PENATAAN ZONASI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI SETELAH ERUPSI TAHUN 2010
Tim Penyusun Tim Pengarah: M. Taufik Tri Hermawan,S.Hut,M.Si (Kajian Zonasi, Dosen FKT UGM) Hero Marhaento,S.Hut,M.Si (Analisis SIG, Dosen FKT UGM) Koordinator Kegiatan: Arif Sulfiantono,S.Hut Tim Lapangan: Dhani Suryawan,S.Hut. Edy Nurcahyadi Irwan Yuniatmoko Yosi Ade Permana Putra Sahrul Munir Saifullah
KATA PENGANTAR
Tanggal 26 Oktober Merapi erupsi pertama kali dengan mengeluarkan awan panas (wedhus gembel) yang kemudian disusul letusan besar tanggal 5 November 2010. Kerugian yang diakibatkan bencana alam erupsi Gunung Merapi sangat besar. Ratusan jiwa melayang, ribuan rumah dan gedung rusak, ribuan hektar lahan masyarakat tempat menggantungkan hidup rusak. Banyak sarana prasarana Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang rusak berat, seperti gedung dan fasilitas serta keanekaragaman hayati yang tak ternilai harganya. Kegiatan penataan zonasi sebelum erupsi dilakukan dengan pendekatan spesies payung untuk menentukan prioritas perlindungan kawasan TNGM. Spesies payung yang dimaksud adalah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Seiring dengan adanya kejadian erupsi merapi yang terjadi pada bulan OktoberNovember 2010, maka dilakukan pemetaan kerusakan habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang diakibatkan oleh erupsi merapi. Hasil dari pemetaan dampak kerusakan habitat tersebut selanjutnya akan memberikan arahan kegiatan restorasi kawasan TNGM setelah erupsi baik jangka pendek maupun panjang. Harapan kami semoga hasil kegiatan Penataan Zonasi Kawasan TNGM Setelah Erupsi Tahun 2010 ini mampu mengakomodasi ekosistem yang ada didalam kawasan TNGM dengan mempertimbangkan dinamika ekologi, ekonomi dan sosial budaya yang ada di dalam dan sekitar wilayah TNGM. Kami ucapkan terima kasih kepada Mas Taufik dan Mas Hero dari Fak. Kehutanan UGM, serta semua pihak yang telah membantu. Akhir kata, kami sangat mengharapkan masukan, saran, dan kritik untuk lebih meningkatkan kualitas kegiatan ini serta dapat bermanfaat dalam pengelolaan kawasan. Yogyakarta, Desember 2010
Penyusun
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................... DAFTAR ISI ...............................................................................
ii iii
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................
1
BAB II
TUJUAN DAN OUTPUT KEGIATAN ........................... A. Tujuan Kegiatan ..................................................... B. Output yang diharapkan ..........................................
5 5 5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA ............................................... A. Zonasi Taman Nasional ........................................... B. Pendekatan Spesies Payung (Flagship Spesies) dalam Penataan Zonasi Taman Nasional ............................. C. Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA) ........................
6 6
BAB IV
METODOLOGI .......................................................... A. Tahap I .................................................................. 1. Pengumpulan data dan informasi .......................... 2. Analisis Kebutuhan .............................................. 3. Analisis Temuan Awal .......................................... B. Tahap II ................................................................. 1. Sintesis ............................................................... 2. Saran dan Rekomendasi .......................................
11 11 11 14 15 15 15 15
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................... A. Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi ..................... B. Habitat Potensial Spesies Payung TNGM Sebelum Erupsi 2010 ............................................................. C. Dampak Erupsi tahun 2010 ...................................... C.1. Dampak terhadap zonasi kawasan TNGM ........... C.2. Dampak terhadap tutupan lahan kawasan TNGM. C.3. Dampak Erupsi terhadap Satwa Liar ................... C.3. Dampak Erupsi terhadap Vegetasi Hutan ............ D. Arahan Penataan Zonasi TNGM Setelah Erupsi 2010 ..
16 16 20
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………… KESIMPULAN ………………………………………………. SARAN ..................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN ...........................................
50 50 50 52 53
BAB VI
8 9
32 33 35 35 35 44
BAB I PENDAHULUAN Gunung Merapi merupakan bagian dari rangkaian 129 gunung berapi aktif dari
ring of fire yang memanjang dari kepulauan Sumatra, Jawa, hingga Indonesia bagian timur. Gunung Merapi yang terletak di perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan ekosistem gunung yang unik. Ekosistem Gunung Merapi merupakan perpaduan dari ekosistem hutan hujan di Jawa bagian barat dan ekosistem savana di Jawa bagian timur. Kawasan Gunung Merapi ditunjuk menjadi Taman Nasional pada tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor 134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004. Kawasan ini sebelumnya merupakan kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung, taman wisata alam dan cagar alam. Alih fungsi kawasan ini didasari oleh pertimbangan sebagai berikut: 1. Daerah tangkapan air utama yang memberikan pasokan air bersih bagi daerah pemukiman dan pengairan lahan-lahan pertanian di Propinsi DIY dan Jawa Tengah terutama daerah Magelang, Klaten, Boyolali, Sleman dan Kota Yogyakarta. 2. Hutan Gunung Merapi merupakan hutan tropis pegunungan yang khas karena terletak pada gunung berapi yang masih aktif, sehingga terbentuk ekosistem yang khas pula. Ada kurang lebih 1000 jenis tumbuhan, termasuk anggrek langka Vanda tricolor. Satwa liar yang ada diantaranya adalah macan tutul, kijang, monyet ekor panjang, babi hutan serta 159 jenis burung, dengan 32 jenis diantaranya endemik, termasuk Elang Jawa yang langka. Potensi ini merupakan laboratorium alam yang sangat berguna bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. 3. Kawasan Gunung Merapi yang masih alami cocok untuk wisata alam dan pendidikan, seperti kemah, tracking, outbond, pendakian dan lain-lain. Demikian pula dengan upacara tradisional Labuhan Merapi oleh Mbah Maridjan, Merti Bumi, dan Sedekah Gunung dapat sebagai wisata budaya yang menarik minat wisatawan sehingga dapat meningkatkan PAD.
1
Taman Nasional Gunung Merapi sebagaimana taman nasional lain di Indonesia, dikelola dengan sistem zonasi. Zonasi atau permintakatan merupakan salah satu pendekatan pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional untuk mengatur alokasi sumberdaya dan intensitas pengelolaan serta pemanfaatannya. Pengaturan zona-zona di dalam kawasan konservasi diatur dalam UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, berikut dengan peraturan
perundang-undangan
turunannya.
Bahkan
tahun
2006
Departemen
Kehutanan RI secara khusus telah mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah yang mengatur pedoman tentang zonasi taman nasional (P.56/Menhut-II/2006). Dalam peraturan pemerintah tersebut, disebutkan bahwa evaluasi zonasi dapat ditinjau ulang minimal 3 tahun sekali sebagai bahan peninjauan ulang usulan perubahan zona yang diperlukan sesuai dengan kepentingan pengelolaan. Zonasi yang ada di TN Gunung saat ini terbagi adalah : 1. Zona Inti (Sanctuary zone) seluas ± 860,87 Ha. 2. Zona Rimba (Wilderness zone) seluas ± 2.742,78 Ha. 3. Zona Pemanfaatan (Intensive use zone) seluas ± 257,69 Ha. 4. Zona Lainnya; dengan rincian sebagai berikut : a) Zona Volkano Aktif seluas ± 868,85 Ha b) Zona Tradisional seluas ± 580,05 Ha c) Zona Rehabilitasi seluas ± 910,05 Ha d) Zona Religi, Budaya dan Sejarah seluas ± 15,82 Ha e) Zona Mitigasi Bencana seluas ± 147,34 Ha
2
Zona Vulkano Aktif
Gambar 1. Peta hasil Review Zonasi TNGM tahun 2008 Pembagian zona di dalam kawasan TNGM telah ditetapkan bersamaan dengan penunjukan TNGM, yaitu pada tahun 2004. Pada tahun 2008 dilakukan review zonasi menghasilkan penambahan zonasi yakni zonasi mitigasi untuk luncuran lava, penghapusan zona pemanfaatan pasir, serta revisi zona pemanfaatan wisata alam dan tradisional. Tahun 2009 dilakukan penataan pal batas serta pelarangan penambangan di dalam kawasan TNGM, terutama di kabupaten Magelang. Kekurangan review zonasi yang dilakukan pada tahun 2008 serta penataan pal batas pada tahun 2009 adalah tidak digunakannya pendekatan dan metodologi ilmiah pada pengambilan data, sehingga data yang dihasilkan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bulan Oktober 2010 Gunung Merapi aktif kembali, sehingga tanggal 25 Oktober 2010 status Merapi menjadi Awas. Tanggal 26 Oktober Merapi erupsi pertama kali dengan mengeluarkan awan panas (wedhus gembel) yang kemudian disusul letusan
3
besar tanggal 5 November 2010. Kerugian yang diakibatkan bencana alam erupsi Gunung Merapi sangat besar. Ratusan jiwa melayang, ribuan rumah dan gedung rusak, ratusan ribu orang dipaksa meninggalkan rumah. Banyak sarana prasarana Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang luluhlantak, seperti gedung dan fasilitas wisata alam di Kalikuning, Cangkringan, Sleman. Kerugian tak ternilai lain adalah ekosistem dan keanekaragaman hayati di kawasan TNGM. Data sementara yang rusak seluas 2.416,8 Ha dari 6.410 Ha kawasan TNGM, dengan rincian Kec. Kemalang, Klaten 772,5 Ha; Kec. Musuk-Cepogo & Selo 220 Ha; Kec. Srumbung-Dukun, Magelang 500 Ha; dan Kec. Turi-Cangkringan-Pakem, Sleman 924,3 Ha (TNGM, 2010). Pasca erupsi Merapi juga masih menyimpan kondisi berbahaya yang ditimbulkan dari lahar dingin yang mengalir di sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Hasil kegiatan penataan zonasi sebelumnya (pra erupsi) dilakukan dengan pendekatan Flagship Species untuk menentukan prioritas perlindungan kawasan TNGM. Flagship Species yang dimaksud adalah Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Seiring dengan adanya kejadian erupsi merapi yang terjadi pada bulan Oktober-November 2010, maka dilakukan pemetaan kerusakan habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang diakibatkan oleh erupsi merapi. Hasil dari pemetaan dampak kerusakan habitat tersebut selanjutnya akan memberikan arahan kegiatan restorasi kawasan TNGM setelah erupsi baik jangka pendek maupun panjang.
4
BAB II TUJUAN DAN OUTPUT KEGIATAN
A. Tujuan Kegiatan Tujuan dari Penataan Zonasi ini adalah untuk mengkaji ulang zona pengelolaan TNGM yang mampu mengakomodasi ekosistem yang ada didalamnya dengan mempertimbangkan dinamika ekologi, ekonomi dan sosial budaya yang ada di dalam dan sekitar wilayah TNGM Secara lebih rinci, tujuan dari kajian ini adalah: (1) Memetakan habitat potensial Flagship Species TNGM sebagai pendekatan dalam penataan zonasi TNGM. (2) Memetakan dampak erupsi Gunung Merapi tahun 2010 terhadap keutuhan habitat
Flagship Species Taman Nasional Gunung Merapi. (3) Memberikan arahan penataan zonasi Taman Nasional Gunung Merapi setelah erupsi tahun 2010. B. Output Yang Diharapkan Berdasar pada tujuan di atas, beberapa output yang diharapkan dari kajian ini adalah: 1. Peta habitat potensial Flagship Species di TNGM sebelum erupsi. 2. Peta dampak kerusakan habitat potensial Flagship Species akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010. 3. Arahan penataan zonasi TNGM setelah erupsi tahun 2010.
5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Zonasi Taman Nasional UU No. 5 tahun 1990 pasal 32 menjelaskan bahwa kawasan Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Menurut Permenhut No 56 tahun 2006 tentang Pengelolaan Zonasi Taman Nasional, zonasi adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi
publik,
perancangan,
tata
batas,
dan
penetapan,
dengan
mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zonasi bisa bervariasi macamnya tergantung pada kebutuhan masing-masing taman nasional. Zona-zona tersebut diantaranya berupa zona pemanfaatan tradisional, zona rimba, zona rehabilitasi dan lain sebagainya. Pada dasarnya tidak ada suatu formula khusus untuk menentukan
zonasi
(Philips, 2002 dalam KSDH UGM, 2008). Perencana kawasan konservasi harus memulainya dengan dasar tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan, baru kemudian menetapkan
kriteria
bagi
masing-masing
zona.
Zonasi
ditentukan
dengan
menggunakan informasi terbaik yang tersedia serta keputusan ahli yang melibatkan tim perencanaan yang multidisiplin. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan zonasi menurut Philips, 2002 (dalam KSDH UGM, 2008) adalah sebagai berikut :
Perlindungan biodiversitas yang bernilai tinggi.
Batasan-batasan yang terkait dengan lanskap dan perbedaan ekologi, seperti kelerengan, jenis tanah, hidrologi, dan nilai lanskap.
Penyediaan ajang bagi pengunjung untuk mencari pengalaman yang bervariasi
Eliminasi atau minimasi kegiatan dan pemanfaatan yang merusak sumberdaya yang ada di dalam kawasan .
Kapabilitas
kawasan
untuk
mendukung
pemanfaatan dan pembangunan.
Hasil proses partisipasi atau konsultasi publik.
6
berbagai
macam
keinginan
Kebijakan pemerintah yang terkait dengan penggunaan lahan
Pemanfaatan oleh masyarakat setempat yang telah ada.
Secara umum, kriteria yang digunakan dalam menentukan zonasi Taman Nasional adalah sebagai berikut :
zona inti, yaitu : mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau tidak atau belum diganggu manusia mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi
mempunyai
komunitas
tumbuhan
dan
atau
satwa
beserta
ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
Kriteria zona rimba, yaitu : kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
Kriteria zona pemanfaatan, yaitu: mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi
alam
kondisi
lingkungan
di
sekitarnya
mendukung
upaya
pengembangan pariwisata alam.
B. Pendekatan Flagship Species Dalam Penataan Zonasi Taman Nasional Melindungi seluruh potensi keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan taman nasional merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Adanya keterbatasan informasi keanekaragaman hayati yang ada dan kendala keterbatasan sumber daya manusia menyebabkan perlunya prioritas dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
71
Hal ini yang kemudian menjadi pertimbangan dalam kegiatan penataan zonasi taman nasional. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk menentukan kawasan prioritas perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati sebagai arahan zonasi taman nasional adalah dengan menggunakan konsep Flagship Species. Flagship
Species atau spesies payung adalah suatu spesies yang jika dikonservasi akan memayungi atau melindungi juga spesies lain yang secara alami berada bersama-sama spesies tersebut (Fleisman et al, 2000 dalam KSDH UGM, 2008). Sementara Roberge & Angelstam, 2004 (dalam KSDH UGM, 2008) menerjemahkan sebagai suatu spesies yang jika dikonservasi akan melindungi sejumlah besar spesies lain yang secara alami berada bersama-sama dengan spesies payung tersebut (Indrawan, Primack & Supriatna. 2007, 2007). Spesies-spesies yang lain yang mendapat keuntungan dari dilindunginya Flagship Species disebut sebagai beneficiary species. Konsep Flagship Species merujuk ke kebutuhan luasan minimal wilayah untuk populasi suatu spesies yang berdaya jelajah luas (Wilcox, 1984 dalam KSDH UGM, 2008). Dengan alasan ini maka makhluk hidup yang berbadan besar mempunyai kecenderungan lebih favorit untuk menjadi Flagship Species. Spesies dalam katagori tersebut biasanya adalah vertebrata, terutama karnivora (Roberge & Angelstam, 2004 dalam KSDH UGM, 2008). Konsep Flagship Species dapat digunakan untuk menentukan ukuran minimal kawasan konservasi, memilih lokasi-lokasi yang dimasukkan dalam jaringan kawasan konservasi serta untuk mengatur standar minimal komposisi, struktur dan proses ekologi yang harus masuk dalam sebuah kawasan konservasi. Konsep Flagship Species dibangun menggunakan dasar bahwa kebutuhan atau persyaratan hidup suatu spesies mewakili kebutuhan atau persyaratan hidup speciesspecies lain yang ada disekitarnya. Dalam prakteknya ternyata hanya spesies-species yang kebutuhan hidupnya mirip dengan species payung sajalah yang ikut menikmati perlindungan ini. (Roberge & Angelstam, 2004 dalam KSDH UGM, 2008). Hanya spesies yang memiliki kebutuhan habitat yang serupa dengan Flagship Species-lah yang berpotensi sebagai beneficiary species (Suter et al, 2002 dalam KSDH UGM, 2008).
8
C. Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA) Kompleksitas dalam proses penyusunan zonasi menyebabkan kebutuhan akan perangkat pendukung yang mampu mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data dan informasi secara cepat menjadi sangat tinggi. Salah satu yang direkomendasikan adalah perangkat (tools) Kemampuan
Sistem Informasi Geografis
perangkat
SIG
yang
mampu
(ITC, 2006 dalam Hero, 2010). mendukung
proses
pengumpulan,
penyimpanan, pemanggilan kembali, transfer dan display data-data (Burrough, 1986 dalam Hero,
2010),
menyebabkan
aplikasi
SIG
banyak
dimanfaatkan
untuk
pengambilan keputusan terkait manajemen risiko. Pemakaian SIG dalam penyusunan zonasi diantaranya mencakup penyusunan basis data, inventori data, dan teknik SIG untuk overlay baik secara sederhana hingga tingkat lanjut (Haifani, 2008 dalam Hero, 2010). Penggunaan berbagai parameter berbobot yang diolah dengan perangkat SIG selanjutnya disebut Spatial Multi Criteria
Analysis (SMCA). Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA) atau Analisis Multi Kriteria berbasis Spasial merupakan salah satu bagian dari metode pengambilan keputusan yang dipergunakan untuk menganalisa persoalan yang bersifat multi kriteria dan kompleks dengan memasukkan aspek kualitatif dan kuantitatif. Sesuai dengan namanya, metode ini melibatkan banyak disiplin ilmu dan tujuan tertentu untuk
mencapai suatu
kesepakatan multi sektoral dalam menentukan nilai kepentingan relatif dari masingmasing kriteria yang dilakukan secara logis dan terstruktur. Terdapat dua hal penting dalam penyusunan SMCA (Carver, 1991; Jankowski, 1995 dalam Hero, 2010), yaitu : 1.
Komponen Sistem Informasi Geografis, yang mencakup perolehan data spasial, input data, pengolahan data, pemanggilan data, dan penyajian data
2.
Komponen analisis multi criteria, yang meliputi: penentuan criteria dan bobot, mekanisme dan hasil tabulasi data, proses pengambilan keputusan. Analisis
multi
kriteria
keruangan
dijalankan
secara
transparan
dengan
membangun struktur analisisnya, memberikan nilai ukur, peringkat, standardisasi dan pembobotan sesuai karakteristik masing-masing kriteria. Hasil yang diperoleh masih dapat dianalisa sensitifitasnya untuk mengukur seberapa sensitif hasil diperoleh (output) apabila nilai ukur dan pembobotan pada nilai input dirubah. Hal ini
91
memungkinkan pengambil keputusan untuk memilih alternatif yang lain (terbaik) apabila kondisi riil lapangan berubah yang berdampak langsung pada berubahnya susunan alternatif yang dihasilkan. Keuntungan yang diperoleh dalam menggunakan sistim ini seperti relatif murah jika dibandingkan dengan sistim konvensional (cheaply system), mudah digunakan (user friendly), keluaran (output) dapat disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan peta serta sudah mampu memanfaatkan SIG sebagai bagian dalam proses analisisnya. Efektifitas dan efisiensinya juga dapat dilihat dari bagaimana sistim ini mengarahkan perencana dan pengambil keputusan pada jumlah alternatif pilihan yang semakin mengerucut. Banyaknya aspek yang dipertimbangkan dalam proses analisisnya sehingga mampu disederhanakan dengan memasukan komponen SIG sebagai input datanya. Terkait dengan aplikasi SMCA dalam penyusunan zonasi Taman Nasional Gunung Merapi, tools SMCA akan membantu mengevaluasi seluruh parameter yang digunakan terutama parameter pendukung habitat focal spesies. Parameter tersebut selanjutnya dilakukan identifikasi dan klarifikasi aspek-aspek pendukungnya, kemudian dilakukan pemodelan spasial terhadap seluruh aspek yang terlibat. Proses penentuan bobot dan skor masing-masing aspek berdasarkan pada justifikasi ilmiah dengan pendekatan kepakaran (expertise). Hasil dari proses pemberian bobot dan skor dari seluruh parameter pendukung analisis zonasi selanjutnya dilakukan overlay sehingga menghasilkan nilai-nilai baru yang selanjutnya diinisiasi sebagai rujukan zonasi Taman Nasional.
101
BAB IV METODOLOGI Pentahapan yang harus dilakukan untuk melakukan penyusunan zonasi adalah: tahap pertama, pengumpulan data dan informasi, analisis kebutuhan dan analisis temuan awal, dan tahap kedua, sintesis, solusi, dan rekomendasi akhir.
A. TAHAP I 1. Pengumpulan Data dan Informasi (Data Gathering) Dalam tahap pengumpulan data dan informasi ini dilakukan inventarisasi komprehensif terhadap pola penggunaan ruang di areal TNGM. Bidang telaah yang dilakukan pada tahap ini meliputi: (1) Regulasi dan Kebijakan, (2) Analisis Habitat Spesies Payung TNGM, (3) Dampak erupsi Gunung Merapi tahun 2010
(1) Regulasi dan Kebijakan Regulasi dan kebijakan dalam kajian ini adalah meliputi pengumpulan data dan informasi regulasi dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (Protected Areas) dan Taman Nasional, baik yang berlaku di global, nasional maupun di internal TNGM. Beberapa regulasi yang terkait dengan kontek kajian ini adalah 1) UU No 5/tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2) UU No 41/1999 tentang Kehutanan 3) PP No 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam 4) PP No 7 / 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa 5) PP No 34 /2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. 6) Keppres no 32/ tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 7) SK Dirjen PHPA no 129/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam. Taman Buru dan Hutan Lindung. 8) Peraturan
Menteri
Kehutanan
No:
Pengelolaan Zonasi Taman Nasional. 9) dan sebagainya
11
P.56/Menhut-II/2006
tentang
(2) Analisis Habitat Flagship Species TNGM Flagship Species yang ditetapkan sebagai dasar penyusunan zonasi TNGM adalah Elang Jawa. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan jenis burung endemik pulau Jawa dengan daerah penyebaran terbatas hanya di daerah hutan hujan dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan. Menurut kriteria IUCN, Elang Jawa masuk kategori genting (endangered), serta masuk dalam daftar appendix II CITES. Indonesia juga sudah memasukkan Elang Jawa sebagai satwa yang dilindungi Undang-undang, bahkan melalui Keppres No.4 tahun 1993 tentang Flora dan Fauna Nasional, Elang Jawa ditetapkan sebagai Satwa Kebanggan Nasional. Analisis habitat dilakukan dengan pendekatan spasial terhadap kebutuhan habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) di TNGM. Pemodelan kesesuaian habitat Elang Jawa adalah tinjauan dan penilaian (review and evaluate) dari kebutuhan hidup (life
requisites) suatu spesies. Penentuan kebutuhan hidup suatu spesies dilakukan dengan studi literatur mengenai kondisi habitat yang sesuai untuk menunjang kehidupan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Seluruh kebutuhan habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) selanjutnya dilakukan proses spasialisasi atau penyajian informasi dalam format keruangan (spasial). Setiap parameter yang digunakan selanjutnya ditetapkan sebagai layer dalam lingkungan Sistem Informasi Geografis (SIG). Sebagai contoh, layer tutupan lahan,
layer kerapatan tajuk, layer kelas kemiringan lereng, layer ketinggian tempat, layer jarak ke sungai, dan lain-lainnya. Setiap kelas dalam layer diberikan skor sesuai peranannya dalam menunjang kebutuhan hidup spesies yang dikaji. Perolehan data untuk setiap parameter kebutuhan habitat dilakukan dengan melakukan analisis data-data spasial antara lain : citra satelit ASTER, citra satelit ASTER GDEM, dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Turunan citra satelit ASTER adalah peta tutupan lahan dan peta kelas kerapatan tajuk. Peta turunan citra satelit ASTER GDEM adalah peta kelas kelerengan dan peta hidrologi. Peta turunan dari RBI adalah peta penggunaan lahan, peta administrasi, dan peta akses jalan.
12
Analisis data dilakukan dengan proses Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA), yaitu proses pemberian bobot dan skor pada setiap kriteria yang digunakan. Proses selanjutnya adalah tumpang susun setiap kriteria atau layer yang telah memiliki bobot dan skor. Skor total hasil tumpang-susun akan menyajikan informasi kesesuaian habitat spesies yang dikaji. Hasil kesesuaian habitat selanjutnya disajikan dalam 3 kelas kualitatif, yaitu : kesesuaian rendah, kesesuaian sedang, dan kesesuaian tinggi. Model kesesuaian habitat selanjutnya dilakukan proses validasi. Validasi data hasil
modeling
kesesuaian
habitat
dilakukan
dengan
melakukan
cek
lapangan/pengamatan terhadap spesies yang dimaksud. Penentuan lokasi pengamatan adalah sampling tiap kelas kerentanan hasil model. Di tiap kelas tersebut dibuat jalur transek untuk pengamatan keberadaan spesies yang dikaji. Informasi titik-titik lokasi perjumpaan (langsung maupun tidak langsung) spesies selanjutnya digunakan untuk mengukur tingkat kesuksesan model (success rate). Model diterima apabila success
rate yang dihasilkan pada kelas kesesuaian tinggi lebih dari 85%. Apabila success rate yang dihasilkan dibawah nilai 85%, maka akan dilakukan revisi parameter kebutuhan habitat hingga model yang dihasilkan memiliki nilai success rate diatas 85% (proses berulang-iterative). Diagram alir untuk analisis kesesuaian habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) tersaji pada Gambar 1.
13
Elemen yang berisiko (focal spesies)
Success rate < 85%
Studi Studikebutuhan kebutuhanhabitat habitat
Studi Pustaka Diskusi dengan ahli
Ketinggian tempat Tutupan lahan Penggunaan lahan Kerapatan tajuk Kelas kelerangan
Analisis Citra ASTER Analisis DEM Analisis NDVI Analisis Peta Dasar RBI
Skoring & Overlay
Pengamatan Lapangan
Model Kesesuaian Habitat Focal Spesies tentative
Success Rate
Success rate >85% Model Kesesuaian Habitat Focal Spesies tentative
Peta Kerentanan Kepunahan Keanekaragaman hayati
Gambar 2. Diagram alir untuk analisis kesesuaian habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
(3) Dampak Erupsi Gunung Merapi 2010 Data yang dibutuhkan dari aspek ini adalah dampak kerusakan ekosistem di dalam kawasan TNGM yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Dampak erupsi ini dapat diketahui dengan melakukan interpretasi citra satelit sebelum dan sesudah erupsi bulan Oktober dan November 2010.
14
2. Analisis Kebutuhan (Needs Assessment) Analisis kebutuhan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi kebutuhankebutuhan pengelolaan kawasan TNGM dalam jangka pendek dan jangka panjang sesuai dengan tuntutan dan kendala yang dihadapi. Pada tahap ini akan dapat diperoleh gambaran awal pola pengelolaan TNGM terutama paska erupsi besar tahun 2010. 3. Analisis Temuan Awal (Initial Finding) Dari hasil pengumpulan data dan informasi serta analisis kebutuhan, akan diperoleh item-item rekomendasi awal yang akan digunakan sebagai bahan dalam analisis pada Tahap 2. B. TAHAP II 1. Sintesis (Syntesis) Proses sintesis ini dilakukan setelah proses pada tahap 1 selesai dilaksanakan. Pada tahap ini, proses yang dilakukan adalah sintesis dari berbagai alternatif solusi yang dimungkinkan untuk pengembangan zonasi di TNGM. Dalam tahap ini dimungkinkan untuk menghilangkan alternatif solusi yang tidak feasible untuk dilaksanakan. Dalam tahap ini juga dilakukan analisis tentang prasayarat (prerequisite) yang diperlukan dari alternatif solusi yang ditemukan. 2. Solusi dan Rekomendasi (Solution and Recommendation) Proses akhir dari studi ini adalah penyusunan suatu rencana permintakatan di dalam kawasan TNGM. Rencana yang tersusun ini diharapkan merupakan suatu pola yang mampu mengakomodasikan kepentingan para pihak terhadap pemanfaatan kawasan TNGM. Rencana umum pengembangan wilayah pemanfaatan TNGM ini juga dimaksudkan untuk menyelesaikan “gap” antara kondisi riil dan kondisi ideal yang diharapkan.
15
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. ZONASI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 134/Kpts-II/2004 tanggal 14 Mei 2004 dengan total luas kawasan kurang lebih 6.410 Hektar. Area 5.126,01 Hektar berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah (berada di Kabupaten Magelang, Klaten dan Boyolali) dan 1.283,99 Hektar di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (di Kabupaten Sleman). Berdasarkan laporan Review Zonasi TNGM tahun 2008 terdapat 5 zona pengelolaan di TNGM, yaitu: 1. Zona Inti Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia yang mutlak dilindungi. Fungsi zona inti adalah perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Zona inti di TNGM seluas ±860,87 Hektar yang terdiri dari: a) Zona Inti I (±651,68 Hektar): bagian taman nasional yang berupa kawasan rumput alami yang merupakan transisi antara pasir ke hutan (ecotone); b) Zona Inti II (±201,19 Hektar): bagian taman nasional yang berupa kawasan ekosistem Merapi yang utuh dan mutlak dilindungi dan tidak diperkenankan adanya perubahan oleh aktivitas manusia, merupakan alih fungsi dari Cagar Alam Plawangan-Turgo. 2. Zona Rimba Bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Zona Rimba di TNGM seluas ±2.742,78 Hektar merupakan hutan sekunder dan hutan tanaman lainnya, merupakan kawasan buffer taman nasional. 3. Zona Pemanfaatan Bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Zona pemanfaatan di TNGM seluas ±284,71 Hektar
16
diperuntukkan bagi pusat kegiatan rekreasi, kunjungan wisata dan kegiatan pemanfaatan lain. 4. Zona Lainnya a. Zona Volkano Aktif Bagian dari TNGM berupa puncak Gunung Merapi dan bagian gunung lainnya yang secara alami menjadi daerah aktivitas vulkanik Gunung Merapi. Zona ini berupa gunung anyar dan wilayah luncuran material Gunung Merapi ke arah Kabupaten Magelang berupa tumpukan batu, pasir dan material lain yang masih labil dan berbahaya untuk diadakan kegiatan di atasnya. Zona volkano aktif di TNGM seluas ±868,85 Hektar. b. Zona Tradisional Bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional
oleh
masyarakat
yang
karena
kesejarahan
mempunyai
ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona tradisional di TNGM seluas ±580,05 Hektar merupakan areal yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Gunung Merapi secara tradisional untuk pemanfaatan rumput di bawah tegakan, perencekan, budidaya tanaman bawah tegakan, dan pemanfaatan getah pinus. c. Zona Rehabilitasi Bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. Zona rehabilitasi di TNGM seluas ±910,05 Hektar adalah kawasan TNGM yang mengalami kerusakan akibat erupsi Gunung Merapi, bekas area penambangan pasir, serta sempadan Sungai Kaliworo, di Kabupaten Klaten; Kali Senowo dan Kali Blongkeng di Kabupaten Magelang.
17
d. Zona Religi, Budaya dan Sejarah Bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Zona religi, budaya dan sejarah di TNGM seluas ±15,82 Hektar merupakan kawasan tempat diselenggarakannya Upacara Labuhan Merapi di kawasan TNGM, dimana masuk wilayah administratif Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman, DIY. e. Zona Mitigasi Bencana Bagian dari TNGM yang karena sifat alaminya sebagai daerah lintasan aliran lahar dan material yang timbul akibat aktivitas vulkanik Gunung Merapi harus dipelihara sebagai upaya pengurangan resiko bencana. Zona mitigasi di TNGM seluas ±146,87 Hektar berupa daerah aliran Sungai Kaliworo di Kabupaten Klaten; Kali Senowo dan Kali Blongkeng di Kabupaten Magelang. Zona ini masuk Zona Khusus pada Peta Zonasi.
18
Gambar 3. Peta Zonasi TNGM Sebelum Erupsi 2010 19
B. Habitat Potensial Elang Jawa TNGM Sebelum Erupsi 2010 Pemodelan kesesuaian habitat adalah tinjauan dan penilaian (review and
evaluate) dari kebutuhan hidup (life requisites) suatu spesies. Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan dalam pemodelan kesesuaian habitat adalah dengan metode Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA). Sebagai langkah awal dalam metode SMCA adalah penentuan kriteria atau parameter yang terkait dengan habitat Elang Jawa. Hasil dari studi berbagai pustaka diperoleh informasi bahwa Elang Jawa memiliki karakteristik habitat sukaan yang bersifat umum. Tipe habitat yang disukai antara lain, hutan alami, struktur tajuk yang rapat, ketinggian tempat antara 500 mdpl – 1000 mdpl, kelas kelerengan lahan agak curam – curam, dan lain sebagainya. Namun dalam penelitian ini, kriteria kerentanan dibagi menjadi 3 kelas, yaitu : tinggi, sedang, dan rendah. Sehingga dalam penentuan tipe habitat sukaan Elang Jawa tidak hanya secara binomial (suka dan tidak suka), namun juga menyesuaikan kelas kerentanan menjadi suka, agak suka, dan tidak suka. Hasil kelas sukaan habitat suka menunjukkan bahwa habitat tersebut adalah rentan, sedangkan kelas sukaan habitat tidak suka menunjukkan bahwa habitat tersebut tidak rentan. Penentuan kelas sukaan habitat Elang Jawa dari berbagai sumber pustaka ditunjukkan pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Kriteria Sukaan Habitat Elang Jawa Kriteria Penutupan Tajuk
Kelas Sukaan Habitat
Sumber
Tinggi: rapat
1. Setiadi, A.P. dkk. (2000)
Sedang :sedang
2. www.raptorindonesia.org
Rendah : ringan Diameter
Tinggi: 80-120 cm
Setiadi, A.P. dkk. (2000)
Sedang: tidak ada data Rendah: tidak ada data ketinggian pohon
Tinggi : > 30 m
Setiadi, A.P. dkk. (2000))
Sedang : 30 – 20 m Rendah : 20 – 4 m Ketinggian tempat
Tinggi : 500 – 1000 mdpl
1. Setiadi, A.P. dkk (2000)
Sedang : 1000 – 2000 mdpl
2. Cahyana (2009)
Rendah : 2000 – 3000 mdpl
20
Kelerengan
Tinggi : Sedang & curam
Cahyana (2009)
Sedang : Sangat curam & miring Rendah : Datar Penggunaan lahan
Tinggi : Hutan Alami Sedang : Hutan Sekunder
Nijman, Vincent dan S. (Bas) van Balen (2003)
Rendah : Lahan Tergarap
Sumber : Rahayu, 2010. Metode SMCA mengharuskan seluruh kriteria berbentuk data spasial atau data peta. Dari keseluruhan kriteria sukaan habitat Elang Jawa (Tabel 3), tidak semua data bisa dirubah ke dalam data spasial karena keterbatasan informasi yang bereferensi keruangan. Dalam penelitian ini, parameter habitat Elang Jawa yang digunakan adalah : 1) Penutupan tajuk, 2) Ketinggian tempat, 3) Kelas kelerengan, dan 4) Penggunaan Lahan. Penjelasan kondisi Taman Nasional Gunung Merapi sesuai masing-masing parameter tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Penutupan Tajuk Penentuan kelas penutupan tajuk dilakukan berdasarkan nilai algoritma
Normalized Difference Index Vegetation (NDVI) citra ASTER liputan tahun 2009. Rentang nilai hasil indeks NDVI kemudian dibagi menjadi 5 kelas, yaitu : kelas penutupan tajuk tinggi, tajuk sedang, tajuk rendah, tajuk jarang, dan non vegetasi. Berdasarkan informasi kriteria sukaan habitat Elang Jawa (tabel 3), kelas penutupan tajuk diberikan skor sesuai tingkat kesukaan Elang Jawa. Hasil dari analisis NDVI dapat diketahui bahwa kawasan Taman Nasional Gunung Merapi didominasi kelas kerapatan tajuk sedang (58,32%) yang merupakan habitat sukaan Elang Jawa. Secara berturut-turut dominasi luasan kelas kerapatan tajuk setelah tajuk sedang adalah kerapatan tajuk rendah (18,29%), area tidak bervegetasi (11,43%), kerapatan tajuk jarang (9,93%), dan terakhir kerapatan tajuk tinggi (2,04%). Prosedur pemberian skor menggunakan 3 kelas yaitu skor 1 untuk kerapatan tajuk rendah, skor 2 untuk kerapatan tajuk sedang, skor 3 untuk kerapatan tajuk tinggi. Untuk kelas non vegetasi dan kerapatan tajuk jarang diberi skor 0 (nol) karena memang tidak menjadi
21
parameter sukaan habitat Elang Jawa. Kelas skor tutupan tajuk tersaji pada tabel 2. Hasil peta kelas tutupan tajuk tersaji pada gambar 3. Tabel 2. Skor dan luasan kelas kerapatan tajuk TNGM kerapatan vegetasi
Skor
Luas (Ha)
Persentase luas
Area tidak ber-vegetasi
0
651,82
11,43
Tajuk jarang
0
566,33
9,93
Vegetasi kerapatan rendah
1
1042,96
18,29
Vegetasi kerapatan sedang
2
3326,52
58,32
Vegetasi kerapatan tinggi
3
116,23
2,04
Sumber : Pengolahan data (2010) Ketinggian Tempat Penentuan ketinggian tempat dilakukan dengan melakukan analisis Digital Elevation Model (DEM) terhadap data citra ASTER GDEM. Rentang nilai hasil analisis DEM kemudian dibagi menjadi 3 kelas, yaitu : kelas ketinggian 500 – 1000 mdpl, 1000 – 2000 mdpl, dan 2000 – 3000 mdpl. Berdasarkan informasi kriteria sukaan habitat Elang Jawa (tabel 3), kelas ketinggian tempat diberikan skor sesuai tingkat kesukaan Elang Jawa. Hasil dari analisis DEM dapat diketahui bahwa luasan wilayah dengan ketinggian antara 500 – 1000 mdpl hanya terdapat pada 13,52% wilayah Gunung Merapi, sedangkan kelas ketinggian antara 1000 – 2000 mdpl mendominasi dengan 70,31% luasan, sisanya adalah ketinggian diatas 2000 mdpl. Prosedur pemberian skor menggunakan 3 kelas yaitu skor 1 untuk kelas ketinggian 500 – 1000 mdpl, skor 2 untuk kelas ketinggian 1000 – 2000 mdpl, skor 3 untuk kelas ketinggian 2000 – 3000 mdpl. Kelas skor ketinggian tempat tersaji pada tabel 3. Hasil peta kelas ketinggian tempat tersaji pada gambar 4. Tabel 3. Skor dan luasan kelas ketinggian tempat TNGM tinggi
Skor
Luas (Ha)
Persentase luas
500 - 1000 meter
3
771,13
13,52
1000 - 2000 meter
2
4010,55
70,31
2000 - 3000 meter
1
922,18
16,17
Sumber : Pengolahan data (2010)
22
Gambar 4. Peta Kerapatan Vegetasi TNGM 23
Gambar 5. Peta Ketinggian Tempat TNGM 24
Kelas Kelerengan Penentuan kelas kelerengan dilakukan dengan melakukan analisis Digital Elevation Model (DEM) terhadap data citra ASTER GDEM. Hasil DEM kemudian dilakukan topographic
modelling dengan software ENVI 3.5 untuk menghasilkan nilai kelerengan dalam persen. Rentang nilai hasil analisis kelerengan kemudian dibagi menjadi 5 kelas, yaitu : datar, miring, agak curam, curam, dan sangat curam. Berdasarkan informasi kriteria sukaan habitat Elang Jawa (tabel 1), kelas kelerengan diberikan skor sesuai tingkat kesukaan Elang Jawa. Hasil dari analisis DEM dapat diketahui bahwa kawasan TNGM didominasi kelas kelerengan sangat curam (49,86%), kemudian secara berturut-turut diikuti kelas agak curam (19,91%), curam (16,82), miring (8,81%), dan datar (4,60%). Prosedur pemberian skor menggunakan 3 kelas yaitu skor 1 untuk kelas kelerengan datar, skor 2 untuk kelas kelerengan miring dan sangat curam, skor 3 untuk kelas kelerengan agak curam dan curam. Kelas skor kelerengan tersaji pada tabel 4. Hasil peta kelas kelerengan tersaji pada gambar 5. Tabel 4. Skor dan luasan kelas kelerengan TNGM Kemiringan lereng
Skor
Luas (Ha)
Persentase luas
Agak curam
3
1135,50
19,91
Curam
3
959,58
16,82
Datar
1
262,31
4,60
Miring
2
502,61
8,81
Sangat curam
2
2843,86
49,86
Sumber : Pengolahan data (2010) Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi ditentukan berdasarkan pada data Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) produksi Bakosurtanal. Dari peta RBI diketahui bahwa terdapat 10 kelas penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung Merapi. Penggunaan lahan semak belukar/alang-alang mendominasi dengan luasan 43,42% dari total luas kawasan. Secara berturut-turut luasan penggunaan lahan yang dominan adalah semak belukar (45%); hutan primer (21%); hutan sekunder (9,98%); tanah terbuka (9,72%); rumput (8,07%); alang-alang (5,87%); air tawar/sungai (0,4%).
25
Prosedur pemberian skor menggunakan 3 kelas yaitu skor 1 untuk penutupan lahan semak belukar, alang-alang, rumput, tanah terbuka, dan air tawar/sungai; skor 2 untuk penggunaan hutan sekunder; skor 3 untuk penggunaan lahan hutan primer. Kelas skor penggunaan lahan tersaji pada tabel 5. Hasil peta kelas kelerengan tersaji pada gambar 6. Tabel 5. Luasan penggunaan lahan TNGM PENGGUNAAN LAHAN
LUAS (HEKTAR)
Hutan Sekunder
PERSENTASE
613,56
9,98
24,33
0,4
2764,29
45
Tanah terbuka
597,59
9,72
Hutan Primer
1289,42
21
Rumput
495,64
8,07
Alang-alang
360,62
5,87
6410
100
Air Tawar / Sungai Semak / Belukar
TOTAL
Sumber : Pengolahan data (2010) Analisis habitat potensial Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) diperoleh dengan melakukan operasi tumpang susun terhadap seluruh parameter sukaan habitat, yaitu : penutupan tajuk, ketinggian tempat, kemiringan lereng, dan penggunaan lahan. Skor total yang dihasilkan dalam proses tunpang susun selanjutnya dikelaskan menjadi 3 parameter kualitatif, yaitu : tinggi, sedang, dan rendah. Kelas tinggi merujuk pada tingkat kesukaan Elang Jawa yang tinggi, sedangkan kelas rendah merujuk pada tingkat kesukaan Elang Jawa yang rendah. Hasil dari analisis habitat potensial menunjukkan bahwa 11,34% luasan wilayah Taman Nasional Gunung Merapi merupakan habitat potensial Elang Jawa yang tinggi. Di lokasi tersebut memiliki tingkat kemungkinan perjumpaan dengan Elang Jawa paling besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Namun, sebelum hasil tersebut diinisiasi sebagai peta kerentanan Elang Jawa diperlukan uji validasi untuk mengukur tingkat kesuksesan model (success rate).
26
Gambar 5. Peta Kelas Kelerengan TNGM 27
Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan TNGM 28
Validasi dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan dengan mengambil sampel lokasi tiap kelas kerentanan yang dihasilkan dari model, dan menggunakan data hasil pengamatan yang sudah dilakukan oleh PEH Balai Taman Nasional Gunung Merapi bekerjasama dengan LSM Kutilang (2010). Hasil dari pengamatan lapangan ditemukan 6 titik perjumpaan Elang Jawa di wilayah selatan Taman Nasional Gunung Merapi. Hasil uji validasi, ke-6 titik tersebut masuk dalam kelas kerentanan tinggi yang menunjukkan bahwa akurasi dari model mencapai 100%. Merujuk hasil validasi tersebut, maka model kerentanan Elang Jawa yang dihasilkan dapat diinisiasi sebagai nilai kerentanan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Luas kawasan tingkat kerentanan Elang Jawa tersaji pada tabel 6. Peta hasil kerentanan Elang Jawa (Spizaetus
bartelsi) tersaji pada gambar 7. Tabel 6. Luas kelas kerentanan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) di TNGM Tingkat kerentanan
Luas (Ha)
Persentase luas
Rendah
3578,38
62,74
Sedang
1477,58
25,90
Tinggi
647,05
11,34
Sumber : Pengolahan data (2010).
29
Gambar 7. Peta Habitat Potensial Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) TNGM 30
C. Dampak Erupsi Merapi tahun 2010 Gunung Merapi adalah salah satu gunung paling aktif di dunia. Erupsierupsi kecil rutin terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Erupsi Merapi besar terjadi pada tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Bahkan saat erupsi tahun 1006 memaksa Mpu Sendok memindah Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah untuk pindah ke Jawa Timur. Pada 10 tahun terakhir, tercatat 2 erupsi cukup besar pada tahun 2001 dan 2006; serta erupsi besar pada tahun 2010 ini. Erupsi tahun 2010 dimulai pada tanggal 25 Oktober 2010 saat status Merapi menjadi Awas. Tanggal 26 Oktober Merapi erupsi pertama kali dengan mengeluarkan awan panas (wedhus gembel) yang kemudian disusl letusan besar tanggal 5 November 2010. Kerugian yang diakibatkan bencana alam erupsi Gunung Merapi sangat besar. Tercatat ada 259 orang meninggal, 1961 ternak warga Merapi mati, ribuan rumah dan gedung rusak, ratusan ribu orang dipaksa meninggalkan rumah. Banyak sarana prasarana Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang luluh-lantak, seperti gedung dan fasilitas wisata alam di Kalikuning, Cangkringan, Sleman. Kerugian tak ternilai lain adalah ekosistem dan keanekaragaman hayati di kawasan TNGM. Salah satu ciri khas dari erupsi Gunung Merapi adalah terbentuknya awan panas (pyroclastic) atau lebih dikenal sebagai wedhus gembel. Awan panas adalah material piroklastik berupa abu atau debu volkan dan gas, yang meluncur mengikuti aliran lava atau guguran kubah lava dengan kecepatan mencapai 90 km per jam dan suhu tinggi (>400C). Awan panas jatuhan adalah awan dari material erupsi panas besar dan kecil yang dilontarkan ke atas oleh kekuatan erupsi yang besar. Material berukuran besar akan jatuh di sekitar puncak, sedangkan yang halus akan jaruh mencapai puluhan, ratusan bahkan ribuan kilometer dari puncak karena pengaruh hembusan angin. Selain resiko bahaya awan panas, bahaya lain akibat erupsi Merapi adalah ancaman lahar, baik lahar panas maupun lahar dingin. Lahar adalah aliran material piroklastik (batu, kerakal, kerikil, pasir, dan lumpur) yang berasal dari runtuhnya kubah lava akibat guyuran air hujan yang lebat, dengan kecepatan
31
menengah hingga tinggi pada suhu >100C (lahar panas) atau < 100C (lahar dingin). C.1. Dampak terhadap zonasi kawasan TNGM Erupsi Merapi kali ini membawa dampak hilangnya ekosistem hutan yang cukup luas. Adanya luncuran awan panas dan banjir lahar dingin ke arah selatan dan barat lereng Merapi mengakibatkan terjadi perubahan lingkungan di dalam kawasan. Perubahan lingkungan ini mencakup komponen abiotik, biotik dan sosial budaya. TNGM sebagaimana taman nasional yang lain, dikelola berdasarkan sistem zonasi. Zonasi merupakan pengaturan tata ruang didalam kawasan Taman Nasional menyesuaikan kondisi ekologi, sosial dan ekonomi yang ada. Zonasi TNGM yang ada adalah hasil dari penyusunan Rencana Pengelolaan TNGM (2005) dan diperbaiki zonasinya pada tahun 2008. Kesesuaian zona yang lama dengan dinamika yang baru perlu dilihat lagi. Peta zonasi TNGM setelah erupsi 2010 dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan luas tiap zona yang terdampak erupsi disajikan pada Tabel berikut ini. Zonasi
Luas Sebelum Erupsi
Luas Terdampak
2010 (Ha)
Erupsi 2010 (Ha)
Zona Khusus
1387,79
91,44
Zona Inti
695,51
97,94
Zona Rehabilitasi
637,86
3,39
2636,14
452,84
377,40
84,14
-
5004,95
Zona Rimba Zona Pemanfaatan Lainnya Luas terdampak Erupsi
32
Gambar 8. Peta Zonasi TNGM Setelah Erupsi 2010 33
C.2. Dampak terhadap tutupan lahan kawasan TNGM Berdasarkan citra satelit ASTER perekaman pasca erupsi Merapi dapat diketahui bahwa seluruh kawasan TNGM terkena abu vulkanik.
Untuk
memperoleh gambaran yang jelas tentang kondisi kawasan TNGM diperlukan pengamatan di lapangan secara langsung. Oleh karena itu, data untuk penataan zonasi juga diambil dari lapangan langsung, untuk kroscek dengan data citra. Hasil dari perbandingan antara citra ASTER sebelum erupsi dan paska erupsi diperoleh informasi bahwa 82,10% kawasan TNGM rusak akibat dampak erupsi. Kawasan penyangga sekitar TNGM juga mengalami kerusakan yang cukup parah. Vegetasi yang tersisa adalah vegetasi berkayu kerapatan tinggi dan sedang yang mayoritas masih terdapat di kawasan hutan Plawangan-Turgo, Pakem-Sleman yang selamat dari awan panas; lainnya terdapat di kawasan hutan Tegalmulyo, Klaten dan bukit Bibi, Musuk-Boyolali. Dimungkinkan daerah ini sebagai migrasi satwa liar saat erupsi. Vegetasi semak dan rumput yang banyak ditemukan di Pakem, Sleman kemungkinan bekas daerah yang terkena awan panas kemudian cepat ditumbuhi semak; hal ini berdasarkan kroscek di lapangan sebagian kawasan Pakem terkena awan panas. Sedangkan vegetasi semak dan rumput ditemukan di daerah Kemalang, Klaten dan Musuk, Boyolali karena daerah tersebut sebelum erupsi juga mayoritas terdiri dari semak dan rumput yang sengaja dipelihara oleh warga masyarakat. Apabila ditinjau dari batas wilayah administrasi, dapat diketahui bahwa wilayah yang mengalami kerusakan parah berada di wilayah Kabupaten Magelang; Kabupaten Sleman; dan Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten. Peta dampak erupsi merapi terhadap kawasan TNGM tersaji pada gambar 9. Data dampak kerusakan tersaji pada tabel 8.
34
Gambar 9. Peta Penutup Lahan TNGM Pasca Erupsi 2010 35
Tabel 8. Luas Land Cover Dan Kerusakan Kawasan TNGM Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010 Luas (Ha) No.
Kelas Penggunaan Lahan
Sebelum
Setelah
Erupsi (2009)
Erupsi (2010)
1777.33
59.69
1717.64
Terdampak
1
Tanah Terbuka
2
Vegetasi Kerapatan Rendah
85.98
19.73
66.25
3
Vegetasi Kerapatan Sedang
509.97
198.63
311.34
4
Vegetasi Kerapatan Tinggi
1816.07
295.05
1521.02
5
Vegetasi Tipikal Rumput
1251.98
208.89
1043.08
6
Vegetasi Tipikal Semak
2550.07
365.24
2184.83
TOTAL
6145.45
1147.24
5263.06
100
17.90
82.10
Prosentase (%) Sumber : Pengolahan Data (2010)
C.3. Dampak Erupsi terhadap Satwa Liar Erupsi Gunung Merapi menimbulkan korban pada satwa liar, baik langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung satwa mengalami kematian, luka, penyakit dan kelaparan.
Dampak tidak langsung berupa hilangnya ruang habitat, penurunan
kualitas dan keanekaragaman habitat serta hilangnya berbagai komponen habitat, seperti sumber air, tempat berkubang dan bersarang. Pengambilan data satwa liar TNGM pasca Erupsi ini dilakukan dengan penilaian cepat (rapid assessment) bersama Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Puslitbang) Bogor, yakni Dr.Ir.Hendra Gunawan,M.Si; Prof.Dr.M. Bismark, M.S.; dan Ir.Mariana T,M.Si pada tanggal 15-19 Desember 2020.. Penilaian cepat merupakan studi orientasi dan investigasi cepat dalam rangka menghimpun data dan informasi awal guna menyusun program penyelamatan satwaliar khususnya dan keanekaragaman hayati Gunung Merapi pada umumnya setelah erupsi. Dampak erupsi Gunung Merapi pada satwaliar terjadi pada beberapa tingkatan yaitu:
Mati langsung akibat terkena awan panas
Luka atau sakit yang akhirnya juga bisa berakibat pada kematian
Kekurangan makanan yang dapat mengakibatkan kematian atau mencari makan diluar hutan, misalnya di kebun dan peternakan.
3636
Mengungsi ke tempat yang aman di dalam TNGM
Migrasi ke luar TNGM, misalnya menuju Gunung Merbabu. Bangsa burung merupakan satwa yang paling dapat menyelamatkan diri dari
bahaya erupsi sehingga diduga tidak mengalami kematian langsung.
Bagi burung,
dampak yang paling signifikan adalah hilangnya habitat tempat mencari makan dan tempat berlindung. Komposisi komunitas burung diduga akan mengalami perubahan dari burung herbivora (burung hutan) yang dominan sebelum erupsi menjadi burung pemakan serangga (insektiviora) yang biasa hidup di vegetasi terbuka dan sekunder. Beberapa jenis burung yang dijumpai di kawasan hutan yang mengalami kerusakan di Resort Dukun antara lain: Elang bido (Spilornis cheela), Elang hitam
(Ictinaetus malayensis), Tekukur (Streptopelia chinensis), Pelatuk gunung (Picus vittatus), Walet sapi (Collocalia esculenta) dan Kutilang (Pycnonotus aurigaster). Di hutan yang relatif terhindar dari dampak erupsi di Resort Kemalang antara lain dijumpai Elang hitam, Alap-alap walet (Falco subbuteo), Betet (Psittacula alexandri), Rajaudang biru (Halcyon chloris), Cinenen kelabu (Orthotomus sepium), burung Kacamata gunung
(Zosterops montanus), dan walet gunung (Aerodramus brevisrostris). Beberapa jenis mamalia yang dijumpai tidak langsung (berdasarkan jejak) pada saat peninjauan lapangan antara lain : Kijang (Muntiacus muntjak), Kuciing hutan
(Prionailurus bengalensis), Luwak biasa (Paradoxurus hermaphroditus).
Satwa yang
dijumpai langsung adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Tupai
(Callosciurus notatus). Sementara berdasarkan informasi masyarakat pernah dijumpai macan tutul/kumbang (Panthera pardus melas) turun ke dekat pemukiman di wilayah Sleman dan Magelang.
Lubang persembunyian Landak (Hystrix brachyura) juga
ditemukan di Gua Jepang, Tlogo Nirmolo, Kaliurang.
37
Foto atas : Arif Sulfiantono; Foto bawah : Hendra Gunawan Gambar 10. Respon satwa terhadap erupsi; burung merupakan satwa yang bisa menyelamatkan diri; Landak mati diduga karena menghirup abu vulkanik, monyet mampu beradaptasi dengan habitat manusia, jejak kucing hutan menuju keluar hutan.
38
Gambar 11. Jejak satwa yang dijumpai di sekitar hutan yang rusak terbakar di Resort Dukun. Atas: Paradoxuurus hermaphroditus; Tengah : Muntiacus muntjak; Bawah: Prionailurus bengalensis (dahulu Felis bengalensis) Mamalia kecil seperti landak (Hystrix brachyura), mungkin ada yang mengalami kematian langsung karena belum sempat mencapai daerah aman ketika menyelamatkan diri sudah diterjang awan panas. Kematian juga bisa disebabkan karena penyakit, luka atau kelaparan. Daerah jelajah mamalia kecil yang tidak luas bisa menjadi penyebab kematian karena kelaparan.
39
Monyet (Macaca fascicularis) sudah terbiasa hidup di pinggir hutan dan sudah teradapatasi dengan manusia, sehingga ketika terjadi erupsi dan habitat rusak mereka mengungsi ke habitat aman di tepi hutan dekat dengan pemukiman dan beradaptasi dengan memakan sisa makanan manusia dan mengais sampah. Karnivora besar seperti macan tutul diduga mampu menyelamatkan diri dengan berpindah ke daerah yang aman dan sempat diketahui memasuki pemukiman. Macan tutul memiliki daerah jelajah yang luas dan memiliki kemampuan berpindah yang cepat, sehingga kemungkinan menjadi korban langsung kecil.
Macan tutul juga dapat
beradaptasi dengan memakan bangkai. Karnivora kecil seperti kucing hutan (Prionailurus bengalensis) tampaknya masih bertahan, yang ditunjukkan oleh banyaknya jejak kaki menuju ke tegalan di sekitar kawasan hutan dan kembali ke hutan. Mungkin satwa ini melebarkan jelajahnya untuk mencari makan dan minum sampai ke daerah tegalan. Penduduk sekitar Gunung Merbabu melaporkan adanya migrasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari Gunung Merapi ke Gunung Merbabu.
Migrasi ini
tampaknya masih mungkin terjadi melalui sungai atau sempadan sungai yang relatif aman dari penglihatan manusia. C.4. Dampak Erupsi terhadap Vegetasi Hutan Vegetasi hutan yang mengalami kerusakan adalah yang terkena luncuran awan panas dan jatuhan abu panas. Jangkauan radius kerusakan akibat awan panas dan abu panas mencapai lahan pertanian di luar kawasan TNGM seperti di Resort Dukun dan Srumbung di Kabupaten Magelang, bahkan mencapai pemukiman seperti di Resort Cangkringan, Sleman dan Kemalang, Klaten. Kawasan hutan yang kerusakannya relatif tidak terlalu parah antara lain terdapat di Resort Selo dan Musuk-Cepogo, Boyolali. Kerusakan dapat dikelompokkan menjadi:
1) Sangat Parah Hampir Semua (>>75%)
vegetasi hilang karena terbakar dan tumbang
sehingga rata dengan tanah, tidak ada pohon yang bertahan (survive).
2) Parah Lebih dari separo (75-50% )vegetasi terbakar atau layu terkena awan panas atau abu panas tetapi sebagian besar masih berdiri sehingga ada peluan dapat bertunas kembali.
40
3) Sedang Sebagian (25-50%) vegetasi terbakar atau tumbang tetapi masih tampak ada yang bertahan (tajuknya hijau) sehingga bila dibiarkan dapat menjadi induk bagi regenerasi vegetasi.
4) Ringan Sebagian kecil (<25%) vegetasi
mengalami kerusakan karena terbakar atau
terkena awan panas tetapi secara umum masih tampak hijau dan masih memungkinkan pemulihan sendiri dalam waktu singkat.
5) Tidak terdampak Kawasan dalam kategori ini masih utuh, tidak terbakar atau terkena awan panas. Contohnya di kawasan hutan Tegalmulyo, Kec. Kemalang, Klaten.
SANGAT PARAH
PARAH
SEDANG
RINGAN
TIDAK TERDAMPAK Gambar 12. Beberapa stadium kerusakan ekosistem hutan di TNGM.
41
Kerusakan ekosistem hutan yang sangat parah terjadi di wilayah Resort Cangkringan, Sleman dan Kemalang, Klaten. Kerusakan parah di wilayah Resort PakemTuri, Sleman yakni di kawasan Pronojiwo, Tlogo Muncar, Kaliurang. Kerusakan sedang terjadi di wilayah Resort Dukun dan Srumbung, Magelang; sedangkan kerusakan ringan antara lain terjadi di sekitar bukit Turgo, Pakem. Untuk kategori tidak terdampak ada di kawasan hutan Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten. Kawasan ini berupa cekungan dan terlindungi oleh bukit yang cukup tinggi, sehingga tidak terkena dampak erupsi Merapi. Hampir semua jenis pohon yang terkena awan panas mengalami kematian atau tumbang. Hanya beberapa jenis yang tampaknya tahan tetap hijau, diantaranya Aren
(Arenga pinnata). Jenis-jenis bambu umumnya batangnya meletus (pecah) kemudian tumbang.
Pohon pinus (Pinus merkusii) mengalami kerusakan paling parah, diduga
karena mudah terbakar.
Umumnya yang terkena awan panas langsung, batangnya
tidak hanya terbakar tetapi juga tumbang. Mengingat Gunung Merapi masih berstatus siaga, observasi lapangan tidak sampai ke lokasi yang lebih jauh, hanya sampai ketinggian 2.000 m dpl, sehingga tidak dapat menemukan korban satwaliar lebih banyak. Kalaupun ada korban satwa karena awan panas kemungkinan sudah tertimbun abu vulkanik. Meskipun kerusakan hutan sangat parah, namun masih ada vegetasi hijau yang tersisa di sisi barat dan utara yang bisa menjadi tempat pengungsian bagi satwa yang masih bertahan di TNGM.
42
Gambar 13.Kawasan hutan di Plawangan-Turgo yang relatif tidak terkena dampak erupsi diduga menjadi tempat pengungsian satwa, salah satu jenis yang mengungsi ke kawasan ini adalah Macaca fascicularis.
Gambar 14. Kiri: Pohon Aren (Arenga pinnata); kanan : pohon mahoni (Swietenia
mahagoni) yang tampak hijau diantara pohon lain yang terbakar abu panas dan awan panas.
43
Kerusakan hutan tanaman yang merupakan jenis eksotik (Pinus merkusii dan
Acacia decurens) bisa menjadi peluang untuk melakukan restorasi, yaitu mengembalikan fungsi ekosistem semula, yaitu ekosistem hutan alam pegunungan. Kerusakan hutan tanaman jenis eksotis bisa dianggap sebagai eradikasi alamiah.
Idealnya di taman
nasional memang tidak terdapat jenis eksotik yang dapat mengancam jenis-jenis asli dan endemik. Hutan pinus dan Acacia decurens yang telah musnah oleh bencana erupsi bisa direstorasi dengan jenis-jenis pohon asli Gunung Merapi.
Restorasi perlu dilakukan
karena proses recovery alami akan memakan waktu lama melalui suksesi alamiah. Restorasi ini juga dapat mempercepat pemulihan fungsi hutan sebagai habitat satwa. Dengan demikian dalam waktu yang tidak terlalu lama, komunitas satwa dalam ekosistem Gunung Merapi akan kembali pulih dan mencapai keseimbangan dinamis. D. Arahan Penataan Zonasi TNGM Setelah Erupsi 2010 Kawasan TNGM yang terkena erupsi sehingga rusak dan terdegradasi merupakan suatu kesempatan bagi pengelola TNGM dan para ahli biologi konservasi untuk membuat kajian dalam upaya pemulihan spesies maupun komunitas yang pernah menghuni ekosistem tersebut di masa lalu. Pemulihan ekologi (ecological restoration) merupakan praktek perbaikan yang dapat didefinisikan sebagai proses yang secara sengaja mengubah (keadaan lingkungan) suatu lokasi untuk membentuk kembali suatu ekosistem tertentu yang bersifat asli dan bernilai sejarah. Tujuan dari proses (restorasi) tersebut adalah mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman serta dinamika dari ekosistem terkait (Society of Ecological Restoration 1991 dalam Indrawan, Primack & Supriatna, 2007). Disamping berguna untuk pemulihan populasi, komunitas dan ekosistem; ekologi restorasi juga berperan untuk menunjang strategi konservasi. Proyek restorasi membuka kesempatan penyusunan kembali komunitas secara utuh, dengan mempertimbangkan fungsi-fungsi ekosistem terkait (Dobson dkk.1997b; Callaway dkk.2003 dalam Indrawan, Primack & Supriatna, 2007).
44
Berdasarkan model biogeografi yang dikembangkan oleh ahli biologi konservasi, apabila 50% kawasan rusak, maka sekitar 10% spesies di dalamnya akan punah. Apabila kawasan yang rusak 90%, maka spesies di dalamnya yang musnah sebesar 50%. (Indrawan, Primack & Supriatna, 2007). Terdapat empat pendekatan untuk mengembalikan komunitas hayati dan ekosistem (Bradshaw 1990; Whisenant 1999 dalam Indrawan, Primack & Supriatna, 2007) yang dapat digunakan dalam restorasi di TNGM:
1. Tanpa tindakan (no action) Restorasi tidak dilakukan karena berdasarkan pengalaman diperkirakan ekosistem dapat pulih kembali dengan sendirinya.
2. Restorasi parsial (sebagian) Yang diperbaiki adalah sebagian fungsi ekosistem, dan beberapa spesies asli yang dominan mungkin dapat dikembalikan pula. Pengembalian spesies langka belum dilakukan dalam tahap ini dan baru dilakukan pada tahap restorasi lengkap.
3. Rehabilitasi Ekosistem yang rusak diganti dengan ekosistem yang produktif, baik dengan menggunakan beberapa spesies maupun banyak jenis biota.
4. Restorasi lengkap/penuh Restorasi suatu daerah hingga mencapai struktur dan komposisi spesies semula, maupun berbagai proses ekosistem terkait. Upaya ini biasanya dilakukan dengan memodifikasi lokasi secara aktif dan melakukan reintroduksi spesies asli setempat. Tabel 9. Pendekatan pada tiap Zonasi yang dilakukan pada TNGM setelah Erupsi 2010 Tingkat Kerusakan Sangat parah (100%)
Zona Inti
Parah (±75%) Sedang (±50%) Ringan (<25%)
Tanpa tindakan, pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP) Tanpa tindakan, PUP Tanpa tindakan, PUP Tanpa tindakan, PUP
Tidak Terdampak
Tanpa tindakan, PUP
Zona Rimba Restorasi Penuh Restorasi sebagian Restorasi sebagian Tanpa tindakan, PUP Tanpa tindakan, PUP
45
Zona Zona Zona Pemanfaatan Khusus Rehabilitasi Rehabilitasi Rehabilitasi Rehabilitasi
Restorasi Penuh Restorasi sebagian Restorasi sebagian
Rehabilitasi Rehabilitasi
Restorasi sebagian
Rehabilitasi
Tanpa tindakan, PUP
Tanpa tindakan, PUP
Rehabilitasi
Rehabilitasi Rehabilitasi
Pada Zona Inti tidak dilakukan kegiatan restorasi maupun rehabilitasi, tetapi pengelola TNGM seyogyanya melakukan pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP). Pendekatan ini dilakukan sesuai dengan aturan pada Permenhut Nomor: P.56/MenhutII/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang menyebutkan bahwa Zona Inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas (Pasal I, ayat 4). Pembuatan Petak Ukur Permanen ditujukan untuk memahami proses suksesi alami yang terjadi. Melalui PUP ini akan menghasilkan banyak informasi yang sangat berharga. Ini sesuai dengan amanat penunjukkan Taman Nasional dalam UU No 5 tahun 1990 yang bertujuan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Pada
Zona
Inti
hanya
diperbolehkan
kegiatan
perlindungan,
pengamanan,
inventarisasi dan monitoring kehati, serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Pasal 7, ayat 1). Kegiatan yang mengubah jenis serta komposisi keanekaragaman hayati di dalam zona inti tidak diperbolehkan. Zona inti merupakan interpretasi asli dari kawasan Taman Nasional, tindakan penanaman di dalamnya dikhawatirkan dapat merubah keaslian dari Taman Nasional. Oleh karena itu, pada peristiwa erupsi Merapi 2010 ini dalam zona inti hanya dilakukan pembuatan PUP untuk mengetahui perkembangan pemulihan kawasan atau suksesi secara primer/alami. Kegiatan yang dilakukan di dalam zona rimba dapat berupa restorasi penuh, restorasi sebagian (parsial), dan tanpa tindakan. Zona rimba merupakan kawasan pendukung kegiatan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan (Permenhut No.56 tahun 2006, Pasal 1, ayat 5 dan Pasal 5, ayat 2). Zona rimba merupakan barrier/batas memasuki zona inti dari zona pemanfaatan. Fungsi zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti (Pasal 6). Kegiatan penanaman di dalam zona rimba diperbolehkan karena termasuk kategori pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar (Pasal 7, ayat 2). Kegiatan pembinaan habitat, baik restorasi penuh maupun sebagian di zona rimba TNGM pada kategori kawasan rusak sedang sampai berat (50–100%), dilakukan untuk mempercepat suksesi/pemulihan kawasan, sehingga diperlukan intervensi manusia.
46
Untuk meningkatkan ekosistem hidupan tumbuhan dan satwa liar restorasi dilakukan dengan spesies asli. Sedangkan pada kawasan kategori tidak terdampak sampai rusak ringan (kurang dari 25%) tidak dilakukan tindakan, karena faktor alam masih tinggi, ekosistem dapat memulihkan sendiri. Pada kawasan ini juga dapat dibuat PUP untuk penelitian dan pengembangan di bidang ekologi. Kegiatan pada zona pemanfaatan lebih beragam, dari tanpa tindakan sampai rehabilitasi. Zona pemanfaatan merupakan kawasan pada Taman Nasional yang digunakan untuk kegiatan wisata alam/budaya dan jasa lingkungan (Pasal 1 dan Pasal 5). Selain itu juga ada kegiatan pembinaan habitat dan populasi sampai pembangunan sarana-prasarana wisata. Aturan inilah yang menjadi dasar kegiatan rehabilitasi pada kawasan rusak sangat parah (100% rusak); restorasi penuh pada kawasan rusak parah (75%), dan restorasi sebagian pada kawasan rusak sedang sampai ringan (25-50%). Kegiatan rehabilitasi pada kawasan rusak parah di zona pemanfaatan disarankan pada komposisi jenis produktif dengan banyak biota yang dapat mendukung fungsi wisata alam dan jasa lingkungan. PUP perlu dibuat pada zona ini pada kawasan tidak terdampak erupsi untuk kajian ekologi, terutama pengamatan suksesi alam. Zona khusus merupakan kawasan yang digunakan untuk fasilitas umum sebelum kawasan tersebut ditetapkan jadi Taman Nasional (Pasal 1 dan 5). Pada kawasan TNGM yang masuk zona khusus merupakan kawasan mitigasi bencana Merapi, yakni jalur aliran erupsi Merapi dan batas kawasan rawan bencana merapi. Oleh karena itu pada kawasan kategori rusak sedang sampai sangat parah (50-100%) dilakukan rehabilitasi dengan jenis produktif yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TNGM maupun kepentingan umum. Pada kawasan kategori rusak ringan (kurang dari 25%) dilakukan restorasi sebagian untuk mempercepat suksesi, sedangkan kawasan kategori tidak terdampak erupsi dapat dilakukan PUP. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan,
sehingga
perlu
dilakukan
kegiatan
pemulihan
komunitas
hayati
dan
ekosistemnya yang mengalami kerusakan (Pasal 1 dan 5). Kegiatan pada zona ini adalah rehabilitasi pada semua kawasan kategori rusak dengan berbagai jenis produktif. Pembinaan habitat pada kawasan ini lebih dititikberatkan pada jenis yang cepat tumbuh, dengan pemeliharaan seminimal mungkin.
47
Upaya ekologi restorasi perlu mempertimbangkan kecepatan pemulihan, biaya, kans keberhasilan, serta kemampuan komunitas untuk mandiri, bertahan tanpa pemeliharaan terus-menerus (Clewell & Rieger 1997; Allen dkk.2001; Zedler 2001 dalam Indrawan, Primack & Supriatna, 2007). Keberhasilan suatu proyek restorasi akan dipengaruhi berbagai pertimbangan yang mungkin semula tampaknya tidak terlalu penting, seperti biaya dan ketersediaan biji, saat penyiraman, jumlah pupuk yang diperlukan, cara melenyapkan spesies asing, serta persiapan permukaan tanah. Upaya restorasi ditekankan pada pemulihan komunitas tumbuhan asli setempat, karena komunitas tumbuhan memberikan sebagian besar biomassa, dan memberikan struktur dasar bagi keseluruhan komunitas. Kerusakan ekosistem TNGM perlu campur tangan manajemen untuk mempercepat pemulihannya. Hal ini penting dilakukan karena TNGM merupakan ekosistem kecil (luas ±6410 Ha) dan terisolasi dari ekosistem lainnya sehingga pemulihan secara sukses alam akan memakan waktu lama. Disisi lain kepunahan keanekaragaman hayati akan semakin cepat karena pengaruh “Vortex effect” dimana laju kepunahan akan semakin cepat ketika populasi semakin sedikit. Berdasarkan model biogeografi yang dikembangkan oleh ahli biologi konservasi, apabila 50% kawasan rusak, maka sekitar 10% spesies di dalamnya akan punah. Apabila kawasan yang rusak 90%, maka spesies di dalamnya yang musnah sebesar 50%.(Indrawan, Primack & Supriatna, 2007). Oleh karena itu upaya restorasi dan penyelamatan satwa perlu segera diprogramkan.
48
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1.
Penataan zonasi di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis pada distribusi flagship species, yakni Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Setelah erupsi 2010 dilakukan pemetaan kerusakan habitat Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) di TNGM.
2.
Hasil dari analisis habitat potensial sebelum erupsi menunjukkan bahwa 11,34% luasan wilayah TNGM merupakan habitat potensial Elang Jawa yang tinggi. Di lokasi tersebut memiliki tingkat kemungkinan perjumpaan dengan Elang Jawa paling besar dibandingkan dengan lokasi lainnya.
3.
Hasil dari perbandingan antara citra ASTER sebelum erupsi dan setelah erupsi diperoleh informasi bahwa 82,10% kawasan TNGM rusak akibat dampak erupsi. Kawasan penyangga sekitar TNGM juga mengalami kerusakan yang cukup parah, terutama di Lereng Selatan Merapi, Kec. Cangkringan, Sleman dan Kec. Kemalang, Klaten.
4.
Tingkat kerusakan hutan di kawasan TNGM bervariasi dari sangat parah (100% kawasan rusak); parah (±75% rusak); sedang (±50% rusak); kecil (±25% rusak; sampai tidak terdampak (utuh).
5.
Hutan pinus dan Acacia decurens yang telah musnah oleh bencana erupsi bisa direstorasi dengan jenis-jenis pohon asli Gunung Merapi. Restorasi perlu dilakukan karena proses recovery alami akan memakan waktu lama melalui suksesi alamiah. Restorasi ini juga dapat mempercepat pemulihan fungsi hutan sebagai habitat satwa.
6.
Terdapat empat pendekatan untuk mengembalikan komunitas hayati dan ekosistem yang dapat digunakan dalam restorasi di TNGM; yakni: (1) Tanpa tindakan (no
action); (2) Restorasi parsial/sebagian; (3) Rehabilitasi; dan (4) Restorasi Total. 7.
Pendekatan yang dilakukan pada tiap zonasi TNGM, yakni Zona Inti (tanpa tindakan/PUP); Zona Rimba (restorasi penuh/sebagian, tanpa tindakan/PUP); Zona Pemanfaatan (rehabilitasi, restorasi penuh/sebagian, tanpa tindakan/PUP); Zona Khusus (rehabilitasi, restorasi sebagian, tanpa tindakan/PUP); Zona Rehabilitasi (rehabilitasi).
49
SARAN 1.
Penataan kawasan TNGM membutuhkan data foto satelit tingkat tinggi untuk memperhitungkan kerusakan kawasan TNGM secara lebih rinci dan detail.
2.
Penataan zonasi dan kegiatan restorasi TNGM ke depan perlu memperhitungkan arah luncuran awan panas/lava saat terjadi erupsi lagi.
3.
Perlu memasukkan kajian tentang aspek legalitas untuk mengakomodasi usulan kawasan koridor untuk migrasi satwa liar TNGM saat terjadi erupsi, khususnya yang berkaitan dengan adanya migrasi satwa liar di luar kawasan TNGM.
50
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan RI. 1991. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Jakarta: Dep. Kehutanan RI. Departemen Kehutanan RI. 1996. Permenhut No. 56 Tahun 1996 tentang Pengelolaan Zonasi Taman Nasional. Jakarta: Dep. Kehutanan RI. Gunawan, Bismark, Mariana. 2011. Laporan Penilaian Cepat (Rapid Assesment) dalam Rangka Penyelamatanan Satwa Liar Pasca Erupsi Gunung Merapi. Bogor: Puslitbang Konservasi & Rehabilitasi Balitbang Kehutanan, Kem. Kehutanan RI. Hero, dkk. 2010. Penataan Kawasan Koridor Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan Pendekatan Analisis Risiko Bencana. Yogyakarta: Prodi KSDH Fak. Kehutanan UGM. Indrawan, Primack & Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. KSDH UGM. 2008. Laporan Akhir Kaji Ulang Zona Inti Taman Nasional Alas Purwo. Yogyakarta: Jur. Konservasi Sumber Daya Hutan Fak. Kehutanan UGM. Rahayu, dkk. 2010. Analisis Risiko Kepunahan Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung Merapi. Yogyakarta: Jur. Konservasi Sumber Daya Hutan Fak. Kehutanan UGM. TNGM, 2008. Laporan Review Zonasi TNGM. Yogyakarta: TNGM Departemen Kehutanan RI. TNGM, 2010. Laporan Monitoring Elang di Lereng Selatan Gunung Merapi Kawasan TNGM tahun 2010. Yogyakarta: TNGM Departemen Kehutanan RI. TNGM, 2010. Laporan Kerusakan TNGM Pasca Erupsi 2010. Yogyakarta: TNGM Departemen Kehutanan RI.
51