PENDAPAT ULAMA FIQIH tentang ILLAT RIBA Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada 7 barang yaitu emas, perak, gandum, sya’ir (bijibijian), kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat : - Imam Malik mengkhususkannya pada makanan pokok - Menurut pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada setiap jual beli barang barang sejenis sejenis dan yang ditimbang ditimbang - Imam Syafi’i berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak ser ta ta makanan meskipun tidak ditimbang Perbedaan antar madzhab lebih detail sbb : 1. Madzhab Maliki Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl. Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama. Alasan utama Malikiyah menetapkan illat di atas antara lain apabila riba dipahami agar tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni makanan pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain. 2. Madzhab Hanafi Illat riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang yang telah disebut di atas seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl. Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang seperti hewan, kayu dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya seperti menjual 1 ekor kambing dengan 2 ekor kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa ditimbang. (Alauddin alKhuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, Mukhtar, juz 4, hal. 185) Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits shahih Said al-Khudri dan Ubadah ibn Shanit ra bahwa Nabi Saw bersabda, “emas dengan emas, keduanya sama (mitslan bi mitslin), tumpang terima (yadan bi yadin), (apabila ada) tambahan adalah riba, perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, sya’ir dengan sya’ir, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, kurma dengan kurma, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba”.
Di antara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu menipu di antara manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah Sadd Adz-Dzara ’i (menurut pintu kemudharatan). Namun demikian tidak semuanya berdasarkan sadd adz- dzara’i tetapi ada pula yang betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan (mitslan bi mitslin). Ukuran riab fadhl pada makanan adalah ½ sha’ sebab menurut golongan ini, itulah yang telah ditetapkan syara’ (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 188). Oleh karena itu dibolehkan tambahan jika kurang dari ½ sha’. Illat riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari 2 sifat yang ada pada riba fadhl dan pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang jahiliyah seperti seseorang membeli 2 kg gandum pada bulan Muharram dan akan dibayar menjadi 2,5 kg gandum pada bulan Safar. 3. Madzhab Syafi’i
Illat riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut dihargakan atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi 3 kriteria sbb : a. Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok b. Makanan yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan. Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli harus memenuhi kriteria : a. Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang b. Sama ukurannya c. Tumpang terima Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya seperti menjual gandum dengan jagung, dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima”.
Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung. 4. Madzhab Hambali Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma. Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia. Hal ini sesuai dengan pedapat Saib bin Musayyib (Ibnu Qudamah, Al-Muhtaj, juz 4, hal. 3-5) yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum”. (HR Daruquthni