari paru, jantung maupun penyebab lainnya.1,2,3
Pemeriksaan sputum - Pewarnaan gram dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) adalah suatu tindakan -
rutin. Kultur mikobakteri dan jamur. Pemeriksaan ini dilakukuan pada pasien yang didapatkan adanya kelainan foto toraks berupa infiltrate di apeks atau kavitas
-
atau pada pasien imunokompromis. Pemeriksaan sitologi dilakukan pada pasien batuk yang dicurigai juga menderita
-
kanker paru. Pemeriksaan silver pada dahak untuk mencari Pneumocystis carinii pada pasien
imunokompromis.4 Tes Tuberkulin
5
Pembacaan hasil tuberkulin dilakukan setelah 48 – 72 jam; dengan hasil positif bila terdapat indurasi diameter lebih dari 10 mm, meragukan bila 5-9 mm. Uji tuberkulin bisa diulang setelah 1-2 minggu.4 Pajanan yang dialami. Langkah kedua dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah mencari tahu pajanan yang dialami oleh pasien dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Pajanan yang dinilai haruslah meliputi pajanan yang dialami saat ini dan juga pajanan yang dialami sebelumnya. Informasi mengenai pajanan yang dialami oleh pasien boleh didapatkan melalui Anamnesis.2 Dimana berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien pasien bekerja di pertambangan batu bara dimana terdapat debu yang dapat masuk ke dalam saluran pernapasan.
Hubungan pajanan dengan penyakit Langkah ketiga dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah dengan mencari tahu hubungan pajanan yang dialami oleh pasien dengan penyakit. Langkah ini dimulai dengan identifikasi pajanan yang ada, lalu dicari apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit yang dialami pasien tersebut. Hubungan antara pajanan dan penyakit ini haruslah didukung oleh bahan ilmiah seperti literature atau penelitian. Seandainya belum ada bahan ilmiah yang mampu membuktikan hubungan antara pajanan dan penyakit, seorang dokter boleh menggunakan pengalaman yang ada padanya untuk menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit.2 WHO membedakan tiga kategori Penyakit Akibat Kerja :
Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya Pneumoconiosis.
Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya Karsinoma Bronkhogenik.
6
Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada sebelumnya, misalnya PPOK.
Penyakit karena debu (Dust Lung Disease) tergantung pada jenis debu, lama pajanan, sifat debu dan kepekaan tubuh terhadap debu.5,6 1. Jenis debu i. Debu non-fibrogenik Debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan paru (debu, besi, timah, kapur). Pada dosis tetap merangsang dan menimbulkan reaksi jaringan, memproduksi lendir ii.
banyak,
menyebabkan
perubahan
jaringan
retikulin,
disebut
pneumokoniosis non-kolagen. Debu fibrogenik Adalah debu yang menimbulkan reaksi jaringan paru (fibrosis), juga disebut pneumokoniosis kolagen seperti batubara, silika bebas dan asbes. Tabel i : Jenis Dan Etiologi Penyakit Jenis Coal Worker Pneumokoniosis Silikosis Asbestosis Siderosis Berryliosis
Etiologi Batu bara Silica Asbes Besi Berilium
2. Ukuran debu (debu yang mudah dihirup adalah 0,1-10 mikron) o Debu 5-10 mikron tertahan di saluran napas atas. o Debu 3-5 mikron tertahan di saluran napas tengah. o Debu 1-3 mikron adalah paling berbahaya, karena tertahan dan tertimbun di saluran napas kecil. o Debu < 1 mikron tidak mudah mengendap. o Debu 0,1-0,5 mikron melakukan gerakan Brown, berdifusi keluar dan dapat memasuki alveoli, bila membentur dinding alveoli akan tertimbun di sana.6
Pajanan yang dialami cukup besar
7
Langkah keempat dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah dengan mencari tahu apakah pajanan yang dialami oleh pasien cukup besar sehingga dapat menimbulkan penyakit yang dialaminya. Langkah ini melibatkan pemahaman mengenai patofisiologi penyakit, disertai bukti kuantitatif
yaitu
epidemiologinya
dan
bukti
kualitatif.
2
Bukti epidemiologi Pneumokoniosis terbanyak adalah Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus pneumokoniosis terdiri atas 56% asbestosis, 38% silikosis dan 6% pneumokoniosis batubara. Prevalensi pneumoconiosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika Serikat dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara pada daerah pertambangan tersebut. Prevalensi pneumokoniosis di negara bagian Amerika pada tahun 1960 sekitar 30% dan angka ini jauh menurun pada tahun 2002 hanya sekitar 2.5%. setiap tahun angka kejadian pneumokoniosis berkurang hal ini dapat dikarenakan kontrol dari perusahaan yang kian meningkat. Prevalensi pneumokoniosis batu bara di Indonesia belum ada penelitian khusus mengenai prevalensi penyakit ini hanya pada skala kecil yang mencakup suatu perusahaan saja. Penelitian Darmanto et al. di tambang batubara tahun 1989 menemukan prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%. Data penelitian di Bandung tahun 1990 pada pekerja tambang batu menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 3,1%. Penelitian oleh Bangun et al. tahun 1998 pada pertambangan batu di Bandung menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%.1 Bukti Kualitatif Bukti kualitatif meliputi beberapa hal seperti cara dan proses kerja, lama kerja dan lingkungan kerjanya.
Lingkungan
Kerja
Pasien bekerja di pertambangan dimana terdapat banyak debu hasil tambang yang dapat
masuk ke saluran pernapasan. Pemakaian APD. Berdasarkan kasus diketahui pasien tidak disiplin dalam menggunakan alat pelindung diri. Jumlah pajanan 8
Untuk jumlah pajanan diperlukan pengukuran langsung besarnya pajanan di tempat kerja pasien.2
Pajanan Faktor individu Langkah kelima dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah dengan mencari tahu apakah ada faktor individu yang boleh menimbulkan penyakit yang dialaminya. Faktor individu mencakup status kesehatan fisik pasien, faktor kesehatan mental pasien dan higinis perorangan pasien.2
Pajanan faktor lain di luar pekerjaan. Langkah keenam dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah dengan mencari tahu apakah ada faktor lain di luar pekerjaan termasuk hobi, kebiasaan sehari-hari, pajanan di rumah dan juga pajanan dari kerja sambilan seandainya ada. Berdasarkan kasus tidak dijelaskan adanya pajanan faktor lain di luar pekerjaan.2
Diagnosis Okupasi Langkah terakhir dalam identifikasi penyakit akibat kerja melalui pendekatan klinis dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis okupasi adalah penarikan diagnosis okupasi berdasarkan hasil dari langkah pertama sampai langkah ke enam. Penarikan diagnosis haruslah berdasarkan pada bukti ilmiah dapat dibagi atas :2 1. 2. 3. 4.
Penyakit Akibat kerja (PAK) atau Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK) Penyakit yang diperberat pajanan di tempat kerja Belum dapat ditegakan Bukan Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Hasil dari pendekatan klinis terhadap laki-laki berusia 45 tahun yang bekerja di tambang batu bara selama 10 tahun dapat diduga pasien mengalami pneumoconiosis.
9
Keluhan pernafasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis. 5,6
Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis akut: demam, batuk, penurunan berat badan, dan gangguan pernafasan yang berat6 TB Resisten Diagnosis TB resisten berdasarkan uji kepekaan. Semua pasien yang dicurigai diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisisn dan INH maka dapat ditegakkan diagnosis tb resisten. Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan
sebelum
terapi
diberikan.
Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tidak
bisa,
dilakukan
bronkoskopi.
Tes
sensitivitas
terhadap
obat
tetap lini
pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai. Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.Yang termasuk
metode
terbaru
ini
adalah
metode
fenotipik
dan
genotipik.
Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi
rifampisin,
sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten yang tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.7
10
PPOK PPOK merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat dengan angka kematian yang tinggi di negara maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah, dan pada manula.7 Merokok merupakan penyebab dari terjadinya hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi mukus, menyebabkan batuk produktif. Pada bronktis kronis (batuk produktif > 3 bulan/tahun selama > 2 tahun) perubahan awal terjadi pada saluran udara ygn kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal
(emfisema),
yang
menyebabkan
hilangnya
elastic
recoil,
hiperinflasi,
terperangkapnya udara dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga terjadi sesak napas. Dengan berkembangnya penyakit kadar CO2 meningkat dan dorongan respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia. Jika oksigen tembahan menghilangkan hipoksemia, dorongan pernapasan juga mungkin akan hilang, sehingga memicu terjadinya gagal napas.7 Adanya gejala batuk dan napas pendek yang bersifat progresif lambat dalam beberapa tahun pada perokok atau mantan perokok cukup untuk menegakkan diagnosis. Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan derajat obstruksi saluran pernapasan.7 Pemeriksaan penunjang
Tes fungsi paru menunjukkan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara akibat destruksi jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien mengalami perbaikan dan pemberian bronkodilator.
Foto toraks bisa normal, namun pada emfisema akan menunjukkan hiperinflasi disertai hilangnya batas paru serta jantung tampak kecil.
Computed tomography bisa memastikan adanya bula emfisematosa.
11
Analisis gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada hipoksemia kronis kadar hemaglobin bisa meningkat.7
Ca Paru Karsinoma paru biasanya ditemukan dengan gejala batuk-batuk, penurunan berat badan, nyeri dada dan dispnea. Prognosis tergantung stadium ketika tumor ditemukan. Angka harapan hidup 5 tahun adalah 15%; tidakan reseksi tumor yang soliter (bukan sel kecil) (pada sejumlah kecil pasien) memberikan angka harapan hidup yang lebih baik (48%). Karsinoma sel kecil hampir selalu sudah bermetastasis pada saat diagnosis ditegakkan sehingga intervensi bedah tidak mungkin dilakukan lagi. Jenis karsinoma ini bersifat responsif terhadap kemoterapi tetapi akhirnya akan tumbuh kembali (rekuren). Tipe lainnya memperlihatkan respon yang mengecewakan terhadap kemoterapi.7
PENATALAKSANAAN
Kuratif Tidak ada pengobatan khusus. Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah: Membatasi pemaparan terhadap silika berhenti merokok menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin. Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita Tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. Silika diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.8
Pengobatan TBC pada orang dewasa
12
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu : o Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. o Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin. Table: Dosis obat antituberkulosis (OAT) Obat
Dosis harian
Dosis 2x/minggu
Dosis 3x/minggu
(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
INH
5-15 (maks 300 mg)
15-40 (maks. 900 mg)
15-40 (maks. 900 mg)
Rifampisin
10-20 (maks. 600 mg)
10-20 (maks. 600 mg)
15-20 (maks. 600 mg)
Pirazinamid
15-40 (maks. 2 g)
50-70 (maks. 4 g)
15-30 (maks. 3 g)
Etambutol
15-25 (maks. 2,5 g)
50 (maks. 2,5 g)
15-25 (maks. 2,5 g)
Streptomisin
15-40 (maks. 1 g)
25-40 (maks. 1,5 g)
25-40 (maks. 1,5 g)
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada: o Penderita baru TBC paru BTA positif. o Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat. 13
Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada: o Penderita kambuh. o Penderita gagal terapi. o Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada: o Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.8
Promotif Pada promotif dapat dilakukan penyuluhan kepada tenaga kerja seperti penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) saat bekerja, penyuluhan mengenai kesehatan para tenaga kerja berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya. Kepada pekerja perlu diberi penyuluhan mengenai kebersihan perorangan, makanan yang nilai gizinya sesuai dengan jenis pekerjaan, gerak badan untuk kesehatan (olahraga), pertolongan pertama pada kecelakaan, perilaku K3 yang baik
dan lain-lain.9,10 Preventif Ventilasi, baik lokal, maupun umum. Ventilasi umum antara lain dengan mengalirkan udara ke ruang kerja melalui pintu dan jendela, tapi cara ini biasanya mahal harganya. Cara ventilasi lokal, yang disebut pompa keluar setempat, biasanya biayanya tidak seberapa sedangkan manfaatnya besar dalam melindungi para pekerja.9 Silikosis dapat dicegah dengan memastikan kadar silika selalu di bawah ambang batas. Itu sebab, dust sampling (uji debu) perlu dilakukan berkala untuk 14
memantau kadar silika pada suatu area kerja. Jika ditemukan kadar diatas ambang batas, tindakan perbaikan mesti dilakukan.9 Tindakan pencegahan paling umum adalah dengan membasahi permukaan tanah dan bijih. Mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan debu (mis: belt conveyor) juga mesti diberi pelindung agar debu tidak tersebar. Sedang di tambang bawah tanah, ventilasi yang cukup merupakan persyaratan penting untuk mengurangi kadar debu.9 Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali dengan respirator (masker anti debu). Respirator dilengkapi dengan filter hingga mampu mencegah partikel debu terhirup ke dalam paru-paru.9 -
Pre-worker check-up Semua penambang harus menjalani pemeriksaan medis sebelum bekerja dan berkala dengan mengutamakan upaya untuk mendeteksi pre-existing lung
-
disease dan perkembangan pneumoconiosis. Penerangan sebelum bekerja Suatu penjelasan agar pekerja mengetahui dan mentaati peraturan dan undangundang yang berlaku serta tahu adanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja, sehingga dapat bekerja lebih hati-hati. Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya dapat menurunkan resiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja. Kebersihan perorangan dan pakaiannya merupakan hal yang penting. Terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia serta partikel lain.9
KOMPLIKASI Bila timbul komplikasi timbul : Infeksi Pyogenik Jamur Tuberkulosis Pada keadaan lanjut dapat timbul penyakit kolagen Skleroderna 15
Rhematoid artristis6,7,8
PROGNOSIS Prognosisnya jelek, terlebih lagi apabila terdapat infeksi tuberkulosis (diagnosis sukar dan tentunya berakibat pengobatan tidak tuntas). Usaha pencegahan penyakit dilakukan dengan menghindari paparan debu silika dan para pekerja sulit bekerja memakai masker basah.9
KESIMPULAN Laki-laki pekerja tambang berusia 45 tahun dengan keluhan batuk sejak setahun terakhir, menderita Pneumokoniosis.
DAFTAR PUSTAKA 1. Jeyaratnam J, Koh D.Buku ajar praktikum kedokteran kerja.EGC.2010;h 70-87 2. Gleadle J. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007. 3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid2 . Edisi IV. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas indonesia. Mei 2007;h 1025-6 4. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 9981005, 1045-9 5. Suma’mur,PK. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja. Sagung Seto. 2009;h 245-59 6. Levy B.S, Wegman D.H. Respiratory disorder. In: Occupational Health. 2000. Lippincott williams & wilkins publivations. 478-498 7. Mitchell, Kumar, Abbas & Fausto. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit Robbins & Cotran. Jakarta : EGC; 2009. H 253. 8. Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L. Pneumokoniosis. Dalam: Buku ajar patologi robbins edisi ke-7 volume 1. 2007. Penerbit buku kedokteran (EGC). 301-307 16
9. John R. Iktisar kesehatan dan keselamatan kerja. Edisi 3.Jakarta : Penerbit Erlangga. 20 juli 2006;h 253-6 10. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 9981005, 1045-9
17