II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Sawit
Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari inti/biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari biji disebut minyak inti sawit atau
palm kernel oil (PKO). Neraca massa pengolahan pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1. Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Tandan Kosong + Air 33,95 % Brondolan 66,05 % Nut 12,38 %
Kernel 5,7 %
PKO 2,45 %
Mesocarp 53,67 %
Cangkang 6,68 %
Cake 2,55 %
Olein 18,97 %
CPO 24,32 %
Air 20,37 %
Stearin 4,37 %
PFAD 0,98 %
Fiber 8,98 %
Gambar 1. Neraca massa pengolahan pengolahan kelapa sawit CPO diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai tandan buah segar. segar. Komponen asam lemak dominan pada CPO adalah asam palmitat dan oleat. Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian kernel buah kelapa sawit dengan cara pengepresan. Komponen asam lemak dominan penyusun PKO adalah asam laurat, miristat miristat dan oleat. Minyak inti sawit
8
(PKO) memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan minyak sawit (CPO). Minyak inti sawit memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi dengan titik leleh yang tinggi, sedangkan minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dengan kisaran antara titik leleh dengan titik lunak ( softening point) yang sangat jauh (O’Brien, 2000). Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada minyak sawit dapat dilakukan dengan menggunakan menggunakan proses fraksinasi. fraksinasi. Secara umum proses fraksinasi fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid
Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit Asam Lemak Laurat (C12:0) Miristat (C14:0 ) Palmitat (C16:0) Palmitoleat (C16:1) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1 ) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Arakhidat (C20:0 )
CPO
a)
< 1,2 0,5 – 5,9 32 – 59 < 0,6 1,5 – 8 27 – 52 5,0 – 14 < 1,5
PKO
b)
40 – 52 14 – 18 7–9 0,1 – 1 1–3 11 – 19 0,5 – 2
Jenis Bahan c) c) Olein Stearin 0,1 – 0,5 0,9 – 1,4 37,9 – 41,7 0,1 – 0,4 4,0 – 4,8 40,7 – 43,9 10,4 – 13,4 0,1 – 0,6 0,2 – 0,5
0,1 – 0,6 1,1 – 1,9 47,2 – 73,8 0,05 – 0,2 4,4 – 5,6 15,6 – 37,0 3,2 – 9,8 0,1 – 0,6 0,1 – 0,6
PFAD
d)
0,1 – 0,3 0,9 – 1,5 42,9 - 51,0 4,1 – 4,9 32,8-39,8 8,6-11,3
Sumber : a) Godin dan Spensley (1971) dalamSalunkhe et al. (1992). b) Swern (1979). c) Basiron (1996). d) Hui (1996).
2.2. Proses Transesterifikasi
Metil ester dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi trigliserida.
Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol
gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol atau etanol. Umumnya katalis yang digunakan digunakan adalah sodium metilat, NaOH atau KOH. Molekul TG pada dasarnya merupakan triester dari gliserol dan tiga asam lemak. Transformasi kimia lemak menjadi biodiesel melibatkan transesterifikasi spesies gliserida dengan alkohol membentuk alkil ester. Diantara alkohol yang mungkin digunakan, metanol lebih disukai karena berharga lebih murah (Lotero et al.,
9
2004; Meher et al., 2004).
Transesterifikasi merupakan suatu reaksi
kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi bergerak ke kanan agar dihasilkan metil ester maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang
dihasilkan
harus
dipisahkan.
Pada
Gambar
2
disajikan
reaksi
transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan metil ester (biodiesel).
O R 1
C
OCH2
HOCH2 O
O R 2
C
katalis
OCH
+ 3 CH3OH
HOCH
+ 3 R C
OCH3
O R 3
C
HOCH2
OCH2
trigliserida
metanol
gliserin
metil ester
Gambar 2. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol
Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung kondisi reaksinya (Meher el al., 2004). Faktor tersebut diantaranya adalah rasio molar
minyak
dengan
alkohol,
waktu
reaksi,
suhu,
jenis
katalis
dan
konsentrasinya, karakteristik trigliserida dan intensitas pencampuran, kandungan asam lemak bebas dan kadar air minyak, dan penggunaan cosolvent organik. Kualitas biodiesel dipengaruhi oleh kualitas bahan baku minyak ( feedstock), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan (Gerpen, 2004). Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak tersabunkan, air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, residu katalis (Gerpen, 1996). Reaksi transesterifikasi secara curah (batch) lebih sederhana, dan dapat mengkonversi minyak menjadi metil ester hingga 80 - 94% dalam waktu 30 – 120 menit. Reaktor esterifikasi secara kontinyu telah dikembangkan untuk mengurangi
10
ukuran reaktor dan waktu reaksi.
Noureddini et al. (1996) melaporkan
memperoleh hasil 98% dalam waktu 1 menit sampai 1 jam.
2.3. Surfaktan
Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphipatic atau amphiphilic yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama.
Berdasarkan kegunaannya, surfaktan diklasifikasikan
menjadi deterjen, bahan pembasah ( wetting agent), emulsifier, agen pendispersi, agen pembusa (frothing agent) (Swern, 1979). Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi misalnya oil in
water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan ( coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Klasifikasi surfaktan terbagi atas empat kelompok yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985). Menurut Hui (1996) dan Matheson (1996) surfaktan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar, yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik. Masing-masing kelompok surfaktan tersebut memiliki struktur kimia dan perilaku yang berbeda.
Surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian
hidrofiliknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Sebagaimana halnya surfaktan anionik, surfaktan kationik juga memecah dalam media cair, dengan bagian kepala (hidrofilik) pada surfaktan kationik adalah gugus kation yang bertindak sebagai pembawa sifat aktif permukaan. Surfaktan nonionik tidak memecah dalam cairan encer, daya larutnya disebabkan oleh gugus polar seperti poliglikol eter atau poliol.
Surfaktan amfoterik dalam media cair mengandung gugus positif dan
negatif pada molekul yang sama, sehingga rantai hidrofobik diikat oleh bagian hidrofilik yang mengandung gugus positif dan negatif.
Sehubungan dengan
11
aplikasi surfaktan pada industri, jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karakteristik surfaktan tersebut serta produk akhir yang diinginkan. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan oleh struktur
molekulnya
yang
tidak
seimbang.
Molekul
surfaktan
dapat
divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui, 1996; Hasenhuettl, 1997).
Aplikasi surfaktan pada
industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai bahan utama pada industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat, serta bahan emulsifier dan sanitasi pada industri pangan (Hui, 1996). Pemakaian terbesar surfaktan adalah untuk aplikasi pencucian dan pembersihan ( washing and cleaning applications. Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan terbesar dalam jumlah pemakaian adalah surfaktan anionik, dengan aplikasi terbesar untuk washing and
cleaning products. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu alkilbenzen sulfonat linear (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Hal yang sama tergambarkan dari aktivitas ekspor dan impor surfaktan Indonesia, dimana baik volume ekspor maupun impor surfaktan terbesar di Indonesia adalah surfaktan anionik. Pada Tabel 2 dan 3 disajikan data eskpor dan impor surfaktan Indonesia.
12
Tabel 2. Data ekspor surfaktan Indonesia tahun 2005 - 2009
Tahun 2009 2008 2007 2006 2005
Jenis Surfaktan Anionik Kationik Nonionik Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai (Kg) (USD) (Kg) (USD) (Kg) (USD) 31.695.464 39.452.807 132.993 154.972 6.032.206 8.632.236 29.042.000 46.769.566 63.820 79.762 4.380.840 7.981.815 34.051.157 40.184.851 219.881 184.373 3.323.118 5.631.458 26.201.796 29.154.490 266.974 286.964 2.323.129 3.654.845 21.053.245 23.617.016 135.618 168.596 1.320.519 1.851.079
Lainnya Volume Nilai (Kg) (USD) 6.107.254 6.314.511 6.875.800 7.334.971 5.992.161 5.443.039 4.190.190 3.754.886 4.241.430 3.507.145
Sumber : BPS (2010).
Tabel 3. Data impor surfaktan Indonesia tahun 2005 - 2009
Tahun 2009 2008 2007 2006 2005
Anionik Volume Nilai (Kg) (USD) 23.625.842 28.785.766 17.514.548 28.964.737 13.262.553 16.975.633 20.323.451 25.161.752 16.376.519 19.561.960
Jenis Surfaktan Kationik Nonionik Volume Nilai Volume Nilai (Kg) (USD) (Kg) (USD) 349.752 544.818 4.594.962 6.148.480 367.594 587.319 4.397.641 8.420.211 298.823 406.974 1.982.829 2.679.349 357.772 512.953 1.779.542 2.257.060 240.122 273.000 1.607.038 2.284.331
Lainnya Volume Nilai (Kg) (USD) 1.282.671 1.586.341 4.121.177 5.060.178 3.730.172 3.254.190 8.286.006 8.797.486 8.144.926 7.815.574
Sumber : BPS (2010).
2.4. Surfaktan MES
MES
merupakan
surfaktan
anionik
dengan
struktur
RCH(CO2Me)SO3 Na, sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
umum
Surfaktan ini
dihasilkan melalui proses sulfonasi metil ester asam lemak (RCH 2CO2Me) yang diperoleh dari minyak nabati dan lemak hewani seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, dan lemak sapi ( tallow) (Robert, 2001; Watkins, 2001).
Gambar 3. Struktur kimia metil ester sulfonat (Watkins, 2001)
Hingga saat ini adanya pengembangan teknologi sulfonasi memungkinkan MES menjadi bagian penting dalam formulasi deterjen. Pengembangan surfaktan MES makin meningkat dengan terjadinya peningkatan ketersediaan bahan baku
13
MES berupa ME C 16 sebagai komponen terbesar, yang dihasilkan sebagai by
product produksi biodiesel (Ahmad et al., 2007). Menurut Mazzanti (2008), beberapa pemain besar dalam industri deterjen telah mengadopsi MES, dengan pertimbangan bahwa : a. Peningkatan jumlah pabrik biodiesel di Asia Tenggara akan membuat ketersediaan fraksi ME C16 dalam jumlah besar di masa depan sebagai bahan baku untuk memproduksi MES dengan harga kompetitif makin meningkat, meskipun terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam dari minyak sawit. Hal ini mengingat bahan baku MES yang digunakan merupakan hasil samping dari pabrik biodiesel tersebut. b. Peningkatan harga minyak bumi yang terus terjadi merefleksikan peningkatan harga bahan baku berbasis minyak bumi (misalnya harga LAB), yang membuat penggunaan MES menjadi semakin menarik secara ekonomi. c. Perkembangan teknologi yang dicapai pada proses MES menjadi bentuk bubuk
yang sesuai untuk produk deterjen telah mendorong peningkatan
kualitas MES, keamanan proses produksi, dan pengurangan biaya proses produksinya. Untuk alasan ini, instalasi pabrik produksi MES telah dilakukan oleh Desmet Ballestra di Asia Tenggara dan Amerika Utara dengan kapasitas keseluruhan mencapai 150.000 ton/tahun MES kering. Pabrik ini mulai berproduksi skala industri pada akhir tahun 2008. Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi ( hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C 14, C16 dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi ( good
biodegradability).
Dibandingkan
petroleum
sulfonat,
surfaktan
MES
menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi yang lebih rendah
daya
deterjensinya
sama
dengan
petroleum
sulfonat,
dapat
mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam ( disalt) lebih rendah. Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik.
Apabila rantai hidrofobik terlalu
panjang, akan terjadi ketidakseimbangan dimana terlalu besarnya afinitas untuk
14
gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air, yang mengakibatkan keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan ( surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. MES dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C 10, C12 dan C14 biasa digunakan untuk light duty dishwashing detergent, sedangkan MES dari minyak nabati dengan atom karbon C 16-18 dan tallow biasa digunakan untuk deterjen bubuk dan deterjen cair ( liquid laundry detergent). Pada suhu di bawah suhu pencucian, MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14 (Watkins, 2001). Produksi MES skala pilot yang dilakukan oleh beberapa perusahaan menggunakan kualitas bahan baku yang beragam. Procter and Gamble (P&G) menggunakan ME C 12-14, Henkel dan Chengdu Nymph menggunakan ME C 16-18 dan Emery menggunakan methyl tallowate (MacArthur et al., 2002). Pada Tabel 4 disajikan perbandingan kualitas bahan baku metil ester yang digunakan untuk memproduksi MES. Surfaktan MES tersebut diproduksi oleh P&G, Henkel dan Chengdu dengan tujuan untuk diaplikasikan pada proses produksi deterjen.
2.5. Proses Sulfonasi
Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak ( fatty acid), ester, dan alkohol lemak ( fatty alcohol). Diistilahkan sebagai sulfonasi karena proses ini melibatkan penambahan gugus sulfat pada senyawa organik. Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun gugus hidroksil pada molekulnya.
Di industri, bahan baku minyak yang digunakan adalah minyak
berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini, 1983). Menurut Jungermann (1979), proses sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil, (2) bagian
-atom karbon, dan
α
(3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Gambar 4). Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak faktor yaitu karakteristik dan kualitas produk akhir yang
15
diinginkan, kapasitas produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), reaktan yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO 3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996).
Tabel 4. Perbandingan kualitas bahan baku metil ester untuk produksi MES Bahan Baku Metil Ester
BM Bilangan iod (mg I/g ME) Asam karboksilat (%) Bilangan tak tersabunkan (%) Bilangan asam (mg KOH/g ME) Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME) Kadar air (%) Komposisi asam lemak (%) : < C12 C12 C13 C14 C15 C16 C17 C18 >C18
218 1,0 0,074 0,05 0,15
281 3,9 0,25 0,27 0,5
ME b) C16-18 284 1,9 1,89 0,06 3,8
252
197
191
n/a
0,13
0,18
0,19
0,04
0,85 72,59 0,00 26,90 0,00 0,51 0,00 0,00 0,00
0,00 0,28 0,00 2,56 0,43 48,36 1,40 46,24 0,74
0,00 0,28 0,00 1,55 0,00 60,18 1,31 35,68 1,01
0,11 0,16 0,03 4,15 0,83 25,55 2,70 64,45 1,06
ME C12
a)
ME C16
b)
ME C22
280 1,3 n/a n/a 0,4
Ket. a) Procter and Gamble, b) Henkel dan Chengdu Nymph, c) Emery. Sumber : MacArthur et al. (2002).
Gambar 4. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979)
c)
16
Menurut Foster (1996), proses sulfonasi menggunakan SO 3 dilakukan dengan cara melarutkan SO3 dengan udara yang sangat kering dan direaksikan secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Sumber gas SO 3 yang digunakan dapat berbentuk SO 3 cair ataupun SO3 yang diproduksi dari hasil pembakaran sulfur. Reaksi gas SO 3 dengan bahan organik berlangsung cukup cepat. Biaya proses sulfonasi dengan SO3 paling rendah dibandingkan proses sulfonasi lainnya, menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, proses bersifat sinambung, dan sesuai untuk volume produksi yang besar. Menurut Foster (1996), kelebihan pemakaian SO 3 adalah SO3 mampu mensulfonasi beragam bahan baku dan menghasilkan produk dengan kualitas baik dibandingkan bila menggunakan jenis reaktan yang lain. Namun kendala yang dihadapi bila menggunakan SO 3 adalah sebagai berikut : (1) gas SO 3 hasil pembakaran SO2 umumnya memiliki konsentrasi 26 - 18 persen, sehingga harus dilarutkan dengan udara kering ke kisaran normal untuk proses sulfonasi yaitu antara 4 - 7 persen, (2) gas SO 3 memiliki dew point yang lebih tinggi (umumnya o
35 C) dibanding yang diperlukan pada instalasi sulfonasi (umumnya -60 hingga 80
o
C), sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas produk pada proses
sulfonasi, dan (3) biaya inisial peralatan yang mahal dan kompleks. Proses sulfonasi metil ester untuk menghasilkan MES lebih kompleks dibandingkan proses sulfonasi menggunakan bahan baku lainnya.
Teknologi
sulfonasi yang telah berkembang saat ini memungkinkan untuk dihasilkannya produk-produk hasil sulfonasi seperti linear alkylbenzene sulfonates (LAS),
primary alcohol sulfates (PAS), alcohol ethoxysulfates (AES), dan alpha olefin sulfonates (AOS) tanpa perlu dilakukan proses pemucatan ( bleaching) (Robert et al,, 1988). Namun hal tersebut tidak berlaku pada proses sulfonasi ME, karena (1) pada proses sulfonasi ME diperlukan secara signifikan rasio mol SO 3 yang lebih besar dibanding bahan baku ME, (2) diperlukan tahapan aging pada suhu tinggi, dan (3) dihasilkan produk dengan warna yang sangat gelap (nilai Klett lebih dari 1000) (Schwuger dan Lewandowski, 1995), sehingga untuk proses produksi MES yang diaplikasikan untuk deterjen harus dilengkapi dengan tahapan proses pemucatan warna (bleaching).
17
Menurut Robert et al. (2008), untuk memproduksi MES setidaknya terdapat tiga tahapan penting, yaitu (a) tahap kontak ME/SO 3, (b) tahap aging, dan (c) tahap netralisasi.
Pada tahap kontak ME/SO3, SO3 diabsorbsi oleh ME
membentuk produk antara. Rasio mol SO 3-ME tidak boleh lebih rendah dari 1,2 karena akan menyebabkan tidak tercapainya konversi penuh ME. Tahapan ini biasanya berlangsung cepat secara kontinyu pada reaktor falling film.
Proses
sulfonasi ME belum menghasilkan MES, namun produk antara Methyl Ester
Sulfonic Acid (MESA) (MacArthur et al., 2002) atau fatty acid methyl ester (α-SF) (Yamada dan Matsutani, 1996) yang bersifat asam. MESA merupakan surfaktan anionik, memiliki deterjensi tinggi, dan bersifat biodegradable (Yamada dan Matsutani, 1996). Pada tahap awal sulfonasi, sulfur trioksida diserap oleh metil ester dan secara cepat membentuk produk anhidrid intermediet di dalam keseimbangan yang mengaktifkan karbon alfa menuju reaksi sulfonasi untuk membentuk produk intermediet. Produk intermediet akan mengalami penyusunan kembali untuk melepaskan sulfur trioksida untuk membentuk asam sulfonat ester metil yang diinginkan (MESA). Sulfur trioksida yang dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk anhidrid intermediet membentuk produk intermediet. Produk intermediet kemudian akan dikonversi menjadi MESA (MacArthur et al., 2002).
Stoikiometri sulfonasi ME disajikan pada Gambar 5. Jika produk
intermediet tersebut dinetralisasi sebelum terkonversi sempurna menjadi MESA, maka banyak ME yang belum terkonversi, sehingga konversi ME menjadi produk sulfonat hanya berkisar 60-75%. Produk sulfonat yang telah dinetralisasi pada tahapan ini mengandung MES dalam jumlah kecil, sementara sebagian besar akan terdiri atas disalt (RCH(CO 2 Na)SO3 Na) bersama dengan sodium methyl sulfate (SMS, MeOSO3 Na), karenanya diperlukan proses aging. Tahap aging merupakan tahap dimana produk antara bereaksi, sehingga proses konversi ME menjadi produk sulfonat makin se mpurna. Tahap aging pada sulfonasi ME lebih sulit dibanding aging pada sulfonasi LAB, karena o
mensyaratkan suhu minimal 80 C. Waktu diam yang dibutuhkan selama proses
aging bergantung pada suhu, rasio mol SO 3/ME, target tingkat konversi yang ingin dicapai, dan karakteristik reaktor yang digunakan. Sebagai gambaran, proses sulfonasi menggunakan reaktor batch ataupun plug flow reactor (PFR), pada rasio
18
mol 1,2 untuk kondisi proses sulfonasi 45 menit pada suhu 90 oC ataupun pada o
kondisi proses sulfonasi 3,5 menit pada suhu 120 C akan memberikan tingkat konversi 98%. Sementara jika menggunakan continuously stirred tank reactor (CSTR) maka waktu aging harus digandakan. Tahap nentralisasi diperlukan, karena jika produk antara hasil reaksi bersifat asam tidak dinetralisasi akan menyebabkan kerusakan pada warna. Khususnya untuk C16 dan bahan baku ME dengan asam lemak lebih tinggi lainnya, dimana produk menjadi lebih kental dan bahkan memadat kecuali jika dipanaskan.
Untuk mengurangi warna gelap
tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan H 2O2 atau larutan metanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH). Setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated
pasta, solid flake, atau granula (Watkins, 2001).
Gambar 5. Stoikiometri sulfonasi ME (Robert et al., 2008)
Proses netralisasi pada skala komersial ataupun pilot biasanya dilakukan secara kontinyu pada reaktor berbentuk loop. Hal ini penting untuk mencegah pH ekstrem pada proses netralisasi, sehingga hidrolisis MES menjadi disalt dapat dihindari.
Produk
sulfonasi
mengandung
campuran
MES
dan
disalt
(RCH(CO2 Na)SO3 Na) dengan komposisi sekitar 80:20. Sodium metil sulfat
19
(MeOSO3 Na) juga terdapat pada jumlah yang ekivalen dengan molar disalt. Menurut Gupta dan Wiese (1992) dalam reaktor sulfonasi, nisbah mol SO 3 dan alkil dikontrol antara 1,03 : 1 hingga 1,06 : 1 agar dicapai tingkat konversi yang optimum tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi samping ataupun degradasi warna.
o
o
Suhu reaktor dikontrol antara 110 - 150 F (43 - 65 C).
Sebelum proses sulfonasi dilakukan, terlebih dahulu gas SO 3 dicampur dengan udara kering hingga konsentrasinya menjadi 4 - 8 persen. Proses netralisasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut KOH, NH 4OH, NaOH, atau alkanolamin. Menurut Moreno et al. (2003) selama proses sulfonasi berlangsung produk lain seperti anhidrid dan sulfon juga terbentuk. Sekitar 25% sulfon dan 75% LAB yang tidak bereaksi dengan gas SO 3 dapat dihilangkan selama proses aging dan dikonversi menjadi bahan aktif.
Anhidrid dapat dihilangkan melalui proses
hidrolisis, akan tetapi sulfon yang terbentuk s elama proses sulit untuk dipisahkan. Karena tingginya kadar warna produk yang dihasilkan (warna gelap), maka tahapan bleaching perlu dilakukan jika produk akan digunakan untuk deterjen laundry ataupun untuk consumer products lainnya.
Tahap bleaching
umumnya menggunakan hidrogen peroksida sebagai bahan pemucat, yang dapat memberikan hasil yang baik meski digunakan sebelum ataupun setelah netralisasi.
Bleaching dilakukan setelah tahap re-esterifikasi ataupun secara simultan dengan re-esterifikasi dengan menambahkan metanol pada waktu yang sama. Hidrogen peroksida umumnya digunakan sebagai larutan 35 atau 50% ditambahkan pada konsentrasi 2-3%, Keberadaan air pada tahapan ini menyebabkan kecenderungan terhidrolisisnya MESA, sehingga memicu peningkatan terbentuknya disalt setelah netralisasi.
Residu
metanol
dari
re-esterifikasi,
ataupun
metanol
yang
ditambahkan pada tahap bleaching dapat menekan laju hidrolisis dan juga mengurangi viskositas dari campuran reaksi. Tanpa penambahan metanol, disalt yang terbentuk akan semakin banyak sehingga dapat mengganggu jika nantinya akan diaplikasikan. Tergantung pada spesifikasi yang disyaratkan, tahapan reesterifikasi dilakukan untuk mengkonversi prekursor disalt menjadi prekursor MES.
Tahapan ini meliputi penanganan campuran reaksi yang bersifat asam
dengan metanol sebelum dinetralisasi, dan tahapan ini dapat mereduksi kandungan disalt dari produk hasil netralisasi (Robert et al., 2008).
20
Baker (1995) telah memperoleh paten proses pembuatan sulfonated fatty
acid alkyl ester dengan tingkat kemurnian yang tinggi.
Bahan baku yang
digunakan berasal dari asam lemak minyak nabati komersial. Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO 3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO 3 dan alkil ester yaitu 1,1 : 1 hingga 1,4 : 1 o
pada suhu proses antara 75 - 95 C dan lama reaksi antara 20 - 90 menit, dan dilanjutkan dengan netralisasi berulang untuk mereduksi bahan pengotor dalam jumlah sedikit (termasuk disalt dan dimethyl sulfate (DMS)). Menurut Sheats dan MacArthur (2002), penelitian mengenai produksi MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon Corporation. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap proses sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan gas SO 3 ke reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap aging (pencampuran di digester), tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan. Bahan baku yang digunakan yaitu metil ester dari minyak kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai dan tallow. Bahan baku metil ester dimasukkan ke reaktor pada o
suhu 40 - 56 C, rasio mol reaktan SO3 dan metil ester sekitar 1,2 - 1,3 dan o
konsentrasi gas SO3 7 persen dan suhu gas SO 3 sekitar 42 C.
MES segera
o
ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu 85 C, dengan lama proses 0,7 jam (42 menit). Untuk pemurnian digunakan metanol sekitar 31 - 40 persen (b/b, MES basis) dan H 2O2 50 persen sekitar 1 - 4 persen (b/b, MES basis) pada suhu o
95 - 100 C
selama 1 - 1,5 jam.
Metanol berfungsi
untuk mengurangi
pembentukan disalt, mengurangi viskositas, dan mampu meningkatkan transfer panas pada proses pemucatan. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan
bleached MES dengan pelarut NaOH 50 persen pada suhu 55 oC. Selanjutnya o
produk MES hasil pemurnian dikeringkan pada suhu 145 C dan tekanan 120 200 Torr agar diperoleh produk berupa pasta, powder atau flakes.
Produk MES
yang dihasilkan melalui tahapan ini sesuai untuk kebutuhan industri deterjen yang memerlukan surfaktan MES dengan warna pucat. Proses pemurnian palm C16-18 kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti oleh Sherry et al. (1995) dilakukan tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan
21
mencampurkan ester sulfonat dengan 10-15 persen metanol di dalam digester, dan dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan 50 persen K OH.
2.6. Enhanced Oil Recovery (EOR)
Minyak mentah (petroleum) adalah campuran yang kompleks, terutama terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen yang mengandung sulfur, oksigen dan nitrogen serta komponen yang mengandung logam dalam jumlah sangat kecil. Menurut Said (1998), senyawa hidrokarbon dapat digolongkan dalam empat jenis, yaitu (a) golongan paraffin (hidrokarbon jenuh), (b) golongan hidrokarbon tak jenuh, (c) golongan naphtena, dan (d) golongan aromatik. Golongan paraffin memiliki ikatan atom C yang tunggal, sehingga membentuk rumus bangun yang mempunyai rantai terbuka, berupa gas, cair ataupun zat padat tergantung dari jumlah atom C dalam satu molekul, dan jika berada dalam ruangan yang mengandung udara atau oksigen dan diberi kalor akan terbakar. Hidrokarbon tak jenuh adalah hidrokarbon yang mempunyai ikatan rangkap ataupun ikatan tiga yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang berdekatan. Golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga deretan, yaitu deretan olefin, diolefin dan asitilen. Ikatannya sangat reaktif, sehingga jarang terdapat dalam minyak mentah yang terbentuk di alam, tetapi dapat terbentuk dalam jumlah besar pada proses cracking dari minyak mentah.
Golongan naphtena
termasuk dalam hidrokarbon jenuh tetapi rantai karbonnya merupakan rantai tertutup, bersifat stabil dan hampir sama dengan paraffin. Golongan aromatik terdiri dari benzene dan turunannya, bersifat tidak reaktif dan tidak sestabil golongan paraffin. Pada suhu dan tekanan standar hidrokarbon aromatik berada dalam bentuk cair atau padat. Batuan reservoir merupakan batuan berpori dimana dalam pori-pori batuan tersebut terdapat akumulasi fluida reservoir seperti minyak, air dan gas. Sekitar 60 % dari reservoir terdiri atas batu pasir dan 30 % terdiri atas batu gamping dan sisanya batuan lain.
Secara umum sifat yang dimiliki batuan
reservoir adalah yang berhubungan dengan sifat statik (porositas dan saturasi) dan dinamik (permeabilitas). Menurut Lake (1989), porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume ruang yang kosong (pori-pori) terhadap volume total
22
(bulk volume) dari suatu batuan. Ruang kosong tersebut dapat merupakan pori pori yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi dapat pula merupakan ronggarongga yang saling terpisah atau tersekat. persen.
Porositas memiliki satuan dalam
Klasifikasi porositas reservoir disajikan pada Tabel 5.
Permeabilitas
adalah ukuran kemampuan suatu batuan berpori untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas berpengaruh terhadap besarnya kemampuan produksi (laju alir) pada sumur-sumur penghasilnya. Besaran permeabilitas sangat bergantung dari hubungan antara pori dalam batuan dengan satuan Darcy atau miliDarcy (mD), namun harga permeabilitas tidak ada hubungan langsung dengan porositasnya. Klasifikasi permeabilitas beberapa reservoir disajikan pada Tabel 6.
Tabel 5. Klasifikasi porositas reservoir Porositas (%) 0–5 5 – 10 10 – 15 15 – 20 20 – 25
Keterangan Porositas jelek sekali Porositas jelek Porositas sedang Porositas baik Porositas baik sekali
Sumber : Koesoemadinata (1978).
Tabel 6. Klasifikasi permeabilitas reservoir Permeabilitas (mD) <5 5 – 10 10 - 100 100 – 1000 > 1000
Keterangan Ketat (tight) Cukup ( fair) Baik ( good) Baik sekali
Very good
Sumber : Koesoemadinata (1978).
Operasi perolehan minyak secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery. Pada primary
recovery, perolehan minyak diperoleh dengan menggunakan tenaga dorong alamiah yang diberikan oleh reservoir itu sendiri.
Secondary dan tertiary
recovery dilakukan setelah tahap primary recovery mengalami penurunan produksi.
Teknologi ataupun metoda yang digunakan untuk meningkatkan
recovery minyak bumi disebut sebagai improved oil recovery (IOR). Salah satu
23
teknik IOR yang melibatkan penginjeksian material untuk meningkatkan recovery minyak bumi disebut sebagai enhanced oil recovery (EOR), yang biasanya menggunakan injeksi gas tercampur, bahan kimia ( chemical) ataupun thermal
energy untuk mengubah karakteristik dari suatu reservoir agar minyak yang diperoleh lebih besar dibandingkan pada tahap sebelumnya (Lake, 1989). Peningkatan
perolehan
minyak
merupakan
suatu
teknologi
yang
memerlukan biaya dan memiliki resiko yang tinggi. Untuk itu sebelum metode EOR diterapkan di lapangan maka harus dikaji baik secara teknik maupun ekonomi. Menurut Lake (1989), untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam penerapan metode EOR biasanya melalui tiga tahapan penyaringan berikut : (a) Memilih metode EOR yang tepat, yaitu dengan cara membandingkan karakteristik
reservoir dengan kriteria penyaringan atau screening criteria yang telah dibuat berdasarkan pengalaman di lapangan dan di laboratorium, (b) Evaluasi reservoir dengan model sederhana yang menjelaskan proses utama dilengkapi dengan perkiraan perolehan minyak dan biaya yang dibutuhkan, dan (c) Evaluasi secara terperinci melalui simulasi reservoir dan percobaan di laboratorium pada contoh batuan reservoir. Pada Tabel 7 disajikan klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan.
Pada Tabel 8 disajikan klasifikasi metode EOR
berdasarkan jenis fluida yang diinjeksikan.
Tabel 7. Klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan
Current Enhanced Recovery Methods Solvent Extraction and/or Miscible TypeProcesses Nitrogen and flue gas Hydrocarbon-miscible methods CO2 flooding “Solvent” extraction of mined, oil bearing core IFT Reduction Processes Miscellar/polymer flooding (included in miscible type flooding above) ASP flooding Viscosity Reduction or Viscosity Increase and (or driving fluid) Processes Plus Pressure Steamflooding Fire flooding Polymer flooding Enhanced gravity drainage by gas or steam injection Sumber : Taber et al. (1997).
24
Tabel 8. Klasifikasi metode EOR berdasarkan fluida injeksi
Current and past EOR Methods Gas and Hydrocarbon Solvent Methods “Inert” gas injection Nitrogen injection Flue-gas injection Hydrocarbon-gas (and liquid) injection High-pressure gas drive Enriched-gas drive Miscible solvent (LPG or propane) flooding Improved Water F looding Methods Alcohol-miscible solvent flooding Micellar/polymer (surfactant) flooding Alkaline flooding ASP flooding Polymer flooding Gels or water shut off Microbial injection Thermal Methods In-situ combustion Standard forward combustion Wet combustion O2-enriched combustion Reverse combustion Steam and hot water injection Hot-water flooding Steamstimulation Steamflooding Surface mining and extraction Sumber : Taber et al. (1997).
Dalam kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi, selain minyak yang diproduksikan terdapat pula gas, baik yang terperangkap secara terpisah dari minyak maupun gas yang larut di dalam minyak. Selain itu diproduksikan juga air yang dikenal sebagai air formasi atau brine.
Air formasi adalah air yang
terkumpul bersama minyak dan gas di dalam lapisan reservoir, terletak pada kedalaman lebih dari 1000 meter dan terletak di bawah zona minyak. Pada awal produksi dari reservoir minyak, volume air formasi yang ikut terproduksi hanya sedikit dibanding dengan volume minyak yang diperoleh. Akan tetapi bertambahnya waktu produksi menyebabkan volume minyak di dalam
reservoir tersebut semakin rendah dan volume air formasi menjadi dominan dibanding jumlah minyak itu sendiri. Kondisi ini diikuti pula oleh penurunan
25
tekanan reservoir sehingga produksi minyak pada sumur tersebut perlu dibantu dengan teknologi secondary recovery ataupun tertiary recovery.
Senyawa
penyusun utama air formasi terdiri dari kation dan anion seperti kalsium, magnesium, besi, barium, natrium, klorida, karbonat dan bikarbonat, serta sulfat. Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merekoveri minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain. Metode EOR telah umum diterapkan di negara lain, namun penerapan di Indonesia masih terkendala karena ketidaksesuaian antara air formasi dan batuan formasi dari sumur minyak di Indonesia dengan surfaktan komersial yang berbasis minyak bumi yang bila digunakan menyebabkan terjadinya penggumpalan dan menimbulkan gangguan pada sumur produksi. Hal ini menjadi peluang untuk dikembangkan jenis surfaktan berbasis sawit yang sesuai untuk sumur minyak bumi di Indonesia.
2.7. Kegunaan Surfaktan dalam Proses EOR
Surfaktan memegang peranan penting di dalam proses Enhanced Oil
Recovery (EOR) dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, mengubah kebasahan (wettability), bersifat sebagai emulsifier, menurunkan viskositas dan menstabilkan dispersi sehingga akan memudahkan proses pengaliran minyak bumi dari reservoir untuk di produksi. Minyak yang terjebak di dalam pori-pori batuan disebut blobs atau ganglia.
Untuk mendorong ganglia maka gaya
kapilaritas dalam pori-pori harus diturunkan yakni dengan cara menurunkan nilai IFT antara minyak sisa dengan brine di dalam reservoir.
Surfaktan mampu
menurunkan IFT dan menurunkan saturasi minyak. Surfaktan yang berada di dalam slug harus dibuat agar membentuk micelle yaitu surfaktan yang aktif dan mampu mengikat air dan minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya masih kecil, maka campuran surfaktan tersebut masih berupa monomer (belum aktif). Untuk itu setiap slug perlu diketahui critical micelles concentration (CMC) yaitu konsentrasi tertentu, sehingga surfaktan yang semula monomer berubah
26
menjadi micelles. Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk menghasilkan perolehan ( recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT -3
yang sangat rendah (minimal 10 dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil dan antara chemical bank dan drive fluid, (b) memiliki kecocokan/kompatibiliti dengan air formasi dan kestabilan terhadap temperatur, (c) memiliki mobility
control dan (d) kelayakan ekonomis proses (Pithapurwala et al., 1986). Proses injeksi surfaktan perlu memperhatikan besar bilangan kapiler terhadap penurunan saturasi minyak tersisa (Sor).
Biasanya reservoir yang
diinjeksi surfaktan memiliki harga saturasi minyak tersisa di bawah 45% dengan harga bilangan kapiler berkisar 10 optimal.
-4
-2
– 10 , sehingga pendesakan surfaktan dapat
Semakin rendah saturasi minyak tersisa pada suatu reservoir, maka
semakin besar bilangan kapiler yang dibutuhkan agar pendesakan surfaktan optimal (Lake, 1989). Untuk memperbesar bilangan kapiler diperlukan tegangan antarmuka yang rendah, dengan pendekatan rumus Nc = µv/ σ, dimana Nca adalah bilangan kapiler, µ adalah viskositas fluida pendesak (cP), v adalah laju injeksi fluida pendesak, dan
σ
adalah tegangan antarmuka (dyne/cm). Penurunan nilai
tegangan antarmuka dapat dilakukan dengan menambahkan surfaktan. Surfaktan yang baik adalah mampu menurunkan nilai tegangan antarmuka hingga ultra low IFT yaitu lebih rendah dari 10
-2
dyne/cm, karena pada kondisi tersebut maka
capillary number (Nc) akan semakin tinggi sehingga recovery factor (RF) juga akan makin meningkat.
Grafik hubungan bilangan kapiler terhadap saturasi
minyak tersisa (Sor) disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan bilangan kapiler terhadap Sor (Stegemeier, 1977)
27
Menurut Syahrial (2008), proses screening surfaktan di laboratorium perlu dilakukan sebelum aplikasi surfaktan dilakukan di lapangan, dengan tujuan untuk mencari surfaktan yang memiliki kinerja sesuai untuk aplikasi di reservoir yang diujikan. Beberapa parameter yang diuji pada tahapan proses screening surfaktan meliputi uji tegangan antarmuka ( interfacial tension, IFT), kompatibilitas (compatibility), kelakuan fasa ( phase behavior), ketahanan panas ( thermal
stability), laju alir filtrasi ( filtration flow test), dan adsorpsi. IFT merupakan parameter terpenting untuk chemical EOR ((Nedjhioui et al., 2005).
Uji
kompatibilitas dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan antara larutan surfaktan dengan air formasi dari reservoir yang diujikan. Uji dilakukan dengan mencampurkan larutan surfaktan pada air formasi pada perbandingan tertentu kemudian dipanaskan pada suhu reservoar selama waktu tertentu. Makin kompatibel larutan surfaktan yang diujikan maka surfaktan makin efektif dalam menurunkan tegangan antarmuka. Kelakuan fasa menunjukkan pola kesetimbangan fasa dalam menentukan konsentrasi dan formula sistem surfaktan/air/minyak, yang diidentifikasi menggunakan ternary diagram.
Kemungkinan yang dapat terjadi adalah
terbentuk fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Purnomo dan Makmur (2009), sebelum dilakukan peningkatan perolehan minyak (EOR) secara metode injeksi, sangat penting terlebih dahulu dilakukan uji kelakuan fasa dari campuran minyak-surfaktan-cosurfaktan-air. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fasa dari fasa bawah ke fasa tengah dan kemudian ke fasa atas dalam sistem minyak/surfaktan/co-surfaktan/air injeksi adalah sebagai berikut : meningkatnya salinitas, berkurangnya panjang rantai hidrokarbon (minyak), meningkatnya konsentrasi alkohol (C 4, C5, C6), turunnya suhu, bertambahnya konsentrasi surfaktan,
meningkatnya
perbandingan
brine/minyak,
dan
meningkatnya
perbandingan larutan surfaktan/minyak. Surfaktan yang diinginkan untuk injeksi adalah memiliki fasa bawah atau fasa tengah. Menurut Healy dan Reed (1974), konsentrasi NaCl sangat berpengaruh terhadap tegangan antarmuka, sebagai berikut : (a) pada konsentrasi NaCl yang rendah akan membentuk fasa bawah dimana mikroemulsi cenderung berbaur dengan air formasi. Surfaktan/brine/oil membentuk dua fasa, dengan kelarutan air
28
formasi dan minyak adalah Vw/Vs > Vo/Vs, dan disebut type II-, (b) Fasa tengah merupakan fasa yang ideal dimana dalam fasa ini akan memberikan nilai tegangan antarmuka yang paling rendah, dengan surfaktan/brine/oil membentuk tiga fasa yaitu mikroemulsi, air formasi dan minyak. Pada kondisi ini kelarutan air formasi dan minyak adalah Vw/Vs = Vo/Vs, dan disebut type III, dan (c) pada konsentrasi NaCl yang tinggi membentuk fasa atas dimana mikroemulsi cenderung berbaur dengan minyak. Surfaktan/brine/oil membentuk dua fasa dengan kelarutan air formasi dan minyak adalah Vw/Vs < Vo/Vs, dan disebut type II+. Peningkatan konsentrasi NaCl dapat menurunkan tegangan antarmuka mikroemulsi-minyak, sementara tegangan antarmuka mikroemulsi-air akan naik. Pada kondisi salinitas optimum akan diperoleh nilai tegangan antarmuka yang paling rendah. Perubahan kelakuan fasa dengan terjadinya perubahan salinitas disajikan pada G ambar 7.
Salinitas rendah
Salinitas sedang
Salinitas tinggi
Gambar 7. Perubahan kelakuan fasa akibat perubahan salinitas (Sheng, 2011) Uji ketahanan panas dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas (suhu
reservoir) terhadap kinerja surfaktan.
Pengujian ketahanan panas simultan
dengan uji tegangan antarmuka, dimana diharapkan hingga pemanasan selama periode waktu tertentu nilai IFT larutan surfaktan tetap stabil atau menurun dan tidak
mengalami
peningkatan.
Uji
filtrasi
bertujuan
untuk
menentukan
kemungkinan presipitasi oleh larutan surfaktan yang dikhawatirkan dapat
29
menyumbat pori-pori reservoir. Uji adsorpsi dilakukan untuk menentukan jumlah surfaktan yang hilang selama larutan surfaktan dialirkan ke batuan core. Surfaktan yang umum dipakai dalam proses EOR adalah sodium sulfonat yang ionik bermuatan negatif. Larutan surfaktan yang biasa digunakan di lapangan untuk pendesakan minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen surfaktan, air, minyak dan alkohol sebagai co-surfaktan. Perawatan sumur dengan surfaktan biasanya kombinasi dari surfaktan anionik dan nonionik. Surfaktan anionik dan kationik seharusnya
tidak
menghasilkan
digunakan
endapan.
bersama
Surfaktan
sebab dapat
kombinasi
terserap
oleh
keduanya padatan
dapat untuk
menggantikan surfaktan yang terserap sebelumnya, dan memberikan padatan sifat kebasahan.
Surfaktan nonionik lebih serba guna dari semua surfaktan yang
digunakan pada stimulasi sumur sebab molekulnya yang tidak terionisasi atau tidak terurai. Umumnya surfaktan nonionik adalah ethylene oxide atau campuran
propylene oxide. Karena larut dalam air, nonionik berhubungan dengan ikatan hidrogen atau air pengikat oksigen. konsentrasi garam.
Pengikat ini menurunkan temperatur dan
Molekul surfaktan amfoter mengandung asam dan basa.
Dalam pH asam, bagian molekul basa terionisasi dan memberikan aktivitas permukaan untuk molekul. Pada pH basa, bagian molekul asam dinetralkan dan biasanya kurang mempunyai aktivitas permukaan daripada pH basa. Surfaktan amfoter memiliki kegunaan yang terbatas tetapi dapat digunakan sebagai
corrosion inhibitor (Lake, 1989). Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas surfaktan adalah sebagai berikut (Lake, 1989) : 1. Adsorpsi
Adsorpsi surfaktan pada batuan reservoir merupakan parameter yang harus dipertimbangkan dalam injeksi surfaktan. Hal ini merupakan masalah yang serius yang akan mengakibatkan berkurangnya slug surfaktan pada saat injeksi surfaktan berlangsung. Penyerapan surfaktan pada batuan reservoir sangat tinggi bila berat ekivalen surfaktan tinggi.
Sebaliknya, bila berat
ekivalen surfaktan rendah, penyerapan surfaktan pada batuan reservoir akan rendah juga.
Hal ini yang menyebabkan terjadinya pemisahan surfaktan
30
karena semakin jauh dari titik injeksi maka berat ekivalen surfaktan akan semakin kecil dan fungsi zat aktif permukaan akan semakin berkurang. Berat ekivalen surfaktan yang tinggi sangat mempengaruhi penurunan dari tegangan antarmuka sehingga penurunan berat ekivalen surfaktan secara bertahap akan menurunkan kemampuan slug surfaktan untuk mendorong minyak yang tersisa di batuan reservoir.
2. Konsentrasi Slug Surfaktan
Konsentrasi slug surfaktan mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya adsorpsi oleh batuan reservoir pada operasi pendesakan surfaktan. Agar batuan reservoir tidak dapat lagi mengadsorpsi surfaktan maka adsorpsi surfaktan harus diperbesar dengan cara meningkatkan konsentrasi surfaktan. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan, adsorpsi yang terjadi akan semakin besar dan penurunan tegangan antarmuka minyak-air terus berlangsung sampai batuan reservoir mencapai titik jenuh. Surfaktan dengan konsentrasi tinggi dapat lebih cepat meningkatkan perolehan minyak dibandingkan dengan surfaktan dengan konsentrasi rendah.
3. Kandungan Lempung
Mineral lempung adalah mineral yang sangat suka dengan air (hidrofilik), namun mineral ini tidak mempunyai kemampuan untuk mengalirkan air yang diserapnya, atau dapat dikatakan bahwa mineral lempung mempunyai permeabilitas yang sangat kecil. Pada injeksi surfaktan, kandungan mineral lempung dalam reservoir harus diperhatikan. Karena sifatnya yang suka dengan air maka mineral lempung dapat menyerap atau mengadsorpsi surfaktan besar sekali, sehingga dapat menyebabkan penurunan perolehan minyak. Untuk reservoir yang mempunyai salinitas rendah, maka pengaruh lempung ini sangat dominan.
4. Salinitas Air Formasi
Salinitas air formasi juga berpengaruh terhadap penurunan tegangan antarmuka minyak-air oleh surfaktan.
Untuk konsentrasi garam tertentu,
31
seperti NaCl akan menyebabkan penurunan tegangan antarmuka minyak-air sehingga tidak efektif lagi.
Hal ini disebabkan oleh ikatan kimia yang +
membentuk NaCl adalah ikatan ion yang mudah terurai menjadi ion Na dan -
Cl begitu juga dengan molekul-molekul surfaktan di dalam air akan mudah -
+
terurai menjadi ion RSO 3 dan H . Alkali merupakan salah satu chemical penting dalam proses EOR, khususnya untuk aplikasi alkaline flooding, yang ditambahkan ke air pada proses water flooding untuk memisahkan minyak dari pori-pori batuan reservoir dan memobilisasi globula yang terperangkap dalam pori-pori. Jenis dan konsentrasi yang digunakan bermacam-macam, seperti KOH, NaOH 0 - 1,6 % (w/w) (Nedjhioui et al., 2005), dan Na 2CO3 0 - 0,6 % (Carrero et al., 2006). Kandungan minyak awal merupakan indikator kuantitas yang baik dari
reservoir untuk menentukan kandungan sisa minyak. Untuk implementasi di lapangan, kandungan minyak awal tidak boleh kurang dari 20% PV sampai 30% PV.
Adapun kondisi yang kurang baik untuk dilakukannya injeksi
surfaktan yaitu pada kondisi reservoir yang sangat heterogen, reservoir yang berlapis-lapis, adanya mineral lempung montmorillonite, terdapat patahan atau rekahan, permeabilitas dan porositas yang kecil, adanya ion bervalensi dua dengan konsentrasi yang tinggi dan reservoir yang terlalu dalam. Bansal dan Shah (1978) telah meneliti pengaruh pemanfaatan surfaktan ethoxylated
sulfonate sebagai co-surfaktan dan alkohol sebagai pelarut terhadap toleransi garam dan salinitas optimal dari formulasi surfaktan petroleum sulfonat untuk EOR.
Pada salinitas optimal dengan penambahan NaCl sebesar 32%,
formulasi surfaktan yang dihasilkan memberikan kisaran nilai IFT sangat rendah (ultra-low interfacial tension) berkisar 10-2 - 10-3 dyne/cm. Untuk stimulasi sumur minyak bumi telah dimanfaatkan surfaktan fosfat ester dengan nomor US Patent 4541483. Fosfat ester atau Alkyland
aralkyl polyoxyalkylene phosphate dapat diinjeksikan ke sumur minyak bumi baik sebagai pelarut yang bersifat dapat larut pada air ( water soluble) maupun minyak (oil soluble), dan dikenal sebagai surfaktan untuk aplikasi water-flood
secondary recovery processes. Meskipun hingga saat ini surfaktan MES yang ada peruntukannya masih terbatas pada formulasi produk deterjen dan bahan
32
pembersih, namun peluang untuk memanfaatkan surfaktan MES pada aplikasi EOR cukup besar melihat dari hasil penelitian Hambali et al. (2008) dan Hambali et al. (2009). Hambali et al. (2008) telah mengembangkan formula
oil well stimulation agent dengan menggunakan surfaktan MES yang terbuat dari metil ester C12 dari PKO dengan menggunakan reaktan NaHSO 3. Formula tersebut terdiri atas 70% MES (bahan dasar minyak sawit), 20% pelarut, 7% surfaktan nonionik dan 3% co-solvent.
Hasil pengujian pada konsentrasi
stimulation agent 0,5% dan 1% dengan tingkat salinitas 10.000, 20.000 dan -3
30.000 ppm, menunjukkan bahwa IFT minyak-air mencapai 10 dyne/cm. Total recovery minyak bumi menggunakan core standar (core sintetik) pada skala laboratorium memperlihatkan bahwa pada konsentrasi stimulation agent 0,5% berkisar 88 - 94%. Hambali et al. (2009) memanfaatkan surfaktan MES untuk aplikasi huff and puff pada batuan pasir skala laboratorium, dimana diperoleh formula dengan tegangan antarmuka berkisar 10 pada salinitas optimal 10.000 ppm.
-2
- 10
-3
dyne/cm