ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
DAN KAITANNYA DENGAN OTONOMI DESA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Lokal dan Otonomi Daerah
Disusun Oleh:
Kelompok 2
Satria Wisnu (11/312542/SP/24570)
Fauzia Fitrianingrum (12/335727/SP/25381)
Rifqi Rahman (12/335751/SP/25402)
Abiakto Rafif Ilmi (14/369671/SP/26498)
Meilany Indriati (14/364899/SP/26247)
Lia Wahyu Hartanto (14/364854/SP/26232)
Departemen Politik dan Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Tahun 2015/2016
A. Latar Belakang
Berdasarkan keadaan empiris Indonesia, secara historis terdapat desa
yang merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat dan pemerintahan di
Indonesia. Jauh sebelum bangsa-negara modern terbentuk, kelompok sosial
sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi bagian
yang penting dalam suatu tatanan Negara[1]. Keberadaan desa di tengah
Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian secara yuridis normatif juga
telah diatur, di mana desa telah diberikan atau lebih tepatnya diakui
kewenangan-kewenangan tradisionalnya menurut Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun
1945 yang menegaskan:
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang".
Sesuai bunyi Pasal 18B (2) UUD 1945 di atas berarti pengakuan terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat termasuk desa berserta hak-hak
tradisionalnya harus tetap didasarkan pada prinsip "dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia". Konsekuensi logis dari konsep atau gagasan
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan saja hanya desentralisasi
kewenangan kepada daerah otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan
lebih dari itu, yakni pengakuan-ataupun perlindungan terhadap adanya
otonomi desa sebagai otonomi asli bangsa Indonesia sejak sebelum datangnya
kolonial Belanda[2].
Peraturan perUndang-Undangan mengenai pemerintahan desa sendiri masih
mengalami inkonsistensi atau terus berubah-ubah sejak zaman kolonial hingga
saat ini seiring dengan dinamika perubahan UUD Tahun 1945 serta kondisi
politik pemerintahan yang berjalan di Indonesia. Sehingga memunculkan
tuntutan dibentuknya Undang-Undang Desa tersendiri yang terpisah dengan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang semakin banyak. Tuntutan setidaknya
memang menjadi urgensi guna mempercepat pembangunan di segala bidang, maka
dari itu diperlukan upaya peningkatan dan pemerataan kemampuan Pemerintah
Desa di seluruh Indonesia.
Tentu masih segar dalam ingatan kita mengenai dinamika pembentukan UU
Desa 2014. Ada beberapa argumen dan kondisi yang melatarbelakangi munculnya
UU Desa 2014. Pertama, berkaitan dengan kewenangan, UU No 32 Tahun 2004
tata kewenangan antara pemerintah, pemerintah daerah dan Desa belum diatur
secara jelas. Ketidakjelasan dalam tata kewenangan ini menjadikan kekaburan
peran desa. Semangat desentralisasi dan otonomi daerah memang menjadi ruh
dalam UU No 32 Tahun 2004. Pemerintah pusat menjalankan lima kewenangannya,
sedang sisanya di limpahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah,
sedangkan otonomi daerah berhenti di Kabupaten/kota. Akibatnya,
kabupaten/kota yang secara struktur berada di atas desa menyerahakan
kewenangan kabupaten/kota kepada desa. Desa menjadi entitas yang hanya
menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Kabupaten/Kota seakan tidak
memiliki otonomi sendiri. Otonomi berarti berhak untuk mengatur, mengelola
dan menajalankan urusannya sendiri. Dalam konteks desa, otonomi desa
berarti mengurus sendiri sesuai dengan kearifan dan kapasitas lokal, tanpa
intervensi dan tanggungjawab negara[3].
Kedua, mengenai format kelembagaan desa. Dalam UU No 32. Tahun 2004
desa tidak bisa secara otonom untuk berdiri sendiri tanpa disertai desa
administratif. Selain itu seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa desa
adalah bagian dari pemerintahan kabupaten/kota yang kewenangannya hanya
menjalankan kewenangan dari pemerintahan kabupaten kota. Kewenangan yang
terbatas ini membuat performa desa untuk mencapai tujuan mensejahterakan
warganya menjadi terhambat. Seringkali kita mendengar sentimen desa kota,
dari sisi kesejahteraan mereka sangat jauh dari kota yang mudah mengakses
berbagai pelayanan publik yang prima. Ketiga, implementasi aturan desa dari
UU No. 32 Tahun 2014 desa baru dapat dijalankan setelah adanya Peraturan
Pemerintah dan Perda. Hal tersebut terjadi karena keumuman dalam desain UU
No. 32 Tahun 2004. Keumuman yang tidak disertai aturan yang mengikuti
menghambat ilmplementasi desa dalam menjalankan fungsinya. Hadirnya UU No 6
Tahun 2014 tentang Desa yang menuai berbagai tanggapan, pro maupun kontra
dan tanggapan optimistik maupun pesimis inilah yang justru membuat UU ini
menjadi menarik untuk dikaji dan dianalisis lebih dalam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa hal yang menjadi fokus
kelompok kami untuk dianalisis lebih lanjut adalah:
1. Pokok-pokok isi UU Otonomi Desa Nomor 6 Tahun 2014
2. Perbandingan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai Undang-Undang lama yang
memuat peraturan tentang desa dengan Undang-Undang baru yang mengatur
otonomi desa yaitu UU Nomor 6 Tahun 2014
3. Implikasi politik adanya UU Nomor 6 Tahun 2014
C. Pokok-pokok Isi UU Nomor 6 Tahun 2014
Bagian pertama ini akan membahas tentang isi dari UU Noxmor 6 Tahun
2014 tentang Desa secara garis besarnya atau pokok-pokok isinya saja. Isi
dari UU Nomor 6 Tahun 2014 jika secara sistematikanya, terdiri dari 16 bab
dan 122 pasal dengan rincian: Bab I: Ketentuan Umum; Bab II: Kedudukan dan
Jenis Desa; Bab III: Penataan Desa; Bab IV: Kewenangan Desa; Bab V:
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa; Bab VI: Hak dan Kewajiban Desa dan
Masyarakat Desa; Bab VII: Peraturan Desa; Bab VIII: Keuangan Desa dan Aset;
Bab IX: Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Pedesaan; Bab X: Badan
Usaha Milik Desa; Bab XI: Kerjasama Desa; Bab XII: Lembaga kemasyarakatan
Desa dan Lembaga Adat Desa; Bab XIII: Ketentuan Khusus Desa Adat; Bab XIV:
Pembinaan dan Pengawasan; Bab XV: Ketentuan Peralihan; dan Bab XVI:
Ketentuan Penutup.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa melalui perubahan
UUD Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat
dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi Negara
mengakui dan menghormati keatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta
hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesiayang diatur dalam
Undang-Undang
Undang-Undang ini menjelasakan secara lebih detail batasan pengertian
desa. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masayarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia[4]. Maka dapat dipahami bahwa desa yang diatur dalam
Undang-Undang ini adalah desa dan desa adat. Desa atau yang disebut dengan
nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh
Indonesia sedangkan desa adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai
karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya terutama karena kuatnya
pengaruh adat pada sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya
lokal, dan kehidupan sosial budaya desa.
1. Unsur Desa
Desa dan desa adat sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014
memiliki unsur-unsur sebagai berikut :[5]
a) Wilayah desa Yaitu satu satuan wilayah yang tertentu batas-batasnya
secara fisik terdiri atas unsur daratan, angkasa, dan bagi desa
pantai, desa pulau atau desa kepualuan suatu perairan sebagai lokasi
pemukiman dan sumber nafkah yang memenuhi persyaratan tertentu
b) Penduduk atau masyarakat desa Yaitu setiap orang yang terdaftar
sebagai penduduk atau bertempat kedudukan di dalam wilayah desa yang
bersangkutan, tidak mempersoalkan dimana ia mencari nafkahnya
c) Pemerintah desa Yakni satuan organisasi terendah pemerintahan republik
Indonesia yang berdasarkan asas dekonsentrasi ditempatkan di bawah dan
bertanggungjawab langsung kepada pemerintah wilayah kecamatan yang
bersangkutan
2. Otonomi Desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Secara konstitusional, bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan.
Bunyi Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik menegaskan bahwa
para pendiri negara telah dengan sengaja memilih bentuk negara kesatuan
bagi Indonesia, bukan bentuk negara serikat dan juga bukan negara
konfederasi. Konsekuensi dari konsep atau gagasan hukum NKRI bukan saja
desentralisasi kewenangan kepada daerah melainkan lebih dari itu yaitu
pengakuan ataupun perlidungan terhadap adanya otonomi desa sebagai otonomi
asli bangsa Indonesia. Dalam memahami konteks seperti tersebut, pengakuan
atas keanekaragaman desa merupakan dasar utama dalam kerangka pemikiran
otonomi daerah. Otonomi desa bukan merupakan cabang dari otonomi daerah
karena yang menginspirasi adanya otonomi daerah yang khas di NKRI adalah
otonomi desa.
Unsur-unsur otonomi desa sebagaimana diungkapkan oleh Taliziduhu bahwa
unsur-unsur otonomi desa yang terpenting antara lain adalah:[6] 1.) Adat
tertentu yang mengikat dan ditaati oleh masyarakat di desa yang
bersangkutan; 2.) Tanah, pusaka dan kekayaan desa; 3.) Sumber-sumber
pendapatan desa; 4.) Urusan rumah tangga desa; 5.) Pemerintah desa yang
dipilih oleh dan dari kalangan masyaraat desa yang bersangkutan yang
sebagai alat desa memegang fungsi "mengurus"; 6.) Lembaga atau badan
"perwakilan" atau musyawarah sang sepanjang penyelenggaraan urusan tumah
tangga desa memegang fungsi mengatur.
Sebelum adanya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pada dasarnya
eksistensi Desa sudah diakui selain dari Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan
selanjutnya diperbaharui menjadi UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
mengakui eksistensi desa dengan memberikan desa kewenangan dalam urusan
pemerintahan, dimana terdapat empat tipe kewenangan desa yaitu :[7]
1) Kewenangan originir (asli) sering disebut hak atau kewenangan asal-
usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (self-
governing community);
2) Kewenangan devolutif yaitu kewenangan yang melekat pada desa karena
posisinya ditegaskan sebagai pemerintahan lokal (local-self
governing);
3) Kewenangan distributif yaitu kewenangan desa dalam bidang pemerintahan
yang diserahkan oleh pemerintah kepada desa;
4) Kewenangan negatif yaitu kewenangan desa menolak tugas pembantuan dari
pemerintah jika tidak disertai pendukungnya atau jika tugas itu tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat setempat
3. Pengelolaan Keuangan Desa
Keuangan Desa menurut pasal 71 UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah semua hak
dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban desa. Hak dan kewajiban inilah yang kemudian menimbulkan
pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan Keuangan Desa. Pendapatan
desa bersumber dari: a.) Pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha,
hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong dan lain-lain pendapatas
asli desa; b.) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; c.) Bagian
dari hasil pajak daerah retribusi daerah kabupaten/kota; d.) Alokasi dana
desa yang merupakan bagian dari dana perimbnagan yang diterima
kabupaten/kota; e.) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f.) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; g.) Lain-
lain pendapatan desa yang sah.
Pengelolaan keuangan desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan
umum, fungsionalitas, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas,
akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.[8] Implementasi dari keuangan
desa tercermin dari APB Desa yang diterbitkan berdasarkan Peraturan
Desa. Berdasarkan PP Desa, dasar penyusunan APB Desa adalah Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) desa yang disusun berdasarkan penjabaran
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) desa untuk jangka waktu 1 tahun.
Sementara RPJM Desa disusun dalam jangka waktu 6 (enam) tahun melalui
musyawarah. Rancangan APB Desa diajukan oleh Kepala Desa dan
dimusyawarahkan dengan Badan Permusyawarahan Desa (BPD) sebagaimana diatur
dalam Pasal 73 UU Desa. Bupati/Walikota memiliki kewenangan untuk
melakukan evaluasi terhadap RAPB Desa yang diajukan Kepala Desa
sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa sebagaimana dimaksud Pasal 69
ayat (4) UU Desa.
4. Pembangunan Desa
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa
dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan. Pembangunan Desa meliputi tahapan-tahapan
sebagai berikut :
a. Perencanaan
Perencanaan pembangunan Desa disesuaikan dan mengacu kepada
perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota yang diselenggarakan dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa melalui musyawarah perencanaan
pembangunan Desa yang berkaitan dengan penetapan prioritas,
program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan Desa yang didanai oleh
APB Desa, swadaya masyarakat desa, dan/atau berasal dari APBD
Kabupaten/Kota.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan pembangunan Desa dilakukan oleh Pemerintah Desa dengan
melibatkan seluruh masyarakat Desa sesuai dengan RKPDesa dengan
semangat gotong-royong. Pelaksanaan pembangunan Desa dilakukan
dengan cara memanfaatkan kearifan lokal dan sumberdaya alam Desa
yang tersedia.
c. Pengawasan
Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan
pelaksanaan pembangunan Desa. Masyarakat desa dapat melaporkan
hasil pemantauan maupun keluhan-keluhan terhadap pelaksanaan
pembangunan Desa kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Skema sistem pemerintahan desa termasuk di dalamnya rencana
pembangunan desa dapat dilihat dalam diagram berikut ini.
D. Perbandingan UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan UU Nomor 6 Tahun 2014
Untuk memudahkan melihat perbandingan antara peraturan tentang desa
yang terkandung dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan UU Desa sendiri yaitu
UU Nomor 6 Tahun 2014, maka kami menyajikannya dalam bentuk tabel
perbandingan seperti di bawah ini.
"No "Perubahan "UU Nomor 32 Tahun 2004 "UU Nomor 6 Tahun 2014 "
"1. "Kedudukan Desa"Desa berada di dalam dan "Desa berkedudukan di "
" " "di bawah Pemerintahan "wilayah Kabupaten/Kota "
" " "Daerah Kabupaten/Kota " "
"2. "Susunan "Kepala Desa, perangkat "Lembaga pemerintahan Desa/"
" "Organisasi "desa, dan Badan "Desa adat yang terdiri "
" " "Permusyawaratan Desa. "atas pemerintah desa/ desa"
" " "Sekretaris desa diisi oleh"adat dan badan "
" " "PNS yang memenuhi syarat "permusyawaratan desa/desa "
" " " "adat, lembaga "
" " " "kemsyarakatan desa dan "
" " " "lemabaga adat "
"3. "Masa Jabatan "6 tahun dan dapat dipilih "6 tahun maa jabatan dan "
" "Kepala Desa "kembali hanya untuk satu "untuk selanjutnya dapat "
" " "kali masa jabatan "dipilih kembali maksimal 3"
" " " "kali berturt-turt atau "
" " " "tidak berturut-turut. "
"4. "Syarat Kepala "Tidak mencantumkan "Tercantumkan secara rinci "
" "Desa "(melalui PP 72 Tahun 2005)"dalam UU. "
"5. "Pemilihan "Tercantum "Tercantum "
" "Kepala Desa " " "
"6. "Lembaga "Badan Permusyawaratan Desa"Badan permusyawaratan Desa"
" "Perwakilan " " "
"7. "Keanggotaan "Ditetapkan melalui "Pengisian kenaggotan "
" "Lembaga "musyawarah mufakat "lembaga perwakilan secara "
" "Perwakilan " "demokratis "
"8. "Pemberhentian "Tidak dicantumkan "Tercantumkan dalam UU "
" "Kepala Desa "(dicantumkan melalui PP 72" "
" " "Tahun 2005) " "
"9. "Perubahan desa"Peluang itu diberikan "Peluang diberikan "
" "menjadi " " "
" "kelurahan " " "
"10."Penataan "Kepala desa bersama Badan "Peraturan desa di tetapkan"
" "Peraturan Desa"Permusyawaratan Desa "oleh kepala desa setelah "
" " "menetapkan peraturan desa "dibahas dan disepakati "
" " " "dengan Badan "
" " " "permusyawaratan desa "
"11."Kewenangan "urusan pemerintahan yang "Berdasasrkan pasal 18 "
" "desa "sudah ada berdasarkan hak "kewenangan desa meliputi "
" " "asal-usul desa; "kewenangan di bidang "
" " "urusan pemerintahan yang "penyelenggaraan "
" " "menjadi kewenangan "Pemerintahan Desa, "
" " "kabupaten/kota "pelaksanaan Pembangunan "
" " "yangdiserahkan "Desa, Pembinaan "
" " "pengaturannya kepada desa;"kemasyarakatan Desa dan "
" " "tugas pembantuan dari "Pemberdayaan masyrakata "
" " "Pemerintah, pemerintah "Desa berdasarkan prakarsa "
" " "provinsi, "masyarakat, hak asal usul "
" " "dan/ataupemerintah "dan adat istiadat desa. "
" " "kabupaten/kota; "Kewenangan berdasarkan hak"
" " "urusan pemerintahan "asal-usul "
" " "lainnya yang oleh "Kewenangan lokal berskala "
" " "peraturan "desa "
" " "perundangperundangandisera"Kewenangan yang ditugaskan"
" " "hkan kepada desa. "oleh pemerintah, "
" " " "pemerintah daerah propinsi"
" " " "atau pemerintah daerah "
" " " "kabupaten /kota "
" " " "Kewenangan lain yang "
" " " "ditugaskan oleh "
" " " "Pemerintah, Pemerintah "
" " " "Daerah Provinsi, atau "
" " " "Pemerintah daerah "
" " " "Kabupaten/Kota sesuai "
" " " "dengan ketentuan peraturan"
" " " "perUndang-Undangan. "
"12."Penjelasan "'Otonomi Desa' adalah "'Otonomi Desa' tidak lagi "
" "tambahan "bagian dari 'Otonomi "menjadi sisanya 'Otonomi "
" " "Daerah' yang diserahkan ke"Daerah' (yang bersumber "
" " "desa "dari hak pemberian), "
" " " "melainkan menjadi wujud "
" " " "pengakuan atas hak "
" " " "asal-usul yang dimiliki "
" " " "desa (bersumber dari hak "
" " " "bawaan) "
"13 "Desa Adat dan "Belum diakui adanya desa "Ada aturan rinci dan "
" "Lembaga Adat "adat dan lembaga adat desa"khusus mengenai desa adat "
" "Desa " "dan lembaga desa adat "
"14 "Unsur keadilan"Belum diatur "Diatur, khususnya dalam "
" "gender " "pasal 54 ayat (1), pasal "
" "(dorongan bagi" "58 ayat (1), pasal 63 "
" "keterlibatan " "huruf b. "
" "perempuan di " " "
" "tingkat desa) " " "
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 merupakan bentuk apresiasi terhadap
kondisi desa yang masih mempertahankan adatnya, seperti nagari di Sumatra
Barat, Lembang di Sulawesi dan lain sebagainya. Untuk itu dari segi
kelembagaan desa dalam UU Desa ditambah dengan namanya lembaga adat,
seperti yang terlihat di bagan. Kemudian perbedaan terkait masa jabatan
kepala desa, dalam UU No. 32 Tahun 2014 hanya 6 tahun dan selanjutnya dapat
dipilih satu kali lagi. Sedangkan UU No. 6 Tahun 2014 masa jabatan nya
adalah 6 tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali maksimal 3 kali
berturut-turut maupun tidak. Ada yang menarik, jika desa tersebut desa adat
maka jabatan kepala desa adat diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi
dasa adat[9]. Berkaitan dengan kewenangan desa perbedaanya terletak pada
otonomi desa yang perlahan terlihat pada UU No. 6 tahun 2014, karena
sebelumnya desa hanya menjadi pelaksana dari tugas kewenangan yang
diberikan pemerintahan supra desa seperti pemerintahan kabupaten/kota.
Kemudian bargaining position desa relatif kuat dalam masalah pembangunan
Desa dan kawasan perdesaan. Jika sebelumnya pada UU No 32 tahun 2004 desa
hanya tunduk pada pembangunan yang terintegrasi dengan pusat dan daerah
maka kini rancangan pembangannan kawasan perdesaaan dibahas bersama oleh
pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupatan/kota
dan pemerintah desa.[10]
E. Implikasi Politik UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Dalam rangka pelaksanaan otonomi, khususnya di tingkat desa, akan
sangat bergantung pada kesiapan pemerintah desa dalam menata sistem
pemerintahannya agar tercipta pembangunan yang efektif, efesien,
transparan, dan akuntabel serta memperoleh partisipasi dari masyarakat desa
dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Seiring diberlakukannya Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014, kedudukan desa untuk melaksanakan otonomi lebih
diperkuat. Dengan Undang-Undang tersebut pemerintahan desa diberikan ruang
yang lebih besar dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Desa bukan
lagi menjadi subsistem dari pemerintah daerah yang seolah-olah
kewenangannya untuk mengatur masyarakat merupakan hasil pemberian dari
pemerintah di atasnya. Akan tetapi melalui UU Desa ini, Desa menjadi sebuah
sistem otonomi baru yang punya pertanggungjawaban langsung pada Pemerintah
Pusat dengan tetap tidak melupakan pertanggungjawabannya kepada Pemerintah
Daerah. Bisa dikatakan kewenangan desa yang tadinya bersifat pemberian dari
atas, saat ini berpeluang untuk menjadi bersifat bottom up.
Selanjutnya terkait dengan struktur kelembagaan di tingkat Desa, yang
tadinya berdasar UU No. 32 Tahun 2004 hanya ada Pemerintah Desa, Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), dan Lembaga Kemasyarakatan, saat ini berdasar
UU No. 6 Tahun 2014, muncul lembaga baru yang disebut dengan Lembaga Adat
Desa. Selain Lembaga Adat, kehadiran elemen baru yang disebut dengan Desa
Adat dalam UU No. 6 Tahun 2014 ini juga menarik dan cukup berdampak secara
politik di tingkat desa. Dalam UU tersebut ditulis dan dirinci aturan
secara eksplisit tentang Desa Adat. Hal tersebut menunjukkan bahwa norma-
norma asli di tingkat desa, yang berupa adat istiadat setempat sudah diakui
dan disahkan secara konstitusional. Otonomi asli di tingkat desa yang
bersifat lokal dan khusus saat ini sudah diberi ruang untuk berkembang.
Setelah membahas struktur kelembagaannya, lebih lanjut mari kita lihat
mengenai tugas dan fungsi masing-masing lembaga di tingkat desa berdasar UU
Desa yang baru, dan bagaimana interaksinya. Pertama, Badan Permusyawaratan
Desa. BPD merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa. BPD dapat dianggap sebagai "parlemen" di tingkat desa.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa
berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara
demokratis. Menurut Undang-Undang No. 6 tahun 2014 pasal 55 menyebutkan
tugas dari BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yakni membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat Desa dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Disini ada penambahan fungsi BPD yang berbeda dari UU sebelumnya, yaitu
melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Dengan penambahan tersebut fungsi
BPD di Desa akan semakin kuat, karena ada mekanisme check and balances yang
diharapkan muncul melalui fungsi kontrol BPD terhadap Kepala Desa.
Kedua, Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). Yang disebut dengan lembaga
kemasyarakatan desa seperti, rukun tetangga, rukun warga, pembinaan
kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan lembaga pemberdayaan masyarakat
atau yang disebut dengan nama lain. LKD bertugas membantu Pemerintah Desa
dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat Desa. Lembaga
kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat Desa
dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang
mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat
serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan
pembangunan. Dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa LKD menjadi
wadah interaksi politik pemerintahan di Desa yakni sebagai saluran
partisipasi masyarakat Desa, sekaligus sebagai mitra Pemerintah Desa.
Dengan adanya Lembaga Kemasyarakatan Desa interaksi politk pemerintahan
desa akan lebih mudah berjalan.
Ketiga, Lembaga Adat. Lembaga tersebut lain daripada kedua lembaga
tadi. Lembaga Adat mempunyai karakteristik yang khas, karena lembaga
tersebut hanya berada di desa-desa tertentu yang memiliki nilai-nilai adat
kental, misalnya di daerah Bali. Dimana dijelaskan dalam Undang-Undang No.
6 tahun 2014 pasal 95 yaitu, Pertama, Pemerintah Desa dan masyarakat Desa
dapat membentuk Lembaga Adat Desa. Kedua, Lembaga Adat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat
istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan
berkembang atas prakarsa masyarakat Desa. Ketiga, Lembaga Adat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan
sebagai mitra dalam memberdayakan dan melestarikan adat-istiadat maupun
budaya asli setempat. Secara garis besar Lembaga Adat memiliki fungi yang
hampir sama dengan Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan
Desa yakni sebagai mitra Pemerintah Desa dalam pengambilan kebijakan-
kebijakan, khususnya menjadi dewan pertimbangan bagi Pemerintah Desa dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan adat istiadat setempat.
Tingginya peluang partisipasi bagi elemen-elemen masyarakat untuk ikut
serta mengawal pemerintahan di tingkat desa berdasarkan UU Desa yang baru
ini, di sisi lain membuka peluang bagi munculnya elit-elit politik baru di
tingkat lokal. Sirkulasi elit di tingkat lokal desa yang biasanya cenderung
berjalan lamban, saat ini berpotensi untuk dapat berjalan lebih cepat dan
lebih dinamis. Besarnya peluang partisipasi bagi seluruh elemen masyarakat
desa ini menyebabkan sistem politik yang lebih dinamis di tingkat desa.
Selanjutnya, besarnya alokasi dana APBN yang akan mengalir ke desa juga
turut andil dalam meningkatkan dinamisasi politik di tingkat desa. Pada
pasal 72 ayat (4) disebutkan, paling sedikit 10% dari dana transfer daerah
dalam Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN) akan mengalir ke Desa.
Berdasarkan simulasi anggaran, setiap Desa rata-rata akan menerima Rp 1,44
Milyar di tahun 2014.[11] Desa saat ini punya posisi tawar yang tinggi
terkait besarnya alokasi dana desa dan mulai terpusatnya perhatian
pemerintah terhadap desa. Daya tarik desa ini terlihat dari banyaknya LSM
maupun lembaga Civil Society tertentu yang mulai tertarik untuk concern
pada pendampingan masyarakat desa, khususnya dalam hal penyususnan program
dan anggaran dana desa. Keterlibatan Lembaga-lembaga tersebut sebenarnya
memang cukup penting dan diperlukan, karena untuk saat ini kapasitas
masyarakat desa memang masih belum memadahi untuk mengelola alokasi dana
desa yang sebesar itu secara mandiri.
Di sisi lain, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dari
perencanaan pembangunan Desa. Dengan adanya aliran dana sedemikian besar,
sudah dipastikan Desa akan menjadi sasaran menarik bagi banyak kelompok
kepentingan, baik dari internal Desa itu sendiri maupun dari luar, yang
dapat "menunggangi" perencanaan pembangunan Desa sehingga tujuan utama yang
menjadi cita-cita dari UU Desa itu sendiri tidak dapat tercapai. Kelompok-
kelompok ini akan saling mengklaim bahwa proposal program pembangunan Desa
yang mereka ajukan paling baik dan tepat untuk dilaksanakan. Meskipun pasal
80 ayat (4) sudah menetapkan prioritas, program, dan kebutuhan Pembangunan
Desa, namun jika ada upaya baru yang belum terpayungi dokumen perencanaan
desa maka perlu dilakukan forum review Musyawarah perencanaan Pembangunan
Desa (Musrenbangdes) dalam menyusun rencana pembangunan Desa. Hal penting
lainnya mengenai Pasal 79 ayat (1) yang menegaskan perencanaan pembangunan
Desa disusun dengan kewenangannya pada perencanaan pembangunan
Kabupaten/Kota. Adanya peran vital kabupaten/kota dalam menampung dan
mencairkan dana desa setelah adanya proposal program dari Desa akan
menimbulkan tantangan tersendiri. Beragamnya kapasitas kabupaten/kota dalam
mendampingi Desa dapat berakibat pada pemanfaatan DAD (Dana Alokasi Daerah)
di desa yang tidak sesuai dengan tujuan dan prioritas pembangunan
Kabupaten/Kota.[12]
F. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah kami jabarkan di atas, dapat ditarik
kesimpulan, yaitu terdapat beberapa perbedaan mendasar dari UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa dengan UU sebelumnya, yaitu Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan tersebut mencakup berbagai elemen,
diantaranya seperti dari segi kelembagaan desa dalam UU Desa yang baru
ditambah dengan elemen Lembaga Adat. Kemudian perbedaan terkait masa
jabatan kepala desa, UU No. 32 Tahun 2014 hanya 6 tahun dan selanjutnya
dapat dpilih satu kali lagi. Sedangkan UU No. 6 Tahun 2014 masa jabatan nya
adalah 6 tahun dan selanjutnya dapat dipilih kembali maksimal 3 kali
berturut-turut maupun tidak. Hal yang juga tidak kalah menarik yaitu, kalau
berdasar UU No.32 tahun 2004, desa hanya bisa patuh terhadap rancangan
program pembangunan desa dan hanya menjadi pelaksana aturan dan program
yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, tetapi dalam UU No.6
tahun 2014 Pemerintah Desa langsung ikut andil dalam program penyusunan
rancangan pembangunan desa. Disini desa lebih berperan aktif terkait
pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat desa yang sebenarnya. Secara garis
besar, dapat dikatakan bahwa hadirnya UU Desa ini memberi ruang
partisispasi yang lebih bagi seluruh elemen masyarakat desa dan posisi
otonomi asli desa menjadi lebih kuat, karena desa tidak lagi menjadi sub
sistem dari pemerintah daerah yang ada di atasnya.
Selain itu, UU desa terbaru ini juga menjabarkan tentang kucuran dana
untuk pembangunan desa yaitu 10% dari APBN dan beberapa persen dana dari
sumber lain seperti APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Hal ini
dimaksudkan untuk mendukung proses pembangunan yang memadai di Desa. UU ini
diharapkan dapat membangun otonomi desa yang sbebenarnya, mengakui
keberagaman desa di Indonesia dengan diaturnya dan diakuinya desa Adat,
meningkatkan partisipasi serta pembangunan desa baik dari sumber daya alam
maupun sumber daya manusia yang ada di desa. Selama ini desa dilanda
kemiskinan, pengangguran, pendidikan rendah, fasilitas kesehatan yang
kurang memadai, dengan adanya UU ini muncul cita-cita untuk membangun desa
menjadi lebih baik lagi. Peran lembaga-lembaga di luar desa seperti LSM,
lembaga Civil Society, serta akademisi sangat penting, dalam hal ini untuk
melakukan pendampingan bagi pemerintah dan masyarakat desa agar dapat
mengelola dana yang dikucurkan ke desa secara maksimal. Tingginya alokasi
dana desa yang besar ini selain menjadi daya tarik untuk mendampingi desa,
di sisi lain juga patut diwaspadai hadirnya kelompok-kelompok kepentingan
yang justru akan memanfaatkan besarnya dana ini hanya untuk kepentingan
pribadi maupun kelompoknya.
Daftar Pustaka
______. UU Desa, Miliaran Rupiah Tiap Tahun Untuk Desa. Diakses pada 14
April 2016 melalui http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-
perUndang-Undangan/2561-uu-desa-miliaran-rupiah-tiap-tahun-untuk-
desa.html
Arie Sudjito: UU Desa Perkuat Kewenangan Pemerintah Desa. Diakses pada 14
April 2016 melalui http://www.kabarwajo.com/index.php/seputar-
wajo/liputan-khusus/item/487-arie-sujito-uu-desa-perkuat-kewenangan-
pemerintah-desa.html
Budiman Sudjamiko, tanpa tahun, Isu-isu Strategis UU Desa,
kkn.bunghatta.ac.id/downloadIsu%20Strategis%20UU%20Desa.pdf.htm l
(online), (14 April 2015).
http://pattiro.org/?p=3484, diakses pada 14 April 2016.
http://www.coreindonesia.org/view/85/tantangan-peluang-pembangunan-pedesaan-
dengan-mplementasi-uu-desa.html, diakses pada 14 April 2016
Huda, Ni'matul, 2007, Pengawasan Pusat terhadap Daerah dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta.
Huda, Ni'matul, 2014, Perkembangan Hukum Tata Negara (Perdebatan dan
Gagasan Penyempurnaan), FH UII Press, Yogyakarta.
Maschab, Masyuri. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta:
PolGov.
Naskah Akademik UU Desa 2014
Potensi Dampak Negatif Undang-Undang Desa. 2014. Tersedia di
https://www.yipd.or.id/en/articles/potensi-dampak-negatif-Undang-
Undang-desa (online), diakses pada 14 April 2016.
Raharja,Tri. Tanpa tahun. Intisari UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Tersedia di:
https://www.academia.edu/6241649/intisari_UU_no_6_tahun_2014_ttg_Desa_o
leh_Try_Raharjanto_ (online), diakses pada 14 April 2016
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Zakaria, Anang. 2014. Janjikan Rp 1 Miliar, Prabowo Dianggap Jual Negara.
Tersedia di
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/03/18/269563160/Janjikan-Rp-1-
Miliar-Prabowo-Dianggap-Jual-Negara diakses pada 14 April 2014
-----------------------
[1] Ni'matul Huda, 2014, Perkembangan Hukum Tata Negara (Perdebatan dan
Gagasan Penyempurnaan), FH UII Press, Yogyakarta, hlm 361.
[2] Ni'matul Huda, 2007, Pengawasan Pusat terhadap Daerah dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, hlm 7.
[3] Naskah Akademik UU Desa 2014.
[4] Pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, lembaran Negara
Republik IndonesiaTahun 2014 Nomor 7
[5] Taliziduhu Ndraha, 1991, Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa, Bumi
Aksara, Jakarta, hlm.20-25
[6] Talaziduhu Ndraha,Op.Cit,hlm.9
[7] lihat Pasal 206 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
pasal 19 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
[8] Lihat Pasal 77 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
[9] Maschab, Maschuri. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta:
PolGov, hal. 299
[10]Ibid hal. 301
[11] http://pattiro.org/?p=3484
[12] http://pattiro.org