KATA PENGANTAR
Sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakasih atas kesehatan yang Ia berikan, buat udara yang Ia sediakan tanpa batas. Kemudian sangat bersyukur juga dengan kesempatan yang masih Dia berikan, bisa lebih mendalami kasih-Nya yang luar biasa. Saya berterimakasih kepada sahabat-sahabat, pembimbing rohani saya: Pak Budiman Then, yang memberikan referensi mengenai Conflict Reconciliation yang sangat membantu saya secara pribadi dalam mengatasi, mengelola, mengampuni orang lain. Mengajarkan bagaimana menjadi pribadi yang lebih bijak dan efektif. Juga buku karangan Joseph A. DeVito membantu saya mengenai manajemen konflik yang tidak efektif dan yang efektif itu seperti apa (Komunikasi Antarmanusia: halaman 299-309). Yang Anda pegang saat ini adalah makalah tentang Manajemen Konflik – sebuah tugas dari matakuliah Interpersonal Skill yang diampu oleh Ibu Nita Rimayanti, M.Comm. di dalam makalah ini, membahas mulai dari defenisi konflik, tipe-tipe konflik, macam-macam gaya dalam mengelola konflik, empat kuadran dalam mengelola konflik, juga membahas bagaimana konflik yang efektif/produktif dan yang tidak efektif. Menyadari masih banyak yang harus diperbaiki dalam penulisan dan penyusuan makalah ini, untuk itu saran yang membangun dari dosen pengampu matakuliah maupun bagi umum yang membaca makalah ini sangat dibutuhkan untuk penulisan yang lebih baik ke depannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Selamat membaca. Terimakasih.
Penulis dan Penyusun, Bei Zi Sokhi
DAFTAR ISI HALAMAN DEPAN ................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii BAB I – PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2.
Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3.
Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
1.4.
Manfaat Penulisan ................................................................................. 2
BAB II – PEMBAHASAN ............................................................................................ 4 2.1. Defenisi Konflik .......................................................................................... 4 2.2. Proses Terjadinya Konflik ........................................................................... 4 2.2.1. Antecedent Condition ........................................................................... 5 2.2.2. Perceived Conflict ................................................................................. 5 2.2.3. Felt Conflict ........................................................................................ 5 2.2.4. Manifest Conflict ................................................................................. 6 2.2.5. Conflict Resolution and Suppression ........................................................ 6 2.2.6. Conflict Alternatif ................................................................................ 6 2.3. Tipe Konflik ............................................................................................... 7 2.3.1. Tipe Desktruktif ................................................................................ 7 2.3.2. Tipe Konstruktif ................................................................................. 7 2.4. Pengelolaan Konflik (Conflict Management) ................................................... 8
2.4.1. Gaya dalam Mengelola Konflik .......................................................... 8 2.4.2. Empat Kuadran dalam Memanajemen Konflik .................................. 9 2.4.2.1. Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi) ........................................... 9 2.4.2.2. Kuadran Menang-Kalah (Persaingan) ............................................. 10 2.4.2.3. Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi) .................................... 10 2.4.2.4. Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik) ................................... 10 2.5. Faktor yang Memengaruhi Manajemen Konflik ........................................... 11 2.6. Manajemen Konflik yang Tidak Produktif .................................................. 13 2.6.1. Penghindaran, Non-negosiasi, Redefenisi .......................................... 13 2.6.2. Pemaksaan ........................................................................................ 14 2.6.3. Minimasi .......................................................................................... 14 2.6.4. Menyalahkan ..................................................................................... 14 2.6.5. Peredam ............................................................................................ 15 2.6.6. Karung goni ....................................................................................... 15 2.7. Manajemen Konflik yang Efektif ................................................................. 15 2.7.1. Berkelahi secara sportif....................................................................... 15 2.7.2. bertengkar secara aktif ........................................................................ 15 2.7.3. Bertanggung Jawab atas Pikiran dan Perasaan Anda ........................... 16 2.7.4. Langsung dan Spesifik........................................................................ 16 BAB III – KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 17 3.1. Kesimpulan................................................................................................. 17 3.2. Saran .......................................................................................................... 18 REFERENSI ................................................................................................................. 19
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Konflik tidak pernah lepas dari kehidupan kita sebagai manusia. Karena konflik juga merupakan bukti bahwa kita masih hidup di dunia ini. Hidup kita terus berubah dan hal ini juga yang kadang menjadi tempat untuk tumbuhnya konflik. Ya, perubahan. Timbulnya suatu konflik tentu saja dapat memengaruhi kehidupan seseorang secara psikologis. Adapun faktor-faktor yang menimbulkan konflik adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti: kemarahan, ketakutan, kejengkelan, perasaan bersalah, perasaan terluka hatinya, penyesalan, kecemasan, trauma, dan sebagainya. Hurlock (1980:212-213) menjelaskan bahwa meningginya emosi itu disebabkan karena adanya tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Sebagai makhluk sosial kita tidak dapat hidup sendiri, artinya kita membutuhkan orang lain. Keadaan inilah yang harus dimanfaatkan oleh kita, bagaimana kita bisa berinteraksi dengan orang lain tanpa harus menimbulkan sebuah konflik. Konflik paling sering terjadi ketika, pendapat kita tidak diterima, atau terjadinya
interupsi
ketika
kita
menyampaikan
pendapat
kita.
Adanya
kesalahpahaman antar komunikan dan komunikator. Ketidakadilan yang diterima, omong-kosong, dan lain sebagainya. Beberapa kasus diatas bisa ditemukan di rumah, di tempat kerja, di kampus, bahkan di lingkungan masyarakat dan tidak menutup kemungkinan di dalam komunitas atau organisasi keagamaan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perlunya suatu manajemen konflik untuk memperlengkapi setiap kita untuk menjadi manusia yang lebih efektif. Untuk itu, dalam makalah ini, akan membahas defenisi dari konflik beserta dengan cara manajemen konfliknya. Juga akan membahas apa saja macammacam konflik, penyebab timbulnya konflik, dan sebagainya.
1.2.
Rumusan Masalah Seperti yang sudah diuraikan pada latar belakang, memahami dan memanjemen suatu konflik sangat penting untuk sukses dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Sebuah keterampilan melangsungkan dan menyelamatkan hidup. Wall dan Callister (1995:551) pernah mengemukakan bahwa “At the interpersonal level an individual comes into conflict with others. As the name suggests, intergroup conflict is conflict between or among groups. Interorganizational conflict between or among organizations.” Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah: 1. Bagaimana deskripsi konflik? 2. Bagaimana proses terciptanya suatu konflik, baik antar pribadi, kelompok maupun sosial? 3. Bagaimana deskripsi mengenai tipe-tipe konflik yang bersifat membangun dan yang menghancurkan? 4. Bagaimana cara dan upaya memanajemen suatu konflik?
1.3.
Tujuan Penulisan Adapun tujuan khusus dalam penulisan makalah ini ialah: 1. Untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam apa itu konflik. 2. Untuk memahami sebenarnya konflik itu tidak selalu berakhir menghancurkan. 3. Untuk memahami apa saja cara untuk mengatasai suatu konflik. 4. Untuk memaksimalkan keahlian dalam bersosial.
1.4.
Manfaat Penulisan Tentu saja kami berekspektasi adanya manfaat dari penulisan makalah ini, adapun harapan kami ialah: 1. Bagi mahasiswa/i
Untuk lebih memahami konflik, tipe konflik, cara penyelesaian konflik, sehingga menjadi mahasiswa yang lebih efektif dan memiliki keahlian yang baik dalam memanajemen suatu konflik. Bukan hanya pada lingkungan kampus, masyarakat dan lingkungan kerja juga pada lingkungan keluarga. 2. Bagi umum Makalah ini tentu saja bukan hanya kami khususkan untuk mahasiswa, kami juga berharap dengan adanya makalah kami ini dapat membantu orang lain: masyarakat umum. Menjadi referensi untuk
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Defenisi konflik Konflik didefinisikan sebagai suatu proses interaksi sosial dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka. (Cummings, PW 1986:41). Tidak berbeda dengan pendapat di atas, Alisjahbana, ST (1986:139), mengartikan konflik adalah perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai nilai yang sama. Banyak sekali yang mendefenisikan apa itu konflik yang sebenarnya pada intinya adalah sama. Seperti Folger Et Al menyebutkan bahwa konflik sebagai interaksi orang saling tergantung yang merasakan ketidakcocokan dan kemungkinan gangguan dari orang lain sebagai akibat dari ketidakcocokan ini. Orang sering menganggap bahwa konflik itu sesuatu yang negatif, berbahaya, atau sesuatu yang harus dihindari. Namun sesungguhnya konflik itu tidak demikian. Konflik itu bersifat netral. Seperti yang di kemukakan oleh Nicocetra (1997), bahwa bagaimanapun, konflik itu sendiri netral. Cara orang mengelola konflik, sebaliknya, adalah indikasi dari kemungkinan hasilnya. Konflik dapat timbul pada berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri individu, antar individu, kelompok, organisasi, maupun negara. Pendapat Deutch yang dikutip oleh Pernt dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan bahwa proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik disebut dengan pengelolaan konflik atau bisa disebut dengan manajemen konflik. Yang akan dibahas pada poin-poin berikutnya.
2.2.
Proses Terjadinya Konflik Konflik merupakan proses yang dinamis, bukannya kondisi statis. Konflik memiliki awal, dan melalui banyak tahap sebelum berakhir. Ada banyak pendekatan yang baik untuk menggambarkan proses suatu konflik antara lain menurut Luthans (2006:140) sebagai berikut:
2.2.1. Antecedent Condition Merupakan kondisi yang berpotensi untuk menyebabkan, atau mengawali sebuah episode konflik. Terkadang tindakan agresip dapat mengawali proses konflik. Atecedent conditions dapat tidak terlihat, tidak begitu jelas di permukaan. Perlu diingat bahwa kondisi-kondisi ini belum tentu mengawali proses suatu konflik. Sebagai contoh, tekanan yang didapat departemen produksi suatu perusahaan untuk menekan biaya bisa menjadi sumber frustasi ketika manager penjualan ingin agar produksi ditingkatkan untuk memenuhi permintaan pasar yang mendesak. Namun demikian, konflik belum tentu muncul karena kedua belah pihak tidak berkeras memenuhi keinginannya masing-masing. Disinilah dikatakan konflik bersifat laten, yaitu berpotensi untuk muncul, tapi dalam kenyataannya tidak terjadi. 2.2.2. Perceived Conflict Agar konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka dalam keadaan terancam dalam batas-batas tertentu. Tanpa rasa terancam ini, salah satu pihak dapat saja melakukan sesuatu yang berakibat negatif bagi pihak lain, namun tidak disadari sebagai ancaman. Seperti dalam kasus dia atas, bila manager penjualan dan manager produksi memiliki kebijaksanaan bersama dalam mengatasi masalah permintaan pasar yang mendesak, bukanya konflik yang akan muncul melainkan kerjasama yang baik. Tetapi jika perilaku keduanya menimbulkan perselisihan, proses konflik itu akan cenderung berlanjut. 2.2.3. Felt Conflict Persepsi berkaitan erat dengan perasaan. Karena itulah jika orang merasakan adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial, ketegangan, frustasi, rasa marah, rasa takut, maupun kegusaran akan bertambah. Di sinilah mulai diragukannya kepercayaan terhadap pihak lain, sehingga segala sesuatu dianggap sebagai ancaman, dan orang mulai berpikir bagaimana untuk mengatasi situasi dan ancaman tersebut. 2.2.4. Manifest Conflict
Persepsi dan perasaan menyebabkan orang untuk bereaksi terhadap situasi tersebut. Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada tahap ini adalah berbagai argumentasi, tindakan agresif, atau bahkan munculnya niat baik yang menghasilkan penyelesaian masalah yang konstruktif. 2.2.5. Conflict Resolution or Suppression Conflict resolution atau hasil suatu konflik dapat muncul dalam berbagai cara. Kedua belah pihak mungkin mencapai persetujuan yang mengakhiri konflik tersebut. Mereka bahkan mungkin mulai mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya konflik di masa yang akan datang. Tetapi terkadang terjadi pengacuan (suppression) dari konflik itu sendiri. Hal ini terjadi jika kedua belah pihak menghindari terjadintya reaksi yang keras, atau mencoba mengacuhkan begitu saja ketika terjadi perselisihan. Konflik juga dapat dikatakan selesai jika satu pihak berhasil mengalahkan pihak yang lain. 2.2.6. Conflict Alternatif Ketika konflik terselesaikan, tetap ada perasaan yang tertinggal. Terkadang perasaan lega dan harmoni yang terjadi, seperti ketika kebijaksanaan baru yang dihasilkan dapat menjernihkan persoalan di antara kedua belah pihak dan dapat meminimasik konflik-konflik yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Tetapi jika yang tertinggal adalah perasaan tidak enak dan ketidakpuasan, hal ini dapat menjadi kondisi yang potensial untuk episode konflik yang selanjutnya. Pertanyaan kunci adalah apakah pihak-pihak yang terlibat lebih dapat bekerjasama, atau malah semakin jauh akibat terjadinya konflik.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar lain sebagai berikut: Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi. Komunikasi yang gagal membuat isi berita atas pesan tidak lengkap dan tidak jelas, lengkap dan jelas tetapi tidak sampai pada si penerima dengan baik dan
tepat pada waktunya, sampai dengan baik dan tepat pada waktunya tetapi tidak diterima dan ditangkap utuh. Perbedaan tujuan karena perbedaan nilai hidup yang dipegang. Tindakan dan langkah-langkah yang diambil berbeda; cara penyampaian pendapat dan irama penyampaian berbeda; hal ini juga menyebabkan kurangnya kerjasama. Adanya persaingan yang tidak sehat. Tidak menaati aturan yang ada – adanya usaha untuk menguasai atau untuk merugikan orang lain dengan melakukan perlawanan, barangkali ingin menjatuhkan orang lain karena pendapatnya tidak di terima. Pelecehan pribadi (bisa dengan perkataan) maupun kedudukan. Beberapa hal tersebut diatas merupakan faktor-faktor penyebab konflik, pada poin berikutnya akan membahas bagaimana manajemen konflik sesuai tipe-tipe konflik yang ada. 2.3.
Tipe Konflik 2.3.1. Tipe Desktruktif Ini merupakan tipe konflik yang negative atau menghancurkan. Biasanya adanya usaha ekspansi yang meninggi di atas isu awalnya atau bisa di katakan indivudi cenderung menyalahkan. Konflik yang terjadi bisa menimbulkan kerugian antara individu-individu yang terlibat di dalam konflik tersebut. Ada banyak keadaan di mana konflik menyebabkan orang yang mengalaminya mengalami goncangan (jiwa). Bisa juga seperti perasaan cemas/tegang (stres) yang tidak perlu atau yang mencekam. Komunikasi yang menyusut. Persaingan yang semakin meningkat. 2.3.2. Tipe Konstruktif Ini adalah tipe konflik yang positif atau yang membangun. Tipe ini merupakan bentuk penanganan konflik yang cenderung melakukan negosiasi sehingga terjadi satu tawar menawar yang menguntungkan serta tetap mempertahankan interaksi sosialnya. Selain itu dapat pula menggunakan bentuk lain yang disebut reasoning yaitu sudah
dapat berpikir secara logis dalam penyelesaian masalah. Konflik ini berkebalikan dengan konflik destruktif karena konflik konstruktif justru menyebabkan timbulnya keuntungan-keuntungan dan bukan kerugian-kerugian bagi individu atau organisasi yang terlibat di dalamnya. 2.4.
Pengelolaan Konflik (Conflict Management) Pengelolaan konflik bertujuan untuk mengembangkan dan memberikan serangkaian pendekatan, alternatif untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat (Fisher, 2000). Menurut Johnson setiap orang memiliki Relegiusitas masing-masing dalam mengelola konflik. Relegiusitas-Relegiusitas ini merupakan hasil belajar, biasanya dimulai dari masa kanak-kanak dan berlanjut hingga remaja (Supratiknya, 1995). 2.4.1. Gaya dalam Mengelola Konflik Berdasarkan dua pertimbangan di atas, Johnson mengemukakan 5 gaya dalam mengelola konflik, yaitu : Gaya kura-kura Seperti halnya kura-kura yang lebih senang menarik diri untuk bersembunyi di balik tempurungnya, maka begitulah orang yang mengalami konflik dan menyelesaikannya dengan cara menghindar dari pokok persoalan maupun dan orang-orang yang dapat menimbulkan masalah. Orang yang menggunakan gaya ini percaya bahwa setiap usaha memecahkan konflik hanya akan sia-sia. Lebih mudah menarik diri dari konflik, secara fisik maupun psikologis, daripada menghadapinya. Gaya ikan hiu Menyelesaikan masalah dengan gaya ini adalah menaklukkan lawan dengan cara menerima solusi konflik yang ditawarkan. Bagi individu yang menggunakan cara ini, tujuan pribadi adalah yang utama, sedangkan hubungan dengan pihak lain tidak begitu penting. Konflik harus dipecahkan dengan cara satu pihak
menang dan pihak lain kalah. MencaSpiritual kemenangan dengan cara menyerang, mengungguli, dan mengancam. Gaya kancil Pada gaya ini, hubungannya sangat diutamakan dan kepentingan pribadi menjadi kurang penting. Penyelesaian konflik menggunakan cara ini adalah dengan menghindari masalah demi kerukunan. Gaya rubah Gaya ini lebih menekankan pada kompromi untuk mencaSpiritual tujuan pribadi dan hubungan baik dengan pihak lain yang sama-sama penting. Gaya burung hantu Gaya
ini
sangat
mengutamakan
tujuan-tujuan
pribadi
sekaligus
hubungannya dengan pihak lain, bagi orang-orang yang menggunakan gaya ini untuk menyelesaikan konflik menganggap bahwa konflik adalah masalah yang harus dicari pemecahannya yang mana harus sejalan dengan tujuan pribadi maupun tujuan lawan. Gaya ini menunjukkan bahwa konflik bermanfaat meningkatkan hubungan dengan cara mengurangi ketegangan yang terjadi antar dua pihak yang bertikai. 2.4.2. Empat Kuadran dalam Manajemen Konflik 2.4.2.1. Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi) Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh. Secara sederhana proses
ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut. 2.4.2.2. Kuadran Menang-Kalah (Persaingan) Kuadran kedua ini memastikan bahwa ada pihak yang memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya menggunakan kekuasaan atau pengaruh untuk mencaSpiritual kemenangan. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas. 2.4.2.3. Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi) Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kalahmenang ini berarti ada pihak berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. 2.4.2.4. Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik) Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Cara ini sebenarnya hanya bisa dilakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting.
Pada dasarnya klasifikasi manajemen konflik yang telah dikemukakan berdekatan maknanya satu sama lain, hanya saja masing-masing ahli mempunyai perspektif pendekatan dan istilah yang berbeda. Setelah memperhatikan klasifikasi manajemen konflik di atas, maka penelitian ini akan menggunakan klasifikasi manajemen konflik dari Gottman dan Korkoff (Mardianto, 2000) dengan pertimbangan bahwa klasifikasi dari kedua ahli tersebut mewakili berbagai macam manajemen konflik yang ada dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti yaitu: 1) Positive problem solving terdiri dari kompromi dan negosiasi. Kompromi adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat mengurangi tuntutannya agar tercaSpiritual suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. 2) Conflict engagement (menyerang dan lepas control). Manajemen konflik ini lebih bersifat mengontrol dan tidak menyerang lawan dalam proses penyelesaian konflik tetapi lebih-lebih dengan cara yang bersifat perdamaian tanpa menyerang lawan yang berkonflik. 3) Withdrawal (menarik diri). Pada manajemen konflik ini penyelesaian konflik, pihak yang berkonflik tidak menarik diri dari konflik yang dialami dan tidak menggunakan mekanisme pertahan diri, tetapi lebih berusaha menampilkan diri untuk terus mempertahankan diri guna meyelesaikan konflik yang terjadi. 4) Compliance (menyerah). Manajemen konflik ini penyelesaian konflik lebih bersifat tidak menyerah dan berusaha terus dalam penyelesai konflik yang terjadi. 2.5.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Manajemen Konflik Pandangan
psikologi,
setiap
perilaku
merupakan
interaksi
antara
kecenderungan di dalam diri individu (internal) dan kondisi eksternal. Cara individu bertingkah laku dalam menghadapi konflik dengan orang lain akan ditentukan oleh seberapa penting tujuan-tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain yang dirasakan sehingga ada dua hal yang menjadi pertimbangan dalam penyelesaian masalah, yaitu :
Tujuan atau kepentingan pribadi yang dirasa sebagai hal yang sangat penting sehingga harus dipertahankan atau tidak penting sehingga bisa dikorbankan. Hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan dengan pihak lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama sekali tidak penting. Menurut
Boardman
dan
Horowitz
(Mardianto,
2000),
karakteristik
kepribadian berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik individu. Karakteristik yang berpengaruh adalah kecenderungan agresif, kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif atau kompetitif, kemampuan berempati dan kemampuan menemukan alternatif penyelesaian konflik. Boardman dan Horowitz juga mengatakan bahwa faktor jenis kelamin dan sikap etnosentrik sangat berpengaruh pada proses penyelesaian dan akhir konflik. Sikap etnosentrik adalah cara pandang yang menggunakan norma kelompok sebagai tolak ukur dalam memandang segala sesuatu serta mengukur atau menilai orang lain. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadi proses pemecahan masalah yang produktif dalam interaksi antar individu dalam kelompok yang berbeda. Selain itu kemampuan manajemen konflik juga banyak didukung oleh karakteristik-karakteristik seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak memecahkan masalah secara sepihak. Manajemen konflik disebut konstruktif bila dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut kelangsungan hubungan antara pihakpihak yang berkonflik masih terjaga dan masih berinteraksi secara harmonis. Dister (1988) menjelaskan lebih dalam mengenai keutamaan agama sebagai pendidikan dan pegangan hidup bermasyarakat. Fungsi agama tersebut merupakan wujud kecerdasan Spiritual individu yang berkaitan langsung dengan moral dan nilai sosial individu. Selanjutnya dikatakan bahwa nilai-nilai moral manusia berupa keadilan, kejujuran, keteguhan hati dimiliki tiap-tiap individu dan interaksi dengan Tuhan akan menuntut manusia untuk menerapkan nilai-nilai yang benar. Hal ini berlaku pada saat individu melakukan interaksi dengan sesama manusia.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar maka faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen konflik adalah faktor eksternal yang meliputi pendidikan dalam keluarga, lingkungan rumah dan sekolah, dan solidaritas kelompok, sedangkan faktor internal meliputi ketidakmampuan adaptasi yang menimbulkan tekanan sehingga mudah frustasi konflik batin, tidak peka pada perasaan orang lain dan emosi yang labil. 2.6.
Manajemen Konflik yang Tidak Produktif Manfaat utama dalam membahas metode-metode yang tidak efektif ini adalah memungkinkan kita mengidentifikasi mereka dalam perilaku orang lain dan juga dalam perilaku kita sendiri. Jika kita telah mengidentifikasi metode-metode ini, kita dapat berusaha mengurangi mereka dalam komunikasi yang kita lakukan. 2.6.1. Penghindaran, Non-negosiasi, dan Redefenisi. Salah satu reaksi terhadap konflik yang paling sering dilakukan adalah penghindaran (avoidance). Sering ini dijumpai dalam bentuk pelarian fisik. Orang mungkin meninggalkan tempat konflik, tidur, atau menyetel radio keras-keras. Reaksi ini dapat pula berbentuk penghindaran emosional dan intelektual. Disini orang meninggalkan konflik secara psikologis dengan tidak menanggapi argumen atau masalah yang dikemukakan. Dalam non-negosiasi – jenis ini khusus penghindaran, seseorang tidak mau mendiskusikan atau mendengarkan argumen pihak lain. Kadang-kadang nonnegosiasi ini dilakukan dalam bentuk memaksakan pendapatnya sampai pihak lain menyerah. Ini adalah teknik yang dinamakan “Streamrolling”(bulldoser). Adakalanya konflik atau sumber yang dituduh sebagai penyebab konflik diredefenisi sedemikian rupa sehingga seakan-akan sama sekali tidak ada konflik, seperti bila orang berkata, “Ini bukan kencan – hanya perjalanan bisnis yang kita lakukan bersama.” Kali lain, konflik mungkin diredefenisi sehingga menjadi masalah yang sama sekali berbeda, seperti bila seseorang berkata, “Kecemburuanmu berlebihan. Sebaiknya kamu berkonsultasi ke psikiater. Saya tidak sanggup menghadapi kecemburuanmu setiap hari.”
Perhatikanlah bahwa dengan perilaku-perilaku seperti ini, sumber konflik tidak pernah di hadapi. Ia hanya di kesampingkan. Suatu saat konflik ini akan muncul kembali. 2.6.2. Pemaksaan Barangkali metode paling tidak produktif untuk menangani konflik adalah pemaksaan fisik. Bila dihadapkan pada konflik, banyak orang berusaha memaksakan keputusan atau cara berpikir mereka dengan menggunakan pemaksaan atau kekuatan fisik. Ada pun, pemaksaan ini lebih bersifat emosional daripada fisik. Tetapi, apapun yang di lakukan, pokok masalahnya tetap tidak tersentuh. Pihak yang “menang” adalah pihak yang paling banyak menggunakan kekuatan. Ini adalah teknik yang digunakan oleh negara-negara atau pasangan suami istri yang sedang berperang. Juga teknik ini sering digunakan oleh para mahasiswa/i yang sedang berpacaran. 2.6.3. Minimasi Adakalanya kita mengatasi konflik dengan menganggapnya remeh. Kita mengatakan dan barangkali percaya, bahwa konflik, penyebabnya, dan akibatnya sama sekali tidak penting. Kita menggunakan minimasi bila kita menganggap enteng perasaan orang lain. Seperti halnya, “Mengapa kamu marah? Saya hanya terlambat dua jam. Dengan melakukan ini kita sama halnya mengatakan bahwa tindakan orang lain tersebut tidak pantas. 2.6.4. Menyalahkan Paling sering konflik disebabkan oleh banyak macam faktor sehingga setiap upaya untuk hanya memecahkan satu atau dua di antaranya akan berakhir dengan kegagalan. Meskipun demikian, seringkali orang menerapkan strategi bertengkar yang di sebut menyalahkan orang lain. Dalam beberapa kasus kita menyalahkan diri kita sendiri. Namun, lebih sering kita menyalahkan orang lain. Ini merupakan hal tidak efektif dalam mengelola konflik.
2.6.5. Peredam Peredam mencakup beragam teknik bertengkar yang secara harfiah membungkam pihak lain. Salah satunya adalah dengan menangis. Ini hal paling sering di alami oleh wanita, ketika menghadapi suatu konflik yang begitu complicated dan tidak tahu bagaimana lagi cara mengatasinya, mereka cenderung menangis. Hal lain yang terjadi dan mungkin juga dilakukan adalah dengan meluapkan emosi secara berlebihan: teriak-teriak, menjerit, yang sebenarnya sama sekali tidak membuat konflik menjadi selesai. 2.6.6. Karung goni Hal ini merupakan hal yang sangat berbahaya. Mengapa? Karena ini mengacu pada tindakan menimbun kekecewaan dan kemudian menumpahkannya pada lawan bertengkar. 2.7.
Manajemen Konflik yang Efektif Menurut George Bach dan Peter Wyden dalam buku nya yang berjudul Intimate Enemy (1968), ada beberapa pedoman untuk mengelola konflik menjadi lebih produktif. 2.7.1. Berkelahi secara sportif Kita perlu memahami orang lain. Seperti, dengan melakukan hal ini apakah si A akan baik-baik saja? Atau dengan berkata hal ini dia tidak akan tersinggung? Dengan demikian kita menjadi seorang yang lebih melihat reaksi orang lain ketika kita hendak mengeluarkan tindakan atau kata-kata. Jangan melewati batas-batas – seperti mencela orang tua, atau pekerjaan orang tua orang lain. 2.7.2. Bertengkar secara aktif Maksudnya adalah saat kita menghadapi konflik, kita harus aktif – bukan dengan menutup telinga (atau ogah mendengar pertentangan yang sedang dihadapi). Atau dengan meninggalkan rumah. Masa pendinginan adakalanya baik dan bisa juga kurang efektif.
2.7.3. Bertanggung jawab atas pikiran dan perasaan Anda Maksdunya adalah ketika kita tidak setuju dengan pendapat orang lain – kita ungkapkan perasaan kita. Bicarakanlah. 2.7.4. Langsung dan Spesifik Ini sebenarnya sudah termasuk di dalam poin yang kedua, yaitu dimana kita harus fokus pada permasalahan yang terjadi – tidak melantur ke masalah-masalah yang lain. Seperti halnya, mengatakan ibunya, atau kejadian lain yang tidak ada hubungannya dengan masalah pada saat itu.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1.
Kesimpulan Konflik merupakan hal yang tidak bisa kita hindari, bukan hanya kepada orang lain –
kadang kala konflik terhadap diri kita sendiri pun bisa terjadi. Seperti yang sudah di jelaskan bahwa dengan adanya konflik atau masalah, hal itulah yang sebenarnya membuktikan bahwa kita masih berada di dunia yang fana ini. Konflik
memiliki
dua
tipe,
yang
pertama
yaitu,
tipe
desktruktif
atau
negatif/menghancurkan. Dimana konflik ini bila tidak diselesaikan akan menghancurkan sebuah hubungan antarpersonal, kelompok, maupun organisasi. Yang kedua adalah tipe konstruktif atau konflik positif/membangun. Ini berarti saat menghadapi konflik kita belajar memahami orang lain. Apa hal yang tidak ia sukai – kita menjadi mengerti. Dengan kita mengetahui apa yang oranglain tidak suka, kita akan lebih berhati-hati, dan hubungan kita menjadi lebih baik. Beberapa gaya dalam mengelola suatu konflik, menurut Jhonson. Pertama, gaya kurakura. Yaitu gaya seseorang menghindar atau menarik diri saat menghadapi konflik. Kedua, gaya ikan hiu. Gaya ini menekankan pada solusi yang ia miliki, bisa dibilang dengan kata lain egois atau ingin menguasai, menekan orang lain. Ketiga, gaya kancil. Gaya ini lebih mengutamakan pada hubungan yang baik – tidak pada ketegasan pendapat pribadi/tidak ngotot. Istilahnya, perbedaan pendapat itu tidak perlu di perdebatkan. Yang lebih penting hubungan tetap baik. Keempat, gaya rubah. Gaya ini menunjukan pentingnya kedua hal yaitu, pendapat “saya” dan hubungan “saya” dengan orang lain. Ini lebih kearah kompromi terhadap sesuatu. Yang kelima, gaya burung hantu. Gaya ini menunjukkan bahwa konflik bermanfaat meningkatkan hubungan dengan cara mengurangi ketegangan yang terjadi antar dua pihak yang bertikai. Pengelolaan konflik sangat perlu dalam sebuah hubungan antarpersonal, dalam kelompok maupun dalam organisasi. Ketika kita ingin menjadi pribadi yang efektif. Jadilah bijak dalam mengelola konflik.
3.2.
Saran Dalam kehidupan kita sebagai manusia, benar memang kita harus menjadi seorang
yang efektif di dalam kehidupan bersosial. Pengelolaan Konflik sangat diperlukan guna menghadapi situasi-situasi yang bisa saja membuat kita stres. Dari banyak kasus, di Jepang contohnya ketika mereka tidak memiliki pemahaman yang benar tentang hidup yang benar – mereka menyelesaikan hidup mereka dengan cara gantung diri. Atau bisa jadi ketika tidak mampu menyelesaikan masalah/konflik, bisa menjadi seorang pembunuh. Dalam mengatasi konflik, sesungguhnya kita perlu memahami banyak tentang orang lain. Namun, bagaimana dengan mereka yang baru kita temui? Hal ini tidak menjadi pembahasan. Mengapa kita harus memahami orang lain? Atau bagaimana caranya memahami orang lain? Seperti yang sudah dibahas pada presentasi-presentasi sebelumnya, mengenai pembukaan diri, menjadi pendengar yang baik, jujur-sportif-adil, dan sebagainya. Namun, ada hal yang pernah saya belajar ketika saya konsultasi kepada Pak Budiman Then, beliau seorang pemimpin jemaat, pengajar dan Konsultan Pernikahan di Gereja Kristus Di Indonesia, di Pekanbaru. Di sana saya belajar tentang Vulnerable serta mengetahui apa yang menjadi Life Trap dan Schema hidup seseorang. Dengan memahami Life Trap seseorang, kita akan lebih mudah mengatasi konflik dengan orang lain yang berkonflik dengan kita. Untuk, itu mungkin kedepannya – coba dibahas mengenai Vulnerable dan juga Schema: Life Trap. Semoga makalah ini membantu kita semua memahami bagaimana konflik itu tidak selalu berakhir buruk, apabila kita mampu mengelolanya dengan baik.
REFERENSI
A. DeVito, Joseph. 2011. Komunikasi Antarmanusia: Manajemen Konflik, p299-309. Drs. H. Ahmad, T. Manajemen Konflik. Mardianto, A. dkk. 2000. Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau Dari Status Keikutsertaan Dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam Di Universitas Gajah Mada. Jurnal Psikologi, No. 2 Miyarso, Estu. 2006. Manajemen Konflik Mahasiswa Sebagai Metode Pembelajaran Alternatif. Jurnal Penelitian. Muspawi, Mohamad. 2014. Manajemen Konflik (Upaya Penyelesaian Konflik dalam Organisasi). Jurnal Penelitian, Vol 16 No. 2 Robert D, Enright. 2015. Forgiveness Therapy: American Psyicological Association. Washington, DC. Wartini, Sri. 2015. Strategi Manajemen Konflik Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja Teamwork Tenaga Kependidikan. Jurnal Manajemen dan Organisasi, No. 1