RINGKASAN
Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) merupakan salah satu komoditas pangan yang mudah rusak (perishable) sehingga fleksibelitasnya dipasaran menjadi terbatas. Sifat perishable ini muncul karena sebagian besar komoditas buah- buahan memiliki kadar air yang tinggi yaitu sekitar 80-95%. Selain itu, sebagai bahan hidup belimbing masih tetap melakukan reaksi metabolik berupa respirasi, transpirasi, produksi etilen, dan lain sebagainya walaupun sudah terpisah dari tanaman induknya. Sifat fisiologis inilah yang akan mempengaruhi kualitas atau mutu buah belimbing. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang khusus agar kualitas buah belimbing tetap segar setelah dipanen.
Beberapa penelitian telah dilakukan agar kualitas buah belimbing tetap terjaga kesegarannya dan menghasilkan mutu buah yang berbeda-beda. Maghfiroh (2011) dalam skripsinya menggunakan suhu rendah untuk menekan laju respirasi namun tetap memperhatikan gejala chilling injury yang muncul. Sedangkan Rohaeti dkk. (2010) dalam jurnalnya menggunakan Vapor Heat Temperature dan suhu penyimpanan untuk menurunkan laju repirasi, efek chilling injury, susut bobot buah, kadar air dan mempertahankan TPT (Total Padatan Terlarut) pada buah belimbing. Berbeda dengan Trinuarsih dkk. (2013) dalam jurnalnya yang membahas tentang kombinasi perlakuan HWT dan perendaman CaCl2 dalam mempertahankan mutu buah berbentuk bintang ini.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman pangan hasil pertanian yang dihasilkan oleh negeri ini sangatlah melimpah ruah. Dengan berada di garis khatulistiwa dan termasuk negara beriklim tropis, Indonesia menjadi salah satu negara yang menghasilkan beraneka macam tanaman teruama untuk bahan pangan yang dikonsumsi secara langsung ataupun digunakan sebagai bahan tambahan. Sebelum dikonsumsi, semua jenis tanaman tidak terkecuali baik itu yang langsung dikonsumsi maupun yang tidak akan mengalami perubahan-perubahan seiring dengan bertambahnya umur simpan maupun perlakuan lain seperti luka mekanis tidak disengaja sehingga secara otomatis akan menurunkan kualitas komoditas hasil pertanian tersebut.
Beragamnya perubahan komoditas hasil pertanian disebabkan oleh adanya aktivitas intern dari buah atau sayur tersebut maupun kerusakan ekstern. Selain disebabkan karena sifat sayur atau buah yang perishable (mudah rusak), penanganan produk hortikultura setelah dipanen (pasca panen) sampai saat ini masih mejadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius, baik dikalangan petani, pedagang, maupun dikalangan konsumen sekalipun. Walau hasil yang diperoleh petani mencapai hasil yang maksimal tetapi apabila penanganan setelah dipanen tidak mendapat perhatian maka hasil tersebut segera akan mengalami penurunan mutu atau kualitasnya.
Hal inilah yang menjadi titik utama perhatian kita semua, bagaimana agar produk komoditas hasil pertanian yang telah dioptimalkan mencapai jumlah yang setinggi-tingginya dengan kualitas yang sebaik-baiknya serta dipertahankan kesegarannya atau kualitasnya selama mungkin. Kerusakan yang mempengaruhi produk pascapanen dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kebutuhan pasar dan pembeli, penanaman yang baik, pemanenan dan penanganan selama di lapang, pengemasan dan pengepakan, pengangkutan, penanganan pemasaran, perlakuan terhadap produk pascapanen, penyimapanan atau pendinginan, pengetahuan tentang mudah rusaknya produk pascapanen, penanggulangan hama dan penyakit, serta penjualan ke konsumen, pengepul, atau agen.
Buah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah buah belimbing. Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) telah dikenal dan banyak diminati oleh masyarakat luas karena rasanya segar dan harganya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dilihat dari nilai gizinya buah ini antara lain mengandung kalori 36 kal, vitamin A 171 SI dan 35 mg vitamin C, dari tiap 100 gram bagian buah yang dimakan (Tim Penulis PS,1995).
Masalah utama yang muncul setelah komoditas hasil pertanian itu dipanen adalah keadaan fisiologis bahan pangan tersebut. Respirasi dan transpirasi masih terjadi setelah komoditas hasil pertanian dipanen. Akibatnya, proses fisiologis yang dilakukan bahan akan menurunkan kualitas bahan dan meningkatkan resiko busuk dari bahan. Tidak terkecuali komoditas hasil pertanian berupa buah yang biasa dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga seperti belimbing. Dengan tekstur yang lembek di dalam, komoditas ini memang terkenal lebih cepat busuk seiring dengan respirasi dan aktivitas fisiologis lain yang mempengaruhinya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang apa saja pengaruh fisiologi pascapanen pada belimbing dan bagaimana solusi untuk mengatasi semua pengaruh tersebut agar kualitas belimbing tetap optimal.
TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sifat fisiologis pascapanen belimbing manis (Averrhoa carambola L.) terutama laju respirasinya dan apa solusi teknologi yang dapat diterapkan dalam mempertahankan mutu dan memperpanjang daya simpan belimbing.
STUDI PUSTAKA
Belimbing
Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari kawasan Indocina, Malaysia dan Indonesia. Kemudian menyebar luas ke berbagai negara yang beriklim tropis lainnya di dunia (Nakasone dan Paull 1998 dalam Maghfiroh 2011)
Belimbing dibedakan atas dua macam, yaitu belimbing manis (Averrhoa carambola L.) dan belimbing wuluh (Averhoa belimbi L.). Belimbing wuluh sering digunakan untuk bumbu masakan, terutama untuk memberi rasa asam pada masakan (DITBUAH 2004 dalam Maghfiroh 2011). Dalam sistematika tumbuhan, belimbing manis diklasifikasikan sebagai berikut
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Ordo : Oxalidales
Famili : Oxalidaceae
Genus : Averrhoa
Species : Averrhoa carambola L.
Fisiologis Pascapenen Belimbing
Perubahan fisiko kimia yang umumnya terjadi pada buah-buahan selama pematangan adalah laju respirasi, tekstur (kekerasan), warna, total padatan terlarut dan susut bobot.
Laju respirasi
Menurut Pantastico (1986), Laju respirasi merupakan indikasi yang baik untuk mengukur atau menduga umur simpan buah-buahan. Intensitas laju respirasi dianggap sebagai ukuran laju metabolisme sehingga dianggap sebagai petunjuk mengenai potensi daya simpan buah. Semakin tinggi laju respirasi, biasanya disertai dengan semakin pendek umur simpannya.
Laju respirasi ini akan berbeda bergantung pada jenis atau varietas buahnya dan tingkat kematangannya (Shiesh et al 1987 dalam Maghfiroh 2011). Laju respirasi buah belimbing seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Laju respirasi buah belimbing
No.
Temperatur
MgCO2/kg.h
1.
5oC
10 sampai 19
2.
10oC
15 sampai 29
3.
15oC
19 sampai 34
4.
20oC
37 sampai 92
Sumber: Shiesh et al 1987 dalam Maghfiroh 2011
Berdasarkan pola respirasinya, buah dibedakan atas 2 kelompok, yaitu klimakterik dan non klimakterik. Menurut Oslund dan Davenport (1981) belimbing termasuk golongan buah non-klimaterik, pola respirasi buah tersebut berbeda dengan buah-buahan klimaterik, karena setelah dipanen CO2 yang dihasilkan tidak terus meningkat tetapi terus menurun perlahan lahan, sehingga buah non klimaterik harus dipanen setelah matang dipohon dan untuk mendapat kualitas buah yang baik, buah dipanen setelah masak penuh. Kedua karakteristik ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik pola pertumbuhan dan laju respirasi buah-buahan (Wills et al 1982 dalam Maghfiroh 2011)
Tekstur (kekerasan)
Kekerasan buah tergantung pada turgor sel hidup, adanya jaringan utama dan jaringan penunjang dan sifat kohesi dari sel. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan karena komposisi dinding sel berubah, perubahan tersebut berpengaruh terhadap firmness dari buah, yang biasanya buah menjadi lunak apabila telah masak (Winarno dan Aman 1979 dalam Maghfiroh 2011)
Semakin lama buah disimpan akan membuat buah tersebut semakin lunak, karena protopektin yang tidak larut diubah menjadi pektin yang larut dan asam pektat (Winarno dan Aman 1979 dalam Maghfiroh 2011). Protopektin adalah bentuk zat pekat yang tidak larut dalam air. Pecahnya protopektin menjadi zat dengan bobot molekul rendah larut dalam air mengakibatkan lemahnya dinding sel dan turunnya kohesi yang mengikat sel satu dengan yang lain. Selain itu melunaknya buah selama pematangan juga disebabkan oleh aktivitas enzim poligalakturonase yang menguraikan protopektin dengan komponen utama poligalakturonat menjadi asam galakturonat (Pantastico 1986).
Warna
Perubahan warna sebagai salah satu indeks mutu pangan sering dipergunakan sebagai parameter untuk menilai mutu fisik produk pertanian. Selain itu warna dapat mempengaruhi daya tarik konsumen terhadap mutu produk. Selama penyimpanan kulit buah belimbing akan terlihat berpindah menuju nilai warna indeks kematangan yang lebih tinggi serta terus berlangsung sampai ke fase kerusakan. Penyimpanan pada suhu rendah menyebabkan proses fisiologis belimbing mengalami penurunan sehingga perubahan warna dapat dihambat, peningkatan suhu akan menyebabkan pembentukan pigmen sehingga menyebabkan perubahan warna menuju indeks selanjutnya akan semakin cepat (Yunika 2009 dalam Maghfiroh 2011).
Indeks warna kematangan belimbing ditujukkan pada gambar di bawah ini
Sumber:FAMA, 2005
Total Padatan Terlarut
Menurut Winarno dan Aman (1979) dalam Maghfiroh (2011), meskipun bayak jenis gula yang ada dalam buah dan sayuran, tetapi perubahan kandungan gula yang sesungguhnya hanya meliputi tiga macam gula, yaitu glukusa, fruktosa dan sukrosa. Oleh enzim invertase, sukrosa dapat dihidrolisa menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa dan fruktosa hasil pecahan dari sukrosa oleh enzim invertase disebut akarinvert yang mampunyai perbandinagan sama yaitu 1:1. Glukosa dan fruktosa merupakan gula pereduksi, sedangkan sukrosa karena tidak mempunyai gugusan yang dapat mereduksi disebut gula nonpereduksi. Apabila buah-buahan menjadi matang, maka kandungan gulanya meningkat, tetapi kandungan asamnya menurun. Akibatnya kandungan gula dan asam akan mengalami perubahan yang drastis. Keadaan ini berlaku pada buah-buahan klimaterik, sedangkan pada buah-buahan nonklimaterik perubahan tersebut umumnya tidak jelas.
Susut Bobot
Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan mutu buah belimbing. Susut bobot sebagian besar terjadi karena proses respirasi dan transpirasi. Kehilangan air atau transpirasi dapat menjadi penyebab utama deteriorasi karena berpengaruh langsung pada kehilangan kuantitatif (bobot). Menurut Pantastico (1986), buah-buahan dan sayuran mengandung 85-90 persen air, setelah pemanenan akan mengalami kehilangan air. Kehilangan air dari hasil segar mengakibatkan hasil menjadi layu, liat dan tidak mempunyai rasa serta bau yang menarik. Kehilangan air 5-10 persen berat semula melalui transpirasi dianggap tidak laku untuk dijual. Kehilangan air bukan hanya mengurangi bobot, tetapi juga menyebabkan penampakan buah menjadi kurang menarik, tekstur jelek dan mutu menurun.
PEMBAHASAN
Belimbing merupakan buah yang berpotensi ekonomi cukup tinggi dalam perdagangan buah dunia. Hal ini terlihat dari perkembangan impor buah-buahan tropis segar dan kering oleh berbagai negara di dunia cenderung meningkat. Penerapan aspek teknologi sangat penting untuk mendapatkan hasil belimbing yang sesuai dengan standar mutu yang diinginkan pasar. Penerapan aspek teknologi ini sangat kompleks, mulai dari prapanen hingga pasca panen. Pada proses pasca panen belimbing perlu penanganan lebih lanjut, terutama bila jumlahnya melimpah. Tahap-tahap penanganan pasca-panen buah belimbing antara lain adalah pengumpulan, pemilihan (seleksi), dan penyimpanan.
Seperti yang terdapat dalam tinjauan pustaka di atas telah dijelaskan bahwa buah belimbing akan mengalami kerusakan mutu setelah dipanen. Penurunan mutu yang banyak terjadi pada komoditas buah-buahan karena mudah rusak (perishable). Sifat perishable ini terbentuk karena kebanyakan komoditas buah-buahan kadar airnya tinggi. Apalagi jika tidak diimbangi dengan penanganan pascapanen yang tepat dalam untuk dmempertahankan mutunya maka dalam beberapa hari saja buah akan menjadi busuk sehingga tidak layak dikonsumsi.
Selain karena sifatnya yang mudah rusak, sebagai bahan hidup buah belimbing akan tetap melakukan kegiatan metaboliknya seperti respirasi, fotosintesis dan transpirasi walaupun telah terpisah dengan tanaman induknya setelah panen. Setelah dipanen jaringan pada buah-buahan masih tetap hidup dan akan terus melakukan aktivitas fisiologisnya. Kerusakan fisiologis ini dapat terjadi karena kekurangan zat-zat mineral, kerusakan akibat suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai pada ruang penyimpanan seperti kelembaban yang tinggi. Penurunan sifat fisiologis ini dapat terjadi secara spontanitas karena aktivitas enzim dan kemudian menyebabkan buah terlalu matang dan mengalami pelayuan.
Walaupun belimbing termasuk buah non klimaterik yang berarti produksi CO2 setelah dipanen perlahan-lahan terus menurun, namun tetap saja laju respirasi yang terjadi ikut andil berperan dalam kerusakan fisiologis buah berbentuk bintang ini. Apalagi jika dalam penyimpanan disertai dengan meningkatnya suhu maka laju respirasi pun semakin besar sehingga buah akan cepat mengalami kerusakan .
Selain laju respirasi, kadar gula juga mempengaruhi kerusakan. Kadar gula maksimum terkandung pada buah belimbing yang berwarna kuning sempurna, namun buah sangat rapuh, mudah pecah dan gampang terluka. Oleh karena itu, buah belimbing biasanya dipanen saat perubahan warnanya berhenti. Buah dengan warna kuning 50-70% lebih keras dibandingkan dengan buah yang berwarna kuning sempurna atau kuning-orange, buah dengan warrna ini dianggap sebagai kematangan komersil. Warna buah belimbing akan terus berkembang setelah panen, walaupun demikian hanya sedikit perubahan yang terjadi pada kualitasnya.
Buah belimbing digolongkan kedalam komoditas buah yang tidak terlalu sensitif terhadap kerusakan dingin (chilling injury). Namun, selama penyimpanan dingin yang berlangsung pada suhu 0oC atau 5oC selama 2 dan 6 minggu terdapat gejala-gejala kerusakan dingin seperti bintik-bintik kecik pada permukaan kulitnya dan warna coklat pada seluruh sisi pinggir rusuknya. Gejala-gejala kerusakan dingin ini akan semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Buah yang dipanen pada saat masih hijau akan lebih mudah terkena kerusakan dingin.
Laju produksi etilen buah belimbing termasuk rendah, pada suhu 20oC produksinya < 3 µl C2H4/kg.h (bergantung pada tingkat kematangan). Namun, produksi etilen tertinggi terjadi setelah 20 hari penyimpanan pada suhu 20oC sehingga akan menyebabkan kerusakan buah.
Setelah mengetahui beberapa sifat fisiologis pascapanen buah belimbing manis, ada banyak kegiatan tambahan yang diperlukan untuk penanganan pascapanen agar mempertahankan mutu buah belimbing seperti pencucian, precooling, sortasi dan grading, pengendalian hama dan penyakit, pelilinan buah, dan pengemasan. Selain itu ada beberapa penelitian yang menunjukkan adanya beberapa teknologi yang dapat diterapkan agar umur simpan dapat lebih lama kesegaran buah belimbing dapat dipertahankan.
Rohaeti dkk. (2010) menarik kesimpulan dari penelitian yang dilakukan bahwa proses VHT (Vapor Heat Temperature) dan suhu penyimpanan dapat berpengaruh terhadap penurunan laju respirasi, penurunan kerusakan akibat chilling injury, mempertahankan nilai TPT (Total Padatan Terlarut), nilai kekerasan, mempertahankan kadar air buah, susut bobot buah dan kandungan air dalam buah.
Dalam penelitiannya, perlakuan VHT dapat menurunkan laju respirasi belimbing. Total padatan terlarut tertinggi didapat oleh belimbingyang mendapat perlakuan VHT selama 20 menit dalam suhu ruang (28-30oC). Hal ini yang mengindikasikan bahwa suhu penyimpanan yang rendah akan menghambat pematangan. Pematangan berkorelasi dengan warna dan kekerasan. Untuk kekerasan tertinggi didapat pada belimbing yang ada di suhu 5oC karena pada suhu rendah dapat menghambat proses metabolisme, pemasakan, pelunakan dan penuaan.
Untuk susut bobot, kadar air dan chilling injury ketiganya saling berkorelasi. Belimbing mempunyai nilai kadar air tertinggi pada perlakuan 5oC yang disebabkan oleh aktivitas transpirasi, respirasi dan penguapan berjalan lebih lambat dibanding pada suhu 15oC dan suhu ruang sehingga kehilangan air relatif kecil dan komoditas yang disimpan masih tetap dalam keadaan segar. Untuk perlakuan VHT terbaik terjadi pada perlakuan VHT selama 20 menit agar dapat mengurangi chilling injury dan tidak menurunkan kualitas buah.
Ada lagi penelitian dari Maghfiroh (2011) yang menarik kesimpulan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan semakin tinggi perubahan kenaikan laju respirasi buah belimbing, semakin tinggi laju persentase susut bobot, semakin tinggi perubahan nilai kekerasan buah belimbing, semakin tinggi perubahan nilai total padatan terlarut dan semakin besar perubahan warna buah belimbing. Penelitian dilakukan dengan 3 kondisi suhu yang berbeda yaitu 5oC, 10oC dan suhu ruang 25-27oC.
Data yang dihasilkan memperlihatkan bahwa laju kehilangan bobot pada perlakuan suhu 10°C lebih lambat dari pada perlakuan suhu 5°C. Hal ini dikarenakan suhu 10oC merupakan suhu optimum penyimpanan buah belimbing. Pada suhu 5oC persentasi susut bobot lebih tinggi dikarenakan pada suhu yang lebih rendah, kelembaban relatif (RH) semakin rendah sehingga menyebabkan buah menjadi lebih keriput. Oleh karena itu air yang keluar dari dalam buah semakin banyak. Pada penyimpanan dingin proses metabolisme buah belimbing mengalami perlambatan, hal serupa diungkapkan oleh Muchtadi (1989) dalam Maghfiroh (2011) bahwa suhu rendah diatas suhu pembekuan dan dibawah 15oC efektif dalam mengurangi laju metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba, selain itu juga mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan pangan.
Pengamatan selama 14 hari menunjukkan bahwa kandungan nilai TPT buah belimbing cenderung mengalami kenaikan namun perubahannya fluktuatif. Nilai TPT semakin tinggi, menunjukan bahwa buah semakin manis dan kandungan asam buah semakin menurun. Buah mengalami pematangan dan terjadi perubahan oksidatif dari bahan-bahn komplek, seperti karbohidrat, protein dan lemak sehingga terbentuk gula-gula sederhana yaitu gluktosa, fruktosa dan sukrosa.
Suhu penyimpanan yang berbeda dapat menghasilkan pengaruh yang berbeda pada nilai kekerasan (firmness) produk buah yang disimpan. Buah belimbing yang disimpan pada suhu dingin memberikan nilai kekerasan yang lebih baik dibanding buah yang disimpan pada suhu ruang. Pada suhu ruang nilai kekerasan lebih tinggi dibanding suhu dingin, hal ini dikarenakan pada suhu dingin proses metabolisme berjalan lebih lambat dan pada suhu ruang proses kehilangan air lebih tinggi. Pada tiga bagian yang diukur, tingkat kekerasannyapun berbeda. Dari pengamatan tingkat kekerasan buah belimbing yang paling tinggi terdapat pada bagian tengah dan nilai kekerasan buah semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Selama penyimpanan, buah belimbing semakin melunak hal ini dikarenakan buah mengalami perubahan kematangan sehingga tingkat kekerasan buah berubah dan semakin berkurang. Hal ini juga memberikan pengaruh terhadap warna belimbing. Selama penyimpanan pada suhu rendah terjadi penghambatan degradasi klorofil sehingga warna hijau masih dipertahankan. Hal ini menjadi indikasi bahwa proses pematangan pada perlakuan suhu penyimpanan 10°C lebih cepat daripada perlakuan suhu penyimpanan 5°C.
Pada awal penyimpanan laju respirasi memiliki nilai besar hal ini dikarenakan suhu buah pada awal penyimpanan masih tinggi karena belum menyesuaikan dengan kondisi ruang penyimpanan, suhu awal buah ditambah dengan dari panas lapang menyebabkan produk memiliki kecepatan respirasi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muchtadi (1992) yang menerangkan bahwa kecepatan respirasi merupakan hasil dari pengaruh suhu dimana kecepatan respirasi pada buah-buahan akan meningkat sampai dengan dua setengah kalinya untuk kenaikan suhu sebesar 10oC yang menunjukkan adanya pengaruh proses biologi maupun kimia.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa buah Belimbing yang disimpan pada suhu 5oC mengalami penurunan perubahan mutu yang lebih lambat dibanding suhu 10oC dan suhu ruang. Sedangkan buah belimbing yang disimpan pada suhu 5°C menunjukkan gejala kerusakan dingin (chilling injury) yang terjadi pada hari pertama penyimpanan sebagai puncak tertinggi meningkatnya ion leakage. Sehingga penyimpanan buah belimbing lebih baik disimpan di atas suhu 5oC untuk mengurangi terjadinya gejala chilling injury yang lebih cepat.
Satu lagi penelitian dari Trinuarsih dkk. (2013) melakukan penelitian dengan tiga taraf perlakuan (35oC; 60'; 45oC ; 40' dan 55oC ; 15') untuk perlakuan Hot Water Treatmant dan direndam dalam larutan CaCl2 dengan tiga taraf perlakuan yaitu 60'; 40'; dan 20'). Kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa perlakuan HWT (Hot Water Treatmant) berpengaruh nyata terhadap perubahan fisiologis dan faktor mutu seperti laju respirasi (produksi CO2 dan konsumsi O2), susut bobot, warna kulit dan daging buah, kekerasan, total padatan terlarut serta tingkat penerimaan panelis. Namun, perlakuan CaCl2 tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tersebut. Kombinasi HWT dan CaCl2 berpengaruh nyata terhadap laju respirasi, susut bobot, tingkat kecerahan warna daging buah,, tingkat warna kuning-biru daging buah serta penerimaan panelis terhadap rasa dan aroma. Berdasarkan uji organoleptik, perlakuan HWT 45oC selama 40 menit dan CaCl2 4% selama 60 menit dapat diterima panelis sampai hari ke-24.
Dalam penelitiannya, kombinasi perlakuan HWT (Hot Water Temperature) dan CaCl2 mempengaruhi peningkatan laju produksi CO2 yang signifikan pada awal hari ke-16 untuk semua perlakuan. Hal ini mengindikasikan pola buah belimbing berupa pola klimaterik setelah diberi kombinasi perlakuan HWT dan CaCl2. Senada juga dengan laju konsumsi O2 yang mengalami peningkatan yang signifikan mulai dari hari ke-16 sampai akhir penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan mengindikasikan bahwa buah belimbing mengalami fermentasi.
Selain itu, adanya perlakuan kombinasi HWT dan CaCl2 4% mengakibatkan peningkatan susut bobot belimbing selama penyimpanan terutama untuk belimbing yang mendapat perlakuan HWT 35oC; 60' dan CaCl2 4% ;20'). Kombinasi ini juga memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan nilai L (warna daging buah belimbing cenderung menurun di akhir penelitian) terutaman yang mendapat perlakuan HWT 55oC; 15' dan perendaman larutan CaCl2 4% untuk semua perlakuan. Demikian halnya dengan warna kulit buah belimbing yang dipengaruhi oleh HWT dan CaCl2 tidak berpengaruh nyata. Untuk TPT (Total Padatan Terlarut), perlakuan HWT tidak memberikan pengaruh pada bagian ujung dan tengah namun berpengaruh nyata pada belimbing bagian pangkal dan CaCl2 memberikan pengaruh nyata untuk semua bagian buah serta kombinasi perlakuan HWT dan CaCl2 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai TPT. Untuk parameter kekerasan, perlakuan HWT tidak berpengaruh nyata dan CaCl2 tidak berpengaruh nyata sedangkan kombinasinya tidak memberikan pengaruh.
KESIMPULAN
Dari makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Fisiologis pascapanen belimbing meliputi laju respirasi buah belimbing yang meningkat seiring dengan meningkatnya suhu, indeks warna kematangan yang semakin menuju ke warna kuning akan semakin manis, tekstur lunak mengindikasikan penurunan kualitas belimbing, susut bobot belimbing yang tinggi mengakibatkan buah menjadi layu.
Ada beberapa teknologi yang dapat diterapkan untuk mempertahankan mutu belimbing yang bersumber dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dan hasilnya berbeda-beda.
Perlakuan VHT (Vapor Heat Temperature) dan suhu penyimpanan dapat berpengaruh terhadap penurunan laju respirasi, penurunan kerusakan akibat chilling injury, mempertahankan nilai TPT (Total Padatan Terlarut), nilai kekerasan, mempertahankan kadar air buah, susut bobot buah dan kandungan air dalam buah.
Semakin tinggi suhu penyimpanan semakin tinggi perubahan kenaikan laju respirasi buah belimbing, semakin tinggi laju persentase susut bobot, semakin tinggi perubahan nilai kekerasan buah belimbing, semakin tinggi perubahan nilai total padatan terlarut dan semakin besar perubahan warna buah belimbing.
Perlakuan HWT (Hot Water Treatmant) berpengaruh nyata terhadap perubahan fisiologis dan faktor mutu seperti laju respirasi (produksi CO2 dan konsumsi O2), susut bobot, warna kulit dan daging buah, kekerasan, total padatan terlarut serta tingkat penerimaan panelis. Namun, perlakuan CaCl2 tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tersebut. Kombinasi HWT dan CaCl2 berpengaruh nyata terhadap laju respirasi, susut bobot, tingkat kecerahan warna daging buah,, tingkat warna kuning-biru daging buah serta penerimaan panelis terhadap rasa dan aroma. Berdasarkan uji organoleptik, perlakuan HWT 45oC selama 40 menit dan CaCl2 4% selama 60 menit dapat diterima panelis sampai hari ke-24.
DAFTAR PUSTAKA
[FAMA] Federation Agricultural Malaysia Association. 2005. Menuju kearah Kualiti Malaysia's Best Belimbing. http://www.fama.gov.my/html/themes/fama/images/fama/content/Belimbing.pdf.
Maghfiroh, A.F., 2011. Penentuan Chilling Injury Belimbing (Averrhoa carambola L.) yang Disimpan Pada Suhu Rendah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor.
Pantastico EB. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayuran Tropika dan Subtropika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Rohaeti dkk., 2010. Perlakuan Uap Panas (Vapor Heat Treatmant) untuk DisinfestasiLalat Buah dan Mempertahankan Mutu Buah Belimbing (Averrhoa carambola L.) [Jurnal Keteknikan Pertanian Vol.24 No.1, April 2010 ISSN 0216-3365]. Bogor: Sekertariat Jurnal Keteknikan Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 1995. 13 Jenis Belimbing Manis. Penebar Swadaya, Jakarta
Trinurasih dkk., 2013. Penggunaan Hot Water Treatment dan CaCl2 untuk Mencegah Kerusakan Fisiologis Buah Belimbing (Averrhoa carambola L.) [Jurnal Keteknikan Pertanian Vol.27 No.1, April 2013 ISSN 2338-8439]. Bogor: Sekertariat Jurnal Keteknikan Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
TUGAS TERSTRUKTUR
FISIOLOGI PASCAPANEN BUAH BELIMBING MANIS (Averrhoa carambola L.) DAN TEKNOLOGI PASCAPANEN YANG DITERAPKAN DALAM MEMPERTAHANKAN MUTU
Oleh
Nama : Muthmainnah
NIM : A1M012025
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO
2014