PEMBUATAN GULA MERAH DAN GULA SEMUT (Laporan Praktikum Teknologi Pati dan Gula)
Oleh
Rimadina Arumayanti 1414051084 Kelompok 6
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2017
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu dari Sembilan bahan pokok di Indonesia. Kebutuhan gula nasional sebanyak 5,8 juta ton, sedangkan produksi gula nasional hanya mencapai 2,5 juta ton Gula merupakan salah satu kebutuhan bahan pangan yang sangat penting bagi kebutuhan sehari-hari dalam rumah tangga maupun industri makanan dan minuman baik yang berskala besar maupun kecil. Gula menjadi sangat penting karena gula mengandung kalori yang dibutuhkan bagi kesehatan dan gula juga digunakan sebagai bahan pemanis utama yang digunakan oleh banyak industri makanan dan minuman (Sugiyanto, 2007). Gula merah adalah salah satu produk olahan dari nira (kelapa,aren tebu) dengan cara penguapan kandungan air yang terdapat di dalam nira sampai mencapai kadar air tertentu. Gula merah dengan mutu baik bewarna kuning sampai kecoklatan, memiliki kandungan sukrosa minimal 77%, gula reduksi maksimal 10%, kadar air maksimal 10%, kadar abu maksimal 2% serta padatan tidak larut air maksimal 1% (SNI 01-3743-1995). Selama penyimpanan, gula merah kelapa mudah mengalami kerusakan. Hal tersebut karena sifat higrokopis yang dimiliki oleh gula merah, yaitu mudah menyerap air dari lingkungan. Karakteristik gula merah yang bersifat mudah menarik air (higrokopis) menyebabkan gula merah relatif tidak dapat bertahan lama, hanya bertahan selama 2-4 minggu. Kerusakan gula merah ditandai dengan meningkatnya kadar air sehingga tekstur gula merah kelapa menjadi lembek yang menyebabkan mutu dan penerimaan konsumen menurun (Santoso, 1993). Gula merah kelapa bermutu rendah sulit untuk dikristalkan menjadi gula semut karena memiliki kadar gula reduksi yang tinggi serta kadar sukrosa yang rendah
Gula bermutu rendah ini akan berbentuk gulali dan cenderung lengket. Oleh karena itu pembuatan gula semut dari gula bermutu rendah perlu ditambahkan kristalsukrosa (Sardjono dan Dahlan, 1988). Masalahnya hingga saat ini, belum diketahui dosis penambahan kristal sukrosa pada gula merah bermutu rendah yang diolah menjadi gula semut. Gula semut merupakan bentuk diversifikasi produk gula merah yang berbentuk butiran kecil (granulasi) berdiameter antara 0,8 – 1,2 mm. Bahan dasar untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa atau pohon aren (enau) dan nira tebu. Kedua pohon ini termasuk jenis tumbuhan palmae maka dalam bahasa asing secara umum gula semut juga disebut sebagai palm sugar. Gula semut memiliki beberapa kelebihan dari gula cetak antara lain yaitu lebih mudah larut, daya simpan lebih lama, bentuknya lebih menarik, pengemasan dan pengangkutan lebih mudah, mudah diperkaya dengan bahan lain seperti rempah-rempah, iodium dan vitamin A atau mineral (Mustaufik dan Dwianti, 2007), serta harga yang lebih tinggi dari pada gula cetak. Gula semut memiliki peluang untuk memenuhi kebutuhan gula (bahan pemanis) nasional yang selama ini sebagian besar masih impor dan juga berpeluang untuk masuk di pasaran luar negeri (ekspor) seperti ke Singapura, Jepang, Hongkong, USA dan Jerman. Berdasarkan survei pasar, permintaan gula untuk ekspor sangat besar sekitar 400 ton/tahun dan baru terpenuhi sekitar 50% dari total permintaan (Pragita, 2010). Produk berupa gula kelapa dan gula semut sangat aman dikonsumsi secara langsung, karena dalam prosesnya tanpa menggunakan bahan kimia dan apabila dilihat dari aspek lingkungannya pada proses pembuatan gula ini tidak mencemari lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut, maka pada praktikum ini akan dilakukan pembuatan gula merah dan gula semut dari nira tebu , gula merah kelapa dan gula aren yang dimasak kembali. 1.2. Tujuan Tujuan dari dilakukannya praktikum ini adalah 1.
Agar mahasiswa dapat dan terampil membuat gula merah serta menganalisis mutunya
2.
Agar mahasiswa bisa dan terampil membuat gula semut baik dari gula merah kelapa, aren dan nira tebu serta membandingkan hasilnya.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Gula Menurut Darwin (2013), gula adalah suatu karbohidrat sederhana karena dapat larut dalam air dan langsung diserap tubuh untuk diubah menjadi energi. Secara umum, gula dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Monosakarida Sesuai dengan namanya yaitu mono yang berarti satu, ia terbentuk dari satu molekul gula. Yang termasuk monosakarida adalah glukosa, fruktosa, galaktosa. b. Disakarida Berbeda dengan monosakarida, disakarida berarti terbentuk dari dua molekul gula. Yang termasuk disakarida adalah sukrosa (gabungan glukosa dan fruktosa), laktosa (gabungan dari glukosa dan galaktosa) dan maltosa (gabungan dari dua glukosa). Gula merupakan komoditas utama perdagangan di Indonesia. Gula merupakan salah satu pemanis yang umum dikonsumsi masyarakat. Gula biasa digunakan sebagai pemanis di makanan maupun minuman, dalam bidang makanan, selain sebagai pemanis, gula juga digunakan sebagai stabilizer dan pengawet. Gula merupakan suatu karbohidrat sederhana yang umumnya dihasilkan dari tebu. Namun ada juga bahan dasar pembuatan gula yang lain, seperti air bunga kelapa, aren, palem, kelapa atau lontar. Gula sendiri mengandung sukrosa yang merupakan anggota dari disakarida. 2.2. Gula Merah Gula merah adalah hasil olahan nira yang berbentuk padat dan berwarna coklat kemerahan sampai dengan coklat tua. Nira yang digunakan biasanya berasal dari tanaman kelapa, aren, lontar atau siwalan, dan tebu (Dachlan, 1984). Selain untuk konsumsi di tingkat rumah tangga, gula merah juga menjadi bahan baku untuk
berbagai industri pangan seperti industri kecap, tauco, produk cookies, dan berbagai produk makanan tradisional (Santoso, 1993). Gula merah juga mulai dikonsumsi di berbagai negara baik sebagai konsumsi akhir maupun sebagai bahan baku dan bahan tambahan dalam suatu industri. Gula merah banyak diminati di Jerman dan Jepang, industri perhotelan, supermarket, pabrik kecap ekspor, hingga pabrik anggur (Warastri, 2006).Gula merah biasanya dijual dalam bentuk setengah elips yang dicetak menggunakan tempurung kelapa, ataupun berbentuk silindris yang dicetak menggunakan bambu (Kristianingrum, 2009). Secara kimiawi gula sama dengan karbohidrat, tetapi umumnya pengertian gula mengacu pada karbohidrat yang memiliki rasa manis, berukuran kecil dan dapat larut (Aurand et al., 1987). Cara pengolahan gula merah cukup sederhana dimulai dari penyadapan nira sebagai bahan baku pembuatan gula merah. Nira merupakan cairan bening yang terdapat di dalam mayang atau manggar dari tumbuhan jenis palma yang masih tertutup. Dari mayang atau manggar rata-rata dapat diperoleh 0,5–1 Liter nira/ hari. Setelah bahan baku diperoleh kemudian dilakukan penyaringan selanjutnya nira dimasak dengan suhu pemanasan 110–120°C hingga nira mengental dan 6 berwarna kecoklatan, kemudian dicetak dan didinginkan hingga mengeras (Balai Penelitian Tanaman Palma, 2010). Menurut Paudi (2012) khusus untuk gula merah kelapa, The Philippine Food and Nutrition Research Institute yang melakukan penelitian mengenai indeks glikemik pada gula palem/gula merah kelapa (coconut palm sugar), menemukan bahwa gula merah kelapa memiliki indeks glikemik sebesar 35. Nilai indeks glikemik ini termasuk dalam kategori rendah (< 55). Penelitian ini dilakukan pada 10 orang responden yang diperlakukan khusus. Sedangkan nilai indeks glikemik gula pasir yaitu 64, hampir mendekati indeks glikemik tinggi (>70). Selain nilai indeks glikemik yang rendah, gula merah kelapa juga mengandung sejumlah zat gizi yang tidak terdapat atau sangat sedikit terdapat dalam gula pasir. Gula merah kelapa juga mengandung sejumlah asam amino dan vitamin.
2.2.1. Mutu Gula Merah Mutu gula merah ditentukan terutama dari rasa dan penampilannya yang meliputi bentuk, warna, kekeringan, dan kekerasannya. Gula yang berwarna lebih cerah dan agak keras lebih disukai serta memiliki harga jual lebih tinggi. Gula merah memiliki struktur dan tekstur yang kompak, tidak keras, sekaligus terdapat kesan empuk sehingga mudah dipatahkan (Santoso, 1993). Persyaratan mutu gula merah tebu dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang dirumuskan dalam SNI 01-6237-2000. Syarat mutu tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 6. Spesifikasi persyaratan mutu gula merah tebu No
Jenis Uji
Satuan Mutu I
1
Persyaratan Mutu II
Keadaan -bau
-
Khas
Khas
-rasa
-
Khas
Khas
-warna
-
Coklat
muda Coklat
sampai tua
sampai tua
muda
2
-penampakan Bagian yang tak %
Tidak berjamu Maks 1.0
Tidak berjamur Maks 5.0
3 4
larut dalam air, b/b Air, b/b % Gula (dihitung %
Maks 8.0 Min 65
Maks 10.0 Min 60
Maks 11
Maks 14
sebagai sakarosa), 5
b/b Gula
pereduksi %
(dihitung 6
sebagai
glukosa), b/b Bahan tambahan makanan pengawet
7
-residu
mg/kg
Maks 20
Maks 20
-benzoat Cemaran logam
mg/kg
Maks 200
Maks 200
-timbal (Pb)
mg/kg
Maks 2.0
Maks 2.0
-tembaga (Cu)
mg/kg
Maks 2.0
Maks 2.0
-seng (Zn)
mg/kg
Maks 40.0
Maks 40.0
-timah (Sn)
mg/kg
Maks 40.0
Maks 40.0
-raksa (Hg) mg/kg Maks 0.03 8 Cemaran arsen mg/kg Maks 0.1 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2000)
Maks 0.03 Maks 0.1
Gula merah hasil produksi pengrajin maupun yang didapatkan di pasaran pada umumnya dalam bentuk gula cetak dan mutunya beragam, ditinjau dari segi keawetan (daya simpan), warna, maupun kadar kotoran. Adanya keragaman warna dan kekerasan pada produk-produk gula merah di pasaran Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu rendahnya teknologi pengolahan, adanya variasi bahan baku (kondisi nira), maupun proses pengolahan yang tidak konsisten (Santoso, 1993). Wirioatmodjo et al. (1984) menyatakan bahwa sebagai komoditi pertanian, gula merah memiliki ciri daya simpannya relatif singkat karena mudah menyerap air sehingga mudah lembek. Mengenai warna, Herman (1987) mengungkapkan bahwa sebagian besar gula kelapa warnanya coklat sampai coklat kehitaman serta mudah lembek. Hal ini mungkin akibat terjadinya kegosongan selama proses pengolahan, disamping nira yang diolah kurang baik. a. Warna Gula Merah Gula merah yang warnanya lebih cerah dianggap memiliki kualitas yang lebih baik (Nurlela, 2002). Warna gula merah ditentukan oleh mutu nira yang digunakan. Nira yang telah terfermentasi mengandung asam dan gula pereduksi relatif tinggi. Menurut Shallenberg et al. dalam Nurlela (2002), kandungan gula pereduksi berperan penting dalam proses pencoklatan pada gula merah. Hal ini dikarenakan gula yang siap melakukan reaksi pencoklatan adalah gula pereduksi, sedangkan gula non pereduksi harus mengalami perubahan menjadi gula pereduksi terlebih dahulu. Reaksi pencoklatan non enzimatis yang diduga terjadi pada proses pembuatan gula merah adalah reaksi maillard dan karamelisasi, yang disebabkan oleh keberadaan gula pereduksi, protein, dan lemak dalam nira. Reaksi maillard adalah reaksi yang terjadi antara asam amino dengan gula pereduksi apabila dipanaskan bersama-sama. Reaksi karamelisasi adalah reaksi yang terjadi
pada pemanasan gula dalam asam, basa, dan pemanasan tanpa air (Ozdemir, 1997). b.Rasa Gula Merah Gula merah mempunyai nilai kemanisan 10% lebih manis daripada gula pasir. Adanya bahan-bahan dari berbagai jenis gula seperti sukrosa, fruktosa, glukosa, dan maltosa menyebabkan rasa manis (Santoso, 1993). Gula merah juga memiliki rasa sedikit asam karena adanya kandungan asam-asam organik di dalamnya. Adanya asam-asam ini menyebabkan gula merah mempunyai aroma yang khas, sedikit asam, dan berbau karamel. Rasa karamel pada gula merah diduga disebabkan adanya reaksi karamelisasi akibat panas selama pemasakan (Nengah, 1990). 2.2.3. Proses Pembuatan Gula Merah Tebu Definisi gula merah tebu menurut SNI 01-6237-2000 adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan air atau sari tebu (Saccharum officinarum) melalui pemasakan dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang diperbolehkan dan berwarna kecoklatan. Proses pembuatan gula merah tebu pada prinsipnya sama dengan pembuatan gula merah pada umumnya. Prinsipnya adalah proses penguapan nira dengan cara pemanasan sampai nira mencapai kekentalan tertentu kemudian mencetaknya menjadi bentuk yang diinginkan (Ashari et al., 2005). Tahap awal pembuatan gula merah adalah proses penggilingan batang tebu untuk mengekstraksi nira semaksimal mungkin. Proses ini dilakukan dengan menggunakan mesin giling yang digerakkan oleh diesel yang dihubungkan dengan sabuk transmisi atau belt. Peralatan giling ini dibuat dari besi yang terdiri dari dua silinder bergerigi yang bergerak berlawanan arah sehingga batang tebu hancur karena terjepit diantara dua silinder. Dengan demikian nira tebu dapat terekstrak (Lesthari, 2006). Nira yang telah terekstrak kemudian disaring menggunakan kain penyaring untuk memisahkan kotoran-kotoran seperti potongan ranting, daun kering, dan serangga. Nira hasil penyaringan dimasukkan ke dalam wajan kemudian dipanaskan pada
suhu sekitar 110 0C selama tiga sampai empat jam sambil dilakukan pengadukan. Suhu yang optimal untuk pemanasan nira adalah 110-120 0 C. Apabila suhunya terlalu tinggi, maka akan terjadi karamelisasi berlebihan sehingga gula yang dihasilkan
dapat
menjadi
gosong.
Pengadukan
perlu
dilakukan
untuk
mempercepat penguapan air dari nira dan untuk membentuk kristal gula yang kompak serta menghasilkan warna gula yang seragam (Sagala et al., 1978). Pada pemasakan dengan suhu tinggi ini kotoran-kotoran halus akan terapung bersama dengan buih nira. Kotoran tersebut dibuang dengan menggunakan serok (Santoso, 1993). Buih-buih yang timbul selama proses dapat dikurangi dengan melakukan pengadukan terus menerus serta dapat ditambahkan parutan kelapa, minyak kelapa, atau kemiri yang dihaluskan. Bahan-bahan ini ditambahkan untuk menurunkan tegangan permukaan antara buih dan cairan nira (Palungkun, 1993). Pemanasan nira dihentikan jika nira sudah mulai pekat dan berwarna kecoklatan serta buih-buih nira sudah menurun. Kecukupan pemanasan sangat mempengaruhi mutu gula merah yang dihasilkan. Apabila waktu pemanasan terlalu cepat maka gula merah yang dihasilkan akan lembek dan mudah meleleh (Sardjono, 1985). Nira pekat yang telah masak kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang telah dibasahi air untuk mempermudah pelepasan gula merah. Alat pencetakan gula merah umumnya adalah tempurung kelapa atau batang bambu (Dyanti, 2002). 2.3. Pengertian Gula Semut Gula semut atau palm sugar merupakan gula merah versi serbuk/kristal yang dihasilkan oleh pepohonan keluarga palma (Arecaceae) (Balai Informasi Pertanian, 2000). Gula semut adalah sebagian dari produk turunan yang dihasilkan dari pohon aren dan kelapa. Penamaan gula semut karena bentuknya menyerupai sarang semut di tanah. Gula semut memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan gula merah versi cetakan. Beberapa keunggulan gula semut adalah aroma yang khas, umur penyimpanan yang panjang dengan kadar air 2– 3%, mudah larut dalam air dingin/panas, pengemasan yang praktis dalam kantong dan mudah dikombinasikan dengan bahan lain pada industri pengolahan makanan dan minuman (Mustaufik dan Karseno, 2004).
Bahan baku gula semut adalah nira yang berasal dari pohon kelapa, pohon aren dan pohon siwalan. Nira aren dan nira kelapa mempunyai perbedaan dalam hal warna, aroma, rasa, dan kadar kotorannya. Nira aren berasa lebih manis, lebih jernih, dan lebih segar, dan jumlah padatan yang terlarut nira aren lebih rendah daripada nira kelapa (Balai Penelitian Tanaman Palma, 2010). Selain nira, bahan baku gula semut dapat berupa gula merah yang dileburkan kembali. Penggunaan gula merah sebagai bahan baku gula semut memiliki kelebihan dibandingkan menggunakan nira kelapa langsung. Proses pembuatan gula semut dari gula merah kelapa tidak memerlukan waktu yang lama karena kadar air gula merah kelapa tidak sebesar kadar air nira kelapa sehingga tidak memerlukan waktu yang lama dalam proses evaporasi. Cara pengolahan gula semut hampir sama dengan pengolahan gula merah cetak biasa, perbedaannya terletak pada proses setelah larutan nira mengental. Pada pembuatan gula semut, setelah larutan mengental maka dilakukan pengadukan cepat hingga terbentuk kristal-kristal, kemudian kristal-kristal gula yang terbentuk diayak untuk diperoleh ukuran yang seragam (Balai Informasi Pertanian, 2000). Pemanfaatan gula semut sama dengan gula pasir (tebu) yakni dapat digunakan sebagai bumbu masak, pemanis minuman (sirup, susu, soft drink) dan untuk keperluan pemanis untuk industri makanan seperti adonan roti, kue, kolak, dan lain-lain (Mustaufik dan Karseno, 2004). Dimasyarakat gula semut umumnya digunakan sebagai pengganti gula putih dalam pembuatan kopi, karena selain manis juga menambah aroma yang khas dibandingkan dengan gula putih. 2.3.1. Bahan Tambahan Berupa Sukrosa (Gula Kristal Putih) Penggunaan sukrosa sebagai bahan tambahan dalam pembuatan gula semut bertujuan untuk meningkatkan kandungan sukrosa pada gula merah sehingga dapat mempercepat proses pembuatan gula semut, diperlukan sukrosa sebanyak 515% dalam bentuk gula kristal putih/sukrosa untuk membuat gula semut dari gula merah (Tegar, 2010). Sukrosa merupakan suatu disakarida yang dibentuk dari monomer-monomernya yang berupa unit glukosa dan fruktosa, dengan rumus
molekul C12H22O11. Sukrosa diperoleh dari gula tebu atau gula bit. Struktur ini mudah dikenali karena mengandung enam cincin glukosa dan lima cincin fruktosa (Winarno, 1997). Sukrosa dalam bentuk gula kristal putih adalah hasil penguapan nira tebu, berbentuk kristal bewarna putih dan memiliki rasa yang manis (Suparmo dan Sudarmanto, 1991). 2.3.2. Mutu Gula Semut Setiap produk pangan sebaiknya memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari penipuan mutu produk. Sama halnya dengan produk pangan lainnya, gula semut juga memiliki standar mutu yaitu SNI SII 0268-85 yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan mutu gula semut sesuai dengan SNI (SII 0268-85) Komponen Kadar Air Gula (jumlah sukrosa dan gula reduksi) Minimal 80,0 (%) Sukrosa (%)
Minimal 75,0
Gula reduksi (%)
Maksimal 6,0
Air (%)
Maksimal 3,0
Abu (%)
Maksimal 2,0
Bagian-bagian tak larut air (%)
Maksimal 1,0
Zat warna
Yang diijinkan
Logam-logam berbahaya (Cu,Hg,Pb, Negatif As) Pati
Negatif
Bentuk
Kristal atau serbuk
III. METODELOGI PERCOBAAN
3.1. Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 17 Mei 2017 pukul 13.00-15.00 WIB. Praktikum dilakukan dilaboratorium Biokimia Hasil Pertanian dan Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. 3.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah timbangan, pengaduk, baskom plastik, kompor, loyang, wajan, talenan, pisau, erlenmeyer, gelas ukur, spatula, tanur, cawan porselin, plastik, mortar, ayakan, kertas saring, refraktometer dan oven. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah gula merah aren, gula merah kelapa, gula pasir, nira tebu dan air. 3.3. Diagram Alir
3.3.1 Pembuatan Gula Merah Nira segar
Disaring dan diamati warna, aroma, kekeruhan, brix, serta pH
Direbus sampai mengental sambil sesekali diaduk. Pemanasan dihentikan jika uji spoon test menghasilkan benang kaku dalam air dingin Diaduk-aduk supaya agak dingin lalu dituangkan ke dalam cetakan yang telah dicelupkan ke air
Dibiarkan hingga gula dingin dan mengeras lalu dilepas dari cetakan Gula merah
Ditimbang gula dan dihitung rendemen yang dihasilkan
Diamati dan dianalisis mutu gula yang dihasilkan
3.3.2 Pembuatan Gula Semut a. Pembuatan gula semut dari gula kelapa Gula Kelapa
Ditambahkan air 100 ml dan sukrosa 100 g
Direbus sampai mengental sambil sesekali diaduk. Pemanasan dihentikan jika uji spoon test menghasilkan benang kaku dalam air dingin Didinginkan sambil diaduk-aduk
Dikeringkan pada suhu 60oC Didinginkan dan diayak Gula semut
Diamati dan dianalisis mutu gula yang dihasilkan
b. Pembuatan gula semut dari gula aren Gula Aren
Ditambahkan air 100 ml dan sukrosa 100 g
Direbus sampai mengental sambil sesekali diaduk. Pemanasan dihentikan jika uji spoon test menghasilkan benang kaku dalam air dingin Didinginkan sambil diaduk-aduk
Dikeringkan pada suhu 60oC
Didinginkan dan diayak
Gula semut
Diamati dan dianalisis mutu gula yang dihasilkan
c. Pembuatan gula semut dari nira tebu Nira Tebu
Ditambahkan sukrosa 30 g
Direbus sampai mengental sambil sesekali diaduk. Pemanasan Dihentikan jika uji spoon test menghasilkan benang kaku dalam air dingin Didinginkan sambil diaduk-aduk
Dikeringkan pada suhu 60oC
Didinginkan dan diayak
Gula semut
Diamati dan Dianalisis mutu gula yang dihasilkan
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Data Pengamatan Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh data sebagai berikut : 4.1.1
Kloter 1
4.1.1.1. Kadar Air Kelompok
Berat Cawan Kosong
1 3 4
21,5594 17,6474 15,6345
Berat Cawan + sampel Sebelum dioven (W) 23,5659 19,6551 17,7069
Berat Cawan + sampel Setelah dioven (W1) 23,5253 19,5808 17,6369
Berat Cawan + sampel Sebelum dioven (W) 23,3306 22,9604 18,0312
Berat Cawan + sampel Setelah dioven (W1) 21,3503 20,9798 16,0776
Cawan + sampel Setelahdioven (W1)
%
% 2,030 3,715 3,455
4.1.1.2. Kadar Abu
Kelompok
Berat Cawan Kosong
1 3 4
21,3276 20,9563 16,0176
4.1.2
% 1,135 1,175 3,000
Kloter 2
4.1.2.1 Kadar Air
Kelompok
CawanKosong
Cawan + sampel Sebelumdioven (W)
7 (gula semut aren) 8 (gula semut kelapa)
16,32
16,74
16,69
2,50
17,30
18,12
18,07
2,50
4.1.2.2 Kadar Abu
Kelompok
CawanKosong
Cawan + sampel Sebelumdioven (W)
7 8
14,73 16,32
16,81 18,41
Cawan + sampel Setelahdioven (W1)
%
14,79 16,12
1,8 3,4
4.2. Perhitungan 4.2.1. Kadar Air Metode Oven Kadar Air (KA) =
( Beratcawan+beratba h anawal )−( Beratcawan+ beratbah ansetelah dioven) x Beratsampel 100% 1.
Gula Merah Kelompok 1
KA Gula Merah Tebu
=
23,5659 gram−23,5253 gram 2,0065 gram
=
0.79 gram 2,0065 gram
x 100%
x 100%
= 2,0234% 2.
Gula Semut Aren Kelompok 3
KA Gula Semut Aren
=
19,6551 gram−19,5808 gram 2,0077 gram
=
0,0743 gram 2,0077 gram
x 100%
x 100%
= 3.7008% 3.
Gula Semut Kelapa Kelompok 4
KA Gula Semut Kelapa
=
17,7060 gram−17,6369 gram 2,0715 gram
=
0,0691 gram 2,0715 gram
x 100%
x 100%
= 3,3357%
4.
Gula Semut Aren Kelompok 7
KA Gula Semut Aren
=
16,74 gram−16,69 gram 2,00 gram
=
0,05 gram 2,00 gram
x 100%
x 100%
= 2,50% 5.
Gula Semut Kelapa Kelompok 8
KA Gula Semut Kelapa
=
18,12 gram−18,07 gram 2,0715 gram
=
0,05 gram 2,00 gram
x 100%
x 100%
= 2,50%
4.2.2. Kadar Abu Kadar abu =
( berat cawan+ sampel setela h pengabuan ) −berat cawan kosong Beratsampel
x100%
1.
Gula Merah Kelompok 1
K. AbuGula Merah Tebu
=
21,3503 gram−21,3279 gram 2,0030 gram
=
0,0224 gram 2,0030 gram
x 100%
x 100%
= 1,1183% 2.
Gula Semut Aren Kelompok 3
K. Abu Gula Semut Aren
=
(20,9798 ) gram−20,9563 gram 2,0044 gram
x 100%
=
0.0235 gram 2,0044 gram
x 100%
= 1,1724% 3.
Gula Semut Kelapa Kelompok 4
K. Abu Gula Semut Kelapa =
=
(16,0776 ) gram−16,0176 gram 2,0136 gram 0,0600 gram 2,0136 gram
x 100%
x 100%
= 2,9797% 4.
Gula Semut Kelapa Kelompok 7
K. Abu Gula Semut Kelapa =
=
14,79 gram−14,73 gram 2,0136 gram 3,06 gram 2,00 gram
x 100%
x 100%
=1,53% 5.
Gula Semut Kelapa Kelompok 8
K. Abu Gula Semut Kelapa =
=
16,12 gram−16,32 gram 2,00 gram 0,2 gram 2,00 gram
x 100%
x 100%
= 0,1%
4.2.3. Bagian Tidak Larut Dalam Air / Padatan Tidak Terlarut (PTT) Bagian tidak larut air =
( berat kertas saring+endapan ) −berat kertas saring Beratsampel
x100%
1.
Gula Merah Kelompok 1
PTT Gula Merah Tebu
=
1,2302 gram−1,0107 gram 5,00 gram
=
0,2195 gram 5,00 gram
x 100%
x 100%
= 4,39%
2.
Gula Semut Aren Kelompok 3
PTT Gula Semut Aren
=
1,0998 gram−1,0198 gram 5,00 gram
=
0,08 gram 5,00 gram
x 100%
x 100%
= 1.60% 3.
Gula Semut Kelapa Kelompok 4
K. Abu Gula Semut Kelapa =
=
1,1925 gram−1,0124 gram 5,00 gram 0,1801 gram 5,00 gram
x 100%
x 100%
= 3,60% 4.
Gula Semut Kelapa Kelompok 7
K. Abu Gula Semut Kelapa =
=
1,04 gram−0,95 gram 5,00 gram 0,09 gram 5,00 gram
x 100%
x 100%
= 1,80% 5.
Gula Semut Kelapa Kelompok 8
K. Abu Gula Semut Kelapa =
1,17 gram−1,00 gram 5,00 gram
x 100%
=
0,17 gram 5,00 gram
x 100%
= 3,4% 4.3. Pembahasan Nira adalah cairan yang keluar dari bunga atau pohon penghasil nira yang disadap. Nira sering juga disebut ‘lege’, kata ini berasal dari istilah jawa,yaitu legi artinya manis. Dalam keadaan segar nira mempunyai rasa yang manis, berbau harum, dan tidak berwarna. Cairan ini biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula. Selain digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula, nira juga digunakan sebagai bahan baku asam cuka, minuman segar, serta akhir-akhir ini muncul produk baru dari nira aren yaitu gula merah serbuk. Nira dalam tanaman dapat berbentuk glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Sumber nira yang dapat digunakan antara lain aren, kelapa, dan tebu. Dalam proses penyadapan baik sebelum ataupun sesudahnya, diperlukan penanganan yang baik agar nira tidak mudah rusak dan terkontaminasi Karena nira merupakan media yang baik untuk pertumbuahan mikroorganisme seperti bakteri kapang dan khamir. Walupun pada saat cairan keluar dari bunga atau pohonnya dalam keadaan steril namun kerusakan nira dapat terjadi pada saat proses penyadapan, penampungan atau penyimpanan sebelum diproduksi. Oleh karena itu diperlukan proses penanganan yang baik untuk memperpanjang masa simpannya. Gula merah merupakan hasil olahan dari nira dengan cara menguapkan airnya, kemudian dicetak. Gula merah adalah gula yang berbentuk padat dan berwarna coklat kemerahan sampai dengan coklat tua. Nira yang digunakan untuk memproduksi gula merah biasanya berasal dari tanaman kelapa, aren, lontar atau siwalan dan tebu (Dachlan, 1981). Sedangkan definisi gula merah menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3743-1995) adalah gula yang terbuat dari pengolahan nira pohon palma, yaitu aren (Arenga pinnata Merr), nipah (Nypafruticans), siwalan (Borassus flabellifera Linn), dan kelapa (Cocos nucifera Linn) atau jenis lainnya dan berbentuk cetak, serbuk atau granula.
Mutu gula merah terutama ditentukan oleh penampilannya, yaitu bentuk, warna, dan kekerasan. Kekerasan dan warna gula sangat dipengaruhi oleh mutu nira, terutama setelah proses fermentasi (Sardjono, 1986). Gula merah memiliki tekstur dan struktur yang kompak, serta tidak terlalu keras sehingga mudah dipatahkan dan memberi kesan lunak. Selain itu gula merah juga memiliki aroma dan rasa yang khas. Rasa manis pada gula merah disebabkan karena gula merah mengandung beberapa jenis senyawa gula seperti sukrosa, fruktosa, dan maltosa (Santoso, 1988). Selain itu, gula merah memiliki sifat-sifat yang spesifik, sehingga peranannya tidak dapat digantikan oleh jenis gula lainnya. Gula merah memiliki rasa sedikit asam karena adanya kandungan asam-asam organik. Adanya asam-asam ini menyebabkan gula merah mempunyai aroma yang khas, sedikit asam dan berbau karamel. Rasa karamel diduga disebabkan adanya reaksi karamelisasi akibat panas selama pemasakan. Karamelisasi juga menyebabkan timbulnya warna coklat pada gula merah (Nengah, 1990). Kecukupan pemasakan dapat mempengaruhi mutu gula yang dihasilkan. Pemasakan gula yang terlalu lama biasanya akan menghasilkan gula yang keras dengan warna coklat tua, sedangkan bila pemasakan kurang hasilnya akan lembek dan mudah meleleh (Nengah, 1990). Warna merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas penampakan bahan pangan di samping bentuk dan ukuran. Pada gula merah, warna dijadikan sebagai salah satu faktor kualitas produk. Sardjono (1986) dan Balai Penelitian Kimia Semarang (1978) mengemukakan bahwa gula merah yang warnanya lebih cerah dianggap kualitasnya lebih baik. Pengolahan dengan pemanasan menyebabkan gula merah memiliki warna yang bervariasi dari kuning hingga coklat tua, tetapi pada umumnya berwarna coklat kemerahan. Menurut Nengah (1990), warna merah terbentuk karena adanya reaksi pencoklatan (browning) selama pengolahan, baik melalui reaksi Maillard maupun reaksi karamelisasi. Agar diperoleh warna merah yang baik, kering, berwarna kekuningan, keras dan padat (tidak lembek) sebaiknya pH nira sebelum diolah diatur antara 5,5 - 6,5. Di luar kisaran tersebut gula sukar mengkristal (BALITKA, 1989). Menurut Dachlan (1984), untuk memperoleh warna gula kekuningan, sebelum nira dipanaskan perlu
ditambahkan kira-kira 5 gram Na-metabisulfit untuk setiap 25 liter nira. Selain itu, penggunaan api jangan terlalu besar tetapi cukup untuk mendidihkan nira dan nyala api diusahakan stabil. Gula semut atau palm sugar merupakan gula merah versi serbuk/kristal yang dihasilkan oleh pepohonan keluarga palma (Arecaceae) (Balai Informasi Pertanian,2000). Gula semut adalah sebagian produk turunan yang dihasilkan dari pohon aren dan kelapa. Penamaan gula semut karena bentuknya yang menyerupai sarang semut di tanah. Gula semut memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan gula merah versi cetakan. Menurut Mustaufik dan Karseno (2004) di dalam Pargita (2010) beberapa keunggulan gula semut adalah aroma yang khas, umur penyimpanan yang panjang dengan kadar air 2-3%, mudah larut dalam air dingin atau panas, pengemasan yang praktis kantong dan
dalam
mudah dikombinasikan dengan bahan lain pada industri
pengolahan makanan dan minuman. Dalam proses dan persyaratan pembuatan gula semut, kandungan sukrosa pada bahan baku sangat menentukan keberhasilan proses kristalisasi. Menurut SNI (SII 0268-85), gula semut dengan mutu baik mengandung minimal gula total 80% dan maksimal gula reduksi 6%. Pada gula merah kelapa bermutu rendah, jumlah sukrosa yang terkandung cukup rendah, sedangkan kadar gula reduksi tinggi. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa gula merah dari nira tebu diperoleh kadar air sebesar 2,0234% dengan kadar abu 1,1183%, dengan penampakannya berupa gulali atau dodol. Hal ini dikarenakan nira tebu yang digunakan sudah tidak segar sehingga mengalami penurunan mutu yang berpengaruh terhadap penampakkan gula merah dari nira tebu. Apabila Dibandingkan dengan literatur, data yang diperoleh menunjukkan kualitas gula merah yang tidak baik atau gagal karena tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Gula semut dari kelapa (kloter 1) diperoleh kadar air sebesar 3,3357% dengan kadar abu 2,9797% sedangkan pada Gula semut dari kelapa (kloter 2) diperoleh kadar air sebesar 2,50% dengan kadar abu 3,40%. Dibandingkan dengan
literatur, data yang diperoleh menunjukkan kualitas gula semut yang kurang baik karena tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia dimana melebihi % maksimum kadar air dan kadar abu. Tingginya kadar abu yang dihasilkan pada pembuatan gula semut disebabkan oleh kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Peningkatan kadar abu gula semut kelapa disebabkan adanya peningkatan jumlah senyawa mineral anorganik pada produk. Mineral yang terdapat pada suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu organik dan anorganik. Gula merah tebu menunjukkan bagian tidak larut dari air sebesar 4,39%, besarnya PTT ini telah melebihi batas maksimum pada SNI yaitu 1%. Sedangkan gula semut baik dari aren maupun dari kelapa menunjukkan bagian yang tidak larut dari air berkisar antara 1,60% sampai 3,60%, besarnya PTT ini tidak memenuhi standar karena melebihi batas maksimum 1%. Pada praktikum pembuatan gula semut, terdapat bahwa tahap yang seringkali mengalami kegagalan yaitu pada saat proses pembentukan kristal gula. Kegagalan tersebut disebabkan kesulitan menentukan untuk memulai proses pengadukan yang disertai pendinginan (kristalisasi). Ada beberapa faktot yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan gula semut yaitu proses pemasakan, pengadukan, dan kualitas nira. Suhu pemasakan yang terlalu tinggi akan mempengaruhi aroma gula menjadi gosong dan terjadinya karamelisasi yang cepat dan membuat gula sulit menjadi serbuk dan malah menjadi caramel. Proses pengadukan yang menyertai pembuatan gula semut mempengaruhi tingkat kehalusan serbuk gula. Setelah nira mengental dan pekat, pengadukan harus cepat agar nira tersebut tidak menggumpal dan cepat menjadi serbuk. Kualitas nira haruslah baik dan tidak tercemar oleh bakteri. Bakteri akan mengkonversi gula menjadi asam dan hal ini berpengaruh pada proses pembentukan serbuk gula. Ketika nira tersebut mulai mengental, nira malah menjadi caramel dan tidak menjadi serbuk gula semut (Zuliana,2014) Kekerasan gula merah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti mutu nira, kadar air, dan kadar lemak. Mutu nira berhubungan dengan jumlah sukrosa yang terdapat di dalamnya. Semakin baik mutu nira, jumlah sukrosa akan semakin
tinggi dan gula merah yang terbentuk akan memiliki tekstur yang baik. Apabila sukrosa telah terinversi maka gula merah akan sulit mengeras. Penguraian sukrosa menjadi gula pereduksi disebabkan adanya aktivitas enzim invertase yang dihasilkan mikroba kontaminan atau akibat pemanasan dalam suasana asam yang terjadi selama pengolahan (Santoso, 1993). Rendahnya mutu nira atau rusaknya nira dapat disebabkan oleh lamanya penyadapan atau pengambilan nira. Kerusakan juga dapat disebabkan kurangnya kebersihan dari tanaman, jerigen, adanya berbagai jenis serangga, penggunaan dosis pengawet yang tidak tepat serta iklim yang tidak baik (Palungkun, 1999; Sudiyanti, 2004). Air merupakan salah satu komponen yang berpengaruh terhadap keempukan gula. Semakin tinggi kadar air maka kekerasan gula merah akan semakin rendah (Sudarmadji et al., 1989). Kadar air yang terdapat pada gula merah adalah kurang dari 12%. Kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan gula merah menjadi lembek dan cepat rusak (Dachlan, 1984).
V.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini adalah sebagai berikut 1. Gula merah tebu terbentuk seperti gulali atau dodol. Hal ini dikarenakan nira tebu yang digunakan sudah tidak segar sehingga mengalami penurunan mutu yang berpengaruh terhadap penampakkan gula merah dari nira tebu. 2. Kualitas gula semut dari kelapa kurang baik karena pada saat proses pemasakkan, pengadukan dilakukan dalam waktu yang relative cepat 3. Kadar air gula merah dari nira tebu sebesar 2,0234% dan kadar abu 1,1183% memiliki kualitas gula merah yang tidak baik karena nira tebu yang digunakan sudah tidak segar sehingga mengalami penurunan mutu. 4. Kadar air gula semut dari kelapa pada kloter 1 sebesar 3,3357% dengan kadar abu 2,9797%, sedangkan kadar air gula semut dari kelapa pada kloter 2 memiliki nilai yang lebih kecil yaitu sebesar 2,50% dengan kadar abu yang lebih tinggi 3,40%.
5. Gula merah tebu, bagian yang tidak larut memiliki nilai melebihi batas maksimum 1% yaitu sebesar 4,39%. 6. Gula semut baik dari aren maupun kelapa menunjukkan bagian yang tidak larut dari air berkisar antara 1,60% sampai 3,60%.
DAFTAR PUSTAKA
Aurand, L.W., A. E. Woods, dan M.R. Wells. 1987. Food Composition and Analysis. An Avi Book. New York. Reinhold Company. Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2000. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6237-2000:Gula Merah Tebu. Badan Standardisasi Nasional (BSN), Jakarta. Balai Informasi Pertanian. 2000. Pembuatan Gula Semut. Liptan. Padang. Balai Penelitian Tanaman Palma. 2010. Pemanfaatan Tumbuhan Palma. Manado. Sulawesi Utara. BALITKA. 1989. Potensi Nira Tanaman Palma sebagai pasok Gula non Tebu. Laporan bulanan balai penelitan dan pengembangan
Dachlan, M.A.1984. Proses Pembuatan Gula Merah. Balai Penelitian Dan Pengembangan Industri, BBIHP, Bogor. Darwin Philips. 2013. Menikmati Gula Tanpa Rasa Takut. Perpustakaan Nasional: Sinar Ilmu. Dyanti, R. 2002. Studi Komparatif Gula Merah Kelapa dan Gula Merah Aren. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Herman, A.S. dan M. Yunus. 1987. Kandungan Mineral Nira dan Gula Semut Aren. Dalam Warta Industri Hasil Pertanian, Vol. 4, No.2, pp. 48-51. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian, Bogor. Kristianingrum, Susila.2009. Analisis nutrisi dalam Gula Semut, disampaikan dalam kegiatan PPM teknologi pembuatan gula semut aneka rasa untuk menumbuhkan jiwa wirausaha dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, UNJ Lesthari, A.P. 2006. Pengaruh Waktu Tunda Giling Tebu dan Penambahan Natrium Metabisulfit Terhadap Mutu Gula Merah Tebu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mustaufik dan H. Dwianti. 2007. Rekayasa Pembuatan Gula Kelapa Kristal yang Diperkaya dengan Vitamin A dan Uji Preferensinya kepada Konsumen. Laporan Penelitian. Peneliti Dosen Muda Dikti Jakarta. Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Mustaufik dan Karseno.2004. Penerapan dan Pengembangan Teknologi Produksi Gula kelapa kristal Berstandar Mutu SNI untuk Meningkatkan Pendapatan Pengrajin Gula Kelapa di Kabupaten Banyumas. Laporan Pengabdian Masyarakat. Program Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Unsoed. Purwokerto.
Nengah, I.K.P. 1990. Kajian reaksi Pencoklatan Termal pada Proses Pembuatan Gula Merah dari Aren. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nurlela, E. 2002. Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Warna Gula Merah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ozdemir,
M.
1997.
Foods
Browning
and
Its
Control.
Dalam
www.okyanusbilgiambari.com (diakses pada tanggal 01 Juni 2017). Palungkun, R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta. Palungkun, R. 1999. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta. Paudi F. 2012. Kandungan Nutrisi Gula Merah Kelapa http://www.ryanisra.net/kandungan-nutrisi-gula-merah-kelapa/. Diakses pada 01 Juni 2017. Pragita, T.E. 2010. Evaluasi Keragaman dan Penyimpangan Mutu Gula Kelapa Kristal (Gula Semut) di Kawasan Home Industri Gula Kelapa Kabupaten Banyumas. [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Sagala, M., D. Panjaitan, N. Rudyanto, dan Musmariety. 1978. Komunikasi Balai Penelitian Kimia. Balai Penelitian Kimia, Medan Pengembangan Industri, BBIHP, Bogor. Santoso, B. 1993. Pembuatan Gula Kelapa. Kanisius. Yogyakarta. Sardjono dan M.A. Dachlan, 1988. Penelitian pencegahan fermentasi pada penyadapan nira aren sebagai bahan baku pembuatan gula merah. Warta Industri Hasil Pertanian Bogor. 5 (2) : 55 – 58. Sardjono, A. 1985. Pengembangan Peralatan untuk Pengembangan Serbuk Gula Merah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian, Bogor
Sardjono. 1986. Pengembangan Peralatan untuk Pengembangan Serbuk Gula Merah. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. Dalam Nuriela, Euis. 2002. Kajian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukkan Warna Gula merah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. SNI 01-3743-1995. Uji Standar Gula Merah Yang Sehat Untuk Dikonsumsi. Sudarmadji, S., Bambang H., dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Sudiyanti, N. M., 2004. Pengaruh Jenis Konsentrasi Lemak Sebagai Bahan Edible Coating terhadap Sifat Fisik, Kimia, MikroBiologi dan Organoleptik Gula Merah Kelapa (Cocosnucifera L). Skripsi. Universitas Lampung Sugiyanto, C. 2007. Pemintaan Gula Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 8 (2) : 113–127. Suparmo dan Sudarmanto, 1991, Proses Pengolahan Gula Tebu, PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta. Tegar, E.P. 2010. Evaluasi Keragaman dan Penyimpangan Mutu Gula Kristal (Gula Semut) Di Kawasan Home Industri Gula Kelapa Kabupaten Banyumas. Skripsi. Fakultas Pertanian Univertsitas Soedirman. Purwokerto Warastri, A.W. 2006. Menjaga Manisnya Gula Kelapa Banyumas. Dalam www.kompas.com (diakses pada tanggal 01 Juni 2017). Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka, Jakarta. Wirioatmodjo, B., D. Prabowo, dan R. Soerjapoetra. 1984. Pergulaan di Indonesia dan Prospeknya di Masa Perusahaan Perkebunan Gula, Pasuruan.
Mendatang. Balai Penelitian
Zuliana. 2014. Pembuatan Gula Semut Kelapa(Kajian pH Gula Kelapa dan Konsentrasi Natrium Bikarbonat). Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No.1 p109-119 Januari 2016
LAMPIRAN
FOTO PRAKTIKUM
Sampel gula merah tebu analisis kadar air
Sampel gula semut aren analisis kadar air
Sampel gula semut kelapa analisis kadar air
Sampel gula merah tebu analisis kadar abu
Sampel gula semut aren analisis kadar abu
Sampel gula semut kelapa analisiskadar abu