Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 20.
Titon Slamet Kurnia, dkk, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelitian Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 103-104.
Ibid, hlm. 90.
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 20.
Siti Khasinah, "Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat". Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA. Vol. XIII No.2, 2013, hlm. 297.
Christiani Widowati, "Hukum Sebagai Norma Sosial Memiliki Sifat Mewajibkan". Jurnal Hukum . Vol.4 No.1, 2005, hlm. 155.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 90.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), hlm. 56.
Ibid., hlm. 57.
Ibid., hlm. 57-60.
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 48.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu….., hlm. 51.
Ibid., hlm. 52.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi….., hlm. 75-76.
Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1998), hlm. 17-18.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu….., hlm. 77-79.
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu…., hlm. 23.
Ibid., hlm. 23.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu….., hlm. 67.
Ibid., hlm. 71.
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu….., hlm. 26.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 146.
PERANAN HUKUM TERHADAP NORMA SOSIAL
MAKALAH
Sebagai syarat memenuhi tugas mata kuliah : Pengantar Ilmu Hukum
Dosen Pengampu: Mabarroh Azizah, S.H.I,. M.H.
Disusun oleh:
Hattal Janah 1717302063
Mochamad Syafrudin 1717302074
Nailal Fauzi AL Akhsan 1717302081
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
JURUSAN ILMU-ILMU SYARI'AH
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam realitanya, manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri dimanapun ia berada. Secara naluriah, manusia selalu hidup bersama dengan sesamanya dalam suatu masyarakat. Karena hanya dengan hidup bermasyarakat, manusia dapat mempertahankan hidupnya. Hal ini disebabkan kebutuhan hidup manusia hanya akan terwujud dan terpenuhi apabila manusia hidup berdampingan dengan manusia lainnya. Sehingga makna hidup bermasyarakat sangat besar bagi manusia lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, kemungkinan terjadinya konflik dalam masyarakat ini memaksa untuk perlunya diadakan suatu norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat sebagai pedoman dalam bertingkah laku, yang kemudian disebut sebagai norma sosial.
Jika kita berbicara tentang ilmu hukum secara tidak langsung juga berkenaan dengan norma. Hukum menurut seorang penganut paham positivis "Van Kan" adalah keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat. Teori hukum membentuk konsep-konsep hukum yang relevan dalam rangka pelaksanaan tugas dogmatik hukum yaitu deskripsi, sistemasi, dan interpretasi, norma pasti bertumpu pada konsep-konsep hukum tertentu yang telah disediakan sebelumnya sebagai hasil pengolahan teori hukum. Yang menjadi objek ilmu hukum ialah norma (kaidah baik) yang ditetapkan atau dipositifkan oleh rule-making authority maupun yang diakui atau diterima begitu saja dalam pergaulan hidup manusia.
Norma adalah aturan atau pedoman perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma berisi petunjuk-petunjuk untuk hidup, dimana di dalamnya terdapat perintah atau larangan bagi manusia untuk berperilaku sesuai dengan aturan yang ada, sehingga tercipta sebuah kondisi yang disebut keteraturan dan ketertiban. Hukum sebagai aturan ataupun pedoman yang ada terlebih dahulu sebelum adanya ilmu sosial yang didalamnya menyangut tentang norma sosial (kaidah penataan kehidupan manusia), tentunya hukum lahir supaya norma-norma (kaidah penataan kehidupan manusia) dapat ditangani secara sistematis. Kebiasaan merupakan sumber hukum yang ada di dalam kehidupan sosial masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Kebiasaan menjadi peran penting dalam pembentukan hukum di suatu masyarakat.
Hukum ada karena adanya sebuah hubungan antara individu dengan individu lainnya yang tidak mungkin dalam hidup bersama tidak adanya aturan atau pedoman berkehidupan bersama. Pastilah dipastikan jika tidak ada hukum, efek yang terjadi dalam masyarakat akan kacau dan tidak beraturan. Karena kepentingan individu satu dengan lainnya jelas terbentur. Setelah ada hukum nantinya bagi yang melanggar pasti terdapat sanksi yang harus ditempuh olehnya. Eksistensi sanksi inilah yang memberikan peranan penting bagi terciptanya masyarakat yang mempunyai cita-cita tercapainya sebuah keadilan, ketenteraman, kenyamanan di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Karena adanya sanksi memberikan rasa aman bagi mereka yang secara bersama-sama menjalankan hidup bersama. Tentunya terbentuknya hukum ini karena adanya kemampuan individu atau kelompok untuk melaksanakan kemauannya meskipun harus menghadapi pihak lain yang menentangnya, yang biasa disebut demgan kekuasaan. Kemampuan untuk dapat melaksanakan keinginan tersebut disebabkan oleh kekuatan fisik, keunggulan psikologis, atau kemampuan intelektual. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang apa yang telah disinggung diatas, tentunya untuk menambah khazanah keilmuan dalam mengerti benar akan hukum sebagai norma sosial maupun eksisten-eksistensi yang berkaitan dengannya.
Rumusan Masalah
Bagaimana peranan hukum dan eksistensi-eksistensi yang berkaitan dengannya terhadap norma sosial yang ada di dalam masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
Eksistensi Hukum dalam Hidup Bermasyarakat serta Arti Penting Hukum dalam Kedua Aspek Manusia
Hukum tidak dapat diketahui pasti sejak kapan ia ada. Jika mengikuti ungkapan klasik seorang Filsuf Romawi (Cicero) yang berbunyi "ubi societas ibi ius" yang berarti hukum ada sejak masyarakat ada. Dengan demikian dapat diketahui bahwasannya masyakat juga tidak dapat diketahui secara pasti kapan ada. Namun, dilihat dari segi historis tidak pernah dijumpai adanya kehidupan manusia secara soliter di luar bentuk hidup bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi makhluk manusia, artinya hanya dalam hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya. Hal ini berarti manusia tidak mungkin hidup secara atomistis dan soliter. Tidak dapat. Disamping itu tidak ada catatan sejarah sejak kapan manusia mulai dapat berbicara yang dapat dipahami oleh sesamanya. Teori Evolusi Darwin sekalipun tidak dapat menerangkan sejak fase evolusi manakah manusia mulai dapat mengembangkan bentuk komunikasi lewat simbol-simbol arbitrer yang disebut bahasa. Jenis mamalia yang mendekati manusia pun tidak dapat berbicara. Hala ini berarti antara manusia dan mamalia yang lain memang tidak pernah satu moyang. Masing-masing diciptakan secara spontan oleh Sang Pencipta. Dengan kemampuan berbicara bisa dibangun komunikasi antara sesama manusia dalam lingkungannya. Melalui komunikasi semacam inilah manusia dapat mengekspresikan perasaannya kepada sesamanya dan hal ini juga mempererat pola hidup bersama. Seorang ahli juga pernah mengemukakan pendapatnya, yaitu Filsuf Aristoteles. Dikataknnya istilah ''Zoon Politicon'', yang artinya manusia pada dasarnya merupakan manusia mahluk yang suka bermasyarakat.
Dengan demikian, dalam hidup bermasyarakat manusia terdapat dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek eksistensial. Aspek fisik merujuk kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang secara ragawi benar-benar hidup. Adapun aspek eksistensial berkaitan dengan keberadaannya yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Sebagai makhluk hidup secara fisik, untuk mempertahankan kehidupannya seperti makan, minum, melindungi diri dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk mempertahankan eksistensinya manusia bukan hanya membutuhkan sarana-sarana fisik semacam itu. Jika untuk melangsungkan keturunan, manusia membutuhkan aktifitas seksual, untuk mempertahnkan eksistensinya, manusia membutuhkan cinta kasih. Pada tingkat keamanan fisik ada gangguan berupa kelaparan, penyakit, dan lain sebagainya, sedangkan pada tingkat keamanan eksistensial berupa rasa takut, diasingkan, kesepian, dan lain sebagainya.
Dari aspek eksistensial manusia yang tadi disebutkan membutuhkan cinta dan kasih dan keinginan untuk tetap eksis dalam kebersamaan; menggerakkkan akal pikiran manusia untuk menciptakan pranata-pranata (aturan-aturan) dalam kehidupan bermasyarakat. Pranata adalah aturan-aturan yang dibentuk oleh sebuah masyarakat yang bersifat mengikat. Tujuannya terbagi menjadi dua hal, yaitu:
Untuk mengatur kehidupan ritual (mengatur hubungan antara manusia dengan sesuatu diluar dirinya).
Untuk menjamin kehidupan yang teratur antara manusia dalam masyarakat (dibentuklah norma yang dituangkan dalam aturan-aturan yang konkret, baik tertulis maupun tidak tertulis yang kemudian disebut dengan hukum.
Dari proses bermasyarakat kemudian akan memunculkan hak dan kewajiban dari masing masing individu dalam masarakat. Berdasarkan teori kehendak (Wilsmacht Theori), hak adalah kehendak yang diperlengkap dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang. Teori itu dianut oleh Bernhard Winscheid. Sedangkan kewajiban merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. Antara hak dan kewajiban ini harus seimbang dengan kata lain hak dan kewajiban harus selaras, tidak dapat berdiri masing-masing untuk menjamin tidak terjadi benturan kewajiban antar individu dan masyarakat itulah yang mengharuskan hadirnya hukum. Dengan hadirnya hukum, diharapkan akan menjadikan kehidupan dalam masyarakat menjadi kondusif.
Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam setiap kelompok masyarakat akan hidup hukum yang berfungsi mengatur kehidupan baik diinginkan maupun tidak diinginkan keberadaan hukum oleh masyarakat, sudah pasti sistem hukum akan terbentuk dalam masyarakat. Oleh sebab itu, disetiap kelompok masyarakat mempunyai karakter hukum masing masing.
Kaum positivis, seperti John Austin dan H.J.A. Hart memandang bahwa hukum sebagai aturan yang dibuat oleh penguasa. Meskipun Hart juga mengemukakan masalah moral, ia tetap saja seorang positivis karena ia menangkap makna moral dari segi kebutuhan fisik manusia yang diamati. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hidup bermasyarakat manusia mempunyai dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek eksistensial manusia. Hukum sebagai produk budaya timbul dan berkembang bukan sekedar memenuhi aspek fisik, melainkan juga untuk memenuhi aspek eksistensial manusia dalam hidup bermasyarakat. Perlunya aturan, Hart berpangkal dari pandangan bahwa manusia dalam hidup bermasyarakat melakukan kelaziman-kelaziman tertentu, yang kemudian kelaziman itu di generalisasi. Berdasarkan generalisasi-generalisasi yang nyata mengenai hakikat manusia dan dunia tempat manusia itu hidup dapat ditunjukkan bahwa sepanjang dipandang baik, ada aturan tingkah laku tertentu yang harus diadopsi oleh organisasi sosial apabila ia ingin bertahan.
Aturan-aturan itu pada kenyataannya menjadi unsur bersama dalam hukum dan moralitas konvensional bagi semua masyarakat yang pada titik tertentu dapat dibedakan dari sarana kontrol sosial lainnya. Pikiran Hart tersebut menunjukkan bahwa hukum berpangkal dari sesuatu yang bersifat empiris. Prinsip-prinsip tingkah laku yang mempunyai dasar kebenaran elementar mengenai kemanusiaan, lingkungan alamnya, dan tujuannya oleh Hart disebut minimum content of natural law. Minimum content of natural law inilah yang menjadi alasan manusia untuk menaati aturan yang dibuat manusia guna melanjutkan hidup bermasyarakat. Yang disebut moral dalam kerangka pikir Hart adalah nalar yang berdasarkan pada minimum content of natural law, sehingga seseorang tidak melanggar aturan yang dibuat oleh masyarakat dalam rangka mempertahankan kehidupan masyarakat.
Minimum content of natural law yang diungkapkan Hart mencangkup berbagai hal, yaitu:
Human Vulnerability, yaitu manusia sebagai makhluk yang rentan. Maksudnya apa yang ditentukan baik pada moral maupun hukum sebagian besar tidak terdiri dari tindakan-tindakan yang harus dilakukan melainkan terdiri atas larangan-larangan. Larangan yang sangat penting dalam kehidupan sosial adalah larangan membunuh dan membuat orang lain terluka. Larangan demikian disebabkan secara fisik, manusia merupakan makhluk yang sangat rentan. Jika mengabaikan hal ini maka tidak ada artinya ajaran "jangan membunuh" yang merupakan nalar yang paling menentukan hukum dan moral.
Apporoximate Equality, yaitu adanya keadaan yang hampir sama antara satu manusia dan manusia lainnya. Walupun manusia dikatan berbeda satu sama lain dari segi kekuatan fisik, kecekatannya, dan bahkan kapasitas intelektualnya, akan tetapi pada kenyatannya tidak ada seorang pun yang secara fisik jauh lebih kuat dari yang lain sehingga tanpa bantuan orang lain, orang tersebut mampu menundukkan dan menguasai orang lain dalam waktu yang lama. Bahkan orang yang paling kuat sekalipun perlu tidur dan pada saat tidur itulah ia kehilangan kekuatannya.
Limited Altruism, yaitu altruism terbatas. Maksudnya manusia bukan setan yang dikuasai oleh keinginan saling membinasakan dan bukan pula egois tanpa peduli akan kelangsungan hidup dan kesejahteraan sesamanya. Akan tetapi, manusia bukan juga malaikat. Manusia adalah makhluk yang berada pada dua kutub ekstrem tersebut yang memungkinkan adanya sistem pengekangan.
Limited Resources, yaitu terbatasnya sumber daya. Maksudnya tidak dapat dipungkiri bahwa manusia butuh pangan, sandang, dan papan yang semua ini tidak terrsedia secara melimpah melainkan harus diperoleh karena jumlahnya terbatas.
Limited Understanding and Strength of will, yaitu terbatasnya pemahaman dan daya kemauan. Sederhannya aturan memang harus ditaati, akan tetapi pemahaman mengenai kepentingan jangka panjang dan daya kemauan yang baik untuk menaati aturan dengan berbagai motivasi-motivasi tersebut tidak sama pada setiap anggota masyarakat.
Hukum dan Kebiasaan
Memang sering kali pada masyarakat primitif kebiasaan diidentikan dengan hukum. Hal itu disebabkan sebelum lahirnya antropologi modern, awal kehidupan bermasyarakat dipelajari berdasarkan spekulasi yang abstrak dan bukan pada penelitian lapangan atas masyarakat primitif. Sebagai suatu norma sosial, hukum, merupakan suatu produk budaya. Oleh karena merupakan suatu produk budaya, hukum hadir dalam masyarakat dalam bentuk budaya apapun. Pada masyarakat primitif pun sudah dijumpai hukum. Malinowsky menegaskan bahwa pada suatu masyarakat primif hukum timbul dari kebutuhan masyarakat. Gagasan itu terungakap bahwa ketika masyarakat tertentu hidup bersama, masyarakat tersebut menghasilkan pola tingkah laku tertentu. Anggota-anggota masyarakat harus memenuhi kebutuhan fisik, biologis, dan sosial sehingga mereka harus berusaha untuk bekerjasama dengan sesamanya dalam suatu kehidupan bermasyarakat. Seorang anggota masyarakat tidak bebas bertindak melainkan harus mengingat apa yang di bolehkan oleh kelompoknya. Kebutuhan yang bermacam-macam dari setiap anggota masyarakat harus diselaraskan dengan kebutuhan kelompok. Semuanya tidak mungkin dikerjakan sendiri, melainkan harus dikerjakan bersama-sama. Dengan demikian hukum bereksistensi sebagai hasik kerjasama suatu masyarakat. Oleh karena hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi manusia, hukum merupakan suatu yang inheren dengan kehidupan masyarakat.
Kebiasaan merupakan tindakan yang selalu dilakukan dan dipelihara oleh sekelompok orang. Tindakan tersebut dapat berupa ritual, dalam rangka peristiwa penting dalam kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan juga dapat berupa sekedar norma pergaulan, seperti berpakaian, memberi hadiah, dan lain sebagainya. Pelanggaran suatu peristiwa penting menimbulkan reaksi masyarakat terhadap si pelanggar. Pada masyarakat primitif pelanggar tersebut dapat diasingkan dari masyarakatnya. Norma demikian merupakan norma kebiasaan. Norma kebiasaan dapat juga berupa aturan untuk harta perkawinan, hak asuh anak dan pengalihan hak milik karena kematian.
Studi yang menarik adalah studi masyarakat Indian Cheynne yang dilakukan oleh Llewlyn dan Hoebel. Mereka mempunyai postulat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat tiga unsur, yaitu kelompok, keinginan yang berbeda, dan gugatan-gugatan anggota kelompok satu terhadap kelompok yang lainnya juga terhadap kelompok itu sendiri. Apabila kelompok itu ingin menjadi suatu masyarakat, masalah-masalah itu harus diselesaikan. Llewlyn dan Hoebel secara tepat menyatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah itu tidak akurat digunakan kebiasaan mores.
M.m.djojodiguno hukum adat dijelaskan olehnya bahwa ''hukum adat memandang masyarakat sebagai paguyuban artinya sebagai satu hidup bersama, dimana manusia memandang sesamanya sebagai tujuan, dimana perhubungan- perhubungan manusia menghadapi sesama manusia dengan segala perasaannya, dengan segala sentimenya, sebagai cinta, benci, simpati, antipasti, dan lain sebagainya yang baik dan yang kurang baik. Selaras dengan pandanganya atas masyarakat maka dihadapilah oleh hukum adat manusia itu dengan kepercayaan sebagai orang yang bertabiat anggota masyarakat. Artinya sebagai manusia yang menghargai benar berhubungan damai dengan sesama manusia, oleh karenanya sedia untuk menyelesaikan segala perselisihan dengan kerukunan, dengan perdamaian, dengan kompromis, artinya tidak sebagai satu masalah pengadilan yang berdasarkan soal benar salahnya satu peristiwa yang bersifat represif, melainkan sebagai satu masalah kerukunan yang ditujukan kepada tercapainya satu perhubungan damai didalam masa datang dan oleh karenanya bersifat teleologis. Perbedaan pandangan atas masyarakat dan manusia itu menimbulkan pula perbedaan sifat mengenai soal yang sangat penting dalam pengetahuan hukum, yaitu soal kepastian hukum dan keadilan hukum." Hukum kebiasaan terjadi tanpa perlu adanya formalitas atau tanpa perlu ditetapkan oleh mereka yang mempunyai kedudukan politis lebih tinggi.
Menurut pandangan ini, hukum pada masyarakat primitif bukan timbul dari kebiasaan-kebiasaan yang bersifat sengketa, melainkan merupakan praktik-praktik sehari-hari yang didasarkan atas pertimbangan rasional memberi dan menerima dalam suatu pergaulan sosial. Pandangan demikian mengasumsikan bahwa pada masyarakat primitif, hukum tidak dipaksakan dari atas tetapi tumbuh dari bawah sebagai hasil dari hubungan kerjasama diantara anggota anggota masyarakat.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan itu diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu:
Harus ada perbuatan atau tindakan yang semacam dalam keadaan yang sama dan harus selalu diikuti oleh umum. Maksudnya seluruh rakyat tidak usah ikut menimbulkan kebiasaan itu, melainkan hanyalah golongan golongan orang yang berkepentingan saja. Kebiasaan-kebiasaan setempat dibentuk oleh penduduk tempat itu; kebiasaan dalam lapangan perdagangan dibentuk oleh para pedagang, kebiasaan yang ada dalam bidang sewa menyewa dibentuk oleh si penyewa dan orang yang menyewa.
Harus ada keyakinan hukum dari pada golongan orang-orang yang berkepentingan. Keyakinan hukum ini dalam bahasa latin diisebut "Opinion Juris Seu Neces Sitatis''. Keyakinan hukum ini mempunyai dua arti, yaitu:
Keyakinan hukum dalam arti material, artinya suatu keyakinan bahwa suatu hukum, atau keyakinan bahwa suatu aturan itu membuat hukum yang baik. Jadi yang dilihat isinya, apakah isi suatu aturan itu baik atau tidak.
Keyakina hukum dalam arti formil, artinya orang yakin bahwa aturan itu harus diikuti dengan taat dan dengan tidak dengan mengingat akan nilai daripada isi aturan tadi.
Hukum dan Norma Sosial Lainnya
Disamping hukum, terdapat norma sosial lainnya yaitu agama, moral, dan etika tingkah laku. Norma-norma itu memberi petunjuk, tongkat, pengarah tentang bagaimana manusia bertingkah laku dan mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dan norma sosial lainnya tersebut dapat dibedakan dari berbagai segi, yaitu segi tujuan adanya norma itu, wilayah pengaturannya, asal mengikatnya, dan isi norma tersebut. Dalam perbincangan ini manusia sebagai figur sentral yang diatur ditempatkan sebagai makhluk yang dualistis. Dilihat dari hubungan manusia dan manusia lainnya, manusia dapat dibedakan menjadi manusia pribadi dan sebagai komponen dalam kehidupan sosial. Dalam kaitannya dengan manusia sendiri, manusia juga mempunyai dua aspek, yaitu aspek batiniyah dan lahiriyah. Meskipun norma-norma itu merupakan norma sosial, sasaran pengaturan norma masing-masing hanya menitikberatkan kepada salah satu aspek manusia, aspek pribadi manusia atau aspek sosial saja, aspek batiniyah atau aspek lahiriyah saja, namun keduanya mempunyai implikasi yang sangat erat.
Hukum menitikberatkan kepada pengaturan aspek manusia sebagai makhluk sosial dan aspek lahiriyah manusia. Diliat dari segi tujuannya, norma hukum diadakan dalam rangka mempertahankan bentuk kehidupan bermasyarakat sebagai mode survival. Meskipun hukum adakalanya mengatur kehidupan manusia sebagai pribadi, pengaturan tersebut dimaksudkan dalam rangka individu itu dalam berinteraksi dengan individu lainnya atau antara individu dengan kelompok. Dilihat dari segi isi dan wilayah diaturnya, hukum mengatur tingkah laku lahiriyah manusia. Ulpianus menyatakan bahwasannya: "Tidak seorangpun yang dipidana karena berpikir." Dalam bahasa Belanda dikenal ungkapan "gedachten zijn tolvrij", yang artinya orang bebas berpikir asal jangan diucapkan. Oleh karena sasaran pengaturan hukum adalah tingkah laku lahiriyah manusia, hukum tidak akan bertindak manakala tindakan seseorang tersebut tidak melanggar aturan hukum, meskipun batin orang tersebut sebenarnya ingin melakukan tindaklan yang melanggar hukum. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa hukum juga adakalnya memasuki wilayah batin seseorang. Dilihat dari segi asal kekuatan mengikatnya, hukum mempunyai kekuatan mengikat karena ditetapkan oleh penguasa atau berkembang dari praktik-praktik yang telah diterima oleh masyarakat.
Eksistensi dari Sanksi
Pada hakikatnya tatanan keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan kebiasaan, sebelum diresepsi sebagai hukum, kekuasaannya tidak sama kuatnya dengan kekuasaan hukum (E.utrech,1961:18). Adapun yang menjadi sebab adanya perbedaan kekuasaan diantara bermacam-macam tatanan itu adalah perbedaan legitimasi sanksinya.
Yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum adalah penguasa, karena dalam penegakan hukum jika ada hal pelanggaran menjadi monopoli penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan untuk memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan. (E.utrech,1961:18). Umumnya yang dianggap merupakan perbedaan yang menonjol antara tatanan hukum dan tatanan masyarakat lainnya ialah sanksinya. Pandangan seperti ini persis dengan karakteristik pandangan kaum positivis. Menurut mereka sebagian besar teori hukum baik secara eksplisit maupun implisit, bahwa yang membedakan norma hukum dan norma lainya adalah sanksi. Walaupun sanksi tatanan hukum bersifat memaksa tidak berarti bahwa sanksi atas pelanggaran terhadap tatanan masyarakat lainya sama sekali tidak memaksa, karena sanksi masyarakat meskipun bersifat teguran, ataupun celaan dirasakan juga sebagai tekanan atau paksaan sehingga orang akan merasa tidak senang untuk melanggarnya.
Kesadaran atau ketaatan orang kepada tatanan hukum bukanlah semata mata hanya didasarkan pada sanksi yang bersifat memaksa, melainkan juga karena didorong alasan keagamaan dan kesusilaan.
Secara tegas L.J.van Apeldoorn menyatakan bahwa sanksi bukan elemen yang esensial dalam hukum, melainkan elemen tambahan. Menurutnya ajaran yang menyatakan bahwa ciri hukum terletak pada sanksi adalah suatu yang kontradiktif terhadap dirinya sendiri. Kemudian juga ia menyatakan bahwa hukum suatu negara dalam banyak hal merupakan penuangan dari asas-asas dan norma-norma agama, moral, dan sosial yang didukung kesadaran masyarakat. Meskipun pada setiap pelanggaran norma hukum pada dasarnya dikenakan sanksi hukum, tetapi juga ada dalam norma-norma hukum tertentu yang tidak dikenakan sanksi. Hal itu merupakan pengecualian hukum. Hal itu dimungkinkan karena adanya alasan pembenaran dan perbuatan-perbuatan tersebut pada hakikatnya merupakan pelanggaran norma hukum, tetapi tidak dikenakan sanksi atau tidak dijatuhi hukuman karena pelaku pelanggaran dibebaskan dari kesalahan. Adapun alasan pembenaran atau menghapus anasir melawan hukum seperti:
Keadaan Darurat (Noodtoestand)
Keadaan darurat merupakan pertentangan antara kepentingan hukum(conflict Van rechtsbelangen) atau suatu pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum (conflict Van rechtsbelangen rechtaplicht) dan pertententangan antara kewajiban hukum(conflict Van rechtaplicht).
Pembelaan Diri Secara Darurat (Noodweer)
Pembelaan secara darurat merupakan salah satu alasan untuk dikecualikan dari hukuman sebagai mana yang telah disebut dalam pasal 49 ayat (1) KUHP."Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan,karena ada serangan atau ancaman ketika itu yang melawan hukum,terhadap diri sendiri maupun orang lain,terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana".
Unsur unsur atau elemen yang harus dipenuhi dalam pasal 49 ayat (1) KUHP,menurut Utrecht didalam bukunya Hukum Pidana 1 ialah sebagai berikut:
Adanya suatu serangan
Serangan diadakan sekonyong-konyong, atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan.
Serangan itu melawan hukum.
Serangan itu dilakukan terhadap diri sendiri ,diri orang lain,kehormatan diri orang lain,harta benda sendiri,atau harta benda orang lain.
Pembelaan terhadap serangan itu perlu diadakan yakni pembelaan itu bersifat darurat.
Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.(E.Utrecht, 1958:364).
Melaksanakan Perintah Undang-Undang (Wettelijk Voorschrift)
Dalam pasal 50 KUHP ditentukan: "barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana" Contoh,seorang polisi mengawal tahanan kemudian tahanan itu memberontak dan kabur karena dalam pengejaran tersebut tahanan sulit ditangkap dan tidak kunjung menyerahkan diri maka polisi menembaknya dan tahanan itupun tewas. Walaupun ketentuan hukum tidak membenarkan polisi untuk menembak mati,namun dalam hal ini tindakan polisi tersebut dapat dibenarkan.
Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah (Bevoegdgezag)
Dalam pasal 51 ayat (1) kUHP (kitab undang undang hukum pidana) ditentukan: "Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana".
Hukum dan Kekuasaan
Jika kita terjun kedalam kenyataan kehidupan sehari-hari maka kita dapat benar menyaksikan hal-hal yang diuraikan pada bagian terdahulu, yaitu yang membicarakan tentang hukum sebagai institusi sosial. Di situ kita melihat, bahwa bekerjanya hukum itu memang tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat(di sekelilingnya).
Singkat kata hukum itu tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri, melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk dilakukannya bagi masyarakat. Diatas, pertimbangan seperti ini muncul dalam bentuk persoalan tentang bagaimana membuat keputusan yang pada akhirnya bisa memberikan sumbangan terhadap efisiensi produk masyarakatnya.
Untuk menjalankan pekerjaan seperti itu, hukum membutuhkan suatu kekuatan pendorong. ia membutuhkan kekuasaan. Kekuasaan ini memberikan kekuatan kepadanya untuk menjalankan fungsi hukum, seperti misalnya sebagai kekuatan pengintegrasian atau pengkoordinasi proses-proses dalam masyarakat. kita bisa mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaannya tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan\
Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri dimana pun ia berada(mahluk sosial). Hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi makhluk manusia, artinya hanya dalam hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya.
Dalam mengelola kehidupannya seperti berinteraksi satu dengan yang lainnya ia membutuhkan suatu aturan. Eksistensi hukum sangatlah penting guna menjadikan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam menjalankan hukum dibutuhkan suatu kekuasaan. Kekuasaan tersebut berguna sebagai kekuatan pendorong terlaksananya hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Mas, Marwan. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
Arrasjid, Chainur. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Soekanto, Soerjono. 1999. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Mahmud Marzuki, Peter. 2016. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenada Media Group.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Antropologi Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Rahardjo, Satjipto. 2001. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hadisoeprapto, Hartono. 1998. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Slamet Kurnia, Titon. 2013. Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum, dan Penelitian Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widowati, Christiani. 2005. "Hukum Sebagai Norma Sosial Memiliki Sifat Mewajibkan", Jurnal Hukum. Vol.4, No.1.
Khasinah, Siti. "Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat", Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA. Vol. XIII, No.2.