10
PENGGUNAAN HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DALAM RANGKA KETERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Oleh
Wafia Silvi Dhesinta
14/371954/PHK/8259
Pendahuluan
Pembangunan negara ini ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan yang diarahkan pada pentingnya manusia dan nilai-nilai kemanusiaan merupakan prasyarat yang tidak dapat ditawar-tawar. Pemerintah Indonesia telah menetaapkan bahwa strategi pembangunan ditekankan kepada perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia agar terwujud pemerataan pendapatan sekaligus untuk mencapai tingkat pertumbuhan sosial ekonomi yang memadai. Salah satu sektor yang penting dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera adalah pembangunan sektor informal.
Sektor informal merupakan pekerjaan alternatif yang dipilih oleh kaum migran di perkotaan demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pada umumnya merupakan jenis pekerjaan yang padat karya. Dalam artian bahwa tidak diperlukan adanya pendidikan tinggi ataupun ketrampilan khusus dan modal yang besar, karena tidak adanya kepastian hasil yang diperoleh serta pendapatan yang relatif kecil. Sektor informal, khususnya di perkotaan memang berperan besar dalam sistem kegiatan ekonomi, namun sektor informal terhadap Gross National Product (GNP) dan pertumbuhan ekonomi relatif kecil. Di samping itu, berkembangnya sektor informal di perkotaan telah mendorong berjamurnya pemukiman kumuh, kesulitan perencanaan tata ruang kota dan wilayah serta peningkatan urbanisasi yang dibarengi dengan berbagai permasalahannya. Pengembangan sektor modern, dalam hal ini industrialisasi walaupun benar dapat memberikan kontribusi yang siginifikan terhadap GNP, namun tidak secara mudah dan praktis memapu menciptakan lapangan kerja dan pengentasa kemiskinan di perkotaan. Efek buruknya adalah tidak meratanya perkembangan sektor modern dan industrialisasi di Indonesia mengakibatkan banyak penganggur di sektor formal yang mencari pekerjaan di sektor informal.
Pedagang Kali Lima merupakan salah satu pelaku sektor informal yang diperlakukan pemerintah secara tidak seimbang. Cukup banyak pemerintah daerah yang tidak mengakui PKL sebagai salah satu pelaku sektor ekonomi yang mendukung kinerja ekonomi daerah. Hal ini dibuktikan dari masih banyaknya PKL liar yang tidak didaftar atau dilegalisasi oleh Pemerintah. PKL dipandang sebagai salah satu problem yang tidak pernah absen bagi pemerintah daerah khususnya di perkotaan. Anggapan bahwa PKL sebagai pengganggu ketertiban, keindahan dan kebersihan kota menyebabkan perilaku aparat pemerintah menjadi tidak ramah, memusuhi PKL, bahkan tidak jarang melakukan tindakan represif, brutal dan mengorbankan PKL.
Contoh yang paling dekat yang masih hangat adalah bagaimana Pemerintah DKI Jakarta menertibakan PKL di sekitar kawasan Monumen Nasional (Monas). Plt. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama telah mengeluarkan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang salah satunya mengatur mengenai PKL. Di kawasan Monas sendiri, PKL sudah disiapkan tempat tersendiri untuk melakukan kegiatan perekonomiannya yakni di lapangan IRTI. Namun hal tersebut tetap saja tidak diindahkan oleh PKL, mereka tetap berjualan di tempat-tempat yang tidak seharusnya sehingga menganggu kenyamanan dan keindahan kawasan wisata Monas. Pasal 25 ayat (1) Perda DKI Jakarta menyebutkan bahwa Gubernur menunjuk/menetapkan bagian-bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat kepentingan umum lainnya sebagai tempat usaha pedagang kaki lima. Pasal tersebut ditegaskan lagi melalui Pasal 26 yang berbunyi
"setiap pedagang kaki lima yang menggunakan tempat berdagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus bertanggungjawab terhadap ketertiban, kebersihan, dan menjaga kesehatan lingkungan serta keindahan di sekitar tempat berdagang yang bersangkutan".
PKL akan selalu mengambil tempat-tempat strategis yang bisa ditempati untuk berjualan. Di setiap tempat kosong yang menjadi arus lalu lintas pejalan kaki maupun pengendara akan menjadi tempat utama PKL menggelar dagangannya. Barang yang diperdagangkan pun beragam tergantung dari sifat dan karakter tempat dan aktivitas masyarakat yang melakukan aktivitas disekitarnya. Data Biro Pusat Statistik Kota Surabaya menyebutkan tahun 2006 melalui sensus ekonomi mutakhir (2006) yang lalu di Surabaya terdapat lebih dari 17.568 PKL yang tersebar dimana-mana, sementara di Sidoarjo terdapat sekitar 9.600 PKL. Meskipun angka tersebut tidak bisa tepat benar karena diakui bahwa pertumbuhan PKL di kedua kota tersebut tidak bisa diprediksikan secara tepat. Artinya, data yang ada bisa berubah-ubah dalam jangka waktu relatif cepat.
Para PKL selalu menyadari bahwa pekerjaan yang mereka pilih memiliki resiko yang tinggi, mulai dari soal tidak lakunya dagangan hingga penertiban yang dilakukan oleh aparat yang berwenang seperti penggusuran dan obrakan yang sering dilakukan secara mendadak. Bahkan tidak menutup kemungkinan ancaman konflik dengan sesama PKL, konflik dengan masyarakat sekitar dan juga konflik dengan preman yang melakukan pemerasan dengan dalih menjaga keamanan daerah PKL untuk berdagang. Keberadaan PKL yang melakukan aktivitas ekonominya yang dianggap menganggu ketertiban dan tata kelola ruang di perkotaan mendorong upaya penertiban PKL semakin gencar dilakukan oleh Pemerintah Kota. Penertiban PKL diselenggarakan pada dasarnya memiliki legitimasi formal. Selain keberadaan PKL yang bukan perorangan melainkan pedagang yang menggunakan fasilitas publik, tidak memiliki payung hukum, mereka juga tidak mengindahkan adanya aturan untuk tidak berjualan di sekitar tempat tersebut. Itulah sebabnya, pemerintah jelas memiliki keabsahan untuk melakukan penertiban.
Masalah mengenai penertiban PKL, Basuki Tjahaja Purnama mengatakan:
"sampai kapan pun, permasalahan PKL tidak akan tuntas jika satpol PP hanya diberi kewenangan melakukan penertiban. Makanya, harus ada penegakan hukum. Kalau tidak, ya susah. Mereka (PKL) akan main-main. Satpol PP-nya kasihan juga, mereka bergerak, tapi yang nentuin denda tipiring-nya (tindak pidana ringan) juga harus hakim."
Berdasarkan statement Basuki di atas, perlu adanya pertauran yang mampu memberikan kewenngan kepada satpol PP untuk menentukan besaran denda yang dikenakan langsung setelah dilakukannya penertiban. Jika pedagang meerasa keberatan dengan denda yang diberikan barulah peran hakim dilibatkan dalam masalah ini. Dengan demikian, hakim tidak perlu lagi terlibat dalam proses peradilan tindak pidana ringan.
Rumusan Masalah
Bagaimana peranan hukum untuk mengatur tertib berdagang PKL dilihat dalam konteks sosiologi hukum?
Pembahasan
Hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Artinya bahwa hukum tersebut haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat. Selain itu, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan perasaan hukum manusia sebagai individu atau perseorangan. Maknanya adalah sama yakni jika kesadaran hukum dikaitkan dengan masyarakat sementara perasaan hukum diakitkan dengan manusia perseorangan sehingga dapat disebutkan bahwa kesadaran hukum adalah generalisasi dari perasaan hukum itu sendiri. Dalam hal ini, perasaan hukum merupakan lapis pertama dan kesadaran hukum merupakan lapis kedua. Selain itu masih ada lapis ketiga yaitu jiwa bangsa (volkgeist) dan lapis keempat adalah budaya hukum (legal culture). Dengan demikian, sebenarnya ada teori "empat lapis" yang berhubungan antara hukum dan masyarakat.
Kesadaran hukum jika dikaitkan dengan pedagang kaki lima adalah sejauh apa pedagang kaki lima mampu mematuhi peraturan yang ada yakni Peraturan Daerah setempat untuk berjualan pada tempat-tempat yang telah ditentukan dan diizinkan. Namun, kembali lagi pada budaya hukum yang terbangun dalam efektivitas hukumnya. Hukum akan menjadi kuat jika didukung oleh budaya hukum yang terbentuk melalui pelembagaan, dan sebaliknya, jika hukum tidak didukung oleh budaya hukum masyarakat maka hukum menjadi rapuh. Permasalahan yang sering selalu mewabah adalah budaya hukum masyarakat PKL yang tidak mampu untuk taat dan sadar akan hukum sehingga fungsi Peraturan Daerah yang ada tidak berjalan sebagaimana mestinya dan meinmbulkan masalah-masalah baru.
Budaya hukum masyarakat PKL tidak dapat dipisahkan begitu saja dari hal-hal yang melatarbelakanginya untuk memilih pekerjaan sebagai PKL. Point utama mengapa PKL memilih pekerjaan tersebut tidak jauh dari permasalahan ekonomi. Kesulitan secara finansial memaksa setiap manusia untuk bertahan dan melangsungkan hidupnya (survival). Upaya survival atau bertahan hidup merupakan proses untuk mempertahankan diri dari berbagai serbuan masifnya kepentingan kapitalisasi kota. Proses tersebut dilakukan tidak secara naluriah atau alamiah, melainkan diorganisasikan agar upaya yang rasional dan memiliki pendasaran logis sesuai kepentingannya.
Menurut Popkin dengan menyebut postulat dari Brian Barry mengatakan bahwa pada dasarnya setiap orang selalu mengejar tujuan secara rasional. Orang melakukan pilihan yang mereka yakini akan dapat memaksimalkan utility yang diharapkan. Terminologi ini tampaknya tepat untuk menggambarkan situasi riil di kalangan PKL untuk mencoba bertahan hidup. Awalnya keinginan untuk survival memang bisa jadi merupakan naluri dasar setiap orang. Naluri dasar ini akan menuntun seseorang memiliki keberanian berbuat apa saja untuk bisa survive. Lambat laun naluri tersebut akan mendapatkan penjelasan rasional untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingannya. Pedagang kaki lima akan mengorganisir diri secara rasional agar kepentingan-kepentingan survivalnya terpenuhi.
Salah satu kekuatan utama untuk survive adalah bahwa kebutuhan hidup yang harus dipenuhi bukanlah sesuatu yang dapat ditunda-tunda. Dalam konteks ini, pemerintah tampaknya juga harus memperhatikan atau membicarakan persoalan PKL langsung dari perspektif PKL bukan dari perspektif orang lain, karena bisa jadi bisa dan penuh dengan kepentingan. Bagi para PKL, memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan dan minum tidaklah dapat diwakilkan atau berharap pada orang lain. Bukankah selama ini memang tidak ada perlindungan yang konkret bagi masyarakat miskin, baik kota maupun desa tatkala mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Dengan demikian, terlihat bahwa budaya hukum masyarakat PKL tidak terlepas dari sejarah hidupnya untuk survive di perkotaan yang sarat dengan kapitalisasi. Budaya hukum ini kemudian berpengaruh besar terhadap kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat PKL.
Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsinya yakni:
Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang
Penyelesaian sengketa-sengketa
Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat
Hukum dengan demikian digolongkan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial. Kontrol sosial adalah proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Pengontrolan oleh hukum dijalankan dengan berbagai cara dan melalui pembentukan badan-badan yang dibutuhkan. Dalam hubungan ini, maka hukum biasa disebut sebagai suatu sarana untuk melakukan kontrol sosial yang bersifat formal.
Menurut Satjipto, terdapat dua aspek kerja hukum yang didasarkan pada fungsi hukum untuk melakukan kontrol sosial. Kedua aspek tersebut adalah pelaksanaan kontrol sosial yang bersifat statis yang artinya hukum sebagai sarana kontrol sosial dan social engineering. Berikut adalah penjelasannya:
Hukum sebagai sarana kontrol sosial
Hukum dalam hal ini bersifat statis. Maksudnya adalah fungsi hukum hanya sekedar memecahka masalah yang dihadapkan kepadanya secara konkret yaiu mengatur hubungan hubungan sosial yang ada. Keadaan demikian berbeda dengan hukum sebagai sarana Social Engineering yang orientasinya tidak ditujukan pada pemecahan masalah yang ada, melainkan keinginan untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat. Penyebab hukum sebagai kontrol sosial yang sifatnya statis karena sarana kontrol sosial (dalam hal ini adalah hukum) sekedar mempertahankan pola-pola hubungan serta kaedah-kaedah yang ada pada masa sekarang. Hanya sampai pada keadaan seperti itu saja sifat statis yang melekat pada hukum, selebihnya adalah pekerjaan kontrol sosial ini cukup sarat pula dengan dinamika dan perubahan-perubahan.
Hukum sebagai sarana social engineering
Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kemampuan seperti itu biasanya hanya dilekatkan pada hukum modern sebagai lawan dari hukum tradisional. Fungsi yang dijalankan oleh hukum modern adalah tidak sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan diusahakan untuk menjadi sarana menyalurkan kebijakan-kebijakan atau menciptakan keadaan-keadaan yang baru.
Apa yang terjadi pada masyarakat PKL adalah bahwa hukum dibentuk untuk menciptakan tertib dagang untuk PKL. Hukum tersebut diterbitkan dalam pembentukan peraturan-peraturan daerah setempat sesuai dengan karakteritik dan kebutuhan masing-masing daerah. Dalam perspektif yuridis, upaya pemerintah untuk melakukan penertiban seharusnya tidak menjadi persoalan. Bagaimanapun dalam logika publik apalagi logika yuridis, penggunaan fasilitas publik yang digunakan untuk kepentingan pribadi merupakan pelanggaran, ditambah lagi jika penggunaannya justru malah menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat lainnya.
Keinginan PKL ini memang terkadang cenderung berlebihan. Betapa tidak, awalnya mereka berdagang dengan menggunakan tempat yang dilarang berdagang, tapi ketika ditertibkan mereka meminta lahan lain yang harus disediakan oleh pemerintah. Padahal sejak semula PKL sudah diperingatkan bahwa ada larangan berjualan di tempat-tempat tersebut, tetapi tetap saja nekat dan menuntut ganti rugi setelah mereka ditertibkan. Realitas ini memang paradoks dan problematik bagi pemerintah dan PKL itu sendiri yang harus mendapatkan solusi strategis untuk mencari jalan keluarnya. Ketakutan akan kehilangan lapangan pekerjaan yang dengan sendirinya berarti hilang pula penghasilan dan status sosialnya, membuat PKL begitu masif melakukan perlawanan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, fungsi hukum sebagai social engineering yang tertuang dalam bentuk Perda belum mampu mengiringi perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat PKL. Tidak bekerjanya hukum secara efektif menyebabkan lembaga tertntu harus melakukan fungsinya yakni satpol PP dalam melakukan penertiban. Penertiban yang dilakukan Satpol PP juga tidak serta merta dapat begitu saja menyelesaikan permasalahan PKL karena perlawanan dan resistensi dari PKL. Konflik-konflik tersebut tercipta yang kemudian akan membuat pemerintah daerah mengkaji bentuk hukum seperti apa yang tepat untuk menciptakan suatu tertib hukum baru bagi masyarakat PKL.
Penutup
Kesadaran hukum jika dikaitkan dengan pedagang kaki lima adalah sejauh apa pedagang kaki lima mampu mematuhi peraturan yang ada yakni Peraturan Daerah setempat untuk berjualan pada tempat-tempat yang telah ditentukan dan diizinkan. Namun, kembali lagi pada budaya hukum yang terbangun dalam efektivitas hukumnya
Budaya hukum masyarakat PKL tidak dapat dipisahkan begitu saja dari hal-hal yang melatarbelakanginya untuk memilih pekerjaan sebagai PKL. Point utama mengapa PKL memilih pekerjaan tersebut tidak jauh dari permasalahan ekonomi. Kesulitan secara finansial memaksa setiap manusia untuk bertahan dan melangsungkan hidupnya (survival)
Tidak bekerjanya hukum secara efektif menyebabkan lembaga tertntu harus melakukan fungsinya yakni satpol PP dalam melakukan penertiban. Penertiban yang dilakukan Satpol PP juga tidak serta merta dapat begitu saja menyelesaikan permasalahan PKL karena perlawanan dan resistensi dari PKL. Konflik-konflik tersebut tercipta yang kemudian akan membuat pemerintah daerah mengkaji bentuk hukum seperti apa yang tepat untuk menciptakan suatu tertib hukum baru bagi masyarakat PKL.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, 2004, Sisi Gelap Perkembangan Kota Kependudukan, Birokrasi dan Ekonomi, Rineka Cipta, Jakarta
Dinas Pengeleolaan Pasar Pemerintah Kota Surakarta, Kajian Penataan PKL di Kota Surakarta Dalam Perspektif Hukum dan Kebijakan Publik Tahun 2010
Munir Fuady, 2007, Sosiologi Hukum Kontemporer: Interkasi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia,Genta Publishing, Yogyakarta.
Udji Asiyah, Pedagang Kaki Lima Membandel di Jawa Timur, Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Volume 25 Tahun 2012 Nomor1:47-55, Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/11/14132911/Ahok.PKL.Susah.Ditertibkan.karena.Mereka.Berduit (online), 21 November 2014
Lenny Tristia Tambun, Ahok Ultimatum Masalah PKL Monas Harus Rampung Hari Ini, http://m.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/190511-ahok-ultimatum-masalah-pkl-monas-harus-rampung-hari-ini.html
Dinas Pengeleolaan Pasar Pemerintah Kota Surakarta, Kajian Penataan PKL di Kota Surakarta Dalam Perspektif Hukum dan Kebijakan Publik Tahun 2010, hlm. 4
Alisjahbana, 2004, Sisi Gelap Perkembangan Kota Kependudukan, Birokrasi dan Ekonomi, Rineka Cipta, Jakarta hlm. 14
Lenny Tristia Tambun, Ahok Ultimatum Masalah PKL Monas Harus Rampung Hari Ini, http://m.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/190511-ahok-ultimatum-masalah-pkl-monas-harus-rampung-hari-ini.html, 13 November 2014
Udji Asiyah, Pedagang Kaki Lima Membandel di Jawa Timur, Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik Volume 25 Tahun 2012 Nomor1:47-55, Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 6
Ibid
Ibid
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/11/14132911/Ahok.PKL.Susah.Ditertibkan.karena.Mereka.Berduit (online), 21 November 2014
Munir Fuady, 2007, Sosiologi Hukum Kontemporer: Interkasi Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 75
Ibid
Disampaikan oleh Ismail Nurhasan pada perkuliahan Sosiologi Hukum Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tanggal 24 November 2014
Udji Asiyah, Op.cit, hlm. 7
Popkin SL, 1986, Petani Rasional, Yayasan Ilmu Sosial, Jakarta, hlm 26 dalam Udji Asiyah, Op.cit, hlm. 8
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia,Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 111
Ibid
Ibid
Ibid, hlm. 112