Pengelolaan Sampah TPST Piyungan: Potret Kondisi Persampahan Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman PENGELOLAAN LINGKUNGAN BLOK 2 T.A 2017/2018 Radita Ardila Gregorius Wisangtitis Setyaji Novi Asti Lalasati Elma Novendi Izana Saffana Ilma
(14/348832/GE/07631) (14/365883/GE/07842) (14/365298/GE/07804) (14/365914/GE/07894) (14/365827/GE/07835)
DEPARTEMEN GEOGRAFI LINGKUNGAN FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2017
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
1
Oleh Radita Ardila I. Profil TPST Piyungan TPST Piyungan terletak di dukuh Bendo Ngablak dan dukuh Watu Gender desa Sitimulyo Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, ± 16 km sebelah tenggara pusat Kota Yogyakarta, dengan luas lahan 12,5 Ha. TPST Piyungan didirikan pada tahun 1995 dan mulai beroperasi pada tahun 1996.TPST Piyungan dikelola oleh Sub Dinas Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1996 s/d 1999. Namun, dengan adanya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, sejak tahun 2000 sampai tahun 2017 pengelolaan TPAS / TPST Piyungan dilakukan bersama oleh Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul dalam wadah kerjasama Sekretariat Bersama Kartamantul TPST Piyungan terletak pada cekungan dengan kemiringan bervariasi, curam, dan mendatar. Lokasi tempat TPST Piyungan berdiri terbentuk atas tanah ledok dengan jurang yang cukup dalam sebesar 40 m. Kedalaman airtanah berkisar antara 2-5 meter dengan lapisan tanah mengandung gamping. Luas keseluruhan TPST Piyungan sebesar 12,5 Ha dengan kapasitas volume sampah 2.7 juta m3. Saat ini TPST Piyungan merupakan tempat pembuangan akhir regional dari tiga Kabupaten yaitu Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Sampah yang masuk ke TPST Piyungan berkisar antara 400-500 ton/hari dengan sistem pengelolaan sampah control landfill.
II. Landasan Hukum Pengelolaan Sampah Dasar kebijakan pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul secara spesifik diatur pada lima perundangan, yaitu: 1. Undang-undang RI Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Aktivitas pengelolaan sampah untuk tujuan pemanfaatan kembali guna mereduksi sampah, didalamnya terdapat fasilitas untuk merubah sampah menjadi bentuk yang lebih berguna yang teknik pengolahan sampahnya seperti pemilahan sampah, penggunaan ulang.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
2
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pencemaran lingkungan akibat sampah menjadi tanggungjawab pemerintah, sementara dalam menangani pencemaran limbah menjadi tanggungjawab pelaku usaha. 3. UU RI No. 18 Tahun 2008 • Pasal 20 mengenai Pengurangan Sampah 1. Pengurangan sampah meliputi kegiatan: a. pembatasan timbulan sampah; b. pendauran ulang sampah; dan/atau c. pemanfaatan kembali sampah
2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: A. menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu; B. memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan; C. memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan; D. memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang; dan E. memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.
3. Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam.
4. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan peraturan pemerintah. • Pasal 44
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
3
(1) Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya UndangUndang ini. 3. Peraturan Menteri RI Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle Melalui Bank Sampah.
(1) Kegiatan 3R melalui bank sampah dilaksanakan oleh: a. Menteri; b. Menteri terkait lainnya; c. Gubernur; d. Bupati/walikota; dan/atau e. Masyarakat.
(2) Pelaksanaan kegiatan 3R melalui bank sampah oleh Menteri dan menteri terkait lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi: a. pembinaan teknis; b. pembangunan bank sampah percontohan; c. pengintegrasian antara bank sampah dengan penerapan EPR; d. monitoring dan evaluasi pelaksanaan bank sampah di daerah; dan e. pengembangan kerjasama internasional dalam pelaksanaan bank sampah. (3)
(3) Pelaksanaan kegiatan 3R melalui bank sampah oleh gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d meliputi: a. memperbanyak bank sampah; b. pendampingan dan bantuan teknis; c. pelatihan; d. monitoring dan evaluasi bank sampah; dan
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
4
e. membantu pemasaran hasil kegiatan 3R. (4)
(4) Pelaksanaan kegiatan 3R melalui bank sampah oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. pemilahan sampah; b. pengumpulan sampah; c. penyerahan ke bank sampah; dan d. memperbanyak bank sampah. 4. Peraturan Daerah DIY •
Perda Daerah Istimewa Yogyakarta No. 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
5
Gambar 1 Penangan Sampah Menurut PERDA DIY No. 3 Tahun 2013 Penanganan sampah di D.I.Yogyakarta harus didasarkan pada perundangan Perda Daerah D.I.Yogyakarta No.3 Tahun 2013 seperti yang telah dijelaskan pada gambar 1. Kemudian secara spesifik kelima langkah penanganan sampah dijelaskan pada perundangan tersebut. 1. pasal 17 Jenis dan sifat sampah yang harus dibedakan menjadi: • sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun; • sampah yang mudah terurai; • sampah yang dapat digunakan kembali; • sampah yang dapat didaur ulang; dan • sampah lainnya.
2. Pasal 18 (1) Pemilahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus dilakukan mulai dari sumber sampah. (2) Dalam hal masyarakat suatu kawasan belum melakukan pemilahan sampah di sumber sampah, pemilahan dilakukan di TPS 3R atau TPST.
3. Pasal 19 Setiap orang yang menghasilkan sampah wajib memilah sampah sesuai jenis dan sifatnya.
4. Pasal 20 Setiap orang yang membuang sampah di TPST atau TPA wajib terlebih dulu memilah sampahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
5. Pasal 7 Kebijakan pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. Pengurangan timbulan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya; b. Peningkatan tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk berperan dalam pengelolaan sampah; c. Peningkatan kerjasama dan keterpaduan antara Pemerintah Daerah, Pemerintah
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
6
Kabupaten/Kota, pelaku usaha, dan/atau masyarakat yang berperan dalam pengelolaan sampah; d. Peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas pengelolaan sampah yang komprehensif melalui teknik dan metode pendekatan ramah lingkungan; e. Pembinaan sampah sebagai sumber daya bernilai manfaat dan bernilai ekonomi; dan f. Pengembangan alternatif sumber pembiayaan.
5. Keputusan Bersama Bantul, Sleman, dan Yogyakarta Keputusan Bersama Bupati Bantul, Bupati Sleman dan Walikota Yogyakarta Nomor : 152a Tahun 2004, 02/SKB.KDH/A/2004, 03 Tahun 2001 tentang Kerjasama Pengelolaan Prasarana dan Sarana Perkotaan antar Kab. Bantul, Kab. Sleman dan Kota Yogyakarta. Kemudian perundangan lain yang menguatkan pengelolaan secara bersama ini diatur dalam Perjanjian Kerjasama antar Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman , dan Pemerintah Kabupaten Bantul tentang Pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu
(TPST)
di
Piyungan
Kabupaten
Bantul
Nomor
01/Perj.YK/2011,
2/PK.KDH/A/2011, 03/Perj/Bt/2011.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
7
Oleh Gregorius Wisangtitis Setyaji Permasalahan lingkungan hidup dapat timbul karena berbagai sebab. Menurut Karbi (2004), sebab dari masalah lingkungan hidup yaitu: •
Urbanisasi yang cepat dan penggunaan teknologi yang kurang bijaksana, cenderung memusatkan penduduk dan sampah pada tempat yang relatif sempit.
•
Konsentrasi sampah yang melebihi kapasitas lingkungan.
•
Pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan jumlah kegiatan pembangunan, mengakibatkan pergeseran penggunaan lahan.
•
Pertumbuhan ekonomi dan industri yang menyebabkan terjadinya kecenderungan perubahan siklus alami, terutama mengenai perubahan sungai dan kegiatan lain yang dapat mengurangi produktivitas biologis. Menurut Suyoto (2008), sampah adalah sisa kegiatan manusia maupun proses alam
yang berbentuk padat. World Health Organization (WHO) menyatakan sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan permasalahan lingkungan. Sampah yang menumpuk dapat membuat lingkungan menjadi kotor, selain itu juga bisa menambah sedimentasi sungai sehingga meningkatkan risiko banjir. Dampak lain dari sampah yang menumpuk berupa meningkatnya penyebaran penyakit serta bau menyengat yang dapat mengganggu kenyamanan dan kesehatan (Hakim, Wijaya, dan Sudirja, 2006). Berdasarkan sumbernya, sampah dapat dibedakan menjadi 8 (delapan) sumber, yaitu: •
Permukiman (domestic wastes)
•
Tempat umum
•
Perkantoran
•
Jalan raya
•
Industri (industrial wastes)
•
Pertanian/perkebunan
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
8
•
Pertambangan
•
Peternakan dan perikanan.
Jenis-jenis sampah dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu berdasarkan mudah/tidaknya
membusuk
(organik/anorganik),
mudah/tidaknya
terbakar,
serta
karakteristik sampah. Karakteristik sampah yang dimaksud seperti: •
Abu
•
Sampah jalanan
•
Bangkai binatang
•
Sampah permukiman
•
Bangkai kendaraan
•
Sampah industri
•
Sampah hasil penghancuran bangunan
•
Sampah dari daerah pembangunan
•
Sampah padat pada air buangan
•
Sampah khusus (memerlukan penanganan khusus, seperti kaleng cat, zat radioaktif, zat toksis) Permasalahan sampah semakin bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah
manusia maupun hewan yang pada dasarnya merupakan penghasil sampah. Permasalahan sampah di daerah pedesaan tidak begitu terasa karena permasalahan masih dapat ditanggulangi dengan cara misal dibakar, ditimbun, atau dibiarkan mengering sendiri. Permasalahan sampah di perkotaan, permasalahan sampah terkait dengan lokasi area terbuka tempat penampungan sampah, sehingga menjadi permasalahan tersendiri (Suyono dan Budiman, 2010). Permasalahan sampah di suatu kawasan terkait dengan laju peningkatan volume sampah. Kepedulian masyarakat yang buruk (seperti membuang sampah sembarangan) dapat menyebabkan kerugian, seperti banjir di musim hujan karena drainase tersumbat sampah (Hardiatmi, 2011).
Sampah dapat menimbulkan bencana karena dianggap merusak daya dukung lingkungan. Terdapat 2 (dua) jenis bencana akibat rusaknya daya dukung lingkungan, yaitu kerusakan karena faktor internal (berasal dari alam sendiri) serta kerusakan karena faktor eksternal (berasal dari perilaku manusia. (Susilo, 2008)
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
9
Kualitas lingkungan yang bersih dan sehat dapat dicapai dengan pengelolaan sampah. Menurut Azwar (1990), pengelolaan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan memperkecil maupun menghilangkan permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan. Terdapat 5 (lima) aspek penting dalam pengelolaan sampah, yaitu aspek teknologi, hukum/peratutan, institusi, pembiayaan, dan partisipasi masyarakat (Bebassari, 2008). Berbagai metode pengelolaan sampah berbeda-beda, tergantung tipe zat sampah, tanah yang digunakan untuk mengelola, serta ketersediaan lahan. Beberapa metode diantaranya yaitu: •
Vermi Compost (pupuk dari kotoran cacing yang berasal dari tumpukan sampah organik)
•
Biogas (fermentasi dari bahan-bahan organik, sebagai aktivitas anaerobik)
•
Open Dumping (sistem pembuangan sampah di lahan terbuka tanpa ada persiapan lahan pembuangan, tidak dilapisi geotekstil)
•
Controlled Landfill (sistem pembuangan sampah dengan menimbun sampah secara teratur, dibuat barisan dan lapisan setiap harinya, kemudian ditimbun oleh tanah setiap 5-7 hari sekali)
•
Sanitary Landfill (sistem pembuangan dengan menimbun lapisan sampah dengan tanah setiap harinya)
•
Insenerator (pengolahan termal, mengubah sampah menjadi abu untuk mengurangi volume sampah)
Merujuk publikasi statistik lingkungan hidup DIY, tempat sampah didefinisikan sebagai tempat atau wadah untuk menampung sampah yang berlokasi di sekitar halaman atau pagar bangunan yang terbuat dari tembok atau drum atau ember atau lubang besar dan sejenisnya, baik tertutup maupun terbuka. Sampah yang ditampung dalam tempat sampah kemudian diangkut oleh petugas ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sampah dalam lubang atau dibakar jika sampah dibuang ke dalam lubang, baik lubang buatan atau alamiah, atau sampah tersebut dibakar (BPS, 2012). Proses akhir dari pengelolaan sampah di Indonesia biasa dijumpai di TPA, berupa pengurugan atau sering disebut landfilling. Sebagian besar TPA yang ada di Indonesia mengelola sampah dengan sistem open dumping, yang dapat mengakibatkan
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
10
permasalahan lingkungan seperti timbulnya bau, tercemarnya airtanah, asap, dan lain sebagainya. Kebutuhan luas lahan untuk TPA terus meningkat seiring berjalannya waktu, sebanding dengan peningkatan jumlah sampah yang ada.
Volume sampah yang terus
bertambah menyebabkan kebutuhan lahan penimbunan di TPA juga meningkat. Dalam studi kasus perkotaan, sulit menemukan lahan yang memenuhi syarat untuk dijadikan TPA, sehingga TPA terpaksa didirikan di pinggiran kota (Wiranegara, 2002). Penyelesaian yang ideal dalam penanganan sampah di perkotaan adalah dengan pengelolaan sampah terpadu.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
11
Oleh Novi Asti Lalasati Permasalahan sampah yang kerap terjadi di perkotaan adalah volume sampah besar dan melebihi daya tampung tempat pembuangan akhir (TPA). Lahan TPA semakin sempit, faktor jarak mengakibatkan pengangkutan sampah kurang efektif, teknologi pengolahan tidak optimal, terbatasnya tempat penampungan sampah sementara (TPS), kurangnya sosialisasi dan dukungan pemerintah mengenai pengelolaan sampah serta minimnya edukasi dan manajemen diri pengelolaan sampah (Sudrajat, 2006). Pengelolaan sampah perkotaan umumnya dilakukan dengan dua sistem yaitu sentralisasi dan desentralisasi (6). Pengelolaan sampah di DIY ditangani sebagian besar oleh pemerintah secara sentralisasi. Pengelolaan tersebut mulai dari penarikan retribusi, pengumpulan sampah dari sumber, pengumpulan di TPS atau depo sampah dan pengangkutan serta pengumpulan di TPA. Kota Yogyakarta, Kabupatan Bantul dan Kabupaten Sleman menggunakan TPA Piyungan, saat ini beralih nama menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan meski dengan fungsi yang sama. TPST Piyungan terletak di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul dan merupakan bagian dari lereng utara escarpment pegunungan Baturagung. Profil lokasi berupa lembah dengan kemiringan bervariasi, curam dan mendatar serta membentuk tanah ledok dengan jurang yang cukup dalam (40 meter). TPST ini memiliki luas 12,5 Ha dengan kapasitas tampungan sebesar 2,7 juta m3. Adapun usia teknis TPST berdasarkan AMDAL adalah 17 tahun terhitung sejak terbangun dan beroperasi pada tahun 1995. Secara spasial, pembagian zona pengelolaan sampah di TPST Piyungan ditampilkan dalam Gambar 1. berikut. TPST Piyungan berada di Kabupaten Bantul namun cakupan pelayanan tertinggi adalah Kota Yogyakarta (90%) sedangkan Bantul menjadi yang terendah (1,91%), hal ini dapat diamati pada Tabel 1. Data tersebut diperkuat dengan rekapitulasi sampah terbaru oleh pengelola TPST Piyungan yang ditampilkan pada Tabel 2.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
12
Gambar 1. Denah TPST Piyungan Sumber: Buku Profil TPST Piyungan, 2014
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
13
Tabel 1. Kondisi Persampahan di Kota/Kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2014
Sumber : Mulansari dkk (2014)
Tabel 2. Rekapitulasi Sampah Bulanan TPST Piyungan Tanggal 1-31 Oktober 2017 NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE (%) 46.16
1
Kodya Yogyakarta
( Kg ) 8,395,900
2
Kabupaten Sleman
5,211,490
28.65
3
Kabupaten Bantul
2,306,430
12.68
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
335,032
1.84
5
Non Dinas Sleman
287,920
1.58
6
Non Dinas Bantul
46,330
0.25
7
insidental
1,606,890
8.83
Jumlah
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
18,189,992
100 Sumber : Data Pengelola TPST Piyungan (2017)
14
Pengelolaan sampah di TPST Piyungan sebagai TPA terluas di DIY menjadi representasi potret pengelolaan sampah secara umum di provinsi ini. Merujuk pada hasil wawancara peneliti dan pengelola TPST Piyungan ditemukan beberapa masalah utama dalam pengelolaan sampah di lokasi tersebut. Permasalahan pengelolaan sampah di TPST Piyungan menjadi masalah bersama tiga wilayah administratif yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Permasalahan tersebut secara umum adalah sebagai berikut. •
Tren volume sampah yang terus meningkat Sejak beroperasi penuh pada tahun 1996 sampai sekarang jumlah sampah
terangkut terus meningkat dengan penyumbang sampah tertinggi adalah Kota Yogyakarta. Kondisi ini tidak disebabkan oleh pertumbuhan penduduk kota mengingat laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Kota Yogyakarta adalah -0,2%. LPP tercepat selama empat dekade terjadi di kabupaten Sleman dan Bantul yakni sebesar 1,9% dan 1,6% (BPS, 2016). Tingginya volume sampah terangkut dari Kota Yogyakarta disebabkan pengembangan kawasan daerahnya telah masif sebagai kawasan permukiman, pusat ekonomi dan pusat pemerintahan sehingga satu-satunya alternatif pengelolaan sampah adalah pengangkuta ke TPS dan TPA yang berakhir di TPST Piyungan. Berbeda halnya dengan kabupaten Sleman dan Bantul, disebabkan keadaan geografis keduanya berupa perdasaan dengan jumlah lahan kosong yang masih luas serta akses yang jauh dari fasilitas pengelolaan sampah pemerintah daerah (pemda) maka masyarakat memilih untuk menimbun atau membakar sampah. Fakta ini diperkuat oleh Sucipto (2016) yang menyatakan bahwa volume sampah di pedesaan (DIY) masih sedikit dan jenisnya pun tidak bervariasi sehingga alam masih dapat
menampungnya dengan kondisi masyarakat menimbun atau
membakar sampah. Permasalahan utama dari volume sampah yang terus meningkat adalah keterbatasan kapasitas TPST dalam menampung sampah. Apabila kapasitasnya telah terlampaui bukan tidak mungkin terjadi bencana seperti ledakan dan longsor sampah. Bencana tersebut telah terjadi di beberapa TPA kota-kota besar seperti TPA Leuwigajah di Bandung, TPA Kali Gebang di Jakarta, TPA Tendes di
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
15
Surabaya dan TPA Nusa Penida di Bali. Kerugian yang diakibatkan berupa kerugian ekonomi, sosial hingga menelan korban jiwa. Bencana ledakan dan longsor sampah disebakan kapasitas TPA yang overload dan tercampurnya limbah organik-anorganik dengan limbah B3 (barang beracun berbahaya) karena tidak adanya upaya pemilahan sampah dari sumber dan di TPA itu sendiri. Guna menghindari terjadinya bencana yang sama seperti di kota-kota besar lainnya maka pengendalian volume sampah yang masuk ke TPST Piyungan menjadi penting. Saat ini, sekitar 450-500 ton/hari diangkut ke TPST Piyungan. Volume sampah tersebut akan terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk dan pemenuhan kebutuhan lahan untuk tujuan tertentu. Selain, kenaikan
tersebut
juga
dipengaruhi
ketergantugan
masyarakat
terhadap
keberadaan TPA dan TPS serta sistem layanan pengangkutan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup tiap kota/kabupaten. Masyarkat belum memiliki kesadaran lingkungan yang cukup baik sehingga partipasi masyarakat dalam upaya pemilahan sampah, pembuangan sampah ke depo sampah atau TPS secara mandiri serta mengolah sampah masih rendah. Tren volume sampah yang terus meningkat di tiga wilayah cakupan TPST Piyungan dapat diamati pula pada Lampiran 1. •
Usia Teknis TPST Piyungan berakhir pada tahun 2012 Berdasarkan buku profil TPST Piyungan dan hasil wawancara menyatakan
bahwa usia teknis operasionalnya berakhir pada tahun 2012 atau terhitung 17 tahun sejak 1995. Hal ini tentu mengisyaratkan bahwa
TPST Piyungan dalam
kondisi kritis karena TPST ini masih beroperasi sampai sekarang tanpa adanya perubahan luas tampungan badan sampah (10 Ha). Adanya pembebasan lahan ditahun 2016 sebesar 2,5 Ha pada bagian barat belum dapat dipergunakan karena terbentur pada masalah finansial sehingga pihak pengelola menunggu adanya investor yang bersedia menjalin kemitraan untuk keperluan bisnis dibidang pendauran ulang sampah. Meskipun usia teknisnya telah berakhir, pihak pengelola menyatakan bahwa TPST Piyungan
masih dapat beroperasi sebagaimana
mestinya hingga tahun 2018. Kondisi ini tentu memberikan dampak dilematis
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
16
terhadap lingkungan karena bertentangan dengan kajian usia teknis yang tertuang dalam AMDAL TPST Piyungan . Penumpukan sampah yang melebihi usia teknis mengisyaratkan bahwa beban pencemar dari pembusukan sampah di lokasi tersebut terhadap tanah, air dan udara melampaui daya tampung dan daya dukung lingkungan sebagaimana yang menjadi pertimbangan dalam perhitungan usia teknis. Pencemaran terhadap tanah, air dan udara di lokasi tersebut tidak bersifat lokal melainkan berdampak pula pada kehidupan manusia sekitarnya. Jarak TPST dengan kawasan permukiman yang cukup dekat berkisar 20 meter tentu membawa dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat karena adanya bakteri dan zat berbahaya yang terkandung dalam air, tanah dan udara. Kondisi dilematis yang terjadi adalah jika TPST Piyungan menghentikan operasionalnya sampai dengan adanya investor untuk pengembangan lahan 2,5 Ha yang telah dibebaskan maka pencemaran sampah dapat terjadi di sumber-sumber sampah yaitu kawasan permukiman, perkantoran, dan lain sebagainya yang terletak di tiga wilayah administratif yang menjadi cakupan layanan TPST Piyungan. Tidak adanya tempat penampung akhir sampah menyebabkan masyarakat pada pilihan untuk menimbun sampah, membakar sampah dan membuang sampah ke sungai. Perilaku tersebut membawa dampak buruk bagi lingkungan yang sama besarnya bahkan lebih dengan membiarkan TPST Piyungan tetap beroperasi walau usia teknisnya telah berakhir dan diperparah dengan volume sampah yang terus meningkat. •
Belum adanya upaya pengolahan sampah TPST Piyungan terbatas pada pengelolaan sampah semata dimana sampah
yang diangkut ke TPST ini dikelola dengan proses penimbangan, penumpukan, pengurugan dan penimbunan sebagaimana sistem Control Landfill. Pengurangan volume sampah di TPST Piyungan terfokus pada pembusukan alami dan pengambilan sampah bernilai ekonomi oleh pemulung. Aturan yang berlaku menyatakan bahwa lokasi badan sampah harus steril dari pihak eksternal namun kenyatannya sekitar 400 pemulung setiap harinya dibebaskan untuk mengambil sampah di lokasi tersebut. Hal ini berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
17
yang telah berlangsung sejak lama dimana pemulung yang mengambil sampah di TPST Piyungan tidak hanya berasal dari wilayah sekitar sehingga kegiatan tersebut sulit untuk dihentikan. Disamping itu, lokasi TPST Piyungan pada awal pembangunannya terletak jauh dari kawasan permukiman telah mengalami perubahan. Beberapa oknum tengkulak (pengepul sampah) mendirikan bangunanbangunan baik gudang penyimpanan maupun rumah pribadi di sekitar lokasi TPST Piyungan. Pengelola tidak secara resmi menjalin kemitraan dengan pemulung namun tidak dapat dipungkiri peran pemulung cukup besar sebagai upaya pengurangan volume sampah di TPST, khususnya sampah anorganik. Meski demikian, perbandingan volume sampah yang ada dengan jumlah pemulung masih cukup besar sehingga diperlukan upaya lain dalam mengurangi volume sampah yang ditimbun di TPST Piyungan. TPST Piyungan masih berorientasi pada sistem kelola semata perlu melakukan perubahan ke arah pengolahan sampah agar proses penguraian sampah berlangsung lebih efektif dan efisien guna mengurangi timbunan sampah. Pengolahan sampah membutuhkan persiapan dan perencanaan matang diberbagai lini seperti pendanaan, pengadaan alat, tenagakerja (sumberdaya manusia), peran pemerintah atau instansi terkait, partisipasi masyarakat, dan lain sebagainya. Pengelola telah melakukan upaya composting sampah organik namun dengan persentase yang sangat kecil yaitu 5% dari total sampah organik. Padahal sampah organik merupakan jenis sampah yang dominan di TPST Piyungan dengan komposisi 77,36% dari total volume sampah (BPPT, 2016). Pengolahan sampah seperti upaya composting, pembuatan kriya atau barang kerajinan, briket, batako sterofoam, biogas, produksi biji plastik, dan jenis pendaur ulangan sampah lainnya akan signifikan membantu pengurangan volume sampah dan disisi lain memberikan manfaat ekonomi serta berdampak baik terhadap lingkungan.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
18
Oleh Elma Novendi Masalah sampah merupakan masalah yang umum terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di DIY, terdapat tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) yang terletak di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. TPST tersebut mengelola sampah yang berasal dari 2 Kabupaten serta 1 kota madya yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta. TPST tersebut telah beroperasi sejak tahun 1996 sehingga sekarang terjadi permasalahan berupa penumpukan sampah yang telah melampaui kapasitas dari TPST Piyungan. Sehingga diperlukan penyelesaian serta solusi terkait penumpukan sampah di TPST Piyungan. Berdasarkan permasalahan yang sudah disebutkan, terdapat 5 (lima) solusi yang dapat diambil untuk mengurangi permasalahan sampah di TPST Piyungan. Solusi yang dapat diambil berupa: (1) pembentukan komunitas peduli sampah dan lingkungan; (2) pemetaan TPS sementara; (3) pendirian bank sampah; (4) pengolahan sampah; dan (5) pembangunan incinerator. Penyelesaian masalah sampah yang pertama dapat berupa pembentukan suatu komunitas peduli sampah dan lingkungan untuk mengedukasi masyarakat tentang pengelolaan sampah. Komunitas tersebut dapat berupa komunitas yang beranggotakan karang taruna dalam lingkup dusun atau padukuhan. Dalam komunitas peduli sampah tersebut, pemuda yang masih mempunyai pikiran maju dan berpendidikan diberi edukasi atau sosialisasi tentang pemilahan sampah, dimana sampah tersebut dibedakan menjadi sampah organik dan sampah non organik. Sampah organik tersebut dapat diolaj menjadi pupuk kompos yang berdaya jual atau dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri. Pengolahan sampah menjadi kompos dapat dilakukan menggunakan komposter skala kecil, sehingga dapat dilakukan dengan mudah (tidak memerlukan banyak keahlian khusus). Sedangkan sampah non organik dapat dijual di pengepul atau diolah menjadi kerajinan seperti pot bunga, tas, serta pensil yang berdaya jual tinggi. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan dapat dimulai dari rumah anggota komunistas dan lingkungan sekitarnya, sehingga hal tersebut selain dapat mengurangi jumlah sampah yang ada, dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar, sekaligus memberdayakan masyarakat untuk membangun masyarakat berdikari. PENGELOLAAN LINGKUNGAN
19
Solusi yang kedua adalah dengan melakukan pemetaan tempat pengelolaan sampah (TPS) sementara. Pemetaan tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengetahui jarak (seberapa jauh) antar tempat pengelolaan sampah sementara untuk dibangun. Tempat pengelolaan sampah sementara tersebut berfungi untuk menampung sampah yang diangkut dari masyarakat, namun tidak langsung dibawa ke TPST, tetapi dapat dulu dikelola di TPS sementara supaya tidak terjadi penumpukan sampah di TPST. Sampah yang ada di TPS sementara tersebut, masyarakat dapat memanfaatkan sampah yang ada untuk menambah penghasilan ekonomi mereka, seperti mengambil sampah organik untuk dibuat pupuk kompos. Dengan pemanfaatan sampah oleh warga sekitar, jumlah sampah yang ada di TPST juga dapat berkurang. Selain itu, tempat pengelolaan sampah sementara tersebut diharapkan dapat memilah sampah sesuai dengan jenisnya yaitu organik dan an-organik. Pemilahan tersebut dilakukan untuk memudahkan masyarakat dalam mengolah maupun memanfaatkan sampah yang ada. Pemilahan sampah di TPS tersebut lebih mungkin dilakukan daripada di TPST, hal ini disebabkan karena sampah yang di TPS jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan sampah yang ada di TPST. Pelaksanaan pemilahan sampah ini sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh instansi seperti rumah sakit, instansi (kantor), serta lembaga pendidikan. Namun, pada pelaksanaan pengangkutan, sampah tersebut tetap dijadikan satu, sehingga kegiatan pemilahan domestik tidak ada gunanya. Penyuluhan tentang pemilahan sampah, khususnya pada petugas pengelola dapat dilakukan untuk memudahkan proses pemilahan. Penyelesaian masalah yang ketiga adalah dengan metode bank sampah. Bank sampah tersebut membeli sampah dari masyarakat yang ada. Sampah yang dibeli oleh bank sampah hanya berupa sampah an-organik plastik. Dengan metode bank sampah tersebut, masyarakat sanggup untuk memisahkan antara sampah organik dan an-organik yang ada sehingga sampah yang ada tinggal sampah organik saja karena sampah anorganik sudah dijual di bank smpah. Metode ini merubah kebiasaan masyarakat yang dulunya harus membayar uang untuk membuang sampah, sekarang mendapat uang dari setiap kilogram sampah yang dikumpulkan sehingga dapat dengan mudah diterima dilingkungan masyarakat. Bank sampah tersebut bisa berupa usaha individu atau komunitas. Dalam bank sampah tersebut, sampah yang didapatkan dapat didaur ulang supaya sampah yang ada bias dimanfaatkan kembali.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
20
Penyelesaian masalah yang keempat adalah tempat pembuangan sampah terpadu tersebut tidak berbasis lagi pada pengelolaan sampah tetapi sudah berbasis pada pengolahan sampah. Sampai sekarang, TPST Piyungan hanya mengelola sampah yang ada. Sampah yang sampai di sana hanya dengan menggunakan tanah (sanitary landfill), dengan standar ketinggian sampah tersebut mencapai sekitar 57 meter. Penggunaan metode tersebut dinilai tidak efektif karena sampah yang ada tidak akan hilang dan cenderung akan bertambah, tetapi luas area penimbunan tetap, sehingga tetap terjadi penumpukan sampah yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Dengan melakukan pengolahan sampah, hal tersebut diharapkan dapat mengurangi sampah yang ada, karena sampah tersebut diolah menjadi sesuatu yang baru sehingga dapat dimanfaatkan. Pengolahan sampah yang dapat dilakukan adalah pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos. Pengolahan tersebut sangat efektif karena menurut data dari BPPT, sampah yang masuk ke TPST Piyungan, sekitar 77,36% merupakan sampah organik. Sehingga dengan melakukan pengolahan sampah organik tersebut, dapat menurangi sekitar tiga perempat dari volume sampah yang ada. Selain sampah organik yang dapat dijadikan pupuk kompos, terdapat pula sampah an-organik berupa sampah plastik (sekitar 9,96%) yang dapat diolah lagi menjadi biji plastik untuk di ekspor ke negara yang membutuhkan biji plastik sebagai bahan untuk pembangkit listrik mereka seperti negara Swedia dan Inggris. Dengan merubah proses pengelolaan sampah menjadi proses pengolahan sampah, jumlah sampah yang ada di TPST Piyungan dapat di kurangi hingga sekitar 87,32% dari sampah yang ada, dan juga dapat menjadi pemasukan non pajak untuk pemerintah dari pengolahan sampah tersebut. Penyelesaian masalah yang kelima adalah pembangun tempat pembakaran sampah atau incinerator di sekitar TPST sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sampah an-organik merupakan sampah yang tidak dapat terurai oleh tanah atau terurai sangat lama, sehingga salah satu solusinya adalah membakar sampah tersebut. Namun, kegiatan membakar sampah ini dapat menyebabkan polusi udara. Solusi menggunakan incinerator tersebut dilakukan untuk menyaring hasil pembakaran. Udara yang dikeluarkan telah disaring terlebih dahulu sebanyak 3 kali, sehingga udara yang dikeluarkan sudah lebih bersih. Selain itu, dengan incinerator, dapat pula dibangun pembangkit listrik tenaga uap. Uap yang digunakan merupakan uap hasil pembakaran sampah an-organik seperti
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
21
plastik. Selain aman terhadap lingkungan karena tidak ada lagi sampah plastik, pembakaran tersebut dapat juga menjadi solusi dari ancaman krisis energi yang akan terjadi. Negara maju seperti Belanda dan Inggris telah lama menggunakan metode ini untuk mengatasi permasalahan sampah di negaranya. Volume dari sampah memang sulit untuk dikurangi secara signifikan untuk kasus di Indonesia secara umum. Namun, solusi yang diberikan diharapkan dapat mengubah paradigma bahwa sampah hanya dibuang begitu saja, namun potensi yang cukup bagus dari sampah dapat menjadi sumber energi yang baru maupun sebagai bahan daur ulang yang sangat bernilai ekonomis.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
22
Oleh Izanna Safana Ilma Teknologi merupakan suatu alat yang diciptakan oleh manusia untuk mempermudah segala macam kegiatan dan pekerjaan. Tempat pembuangan akhir seperti TPST Piyungan seharusnya dilengkapi dengan berbagai macam teknologi untuk mengurangi jumlah sampah yang ada. Faktanya tren sampah yang ada di TPST Piyungan selalu menigkat dan tidak pernah menghilang, hal ini diakibatkan oleh tidak adanya teknologi yang digunakan untuk mencacah atau merubah sampah menjadi sesuatu yang dapat kembali diolah kembali. Sesuai dengan undang – undang pemerintah No 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, pengadaan alat atau teknologi pemusnah sampah perlu di prioritaskan. Beberapa teknologi yang dapat membantu meyelesaikan masalah di TPST Piyungan adalah teknologi mesin pemecah biji plastik, insenerator, dan rumah komposter. Teknologi ini sempat beberapa kali diusulkan namun belum terealisasi dilapangan karena beberapa hal. Teknologi yang sudah berhasil di terapkan adalah rumah komposter. Rumah komposter dikelola sendiri oleh pegawai dari kantor pengelola TPST Piyungan. Namun, pada prakteknya hal ini tidak membantu pengelola untuk mengurangi volume sampah yang ada di TPST Piyungan. Rumah komposter hanya berhasil mengurangi 5% dari keseluruhan volume sampah karena hanya dikelola secara kecil. Teknologi ini akan sangat tepat jika diterapkan disaat sampah belum sampai ke pembuangan akhir yaitu di rumah-rumah warga. Pengomposan dengan alat komposter seharusnya menjadi efisien dilakukan di sekala rumah tangga atau dalam cakupan RT kareana sekitar 78% dari volume sampah yang ada di TPST Piyungan merupakan sampah organik. Pengomposan merupakan kegiatan merubah sampah organik menjadi kompos. Kompos sendiri sebenarnya memiliki daya jual tinggi. Hal ini dikarenakan dengan kompos selain dapat mendaur sampah kompos juga dapat digunakan untuk menyuburkan tanah, mengurangi penggunaan kimia, menggemburkan lahan kritis, dan lain sebagainya. Metode komposter sekala rumah tangga telah banyak di terapkan karena metodenya yang mudah dan murah. Terdapat berbagai macam PENGELOLAAN LINGKUNGAN
23
teknologi pengomposan yaitu dengan pengomposan secara aerobik, semi aerobik, reaktor cacing,
dan
pengomposan
dengan menggunakan additive (Sudarmanto,2010). Sampah anorganik di TPST Piyungan di dominasi oleh sampah plastik. Hal ini menyebabkan
timbulnya
pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar yaitu menjadi pengepul atau pemulung bahan plastik. Peran sekitar 400an lebih pemulung yang mengambil sampah plastik di TPST Piyungan juga tidak terlalu membantu dalam menekan jumlah volume sampah. Perlu
adanya
teknologi
yang
dapat
digunakan untuk menghancukan sampah plastik dalam sekala besar. Teknologi yang dapat digunakan adalah dengan mesin pemecah plastik menjadi biji plastik. Biji plastik memiliki daya jual yang tinggi dan dapat di impor dengan omset puluhan juta rupiah. Hal ini telah di terapkan di beberapa tempat pengolahan plastik secara kecilkecilan
sejauh
ini
pemerintah
belum
menggunakan alat pemecah plastik untuk pengolahan sekala besar di tempat pembuangan akhir. Fabrikasi, yaitu proses mengubah sampah plastik menjadi bijih plastik (recycle), dengan menggunakan metode melting dan peletisasi. Aktivitas fabrikasi biasanya dilakukan pada tingkat industri recycle, karena teknologi yang digunakan membutuhkan modal yang cukup besar. (Suartika, 2015). Harga satu mesin pemecah biji plastik dengan kapasitas 1500kg/hari mencapai 31jt rupiah. Hal ini alasan mengapa proses pemecahan biji plastik sebaiknya dilakukan secara kolektif.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
24
Teknologi yang dapat digunakan untuk pengolahan sampah lainnya adalah insenerator. Insenerator merupakan alat atau instalasi yang digunakan pada saat dilakukan proses pembakaran sampah dengan skala yang besar. Sudarmanto (2010) mengatakan bahwa dengan teknologi insenerator sampah dapat berkurag 80% dari volume sampah. Sisanya 20% merupakan hasil dari pembakaran sampah yang sudah tidak dapat membusuk lagi sehingga lebih mudah tertangani. Hasil sisa pembakaran sampah dapat digunakan untuk menurug tanah, menimbun sampah lainnya, sebagai bahan campuran bangunan dan lainnya. Efek samping atau dampak dari setiap teknologi tentunya ada. Penggunaan insenerator perlu berhati-hati mengingat hasil dari pembakaran yaitu berupa asap yang dapat menimbulkan adanya pencemaran udara dan memicu teradinya masalah kesehatan. Hasil dari pembakaran sampah biasanya bersifat karsinogenik.
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
25
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis tujukan kepada pihak Pengelola TPST Piyungan khususnya Bapak Ibnu Zulkarnanto, S.Psi. yang telah bersedia menjadi informan bagi kami dan kemurahan hati pengelola dalam memberikan data-data yang mendukung tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Mutiara Bebassari, Sri. 2008. Integrated Municipal Solid Waste Management toward Zero Waste Approach. Jakarta: AET [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Lingkungan Hidup D.I. Yogyakarta. Yogyakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik D.I. Yogyakarta. Yogyakarta. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2016. Final Report Yogyakarta Municipal Waste Utilization Project. Yogyakarta: Shimizu dan BPPT. Buku Profil TPST Piyungan 2013-2014. Hakim M, Wijaya J, dan Sudirja R. Mencari Solusi Penanganan Masalah Sampah Kota. Bandung: Direktorat Jendral Hortikultura Hardiatmi, S. 2011. Pendukung Keberhasilan Pengelolaan Sampah Kota. Jurnal Inovasi Pertanian, 10 (1): 50-66 Karbi, Sukadji. 2004. Model Pengelolaan Sampah Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus di Parepare). Jurnal Pendidikan Geografi FPIPS UPI Mulansari SA, Husodo AH dan Muhadjir N. 2014. Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Sampah Domestik. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8 (8): 406 Suartika, I Made., Made Wijana, Muhammad Sudrajad: Kajian tekno ekonomi unit alat pencacah plastik untuk meningkatkan nilai jual sampah. Dinamika Teknik Mesin, Volume 5 No. 2 Juli 2015 ISSN: 2088-088X
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
26
Sucipto, DC. 2012. Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah. Yogyakarta: Penerbit Gosyen Publ Sudarmanto, Bambang. 2010. Penerapan Teknologi Pengoahan dan Pemanfaatannya dalam Pengolahan Sampah. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi. Semarang : Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Sudrajat, HR. 2006. Mengelola Sampah Kota. Jakarta: Penerbit Swadaya. Susilo, R K D. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Suyono dan Budiman. 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC Suyoto, Bagong. 2008. Rumah Tangga Peduli Lingkngan. Jakarta: Prima Media Wiranegara, D S. 2002. Perencanaan Pengelolaan Sampah Domestik SKala Kawasan di Kecamatan Rungkut, Surabaya. Laporan Tugas Akhir Jurusan Teknik Lingkungan. Surabaya: ITS
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
27
LAMPIRAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
28
TPST PIYUNGAN ALAMAT: NGABLAK SITIMULYO PIYUNGAN BANTUL BALAI PISAMP YOGYAKARTA Tanggal : 01-Januari-2017 s/d 31-Januari-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE
( Kg )
(%)
1
Kodya Yogyakarta
7,304,340
44.00
2
Kabupaten Sleman
4,911,930
29.59
3
Kabupaten Bantul
2,319,630
13.97
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
275,922
1.66
5
Non Dinas Sleman
305,510
1.84
6
Non Dinas Bantul
52,920
0.32
7
insidental
1,432,370
8.63
16,602,622
100
Jumlah
Tanggal : 01-Februari-2017 s/d 28-Februari-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE
( Kg )
(%)
1
Kodya Yogyakarta
6,476,791
42.99
2
Kabupaten Sleman
4,577,440
30.38
3
Kabupaten Bantul
2,051,120
13.61
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
295,614
1.96
5
Non Dinas Sleman
269,220
1.79
6
Non Dinas Bantul
49,520
0.33
7
insidental
1,347,690
8.94
15,067,395
100
Jumlah
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
29
TPST PIYUNGAN ALAMAT: NGABLAK SITIMULYO PIYUNGAN BANTUL BALAI PISAMP YOGYAKARTA Tanggal : 01-Maret-2017 s/d 31-Maret-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE
( Kg )
(%)
1
Kodya Yogyakarta
8,624,061
48.07
2
Kabupaten Sleman
4,882,660
27.22
3
Kabupaten Bantul
2,274,120
12.68
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
345,890
1.93
5
Non Dinas Sleman
282,870
1.58
6
Non Dinas Bantul
52,740
0.29
7
insidental
1,478,210
8.24
17,940,551
100
Jumlah
Tanggal : 01-April-2017 s/d 30-April-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE
( Kg )
(%)
1
Kodya Yogyakarta
8,118,370
48.99
2
Kabupaten Sleman
4,590,340
27.70
3
Kabupaten Bantul
2,072,940
12.51
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
336,302
2.03
5
Non Dinas Sleman
232,340
1.40
6
Non Dinas Bantul
46,650
0.28
7
insidental
1,173,770
7.08
16,570,712
100
Jumlah
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
30
TPST PIYUNGAN ALAMAT: NGABLAK SITIMULYO PIYUNGAN BANTUL BALAI PISAMP YOGYAKARTA Tanggal : 01-Mei-2017 s/d 31-Mei-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE (%) 47.45
1
Kodya Yogyakarta
( Kg ) 7,925,319
2
Kabupaten Sleman
4,702,310
28.16
3
Kabupaten Bantul
2,011,900
12.05
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
316,270
1.89
5
Non Dinas Sleman
247,070
1.48
6
Non Dinas Bantul
43,860
0.26
7
insidental
1,454,300
8.71
16,701,029
100
Jumlah
Tanggal : 01-Juni-2017 s/d 30-Juni-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE (%) 48.63
1
Kodya Yogyakarta
( Kg ) 7,213,341
2
Kabupaten Sleman
4,194,300
28.27
3
Kabupaten Bantul
1,762,730
11.88
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
283,424
1.91
5
Non Dinas Sleman
191,050
1.29
6
Non Dinas Bantul
50,260
0.34
7
insidental
1,139,110
7.68
14,834,215
100
Jumlah
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
31
TPST PIYUNGAN ALAMAT: NGABLAK SITIMULYO PIYUNGAN BANTUL BALAI PISAMP YOGYAKARTA Tanggal : 01-Juli-2017 s/d 31-Juli-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE (%) 47.66
1
Kodya Yogyakarta
( Kg ) 7,710,790
2
Kabupaten Sleman
4,484,200
27.72
3
Kabupaten Bantul
2,093,670
12.94
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
326,245
2.02
5
Non Dinas Sleman
214,440
1.33
6
Non Dinas Bantul
32,500
0.20
7
insidental
1,317,460
8.14
16,179,305
100
Jumlah
Tanggal : 01-Agustus-2017 s/d 31-Agustus-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE (%) 47.07
1
Kodya Yogyakarta
( Kg ) 7,545,650
2
Kabupaten Sleman
4,573,520
28.53
3
Kabupaten Bantul
2,010,840
12.54
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
314,492
1.96
5
Non Dinas Sleman
238,190
1.49
6
Non Dinas Bantul
31,530
0.20
7
insidental
1,317,950
8.22
16,032,172
100
Jumlah
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
32
TPST PIYUNGAN ALAMAT: NGABLAK SITIMULYO PIYUNGAN BANTUL BALAI PISAMP YOGYAKARTA Tanggal : 01-September-2017 s/d 30-September-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE (%) 46.61
1
Kodya Yogyakarta
( Kg ) 7,533,330
2
Kabupaten Sleman
4,539,680
28.09
3
Kabupaten Bantul
2,002,340
12.39
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
305,030
1.89
5
Non Dinas Sleman
252,500
1.56
6
Non Dinas Bantul
37,240
0.23
7
insidental
1,492,340
9.23
16,162,460
100
Jumlah
Tanggal : 01-Oktober-2017 s/d 31-Oktober-2017
NO
ASAL DAERAH
JUMLAH
PERSENTASE (%) 46.16
1
Kodya Yogyakarta
( Kg ) 8,395,900
2
Kabupaten Sleman
5,211,490
28.65
3
Kabupaten Bantul
2,306,430
12.68
4
Non Dinas Kodya Yogyakarta
335,032
1.84
5
Non Dinas Sleman
287,920
1.58
6
Non Dinas Bantul
46,330
0.25
7
insidental
1,606,890
8.83
18,189,992
100
Jumlah
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
33