i
PAPER PENYULUHAN ADOPSI, DIFUSI, INOVASI DAN PENDIDIKAN ORANG DEWASA TERHADAP DINAMIKA KELOMPOK
MOHAMMAD RIFKY F D1E011090 KELAS A
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2014
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah segala puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya paper ini terselesaikan. Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada dosen – dosen pengampu mata kuliah penyuluhan atas bimbingannya dan teman – teman kuliah atas dukungannya dalam penyusunan dan penyelesaian paper ini Munculnya berbagai permasalahan penyuluhan yang di hadapi oleh masyarakat Indonesia merupakan suatu yang fenomenal. Masalah-masalah tersebut sering di jumpai dalam kehidupan terutama dalam bidang peternakan, sehingga atas dasar permasalahan tersebut penyusun membuat paper penyuluhan berdasarkan kumpulan – kumpulan karya hasil penelitian dimana karya tersebut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk pemecahan masalah penyuluhan di bidang peternakan. Paper tersebut di susun agar pembaca dapat mengetahui dan memahami Penyuluhan. Semoga dengan makalah yang berjudul “Adopsi, Difusi, Inovasi dan Pendidikan Orang Dewasa terhadap Dinamika Kelompok” menjadi acuan dan perhatian para pembaca. Penyusunan paper ini, masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Berdasarkan hal tersebut, selaku penyusun, meminta maaf sebesar-besarnya serta senantiasa terbuka menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga bermanfaat bagi kesejahteraan bangsa dan membangun masyarakat Indonesia yang di cintai ke arah perbaikan dan kemajuan di masa mendatang. Purwokerto, 6 Juni 2014
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................... i KATA PENGANTAR........................................................................................... ii DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii I. PENDAHULUAN ...............................................................................................1 1.1.Latar Belakang ...................................................................................................1 1.2.Tujuan ................................................................................................................1 II. ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI...........................................................................................................2 2.1. Adopsi Inovasi .................................................................................................2 2.1.1.Pengertian Adopsi Inovasi ..............................................................................2 2.1.2.Tahapan Adopsi Inovasi..................................................................................4 2.1.3.Faktor yang Memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi ...................................7 2.2.Difusi Inovasi ...................................................................................................17 III. PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI.........................................................................................................22 3.1.Konsep Dasar Pendidikan Orang Dewasa .......................................................22 3.1.1.Definisi Pendidikan Orang Dewasa ..............................................................22 3.1.2.Tujuan Pendidikan Orang Dewasa................................................................26 3.2.Hambatan Pendidikan Orang Dewasa (10) ......................................................27 3.2.1.Hambatan Fisiologik .....................................................................................27 3.2.2.Hambatan Psikologik ....................................................................................32 3.2.Hambatan Perilaku ...........................................................................................38 IV. PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI .....................42 4.1.Suasana.............................................................................................................42 4.1.1.Suasana Pendidikan Aktif .............................................................................42 4.1.2.Suasana Saling Menghormati........................................................................43 4.1.3.Suasana Saling Percaya.................................................................................44 4.1.4.Suasana untuk Menemukan Jati Diri ............................................................45
iv
4.1.5.Suasana Tidak Mengancam...........................................................................46 4.1.6.Suasana Keterbukaan ....................................................................................47 4.1.7.Suasana Membenarkan Perbedaan................................................................49 4.1.8.Suasana Mengakui Hak untuk Berbuat Salah ...............................................50 4.1.9.Suasana Membolehkan Keraguan .................................................................51 4.1.10.Suasana Evaluasi Bersama dan Evaluasi Diri.............................................52 4.2.Belajar ..............................................................................................................53 4.2.1.Jenis – Jenis Belajar ......................................................................................53 4.2.2.Cara – Cara Belajar .......................................................................................55 4.2.3.Prinsip – Prinsip Belajar ...............................................................................57 4.2.4.Ciri – Ciri Belajar..........................................................................................58 4.2.5.Faktor – Faktor Psikologis yang Memengaruhi Belajar ...............................61 V. DINAMIKA KELOMPOK (DK) ..................................................................62 5.1. Konsep Dasar Dinamika Kelompok................................................................62 5.1.1.Definisi Dinamika Kelompok .......................................................................62 5.1.2.Analisis Dinamika Kelompok .......................................................................64 5.2. Unsur Sosiologi Dinamika Kelompok ............................................................66 5.2.1. Tujuan Kelompok.........................................................................................66 5.2.2. Pembagian Tugas dan Hak serta Kewajiban Kelompok ..............................68 5.2.3. Aturan dan Kebiasaan Kelompok ................................................................69 5.2.4. Kemudahan dan Tegangan Kelompok .........................................................71 5.2.5. Kegiatan Sosial Kelompok...........................................................................72 5.3. Unsur Psikologi Dinamika Kelompok ............................................................74 DAFTAR PUSTAKA
5
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Peternakan merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian
nasional. Pembangunan ekonomi akan tetap berbasis peternakan secara luas, dengan kata lain kegiatan agribisnis peternakan akan menjadi salah satu kegiatan unggulan pembangunan ekonomi nasional dalam berbagai aspek yang luas. Penyuluhan peternakan sebagai bagian integral pembangunan peternakan merupakan salah satu upaya pemberdayaan peternak-peternak dan pelaku usaha peternakan
lain
untuk
meningkatkan
produktivitas,
pendapatan
dan
kesejahteraannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka kegiatan penyuluhan peternakan harus mengakomodasikan aspirasi dan peran aktif peternak-peternak dan pelaku usaha peternakan lainnya melalui pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif dalam praktiknya memerlukan pemahaman terhadap adopsi, difusi dan inovasi, pendidikan orang dewasa dan faktor yang memengaruhinya serta dinamika kelompok. Pemahaman tersebut diperlukan oleh seorang penyuluh karena diperlukan untuk pengembangan pembangunan peternakan di masa mendatang, sebab melalui pemberian pemahaman tersebut, peternak-peternak ditingkatkan kemampuannya baik secara afektif, kognitif dan psikomotor agar dapat mengelola usaha ternaknya dengan produktif, efisien dan menguntungkan, sehingga
peternak-peternak
dan
keluarganya
kesejahteraannya. Meningkatnya kesejahteraan
dapat
meningkatkan
peternak – peternak dan
keluarganya adalah tujuan strategis utama dari pembangunan peternakan. 1.2
Tujuan
1.
Mengkaji adopsi, inovasi dan difusi melalui pendekatan psikologi
2.
Mengkaji pendidikan orang dewasa melalui pendekatan psikologi
3.
Mengkaji prinsip dan faktor yang berpengaruh dalam pendidikan orang dewasa melalui pendekatan psikologi
4.
Mengkaji dinamika kelompok
6
II.
ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI PETERNAKAN MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI
2.1
Adopsi Inovasi
2.1.1 Pengertian Adopsi Inovasi Adopsi merupakan proses keluarnya ide (inovasi) sampai diterima dan dilaksanakan masyarakat maupun peternak sehingga menjadi perilaku. Perilaku dalam hal ini adalah perpaduan antara pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Menurut Suprapto dan Fahrianoor, (2004), adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Ibrahim dkk (2004) menyebutkan adopsi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsinya. Peternak sasaran mengambil keputusan setelah melalui beberapa tahapan dalam proses adopsi. Beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat adopsi sangat dipengaruhi tipe keputusan untuk menerima atau menolak inovasi. Tipe keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap yaitu: tahap mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation) dimana konfirmasi merupakan bagian dari perefleksian dan pengembangan adopsi secara berkelanjutan (Hughes dkk, 2012). Penyuluh dalam melakukan adopsi dan inovasi ke masyarakat harus memperhatikan tiga pokok falsafah penyuluhan antara lain: 1.
penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat,
2.
penyuluh tidak menciptakan ketergantungan, tetapi menciptakan kemadirian sehingga tercapai kesejahteraan,
3.
penyuluh harus terampil dan membuat masyakarat menjadi terampil
7
1.
Perubahan Kognitif Terjadi melalui penyampaian info inovasi sehingga masyarakat menjadi
tahu. Teknik penyampaian pengetahuan ada dua macam yaitu pertama adalah penyampaian secara massal dan kedua adalah penyampaian secara individual. Menurut Ban dan Hawkins (2010) perubahan kognitif seseorang menyebabkan perbedaan persepsi seseorang walaupun dalam situasi yang sama, sehingga dalam tahap ini harus dilakukan redundancy (pengulangan pesan) yaitu menentukan suatu strategi yang dapat mewakili suatu gagasan yang mengacu pada sebagian besar gaya kognitif. 2.
Perubahan Afektif Terjadi ketika masyarakat tahu dan memahami informasi inovasi yang
diberikan dimana pemahaman tersebut diperoleh dengan belajar secara lebih mendalam terhadap informasi inovasi yang disampaikan. Perubahan ini terjadi berkenaan dengan sikap, kemampuan, dan penguasaan segi – segi emosional yaitu perasaan dan nilai. Menurut Tika (2010) nilai yang dimaksud adalah asumsi dasar mengenai hal – hal yang ideal diinginkan atau berguna antara lain : hakikat dengan lingkungan, hakikat orientasi waktu, hakikat sifat manusia, hakikat aktivitas manusia, hakikat hubungan manusia, hakikat kebenaran dan hakikat universalisme / partikularisme. 3.
Perubahan Psikomotorik Perubahan ini berkenaan dengan suatu keterampilan atau gerakan – gerakan
fisik (tindakan). Hughes dkk (2012) berpendapat bahwa tindakan dipengaruhi oleh persepsi (afektif). Variabel persepsi yang mempengaruhi tindakan tersebut salah satunya adalah ramalan pemenuhan diri (self – fullfiling prophecy), yang terjadi ketika ekspektasi atau prediksi sasaran memainkan peran yang berhubungan dengan kejadian yang di ramalkan misal, fenomena sosial atau fenomena hal baru yang terjadi dan ekspetasi masyarakat terhadap orang lain terutama orang asing. Berdasarkan hal tersebut penting bagi penyuluh untuk memahami ekspetasi masyarakat terhadap orang lain (terutama penyuluh itu sendiri).
8
2.1.2 Tahapan Adopsi Inovasi 1.
Kesadaran (Awareness) Merupakan kesadaran terhadap permasalahannya, sehingga masyarakat akan
terpacu berfikir kreatif dimana terfokus pada unsur pribadi dengan segala keunikannya (Rivai dan Arifin, 2009). Menurut Hughes dkk (2012) unsur pribadi (kepribadian) merupakan struktur tak terlihat dan proses yang mendasari di dalam diri seseorang yang menjelaskan alasan berperilaku yang cenderung relatif sama di situasi yang berbeda dan ataupun berbeda dari perilaku orang lain. Unsur pribadi tersebut biasanya terjadi karena kekuatan sifat – sifat yang mereka miliki. Sifat – sifat ini biasanya akan berinteraksi dengan faktor eksternal terutama pada berbagai faktor situasional. Tika (2010) menguatkan bahwa emosi memainkan peranan utama dalam membentuk persepsi. Misalnya emosi negatif dijumpai menghasilkan penyederhanaan berlebihan terhadap isu – isu inovasi, mengurangi kepercayaan dan penafsiran yang negatif terhadap perilaku pihak lain. Sebaliknya, emosi positif dapat meningkatkan hubungan yang potensial di antara unsur – unsur suatu masalah, mengambil pandangan yang luas di antara unsur – unsur suatu masalah dan mengembangkan penyelesaian
yang lebih inovatif.
Berdasarkan hal tersebut hendaknya penyuluh memahami konsep ini karena masyarakat (sasaran adopsi) memiliki emosi yang berbeda ketika hendak diberdayakan melalui adopsi inovasi, sehingga bukan sesuatu yang mengherankan apabila terdapat persepsi yang berbeda – beda. 2.
Minat (Interest) Keinginan untuk mengetahui lebih lanjut inovasi yang ditawarkan dengan
cara memancing rasa ingin tahu nya (Ban dan Hawkins, 2010). Minat tersebut merupakan sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan bila orang tersebut diberi kebebasan untuk memilih. Pada suatu masyarakat pedesaan, umumnya motivasi yang sering muncul adalah motivasi sosial. Menurut Gross (2014), motivasi sosial merupakan proses aktifitas yang meliputi inisiasi, pengarahan, energisasi, terhadap tingkah laku individu berdasarkan situasinya yaitu pada saat orang lain berada dekat dengan individu yang bersangkutan.
9
3.
Evaluasi (Evaluation) Menimbang manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi. Tahap ini
merupakan titik kritis karena merupakan faktor yang paling menentukan dalam menimbulkan semangat akan suatu program inovasi yang di jalankan (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Hughes dkk (2012) menerangkan, selain manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi, salah satu yang menjadi pertimbangan lain dalam melakukan adopsi adalah keahlian masyarakat, sifat pribadi masyarakat akan perkembangan serta hierarki kebutuhan masyarakat. Sifat pribadi masyarakat akan perkembangan yang perlu di pertimbangkan lebih dalam adalah kemampuan dalam menerima dan menerapkan inovasi serta mencurahkan waktu dan usaha yang diperlukan untuk menerima dan menerapkannya. Pada hierarki kebutuhan masyarakat hal – hal yang harus dipertimbangkan lebih dalam ialah kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan rasa memiliki, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Feist dan Feist (2010), aktualisasi diri merujuk pada manusia secara keseluruhan – kesadaran dan ketidaksadaran, fisiologis dan kognitif. Aktualisasi diri tersebut salah satunya adalah konsep diri. Konsep diri meliputi seluruh aspek dalam keberadaan dan pengalaman seseorang yang disadari oleh individu tersebut. Bagian – bagian dari diri organismik berada di luar kesadaran seseorang atau tidak dimiliki oleh orang tersebut, sehingga, saat manusia (masyarakat sasaran) sudah membentuk konsep dirinya, ia akan menemukan kesulitan dalam menerima perubahan / inovasi dan pembelajaran yang penting, karena pengalaman yang tidak konsisten dengan diri mereka, biasanya disangkal atau hanya diterima dengan bentuk yang telah didistorsi atau diubah. Berdasarkan hal tersebut penyuluh hendaknya manyadari bahwa dalam praktiknya ada beberapa masyarakat yang belum dapat beradaptasi terhadap suatu inovasi walaupun pertimbangan (evaluasi) telah dilakukan dengan matang, hal tersebut karena setiap masyarakat mempunyai konsep diri yang sudah terbangun dimana jika sudah terbangun akan terasa sulit membuat perubahan karena konsep diri tersebut seringkali memunculkan kecemasan dan ancaman.
10
4.
Percobaan/Demplot/Percontohan (Trial) Melakukan percobaan untuk menguji sendiri inovasi dalam skala kecil. Pada
tahap ini, penyuluh harus membuat miniatur/model inovasi terlebih dahulu. Tujuannya adalah untuk meyakinkan penilaian inovasinya sehingga ketika penyuluh melakukan demplot pada peternak, maka peternak merasa ingin menerapkan dalam usaha peternakannya. Sederhananya, penyuluh berperan untuk menuntun peternak agar secara teknis dapat mempraktekan inovasi secara mandiri. Penyuluh harus aktif melakukan supervisi, karena apabila mengalami kegagalan maka kepercayaan peternak akan inovasi yang diberikan akan sirna seketika. Hilangnya kepercayaan akan menyulitkan untuk mengadopsi kembali inovasi yang telah disuluhkan (trauma) (Baba, 2008). 5.
Menerima dan Menerapkan (Adopsi) : Menerima dan menerapkan inovasi dengan penuh keyakinan berdasarkan
penilaian dan uji coba yang telah dilakukan atau di amatinya sendiri sehingga tercapai ketepatan umpan balik. Hal tersebut karena umpan balik berkaitan dengan kecepatan pelaksanaan dimana pada akhirnya akan memengaruhi ketepatan pengambilan keputusan (Ban dan Hawkins, 2010). Menurut King (2010) adanya kecepatan pelaksanaan kemungkinan dipengaruhi oleh tujuan dan minat. Tujuan dan minat tersebut dipengaruhi oleh motivasi. Motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan sasaran untuk berperilaku, berpikir dan merasa seperti yang mereka lakukan. Motivasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain.
Dorongan (drive) Adalah keadaan tergugah yang terjadi karena adanya kebutuhan fisiologis
Kebutuhan (need) Adalah keadaan kekurangan sesuatu yang memberikan energi untuk
menghilangkan atau mengurangi keadaan kekurangan tersebut
Homeostasis (homeostasis) Adalah kcenderungan tubuh mempertahankan keadaan seimbang atau
tenang.
11
2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi 1.
Sifat Inovasinya Sendiri Menurut Musyafak dan Ibrahim, (2005) inovasi memiliki sifat “baru”. Sifat
“baru” tersebut kemudian dapat di introduksi oleh masyarakat tani yang belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi, sifat “baru” pada suatu inovasi harus dilihat dari sudut pandang atau persepsi masyarakat tani (calon adopter), bukan kapan inovasi tersebut dihasilkan. Ia juga menegaskan bahwa inovasi akan menjadi kebutuhan peternak apabila apabila inovasi tersebut dapat memecahkan masalah yang sering dihadapi peternak, sehingga identitikasi masalah secara benar menjadi sangat penting, paling tidak dua alasan yaitu sesuatu yang dihadapi oleh peternak dan jika masalah tersebut ternyata benar merupakan masalah peternak belum tentu pemecahannya sesuai dengan kondisi peternak. Ban dan Hawkins (2010) menambahkan, sejumlah studi telah menganalisis hubungan antara ciri – ciri suatu inovasi dan tingkat adopsinya. Sebagian besar studi tersebut menggunakan pertimbangan objektif, atau menganggap bahwa semua peternak mempunyai persepsi sama. Hal tersebut menyebabkan hasil studi tidak dapat mencapai kesimpulan sama. Menurut Rivai dan Arifin (2009) Inovasi merupakan sesuatu yang baru yang berasal dari potensi terpendam yang dimiliki oleh manusia untuk dipakai dalam menempuh kehidupan yang disebut kreativitas, bentuk kreativitas dapat berupa ide – ide baru atau hasil penyempurnaan yang muncul dari hasil imajinasi yang kemudian diberi sentuhan teknologi sehingga menjadi terobosan baru dalam memecahkan masalah yang timbul. Selanjutnya imajinasi merupakan kemampuan dalam menciptakan gagasan atau gambaran mental dalam pikiran kita atau visualisasi untuk menciptakan citra yang jelas tentang suatu yang kita inginkan bisa tercapai. dan memiliki manfaat atau nilai yang lebih baik. King (2010), menambahkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk memikirkan sesuatu dalam cara yang baru dan tidak biasa untuk menghasilkan pemecahan masalah yang tidak biasa karena cara berpikir ini lebih cenderung kearah yang divergen (menyebar) atau satu pertanyaan menghasilkan banyak jawaban.
12
Ban dan Hawkins (2010) menjelaskan terdapat lima sifat inovasi antara lain:
Keuntungan
relatif,
maksudnya
adalah
apakah
inovasi
tersebut
memungkinkan peternak mencapai tujuannya dengan lebih baik, atau dengan biaya yang lebih rendah daripada yang telah dilakukan sebelumnya
Kompabilitas (kemudahan untuk dipahami), berkaitan dengan nilai sosial budaya dan kepercayaan dengan gagasan yang diperkenalkan sebelumnya atau dengan keperluan yang dirasakan oleh peternak.
Komplesitas (kerumitan), yaitu inovasi tersebut memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus dan sangat terkait dengan displin ilmu.
Triabilitas (dapat dicoba), yaitu kecenderungan peternak untuk mengadopsi inovasi dalam skala kecil dan terbukti lebih baik.
Observalibitas (dapat diamati dan dipahami), sehingga terdapat proses pembelajaran dan diskusi dari peternak yang bersangkutan. King (2010) menambahkan bahwa untuk memunculkan lima sifat inovasi
tersebut penyuluh harus memunculkan solusi kreatif terhadap suatu masalah. Memunculkan solusi kreatif pada suatu masalah dapat dideskripsikan sebagai sebuah 5 tahap proses yang berurutan yaitu :
Persiapan : Tahap dimana seseorang terlibat dalam suatu situasi masalah yang menarik dan membangkitkan kengintahuan
Inkubasi :tahap dimana seseorang membuar beragam hubungan yang tidak biasa dalam proses berpikir
Pencerahan :tahap dimana semua potongan informasi tentang masalah tampak saling melengkapi dan cocok
Evaluasi :tahap dimana untuk menentukan apakah gagasan tersebut baru atau apakah tampak jelas
Elaborasi : tahap klimaks proses kreatif dimana membutuhkan banyak kerja keras. Feldman (2012) menyarankan bahwa pada tahap elaborasi diperlukan pendekatan arousal terhadap motivasi dengan cara mempertahankan atau meningkatkan rangsangan sampai pada level tertentu. Hal tersebut karena tahap ini menyebabkan motivasi seseorang menurun.
13
2.
Sifat Sasarannya Penyuluh juga disamping memperhatikan tahap – tahap inovasi, juga harus
memperhatikan pengadopsi yaitu masyarakat itu sendiri. Berdasarkan kategori dan ciri – cirinya, pengadopsi dibedakan menjadi lima antara lain:
Perintis / Inovator : Cepat menerima sesuatu hal yang baru, banyak membaca, kaya,
berpengaruh dan terpandang, hubunngan dengan kaum atas lebih banyak dari pada dengan peternak, pergaulan peternak baik tetapi sangat terbatas (Sinaga, 2004). Feldman (2012) mengemukakan bahwa inovator cenderung memiliki kreativitas tinggi yaitu merupakan kemampuan untuk membangun ide – ide orisinil atau mengatasi masalah dengan cara – cara baru. Pengadopsi ini biasanya memiliki cara berpikir yang divergen, kemampuan untuk mengembangkan respon yang tidak biasa, namun sesuai terhadap masalah atau pernyataan. Aspek lain yang menyebabkan pengadopsi ini memiliki kreativitas adalah komplesitas kognitif atau pilihan terhadap stimulus dan pola berpikir yang rumit sehingga mereka seringkali memiliki ketertarikan yang sangat luas dan lebih mandiri serta lebih tertarik dengan masalah – masalah abstrak.
Pengerap Dini / Early adopter : Daya penerimaannya cepat, mudah diyakini, pendidikannya tinggi, rata –
rata umur muda, keadaan ekonomi baik, aktif dalam masyarakat pergaulan dengan peternak baik. Pengadopsi ini cenderung memiliki motivasi yang tinggi., terutama pada motivasi yang memberi atribusi pada dorongan yang dinamis untuk proses kognitif (berpikir). Pengadopsi ini biasanya memiliki rencana dan intensi yang kuat dan konsisten dimasa depan (Fiest dan Fiest, 2010).
Pengetrap Awal / The Early Majority : Daya penerimaannya cukup, pendidikan cukup tinggi, rata – rata umur
pertengahan/setengah umur, cukup aktif dalam masyarakat, pergaulan dengan peternak sangat baik. King (2010) mengatakan bahwa pengadopsi ini sebagian besar berusia 20 – 30 an. Pengadopsi biasanya memiliki kemampuan fisik kesehatan dan berpikir yang optimal karena pada usia ini manusia mencapai perkembangan fisik tepatnya berada pada titik puncak.
14
Pengetrap Akhir / The Late Majority : Daya penerimaannya sangat lambat, apa yang dilakukannya selalu melihat
orang lain dulu, rata – rata umur sudah tua, tidak aktif dalam masyarakat dan kurang
bergaul
karena
ekonominya
kurang
cukup.
Feldman
(2012)
mengemukakan bahwa pengetrap ini mengalami penuaan fisik karena rata – rata sudah berumur 40 tahunan (masa dewasa akhir). Pada masa dewasa akhir ini seseorang cnderung menerima orang lain dan kehidupan mereka sendiri serta tidak terlalu memedulikan mengenai masalah – masalah yang mengganggu mereka. Disisi lain sebagian mereka juga mengalami krisis paruh baya. King (2010) menambahkan pada usia ini manusia cenderung lebih buruk pada wilayah ingatan dibandingkan dengan yang lebih muda. Pada usia ini mereka jarang mengingat dimana dan kapan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupannya terjadi lebih baik dibandingkan mereka yang lebih muda dan biasanya mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengingatnya. Akan tetapi beberapa aspek yang membaik seiring pada usia ini adalah kebijaksanaan. Berdasarkan hal tersebut maka penyuluh disarankan melakukan pelatihan dengan tujuan meningkatkan kemampuan kognitif mereka.
Penolak / laggards : Acuh tak acuh dan selalu menolak inovasi dan ukuran pemerintah,
berpandangan agresif (paranoid), rata – rata sudah tua dan bersifat pasif. Fiest dan Fiest (2010) menyatakan sifat – sifat tersebut muncul sebab individu model ini sudah membentuk konsep dirinya. Konsep diri yang sudah terbangun tidak mungkin membuat perubahan sama sekali, apabila bisa di rubah itu pun akan terasa sulit bagi individu yang bersangkutan. Perubahan ini biasanya lebih mudah terjadi ketika adanya penerimaan dari orang lain, yang membantu seseorang untuk mengurangi
kecemasan
yang
menyebabkan
kesadaran
atas
perubahan
komprehensif yang terjadi dalam dirinya dan ancaman yang menyebabkan kesadaran seseorang yang dihadapkan pada sesuatu yang berada diluar jangakauan praktis dari sistem konstruk orang tersebut, serta mengakui dan menerima pengalaman – pengalaman yang sebelumnya di tolak.
15
3.
Cara Pengambilan Keputusan Terlepas dari ragam karateristik individu dan masyarakat. Cara pengambilan
keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan memengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal tersebut, apabila keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi (individu) relatif lebih cepat dibanding pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama (kolektif) warga masyarakat lain, bahkan jika harus menunggu peraturan – peraturan tertentu (seperti rekomendasi pemerintah / penguasa).Musyafak dan Ibrahim (2005) menyarankan keputusan secara individu dapat dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain : konsultasi, diagnosa resep dan partisipastif. Teknik konsultasi, dilakukan dengan membuat peternak memposisikan dirinya sebagai klien yang menyampaikan permasalahan dirinya kepada penyuluh atau peneliti dengan tujuan untuk memperoleh solusi yang dihadapi. Pada teknik ini diperlukan keterampilan untuk
mendengarkan klien agar penyuluh
mendapatkan afeksi dari sasaran (Giblin, 2004). King (2010) juga menambahkan teknik ini dapat dikombinasikan dengan mewawancarai mereka langsung sehingga informasi didapatkan dengan cepat. Pertanyaan pada wawancara tersebut dapat berisfat tidak terstruktur, terbuka dan menggali pokok bahasan yang luas mulai dari keyakinan agama sampai kebiasaan atau kegiatan yang dilakukan oleh mereka. Salah satu masalah pada wawancara adalah kecenderungan sasaran untuk menjawab pertanyaan dengan cara yang mereka pikir diterima atau diinginkan secara sosial daripada dengan cara mengomunikasikan apa yang benar – benar mereka pikirkan atau rasakan. Cervone dan Pervin (2012) berpendapat masalah tersebut terjadi diakibatkan setiap individu memiliki tingkat stress psikologi yang berbeda – beda yang akhirnya berpengaruh terhadap coping (kemampuan untuk mengantisipasi stress). Cara coping individu pada berbagai situasi – situasi tertentu ini berbeda. Perbedaan kuncinya adalah perbedaan antara coping yang berfokus pada masalah yang mengacu pada upaya coping dengan mengubah situasi yang penuh stress dan coping yang berfokus pada emosi yang mengacu coping pada individu untuk berjuang meningkatkan kondisi internal dirinya.
16
Teknik diagnosa resep dilakukan dengan prosedur penyuluh/peneliti mengambil inisiatif mengajukan pertanyaan yang mungkin peternak tidak memahami kenapa hal tersebut ditanyakan, selanjutnya penyuluh/peneliti mendiagnosis penyebab masalah atas dasar jawaban peternak dan memberikan resep sebagai pemecahan masalah. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat di analisis bahwa teknik ini mengacu pada pendekatan psikodinamika terhadap kepribadian. Feldman (2012) menjelaskan psikodinamika kepribadian didasarkan pada ide bahwa kepribadian dimotivasi oleh kekuatan dan konflik dalam diri yang tidak terlalu disadari oleh individu dan tidak dapat mereka kontrol, dengan kata lain teknik ini dibuat dengan berdasarkan pada teori psikoanalisis yaitu teori dimana banyak perilaku individu di motivasi oleh ketidaksadaran. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan Feist dan Feist (2010), melalui teori Skinner bahwa ketidaksadaran terjadi karena manusia jarang mengobservasi hubungan antara variabel genetik dan lingkungan dan perilaku mereka sendiri sehingga hampir semua perilaku individu yang bersangkutan termotivasi secara tidak sadar. Prosedur teknik partisipasi dilakukan dengan oleh penyuluh / peneliti dengan meminta peternak secara aktif memberikan informasi faktual tentang masalah yang dihadapi, sedangkan peneliti / penyuluh melengkapi informasi tersebut sesuai dengan keahliannya. Diupayakan peternak dapat melihat alternative pemecahan dan hasil yang diperkirakan dari setiap alternatif. Pilihan – pilihan solusi masalah datang dari peternak itu sendiri, sedangkan penyuluh hanya menyumbangkan keahliannya. Musyafak dan Ibrahim (2005) menjelaskan bahwa kelebihan ketiga teknik tersebut adalah adanya partisipasi dari individu, umpan balik dapat diperoleh secara langsung dari peternak, topik pembahasan langsung ke permasalahan spesifik yang dihadapi individu peternak, hasil akhir merupakan integrasi informasi dari peternak dan penyuluh, peternak akan merasa diperhatikan lebih sehingga mempunyai motivasi tinggi. Kelemahannya sasaran target sempit, biaya perkapita penyuluhan tinggi, memungkinkan adanya rasa kecemburuan dari peternak lain, umpan balik dari peternak kurang lengkap,
17
4.
Saluran Komunikasi yang digunakan Adopsi inovasi dapat mudah dan jelas disampaikannya melalui saluran
komunikasi yang relevan dengan melihat ukuran populasi dari sasaran. Saluran komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penyuluh/peneliti dalam mengomunikasikan secara langsung dan tidak langsung, harus bersikap persuasif. Menurut Feldman (2012) persuasi adalah proses mengubah sikap, salah satu konsep sentral dari psikologi sosial. Sikap adalah evaluasi tentang seseorang, perilaku, kepercayaan, atau konsep tertentu. Kemudahan dimana kita dapat mengubah sikap sasaran bergantung pada sejumlah faktor diantaranya sebagai berikut.
Sumber pesan.
Karakteristik pesan
Karakteristik target Sumber pesan. Karakteristik dari seseorang yang menyampaikan persuasif,
dikenal sebagai sikap komunikator, memiliki pengaruh besar dalam efektivitas pesan tersebut. Komunikator yang secara fisik dan sosial menarik akan menghasilkan perubahan sikap yang lebih besar dibandingkan mereka yang kurang menarik. Terlebih lagi, keahlian dan tingkat kepercayaan komunikator terkait dengan pengaruh pesan – kecuali dalam situasi – situasi ketika audensi (sasaran) percaya bahwa sang komunikator memiliki motif tertentu. King (2010) menambahkan bahwa salah satu yang menentukan komunikator secara fisik dan sosial menarik adalah bahasa. Bahasa merupakan bentuk komunikasi baik itu lisan, tertulis maupun isyarat yang didasarkan pada sebuah sistem simbol dengan kata lain, bahasa berperan sebagai sistem simbol yang amat kaya, karena mampu mengekspresikan sebagian besar pikiran. Sederhananya bahasa berperan dalam serangkaian proses kognitif yang dianggap penting. Fiest dan Fiest (2010) mengemukakan bahwa bahasa berperan sebagai strategi encoding yaitu mengategorisasikan informasi yang diterima dari stimulus eksternal menjadi konstruk personal, termasuk konsep diri, pandangan mereka terhadap orang lain dan cara mereka melihat dunia.
18
Karakteristik pesan. Setiap pesan mempunyai karakteristik yang berbeda dan karakteristik tersebut akan menghasilkan respon sikap yang berbeda baik itu mempunyai pengaruh maupun tidak. Umumnya pesan memiliki dua sisi yang menyebutkan posisi sebagai komunikator dan posisi dari lawan mereka (sasaran) dipandang lebih efektif dibandingkan pesan yang memiliki satu sisi. Dengan asumsi bahwa argumentasi bagi sisi yang lain dapat dimentahkan secara efektif dan audensi mengetahui mengenai topik tersebut (Feldman, 2012). Adanya dua sisi tersebut disebabkan adanya atribusi. Menurut King (2010) atribusi merupakan suatu motivasi untuk menemukan penyebab dasar perilaku individu sebagai bagian dari upaya mereka untuk memahami perilaku. Dengan demikian, atribusi adalah mengenai mengapa orang – orang berprilaku seperti yang mereka lakukan. Karakteristik target. Fiest dan Fiest, (2010), menyatakan setelah seorang komunikator menyampaikan pesan, karakteristik target pesan dapat menentukan apakah pesan tersebut akan diterima atau tidak.misalnya orang – orang yang pandai lebih tahan terhadap persuasi dibandingkan mereka yang kurang pandai. Perbedaan gender dalam keterbujukan sepertinya juga ada. Dalam lingkup publik, wanita relatif mudah dipaksa daripada pria, terutama ketika mereka kurang memiliki pengetahuan mengenai topik dari pesan tersebut. Meskipun demikian, mereka sama dengan pria yang terkait dengan perubahan sikap pribadi mereka. Pada kenyataannya, kedalaman dari perbedaan resistensi terhadap persuasi antara pria dengan wanita tidak terlalu besar. Perbedaan resistensi tersebut, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor kognitif sosial terutama pada proses belajar sosial dimana proses belajar tersebut berasal dari kepribadian yang mempunyai kesatuan mendasar, yang berarti kepribadian manusia mempunyai stabilitas yang relatif. Hal tersebut karena manusia (individu) belajar untuk mengevaluasi pengalaman baru atas dasar penguatan terdahulu. Evaluasi yang relatif konsisten ini akan membawa pada stabilitas yang lebih besar dan kesatuan dari kepribadian serta akan memberikan sifat responsif terhadap perubahan melalui pengalaman baru atau dapat dimodifikasi dan diubah selama manusia mampu untuk belajar.
19
5.
Keadaan Penyuluh Berdasarkan keadaannya terdapat lima dimensi pelayanan penyuluhan
antara lain:
Tangible (Pelayanan Fisik) Kemampuan penyuluh peternakan dalam menunjukkan tingkat kualitas
pelayanan kepada para peternak yang meliputi ketersediaan fasilitas fisik, keadaan fasilitas dan kelengkapan fasilitas yang merupakan bukti nyata dari pelayanan penyuluh peternakan dalam pemberian jasa kepada peternak.
Reliability (Kendala) Kemampuan penyuluh peternakan untuk memberikan pelayanan sesuai
dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya (Abubakar dan Siregar, 2010).
Responsiveness (Ketanggapan) Ketanggapan penyuluh peternakan terhadap permasalahan yang diperoleh
peternak dan cara penyuluh peternakan memecahkan masalah bersama peternak dalam kelompok tani-ternak. Feldman (2012) menguatkan dalam pengambilan keputusan ini diperlukan unsur kreativitas dan cara berpikir yang kovergen (mengarah pada logika dan pengalaman).
Insurance (Jaminan) Meliputi kredibilitas (sifat jujur dan dipercaya), kompetensi (penguasaan
keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar penyampaian materi penyuluhan sesuai dengan kebutuhan peternak.
Empaty (Empati) Atribut yang menggambarkan dimensi yang menekankan pada pelayanan
dalam melayani peternak dengan memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi dengan berupaya memahami keinginan peternak. Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa empati ini merupakan suatu bentuk penghargaan positif dan akan menciptakan perasaan percaya diri dan berharga bagi sasaran.
20
6.
Ragam Sumber Informasi Ragam informasi diperlukan untuk mendukung proses adopsi inovasi
informasi tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti informasi interpersonal, media cetak, media elektronik, publikasi ilmiah, dan pertemuan ilmiah/teknis. Kebutuhan informasi dan motivasi kognitif dapat mempengaruhi penggunaan sumber informasi. Feldman (2012) menerangkan bahwa yang dimaksud motivasi kognitif adalah produk dari pikiran, harapan dan tujuan manusia. Misalnya tingkat ketika orang termotivasi dalam belajar untuk menghadapi tes berdasarkan harapan mereka mengenai seberapa baik belajar dapat menghasilkan dalam bentuk nilai yang baik. Cervone dan Pervin (2012) menambahkan melalui teori kognitif sosialnya bahwa motivasi kognitif menunjukkan motivasi mendasar manusia terhadap pemikiran dihubungkan dengan diri, atau pemikiran rujukan – diri dimana hal tersebut diperoleh dan dicapai melalui pembelajaran observasional. Ide umumnya adalah bahwa orang umumnya mengarahkan dan memotivasi tindakan mereka sendiri melalui proses berpikir. Proses berpikir utama sering melibatkan diri. pertimbangan proses motivasi yang individu miliki berhubungan dengan hal ini dalam psikologi kepribadian. Fiest dan Fiest (2010) menjelaskan melalui teori kepribadian Allport bahwa psikologi kepribadian merupakan organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan karateristik perilaku dan pikirannya untuk menyesuaikan, melakukan refleksi atas hal tersebut dan berinteraksi dalam cara – cara yang menyebabkan lingkungan beradaptasi dengan mereka. Definisi komprehensif Allport atas psikologi kepribadian memberikan gagasan bahwa manusia adalah produk dan proses; manusia mempunyai struktur terorganisasi, sementara pada saat yang bersamaan, mereka memproses kemampuan untuk berubah. Sederhananya, kepribadian mencakup sistem fisik dan psikologis; meliputi perilaku yang terlihat dan pikiran yang tidak terlihat; serta tidak hanya merupakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu. Psikologi kepribadian adalah substansi dan perubahan, produk dan proses, serta struktur dan perkembangan.
21
2.2
Difusi Inovasi Difusi inovasi merupakan perembesan atau penyebaran adopsi inovasi dari
satu individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam sistem sosial masyarakat sasaran yang sama. Berlangsungnya proses difusi inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Bedanya adalah jika dalam proses adopsi pembawa inovasinya berasal dari “luar” sistem sosial masyarakat sasaran. Sedang dalam proses difusi, sumber informasi berasal dari sistem sosial masyarakat sasaran itu sendiri. Kecepatan difusi juga tergantung kepada aktivitas yang dilakukan oleh penyuluhnya sendiri. Berdasarkan hal tersebut setiap penyuluh diharapkan dapat mempercepat proses difusi inovasi, melalui: 1.
Melakukan diagnosa terhadap masalah – masalah masyarakatnya serta kebutuhan – kebutuhan nyata (real need) yang belum dirasakan masyarakatnya. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005) diagnosa kebutuhan – kebutuhan nyata tersebut dapat dilihat dari banyaknya kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di peternak. Sumarno (2010) menambahkan bahwa faktor ekonomi dan faktor non ekonomi sasaran perlu diperhatikan pada saat melakukan difusi inovasi, karena difusi inovasi merupakan suatu kegiatan yang mengandung resiko, berorientasi ke masa depan, dan memerlukan pertimbangan yang matang sehingga disarankan untuk penyuluh harus mendidik sasaran agar terbentuk keterampilan
yang
dapat
mewujudkan
keinginan,
kebutuhan
dan
kemampuan individu. King (2010) menguatkan bahwa keterampilan dapat memunculkan self efficacy. Self efficacy merupakan kepercayaan individu bahwa ia dapat menguasai sebuah situasi dan menghasilkan keluaran yang positif. Self efficacy memengaruhi apakah individu mencoba untuk membangun kebiasaan yang sehat, sebanyak apakah usaha mereka dalam mengatasi stress, berapa lama mereka dapat bertahan menghadapi rintangan dan berapa banyak stress yang dialami. Penelitian telah menunjukkan bahwa Self efficacy berhubungan dengan keberhasilan berbagai perubahan yang positif.
22
2.
Membuat masyarakat sasaran menjadi tidak puas dengan kondisi yang dialaminya, dengan cara menunjukkan kelemahan – kelemahan mereka, masalah – masalah mereka, adanya kebutuhan – kebutuhan baru yang memacu mereka untuk siap melakukan perubahan – perubahan; sedemikian rupa hingga dengan kesadarannya sendiri mereka termotivasi untuk melakukan perubahan – perubahan. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005), agar mereka termotivasi melakukan inovasi, penyuluh harus menyampaikan inovasinya dengan cara yang bermutu. Giblin (2004) menambahkan bahwa untuk memotivasi sasaran mendifusi inovasi, langkah yang harus dilakukan adalah mengetahui apa yang akan membuat sasaran melakukannya (apa yang mereka inginkan, apa yang mereka cari, apa yang mereka suka) karena apabila penyuluh mengetahui apa yang menggerakkan sasaran, penyuluh akan mengetahui bagaimana caranya menggerakkan sasaran. Langkah selanjutnya adalah penyuluh hanya menunjukkan bagaimana sasaran bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan melakukan apa yang anda (penyuluh) ingin mereka (sasaran) lakukan.Tentu saja dalam proses nya anda harus bertanya, melihat dan mendengarkan serta ditambah usaha penyuluh untuk mengetahui. Berdasarkan cara yang dikemukakan oleh Giblin dapat di analisis bahwa cara secara tidak langsung berhubungan dengan psikoterapi menggunakan teknik kongruensi. Fiest dan Fiest (2010) menjelaskan bahwa teknik kongruensi adalah teknik terapi dengan memanfaatkan pengalaman organismik seseorang (sasaran) sejalan dengan kesadaran atas pengalaman tersebut, serta dengan kemampuan dan keinginan untuk secara terbuka mengekspresikan perasaan – perasaan tersebut. Individu yang mengalami kogruen biasanya menjadi nyata dan jujur secara utuh atau terintegrasi menjadi apa adanya, sehingga teknik ini memerlukan persyaratan khusus yaitu penyuluh harus bersikap baik hati dan ramah, namun juga seorang manusia yang utuh, dengan perasaan bahagia, marah, frustasi, kebingungan dan lainnya atau dengan kata lain penyuluh harus berjiwa besar dan memiliki hati yang kuat, sebab teknik ini bersifat dinamis, menyendiri, dan tidak “tak berarah”.
23
3.
Menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat sasaran dan bersamaan dengan itu semakin menunjukkan kesiapannya untuk membantu mereka serta membuat mereka yakin bahwa dia mampu membantu mereka untuk memecahkan masalahnya serta mewujudkan terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan baru tadi. Abubakar dan Siregar (2010) menyatakan bahwa untuk menjalin hubungan yang erat dengan sasaran salah satu cara yang tepat adalah dengan menekankan perlakuan penyuluh terhadap para peternak sebagai individu – individu. Penekanan perlakuan tersebut bertujuan agar sasaran mempunyai kesadaran terhadap dirinya. Menurut King (2010), kesadaran yang dimaksud disini adalah merujuk pada kawasan kejadian eksternal dan sensasi internal, termasuk keawasan terhadap diri dan berbagai pikiran tentang pengalaman sendiri; kawasan ini terjadi dalam suatu kondisi tergugah (arousal), keadaan fisiologis saat seseorang sedang terlibat dengan lingkungan. Dengan demikian, seseorang yang dalam keadaan tidur tidak sama kesadarannya dengan ketika ia sedang dalam keadaan terjaga, hal tersebut karena arus kesadaran dari pikiran seperti sensasai, citra, pikiran dan perasaan akan terus berubah. Cara lain yang di lakukan agar membuat sasaran yakin bahwa dia (penyuluh) dapat membantu mereka (sasaran) adalah anda berbicara lewat orang ketiga, maksudnya adalah anda tidak membuat pernyataan itu langsung, melainkan mengutip seseorang. Biarkan orang lain membuat pernyataan itu untuk anda sekalipun orang lain itu tidak hadir, memang hal ini kelihatannya aneh tetapi orang tidak meragukan sedikit pun (yakin) bahwa apa yang anda katakan pada mereka secara tidak langsung itu benar. Teknik ini dilakukan karena manusia pada kodratnya bersikap skeptis (ragu – ragu) pada anda (penyuluh) dan apa yang anda katakan bila anda mengatakan hal – hal yang sifatnya menguntungkan diri anda (penyuluh) Bila dimungkinkan kaitkanlah cara ini dengan mengutip kisah – kisah sukses dan atau sesuatu yang beracu pada fakta dan data statistik. (Giblin, 2004).
24
4.
Mendukung dan membantu masyarakat sasaran, agar keinginan – keinginan untuk melakukan perubahan tadi dapat benar – benar menjadi tindakan nyata untuk melakukan perubahan. Menurut Sumarno (2010) agar masyarakat dapat melakukan tindakan nyata untuk melakukan perubahan, penyuluh harus memilih stimuli yang akan atau telah disampaikannya. Stimuli harus memiliki pengaruh nyata. Stimuli yang memiliki pengaruh nyata dalam difusi inovasi adalah informasi inovasi yang telah diterima oleh sasaran,
karena
informasi
ini
berperan
untuk
mengurangi
dan
menghilangkan ketidakpastian atau jumlah yang kemungkinan alternatif, dengan kata lain, informasi sangat berperan dalam mempengaruhi pembentukan atau perubahan sikap seseorang terhadap suatu objek, sehingga makin banyak (berulang) informasi yang diperoleh seseorang maka semakin mantap sikap orang terhadap suatu pilihan dan akan menghilangkan ketidakpastian. Feldman (2012) menyatakan bahwa metode pengulangan informasi berfungsi sebagai penguat. Penguat ini, merupakan stimulus yang berfungsi meningkatkan kemungkinan akan kembalinya terjadinya perilaku yaitu keyakinan (hilangnya keraguan / ketidakpastian). Biasanya dalam praktiknya penguat ini bersifat sekunder sehingga harus berasosiasi dengan penguat primer (kebutuhan biologis dan psikis). King (2010) menguatkan bahwa dalam melakukan pengulangan informasi, adalah pertama penyuluh harus memastikan bahwa informasi yang dipelajari akurat dan teratur. Penyuluh harus meninjau kembali catatan secara rutin dan mencari kemungkinan kesalahan dan kebingungan dari awal, karena tidak ada gunanya mengingat dan mempelajari informasi yang tidak lengkap dan tidak akurat. Kedua, atur materi dengan cara yang memungkinkan penyuluh memungkinkan menyimpannya di ingatan dengan efektif lalu atur informasi, susun ulang materi dan berikan struktur yang memudahkan untuk mengingatnya. Salah satu teknik yang memudahkan untuk mengingat adalah membuat peta konsep atau membuat analogi dari ingatan jangka panjang yang bisa memanfaatkan skema (peta konsep) yang sudah ada (sudah dibuat).
25
5.
Memantapkan hubungan dengan masyarakat dan pada akhirnya melepaskan mereka untuk berswakarsa dan berswadaya melakukan perubahan – perubahan tanpa harus selalu menggantungkan bantuan guna melaksanakan perubahan – perubahan yang dapat mereka prakarsai dan dilaksanakan sendiri. Menurut Abubakar dan Siregar (2010), untuk memantapkan hubungan dengan masyarakat yang pertama harus di lakukan adalah penyuluh harus memberikan jaminan (insurance) kepada sasaran dengan tujuan untuk menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat, karena kepercayaan ini merupakan pondasi utama yang paling kuat untuk membangun suatu hubungan dan langkah selanjutnya adalah penyuluh harus menetapkan suatu standar kinerja yang spesifik dalam melakukan difusi inovasi, tujuannya adalah agar masyarakat mengetahui dengan jelas apa yang harus dilakukan sehingga sasaran mampu beradaptasi dan langkah terakhir adalah bersikap empati. Giblin (2004) menambahkan bahwa untuk membangun suatu kepercayaan yang pertama harus dilakukan adalah penyuluh harus memahami kodrat manusia, kedua adalah menciptakan kesan baik, dan terakhir adalah meyakinkannya. Menciptakan kesan baik dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu bersikap tulus, tunjukan antusiasme, jangan terlalu cemas, jangan berusaha membangun diri anda dengan menghambat orang lain, jangan memukul siapa pun atau apa pun. King (2010) juga menyarankan untuk membangun kepercayaan penyuluh harus melakukan atribusi yaitu memahami perilaku sasaran dengan cara menemukan penyebab dasar mengapa sasaran termotivasi untuk berperilaku demikian dengan mempertimbangkan dimensi sebab akibat. Dimensi sebab akibat yaitu penyebab internal / eksternal; penyebab yang stabil / sementara; penyebab yang dapat dikendalikan / tidak dapat dikendalikan. Tujuan dari mempertimbangkan dimensi sebab akibat tersebut adalah karena setiap individu (sasaran) memiliki beragam perilaku. Beragam perilaku tersebut muncul karena faktor lingkungan dan juga bahwa tindakan manusia di atur oleh pikirannya sendiri atau kepentingan dirinya, dan sifat ini sangat kuat dalam diri manusia.
26
III.
PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI
3.1
Konsep Dasar Pendidikan Orang Dewasa
3.1.1. Definisi Pendidikan Orang Dewasa Pendidikan Orang Dewasa (POD) merupakan proses pendidikan yang di organisasikan melalui pesan atau isi, metode dan pelaksanaan yang ditujukan pada orang dewasa dengan rentang usia antara 17 – 45 tahun. Eryanto dan Rika (2013) manyatakan pendidikan merupakan kegiatan yang mengatur perkembangan manusia secara terarah untuk menjadi manusia yang baik dan berguna. Pendidikan tersebut berdasarkan komponenya terdiri atas tujuh poin yaitu: 1.
Masukan Sarana (Instrumental Input) Keseluruhan sumber dan fasilitas yang memungkinkan bagi kelompok
masyarakat dapat melakukan kegiatan belajar, dalam masukan ini termasuk tujuan program, kurikulum, pendidik, tenaga kependidikan lainnya, tenaga pengelola program, sumber belajar, media, fasilitas, biaya, dan pengelolaan program (Sudjana, 2004). 2.
Masukan Mentah (Raw Input) Komponen yang dimaksud disini adalah peserta didik (warga belajar)
dengan berbagai karateristik yang dimilikinya, termasuk ciri – ciri yang berhubungan dengan faktor internal yang meliputi struktur kognitif (seperti skema organisasi informasi dalam memori individu) dan faktor eksternal yaitu meliputi seluruh penyebab eksternal seperti tekanan sosial, aspek situasi sosial, uang, cuaca, atau keberuntungan (Feldman, 2012; King, 2010), pengalaman, sikap, minat, keterampilan, kebutuhan belajar, aspirasi dan serta ciri –ciri yang berhubungan dengan faktor internal seperti keadaan keluarga dalam segi pendidikan ekonomi, status sosial, biaya, dan sarana belajar serta cara dan kebiasaan belajar dimana kandungan karakteristik tersebut memengaruhi kecepatan belajar peserta didik.
27
3.
Masukan Lingkungan (Environmental Input) Merupakan faktor lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya
program pendidikan yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sosial seperti teman bergaul atau teman bekerja serta modal budaya dimana dapat memberikan pengetahuan baru (Eryanto dan Rika, 2013), lapangan kerja, kelompok sosial dan sebagainya, serta lingkungan alam seperti iklim, lokasi, tempat tinggal. Masukan tersebut meliputi lingkungan wilayah atau daerah, lingkungan nasional dan lingkungan internasional. Lingkungan wilayah atau daerah mencakup kebijakan dan perkembangan pendidikan, sosial ekonomi dan budaya, lapangan kerja / usaha dan potensi lain yaitu minat / kecenderungan yang menyebabkan sesorang berusaha untuk mencari ataupun mencoba aktifitas – aktifitas dalam bidang tertentu (Yetti, 2009). 4.
Proses yang Menyangkut Interaksi antara Masukan Sarana terutama Pendidik dengan Masukan Mentah Proses ini menyangkut interaksi antara masukan saran, terutama pendidik
dengan masukan mentah atau peserta didik (warga belajar). Proses ini terdiri dari kegiatan belajar – membelajarkan, bimbingan, dan penyuluhan serta evaluasi. Kegiatan belajar – membelajarkan lebih mengutamakan pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar dan bukan menekankan pada peranan mengajar. Reed, (2011) menyarankan untuk melakukan pengulangan verbal dan pembelajaran melalui model Atkinson-Shiffrin dimana model ini melibatkan pengulangan informasi secara terus – menerus sampai kita pikir sudah berhasil mempelajarinya dan hal ini berguna ketika materi yang dipelajari bersifat abstrak terutama pada orang dewasa yang mengalami penurunan penalaran. Kegiatan belajar dengan model tersebut juga dapat didukung dengan memanfaatkan berbagai media visual, auditori maupun kinestetik yaitu media elektronika, lingkungan sosial budaya, dan lingkungan alam. Fiest dan Fiest (2010) kegiatan belajar yang ditujukan menggunakan model tersebut secara tidak langsung mengarah pada teori kognitif sosial Bandura yaitu merupakan teori pembelajaran melalui observasi atau pembelajaran melalui modeling.
28
5.
Keluaran (Output) Komponen ini dimaknai sebagai kuantitas lulusan yang disertai dengan
perubahan tingkah laku (perilaku) yang didapat melalui kegiatan belajar – pembelajaran. Perubahan perilaku tersebut mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang mereka perlukan sehingga dapat mencapai perubahan kehidupan yang diinginkan masyarakat hal tersebut karena orang dewasa secara tidak sadar melakukan segala usaha dalam pergaulannya secara terus menerus dan spontan untuk perkembangan jasmani dan rohani ke arah kedewasaannya (Eryanto dan Rika, 2013), dalam pandangan ini mencakup hasil lulusan yang dapat bekerja dengan baik dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka penguasaan keterampilan untuk penguasaan terhadap pekerjaan sangat diutamakan (Sudjana, 2004). Feldman (2012), menambahkan berdasarkan dari penelitian psikolog Albert Bandura dan rekan – rekannya bahwa sebelum mencapai perubahan perilaku, peserta didik secara tidak sadar melakukan proses belajar observasional / belajar melalui imitasi yaitu merupakan salah satu bagian utama pembelajaran manusia yang mana merupakan pembelajaran dengan cara melihat perilaku sampai agresi orang lain atau model dan hal tersebut menurutnya mungkin memiliki dasar genetis. Proses belajar tersebut terjadi karena pada tubuh manusia terdapat neurotransmitter yaitu bentuk zat – zat kimia yang membawa pesan di sepanjang sinapsis (ruang antara dua neuron di mana akson dari suatu neuron pengirim berkomunikasi dengan dendrit dari neuron penerima menggunakan pesan – pesan kimia) ke suatu dendrit (dan terkadang tubuh sel) dari suatu neuron penerima sehingga memiliki suatu tautan penting antara sistem saraf dan perilaku karena memegang peran penting untuk mempertahankan otak vital dan fungsi tubuh terutama neurotransmitter jenis dopamine (DA) dan Gamma – Amino butyric acid (GABA) yang ditemukan di otak ataupun di sumsum tulang belakang terlibat dalam pergerakan, atensi, perilaku agresi dan belajar. Oleh karena itu, penting bagi pengajar untuk memahami hal ini karena sejumlah besar masalah terkait dengan cakupan di mana seseorang dapat belajar hanya dengan melihat perilaku orang lain.
29
6.
Masukan Lain Komponen ini lebih menekankan pada daya dukung lain
yang
memungkinkan para peserta didik dan lulusan dapat menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk kemajuan kehidupannya dimana ada upaya untuk mengarah pada tercapainya perkembangan yang dapat merangsang suatu cara berpikir yang rasional, kreatif dan sistematis sehingga memperluas keilmuan, meningkatkan kemampuan dan potensi serta membuat seseorang lebih peka terhadap setiap gejala – gejala sosial yang muncul (Eryanto dan Rika, 2013). Masukan lain ini meliputi dana, lapangan kerja / usaha, informasi, alat dan fasilitas, pemasaran, lapangan kerja, paguyuban peserta didik (warga belajar), latihan lanjutan, bantuan eksternal dan lain sebagainya (Sudjana, 2004). 7.
Pengaruh (Impact) yang menyangkut hasil yang telah dicapai perserta didik Komponen ini menyangkut hasil yang telah dicapai oleh peserta didik dan
lulusan. Pengaruh ini meliputi antara lain, (a) perubahan taraf hidup yang ditandai dengan memperoleh pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan dan penampilan diri, (b) kegiatan membelajarkan orang lain atau mengikutsertakan orang lain dalam memanfaatkan hasil yang telah dimiliki, (c) peningkatan partisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat, baik partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda dan dana. Pengaruh tersebut tidak hanya sampai pada ketiga hal tersebut saja, tapi juga membuat peserta didik mampu beradaptasi terhadap stimulus poin a, b dan c dengan pola berbeda melalui generalisasi stimulus yaitu suatu proses dimana setelah stimulus terkondisikan untuk menghasilkan respon tertentu, stimulus yang mirip dengan stimulus asli setelah stimulus pengaruh hasil pendidikannya terkondisikan untuk menghasilkan respon tertentu. Semakin besar kesamaan antara kedua stimulus, semakin besar kemungkinan terjadinya generalisasi stimulus. Respon terkondisi yang dimunculkan oleh stimulus baru tersebut biasanya ridak sama intens dengan respon terkondisi asli, meskipun semakin mirip stimulus baru tersebut dengan stimulus lama, akan semakin miriplah respon yang baru dengan respon yang lama (Feldman, 2012).
30
3.1.2. Tujuan Pendidikan Orang Dewasa Perubahan perilaku yang lebih baik dari pada saat ini, baik secara kognitif, afektif dan psikomotor agar terjadi peningkatan dalam hal merubah dan mendapatkan material sehingga tercapai kesejahteraan. Aspek kognitif berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut. Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut (Sudjana, 2004). Reed (2011) mengemukakan minat merupakan salah satu dimensi dari aspek afektif yang banyak berperan juga dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam kehidupan
belajar
seorang
murid.
Aspek
afektif
adalah
aspek
yang
mengidentifikasi dimensi-dimensi perasaan dari kesadaran emosi, disposisi, dan kehendak yang memengaruhi pikiran dan tindakan seseorang. Dimensi aspek afektif mencakup tiga hal penting, yaitu: (1) Berhubungan dengan perasaan mengenai objek yang berbeda; (2) Perasaan-perasaan tersebut memiliki arah yang dimulai dari titik netral ke dua kubu yang berlawanan, titik positif dan titik negatif; (3) Berbagai perasaan memiliki intensitas yang berbeda, yang dimulai dari kuat ke sedang ke lemah. Mengartikan minat adalah perhatian yang kuat, intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melakukan suatu aktivitas. Yetti (2009), berpendapat bahwa minat adalah kesadaran seseorang pada sesuatu, seseorang, suatu soal atau situasi yang bersangkut paut dengan dirinya. Tanpa kesadaran seseorang pada suatu objek, maka individu tidak akan pernah mempunyai minat terhadap sesuatu. Menurut Feldman (2012), minat sebagai sumber motivasi yang akan mengarahkan seseorang pada apa yang akan mereka lakukan bila diberi kebebasan untuk memilihnya. Bila mereka melihat sesuatu itu mempunyai arti bagi dirinya, maka mereka akan tertarik terhadap sesuatu itu yang pada akhirnya nanti akan menimbulkan kepuasan bagi dirinya. Fiest dan Fiest (2010) menyatakan kepuasan bagi dirinya tersebut di namakan sebagai respon afektif, yaitu tanggapan emosi, perasaan dan reaksi fisiologi (afektif) dimana kedua tanggapan tersebut tidak dapat dipisahkan dari kognisi dan saling berinteraksi dengan situasi tertentu untuk menentukkan perilaku.
31
3.2
Hambatan Pendidikan Orang Dewasa
3.2.1 Hambatan Fisiologik Fisiologik berasal dari kata fisio yaitu fungsi atau faal organ tubuh dan logik yaitu ilmu, sehingga fisiologik merupakan ilmu yang mempelajari fungsi faal organ - organ tubuh. Pada orang dewasa secara fisiologik terjadi penurunan fungsi organ dimana menjadi salah satu kendala penghambat pendidikan. Penurunan fungsi tersebut antara lain: 1.
Titik penglihatan Kendala ini berkaitan dengan gangguan pada titik penglihatan orang
dewasa. Gangguan titik penglihatan tersebut menyebabkan gangguan persepsi penglihatan. Pada saat penglihatan terganggu atau hilang akan mempengaruhi perilaku belajar seseorang. Menurut Feldman (2012) beberapa gangguan persepsi penglihatan pada orang dewasa diantaranya adalah gangguan akomodasi (yaitu kemampuan lensa mata untuk memfokuskan cahaya dengan mengubah ketebalannya) pada lensa mata seseorang yang menyebabkan bayangan tidak atau kurang terfokus pada bagian tepian mata. King (2010) menambahkan gangguan penglihatan lain pada orang dewasa adalah synasethesia perception yaitu merupakan suatu kasus gangguan penglihatan dimana individu mengalami kebingungan pada indra persepsinya (indra penglihatan) akibat induksi dengan indra lainnya. Sebagai contoh, beberapa individu “melihat” music atau “mengecap” warna. Seorang wanita yang dapat mengecap suara. Bentuk paling umum adalah grapheme synaesthesia, dimana huruf atau angka memiliki tingkatan warna tertentu sehingga seorang individu dapat merasakan bahwa huruf “A” memiliki warna kuning bunga matahari dan angka 2 memilki warna abu – abu semen. Hal tersebut diakibatkan karena gangguan bagian korteks parietal posterior yang terkait dengan integrasi normal. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa gangguan persepsi tersebut akan berpengaruh terhadap pembelajaran individu secara observasi terutama terjadi gangguan perhatian individu terhadap materi yang dipelajari secara observasi dan pada akhirnya akan terjadi produksi perilaku yang berbeda pada individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut maka penyuluh / pendidik disarankan untuk melakukan representasi verbal.
32
2.
Kemampuan mendengar Penurunan kemampuan mendengar merupakan salah satu kendala dalam
pendidikan orang dewasa, terutama pada lansia. Penurunan pendengaran tersebut ditandai dengan kurang mampu membedakan bunyi. Menurut King (2010) kurangnya kemampuan untuk membedakan bunyi disebabkan oleh penurunan sistim fisiologi auditori (pendengaran) saat memproses getaran pada udara. Penurunan pemrosesan getaran udara tersebut meliputi dua macam yaitu penurunan frekuensi (tinggi bunyi) dan amplitudo (intensitas bunyi). Penurunan tersebut fisiologi auditori tersebut biasanya seringkali terjadi pada telinga bagian dalam. Menurut Feldman (2012) telinga bagian merupakan bagian dari telinga yang mengubah getaran suara menjadi bentuk yang dapat disalurkan ke otak. Bentuk ini juga mengandung organ yang membuat manusia dapat mengalokasikan posisi dan menentukan bagaimana bergerak dalam ruang. Ketika suara memasuki telinga dalam melalui jendela oval, suara ini kemudian bergerak menuju koklea atau rumah siput, suatu bentuk lengkung yang terlihat seperti seekor siput dan dipenuhi dengan cairan yang bergetar sebagai respon terhadap suara. Di dalam koklea tersebut terdapat membran basilar, suatu struktur yang terletak menuju pusat koklea, membagi koklea tersebut menjadi ruang atas dan ruang bawah. Membrane basilar ini dilingkupi oleh sel rambut. Ketika sel rambut ini digerakkan oleh getaran yang memasuki koklea tersebut, maka sel – sel yang ada didalamnya akan mengirimkan suatu pesan neural ke otak dalam bentuk informasi auditori yaitu korteks serebrum tepatnya pada lobus temporal (dibawah dahi). Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa penurunan pendengaran tersebut berpengaruh terhadap penurunan senstivitas reaksi, yaitu perbedaan sensivitas aktivitas otak sebagai hasil pemberian stimulus yang mendukung (suara) dimana berpengaruh terhadap kepribadian dalam bentuk perilaku. Dengan kata lain kepribadian tersebut berhubungan dengan perbedaan dalam proses biologis atau bagaimana individu akan berespon terhadap suatu stimulus dalam hal ini adalah bunyi sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi potensi perilaku individu terutama pada perhatian individu terhadap materi yang diterangkan saat proses pendidikan.
33
King (2010) dalam penelitiannya menerangkan bahwa penurunan kemampuan bunyi secara fisiologis di tandai dengan beberapa gejala. Beberapa gejala tersebut adalah penurunan kemampuan pada kedua telinga untuk menentukan lokasi suara, hal tersebut karena setiap telinga menerima rangsangan yang agak berbeda dari sumber bunyi. Akibat dari hal tersebut, maka individu seringkali menemui kesulitan menentukan arah bunyi yang datang tepat dari depan mereka, karena suara tersebut sampai ke telinga mereka pada waktu yang bersamaan. Hal tersebut juga terjadi pada suara yang datang tepat dari atas dan dari belakang individu. Feldman (2012) menambahkan bahwa penurunan fisiologi pendengaran disebabkan penurunan kepekaan terhadap frekuensi yang berbeda seiring dengan pertambahan usia terutama rentang frekuensi yang didengar. Ia pun juga menguatkan melalui teori frekuensi tentang pendengaran bahwa area yang berbeda dari membran basilar merespon frekuensi yang berbeda pula, hal tersebut karena keseluruhan membrane basilar bertindak sebagai microphone, bergetar sebagai suatu keseluruhan respon terhadap suatu suara. Menurut penjelasan ini, saraf reseptor mengirimkan sinyal - sinyal yang terkait langsung dengan frekuensi (jumlah gelombang per detik) dari suara yang di tampilkan pada individu, dengan jumlah impuls saraf menjadi suatu fungsi langsung dari frekuensi suara tersebut. Setelah suatu pesan auditori meninggalkan telinga, pesan tersebut dialirkan ke korteks auditori di otak melalui suatu rangkaian koneksi neural yang rumit. Di dalam korteks auditori sendiri, terdapat neuron –neuron yang memberikan respon secara selektif terhadap suara yang sangat spesifik. Cervone dan Pervin (2012) menyatakan bahwa setelah stimulus auditori mencapai korteks auditori, stimulus ini akan melewati hemisfer – hemisfer (bagian – bagian) otak. Hemisfer ini terdiri dari dua bagian yaitu kiri dan kanan dimana masing terlibat dalam aktivasi emosi negatif dan positif atau disebut dengan dominansi hemisfer. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa pengukuran aktivitas hemisfer dilakukan sebelum dan pada saat penayangan klip film yang didesain untuk mengurangi emosi positif dan negatif.
34
3.
Penurunan Merespon Warna, yaitu merasa pusing atau tidak nyaman jika melihat warna kontras, seperti
merah, kuning. ketidaknyaman dalam merespon warna kontras disebabkan oleh penurunan fungsi atau degenerasi dua macam sel reseptor dalam retina yang peka terhadap cahaya. Menurut Feldman (2012) nama yang diberikan kepada mereka mencerminkan bentuknya : batang dan kerucut. Sel batang adalah reseptor yang tipis dan berbentuk silinder yang sangat sensitif terhadap cahaya. Sel kerucut adalah reseptor yang berbentuk kerucut dan peka terhadap cahaya, serta bertanggung jawab untuk fokus yang jelas dan persepsi warna, terutama pada cahaya yang terang. Sel batang dan kerucut ini tersebar secara tidak merata di seluruh bagian retina. Sel kerucut terkonsentrasi pada bagian tertentu yang disebut fovea. Fovea adaah bagian yang sangat sensitif dari retina. Sel batang dan kerucut bukan hanya tidak sama secara struktural, namun mereka juga memainkan peran yang sangat berbeda dalam penglihatan. Sel kerucut terutama bertanggung jawab untuk memfokuskan persepsi warna secara lebih jelas, terutama dalam situasi cahaya yang terang dan mampu melakukan adaptasi terang atau proses menyesuaikan dengan cahaya terang setelah berada pada cahaya gelap lebih cepat yaitu hanya dalam waktu kurang lebih dari satu menit. Sedangkan sel batang memerlukan waktu 20 – 30 menit untuk melakukan adaptasi gelap atau proses menyesuaikan diri dengan kondisi gelap. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat di analisis bahwa peserta didik mengalami ketidaknyamanan dalam melihat warna kontras disebabkan oleh penurunan fungsi atau degenerasi sel kerucut. King (2010) menambahkan bahwa penurunan fungsi pada kedua sel reseptor tersebut mengakibatkan penurunan atensi dan set persepsi peserta didik. Atensi yang dimaksud disini adalah kemampuan untuk memfokuskan pada aspek spesifik sebuah pengalaman dan mengabaikan aspek yang lain dan set persepsi yang dimaksud adalah kemampuan filter psikologis dalam pemrosesan infomasi mengenai lingkungan. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa adanya penurunan atensi dan set persepsi tersebut menyebabkan penurunan peserta pendidik dalam belajar terutama belajar melalui observasi yaitu merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan model sebagai bahan belajar.
35
4.
Penurunan Konsentrasi Penurunan konsentrasi belajar adalah penurunan pemusatan perhatian dalam
proses tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi. Konsentrasi belajar yang menjadi salah satu aspek penting bagi penerima dalam memahami dan mengerti suatu pembelajaran, tercermin melalui setiap tingkah laku (behavior) yang dilakukan. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa konsentrasi seseorang di dalam belajar merupakan bagian dari kognitif manusia yang juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia secara psikologis hal tersebut karena setiap peserta didik mempunyai tiga kualitas psikologis yang penting bagi manusia antara lain, (1) manusia adalah suatu entitas yang dapat memberikan penalaran mengenai dunia menggunakan bahasa (2) manusia dapat membuat penalaran bukan hanya tentang keadaan saat ini, tetapi juga kejadian – kejadian di masa lalu dan hipotesis kejadian – kejadian di masa depan, (3) kemampuan penalaran ini umumnya melibatkan refleksi terhadap diri – entitas yang menggunakan bahasa untuk penalaran – dalam bentuk masa lampau, masa kini dan masa depan mengenai diri mereka dan dunia sehingga ketiga aspek tersebut akan berpengaruh terhadap proses kognitif sosial pada peserta didik (Cervone dan Pervin (2012). Feldman (2012) menambahkan, bahwa penurunan konsentrasi dalam belajar menyebabkan penurunan pengopresasian konsep, yaitu proses pengelompokan mental untuk benda – benda, kejadian, atau orang yang sama. Konsep membuat kita dapat mengorganisasi fenomena yang kompleks menjadi kategori kognitif yang lebih sederhana, sehingga lebih mudah untuk digunakan. Fiest dan Fiest (2010) menambahkan penurunan kemampuan proses penilaian menyebabkan penurunan kemampuan untuk meregulasi perilaku individu melalui proses mediasi kognitif akibatnya peserta didik tidak / kurang mampu menyadari diri secara reflektif dan juga seberapa berharga tindakannya berdasarkan tujuan yang telah dibuat untuk dirinya. Lebih spesifiknya lagi, proses penilaian bergantung pada standar pribadi, performa rujukan, pemberian nilai pada kegiatan dan atribusi terhadap performa.
36
3.2.2 Hambatan Psikologik Psikiologik secara harfiah berasal dari kata psiko yaitu mental / jiwa dan logik yaitu ilmu, sehingga psikologi merupakan ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia atau hal – hal yang berhubungan dengan sifat kejiwaan seseorang. Pada orang dewasa hambatan psikologik yang sering terjadi antara lain, 1.
Tidak suka digurui Program pendidikan orang dewasa, pesertanya adalah orang dewasa yang
mempunyai (merasa mempunyai) keahliannya sendiri, pengalamannya dan seringkali memimpin dalam lingkungannya. Sikap atau tingkah menggurui dapat dirasakan peserta sebagai peremehan terhadap dirinya. Hal tersebut karena setiap peserta didik mempunyai emosi yang berbeda – beda. King (2010) menyatakan bahwa emosi adalah persaan atau afeksi yang dapat melibatkan rangsangan fisiologis (seperti denyut jantung yang cepat), pengalaman sadar, dan ekspresi perilaku (sebuah senyuman atau raut muka cemberut) Menurut Feldman (2012), emosi tersebut dilakukan oleh seseorang karena beberapa hal antara lain a.
mempersiapkan kita untuk bertindak sebagai tautan antara kejadian di lingkungan dan respon yang kita keluarkan
b.
membentuk perilaku orang dimasa depan yaitu emosi memfasilitasi pembelajaran yang akan membantu seseorang membuat respons yang sesuai di masa depan
c.
membantu seseorang berinteraksi secara lebih efektif dengan orang lain. Seseorang mengomunikasikan emosi yang dirasakan melalui perilaku verbal dan non verbal sehingga emosi kita dapat dilihat oleh pengamat disekeliling kita.
Giblin (2004) menyarankan pendidik / penyuluh untuk membuat peserta didik merasa penting, karena setiap orang yang mempunyai (merasa mempunyai keahlian) seringkali merasa ingin dipentingkan. Hal tersebut karena sifat yang paling umum pada setiap orang dimana sifat ini begitu kuat pada dirinya adalah hasrat ingin dipentingkan / hasrat ingin diakui.
37
2.
Lebih suka di motivasi Orang dewasa dalam proses pembelajaran cenderung lebih suka motivasi
ketimbang di gurui, karena dengan motivasi akan menumbuhkan minat belajar atau mempunyai keinginan untuk melaksanakan kegiatan belajar (Eryanto dan Rika, 2013). Menurut Lepper et al., (2005) melalui pendekatan kognisi menyatakan bahwa motivasi adalah produk pikiran, harapan dan tujuan manusia – kognisi mereka. Teori kognitif dari motivasi tersebut menggambarkan kunci perbedaan antara motivasi intrinsik menyebabkan kita untuk berpartisipasi dalam aktivitas bagi kesenangan kita bukan untuk imbalan konkrit dan nyata apa pun yang dapat kita terima. dan ekstrinsik motivasi ekstrinsik menyebabkan kita melakukan sesuatu demi uang, nilai dan imbalan lainnya yang konkret dan nyata. Feldman (2012) menyatakan bahwa motivasi merupakan faktor yang mengarahkan dan memberikan energi pada tingkah laku manusia dan organisme lainnya karena memiliki aspek biologis, kognitif dan sosial, serta kompleksitas. Melalui model Maslow kebutuhan terkait motivasi dalam hierarki bahwa kebutuhan primer harus dipuaskan atau dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih baik atau lebih tinggi tingkatannya. Urutan kebutuhan tersebut dari level dasar sampai level tertinggi antara lain, pertama kebutuhan dasar (fisiologis) yang merupakan kebutuhan primer seperti kebutuhan akan air, makanan, tidur, seks dan sebagainya; kedua adalah kebutuhan terhadap rasa aman dan mendapatkan perlindungan dengan kata lain, bahwa orang membutuhkan lingkungan yang aman dan telindungi agar dapat berfungsi secara efektif; ketiga adalah rasa cinta dan rasa memilki meliputi kebutuhan untuk mendapatkan dan memberikan afeksi serta untuk memberikan kontribusi pada anggota dari beberapa kelompok atau lingkungan sosial setelah memenuhi kebutuhan tahap ini maka orang akan berjuang untuk memenuhi kebutuhan penghargaan; keempat kebutuhan penghargaan yaitu kebutuhan untuk mengembangkan rasa harga diri dengan
mengetahui
jika
orang
tersebut
mengetahui
dan
menghargai
kompetensinya; dan kelima aktualisasi diri yaitu keadaan pemenuhan diri ketika orang menyadari potensi tertinggi mereka dalam cara unik mereka sendiri.
38
3.
Lebih Suka Memakai Kebiasaan dan Cara Berpikir Lama King (2010) menyatakan bahwa berpikir (thinking) melibatkan proses
memanipulasi informasi secara mental, seperti membentuk konsep – konsep abstrak, menyelesaikan masalah, mengambil keputusan dan melakukan refleksi kritis atau menghasilkan gagasan kreatif. Ia juga menambahkan bahwa cara berpikir akan menentukan proses kognitif yang terjadi dalam pemecahan sebuah masalah, penalaran, dan pengambilan keputusan yang akhirnya berpengaruh pada konsep berpikir dari peserta didik yang bersangkutan. Konsep berpikir tersebut adalah kategori – kategori mental yang digunakan untuk mengelompokkan objek – objek, kejadian – kejadian, dan beragam sifat, hal tersebut karena manusia memiliki kemampuan khusus untuk menciptakan kategori – kategori makna terhadap informasi yang ada di dunia (Fiest dan Fiest, 2010). Solusi untuk mengatasi kendala ini adalah pada proses belajar perlu dilakukan remediasi (pengulangan pesan) yang dilakukan secara bertahap. Hal tersebut karena belajar merupakan suatu proses yang memerlukan intelektual / pikiran (akal) dan emosi / perasaan (budi). Feldman (2012) menyatakan bahwa pengulangan dalam pendidikan tersebut dapat dilakukan melalui latihan, dimana proses ini cara ini dilakukan untuk mentransfer memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Transfer yang dibuat dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang ini sepertinya sangat tergantung pada jenis latihan yang di lakukan. Ia menyarankan agar informasi tersebut dapat masuk ke memori jangka panjang perlu di lakukan latihan elaboratif. Latihan ini terjadi ketika informasi diperhatikan dan diorganisasi dalam beberapa cara. Organisasi ini mungkin melibatkan perluasan informasi untuk membuatnya sesuai dengan kerangka berpikir logis tertentu, mangaitkan informasi tersebut dengan memori lain, mengubahnya menjadi gambar sebuah gambar, atau mengubahnya dalam beberapa cara lain. Salah satu strategi yang digunakan untuk latihan ini adalah dengan menggunakan mnemonics, yaitu teknik formal untuk mengorganisasi informasi dalam sebuah cara untuk membuat informasi tersebut lebih dapat diingat.
39
4.
Lebih Suka pada Hal yang Bersifat Pengalaman King (2010) menyatakan bahwa orang dewasa cenderung menyukai pada
hal yang bersifat pengalaman karena beberapa aspek kognisi (pikiran) yang membaik seiring dengan bertambahnya usia salah satunya adalah kebijaksanaan (wisdom). Kebijaksanaan ini meliputi pengetahuan peserta didik mengenaik aspek praktis dalam hidup. Kebijaksanaan ini mungkin meningkat seiring bertambahnya usia karena bertambahnya pengalaman hidup. Dengan kata lain orang dewasa cenderung dapat mengembangkan dirinya melalui pengalaman dan kesulitan hidup yang dilaluinya akibatnya pengalaman dari peserta didik akan bertentangan dengan struktur pemikiran dari pendidik. Ia juga menyarankan bahwa untuk mendidik pada situasi semacam ini pendidik / penyuluh perlu melakukan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dilakukan dengan menjelaskan keadaan lingkungan yang bersangkutan melalui struktur pemikiran dari si pendidik dan akomodasi dilakukan dengan memodifikasi struktur pemikiran pendidik (dengan kata lain mengubah cara berpikir dari peserta didik). Cervone dan Pervin (2012) menyatakan orang dewasa lebih suka pada hal yang bersifat pengalaman karena mereka memliki ketahanan psikologis. Ketahanan psikologis tersebut disebabkan karena meningkatnya kebijaksanaan pribadi walaupun mungkin terjadi penurunan kognitif. Hal tersebut terjadi karena orang dewasa memilih domain tertentu dalam kehidupan di mana mereka memfokuskan energi dan pengetahuan mereka, sehingga dapat dimungkkinan mereka sangat mampu mempertahankan tingkat dari fungsi dan kesejahteraan dalam domain kehidupan yang dipilih dimana hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan mereka. Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan dengan teori Carl Gustav Jung dapat di analisis bahwa kemungkinan besar orang dewasa mampu memfokuskan energi dan pengetahuan mereka disebabkan oleh dominansi tipe kecerdasan pada salah satu bagian otak yang ada di dalam diri sejak mereka lahir dimana ini akan menjadi naluri berpikir seumur hidup mereka dan dominansi ini bersifat genetik (merupakan karpet merah (anugrah) yang di berikan oleh Yang Maha Kuasa) (Poniman, 2011).
40
5.
Perlu bukti konkrit Pendidik / penyuluh dalam mendidik perlu memberikan bukti konkrit ke
peserta didik. Pemberian bukti konkrit tersebut dapat berupa demonstrasi ataupun memberi contoh fakta kepada peserta didik dalam bentuk media visual, audio maupun kinestetik kepada peserta didik. King (2010) melalui penelitian longitudinal K.Warner Schaie tentang kemampuan intelektual orang dewasa, menyatakan bahwa orang dewasa perlu di berikan bukti konkrit karena pada masa dewasa mengalami penurunan dua dari keenam kemampuan intelektual yaitu kemampuan numerik (kemampuan untuk mengenali dan mengingat unit bahasa, seperti daftar kata – kata) dan kecepatan penginderaan (kemampuan untuk secara cepat dan tepat membuat pembedaan dari rangsang visual) terutama pada masa dewasa tengah. Kecepatan pengideraan menunjukan penurunan terlebih dahulu, yaitu dimulai pada masa dewasa awal. Cervone dan Pervin (2012) menambahkan melalui teori Bandura bahwa orang dewasa cenderung melakukan pembelajaran secara observasional (pemodelan / demosntrasi) kemampuan untuk mempelajari bentuk kompleks pada perilaku hanya dengan mengamati sebuah model tampilan perilaku. Proses pemodelan dapat lebih kompleks dibandingkan imitasi sederhana atau mimikri. Proses tersebut melibatkan pada bagaimana orang akan mempelajari aturan secara umum mengenai perilaku dengan mengamati orang lain, sehingga orang dewasa dengan cara yang demikian dapat mempelajari respon kognitif dan respon emosional
tertentu dengan merasakan menjadi
model, seolah
–
olah
mengalaminya dengan mengamati model. Feldman (2012) lebih jauh lagi menambahkan bahwa dalam informasi yang didapatkan melalui proses pembelajaran yang dilakukan dengan cara demonstrasi secara obervasional, akan masuk ke dalam memori jangka panjang, terutama memori prosedural dan memori episodik. Memori prosedural merupakan memori tentang kecakapan dan kebiasaan atau menyimpan informasi tentang bagaimana cara melakukan sesuatu sedangkan memori episodik adalah memori tentang kejadian – kejadian yang terjadi pada waktu, tempat atau konteks tertentu (kapan dan bagaimana).
41
6.
Harus sesuai dengan kebutuhan Kegiatan pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan dari orang dewasa
yang bersangkutan. Feldman (2012) menyatakan melalui teori self-determination (teori determinasi diri) bahwa kebutuhan pendidikan berkaitan dengan tiga kebutuhan dasar yaitu kompetensi, otonomi dan keterikatan. Kebutuhan – kebutuhan ini bersifat bawaaan dan ada dalam setiap orang. Kebutuhan ini mendasar untuk pertumbuhan dan fungsi manusia, seperti air, tanah, dan sinar matahari yang penting untuk pertumbuhan tumbuhan. Serupa dengan itu, teori determinasi diri menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk tumbuh dan memenuhi diri, dan siap untuk muncul ketika diberikan konteks yang tepat. King (2010) secara rinci menjelaskan tiga kebutuhan dasar tersebut antara lain
Kompetensi. Kebutuhan organismik pertama yang sebutkan dalam teori determinasi diri. Kebutuhan ini dapat dipenuhi ketika individu merasa mampu untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan.
Keterhubungan. Kebutuhan organismik kedua yang sebutkan dalam teori determinasi diri sebagai kebutuhan untuk terlibat dalam hubungan yang hangat dengan orang lain.
Otonomi. Merupakan kebutuhan terakhir yang disebutkan dalam teori determinasi. Kebutuhan ini dideskripsikan sebagai perasaan bahwa individu dapat mengendalikan kehidupan kita. Otonomi berarti menjadi mandiri dan data mengandalkan diri. otonomi merupakan aspek penting dalam perasaan bahwa perilaku seseorang termotivasi oleh diri sendiri dan muncul dari murni minat. Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa tiga unsur tersebut harus
dilengkapi dengan kecederungan untuk aktualisasi diri (self-actualization) sebagaimana dirasakan oleh kesadaran sehingga pengalaman peserta didik selaras dengan pandangan mereka terhadap diri. Tujuannya adalah supaya pendidikan yang di lakukan tersebut berhasil, karena orang dewasa mempunyai sifat dasar seperti manusia pada umumnya yaitu mereka lebih tertarik pada diri mereka.
42
3.2.3 Hambatan perilaku 1.
Harapan Penyelenggara Sehubungan
dengan
hal
tersebut
perlu
dipertimbangkan
pendidik
diantaranya adalah keselarasannya (harapan penyelenggara), dengan harapan peserta didik. Menurut Feldman (2012) dalam mempertimbangkan harapan pada peserta didik, pendidik harus memperhatikan tiga kebutuhan yang menyebabkan seseorang mempunyai harapan antara lain
Kebutuhan berprestasi adalah karakteristik yang stabil dan dipelajari ketika seseorang mendapatkan kepuasan dengan berjuang untuk dan mencapai tingkat kesempurnaan.
Kebutuhan berafiliasi adalah ketertarikan untuk membangun dan mempertahankan hubungan dengan orang lain (berusaha menjalin pertemanan). Para individu dengan tingkat kebutuhan berafiliasi yang tinggi biasanya sensitif terhadap hubungan dengan orang lain. Mereka ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman – teman mereka dan lebih sedikit waktu untuk menyendiri.
Kebutuhan berkuasa adalah tendensi untuk mencari pengaruh, kontrol atau pengaruh terhadap orang lain dan untuk dilihat sebagai seorang individu yang berkuasa (berusaha memberikan pengaruh pada orang lain). Individu tipe ini biasanya lebih cenderung terlibat dalam organisasi. Mereka juga cenderung bekerja dalam profesi yang kebutuhan berkuasa mereka akan mendapat pemenuhan seperti manajemen bisnis King (2010) menambahkan bahwa dengan memperhatikan tiga kebutuhan
tersebut. Pendidik dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang optimisme. Optimisme yang dimaksud disini adalah pengharapan bahwa hal – hal lebih baik mungkin terjadi dan hal – hal buruk kecil kemungkinannya terjadi di masa depan. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa optimisme hampir serupa dengan efikasi diri, yaitu keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan.
43
2.
Harapan Peserta Jarang sekali orang dewasa menghadiri suatu program pendidikan dengan
harapan tertentu. Makin tinggi harapan peserta didik, akan menjadi semakin sulit pendidik untuk dapat memenuhi harapan tersebut. Menurut Fiest dan Fiest (2010) harapan memiliki keterkaitan erat dengan efikasi diri. Efikasi diri pada setiap orang bervariasi dari satu situasi ke situasi lain, tergantung pada kompetensi yang dibutuhkan untuk kegiatan yang berbeda; ada atau tidaknya orang lain; kompetensi yang dipersepsikan dari orang lain tersebut, terutama apabila mereka adalah kompetitor; predisposisi dari orang tersebut yang lebih condong terhadap kegagalan atas performa daripada keberhasilan; kondisi psikologis yang mendampinginya, terutama adanya rasa kelelahan, kecemasan, apatis dan ketidakberdayaan. Cervone dan Pervin (2012) menambahkan bahwa efikasi diri yang tinggi dan rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif untuk menghasilkan empat variabel prediktif. Ketika efikasi diri tinggi dan lingkungan responsif, hasilnya kemungkinan besar akan tercapai. Saat efikasi rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif, peserta didik mungkin akan merasa depresi karena mengobservasi bahwa orang lain dapat berhasil melakukan suatu tugas yang terlalu sulit untuknya. Saat seseorang dengan efikasi diri yang tinggi menemui situasi lingkungan yang tidak responsif, biasanya akan meningkatkan usahanya untuk mengubah lingkungan. Orang tersebut dapat melakukan protes – protes, kegiatan aktivis sosial, atau bahkan kekuatan untuk memulai perubahan; namun saat semua usaha tersebut gagal maka orang tersebut akan menyerah dan mencari lingkungan baru yang lebih responsif. Berdasarkan hal tersebut dapat di analisis bahwa penyelenggara / penyuluh harus menciptakan lingkungan yang responsif bagi peserta didik. King (2010) menguatkan bahwa hal – hal lain yang mampu memberikan harapan pada peserta didik adalah keyakinan religius. Partisipasi religius juga dapat memberikan dampak positif terhadap kesehatan melalui hubungannya dengan dukungan sosial. Pikiran yang religius dapat berperan menjaga harapan dan menstimulasi perubahan hidup yang positif.
44
3.
Ragu Apakah dapat diterapkan / Tidak Ketidakselarasan
antara
harapan
peserta
didik
dengan
harapan
penyelenggara menimbulkan keraguan. Keraguan (skeptis) tersebut biasanya sering di alami oleh penyelenggara / pendidik / penyuluh apakah materi yang di ajarkan pada peserta sesuai atau tidak dengan harapan peserta didik, hal tersebut keraguan muncul karena diawali dari kecemasan. Menurut Fiest dan Fiest (2010), kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai kesadaran bahwa kejadian yang dihadapkan pada seseorang berada di luar jangkauan praktis dari sistem konstruk orang tersebut. Cervone dan Pervin (2012) menambahkan seseorang akan merasa cemas jika tidak memiliki konstruk, ketika seseorang telah “kehilangan pegangan strukturalnya pada peristiwa, ketika seseorang terjebak dalam konstruk yang buruk”. Orang melindungi dirinya dari kecemasan dalam berbagai cara diantaranya individu mungkin memperluas suatu konstruk dan memudahkannya untuk bisa diaplikasikan pada berbagai jenis peristiwa, atau mereka mungkin membatasi konstruk mereka dan berfokus pada detail tertentu. Giblin (2004) menyarankan untuk menghindari terjadinya skeptis tersebut maka antar penyuluh perlu memahami dan menerapkan cara terampil meyakinkan orang. Caranya adalah anda tidak membuat pernyataan itu secara langsung, melainkan mengutip seseorang. Ia juga menambahkan bahwa agar pendidik tidak merasa ragu apakah materi yang diajarkan sesuai maka perlu melakukan regulasi diri yaitu dengan cara memotivasi diri untuk menyusun tujuan – tujuan pribadi, merencanakan strategi serta mengevaluasi dan memodifikasi perilaku yang akan mereka lakukan, tetapi juga menghindari lingkungan dan impuls emosional yang akan mengganggu perkembangan seseorang. King (2010) juga menambahkan bahwa untuk melakukan regulasi diri tersebut perlu membuat tujuan – tujuan yang spesifik, berjangka pendek dan menantang, karena sebuah tujuan yang tidak jelas dan rancu akan menyebabkan kegiatan yang dilakukan pendidik dalam mengajar menjadi tidak pasti. Ia juga menyarankan untuk merencanakan bagaimana mencapai tujuan dan mengawasi serta secara sistematis mengevaluasi pencapaian tujuan secara konsisten.
45
4.
Sulit Menerima Perubahan Pendidik tidak jarang menghadapi peserta didik yang sulit menerima
perubahan. Berdasarkan hal tersebut maka pendidik perlu mengubah jenis sasaran peserta didik ke pengetrap awal. Menurut King (2010) pengetrap awal yang di jadikan sasaran pendidikan adalah mereka yang mengalami perubahan fisik pada masa dewasa awal dan mereka yang mengalami perubahan fisik pada dewasa tengah. Peserta didik dewasa awal biasanya berumur sekitar 20 – 30 tahun dimana pada masa ini kondisi fisik mereka mengalami puncak produktivitas baik fisik, mental dan kognitifnya, ia juga menambahkan bahwa pada masa dewasa awal mereka memiliki pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis, berpikir secara relatif dan reflektif, mampu mengenali sudut pandang dunia yang bersifat subjektif dan memahami perbedaan – perbedaan sudut pandang dunia yang harus diakui (dengan kata lain, kemampuan intelektual mereka sangat kuat pada masa dewasa awal). Peserta didik dewasa tengah biasanya berumur sekitar 30 – 50 tahun. pada masa ini peserta didik sudah mengalami penurunan pada penampilan fisik diantaranya adalah kulit yang keriput dan kendur karena hilangnya sejumlah lemak dan kolagen, performa reproduksi yang menurun. Sedangkan pada aspek kognitif terjadi penurunan fluid intelligence (yang melibatkan kecerdasan pemrosesan informasi, seperti memori, kalkulasi dan pemecahan analogi) namun di sisi lain terjadi kestabilan dan peningkatan crystallized intelligence (kecerdasan berdasarkan akumulasi informasi, kecakapan dan strategi yang dipelajari melalui pengalaman) (Feldman, 2012). Cervone dan Pervin (2012) menguatkan bahwa pada masa dewasa awal dan tengah mereka cenderung memiliki ketahanan psikologis. Mereka umumnya mampu
menahan
kesulitan
yang
menyertai
di
kemudian
tahun
dan
mempertahankan rasa diri dan kesejahteraan pribadi. Berdasarkan hal tersebut maka penyuluh atau pendidik hendaknya memfokuskan sistem pengajarannya pada pengetrap awal kemudian setelah itu baru pada pengetrap akhir dan jika dimungkinkan diterapkan kepada laggard.
46
IV.
PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI
4.1. Suasana 4.1.1. Suasana Pendidikan Aktif Suasana dimana seluruh sasaran pendidikan (dalam bentuk individu maupun kelompok) yaitu manusia aktif secara fisiologi (panca indera) dan psikologi (mental). Aktif secara fisiologi yang dimaksud adalah sasaran pendidikan aktif secara jasmaniah atau berkaitan dengan faktor – faktor fisik antara lain pendengaran, penglihatan, struktur tubuhnya, (Eryanto dkk, 2013) sedangkan aktif secara psikologi adalah sasaran pendidikan aktif secara non – fisik di mana terdiri atas faktor intelektif dan faktor non – intelektif. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004) faktor intelektif meliputi (1) faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat; (2) faktor kecakapan nyata berupa prestasi yang telah di miliki sedangkan faktor non – intelektif berupa (1) unsur – unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi dan penyesuaian diri; (2) faktor kematangan fisik maupun psikis; (3) faktor lingkungan spiritual dan keamanan. Feldman (2012) mengatakan bahwa emosi merupakan perasaaan yang secara umum memiliki elemen fisiologis dan kognitif serta memengaruhi perilaku terutama dalam proses pembelajaran, dalam hal ini adalah terjadinya reaksi intingtif terhadap kejadian tubuh yang terjadi sebagai respon terhadap beberapa situasi atau kejadian lingkungan. King (2010), menambahkan bahwa umumnya orang dewasa muda mencapai perubahan kemampuan fisik pada usia 20 – an dan usia tersebut merupakan masa seseorang berada di puncak kesehatannya terutama pada kekuatan dan kecepatan dalam belajar dan berlatih, di sisi lain dewasa muda merupakan masa di mana kemampuan fisik mulai mengalami penurunan. Penurunan kekuatan dan kecepatan belajar mulai terlihat nyata pada akhir usia 30 - an sehingga faktor umur perlu di pertimbangkan dalam pendidikan orang dewasa.
47
4.1.2. Suasana Saling Menghormati Merupakan suasana di mana ada rasa menghormati (penghargaan) antara orang sasaran pendidikan dengan pendidik. Suasana tersebut tercermin dengan adanya keseimbangan antara tuntutan hak dan kewajiban dari masing - masing sasaran pendidik dan pendidik (King, 2010). Menurut Arliani (2012), sikap saling menghormati merupakan bagian dari pendidikan di mana merupakan upaya untuk memperbaiki karakter bangsa dengan cara memberikan harga atau memberikan penilaian yang baik karena suasana saling menghormati atau menghargai tersebut muncul karena setiap orang (termasuk sasaran pendidikan dan pendidik) ingin di hargai. Giblin (2004) menguatkan bahwa adanya keinginan untuk dihargai tersebut muncul karena KODRAT MANUSIA itu sendiri di mana kodrat tersebut merupakan kata kunci utama munculnya keinginan untuk di hormati terutama dalam berkomunikasi saat mendidik orang dewasa, yaitu ORANG TERUTAMA TERTARIK PADA DIRI MEREKA SENDIRI, BUKAN PADA ORANG LAIN, dengan kata lain, orang lain sepuluh ribu kali lebih tertarik pada dirinya sendiri daripada orang lain (lawan bicara) di dunia ini dan hal tersebut akan tetap berlaku sampai akhir zaman, karena manusia di tempatkan di Bumi dengan kodrat seperti itu. Hal tersebut terjadi karena tindakan manusia di atur oleh pikirannya sendiri atau kepentingan dirinya, sifat tersebut sangat kuat dalam diri manusia sehingga pikiran menonjol dalam kasih sayang adalah kepuasan yang di peroleh si pemberi dengan memberi, bukan dengan menerima. Berdasarkan hal tersebut pendidik hendaknya memahami kodrat manusia peserta didik dengan cara mengenali dan mengakui orang sebagaimana mereka adanya bukan apa yang pendidik kira / pikirkan tentang mereka, dan bukan pendidik menginginkan mereka menjadi apa, karena dengan memahami kodrat manusia maka pendidik dapat mengetahui mengapa orang – orang melakukan hal – hal yang mereka lakukan dan hal ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi pendidik untuk menjalin hubungan baik dengan peserta didik atau secara sederhananya pendidik menjadi terampil dalam mendidik peserta didik
48
4.1.3. Suasana Saling Percaya Merupakan suasana di mana peserta didik dan pendidik saling percaya sehingga tercipta suasana saling keterbukaan dan mempunyai keinginan untuk memperbaiki diri. Menurut Kementan (2012), suasana saling percaya di pedesaan, terutama peternak – peternak baik antar anggota maupun kelompok pendidikan dapat di wujudkan dengan menciptakan suasana keterbukaan di dalam kelompok pendidikan dengan langkah – langkah yang terdiri atas:
Menetapkan tujuan secara bersama
Pemilihan pengurus kelompok pendidikan secara demokratis
Menciptakan suasana keterbukaan dalam kelompok
Mendorong anggota kelompok berperan aktif
Melakukan pergantian pengurus kelompok pendidikan
Menguatkan organisasi kelompok Langkah – langkah tersebut di atas dapat berjalan dengan baik apabila
terdapat komunikasi yang baik dengan pihak peternak – peternak sebagai peserta didik terhadap pendidik. Arliani (2012) menambahkan memahami orang lain merupakan salah satu kunci dalam berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut, maka pemahaman orang lain dapat dilakukan melalui pendekatan teori Giblin (2004), dengan cara mengenali dan mengakui KODRAT MANUSIA karena ini merupakan pengetahuan dasar yang kokoh ketika berkomunikasi dengan orang, selanjutnya adalah berkomunikasi sesuai dengan topik yang paling menarik pada peserta didik yaitu DIRI PESERTA DIDIK tersebut atau permasalahan dari peserta didik yang bersangkutan, karena dengan cara ini pendidik mengusap mereka dengan cara yang benar. Teknik ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama sebisa mungkin singkirkan tiga kosa kata yaitu “Saya, Aku, Milikku” dan kedua memancing mereka untuk berbicara tentang diri atau permasalahan peserta didik. Singkatnya pendidik mengorbankan kepuasan yang diperoleh dari berbicara tentang dirinya dengan cara berbicara tentang diri mereka.
49
4.1.4. Suasana untuk Menemukan Jati Diri Suasana pendidikan harus di arahkan agar peserta didik menemukan kata kunci diri mereka, dengan dua cara pertama adalah mendeteksi diri apakah peserta sudah mengalami perubahan signifikan menuju arah yang sesuai atau mengalami penurunan dan kedua adalah arahkan peserta untuk mengikuti perubahan luar dengan cara perlahan – lahan mengubah kebiasaan dari segala sesuatu yang diperlukan hingga pada akhirnya sepenuhnya berubah mengikuti alur irama baru selanjutnya adalah pendidik harus melihat passion atau sesuatu kegiatan atau aktivitas membuat peserta didik merasa senang, rela mengorbankan waktu, tenaga dan dana untuk melatihnya sehingga pendidik dapat mengarahkan peserta peserta didik sesuai minat dan bakatnya (Azzaini, 2013). Pendidik berkewajiban mengarahkan peserta didik pada hakikat manusia yang pertama dan paling utama yaitu sebagai makhluk yang terikat oleh Tuhan, sehingga pendidik berkewajiban melihat kepercayaan pada peserta pendidik dan menerangkan hal – hal yang bersifat religius sesuai dengan jenis kepercayaan yang di anutnya (Arliani, 2012). Kedua adalah arahkan peserta didik untuk bersikap mandiri ketika berada di lingkungan, sikap mandiri tersebut di tujukan dengan keberanian peserta didik untuk mendeskripsikan diri (bercerita) namun sebagian besar peserta didik mengalami ketakutan untuk mendekripsikan diri sehingga peserta didik akan menarik diri dari pergaulan dan berusaha sekecil mungkin untuk berkomunikasi, dan hanya akan berbicara apabila terdesak saja, bila kemudian terpaksa berkomunikasi, pembicaraanya seringkali tidak relevan, sebab berbicara relevan akan mengundang reaksi orang lain, dan ia akan di tuntut berbicara lagi (Wahyuni, 2014). Ketiga adalah menemukan permasalahannya yaitu dengan di arahkan untuk menemukan hakikat jati dirinya secara rasional. Fiest dan Fiest (2010) menyarankan untuk menemukan hakikat jati dirinya secara rasional pendidik perlu memberikan penghargaan diri yang positif. Penghargaan positif itu didefinisikan sebagai pengalaman menghargai diri sendiri. Hal tersebut harus diyakini oleh pendidik bahwa menerima penghargaan positif dari orang lain diperlukan dalam memberikan penghargaan positif pada diri sendiri.
50
4.1.5. Suasana Tidak Mengancam Suasana pendidikan yang aman merupakan suasana lingkungan yang tidak ada ancaman dimana menyebakan peserta didik mengalami stress. Misal: tempat yang tidak mengalami musibah seperti gempa, gunung meletus, banjir dan lain – lain. Menurut King (2010) dari sisi psikologi stress di definisikan sebagai respon individu terhadap stresor yaitu lingkungan atas peristiwa yang mengancam mereka dan membebani kemampuan coping peserta didik. Coping yang dimaksud di sini merupakan salah satu jenis pemecahan masalah yang prosesnya melibatkan mengelola situasi yang berlebihan, meningkatkan usaha untuk menyelesaikan permasalahan – permasalahan kehidupan dan mencari cara untuk mengalahkan stress atau menguranginya. Definisi tersebut muncul karena manusia dapat berpikir dan bernalar serta mengalami banyak situasi sosial dan lingkungan. Ia juga menjelaskan berdasarkan hasil penelitian Hans Selye yaitu seorang pelopor penelitian stress kelahiran Austria, bahwa stres merupakan sejumlah perubahan fisiologis pada tubuh saat mempersiapkan dirinya sendiri untuk menangani stres yang berakibat kerusakan pada tubuh di karenakan tuntutan yang diberikan kepadanya. Feldman (2012) menguatkan bahwa perubahan fisiologis sebagian besar berkaitan erat dengan divisi sistem saraf otonom di mana berfungsi mengontrol tubuh secara tidak sadar sehingga tetap hidup, dengan cara memainkan suatu peran yang penting terutama pada kondisi darurat / kritis terutama saat stres dengan cara mengaktivasi divisi simpatis dan divisi parasimpatis. Divisi simpatis bertindak mempersiapkan tubuh mengambil tindakan dalam situasi yang penuh tekanan tersebut dengan cara menyatukan seluruh sumber yang ada untuk mengantisipasi ancaman yang ada sedangkan divisi parasimpatis bertindak menenangkan tubuh setelah situasi darurat terlewati dengan mengarahkan tubuh untuk menyimpan energi untuk digunakan dalam kondisi darurat selanjutnya. Berdasarkan teori tersebut penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan tingkat ancaman pada lingkungan.
51
4.1.6. Suasana Keterbukaan Mengakui kekhasan kepribadian sehingga perlu dilakukan remediasi dengan mendidik orang secara individu bukan secara umum biasanya di lakukan pada orang yang berkepribadian menyimpang. Teknik remediasi tersebut di lakukan bertujuan untuk mengubah keadaan individu dengan memperbaiki keterampilan kognitif (King, 2010). Konsep dalam teknik tersebut meliputi latihan berulang, modifikasi instruksional dan memberikan instruksi rinci dan mendapatkan umpan balik segera serta penguatan positif berupa benda lain sebagai penghargaan terhadap reaksi yang diharapkan muncul. Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa proses penguatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan penguatan internal dimana penguatan internal tersebut terkait dengan persepsi peserta didik dan persepsi tersebut pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan penguatan eksternal dimana merujuk pada kejadian, kondisi atau tindakan yang diberikan nilai oleh masyarakat atau budaya seseorang. Feldman (2012) menguatkan bahwa upaya untuk memperbaiki keterampilan kognitif dapat dilakukan dengan mentransfer material dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang melalui latihan elaboratif. Latihan elaboratif tersebut di lakukan dengan memperhatikan dan mengorganisasikan informasi dalam beberapa cara. Organisasi tersebut kemungkinan melibatkan perluasan informasi untuk membuatnya sesuai dengan kerangka berpikir logis tertentu, mengaitkan informasi tersebut dengan memori lain, mengubahnya menjadi sebuah gambar, atau mengubahnya dalam beberapa cara lain. Misalnya, sebuah daftar sayuran yang akan di beli di supermarket dapat disimpan dalam memori sebagai bahan – bahan pembuat salad, dapat di kaitkan dengan item – item yang telah di beli pada belanja sebelumnya, atau dapat diingat dalam bentuk gambaran sebuah peternakan dengan baris yang terdiri atas setiap item tersebut. Strategi organisasional seperti ini disebut dengan mnemonics yaitu merupakan teknik formal untuk mengorganisasi informasi dalam sebuah cara yang membuat informasi tersebut lebih dapat di ingat atau dengan kata lain, peserta didik dapat dengan luas meningkatkan penyimpanan informasi dalam dirinya melalui teknik tersebut.
52
Semiun Y (2006) berpendapat bahwa penyebab terhambatnya sikap keterbukaan adalah aspek kognitif dan aspek hati. Aspek kognitif meliputi gangguan kecemasan yang menunjukkan kekhawatiran dan keprihatinan mengenai bencana yang diantisipasi individu. Aspek suasana hati. Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah kecemasan, tegang, panik dan kekhawatiran, individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu yang tidak diketahui. Aspek-aspek suasana hati yang lainnya adalah depresi dan sifat mudah marah. Taylor (2011) menambahkan bahwa untuk memunculkan suasana keterbukaan pendidik harus memunculkan rasa percaya diri pada peserta didik, yang dimaksud rasa percaya diri tersebut adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan tanpa kita sadari. Giblin
(2004)
menambahkan,
cara
yang
paling
praktis
dalam
memunculkan suasana keterbukaan adalah membuat peserta didik merasa penting, karena sifat paling umum dan melekat begitu kuat pada manusia sehingga membuat orang melakukan apa yang mereka lakukan walaupun itu baik atau buruk. Sifat tersebut adalah hasrat untuk menjadi penting, hasrat untuk di akui karena bagi orang lain, Dia sama pentingnya bagi dirinya sendiri seperti Anda penting bagi diri Anda maka sebagai pendidik memanfaatkan sifat ini adalah salah satu cara untuk menciptakan suasana keterbukaan karena semakin anda membuat orang merasa penting maka semakin besar tanggapan mereka pada anda. Beberapa langkah yang di rekomendasikan oleh Giblin terdiri atas: (1) dengarkanlah mereka; (2) puji dan hargai jika mereka patut mendapatkannya (3) gunakan foto dan nama mereka sesering mungkin; (4) berhenti sejenak sebelum menjawab mereka; (5) gunakan kata “anda” dan “milik anda” (6) perhatikan setiap orang; (7) sambut orang yang menunggu untuk bertemu anda.
53
4.1.7. Suasana Membenarkan Perbedaan Pendidik harus menciptakan suasana membenarkan perbedaan kebenaran karena perbedaan kepribadian maksudnya adalah pendidik memberikan toleransi terhadap berbagai jenis kepribadian peserta didik yang berbeda. Purba dan Ali (2004) dalam penelitiannya mengidentifikasi bahwa berbagai jenis kepribadian peserta didik dipengaruhi oleh trait extraversion yang ditampilkan dalam bentuk mudah bergaul dan aktif, trait openness to experience yang ditampilkan dalam bentuk imajinatif dan kreatif, trait conscientiousness yang ditampilkan dalam bentuk bertanggung jawab, tekun, dan berorientasi pada keberhasilan. Ketiga jenis sifat tersebut berpengaruh terhadap persepsi dan kemampuan peserta didik dalam memberikan pertanyaan maupun pendapat (King, 2010), sehingga pendidik harus mempunyai cara terampil dalam menyetujui pendapat orang lain (peserta didik). Giblin (2004) menyarankan salah satu hal yang dapat di lakukan untuk menjadi terampil dalam menyetujui pendapat orang lain adalah pendidik harus menguasai Seni Bersedia Menyetujui karena hal tersebut merupakan salah satu mutiara kebijaksanaan di mana akan sangat membantu pendidik dalam mendidik peserta didik dan ini membutuhkan, kepandaian, hati yang kuat. Teknik ini dibentuk karena mempunyai beberapa alasan yaitu orang menyukai mereka yang setuju dengan mereka; orang tidak menyukai mereka yang tidak setuju dengan mereka dan orang tidak suka bila tidak di setujui. Seni Bersedia Menyetujui mempunyai enam bagian antara lain:
Belajar untuk mau menyetujui, setuju dengan orang lain
Katakan pada orang bila anda setuju dengan mereka
Jangan katakan pada orang bila anda tidak setuju dengan mereka, kecuali mutlak perlu
Akuilah bila anda salah
Tahanlah diri anda untuk tidak berdebat
Tanganilah orang yang berkelahi dengan tepat
54
4.1.8. Suasana Mengakui Hak untuk Berbuat Salah Suasana yang di maksud disini adalah bahwa baik peserta didik dan pendidik dalam proses pembelajaran, mengakui secara lantang atau bersikap jujur jika melakukan suatu kesalahan saat proses pendidikan berlangsung apabila kesalahan yang di lakukan tersebut secara sengaja atau tidak di sengaja merugikan pendidik maupun peserta didik. Menurut Giblin (2004) dibutuhkan sikap berjiwa besar untuk melakukan hal tersebut dan orang akan kagum pada siapapun yang melakukan ini. Arliani (2012), menambahkan sikap seperti yang disebutkan oleh Giblin diatas termasuk sikap saling menghargai. Sikap saling menghargai tersbut merupakan bentuk pengendalian diri. Orang semacam ini adalah orang yang dapat menghargai orang lain tidak akan menyakiti siapapun, baik dalam bentuk perkataan (lisan maupun tulisan) maupun perbuatan, tahu berterimakasih, memahami orang lain peduli sekeliling, senang membantu orang lain, dan bersedia antri sehingga peserta didik akan tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan kognisi ketika saat memasuki masa tua. King (2010) menambahkan bahwa beberapa aspek kognisi yang membaik seiring dengan bertambahnya usia terutama pada orang dewasa yang lebih tua salah satunya adalah kebijaksanaan (wisdom), pengetahuan pakar mengenai aspek praktis dalam hidup. Kebijaksanaan mungkin meningkat seiring bertambahnya usia karena bertambahnya pengalaman hidup, akan tetapi tidak semua orang dewasa yang lebih tua memiliki kebijaksanaan hal tersebut karena perbedaan tersebut dipengaruhi oleh tiga tahap dewasa Erickson di mana terjadi sepanjang hidup manusia, tiga tahapan tersebut antara lain:
Intimacy versus isolation (masa dewasa awal): Merupakan masa dimana seseorang menghadapi tugas perkembangan antara menjalin hubungan intim dengan orang lain atau terisolasi secara sosial.
Generativity versus stagnation (masa dewasa tengah): Masa dimana seseorang cenderung membantu generasi yang lebih muda untuk mengembangkan kehidupan yang bermakna
Integrity versus despair (masa dewasa akhir): masa evaluasi hidup.
55
4.1.9. Suasana Membolehkan Keraguan Orang dewasa yang berkumpul untuk belajar bersama, sering kali menghasilkan beberapa alternatif atau teori. Pemaksaan untuk menerima salah satu sebagai yang paling tepat, paling benar, dapat menghambat proses belajar. Keraguan harus diperkenankan dalam waktu yang cukup, agar tercapai keputusan akhir yang memuaskan, dengan kata lain pendidik memberikan waktu bagi peserta didik untuk berfikir. Menurut King (2010), berpikir melibatkan proses memanipulasi informasi secara mental, seperti membentuk konsep – konsep abstrak menyelesaikan beragam masalah, mengambil keputusan, dan melakukan refleksi kritis atau menghasilkan gagasan kreatif sehingga pada bagian tersebut akan di lihat karakteristik dasar konsep – konsep yaitu komponen mendasar dalam proses – proses kognitif (berpikir) yang terjadi dalam pemecahan sebuah masalah, penalaran dan pengambilan keputusan. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa proses – proses kognitif berkaitan dengan afektif dimana meliputi semua aspek psikologis, sosial, dan fisiologis dari manusia yang menyebabkan mereka berinteraksi dengan lingkungan mereka dengan variasi yang lebih stabil. Contoh dari interaksi tersebut antara lain berpikir, membuat rencana, merasa dan mengevaluasi; tidak hanya sekadar tindakan. Feldman (2012) menguatkan melalui penelitian Kosslyn, De Beni, Pazzaglia dan Gardini bahwa proses kognitif (berpikir) terdiri atas bangunan-bangunan gambaran mental. Gambaran mental yang dimaksudkan di sini adalah representasi dalam pikiran tentang suatu benda atau kejadian baik secara visual, auditori dan kinestetik. Kenyataannya setiap modalitas sensori (seperti panca indera, otot, otak dan lain-lain) dapat menghasilkan gambaran mental yang saling berhubungan hal tersebut di buktikan melalui hasil penelitian bahwa gambaran mental memiliki banyak properti dari stimulus aktual yang mereka wakili. Misalnya, diperlukan waktu lebih lama bagi pikiran kita untuk memindai gambaran mental dari benda yang besar di bandingkan benda yang kecil, sehingga tidak heran jika setiap peserta didik mempunyai cara berpikir yang berbeda – beda.
56
4.1.10. Suasana Evaluasi Bersama & Evaluasi Diri Terciptanya suasana evaluasi pada akhirnya membuat orang ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar. Orang ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Maka evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakan berharga untuk bahan renungan, sehingga pada akhirnya ia lebih mengenal dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja kurang tepat. Feldman (2012) menambahkan bahwa persepsi merupakan kegiatan menyortir, meinterpretasikan, menganalisis, dan mengintegrasikan rangsang (stimulus) yang dibawa oleh organ indra dan otak, King (2010) menguraikan bahwa ketika organ indra (reseptor) mencatat adanya rangsangan, energi tersebut di konversi menjadi impuls kimia listrik. Proses perubahan energi fisik menjadi energi kimia listrik disebut transduksi (transduction). Transduksi menghasilkan potensial aksi yang mengalirkan informasi mengenai sistem rangsangan melalui sistem saraf ke otak, ketika rangsangan ini sampai ke otak, informasi bergerak ke bagian yang berhubungan pada korteks serebrum. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat di ketahui bahwa ketidaktepatan persepsi disebabkan perbedaan persepsi di mana dipengaruhi oleh dua hal antara lain (1) sensasi yaitu aktivasi dari organ indra oleh sumber fisik dan (2) rangsangan (stimulus) yaitu setiap sumber fisik yang menghasilkan respon pada organ indra di mana tipe – tipe ataupun intensitas stimulus yang berbeda. Evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Sebagian besar evaluasi yang digunakan adalah evaluasi mikro karena lingkup pendidikannya berada di tingkat kelas. Implementasi dari model evaluasi mikro dalam bentuk tes yang di gunakan untuk mengukur dan menilai tingkat kemampuan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran yang telah disampaikan (Arifin, 2012). Bani (2012) menambahkan, dalam sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan mengacu kepada klasifikasi hasil belajar rumusan Benyamin Bloom yang yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotoris, secara rinci disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
57
4.2. Belajar 4.2.1. Jenis – Jenis Belajar 1.
Berdasarkan Konsep King (2010) berpendapat berdasarkan teori psikologi behaviorisme bahwa
konsep pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa di bagi menjadi dua jenis yaitu pembelajaran asosiasi dan pembelajaran melalui pengamatan. Konsep Pembelajaran asosiasi merupakan pembelajaran yang muncul ketika sebuah hubungan dibuat untuk menghubungkan dua peristiwa dan prosesnya disebut dengan pengondisian. Pengondisian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu: pengondisian klasik dan pengondisian instrumental. Pembelajaran melalui pengamatan merupakan proses belajar yang terjadi ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Pembelajaran ini melibatkan empat proses antara lain :
Perhatian Merupakan proses awal di mana peserta didik harus benar – benar
memperhatikan apa yang di katakan dan di lakukannya.
Pengendapan, proses kedua yang diperlukan agar pembelajaran melalui pengamatan
sehingga untuk mereproduksi tindakan seorang model (yang di tiru), peserta didik harus menyimpan setiap informasi dalam setiap ingatannya sehingga dapat mengeluarkan ingatan tersebut saat diperlukan. Sebuah deskripsi verbal yang sederhana (bercerita) atau gambar detail dari tindakan model dalam sebuah buku catatan dari tindakan model dapat membantu proses pengendapan (Bani 2012).
Reproduksi motorik merupakan proses peniruan terhadap tindakan model. Proses ini melibatkan
divisi
somatis,
yang
berfungsi
mengontrol
pergerakan
volunteer
pengomunikasian informasi ked an dari organ – organ indera (Feldman, 2012).
Pengamatan pemberian insentif atau memberikan perhatian pada reproduksi motorik.
dan
58
2.
Berdasarkan Prinsip, Jenis
belajar
tersebut
di
lakukan
berdasarkan
prinsip
penguatan
(reinforcement). Feldman (2012) menyatakan bahwa penguatan adalah proses di mana stimulus meningkatkan kemungkinan terjadinya pengulangan perilaku yang telah dimunculkan, dengan kata lain stimulus ini bertindak sebagai penguat sehingga dalam hal ini pendidik harus mengetahui jenis stimulus yang cocok bagi peserta didik. Satu – satunya cara untuk mengetahui apakah stimulus merupakan penguat untuk organisme adalah dengan mengobservasi apakah frekuensi perilaku sebelumnya menjadi meningkat setelah pemunculan stimulus tersebut. Giblin (2004), menambahkan bahwa cara praktis agar pendidik mengetahui jenis stimulus yang cocok bagi peserta didik adalah pendidik memberikan stimulus sesuai dengan KODRAT MANUSIA itu sendiri. 3.
Berdasarkan pemecahan masalahnya Jenis belajar tersebut di lakukan dengan melakukan usaha untuk
menemukan cara yang tepat dalam mencapai sebuah tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat di raih. King (2010) menyarankan empat langkah dalam pemecahan masalah antara lain sebagai berikut:
Menemukan dan membatasi masalah Pendidik harus menyadari permasalahan peserta didik setelah itu definsikan
dengan jelas. Pendefinisian secara jelas tersebut merupakan langkah pertama untuk memunculkan solusi
Mengembangkan beberapa strategi pemecahan masalah yang baik pendidik membuat dan menetapkan tujuan-tujuan yang lebih kecil dan
sederhana (subgoaling). Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam penyelesaian masalah.
Mengevaluasi solusi – solusi Artinya adalah dengan menilai seberapa efektif solusi yang di gunakan
Memikirkan dan mendefinisikan kembali masalah dan solusi yang dihasilkan seiring dengan waktu
59
4.2.2. Cara – Cara Belajar 1.
Kesadaran: Fiest dan Fiest (2010) menerangkan bahwa tingkat kesadaran yang meliputi
pengalaman yang diterima dalam bentuk terdistorsi dimana pengalaman ini disimbolisasikan secara akurat dan dimasukan dengan bebas ke dalam struktur diri. Menurut King (2010) menyatakan kesadaran terutama dalam belajar melibatkan dua aspek yaitu keawasan dan ketergugahan. Kedua aspek ini berhubungan dengan bagian – bagian yang berbeda di otak. Aspek Keawasan merupakan keadaan subjektif dimana merasa sadar terhadap apa yang sedang terjadi, biasanya melibatkan korteks serebrum, terutama daerah – daerah asosiasinya dan lobus frontal dimana kemungkinan integrasi masukan dari berbagai indra, beserta informasi tentang emosi dan ingatan terdapat di daerah – daerah asosiasi tersebut. Aspek ketergugahan adalah keadaan fisiologis yang ditentukan oleh sistem aktivasi retikular atau merupakan suatu struktur jaringan yang mencakup batang otak, medula, dan talamus. Terdapat lima tingkatan kesadaran yaitu
kesadaran tinggi (higher-level consciousness),
kesadaran tingkat- rendah (lower-level consciousness),
keadaan kesadaran terubah (altered state of consciousness)
kawasan bawah kesadaran
tidak ada kawasan kesadaran (no awareness)
2.
Peniruan Feldman (2012) berpendapat melalui pendekatan sosial Bandura bahwa cara
belajar ini cenderung melibatkan cara belajar observasional yang mana merupakan pembelajaran dengan cara melihat dan meniru perilaku orang lain atau model (sesuatu yang di tiru / tiruan). Proses ini terlihat nyata pada tahap reproduksi motorik di mana orang memberi perhatian dan mengingat apa yang telah mereka lihat
berdasarkan proses yang di lakukan sebelumnya yaitu perhatian dan
pengendapan.
60
3.
Kebiasaan / Kondisi Kebiasaan adalah serangkaian perbuatan seseorang secara berulang-ulang
untuk hal yang sama dan berlangsung tanpa proses berfikir lagi. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa kebiasaan belajar merupakan serangkaian tingkah laku yang dilakukan secara konsisten/berulang oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Dengan kata lain kebiasaan belajar merupakan prilaku peserta didik yang ditunjukkan secara berulang tanpa proses berfikir lagi dalam kegiatan belajar yang dilakukannya. Istilah belajar menunjukkan pada kegiatan dan peranan peserta didik yang menerima pelajaran atau belajar yang artinya suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan mengenai suatu pekerjaan yang dapat dicapai melalui proses berpikir atau dengan cara melakukan praktek (Siagian 2010). 4.
Mengartikan Mengartikan merupakan cara belajar yang dilakukan untuk memahami
materi pelajaran yang diberikan oleh pendidik. Bani (2012) membagi pemahaman dalam tiga kategori antara lain
Pertama adalah pemahaman terjemahan mulai dari terjemahan dalam arti yang sebenarnya
Kedua, pemahaman penafsiran, menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok.
Ketiga, pemahaman ekstrapolasi yaitu mampu melihat sesuatu dibaliknya dan dapat memperluas persepsi terhadap sesuatu sehingga dapat mengembangkan makna yang terkandung dalam pernyataan King (2010) menambahkan bahwa untuk memperluas persepsi, dibutuhkan
pemahaman aspek – aspek fisik dan psikologis. Fiest dan Fiest (2010) menyarankan untuk melakukan pendekatan menggunakan sistem kepribadian kognitif-afektif yang menjelaskan variasi dalam berbagai situasi dan juga stabilitas dari perilaku dalam diri seseorang.
61
4.2.3. Prinsip – Prinsip Belajar 1.
Prinsip Latihan Prinsip latihan harus dilakukan untuk meningkatkan pengalaman pada
peserta didik. Azzaini (2013) menambahkan bahwa peningkatan pengalaman dari peserta didik berawal dari pembentukan myelin (ingatan otot) yaitu merupakan sumber dari segala talenta yang dibentuk melalui pelatihan yang terprogram dan berulang – ulang. 2.
Prinsip Menghubungkan Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mampu menghubungkan
apa yang telah di pelajarinya sebelumnya dengan materi pelajaran baru yang diberikan oleh pendidik ataupun di lingkungan disekitarnya. 3.
Prinsip Akibat Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mengetahui konsekuensi
saat belajar. Konsekuensi belajar tersebut biasanya mengorbankan waktu, tenaga, uang, mental dan pikiran dimana pengorbanan tersebut ada kalanya menyebabkan seseorang dalam kondisi tertekan atau stress dimana membebani kemampuan mereka dalam memcahkan masalah (King, 2010). 4.
Prinsip Kesiapan Prinsip ini menjelaskan, peserta didik harus siap secara fisik dan psikis
untuk menerima karena belajar bersifat terus – menerus dan berulang – ulang (rutinitas). 5.
Mental dan Semangat Feldman (2012) berpendapat bahwa mental dan semangat merupakan bagian
dari motivasi dimana merupakan kekuatan yang menggerakkan orang untuk berperilaku, berpikir, dan merasa seperti yang mereka lakukan. Pada pendidikan motivasi akan kebutuhan berprestasi merupakan dorongan yang harus di miliki oleh peserta didik dimana karakteristik bersifat stabil dan dapat dipelajari ketika seseorang mendapatkan kepuasaan dengan berjuang saat proses pembelajaran untuk mencapai tingkat kesempurnaan.
62
4.2.4. Ciri – Ciri Belajar 1.
Prosesnya bersifat aktif Belajar mengajar ini pada prosesnya melibatkan peserta didik untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran sehingga dalam hal ini pendidik harus mengorientasikan strategi pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik selain itu juga harus didukung oleh hubungan interpersonal yang baik antara pendidik dengan peserta didik (Mulyatiningsih, 2010). Menurut King (2010) keaktifan belajar dapat terjadi apabila pendidik dan peserta didik memiliki kesadaran penuh dan keterbukaan pikiran. Kesadaran penuh yang dimaksud adalah terjaga dan secara mental hadir dalam kegiatan pembelajaran sedangkan keterbukaan pikiran yang dimaksud adalah mampu menerima sudut pandang yang lain dalam melihat suatu hal, dalam pendidikan orang dewasa, hendak penyuluh / pendidik perlu menerangkan pada peserta didik untuk memiliki keterbukaan yang sederhana pada suatu sudut pandang sehingga peserta didik tidak melompat terlalu cepat pada kesimpulan. Cara lain agar tercapai keaktifan belajar adalah penyuluh bersikap rendah hati dan mendengarkan dengan baik apa yang peserta didik ungkapkan berdasarkan lima aturan yaitu tatap ketika ia berbicara, condongkan badan ke si pembicara dan dengarkan dengan penuh perhatian, ikuti topic pembicaraannya dan jangan memotong atau menyela, gunakan kata “anda” dan “milik anda” (Giblin, 2004). 2.
Proses Belajar Sifatnya individu Proses belajar merupakan suatu hal yang bersifat individu karena setiap
individu sejak permulaan kehidupan (saat bayi) terbiasa untuk belajar dengan tipe yang sederhana (habituasi) atau pembiasaan. Habituasi merupakan penurunan respon terhadap stimulus yang terjadi setelah penampilan stimulus yang sama secara berulang – ulang. Berdasarkan hal tersebut penyuluh hendaknya memahami bahwa dalam pengajaran kepada peserta didik perlu di lakukan habituasi atau pembiasaan belajar, tentunya habituasi tersebut harus di awali dengan tipe belajar dalam kerangka yang lebih sederhana sehingga dapat dipahami oleh peserta didik (Feldman, 2012).
63
3.
Belajar dipengaruhi oleh Pengalaman Belajar merupakan proses yang dipengaruhi oleh pengalaman. Pengalaman
tersebut mempengaruhi proses berpikir (kognitif) dimana menekankan pada keawasan, keyakinan, pengharapan dan tujuan yang disadari (King, 2010) Menurut Feldman (2012) proses kognitif terkait dengan kemajuan metakognisi yaitu kesadaran dan pemahaman tentang kognisi tersebut. Metakognisi ini melibatkan perencanaan, pengawasan dan perbaikan strategi berpikir yang pada akhirnya berpengaruh terhadap proses belajar. Ia juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif terjadi sebagai sebuah konsekuensi dari interaksi sosial ketika peserta didik bekerja dengan orang lain (baik pendidik/penyuluh atau dengan peserta didik lain) untuk bersama – sama memecahkan masalah sehingga melalui interaksi seperti ini kecakapan kognitif akan meningkat dan mereka meraih kemampuan untuk berfungsi secara intelektual sendiri. Lebih spesifik lagi ia menyebutkan bahwa kemampuan kognitif akan meningkat ketika peserta didik menghadapi informasi yang jatuh dalam zona perkembangan proksimal mereka (ZPD) yaitu zona tingkatan dimana peserta didik dapat hampir, tetapi tidak sepenuhnya memahami atau mengerjakan tugas sendiri. Ketika informasi jatuh dalam ZPD, peserta didik dapat meningkatkan pemahaman mereka atau menguasai suatu tugas baru dan sebaliknya jika informasi jatuh di luar ZPD mereka tidak akan dapat menyelesaikan atau menguasainya. Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa proses tersebut disebabkan karena setiap individu mempunyai perilaku yang bersifat berkelanjutan. Perilaku tersebut memproses informasi mengenai situasi internal ataupun eksternal sehingga mengikuti hal tersebut, saat individu menghadapi situasi yang berbeda, perilakunya akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya. Pengaruh relative dari variabel situasi tersebut dapat ditentukan dengan mengobservasi keseragaman atau perbedaan dari reaksi manusia dalam suatu situasi tertentu. Hal tersebut karena manusia mengategorisasikan informasi yang diterima dari stimulus eksternal. Manusia menggunakan proses kognitif (nerpikir) untuk mengubah stimulus ini menjadi konstruk personal.
64
4.
Melalui Indera Indera merupakan bagian yang terpenting saat belajar karena indera
merupakan salah satu di antara banyak reseptor yang berfungsi menangkap rangsangan (stimulus) dari lingkungan dan diterima oleh individu dalam bentuk sensasi. Menurut King (2010) seluruh sensasi dimulai dari reseptor sensoris. Reseptor sensoris adalah sel – sel yang terspesialisasi untuk mendeteksi informasi rangsangan dan memancarakannya ke saraf sensoris dan otak. Pada manusia tipe reseptor sensoris adalah panca indera yaitu pendengaran, penglihatan, peraba, penciuman dan pengecap. Feldman (2012) mengatakan bahwa pada indera, yaitu terutama saat beraksi terhadap sesuatu yang di pelajari, energi stimulus mencapai sel panca indera. Energi yang diterima ini mulai membentuk rangkaian kejadian yang mengubah
bentuk stimulus luar ke
impuls neural
yang dapat
dikomunikasikan ke otak. Bahkan sebelum pesan neural tersebut mencapai otak, beberapa pengodean dasar dari informasi panca indera telah terjadi. Pemrosesan utama dari bentuk stimulus di dalam otak ini terjadi di korteks otak, dan disinilah pemrosesan paling rumit terjadi, karena banyak neuron di korteks tersebut yang sangar terspesialisasi dan diaktivasi hanya oleh stimulus terntentu dari suatu bentuk atau pola tertentu yang dikenal dengan deteksi bagian. Cervone dan Pervin (2012), menguatkan bahwa deteksi bagian dapat mengalami perubahan sebagai hasil dari pengalaman yang ada dan hal tersebut memberikan gambaran jelas mengenai plastisitas sistem saraf. Deteksi bagian tersebut terlihat dari penggambaran otak yang menyingkap saat dilakukan stimulus berupa pelatihan dimana penggambaran tersebut mengalami perluasa secara signifikan dari area abu – abu otak (korteks), khususnya pada bagian otak yang terlibat dalam persepsi gerakan. Berdasarkan hal tersebut dapat di analisis bahwa sistem saraf dimana merupakan bagian dari sistem biologis manusia memiliki hubungan dengan fenomena psikologis yang melibatkan suasana hati, impuls dasar, dan emosi seperti rasa takut
dan fenomena fungsi – fungsi
psikologis pada tingkat yang lebih tinggi seperti moral, jati diri dan sebagainya.
65
4.2.5. Faktor – Faktor Psikologis yang Memengaruhi Belajar 1.
Tujuan : tujuan ini merupakan stimulus (rangsangan) yang terasa secara fisik dari dalam individu dan buka suatu peristiwa mental yang bertanggung jawab atas suatu perilaku (Feist dan Feist, 2010). Tujuan terdiri atas 3 macam yaitu sekedar ingin tahu; pemenuhan kebutuhan jangka pendek, dan pemenuhan kebutuhan jangka panjang
2.
Tingkat Aspirasi (Cita – Cita): proses belajar yang dilakukan oleh setiap individu dipengaruhi oleh aspirasi yang diharapkan. Bagi warga belajar yang memang memiliki aspirasi untuk meraih prestasi sebaik – baiknya, akan mendorong untuk lebih aktif mengikuti kegiatan belajarnya dan sebaliknya.
3.
Pengertian atau Pemahaman tentang hal yang dipelajari: pemahaman seseorang terhadap sesuatu yang dipelajarinya sehingga mendorong atau menghambat proses belajarnya.
4.
Pengetahuan tentang keberhasilan dan kegagalan: orang yang memiliki pengetahuan keberhasilan hanya dapat dicapai melalui proses belajar, maka ia akan mencapai hasil belajar yang baik dan sebaliknya.
5.
Umur: kemampuan belajar akan meningkat mulai usia 5 -7 tahun (Feldman, 2012) kemudian berada pada puncak perkembangannya pada usia 20-an dimana usia tersebut merupakan masa puncak kesehatannya dan akan mengalami penurunan secara nyata pada akhir usia 30-an (King, 2010).
6.
Kapasitas belajar: kapasitas belajar setiap individu berbeda – beda tergantung pada umur, jenis, kelamin, keadaan psikis, genetik (mesin kecerdasan yang dominan pada otak), banyaknya stimulus yang diterima dan ketahanan serta tingkat konsentrasi.
7.
Bakat : berkaitan dengan faktor hereditas pada bidang – bidang tertentu. Biasanya ditentukan oleh mesin kecerdasan yang dominan yaitu Sensing (memori), Thinking (analitis), Intuiting (imajinasi), Feeling (emosi) dan Insting (naluri) dimana masing – masing darinya terdapat pada belahan otak limbik kiri, neokortek kiri, neokortek kanan dan limbik kanan (Poniman, 2011).
66
V.
DINAMIKA KELOMPOK
5.1. Konsep Dasar Dinamika Kelompok 5.1.1. Definisi Dinamika Kelompok Dinamika kelompok merupakan kekuatan – kekuatan yang terdapat di dalam (internal) maupun di lingkungan (eksternal) kelompok yang akan menentukan perilaku kelompok yang bersangkutan untuk bertindak atau memaksimalkan kegiatan demi tercapainya tujuan bersama. Kekuatan – kekuatan tersebut muncul karena sebuah kelompok dapat terdiri atas dua orang atau lebih yang berinteraksi satu sama lain dengan cara saling memengaruhi atau di pengaruhi (Hughes, 2012). Santosa (2004) mengemukakan bahwa dinamika kelompok merupakan interaksi dan interdependensi antar anggota kelompok yang satu dengan yang lain secara timbal balik dan antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan, namun menurut Muchlas (2005), Dinamika kelompok merupakan seperangkat teknik seperti permainan peran, brainstorming kelompok tanpa pemimpin, terapi kelompok, latihan sensitifitas, pembentukan tim dan analisis transaksional. Hughes dkk (2012) mengemukakan bahwa masing – masing kelompok memiliki sifat yang spesial, hal tersebut karena terdapat dua ciri khas dari kelompok yaitu interaksi satu sama lain dan pengaruh timbal balik. Apabila di bandingkan dengan tim maka secara umum terdapat empat hal yang membedakannya. Pertama, anggota tim biasanya memiliki perasaan identifikasi yang lebih kuat antara satu sama lain jika dibandingkan dengan kelompok sehingga identifikasi dalam kelompok menjadi lebih sulit. Kedua, tim memiliki tujuan atau tugas yang sama sedangkan kelompok mungkin milik sekumpulan individu dengan tujuan pribadi. Ketiga, ketergantungan tugas biasanya lebih besar dalam tim dibandingkan dalam kelompok. Keempat anggota tim sering memiliki peran yang berbeda dan spesial dibandingkan anggota kelompok karena anggota kelompok sering memainkan peran yang bervariasi dalam kelompok. Berdasarkan pernyataan diatas penting bagi penyuluh untuk memahami konsep tersebut.
67
Dinamika kelompok pada dasarnya seperti organisasi karena mempunyai kekuatan eksternal dan kekuatan internal yang memengaruhi perilaku kelompok yang bersangkutan dimana jika digunakan dengan cara yang benar dapat bersifat konstruktif (membangun) sedangkan jika digunakan dengan cara yang tidak benar dapat bersifat destruktif (menghancurkan) atau jika di analogikan, kekuatan eksternal dan internal seperti pedang bermata dua. Tika (2010), mengemukakan bahwa masalah yang sering dihadapi oleh kelompok adalah masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal sehingga penyuluh harus menjelaskan dan menerapkan salah satu unsur budaya kelompok yaitu memahami masalah adaptasi eksternal dan masalah intgrasi internal yang ditekankan pada bagaimana cara untuk memahami dan merasakan masalah – masalah yang dihadapi oleh kelompok atau anggota kelompok menyangkut penyesuaian dengan lingkungan eksternal dan masalah integrasi internal dalam kelompok tersebut. Permasalahan internal dan eksternal dapat terjadi di akibatkan adanya perubahan. Winardi (2005), mengemukakan bahwa perubahan merupakan proses perpindahan kondisi yang sekarang berlaku menuju ke kondisi dimasa mendatang yang di lakukan oleh individu dan kelompok – kelompok dengan bereaksi dan melibatkan aneka macam kekuatan dinamik eksternal dan internal yang seringkali berinteraksi hingga mereka saling memperkuat satu sama lainnya dan turut menyebabkan adanya keharusan untuk menciptakan perubahan yang jelas. Berdasarkan pernyataan tersebut, penyuluh perlu bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap berbagai macam kekuatan tersebut agar mampu bertahan dan berkembang dengan cara melaksanakan kegiatan inovasi dan perbaikan permasalahan secara berkesinambungan. Hughes dkk (2012), menyarankan penyuluh hendaknya melakukan pembelajaran melalui tindakan, maksudnya adalah belajar sambil melakukannya yang lebih diarahkan pada program dan kegiatan pelatihan menggunakan isu dan tantangan dunia atau permasalahan yang sesungguhnya di hadapi oleh kelompok dengan menempatkannya sebagai peran pemecah masalah sehingga kelompok tersebut mampu menghasilkan keputusan solutif.
68
5.1.2. Analisis Dinamika Kelompok Penyuluh yang bergelut dalam suatu kelompok harus mempunyai cara untuk memecahkan permasalahan dinamika kelompok yaitu permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan tersebut dapat dipecahkan salah satunya dengan menganalisis berdasarkan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologi. Kedua macam pendekatan tersebut di pilih karena dinamika suatu kelompok berkaitan erat dengan sosial dan psikis dari anggota – anggota kelompok. Pendekatan sosiologis merupakan analisis dinamika kelompok melalui analisis terhadap bagian – bagian atau komponen kelompok dan analisis terhadap sistem sosial tersebut. Menurut Leilani dan Hasan (2006), sistem sosial pada suatu kelompok dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas, pembinaan dan pengembangan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, ketegangan kelompok, keefektifan kelompok dan agenda / agenda terselubung. Tika (2010) menambahkan bahwa sistem sosial dipengaruhi oleh konsepsi keyakinan dan nilai, hierarki nilai dan nilai dasar budaya kelompok. Pendekatan psikologis yaitu analisis dinamika kelompok melalui analisis terhadap faktor – faktor yang memengaruhi dinamika kelompok tersebut. Winardi (2005) mengemukakan bahwa dorongan adanya dinamika (perubahan) kelompok seringkali muncul dari sistem psikologi. Ia menjelaskan bahwa keberhasilan dalam hal mencapai tujuan – tujuan keorganiasian hingga tingkat tertentu tergantung pada faktor – faktor manusia. Tingkat hingga di mana kemampuan manusia “disadap” seringkali menimbulkan perbedaan tentang apakah upaya – upaya kelompok mencapai keberhasilan atau tidak sehingga perlu di ingatkan bahwa perubahan – perubahan dalam moral dan motivasi para kelompok – kelompok dapat menimbulkan dampak besar.
69
Hughes dkk (2012) mengemukakan bahwa sistem sosial dan psikologi suatu kelompok dipengaruhi oleh kebudayaan kelompok dimana kebudayaan kelompok ini di definisikan sebagai sistem latar belakang, norma, nilai atau kepercayaan yang dibagi bersama di antara anggota – anggota dari kelompok yang akhirnya kebudayaan kelompok tersebut akan menciptakan iklim kelompok dimana merupakan reaksi perasaan atau reaksi emosional kita terhadap kelompok yang kemungkinan dipengaruhi oleh tingkatan kita berbagi nilai, kepercayaan, dan latar belakang yang telah ada pada anggota – anggota kelompok. Dengan demikian, iklim organisasi berhubungan dengan tingkatan hubungan anggota – anggota kelompok terhadap satu sama lain. Salah satu aspek kebudayaan kelompok yang menakjubkan adalah sering kali budaya tersebut hanya bisa di kenali oleh orang luar; kebudayaan kelompok menjadi suatu hal yang sangat biasa untuk anggota kelompoknya sehingga mereka tidak sadar bagaimana hal tersebut memengaruhi perilaku dan persepsi mereka. Tika (2010) menambahkan bahwa untuk membentuk suatu budaya kelompok mengetahui proses pembentukkannya. Proses pembentukkan tersebut antara lain (1) adanya interaksi antarpimpinan / pendiri kelompok dengan kelompok / anggota dalam kelompok; (2) adanya interaksi yang menimbulkan ide yang di transformasikan menjadi artifak, nilai, dan asumsi; (3) artifak, nilai dan asumsi kemudian di implemetasikan sehingga menjadi budaya organisasi; (4) untuk mempertahankan budaya kelompok dilakukan pembelajaran (learning) kepada anggota baru dalam kelompok. Winardi (2005) menguatkan dalam membentuk budaya kelompok, diagnosis kelompok mutlak diperlukan sebagai titik tolak bagi pembentukan dan perubahan kelompok yang terencana. Diagnosis kelompok dapat diterapkan melalui sejumlah langkah dasar antara lain (1) mengenal dan menafsirkan masalah yang dihadapi, dan merasakan kebutuhan akan perubahan; (2) mendeterminasi kesiapan dan kemampuan organisasi yang bersangkutan untuk berubah; (3) mengidentifikasi sumber – sumber daya manajerial dan angkatan kerja kelompok untuk perubahan; (4) mendeterminasi sebuah strategi perubahan dan sasaran – sasarannya; (5) mengumpulkan berbagai informasi yang di perlukan untuk diagnosa masalah.
70
5.2. Unsur Sosiologi Dinamika Kelompok 5.2.1. Tujuan Kelompok Dinamika kelompok pada dasarnya memiliki tujuan yang akan di capai. Leilani dan Hasan (2006), mengemukakan untuk mengetahui kelompok tersebut dikatakan baik atau tidak dapat dilakukan dengan menganalisis anggota kelompok melalui perilaku para anggota dan pimpinannya. Tika (2010) mengemukakan bahwa tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari misi utama kelompok. Tujuan utama tidak secara otomatis bahwa anggota – anggota kelompok akan mempunyai tujuan yang sama, sehingga untuk mencapai tahap mengenai tujuan, kelompok memerlukan bahasa dan share asumsi yang sama menyangkut pelaksanaan logika dasar dari suatu yang abstrak menjadi tujuan konkret menyangkut perancangan, manufaktur dan penjualan produk atau pelayanan. Asumsi – asumsi harus terdapat petunjuk – petunjuk yang harus dipatuhi kelompok menyangkut perilaku nyata, termasuk menjelaskan kepada anggota kelompok bagaimana merasakan, memikirkan segala sesuatu menyangkut masalah budaya kelompok dan solusinya yang berdasarkan lima kategori dasar antara lain : (1) Hubungan dengan lingkungan; (2) Hakikat realitas, ruang, dan waktu; (3) Hakikat sifat manusia; (4) Hakikat aktivitas manusia; (5) Hakikat hubungan manusia. Kelompok yang dinamis harus mempunyai sejumlah tujuan perubahan yang direncanakan. Tujuan tersebut harus memuat dua tipe umum hasil yaitu tipe pertama dan tipe kedua. Tipe pertama, ditujukan ke arah guna memperbaiki kemampuan organisasi yang bersangkutan, guna menghadapi perubahan – perubahan yang tidak direncanakan yang dihadapi oleh kelompok dengan cara meningkatkan efektifitas, fleksibilitas dan sistem peramalan secara tepat dan tepat waktu. Tipe kedua, perubahan yang direncanakan ditujukan ke arah upaya mengubah perilaku para anggota, agar mereka menjadi kontributor lebih efektif bagi tujuan – tujuan organisasi mereka dengan cara menimbulkan beberapa sikap dan nilai baru, cara memvisualisasikan organisasi dan meningkatkan peranan para anggota di dalamnya (Winardi, 2005).
71
Penetapan tujuan dalam suatu merupakan hal penting bagi kelompok. Penetapan tujuan tersebut harus ditetapkan dengan benar di awal agar resolusi (pemecahan) atau hasil yang dicapai jelas dan realistis. Hughes dkk (2012) menyarankan untuk dapat menetapkan tujuan dengan benar, berikut ini beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penetapan tujuan antara lain: 1.
Tujuan harus spesifik dan dapat diamati Tujuan yang spesifik akan menghasilkan usaha dan kinerja yang lebih baik
daripada tujuan yang sifatnya umum. Tujuan yang spesifik berkaitan erat dengan tujuan yang diamati sehingga dengan menetapkan tujuan secara spesifik penyuluh maupun kelompok akan lebih mudah untuk memantau kemajuan. 2.
Tujuan harus dapat tercapai, tetapi menantang Tujuan yang ditetapkan harus menantang sehingga pencapaiannya sudah
pasti karena dengan pencapaian tujuan yang menantang maka kelompok akan di tuntut menghasilkan kinerja yang tinggi sebab kinerja yang lebih tinggi muncul saat tujuan yang ditetapkan cukup tinggi (menantang). 3.
Tujuan memerlukan komitmen Sebuah tujuan harus di dukung komitmen untuk menjamin kesuksesan
penetapan tujuan. Komitmen tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan anggota kelompok dalam penetapan tujuan dan menyediakan sumber daya yang di perlukan oleh anggota kelompok untuk mencapai tujuan. 4.
Tujuan memerlukan umpan balik Umpan balik perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja anggota
kelompok ketika memenuhi kriteria suatu tujuan. Umpan balik itu sendiri dapat berupa imbalan (reward) dan atau hukuman (punishment). Winardi (2005) menguatkan, bahwa dalam penetapan tujuan yang spesifik kelompok harus memusatkan perhatian pada target – target spesifik yang memerlukan perubahan dalam rangka menutup celah – celah kinerja dan untuk mencapai sasaran – sasaran yang diinginkan. Tika (2010) menambahkan bahwa tujuan berkaitan dengan asumsi dasar dimana akan berpengaruh terhadap keyakinan dan nilai – nilai budaya kelompok.
72
5.2.2. Pembagian Tugas dan Hak serta Kewajiban Kelompok 1.
Jenjang Sosial (Social Rank) Jenjang atau pelapisan anggota – anggota kelompok yang menunjukkan
perbedaan nilai tertentu yang akan membedakan penghargaan, kehormatan dan hak / wewenang anggota – anggotanya. Winardi (2005) menguatkan bahwa jenjang sosial berkaitan erat dengan perubahan nilai – nilai sosial. Perubahan nilai – nilai sosial dapat berubah melalui banyak cara termasuk didalamnya antara lain: dari organisasi menuju individu; dari konformitas menuju orisinalitas; dari independensi menuju interdependensi; dari materialisme menuju kualitas kehidupan; dari kondisi status quo menuju perubahan; dari masa mendatang menuju masa kini; dari kegiatan bekerja menuju waktu luang; dari ototritas menuju partisipasi; dari sentralisasi menuju desentralisasi; dari ideologi menuju desentralisasi; dari ideologi menuju pragmatisasi; dari ekonomi menuju kearah keadilan sosial; dari alat – alat menuju ke tujuan – tujuan; dari moralitas mutlak menuju arah keadilan sosial. 2.
Peran Kedudukan (Status Role) Yakni peran yang harus di lakukan / ditunjukkan oleh anggota kelompok
sesuai dengan kedudukan yang diperolehnya dalam struktur sistem sosial (kelompok) yang bersangkutan. Adanya perbedaan peran – kedudukan akan membuat setiap anggota melaksanakan tugas / kewajiban sesuai dengan hak yang diperoleh dari kedudukannya. Tika (2010) menambahkan bahwa setiap peran kedudukan menuntut pola pekerjaan – pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan kelompok. 3.
Kekuasaan (Power) Hughes dkk (2012) menjelaskan bahwa dari sudut pandang kelompok,
kekuasaan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan situasinya, berdasarkan pernyataan diatas maka dapat dianalisis bahwa kelompok dipengaruhi oleh lima kekuasaan sosial yaitu (1) kekuasaan kepakaran, (2) kekuasaan rujukan, (3) kekuasaan sah, (4) kekuasaan penghargaan, dan (5) kekuasaan paksa.
73
5.2.3. Aturan atau Kebiasaan Kelompok 1.
Kepercayaan (Belief) Merupakan segala sesuatu yang secara akal atau perasaan anggota kelompok
dinilai dan diterima sebagai kebenaran, yang digunakan sebagai landasan kegiatan kelompok dan masing – masing anggotanya untuk mencapai tujuan kelompok yang diinginkan. Menurut Tika (2010) kepercayaan merupakan salah satu unsur budaya kelompok dimana mengandung nilai – nilai kelompok, dengan kata lain keyakinan merupakan sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam kelompok. Hughes dkk (2012) menyatakan bahwa nilai adalah konstruk yang mewakili perilaku atau keadaan umum yang dianggap penting oleh individu dimana nilai tersebut di pelajari dari proses sosialisasi, lalu di internalisasi dan bagi anggota nilai – nilai tersebut merupakan komponen tak terpisahkan dari diri, sehingga nilai memainkan peran penting dalam karakter psikologis seseorang dan dapat memengaruhi perilaku dalam berbagai situasi. Berdasarkan pernyataan tersebut penting bagi penyuluh maupun pemimpin kelompok untuk menyadari bahwa individu (anggota) dalam unit kerja yang sama dapat memercayai nilai – nilai yang berbeda, terutama karena kita tidak dapat melihat nilai – nilai secara langsung. Kita hanya dapat menarik kesimpulan mengenai nilai – nilai yang dipercayai anggota lain dari perilaku mereka. 2.
Sanksi (Sanction) Merupakan perlakuan yang diberikan kepada setiap anggota kelompok yang
berupa imbalan (reward) bagi yang menaati dan hukuman (punishment) bagi yang melanggar aturan – aturan kelompoknya. Winardi (2005), menyatakan bahwa sanksi dapat di pergunakan sebagai cara untuk melakukan manajemen perubahan terhadap kelompok dengan tujuan agar tiap anggota menyesuaikan diri dengan perubahan atau tuntutan perubahan dari lingkungan (faktor eksternal). Perubahan tersebut dapat terjadi baik evolusioner maupun revolusioner, namun perlu diingat bahwa tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik, hingga dalam hal demikian perlu di upayakan agar bila dimungkinkan perubahan diarahkan ke hal yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
74
3.
Norma (Norm) Norma adalah aturan – aturan informal yang diadopsi oleh kelompok untuk
mengatur dan membuat perilaku anggota – anggota kelompok menjadi tertata, meskipun norma jarang sekali ditulis atau didiskusikan secara terbuka, namun memiliki pengaruh yang kuat dan konsisten terhadap perilaku. Hal tersebut karena kebanyakan orang memiliki kemampuan yang baik untuk membaca isyarat – isyarat sosial yang memberitahu mereka tentang norma yang berlaku (Hughes, 2012). Winardi (2005) menambahkan bahwa kelompok pada umumnya mengembangkan norma – norma mereka sendiri guna membantu pengembangan perilaku yang dianggap baik (oleh mereka) akibatnya kebanyakan anggota kelompok mengikuti norma – norma tersebut, terutama pada kelompok yang bersifat kohesif maka, setiap perubahan yang menyebabkan rusaknya norma – norma kelompok yang cenderung ditentang sehingga salah satu tugas pokok yang dihadapi para penyuluh atau pemimpin, umumnya adalah meneliti dan memahami alasan – alasan yang melatarbelakangi tantangan para karyawan mereka terhadap perubahan yang sedang dilaksanakan. Tantangannya adalah berupa mencari cara dan jalan untuk mengurangi atau mengantisipasi sikap menentang tersebut. 4.
Perasaan – Perasaan (Sentiment) Merupakan tanggapan emosional yang diberikan / ditujukan oleh setiap
anggota terhadap kelompoknya. Perasaan tersebut dapat berwujud kesenangan, kesetiaan, kekecewaan dan lain – lain. Adanya perasaan – perasaan tertentu dikalangan anggota kelompok, sebenarnya dapat dijadikan ukuran untuk melihat apakah kelompok tersebut telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan semua anggotanya ataukah tidak. Tika (2010) menambahkan bahwa perasaan dapat dijadikan tolak ukur apakah para anggota berhasil atau gagal mengatasi dua masalah pokok kelompok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah adaptasi integrasi internal sehingga peran pimpinan ataupun penyuluh untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut anggota kelompok.
75
5.2.4. Kemudahan dan Tegangan Kelompok 1.
Kemudahan (Facility) Kemudahan merupakan segala sesuatu yang memiliki nilai yang diperlukan
kelompok untuk dapat melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok, seingga yang perlu diperhatikan bukanlah sekadar penyediaan kemudahan saja tetapi bagaimana kemudahan dapat tersedia tepat waktu, mudah diperoleh / didapat dan memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat digunakan dengan memperoleh hasil yang baik maka disini anggota harus memanfaatnya semaksimal mungkin demi tercapainya tujuan kelompok. Winardi (2005) menambahkan bahwa kemudahan dapat digunakan untuk mencapai tujuan apabila pemimpin kelompok mengapresiasi sepenuhnya dinamika – peluang – serta ancaman – ancaman dalam lingkungan kompetitif mereka dan memberikan cukup perhatian terhadap isu kemasyarakatan yang lebih luas sehingga kelompok yang bersangkutan perlu mengupayakan agar sumber – sumber daya kemudahannya (inputnya dimanage secara strategik dengan memperhitungkan kekuatan dan kelemahannya) dan bahwa kelompok tersebut memanfaatkan peluang – peluang yang ada. 2.
Tegangan dan Himpitan (Stress and Strain) Yaitu adanya berbagai tegangan (tekanan) dapat memperkuat persatuan dan
kesatuan antar sesama anggota kelompok yang bersangkutan demi tercapainya tujuan kelompok. Leilani dan Hasan (2006) menyatakan bahwa elemen yang memengaruhi ketegangan kelompok yaitu ketegangan internal dan eksternal. Ketegangan internal merupakan ketegangan yang berasal dari dalam kelompok yang berkaitan dengan tercapainya tujuan sedangkan ketegangan eksternal merupakan ketegangan diluar kelompok yang berkaitan dengan kesatuan dan kelangsungan hidup kelompok. Tika (2010), menyatakan ketegangan terjadi karena adanya konflik dimana konflik tersebut disebabkan oleh tujuh hal yaitu (1) perbedaan pendapatl (2) salam paham; (3) salah satu atau kedua belah pihak merasa dirugikan; (4) perasaan yang terlalu sensitif; (5) konflik yang disebabkan struktur; (6) perilaku yang tidak menyenangkan; (7) konflik yang disebabkan faktor luar kelompok.
76
5.2.5. Kegiatan Sosial Kelompok 1.
Komunikasi (Communication) Merupakan interaksi antar sesama anggota dalam pelaksanaan kegiatan
demi tercapainya tujuan kelompok. komunikasi di dalam kelompok harus diupayakan untuk menembus setiap isolasi sosial (perbedaan status, umur, pendidikan dll) yang ada di dalam kelompok sehingga semua pihak dapat mau berinteraksi untuk mencapai tujuan kelompok yang sudah disepakati. Winardi (2005) menambahkan komunikasi (penyampaian pesan) secara luas perlu di upayakan agar pihak – pihak yang terlibat memahami apa saja alasan dibalik komunikasi tersebut, bagaimana bentuknya dan bagaimana dampak – dampak yang dapat di duga akan timbul, guna mengurangi perasaan tidak tenang. 2.
Pemeliharaan Batas (Boundary Maintenance) Yaitu pemeliharaan batas – batas sistem sosial (kelompok) dengan
lingkungannya. Pemeliharaan batas tersebut dimaksudkan agara ada perbedaan yang jelas antara sesama anggota kelompok dengan yang bukan anggota kelompoknya sehingga terpupuk rasa kesetiakawanan dalam mewujudkan identitas kelompok maupun untuk menghadapi tekanan dari luar. Tika (2010) menambahkan bahwa yang dimaksud identitas kelompok disini adalah sejauh mana para anggota suatu kelompok dapat mengidentifikasi dirinya sebagai satu kesatuan dalam kelompok. identitas kelompok sebagai satu kesatuan sangat membantu dalam mencapai tujuan dan sasaran kelompok. 3.
Kaitan Sistemik (Systemic Linkage) Yaitu proses terjadinya jalinan atau keterkaitan antar sistem – sistem sosial
atau antar kelompok satu dengan kelompok lainnya karena tercapainya tujuan kelompoknya selalu dipengaruhi dan tidak mungkin terlepas dari keterkaitannya dengan kelompok lain. Hughes dkk (2012), semakin banyak jumlah sistem – sisitm sosial yang terkait maka akan semakin banyak melibatkan kecakapan, nilai, persepsi dan kemampuan diantara anggota – anggota dari setiap kelompok yangg terkait sehingga akan lebih banyak “daya manusia” yang tersedia.
77
4.
Kelembagaan (Institutionalization) Merupakan proses pengembangan fungsi – fungsi sosial atau hubungan –
hubungan sosial. Konsep ini memberikan arahan bahwa, untuk tercapainya tujuan – tujuan kelompok, perlu dikembangkan lembaga – lembaga atau sub – kelompok yang harus menjalankan fungsi masing – masing, serta saling keterkaitannya dengan sub – kelompok yang jelas. Winardi (2005) menguatkan bahwa kelembagaan mempunyai manfaat untuk mengembangkan budaya kelompok. Budaya kelompok tersebut terbentuk dua pokok permasalahan yaitu (1) adaptasi eksternal dan ketahanan yang berkaitan dengan bagaimana kelompok yang bersangkutan akan mencapai suatu “relung” (niche) menghadapi lingkungan eksternal yang secara terus – menerus mengalami perubahan dimana mencakup visi dan strategi, tujuan – tujuan, alat – alat, dan pengukuran; (2) integrasi internal yang berkaitan dengan penetapan dan pemeliharaan hubungan – hubungan kerja efektif antara para anggota suatu organisasi yang mencakup bahasa dan konsep, batas – batas kelompok dan tim, kekuasaan dan status, imbalan dan hukuman. 5.
Sosialisasi (Socialization) Merupakan proses pembelajaran atau pewarisan nilai – nilai kelompok
dalam rangka menyiapkan setiap anggota kelompok untuk dapat melaksanakan perannya sesuai dengan kedudukannya dalam kelompok , sehingga berprilaku dan dapat melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok. Leilani dan Hasan (2006) menambahkan bahwa sosialisasi dapat dikatakan baik apabila anggota memiliki kesamaan mata pencaharian dan didukung oleh sistem komunikasi yang baik. 6.
Kontrol Sosial (Social Control) Merupakan proses pengawasan terhadap perilaku atau kegiatan – kegiatan
setiap anggota kelompok agar tidak menyimpang dari aturan – aturan yang telah disepakati, demi tercapainya tujuan seperti yang diharapkan. Tika (2010) menambahkan pengawasan perlu di lakukan secara berkala untuk mengetahui perilaku anggota – anggota organisasi. Hasil dari pengawasan tersebut dapat dijadikan sebagai umpan balik untuk memperkuat budaya kelompok.
78
5.3. Unsur Psikologi Dinamika Kelompok 1.
Tujuan Kelompok (Group Goal) Kejelasan tujuan kelompok akan sangat berpengaruh terhadap perilaku atau
tindakan – tindakan anggota kelompok, sehingga perlu dikaji seberapa jauh anggota benar – benar telah dipahami dan dihayati oleh setiap anggota kelompok yang bersangkutan. Winardi (2005) menambahkan bahwa peranan unsur psikologi dalam kelompok sangat krusial dalam kaitannya dengan mengimplementasikan perubahan dalam kelompok yang berasal dari sumber – sumber lain. Andai kata perubahan kelompok yang bersangkutan memerlukan adanya modifikasi perilaku para anggota, maka faktor – faktor tersebut perlu dipertimbangkan. Leilani dan Hasan (2006) mengemukakan bahwa tujuan kelompok yang telah dirumuskan harus sesuai dengan dimensi waktu, karena tujuan terkait dengan rincian jenis dan kegiatan anggota dalam melaksanakan tujuan tersebut dan jenis dan kegiatan terkait dengan dimensi waktu. Hughes dkk (2012) menyarankan agar tujuan kelompok dapat tercapai maka diperlukan suatu umpan balik yang membantu. Umpan balik yang membantu ini melibatkan berbagai informasi atau persepsi dengan orang lain mengenai sifat, kualitas atau dampak perilaku orang tersebut, karena hal tersebut penting bagi kinerja dan kemajuan anggota. Tanpa umpan balik, seorang anggota tidak akan mampu mengetahui apakah ia melakukan pekerjaannya dengan baik atau sikapnya melukai orang lain. Umpan balik yang efektif dari atasan (pimpinan kelompok) juga memainkan peran penting dalam membangun semangat. Pada berbagai cara, pengembangan kecakapan umpan balik yang baik adalah hasil dari pengembangan kemampuan berkomunikasi, mendengarkan, dan keasertifan yang baik. Memberikan umpan balik yang baik juga tergantung pada kejelasan mengenai tujuan dari umpan balik dan pada pemilihan konteks medium yang tepat untuk memberikannya serta pemberian sinyal non – verbal dan sinyal emosional, sehingga dalam melakukan umpan balik yang membantu diperlukan beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: (1) bersikap spesifik; (2) bersikap deskriptif; (3) bersikap tepat waktu; dan (4) bersikap fleksibel.
79
2.
Struktur Kelompok (Group Structure) Merupakan pola yang teratur tentang bentuk tata hubungan antara individu
– individu dalam kelompok yang sekaligus menggambarkan kedudukan dan peran masing – masing dalam upaya pencapaian tujuan kelompok. Ketidakjelasan mengenai
struktur
kelompok
akan
berpengaruh
terhadap
ketidakjelasan
kedudukan, peran, hak, kewajiban, dan kekuasaan masing – masing angotanya, sehingga pelaksanaan kegiatan tidak mungkin dapat berlangsung efektif dan efisien untuk mencapai tujuan kelompok. Menurut Leilani dan Hasan (2006) struktur kelompok di pengaruhi oleh tujuh faktor yaitu (1) kewenangan; (2) sistem komunikasi; (3) aktivitas; (4) hak dan kewajiban, (5) besarnya kelompok, (6) aspek kualitatif anggota dan (7) solidaritas dalam kelompok. Tika (2010) menambahkan bahwa struktur kelompok dipengaruhi oleh kinerja komunikasi. Komunikasi tersebut dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Terkadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara pimpinan kelompok dan anggota atau antar anggota itu sendiri. Ia juga menyatakan bahwa secara spesifik kinerja komunikasi dapat tercermin dalam lima pola kinerja komunikasi, antara lain: (1) kinerja komunikasi yang terapil dalam bentuk ritual; (2) kinerja komunikasi yang disebut passion; (4) kinerja komunikasi yang dilakukan secara sosial; (4) kinerja komunikasi yang disebut organizational politics; (5) kinerja komunikasi yang disebut enkulturisasi. Hughes dkk (2012), bahwa ukuran setiap kelompok memiliki dampak terhadap pemimpin sekaligus para anggotanya yang pada akhirnya akan memengaruhi struktur kelompok terutama pada efektifitas kelompok dalam berbagai cara, hal tersebut karena disebabkan oleh 3 hal. Pertama, kemunculan pemimpin sebagian merupakan fungsi dari ukuran kelompok. Kedua, ketika kelompok semakin besar, maka orang yang tergabung dalam sub kelompok dengan tugas, nilai dan ekspetasi yang sama muncul sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar. Ketiga, ukuran kelompok juga dapat memengaruhi gaya kepemimpinan seorang pemimpin.
80
3.
Fungsi Tugas (task function) Merupakan seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota
kelompok sesuai dengan fungsinya masing – masing sesuai dengan kedudukan dalam struktur kelompok. Leilani dan Hasan (2006), menyatakan bahwa fungsi tugas dipengaruhi oleh
kepuasaan karena bisa mencapai tujuan kelompok;
pencarian informasi dan perolehan gagasan yang diperlukan kelompok;
adanya koordinasi untuk mencapai kesepakatan bersama;
diseminasi informasi (penyebaran informasi);
penjelasan yang baik terhadap sebuah permasalahan yang membingungkan anggota. Tika (2010), menambahkan bahwa fungsi tugas dipengaruhi oleh lima
faktor, dimana lima faktor tersebut merupakan alasan dasar pembentukan kelompok antara lain (1) kebutuhan akan interaksi sosial; (2) kebutuhan akan keamanan; (3) kebutuhan akan status; (4) kedekatan tempat kerja dan (5) tujuan bersama. 4.
Pembinaan
dan
Pemeliharaan
Kelompok
(Group
Building
and
Maintenance) Merupakan upaya kelompok untuk tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan kelompok atau upaya kelompok untuk berusaha memelihara tata kerja dalam kelompok, mengatur, memperkuat, dan mengekalkan kelompok. Hughes dkk (2012) menyarankan salah satu cara terbaik untuk memelihara tata kerja adalah membangun hubungan kerja yang efektif dengan rekan kerja. Membangun hubungan yang efektif tersebut dapat dilakukan dengan cara menyadari kepentingan bersama, nilai – nilai, tujuan dan harapan, namun untuk mengetahui aspirasi dan kepentingan bersama, seseorang harus mengetahui tujuan, nilai dan kepentingan dari rekan kerjanya. Membangun hubungan komunikasi informal adalah salah satu cara terbaik untuk mengetahui kepentingan dan nilai – nilai bersama
tesebut
dengan
cara
kita
perlu
terbuka
dan
mengomunikasikan kebutuhan, nilai – nilai, dan tujuan kita sendiri.
jujur
dalam
81
5.
Kekompakan Kelompok (Group Cohesiveness) Merupakan rasa keterikatan anggota kelompok terhadap kelompoknya. Rasa
keterikatan tersebut dapat dilihat/ditunjukan pada kesamaan tindakan (integrasi), kerjasama, kesadaran, menjadi anggota, persamaan nasib, homogenitas perilaku, kesepakatan terhadap tujuan kelompok, dan pengakuan terhadap kedisiplinan kelompok. Leilani dan Hasan (2006) menjelaskan bahwa kekompakan kelompok merupakan kesatuan dan persatuan kelompok. Semua ini menjadi suatu kekuatan dalam kelompok, sehingga dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh anggota. Tika (2010) menambahkan untuk menjaga kekompakan kelompok perlu diperhatikan masalah enam unsur masalah integrasi internal yaitu (1) bahasa yang sama dan kategori konseptual; (2) batas – batas kelompok dan kriteria inklusif dan eksklusif; (3) kekuatan dan status; (4) hubungan kekeluargaan dan cinta; (5) imbalan dan hukuman; (6) agama dan ideologi. Hughes dkk (2012), menyatakan kekompakan kelompok merupakan perekat yang menjaga keutuhan kelompok. Kekompakan merupakan total kekuatan yang menarik para anggota untuk masuk ke dalam sebuah kelompok, mencegah mereka keluar dari kelompok, dan memotivasi mereka untuk aktif di dalam kelompok tersebut. Kelompok yang amat kompak saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain lebih dari kelompok yang kurang kompak. Kelompok yang amat kompak memiliki tingkat ketidakhadiran dan pergantian (keluar – masuk) anggota yang lebih rendah daripada kelompok yang kurang kompak; rendahnya ketidakhadiran dan pergantian (keluar – masuk) anggota tersebut dapat menghasilkan kinerja kelompok yang lebih tinggi pula; kinerja yang tinggi pada gilirannya, dapat menghasilkan kekompakan yang lebih tinggi, dengan begitu terciptalah lingkaran proses kelompok yang positif. Meskipun demikian, kekompakan kelompok yang lebih tinggi dapat menimbulkan beberapa masalah diantaranya adalah bertentangan dengan tujuan organisasi yang lebih besar, adanya pembatasan yang berlebihan sehingga dapat menghalangi penggunaan sumber daya eksternal yang dapat membuat mereka semakin efektif yang akhirnya berakibat pada penurunan kinerja kelompok yang bersangkutan.
82
6.
Suasana Kelompok (Group Atmosphere) Merupakan lingkungan dan non – fisik (emosional) yang akan memengaruhi
perasaan setiap anggota kelompok terhadap kelompoknya, dengan kata lain suasana kelompok merupakan sikap mental dan perasaan – perasaan yang secara umum ada dalam kelompok (Leilani dan Hasan, 2006). Tika (2010) menambahkan bahwa perasaan setiap anggota kelompok merupakan bentuk dari pewarisan (learning) budaya kelompok. Pewarisan tersebut merupakan proses pembelajaran untuk melestarikan budaya organisasi dari pimpinan atau anggota kelompok kepada anggota – anggota baru dengan maksud agar budaya organisasi dapat dipakai sebagai pedoman berperilaku oleh seluruh anggota kelompok dalam organisasi. Pewarisan ini biasanya diajarkan dalam bentuk sistem komunikasi non – verbal melalui signal yang sama kepada setiap anggota kelompok yang kemudian menghasilkan perasaan atau pengalaman berbagi nilai, antara lain kecemasan bersama, respon emosional bersama, aksi nyata bersama, melepaskan emosi bersama dan penurunan emosi bersama. Hughes dkk (2012), menambahkan bahwa suasana kelompok yang penuh ketegangan dapat meningkatkan dorongan emosional kelompok sehingga menimbulkan stress bagi anggota kelompok. Stress tersebut dapat menghambat kinerja kelompok diantaranya mencakup penurunan kesehatan dan kesejahteraan emosional, kinerja berkurang dan penurunan efektivitas kelompok. Salah satu langkah penting dalam mengelola stress dalam lingkup kelompok dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain
Memantau stress pemimpin / penyuluh dan anggota kelompok yang bersangkutan;
Identifikasi penyebab stress;
Praktikan gaya hidup sehat;
Belajar untuk rileks;
Bangun hubungan suportif dengan orang lain;
Pertahankan persepektif.
83
7.
Tegangan Kelompok (Group Pressure) Yaitu tekanan – tekanan atau ketegangan dalam kelompok yang
menyebabkan kelompok berusaha keras untuk mencapai tujuan kelompok. Menurut Leilani dan Hasan (2006) ketegangan kelompok terbagi menjadi dua macam yaitu ketegangan internal dan ketegangan eksternal. Andarwati dkk (2012) menambahkan bahwa adanya kedua macam tegangan dalam kelompok menyebabkan kelompok tersebut berusaha keras untuk mencapai tujuan kelompok, yaitu persaingan untuk maju, imbalan (penghargaan) dan hukuman. Hughes dkk (2012) menyatakan hukuman merupakan adminsitrasi dari sebuah peristiwa tidak menyenangkan atau penarikan acara positif atau stimulus yang pada gilirannya mengurangi kemungkinan bahwa perilaku tertentu akan terulang. Pemberian hukuman harus di kelola secara benar (kontingen) agar tidak menimbulkan efek emosional yang tidak diinginkan, tidak etis, dan efektif menekan
perilaku
yang
tidak
diinginkan.
Berdasarkan
hal
tersebut,
penyelenggaraan hukuman perlu dilaksanakan secara benar dengan cara komunikasi efektif dua arah antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin perlu memberikan alasan yang jelas untuk memberi hukuman dan konsekuensi atas perilaku tidak dapat diterima di masa depan. Ruvendi (2005) mendefinisikan imbalan merupakan sesuatu yang diterima oleh kelompok ataupun dalam kelompok sebagai balas jasa atas prestasinya kepada perusahaan dalam melaksanakan pekerjaannya. Imbalan tersebut biasanya diberikan dalam bentuk insentif, bonus, gaji, upah, tunjangan, pangkat dan lain – lain. Pada umumnya imbalan terbagi menjadi dua macam yaitu imbalan intirnsik dan ekstrinsik. Imbalan intrinsik merupakan imbalan yang bersumber dari kelompok itu sendiri seperti penyelesaian tugas, prestasi, otonomi, perkembangan kelompok, sedangkan imbalan ekstrinsik merupakan imbalan yang berasal dari luar kelompok, seperti penghargaan pemerintah, tunjangan nasional, dana hibah prestasi dan lain – lain. Imbalan biasanya akan meningkatkan kepuasan anggota sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi ketegangan kelompok.
84
8.
Keefektifan Kelompok (Group Effectiveness) Yaitu keberhasilan kelompok untuk mencapai tujuannya, yang dapat dilihat
pada tercapainya keadaan atau perubahan – perubahan (fisik maupun non – fisik) yang memuaskan anggotanya. Leilani dan Hasan (2006), menyatakan bahwa keefektifan kelompok cenderung dapat meningkatkan dinamika kelompok jika dilihat dari berbagai sudut pandang antara lain :
Hasil atau produktivitasnya.
Moral kelompok, semangat dan kesungguhan
Tingkat kepuasan anggota – anggotanya Ruvendi (2005) menjelaskan bahwa kepuasan anggota adalah suasana
psikologis tentang perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap kelompok mereka, dengan kata lain kepuasan anggota dapat diartikan sebagai apa yang membuat orang – orang menginginkannya dan menyenangi kelompoknya. Apa yang membuat mereka bahagia dalam kelompoknya atau keluar dari kelompoknya. Tika (2010) menambahkan bahwa kelangsungan hidup kelompok merupakan kriteria efektifitas yang mengacu kepada tanggung jawan kelompok dalam memperbesar kapasitas dan potensinya untuk berkembang sehingga dalam praktiknya, para pimpinan/manajer kelompok menggunakan indikator jangka pendek untuk kelangsungan hidup jangka panjang. Indikator – indikator tersebut terdiri atas ukuran produktivitas, efisiensi, kecelakaan, moral, kepuasan anggota, pergantian anggota, kualitas dan keuntungan. Hughes dkk (2012) menambahkan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan anggota dengan motivasi. Hubungan implisit antara kepuasan dan motivasi adalah bahwa kepuasan meningkat saat anggota menyelesaikan sebuah tugas atau tantangan, khususnya saat tugas tersebut membutuhkan usaha besar. Berdasarkan hal tersebut pemimpin / penyuluh perlu mengetahui berbagai teori motivasi, hal tersebut karena pemimpin / penyuluh yang mengetahui berbagai teori motivasi lebih cenderung memilih teori yang tepat untuk pengikut dan situasi tertentu, dan seringkali mereka memeroleh pekerja dengan kinerja lebih baik dan lebih puas sebagai hasilnya.
85
9.
Agenda Terselubung (Hidden Agenda) Yaitu tujuan – tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok yang diketahui oleh
semua anggotanya, tetapi tidak dinyatakan secara tertulis. Meskipun demikian seringkali agenda terselubung justru sangat penting untuk mendinamisasikan kelompok. Menurut Leilani dan Hasan (2006) agenda terselubung adalah program, tugas atau tujuan yang tidak diketahui, disadari oleh para anggota kelompok, karena berada di bawah permukaan agenda terselubung saling mempengaruhi dan sama pentingnya dengan maksud dan tujuan yang terbuka. Winardi (2005) mengemukakan bahwa adanya agenda terselubung dalam sautu kelompok disebabkan dari faktor dimensi manusia. Faktor dimensi manusia tersebut terdiri dari lima fase inti yang merupakan landasan bagi model Adkar antara lain kesadaran tentang adanya kebutuhan untuk dinamis; kesadaran untuk berpartisipasi dan membantu pendinamisan tersebut; pengetahuan tentang bagaimana
melaksanakan
pendinamisasian;
kemampuan
untuk
mengimplementasikan dinamisasi tersebut sehari – hari; perkuatan agar dinamisasi tersebut tetap berlangsung Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dianalisis bahwa agenda terselubung cenderung dipengaruhi oleh faktor dimensi manusia dimana tidak terlepas dari hierarki kebutuhan dasar manusia. Hughes dkk (2012) menjelaskan melalui teori hierarki kebutuhan Maslow bahwa dimensi manusia dipnegaruhi oleh lima tingkat kebutuhan yang digambarkan dalam bentuk segitiga lima tingkat kebutuhan yaitu kebutuhan aktualisasi diri kebutuhan harga diri kebutuhan rasa memiliki kebutuhan keamanan kebutuhan fisiologis
86
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar dan Amelia Nani Siregar. 2010. “Kualitas Pelayanan Penyuluh Pertanian dan Kepuasan Petani dalam Penanganan dan Pengolahan Hasil Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)”. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol. 5 No. 1, Mei. Ahmadi, A., dan Supriyono, W., 2004. Psikologi belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Andarwati, Siti, Budi Guntoro, F. Trisakti Haryadi dan Endang Sulastri. 2012. “Dinamika Kelompok Peternak Sapi Potong Binaan Universitas Gadjah Mada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jurnal Sains Peternakan. Vol.1(1) : 39 – 46, Maret. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidkan Islam. Kementrian Agama. Arliani, Elly. 2012. “Mengembangkan Sikap Saling Menghargai melalui Pembelajaran Matematika : Upaya Memperbaiki Karakter Bangsa”. Prosisding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematik FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. November. Azzaini, Jamil. 2013. ON. Co – Writer: Sofie Beatrix. Bandung: PT Mizan Pustaka. Baba, Syahdar. 2008. “Rekayasa Teknologi Biogas untuk diadopsi Peternak Sapi Potong di Sulawesi Selatan”. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Ban, van den ben, A.W. dan H.S. Hawkins. 2010. Penyuluhan Pertanian Cet. ke-12 diterjemahkan oleh Agnes Dwina Herdiasti. Kanisius: Yogyakarta. Bani, Suddin. 2012. “Objek Evaluasi Pendidikan”. Lentera Pendidikan. 5 (2) :231 – 239. Desember. Cervone, Daniel dan Lawrence A. Pervin. 2012. Kepribadian : Teori dan Penelitian Edisi 10 Buku ke-2. Penerjemah Aliya Tusyani, Evelyn Ridha Manulu, Lala S.S, Petty G.G, Putri N.S. Jakarta : Salemba Humanika.
87
Eryanto, Henry dan Darma Rika. Pendidikan Orang Tua dan Prestasi Akademik pada Universitas Negeri Jakarta. 1(1) : 39 – 61. Maret.
2013. Pengaruh Modal Budaya, Tingkat Tingkat Pendapatan Orang Tua terhadap Mahapeserta didik Fakultas Ekonomi Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian Edisi ke-7 Buku 2. Penerjemah Smitha Prathita Sjahputri. Jakarta : Salemba Humanika Feldman, Robert S. 2012. Pengantar Psikologi edisi ke-10 buku ke-1. Penerjemah Petty Gina Gayatri dan Putri Nurdina Sofyan. Jakarta: Salemba Humanika. Feldman, Robert S. 2012. Pengantar Psikologi edisi ke-10 buku ke-2. Penerjemah Petty Gina Gayatri dan Putri Nurdina Sofyan. Jakarta: Salemba Humanika. Giblin, Les. 2004. Skill with People. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gross, Richard. 2014. Psychology : The Science of Mind and Behaviour 6th Edition. London : Hodder Education. Hughes, Richard, Robert C. Ginnett, dan Gordon J. Curphy. 2012. Leadership:Memperkaya Pelajaran dari Pengalaman edisi 7 diterjemahkan oleh Putri Iva Izzati. Jakarta: Salemba Humanika. Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2004. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Malang : Banyumedia Publishing. Kemetrian Pertanian. 2012. “Buku II: Kelompok Tani sebagai Wahana Kerjasama”. Materi Penyuluhan Pertanian dan Penguatan Kelembagaan Petani. Pusat Penyuluhan dan Pertanian. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. King, Laura A., .2010. Psikologi Umum : Sebuah Pandang Apresiatif, Buku 1. Penerjemah: Brian Marwensdy. Jakarta : Salemba Humanika. King, Laura A.,. 2010. Psikologi Umum : Sebuah Pandang Apresiatif, Buku 2. Penerjemah: Brian Marwensdy. Jakarta : Salemba Humanika.
88
Leilani, Ani Dan OD. Subhakti Hasan. 2006. “Analisis Dinamika Kelompok Pada Kelompok Tani Mekar Sari Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogorjurnal Penyuluhan Pertanian”. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol. 1(1) : 18 – 27. Lepper, M. R., Corpus, J. H., & Iyengar, S. S. 2005. Intristic and Extrinsic Motivational Orientations in The Classroom: Age Differences and Academic Correlates. Journal of Educational Psychology, 97, 184 -196. Muchlas, M. 2005. Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Mulyatiningsih, Endang. 2010. Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan. Diklat Peningkatan Kompentensi Pengawas dalam Rangka Penjaminan Mutu Pendidikan. Bojongsari, Depok: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jawa Barat. Musyafak, Akhmad dan Tatang M Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 3 (1): 20 – 37. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian: Kalimantan Barat, Maret. Poniman, Farid. 2011. STIFIn Personality : Mengenali Mesin Kecerdasan Anda. Bekasi : Griya STIFIn Lt.2 Purba, Debora Elfina dan Ali Nina Liche Seniati. 2004. “Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior”. Makara, Sosial Humaniora. Vol.8, No.3 : 105 – 111, Desember. Reed, Stephen K. 2011. Kognisi Teori dan Aplikasi Edisi ke-7. Penerjemah Aliya Tusyani. Jakarta: Salemba Humanika. Hal: 101. Rivai, Veithzal dan Arvian Arifin. 2009. Islamic Leadership: membangun Superleadership melalui Kecerdasan Spiritual. PT Bumi Aksara: Jakarta. Ruvendi, Ramlan. 2005. “Imbalan Dan Gaya Kepemimpinan Pengaruhnya Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Di Balai Besar Industri Hasil Pertanian Bogor”.Jurnal Ilmiah Binaniaga. Vol 1 (1) : 17 – 26. Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta : Bumi Aksara.
89
Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 1. Penerbit Kanisius : Yogyakarta. Siagian, Roida Eva Flora. 2010. “Pengaruh Minat dan Kebiasaan Belajar Peserta didik terhadap Prestasi Belajar Matematika”. Jurnal Formatif 2(2) : 122 - 131 Sinaga, Asmina Herawaty. 2004. “Peranan Waktu dalam Adopsi Teknologi pada Kegiatan Penyuluhan Pertanian”. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. Vol. 2(1) : 29 – 32. April. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Sudjana, S. HD. 2004. Pendidikan Non Formal, Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Azas. Penerbit Falah Production: Bandung dalam Syamsi, Ibnu. 2010. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Pemberdaya dalam Masyarakat. Sumarno, Muhammad. 2010. “Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Pengusaha Sentra Industri Kecil Kerajinan Gerabah Asongan Kabupaten Sentul”. Jurnal Manajemen dan Kewiraushaan. Vol. 12(1) : 1 – 10. Maret. Fakultas Teknik dan Pascasarjana. Universitas Negeri Medan. Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran: Yogyakarta. Taylor, R., 2011. Kiat-kiat Pede untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri. : Jakarta. penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Tika, Moh. Pabundu. 2010. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Cetakan ke-3 Jakarta : PT Bumi Aksara. Wahyuni, Sri. 2014. “Hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahapeserta didik psikologi”. eJournal Psikologi. 2 (1) : 50 – 64. Yetti, Rivda. 2009. “Pengaruh Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat Membaca Anak Ditinjau dari Pendekatan Stres Lingkungan”. PEDADOGI : Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan. IX (1) : 17 – 28. April.