Nomenklatur Desa Adat versi Undang-‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai Salah Satu Upaya Memperkokoh Sentimen Berbangsa dan Bernegara Indonesia R. Yando Zakaria Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) Mantan Tenaga Ahli Pani@a Khusus RUU Desa, DPR RI Disampaikan pada RDPU Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Rabu, Tanggal 21 Januari 2015.
Pengantar… • Saya tentu )dak perlu menjelaskan panjang-‐lebar bahwa, faktanya, saat ini terdapat ratusan konflik agraria yang melibatkan para pihak, utamanya yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat atau masyarakat hukum adat. Beberapa dari konflik itu -‐-‐ pada derajat tertentu – telah berkembang menjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia. • Data yang dikemukakan oleh Kemnterian Kehutanan (dulu) menunjukkan ada sekitar 33.000 desa yang tatata batasnya berkonflik dengan kawasan hutan negara. • Belum lagi jika dihubungkan dengan klaim masyarakat adat dari apa yang disebut sebagai hutan adat, yang diperkirakan mencakup 70 – 90 juta ha yang sekarang – berdasarkan UU no. 41/1999 tentang Kehutanan -‐-‐ termasuk ke dalam kawasan hutan yang dilarang untuk disentuh tanpa izin dari Kementerian Kehutanan. Termasuk masyarakat adat yang mendaku hutan itu adalah hutan adat mereka.
Konstitusionalisme pengakuan dan penghormatan atas hak-‐hak masyarakat hukum adat atau desa atau yang disebut dengan nama lain: Dari Pasal 18 menjadi Pasal 18B : 2 UUD 1945 & Amanat kons@tusi
Realisasinya… • Aspek Sosial-‐Budaya:
• II. Dalam territoir Negara • Masih ada sejumlah diskriminasi dalam hal religi, kependudukan, dll. à proyek-‐proyek Indonesia terdapat lebih kurang 250 pemukiman kembali “Zel$esturende landschappen” • Aspek Sosial-‐Ekonomi & Ekologis: dan“Volksgemeenschappen”, seper) • UU No. 5/1960 à Hak Ulayat cq, Hak MHA desa di Jawa dan Bali, negeri di diakui à Tapi )dak ada instrumen operasionalnya à PP 24/2007, MHA belum Minangkabau, dusun dan marga di jadi subyek huku; Hak ulayat belum menjadi Palembang dan sebagainya. Daerah-‐ jenis hak à Permen Agraria No. 5/1999 baru soal penyelesaian konflik; kriiteria daerah itu mempunyai susunan asli MHA bersifat akumula)f dan oleh karenanya dapat dianggap • Orde Baru: Membekukan Hak MHA sebagai daerah yang bersifat • Aspek Sosial-‐Poli)k: is@mewa. Negara Republik Indonesia • Hingga reformasi ada 7 UU sebelum ini mengaturnya secara berbeda-‐beda à menghorma) kedudukan daerah-‐ terakhir adalah UU 5/79 ag Pemdes yang daerah is)mewa tersebut dan segala disebutkan )dak sesuai dengan amanat peraturan negara yang mengenai kons)tusi à desa sbg unit poli)k (IGO/ IGOB) menjadi sekedar unit adminitrasi à daerah itu akan menginga) hak-‐hak MHA sbg subyek hukum makin lemah asal-‐usul daerah tersebut”.
Pasal 18B ayat 2 (hasil amandemen Pasal 18 pada tahun 2000): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-‐undang 1.
Tatanan sosial-‐ budaya
Tatanan sosial-‐poli)k dan hukum
2.
3.
Tatanan Sosial-‐ ekonomi & ulayat
No. 010/PUU-‐I/2003 perihal Pengujian Undang-‐ Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-‐Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; No. 31/PUU-‐V/2007 perihal Pengujian Undang-‐ Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di provinsi Maluku; No. 6/PUU-‐Vl/2008 perihal Pengujian Undang-‐ Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan.
4.
No.45/PUU-‐IX/2011 tentang Uji Materi Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan;
5.
No. 35/PUU-‐X/2012 perihal Pengujian Undang-‐ Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Implikasi Pengakuan terhadap ‘hak asal-‐usul’ (sebelum amandemen) atau ‘hak-‐hak tradisional’ (pasca-‐amandemen)
3 Elemen ‘hak asal-‐usul’ à ‘hak bawan’, bukan ‘hak berian’
Tatanan sosial-‐ budaya
Tatanan sosial-‐poli)k dan hukum
Tatanan Sosial-‐ ekonomi & Ulayat
Implikasi pengakuan ‘kesatuan masyarakat hukum adat’ • Pengakuan terhadap eksistensi organisasi dr ‘susunan asli’ ; • Pengakuan atas sistem nilai dan aturan-‐ aturan yang mengatur kehidupan bersama dalam ‘susunan asli’, termasuk aturan-‐ aturan yang mengatut ‘sumber-‐sumber kehidupan’nya; • Pengakuan terhadap ‘hak penguasaan’ ‘hak pertuanan’ atas apa yang disebut sebagai ulayat (baca: wilayah kehidupan) susuna asli yang bersangkutan. à Pengakuan atas ulayat mensyaratkan perubahan pada berbagai UU Sektoral yang selama ini tdk mengakui hak-‐hak masyarakat adat, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh TAP MPR IX/2001) • Dikaitkan dengan Pasal 18 dan 18A, maka desa atau disebut dgn nama lain juga diberi kewenangan untuk menyelenggarakan ‘pemerintahan nasional’!
Berbagai jenis hak masyarakat (hukum) adat Menurut Deklarasi PPB tentang Hak-‐Hak Masyara-‐ kat Adat (United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples/UN-‐ DRIP) • Hak untuk menentukan nasib sendiri
• Masyarakat adat berhak menentukan pilihan tentang jalan hidup • Masyarakat adat berhak menentukan, mengembangkan rencana dan urutan kepen)ngan bagi pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya mereka (Pembangunan). • Masyarakat adat berhak menyatakan atau mengungkap ja) diri, melestarikan bahasa, budaya, dan tradisi-‐tradisi, serta mengatur dan mengelola hidup sendiri tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah. • Masyarakat adat berhak mendapatkan otonomi dan atau membangun pemerintahan sendiri. • Masyarakat adat berhak mempertahankan dan membangun lembaga-‐lembaga poli)k, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya sendiri.
• Masyarakat adat berhak untuk )dak kehilangan penghidupan dan mata pencaharian. • Masyarakat adat berhak menentukan hubungan lembaga pemerintahan mereka dengan pemerintah pusat atau ne-‐ gara.
• • • •
Hak atas tanah, Wilayah, dan Sumberdaya Alam Hak Turut Serta (Par)sipasi) dan Hak Untuk Mendapat Informasi Hak Budaya Hak Atas Keadilan
Pintu masuk penyusunan UU Desa 6/2014 Awalnya… • Pasal 18 Ayat (7)
Akhirnya… • Pasal 18 B Ayat (2)
Susunan dan tata cara
Negara mengakui dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-‐ undang.
menghorma) kesatuan-‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-‐undang.
• Pasal 18 B Ayat (2)
Negara mengakui dan
menghorma) kesatuan-‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-‐undang.
• Pasal 18 Ayat (7)
Susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-‐ undang.
Undang-‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memperkenalkan nomenklatur Desa Adat, adalah upaya untuk menyembuhkan Indonesia!
Mengapa Desa Adat?
Lima Pelajaran Penting Keputusan MK 35/2012 terhadap Pendefenisian Masyarakat (Hukum) Adat dan Pengakuan Atas Hak-‐haknya • Kali pertama MK menggunakan kriteria ag MHA yang telah dirumuskannya sendiri sebelumnya; • MHA sebagai penyandang hak dan subyek hukum à Legal standing MHA diterima; • Ditegaskan bahwa pengakuan dan penghormatan hak-‐hak MHA ini diatur DALAM undang-‐undang à Keberadaan MHA cukup didukung peraturan perundang-‐undangan )ngkat kabupaten; bahkan bisa ‘hanya’ berupa SK Bupa) (Kasus Kasepuhan Cisitu); dan bisa juga kebijakan daerah yang hanya mengakui salah satu unsur MHA itu cq. pengakuan tanah ulaya (Kasus Kenegerian Kuntu); • MHA ‘berdaulat’ atas Ulayatnya; pengakuan atas ulayat MHA )dak bertentangan dengan Psal 33: 3 à Tetapi, merujuk pada kondisionalitas pada Pasal 18B: 2, ‘)dak boleh seenaknya’ à Rumusan AMAN tentang ‘MA dapat menentukan nasibnya sendiri’ ditolak MK; • MHA itu dinamis dan )dak sta)s.
Keterkaitan MK 35/20012 dgn UU No. 6/2014: UU Desa sebagai uu organik untuk pelaksanaan MK 35/2012?
MK 35/2012: Hutan adat BUKAN hutan negara; Hutan adat berada dlm wilayah adat MHA; MHA ditetapkan dalam Peraturan Daerah; (dgn) kriteria yang sdh ditetap dan digunakan dlm berbagai putusan MK
UU 6/2014: Desa Adat adalah MHA (psl. 96); (dgn) kriteria dlm putusan2 MK (Psl 97); Kewenangan untuk mengatur dan mengurus ulayat/wilayah adat; Ditetapkan dgn Perda (Psl 98); Dilampiri peta (Psl. 17: 2)
Tiga Kriteria Utama dan Kondisionalitas Pengakuan Keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat Tiga kriteria MHA
Penjelasan tentang kondisionalitasnya (indikator penjelas)
(1) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional
(MHA Teritorial atau gabungan) = Memliiki wilayah yang diakui sebagai wilayah adat atau ulayat masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok pranata pemerintahan adat harta kekayaan dan/atau benda adat perangkat norma hukum adat
(2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat
keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-‐undang yang berlaku
(3) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
)dak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia
substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihorma) oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta )dak bertentangan dengan hak asasi manusia
substansi norma hukum adatnya sesuai dan )dak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-‐undangan
UU Desa 6/2014 sebagai terobosan untuk pengakuan dan perlindungan masy. Hukum adat: Kontestasi antar hukum/peraturan, penerapan syarat secara Akumulatif atau Fakultatif? Permenagraria 5/1999
UU 6/2014 Desa
Permendagri 52/2014
Pasal 1 (3): Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat )nggal atauopun atas dasar keturunan à Pasal 2 (2: a): sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-‐ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-‐ hari Bersifat akumula@f; Ketentuan penetapan lebih lanjut (tentang keberadaan tanah ulayat) diatur melalui Perda. 1 Perdauntuk 1 MHA.
Pasal 97 ayat (2): Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya: a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; b. pranata pemerintahan adat; c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau d. perangkat norma hukum adat. Bersifat TIDAK akumula@f; Yg ditetapkan adalah MHA sbg desa adat; Satu Perda BISA menetapkan bbrp lebih dari 1 Desa adat. Perlu Perda Pengaturan Desa Adat di Propinsi dan Kab/kota
“Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteris)k khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat )nggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, poli)k, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.” Pasal 5: 2: Iden)fikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencerma): a. sejarah Masyarakat Hukum Adat; b. wilayah Adat; c. hukum Adat; d. harta kekayaan dan/atau benda-‐benda adat; dan e. kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Bersifat akumula@f; @dak terlalu jelas; Melalui peran ekseku@f daerah; Penetapan oleh Keputusan Kepala Daerah. 1 Keputusan 1 MHA?
Kontestasi antar hukum/peraturan: Ada yang lebih bahaya lagi! UU 41/1999 Kehutanan
UU 27/2007 Pesisir dan Pulau-‐pulau Kecil
UU 32/2009 Ppelestarian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 67 Ayat (1): Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaa); e. dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-‐hari. Bersifat akumula@f; perlu PP dulu. Keberadaan suatu MHA ditetapkan melalui Perda; Satu Perda satu MHA.
Pasal 1 (33): Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-‐ temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-‐usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-‐Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, poli)k, sosial, dan hukum. Belum ada pengaturan lebih lanjut. Hasil Judicial Review terakhir terma masyarakat adat ’dikembalikan’ menjadi ’masyarakat hukum adat’
Pasal 1 (31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, poli)k, sosial, dan hukum à Pedoman Inventarisasi: Bermukim di wilayah tertentu; Adanya ikatan asal-‐usul leluhur; Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup; sosial, dan hukum adat; Adanya sistem nilai yang menentukan pranata poli)k; Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi; Adanya sistem nilai yang menentukan pranata sosial dan hukum adat Bersifat akumula@f; namun pedoman KLH tdk dimaksudkan sebagai upaya pengakuan status hukum MHA. Instrumen hukum pengakuannya @dak /belum jelas.
Mengapa Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tidak menyelesaikan masalah? • Hanya mengatur tanah komunal; padhal tanah adat juga mencakup tanah-‐tanah perorangan (meski ada aturan )dak boleh diperjual-‐ belikan); • Menggunakan kriteria yang bersifat komula)f dan rela)f )dak pro-‐ perubahan à Melalui sebuah peneli)an )dak ada lagi masyarakat (hukum) adat di dua kabupaten di Kalimantan Timur. • Hanya berlaku di luar kawasan hutan. Padahal tanah adat yang tersisa justru berada di kawasan hutan. Tanah-‐tanah adat di luar kawasan hutan sudah habis dibagi menjadi tanah-‐tanah pribadi berdasarkan alas hak yang diatur dalam UUPA 5/1960 dan peraturan pelaksanaannya; • Pengakuan tanah masyarakat hukum adat )dak berlaku surut. Padahal, umumya, tanah-‐tanah adat yang hendak diklaim ulang itu telah dibebani hak-‐hak lain yang diberikan negara berdasarkan peraturan perundang-‐undangan yang )dak ramah pada hak-‐hak masyarakat adat itu; • Mekanisme pembuk)an yang dibutuhkan rela)f rumit, )dak bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat hukum adat; • Posisi masyarakat hukum adat yang rela)f lemah dalam proses pengambilan keputusan; dan • berbiaya )nggi.
Masalah penerapan UU Desa di Bali (1) • Harus diakui, Bali adalah satu dari sedikit contoh keberhasilan masyarakat hukum adat mengatasi intervensi dari berbagai kekuatan dari luar. Prinsip dualitas yang menjadi dasar ajaran religi berhasil menjaga koeksistensi desa dinas dan desa adat/des pekraman yang hidup berdampingan secara harmonis. • Namun, benarkah hubungan itu benar-‐benar harmonis? Bukankah )dak terjadinya tumpang )ndih peran antar keduanya adalah fungsi pembatasan bukan karena yang satu )dak bisa/)dak mau mengurus fungsi yang lainnya. Ada potensi konflik yang terpendam? • Terlepas dari itu, kooeksistensi sebagaimana saat ini tetap menempatkan kedudukan Desa Pekraman secara hukum sangat lemah. Meski desa adat di Bali telah dilindungi oleh Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman, posisi Desa Pekraman )dak lebih sebagai ‘lembaga budaya’ dan belum merupakan ‘subyek hukum’ dari aset-‐aset yang dimilikinya. • Di pihak lain, pada satuan Desa Pekraman-‐lah solidaritas sosial dan keter)ban sosial benar-‐benar bisa ditegakkan, dua hal yang sangat dibutuhkan masyarakat Bali untuk mengop)malkan manfaat pemerintahan dan pembangunan yang akan lebih mensejahterakan.
Masalah penerapan UU Desa di Bali (2) • Pro-‐kontra penerapan UU Desa di Bali berpangkal pada penerapan (Penjelasan) Pasal 6 yang mengatakan, al., “… Untuk yang sudah terjadi tumpang )ndih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-‐Undang ini.” à RYZ: Tumpang )ndih yang dimaksudkan di sini )dak saja fungsi, malainkan juga wilayah. • Pengaturan yang demikian tentunya dimaksudkan untuk -‐-‐ )dak lebih-‐)dak kurang -‐-‐ sebagai upaya ‘ter)b administrasi’, agar para pihak yang berkepen)ngan untuk mengembangkan desa/desa adat itu lebih terarah sedemikian rupa. Namun, di )ngkat lapangan, ditafsir lain. Yakni, memilih salah satu dari bentuk itu secara langsung akan MEMATIKAN keberadaan bentuk desa yang )dak dipilih. Benarkah harus begitu? • Jelas itu adalah kesimpulan yang salah kaprah. Sebab, betapapun, di dalam desa (dinas) tetap diperlukan fungsi-‐fungsi ‘keadatan’; sementara sebaliknya, di dalam ‘desa adat’ tetap saja juga perlu menjalankan fungsi-‐fungsi ‘pemerintahan dan pembangunan’.
Kondisi dan polemik pilihan penerapan UU Desa di Bali • Kondisi koeksistensi desa dinas dan desa adat di Bali saat ini: • Kondisi 1 à 1 Desa Dinas = 1 Desa Adat • Kondisi 2 à 1 Desa Dinas = Lebih dari 1 Desa Adat (Mayoritas) • Kondisi 3 à 1 Desa Adat = Lebih dari 1 Desa Dinas.
• Corak pilihan dalam polemik hingga hari ini: • Desa Dinas saja (beberpa pengamat, Kabubaten Gianyar, dengan menyulap desa dinas sebagai desa adat yang disebut Desa Pekraman Gede. Pertanyaannya adalah: apakah ada Pura Kahayangan Tiga yang menjadi syarat adanya desa adat itu? Hal ini justru akan membahayakan posisi adat ke depannya) • Desa adat saja (Majelis Desa Pekraman) • Status quo (Prop. Bali, Kota Denpasar, Kab. Badung • Bisa desa adat dan bisa desa dinas (kasus Kab. Bangli)
Alternatif yang dapat ditempuh • Penetapan MHA Desa Pekraman sebagai Masyarakat Hukum adalah suatu keniscayaan! • Apakah Desa Pekraman tertentu akan juga mengambil peran pemerintahan sebagaimana diatur oleh UU Desa 6/2014 adalah soal yang lain lagi (lihat Pasal 98: 2) • Instrumen hukum yang dapat digunakan • Melalui penetapan desa adat versi UU Desa; atau • Penetapan dengan Perda tentang Desa Pekraman dengan landasan hukum yang baru cq. Putusan MK 35 Tahun 2012.
• Pilihan penerapan UU Desa à Bentuk mana yang dipilih, tergantung kemauan/prakarsa masyarakat. Pemda hanya menyediakan alterna)f-‐alterna)f pilihan ini dalam Perda Pengaturan.
• Kondisi 1 = Desa Adat/Desa Pekraman, di mana struktur desa dinas diserap ke dalam struktur baru Desa Pekraman (Kades yang ada ditunggu habis masa tugasnya. Masa masa selanjutnya )dak lagi ada pemilihan Kepala Desa Dinas) • Kondisi 2 = Umumnya Desa Dinas, di mana dalam proses penetapannya dinyatakan secara tegas bahwa di dalam wilayah desa dinas itu terdapat Desa Adat yang )dak menyelenggarakan hak kons)tusionalnya untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan (hal ini untuk menumhukan status huku dari desa –desa adat ybs.. Pada Desa Dinas ybs bibentuk semacam ‘Dewan Pengarah’ yang terdiri dari wakil dari Desa-‐Desa Adat dengan kewenangan kontrol yang kuat. Sebagian bisa juga memilih model desa adat. • Kondisi 3 = Kondisi 1. Struktur pemerintahan desa-‐desa dinas yang ada di lebur ke dalam struktur baru desa adat, dan menjadi unit penyelengara urusan pemerintahan dan pembangunan di bawah pimpina kepala desa adat atau yang mendapat kewenangan untuk itu.
• Sesuai UU, Kebijakan Daerah yang dibutuhkan adalah:
• Peraturan Daerah tentang Pengaturan Desa Adat di Tingkat Propinsi dan Kabupaten; • Peraturan Daerah tentang Penetapan Desa Dinas dan Desa Adat di Kabupaten/Kota.
Tiga Tantangan Utama Pelaksanaan UU 6/2014 ttg Desa
Konflik: Perubahan dari desa ke desa adat; masa tugas yang panjang; banyak uang
Kelembagaan yg lemah: SDM gonta-‐gan); Pengembangan kapasitas tdk berjalan/ tdk ber-‐ kesinambungan; ‘Masy. yg sakit’
Korupsi & kooptasi: Poli)k uang yg menguat; hilangnya aset
Beberapa catatan penting… • Meski Putusan MK 35/2012 telah berumur setahun, namun bagaimana pembaruan hukum terkait pada proses pengakuan hak-‐hak masyarakat masih saja terjebak pada pilihan-‐pilihan kriteria dan indikator yang diperlukan dalam proses itu. Padahal, Putusan MK 35/2012 telah menentukannya! Perdebatan antar pilihan itu harus segera diakhiri. Dari berbagai alterna)f yang ada, model mana yang akan dipilih oleh masyarakat adat atau pendukunganya? • Dari perbandingan K & I sebagaimana yang tersaji dalam beberapa matriks terdahulu, mana yang benar-‐benar akan menguntungkan pihak masyarakat adat? Termasuk, kriteria dan indikator serta mekanisme mana yang akan diperjuangkan dalam RUU PPHMHA yang tengah berproses? • Menurut saya, pemberlakukan pemenuhan syarat K & I secara akumula)f jelas akan mengeklusi masyarakat-‐masyarakat adat yang telah berubah itu ke dalam proses pengakuan dan perlindungan. Yang akan terakui dan terlindungi adalah kemun)tas-‐komunitas adat yang telah mengalami perubahan yang )dak berar), sebagaimana yang dapat kita dilihat apda apa yang sekarang dikategorikan oleh Pemerintah sebagai Komunitas Adat Terpencil saja. • Atas dasar pandangan bahwa perubahan yang dialami oleh komunitas masyarakat adat )daklah semata-‐mata akibat internal melainkan implikasi dari kebijakan dari negara (kolonial dan Nasional), maka diperlukan suatu pendekatan pengakuan dan perlindungan yang mengandung semangat afirma)f, sebagai upaya ‘bayar hutang’ atas kesalahan-‐kesalahan negara di masa lalu. • Kebijakan bersemangat afirma)f itulah yang ditempuh oleh UU Desa, dengan jalan memperlakukan K & I itu secara fakulta)f cq. ada wilayah + salah satu dari 4 kriteria yang lain. • Agar proses penetapan keberadaan desa adat ini )dak terperangkap pada kepen)ngan penguasa (baca: ekseku)f) maka disepaka) pula bahwa proses penetapan itu menggunakan proses legislasi daerah.
Kebutuhan Pengaturan Lebih Lanjut: Tidak ada konsistensi! Undang-‐Undang Desa 6/2014
Pasal 14 Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Kabupaten/Kota). Pasal 101 (2) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Kabupaten/Kota). Pasal 109 Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi. Pasal 116 (2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya.
Peraturan Pemerintah 43/2014
Pasal 28 Ketentuan mengenai tata cara pengubahan status desa menjadi desa adat diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan Desa diatur dengan Peraturan Menteri.
Permendagri 52/2014 tentang Pedoman dan Pengakuan dan Perlundungan Masyarakat Hukum Adat (07/07/2014)
Pasal 2 Gubernur dan bupa@/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Pasal 3 (1) Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, bupa)/walikota membentuk Pani@a Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota. (2) Struktur organisasi Pani)a Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: (a) Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua; (b) Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris; (c) Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota sebagai anggota; (d) Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan (e) Kepala SKPD terkait sesuai karakteris)k masyarakat hukum adat sebagai anggota (3) Struktur organisasi Pani)a Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Bupa)/ walikota.
Kesimpulan dan Rekomendasi • Masa depan penerapan nomenklatur desa adat sebagai media untuk pengakuan dan perlindungan hak-‐hak masyarakat adat belum terlalu jelas . • Kendala :
• Kelanjutan komitmen à Apakah pemerintah benar-‐benar serius untuk mengenali dan menghorma) hak-‐hak masyarakat adat ? à Ada ' konflik batas ' antara sekitar 33.000 desa dengan kawasan hutan à Nomenclalture dari desa adat akan bersinggungan dengan perkiraan sekitar 70-‐90 juta hektar kawasan hutan! • konsistensi • Kapasitas à Dari pusat sampai daerah à perisai untuk )dak melakukan )ndakan?
• Lubang besar! à Ada kesenjangan yang cukup lebar antara pengetahuan ( kuno ) sebagai dasar perumusan kebijakan dengan kondisi kehidupan masyarakat adat di situasi saat ini. à Maka, meski )dak diamanatkan oleh UU Desa, sebaiknya disusun Peraturan Pemerintah ag Desa Adat. • Harus ada pendampingan yang serius , dalam ar) bahwa pelaksanaan sejumlah studi yang dapat menjembatani kesenjangan yang ada; dan pelaksanaan serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas untuk pengembangan kapasitas para pegawai pemerintah di semua )ngkatan dan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. • Sebuah program uji coba untuk penerapan tata nama dari desa adat di salah satu propinsi dan kabupaten terpilih sangat dianjurkan.
SEKIAN & TERIMA KASIH