Negosiasi dan Resolusi Konflik
Konflik Buruh Dengan Manajemen
Dosen Pengampu : Syafaruddin Alwi Drs.MBA
Disusun Oleh:
Rangga Surya Hidayat (14311639)
Agus Yulianto (14311646)
Muhammad Rafi Adriyan (14311645)
Elmy Nur Rohmah (14311653)
Evi Komalasari Aji Darma (14311657)
PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
PT. Tjiwi Kimia
Apa masalah yang menjadi konflik
Konflik antara perusahaan dan para buruh yang terjadi di PT. Tjiwi Kimia sebelumnya, pada tahun 2012 juga pernah terjadi konflik antara perusahaan dengan buruh yang disebabkan oleh adanya pemutusan hak kerja (PHK) secara sepihak yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Sebagai reaksi atas pemutusan secara sepihak tersebut, para buruh kemudian melakukan demo untuk menuntut hak kerja mereka. Pasca terjadinya demo tersebut, perusahaan tetap tidak memenuhi tuntutan dari para buruh yang telah di PHK, total buruh yang di PHK oleh Tjiwi Kimia pada saat itu berjumlah sebanyak 72 buruh terhitung sejak bulan Februari hingga Maret 2014. Dalam perjalanannya gerakan buruh pasca reformasi (selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini), dapat dilihat bahwa kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat misalnya, meskipun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa regulasi mengenai perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang relatif rendah dengan jam kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang memadai. Para pekerja tersebut dibayar dengan gaji di bawah rata-rata para pekerja yang jelas-jelas sangat merugikan.
Pemberian upah yang sangat kecil tersebut tentunya tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan dari para buruh pekerja harian tersebut. Disamping itu, buruh yang juga telah bekerja lama di perusahaan tersebut, hingga saat ini juga masih dipertanyakan kesejahteraannya. Studi yang dilakukan Monique Borrel, tentang Konflik Industri, Demonstrasi Masa, serta Perubahaan Ekonomi dan Politik di Perancis Pascaperang (2004), menunjukkan bahwa salah satu temuannya adalah bahwa gelombang pemogokan dan pemogokan umum secara signifikan dipengaruhi oleh kesejahteraan sosial, upah minimum, dan jam kerja. Munculnya berbagai macam isu seperti akan dilakukan PHK pada buruh, penggantian tenaga buruh dengan mesin, dan lain sebagainya menjadikan para pekerja semakin sering membicarakan apa yang saat ini menjadi kekhawatiran mereka seperti adanya PHK, peningkatan beban kerja, dan penambahan jam kerja. Oleh karena itu perlu memunculkan kesadaran dari para buruh terkait dengan kondisi yang mereka alami pada saat ini, baik terhadap buruh yang telah menjadi pekerja di Tjiwi Kimia, maupun terhadap buruh harian yang saat ini semakin bertambah jumlahnya.
Standing point
Adanya penindasan yang dilakukan oleh mandor dengan cara outsourcing yang dikontrak dengan upah yang kurang optimal dibawah UMR tanpa kontrak yang mengikat dengan pihak manajemen perusahaan. Hal ini yang dialami oleh buruh di Tjiwi Kimia dimana mandor mandor yang merupakan karyawan perusahaan kemudian mencari orang yang bersedia bekerja tanpa ikatan kontrak resmi dari perusahaan dengan upah seadanya. Para pekerja tersebut di bayar dengan gaji di bawah rata rata para pekerja atau UMR yang jelas jelas merugikan dirinya. Pemberian upah yang sangat kecil ini tentunya tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan dari para buruh pekerja harian tersebut. Dalam kasus ini di kemukakan bahwa mandor mencari para pekerja yang mau bekerja dengan sistem outsourching pada bagian produksi pabrik yang jelas jelas menguntungkan perusahaan. Buruh harian yang di pekerjakan di perusahaan tersebut di ketahui menerima pemotongan harga sebesar 30%, yang seharusnya upah harian yang di dapat oleh para buruh sebesar RP. 20.000 namun ternyata yang di berikan kepada para pekerja sebesar RP.8000 an saja. Tentunya ini sangat merugikan para buruh yang notabene nya mereka adalah masyarakat miskin yang rendah di tengah melimpah nya jumlah pencari kerja, serta pengangguran yang meningkat membuat para pekerja pasarah menerima nasib dengan upah yang kurang layak demi mengadu nasib yang pemotongan upah ini ternyata sangat menguntungkan para mandor karna keuntungan sisanya di terima oleh para mandor itu sendiri.
Pihak yang terlibat
Mandor
Mandor merupakan orang yang bertugas memimpin buruh-buruh yang bersifat perorangan dan tidak berbadan hukum. Dengan menggunakan sistem mandor, biasanya perusahaan konstruksi hanya berhubungan dengan mandor saja sebagai pihak ketiga ,sehingga pihak manjemen tidak perlu berhubungan/bertanggung jawab terhadap buruh. Dalam kasus ini mandor yang diserahkan tanggung jawab untuk memberikan upah tersebut diketahui memotong upah para buruh tersebut untuk keuntungannya sendiri. Para buruh harian tersebut dipekerjakan pada sektor produksi yaitu memproduksi kertas.Selain itu kebijakan outsourcing yang dilakukan melalui mandor juga memperlihatkan lemahnya posisi buruh yang ada di perusahaan tersebut. Posisi tawar pekerja dan masyarakat miskin yang rendah di tengah melimpahnya jumlah pencari kerja, pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk migran yang mencoba mengadu nasib mencari kerja di kota besar adalah titik-titik lemah yang seringkali disadari benar oleh para investor untuk membuat para pekerjanya pasrah menerima nasib menerima upah yang tak pernah beringsut ke taraf yang terkategori layak dan adil.
Buruh
Buruh merupakan mereka yang berkerja pada usaha perorangan dan di berikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis, yang biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian. Dalam kasus ini, pasca terjadinya PHK di tahun 2012 lalu, saat ini buruh di Tjiwi Kimia juga mengalami penindasan yang dilakukan oleh perusahaan. Salah satu bentuk penindasan yang nampak adalah munculnya tenaga outsourcing yang dikontrak melalui mandor di perusahaan tersebut.
Karyawan
Buruh, pekerja, worker, laborer, tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya merupakan manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan
Karyawan outsourching
Karyawan outsourcing merupakan karyawan kontrak yang dipasok dari sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing. Awalnya, perusahaan outsourcing menyediakan jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan dan tidak mempedulikan jenjang karier. Pada kasus Tjiwi Kimia, dengan dipekerjakannya pekerja outsourcing pada bagian produksi pabrik, jelas-jelas menguntungkan perusahaan karena upah yang didapat oleh outsourcing selalu di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Manajemen perusahaan Tjiwi kimia
Manajemen sebagai seni untuk mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan utama dalam suatu organisasi melalui proses perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), dan mengelola (Controlling) sumber daya manusia dengan cara efektif dan efisien. Dalam kasus manajemen perusahaan Tjiwi kima ini, Para pekerja di dalam perusahaan tersebut dibayar dengan gaji di bawah rata-rata para pekerja yang jelas-jelas sangat merugikan. Pemberian upah yang sangat kecil tersebut tentunya tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan dari para buruh pekerja harian tersebut. Disamping itu, buruh yang juga telah bekerja lama di perusahaan tersebut, hingga saat ini juga masih dipertanyakan kesejahteraannya.
Pemerintah
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Dalam kasus ini contohnya seperti diterapkannya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang outsourcing.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik
Munculnya kebijakan outsorcing di Indonesia yang disahkan oleh UUD No 13 Tahun 2003, ini merupakan faktor lain yang mendorong terjadinya konflik. Kontrak kerja ini pada dasarnya di atur oleh undang undang ketenagakerjaan dimana merupakan perjanjian antara buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Namun terkadang kebijakan outsourching ini sering kali di salah gunakan oleh pihak manajemen maupun oknum oknum tertentu. Bagaimana tidak implikasi yang sering terjadi adalah buruh di berikan upah yang rendah dan kesejahteraan buruh kadang kala di abaikan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang berpotensi dan menjadi pemicu utama konflik antar buruh dan pihak manajemen. Menurut LIPI selama tahun 2010 telah melakukan penelitian tentang UU NO.13 tahun 2003, dari hasil yang di dapatkan bahwasannya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menemukan berbagai kelemahan, termasuk lemahnya upaya penerapan hukum.
Potensi penyelesaian
Seharusnya ketika perusahaan ingin melakukan PHK ada beberapa ketentuan ketentuan yang transparan terkait mengapa pihak manajemen mengambil keputusan untuk PHK karyawan. Hal ini dapat dilakukan dengan mediasi antara manajemen dengan para buruh. Agar terjadi negosiasi yang menghasilkan win win solution bukan malah menimbulkan demonstrasi.
Kemudian terkait tentang mandor, untuk pihak perusahaan harus lebih jeli terhadap karyawan karyawan yang nakal, mandor mempekerjakan tanpa ikatan kontrak para divisi HRM pun harus lebih agresif. Untuk pihak buruh yakni melakukan konsolidasi untuk dapat diberikan upah yang layak, minimal sesuai dengan kesejahteraan dengan cara melakukan mediasi ataupun Bipartit.
Penyelesaian keberlanjutan seharusnya ada upaya pemerintah untuk melibatkan lembaga tripartite nasional ( Tripnas) yang terdiri dari unsur pemerintah, buruh dan pengusaha guna mewujudkan hubungan industrial yang dinamis. Selanjutnya membenahi proses penetapan kebijakan pengupahan agar memenuhi asas keterbukaan, misalnya dengan cara menetapkan formula pengupahan sebagaimana di atur dalam PP pengupahan dimana lewat dialog Tripnas masing masing phak bisa mengusulkan variable apa yang perlu di masukan dalam formulasi pengupahan. Disamping itu perkuat pengawasan di bidang ketenagakerjaan bisa dengan dari pusat ke daerah sehingga pengawasannya lebih intens.
BAB I
PENDAHULUAN
PT Megariamas Sentosa (Tindakan Penolakan atas Pembentukan Serikat Buruh)
Apa masalah yang menjadi konflik
Kasus kali ini adalah membahas mengenai adanya masalah antara serikat pekerja dengan pihak manajemen yaitu pada PT Megarimas Sentosa. Dimana awal konflik bermula pada bulan Maret 2008 ketika buruh mendirikan serikat buruh yang diketuai oleh Abidin. Kemudian serikat buruh tersebut dicatat dalam Sudinakertrans (Suku Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi) di Jakarta Utara pada April 2008 dan serikat itu terhubung dengan Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI). Saat melakukan pencatatan serikat buruh perusahaan, Abidin sebagai ketua umum serikat pekerja mendapatkan surat peringatan dari perusahaan. Padahal pendirian serikat buruh di PT Megarimas Sentosa dikarenakan perusahaan berperilaku sewenang-wenangnya kepada buruh dan melanggar hak buruh seperti halnya melanggar pembayaran jaminan kesehatan, pemberian cuti, pemberian THR (Tunjangan Hari Raya) dan sebagainya.
Pada suatu hari Abidin di undang untuk mengikuti pendidikan paralegal yang diselenggarakan oleh GSBI, undangan tersebut dikirim oleh pihak GSBI 7 hari sebelum pelaksanaan dan sebagai surat dispensasi untuk Abidin, namun pihak manajemen dari PT Megarimas Sentosa mengabaikannya dan malah memberikan surat peringatan kedua kepada Abidin. Abidin menolak surat peringatan itu dan pihak manajemen mencabut hak kerjanya dan Abidin diberhentikan dari PT Megarimas Sentosa (PHK). Mengetahui ketua umum serikat dipecat, maka buruh di PT Megarimas Sentosa melakukan aksi solidaritas dimana mereka melakukan mogok kerja selama 3 hari yaitu pada tanggal 15-17 Juli. Dan aksi tersebut juga untuk memperjuangkan soal jaminan pemeliharaan kesehatan, dan sebagainya. Namun aksi tersebut tidak memberikan pemahaman bagi PT Megarimas Sentosa dan pihak manajemen hanya mengeluarkan surat agar buruh dapat masuk kembali asal tidak melakukan intimidasi apapun sesuai dengan persetujuan.
Kemudian perseteruan terjadi lagi pada 22 Juli 2008 ketika perundingan, yaitu agar mempekerjakan kembali Abidin. Namun perundingan tersebut tidak menuai hasil dan pada akhirnya serikat buruh kembali melakukan mogok kerja pada tanggal 4-8 Agustus. Kali ini mogok kerja sudah dilakukan sesuai dengan hukum, yaitu akibat gagalnya perundingan dan pemberitahuan kepada perusahaan. Tak tanggung-tanggung bukannya menyelesaikan perseturuan tersebut, namun PT Megarimas Sentosa malah memecat semua buruh yang mogok kerja. Padahal perusahaan faktanya melanggar Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh terkait tindakan menghalang-halangi kegiatan berserikat. Dan mengenai mogok kerja yang dilakukan para buruh dianggap perusahaan tidak sah karena menyebabkan buruh mangkir.
Karena tidak terima dengan pemecatan teesebut, para buruh melakukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan kuasa hukum buruh yaitu Ngadinah, yaitu Kepala Departemen Hukum dan Advokasi di GSBI.Menurut Ngadinah, proses PHK yang dilakukan perusahaan tak hanya melanggar Pasal 151 UU No. 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan yakni melalui penetapan PHI terlebih dulu. Tapi juga melanggar Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 Serikat Buruh terkait tindakan menghalang-halangi kegiatan berserikat dengan cara melakukan PHK. Tindakan itu pun melanggar Konvensi ILO No. 87, Pasal 3 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi, tegasnya. Dalam gugatannya, Ngadinah menuntut agar para buruh dipekerjakan kembali dan membayar hak-haknya selama proses perkara ini berlangsung.
Di satu sisi, kuasa hukum PT Megariamas Sentosa, yaitu Maju Simamora menjelaskan bahwa inti perkara ini karena aksi mogok kerja yang dilakukan pada 15 Juli 2008 dianggap tidak sah. Meski begitu, Maju Simamora mengatakan bahwa pihaknya mengajukan eksepsi (penolakan) kewenangan karena gugatan yang diajukan salah alamat. PHI Jakarta Pusat tak berwenang mengadili perkara ini karena ada salah satu penggugat yang berdomisili di wilayah hukum Tangerang. Dari berkas jawaban, akhirnya perusahaan mengaku telah memenuhi tuntutan para pekerja diantaranya soal jaminan pemeliharaan kesehatan, kenaikan tunjangan makan, transport, kontrak kerja sesuai Undang-Undang, dan jaminan kebebasan berserikat sebagaimana tertuang dalam persetujuan bersama. Namun perusahaan tak bisa mengabulkan tuntutan untuk mempekerjakan kembali Abidin.
Standing Point
Terkait alasan atau standing point mengenai masalah pada PT Megarimas Sentosa adalah pada awalnya dari pihak manajemen melakukan pelanggaran hak buruh, dan karena itu dibentuklah serikat buruh. Namun dari pihak manajemen menolak adanya pembentukan serikat buruh. Oleh karena itu pihak manajemen mengeluarkan surat peringatan pertama ketika pembentukan serikat buruh di PT Megarimas tersebut dicatat dalam Sudinakertrans (Suku Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi) Jakarta.
Kemudian alasan lain mengapa terjadinya konflik yaitu ketika Ketua umum serikat buruh, yaitu Abidin mendapat surat dispensasi untuk mengikuti pendidikan paralegal oleh GSBI (Gerakan Serikat Buruh Independen), dimana surat tersebut telah dikirim ke PT Megarimas Sentosa 7 hari sebelum pelatihan. Namun dari pihak manajemen PT Megarimas Sentosa mengabaikan surat tersebut dan Abidin sendiri diberikan surat peringatan kedua. Tetapi Abidin malah tidak memperdulikan surat peringatan kedua tersebut. Pada akhirnya perusahaan mencabut hak kerja atau memberhentikan Abidin dari PT Megarimas Sentosa,
hal tersebut langsung menjadi perhatian bagi para buruh lainnya. Dan para buruh tersebut melakukan aksi solidaritas yaitu mogok kerja selama 3 hari berturut-turut dan aksi tersebut juga untuk memperjuangkan jaminan yang dulunya akan diberikan perusahaan.
Setelah aksi tersebut dilaksanakan, perusahaan bukannya malah memiliki pemahaman sesuai apa yang diinginkan para buruh. Namun perusahaan hanya mengedarkan surat kepada para buruh untuk masuk kembali bekerja dan tanpa melakukan intimidasi apapun melalui persetujuan.
Selanjutnya alasan terjadinya konflik lain adalah ketika perundingan untuk memperkerjakan kembali Abidin tidak memberikan hasil yang pasti. Dan pada akhirnya para buruh kembali melakukan mogok kerja, kali ini mogok kerja sesuai dengan hukum yaitu akibat gagalnya perundingan dan pemberitahuan kepada perusahaan. Namun tanggapan perusahaan untuk para buruh pun malah memberhentikan semua buruh yang melakukan mogok kerja dan mengatakan bahwa mogok kerja yang dilakukan tidak sah.
Pihak yang terlibat
Pekerja PT. Megariamas Sentosa
Didalam konflik tersebut pekerja menjadi pihak yang merasakan imbas terkait kebijakan yang dilakukan oleh pihak manajemen PT. Megariamas Sentosa, dimana didalam konflik yang terjadi pihak manajemen monolak adanya pembentukan serikat buruh didalam perusahaan tersebut sehingga pekerja mengalami keculitan dalam menyampaikan sapirasinya, selain itu didalam konflik tersebut pekerja menjadi pihak yang mengalami tindakan PHK sepihak dan pemberian THR secara sewenang-wenang dari pihak manajemen PT. Megariamas Sentosa
Manajemen PT. Megariamas Sentosa
Didalam kasus ini pihak menjemen PT. Magarimas menjadi pihak yang tersandung masalah, terkait perlakuannya kepada pekerjanya dimana tindaka-tindakan yang dilakukan diantaranya adalah melakukan PHK sepihak tanpa adanya kejelasan, tidak dipenuhinya pemberian THR, pemberian cuti yang sangat sulit, bahkan jam kerja yang melampaui batas.
Abidin (Ketua Umum Serikat Pekerja PT. Megariamas Sentosa)
Didalam kasus ini Abidin merupakan salah satu penggerak munculnya serikat pekerja dalam perusahaan tersebut selain itu didalam kasus ini Abidin juga menjadi salah satu faktor pemicu adanya gerakan simpati masa dikarenakan pemecatannya dalam perusahaan tersebut.
Ngadinah (Kepala Departemen Hukum dan Advokasi di GSBI)
Merupakan kuasa hukum dari para pekerja yang tergabung dalam Gerakan Serikat Buruh Indonesia/GSBI dimana ia merupakan perantara yang akan ikut memperjuangkan hak-hak dari pekerja untuk dapat dipenuhi oleh perusahaan selayaknya hak-hak yang diperoleh pekerja pada umumnya.
Sudinakertrans (Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
Merupakan salah satu lembaga pemerintah yang mengurusi mengenai ketenagakerjaan, dimana Sudinakertrans sendiri berperan dalam memberikan regulasi guna terwujutnya hubungan timbal balik yang baik antara pihak-pihak yang terlibat dalam urusan pekerja, selain itu melalui regulasinya juga berguna untuk memastikan hak-hak dari pekerja telah terpenuhi,
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik
Faktor yang mendorong terjadinya konflik adalah dari pihak manajemen PT Megarimas Sentosa tidak memberikan hak kepada buruh sebagai pekerja, antara lain tidak memberikan jaminan kesehatan, cuti, tunjangan hari raya, dan sebagainya. Seharusnya dari pihak manajemen puncak mengadakan koordinasi dengan manajemen menengah mengenai tunjangan maupun jaminan yang akan diberikan kepada buruh, dan hal tersebut bukan hanya sekedar janji tapi juga secara nyata.
Kemudian faktor lain adalah adanya tindakan dari pihak manajemen yang kurang setuju dengan pembentukan serikat buruh di perusahaan, sehingga pihak manajemen PT Megarimas Sentosa mengabaikan kegiatan yang bersangkutan dengan pembentukan serikat buruh dan mengeluarkan surat peringatan.
Selain itu faktor yang menyebabkan konflik terjadi ketika PT Megarimas Sentosa memberhentikan Abidin dan menyebabkan para buruh mogok kerja dan menuntut agar Abidin dipekerjakan kembali melalui persetujuan dari pihak manajemen.
Potensi Penyelesaian
Seharusnya di awal, terdapat kesepakatan atau persetujuan antara buruh dengan pihak manajemen terkait dengan kontrak kerja, kemudian pemberian jaminan maupun tunjangan. Sedangkan beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik yang telah terjadi dapat dengan menggunakan perundingan secara dua arah.Untuk lebih menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU No 2 Tahun 2004, penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna mencari musyawarah mufakat di luar pengadilan. terdapat beberapa cara yang mungkin dapat dilakukan dalam perundingan atau penyelesaian perselisihan di luar pengadilan, yaitu melalui bipartit, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.
Bipartit
Penyelesaian perselisihan atau perundingan antara pengusaha dan pekerja atau kuasa pekerja (serikat pekerja) di tingkat perusahaan. Bilamana dalam perundingan ini terjadi kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya Perjanjian Bersama ini wajib didaftarkan di Perselisihan Hubungan Industrial guna memperoleh Akta Bukti Pendaftaran Perjanjian Bersama. Apabila ternyata kemudian salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan dalam Perjanjian Bersama, pihak yang dirugikan hak perdatanya dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI di wilayah hukumnya. Penyelesaian perselisihan melalui Bipartit ini harus tuntas paling lama 30 hari sejak tanggal perundingan. Bilamana dalam jangka waktu 30 hari perundingan buntu (deadlock) atau salah satu pihak yang beperkara menolak untuk berunding, maka perundingan bipartit dianggap gagal. Apabila dalam perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian bipartit. Selanjutnya, Disnaker menawarkan kepada para pihak beperkara untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Namun apabila pihak yang beperkara tidak menetapkan pilihan melalui konsiliasi atau arbitrase, Disnaker melimpahkan penyelesaiannya melalui mediasi.
Konsiliasi
Konsoliasi adalah lembaga perorangan atau swasta mandiri yang diangkat dan diberhentikan dalam periode tertentu melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Konsiliasi mencakup penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan yang dilakukan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Berbeda dengan mediasi yang dapat menyelesaikan segala jenis perselisihan, dalam konsiliasi ada pengecualian, yaitu perselisihan hak. Perselisihan hak hanya dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi.
Apabila dalam perundingan di tingkat konsiliasi ini terjadi kesepakatan para pihak, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak beperkara. Selanjutnya didaftarkan di PHI untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka pihak yang merasa kurang puas atau dapat mengajukan surat gugatan ke PHI.
Arbitrase
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase hubungan industrial yang dilakukan oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tersebut tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase harus sudah diselesaikan dalam jangka 30 hari kerja sejak penandatanganan surat penunjukan arbiter. Perpanjangan waktu penyelesaian perselisihan hanya dapat dilakukan satu kali, yaitu sebanyak 14 hari kerja. Hal ini harus dengan persetujuan para pihak.
Selanjutnya perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat dilakukan di Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 53 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). Apabila terjadi penyelesaian damai, maka arbiter akan membantu para pihak untuk membuat perjanjian bersama dan mendaftarkannya di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial untuk mendapatkan bukti akta perdamaian. Namun apabila tidak terjadi penyelesaian secara damai dan kekeluargaan, arbiter akan mengeluarkan putusan yang bersifat final, yang harus diikuti oleh para pihak yang berselisih. Atas putusan arbiter tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan, karena putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak, dan merupakan putusan akhir yang berkekuatan tetap.
Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian perselisihan antara pengusaha dan pekerja atau kuasa pekerja yang diperantarai mediator atau Pegawai Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Dulu, disebut Tingkat Tripartit atau Tingkat Perantaraan. Lembaga ini merupakan penyelesaian terakhir di luar pengadilan, apabila salah satu atau para pihak beperkara tidak dapat menetapkan pilihan konsiliasi atau arbitrase, atau menolak penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase.
BAB I
PENDAHULUAN
PT GUDANG GARAM
Apa masalah yang menjadi konflik
Pada kasus yang kami bahas kali ini adalah mengenai kasus eksploitasi buruh yang dilakukan oleh Perusahaan Gudang Garam. Perusahaan Gudang Garam adalah salah satu industri rokok terkemuka di tanah air yang telah berdiri sejak tahun 1958 di kota Kediri, Jawa Timur. Hingga kini, Gudang Garam sudah terkenal luas baik di dalam negeri maupun mancanegara sebagai penghasil rokok kretek berkualitas tinggi. Produk Gudang Garam bisa ditemukan dalam berbagai variasi, mulai sigaret kretek klobot (SKL), sigaret kretek linting-tangan (SKT), hingga sigaret kretek linting-mesin (SKM). Bagi Anda para penikmat kretek sejati, komitmen kami adalah memberikan pengalaman tak tergantikan dalam menikmati kretek yang terbuat dari bahan pilihan berkualitas tinggi.
Dalam perjalanan dalam operasinya perusahaan gudang garam memiliki beberapa masalah dengan para buruh atau karyawannya. Dimana konflik industrial yang terjadi antara PT. Gudang Garam dengan karyawannya melibatkan unsur dominasi. Perusahaan mempunyai instrumen hegemoni berupa regulasi yang mengatur hubungan struktural perusahaan dengan buruh. Konflik industrial sering kali dalam berbagai kasus diwarnai dengan aksi massa. Begitu pula yang terjadi dengan konflik yang melibatkan buruh dan perusahaan gudang garam ini. Aksi massa yang dilakukan buruh menuntut untuk dibatalkannya PHK yang dilakukan PT. Gudang Garam. Bentuk aksi massa berupa demonstrasi dan penyampaian aspirasi buruh untuk menuntut perusahaan agar membatalkan PHK yang dilakukan secara sepihak. Seperti yang telah diberitakan di berbagai media bahwa perusahaan gudang garam ini melakukan PHK terhadap 12.000 karyawannya. Dimana hal ini berakibat pada penghasilan buruh yang selama ini bergantung terhadap perusahaan terhenti dan tentunya akan berdampak pula terhadap kehidupan ekonomi 20.000 keluarga buruh yang terkena PHK tersebut.
Masalah yang dihadapi buruh tidak hanya dalam satu aspek, seperti pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang dilakukan perusahaan. Tetapi ada hal lain yang dihadapi oleh buruh seperti dalam hal upah minimum regional (UMR), masalah outsourcing dan karyawan kontrak. Kebijakan pemerintah yang yang ada dirasa tidak memihak para buruh yakni sistem kerja outsourcing. Sistem kerja outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerja dan penyedia jasa tenaga kerja.
Standing point
Terkait standing point dari kasus ekspoitasi buruh di Indonesia yang melibatkan PT. Gudang Gram, menyatakan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan beberapa pelanggaran yang diantaranya menyangkut melakukan pemberhentian hubungan kerja (PHK) terhadap 12.000 karyawannya. Dimana hal ini berakibat pada penghasilan buruh yang selama ini bergantung terhadap perusahaan terhenti dan tentunya akan berdampak pula terhadap kehidupan ekonomi 20.000 keluarga buruh yang terkena PHK tersebut. Selain itu hal lain yang menjadi masalah bagi para buruh mengenai upah minimum Regional (UMR) yang di rasa masih rendah dan masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Selain mengenai PHK dan UMR maslah lain yang di keluhkan oleh para buruh mengenai kebijakan pemerintah mengenai adanya sistem kerja outsourcing. Sistem kerja outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerja dan penyedia jasa tenaga kerja. Hubungan kerja dengan sistem outsourcing menyebabkan kedudukan para pihak tidak seimbang. Dengan menggunakan sistem kerja outsourcing maka perusahaan akan menggunakan tenaga kerja dari luar perusahaan dimana para buruh yang bekerja dari luar perusahaan akan diberi upah lebih kecil dibanding karyawan yang ada di dalam perusahaan. Hal tersebut berdampak pada karyawan yang ada di dalam perusahaan dimana posisi mereka dapat digantikan dengan para buruh dari luar yang lebih murah sehhingga perusahaan dapat memaksimalkan keuntungan dari menggunakan tenaga kerja outsourcing tersebut. Tetapi dampak lainnya yang lebih besar yaitu perusahaan akan melakukan PHK terhadap karyawan tetapnya yang berdampak pada bertambahlah pengganggurn yang ada di Imdonesia.
Pihak yang terlibat
Buruh ( karyawan )
Dalam kasus ini buruh atau karyawan merupakan pihak yang memiliki pengaruh langsung karena adanya konflik tersebut. Karena buruh adalah pihak yang merasakan langsung dampak yang terjadi akibat konflik tersebut. Disini buruh berperan penting dimana buruuh merupakan pihak yang akan melakukan perlawanan terhadap perusahaan jika keputusan perusahan yang diambil dirasa tidak sesuai atau dirasa merugikan para buruh.
Keluarga para buruh
Dalam kasus ini keluarga dari para buruh merupakan pihak yang secara tidak langsung merasakan mengenai kebijakan dan keputusan pewrusahaan yang diberikan kepada para buruh. Keluarga para buruh juga merupakan faktor penentu atau alasan utama para buruh mau melakukan apapun demi keluarganya tersebut. Jadi keluarga para buruh dapat dijadikan motivasi utama bagi para buruh. Contohnya pada kasus ini jika terjadi PHK maka para buruh pun tidak memiliki pendapatan yang dapat digunakan untuk menghidupi keluarganya.
Perusahaan
Perusahaan merupakan pihak yang memiliki peran penting bagi para buruh atau karyawan. Dimana perusahan merupakan tempat atau wadah bagi para buruh untuk mendapatkan upah atau dapat melakukan pekerjaan. Kebijakan yang buat oleh perusahaan memiliki dampak langsung bagi para buruh dimana kebijakan tersebut dapat menguntungkan dan dapat juga merugikan dimana jika kebijakan yang dibuat oleh perusahaan merugikan buruh maka akan menimbulkan konflik antara perusahan dengan buruh yang dapat berdampak buruh bagi jalan operasi perusahaan.
Pemerintah
Keterlibatan pemerintah disini lebih pada sebagai control di Indonesia dengan membuat kebijakan atau peraturan mengenai hubungan ketenagakerjaan yang baik dan tidak memihak pihak manapun. Sebagai lembaga pemerintahan seharusnya dalam membuat kebijakan maka pemerintah harus dapat mempertimbangkan berbagai aspek. Sehingga kebijakan tersebut tidak disalahgunakan oleh berbagai pihak untuk menindas pihak lain. Dalam kasus ini adalah perusahaan gudang garam menggunakan kebijakan pemerintah untuk melakukan PHK besar-besaran
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik
Dalam konflik yang terjadi antara perusahaan dengan para buruh ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya kasus tersebut. Menurut analisis kelompok kami faktor utama konflik yang terjadi yaitu karena kebijakan yang dibuat oeleh pemerintah mengenai kebijakan sestem kerja outsourcing. Dimana dengan adanya kebijakan tersebut maka perusahaan memiliki kekuatan atau kesempatan untuk dapat meminimalkan biaya dalam hal upah tenaga kerja. Dengan menggunakan sistem kerja outsourcing, perusahaan dapat secara mudah mendapatkan tenaga kerja dari eksternal perusahaan yang dapat diberi upah dibawah standar yang ada karena para buruh tersebut tidak terikat kontrak dengan perusahaan. Jika hal tersebut terus menerus dilakukan maka akan berdampak pada pengurangan karyawan tetap atau yang terikat kontrak dengan perusahaan. Dengan mengurangi karyawan tetap di perusahaan maka perusahaan tidak harus membayar upah kepada karyawan tetap dimana upah tersebut lebih besar dari buruh outsourcing atau sesuai standarn regional.
Selain itu faktor lain yang mendorong adanya konflik yaitu adanya miss komunikasi yang terjadi antara perusahaan dengan para buruh. Karena keputusan perusahaan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) dirasa sepihak. Hal tersebut terjadi karena perusahaan kurang melakukan komunikasi kepada para karyawannya mengenai akan adanya PHK yang akan dilakukan secara besar-besaran. Keputusan PHK yang terjadi dapat mengakibatkan bertambahnya pengangguran yang ada di Indonesia apalagi banyak kepala keluarga yang bergantung pada pekerjaan tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Faktor pendorong lainnya yaitu dimana para buruh merasa bahwa upah minimum regional (UMR) yang ada saat ini dirasa masih cukup rendah untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi disisi lain perusahaan tidak bisa menaikan upah sesuai dengan permintaan para buruh karena hal tersebut dapat berdampak pada ketidakstabilan keuangan perusahaan yang dapat beresiko tinggi untuk perusahaan.
Potensi penyelesaian
Konflik antara buruh dan karyawan merupakan hal yang wajar terjadi tetapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang baik, maka agar hal tersebut dapat berjalan dengan baik maka perlu adanya penyelesaian yang tepat agar mendapatkan solusi yang win win solution. Maka ada beberapa poit yang seharusnya perlu di lakukan :
Pertama : Keterlibatan negara atau pemerintahan dalam konflik perusahaan gudang garam dengan para buruh sangat di perlukan, terutama dalam menata peraturan serta regulasi untuk mesalah kebijakan sestem kerja outsourcing dan upah minimum regional (UMR)
Aspek yang perlu ditekankan adalah mengenai kebijakan yang dibuat pemerintah dalam kebijakan sistem kerja outsourcing dimana kebijakan tersebut dirasa tidak berpihak pada buruh. Peran pemerintah haruslah tegas, dimana dalam membuat kebijakan pemerintah atau dinas ketenagakerjaan harus melihat dari berbagai aspek guna menjadi pertimbangan dalam membuat kebijakan sehingga kebijakan yang ada tidak berpihak kepada satu pihak saja. Karena dilihat dari kasus diatas akibat kebijakan yang kurang tepat dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan gudang garam kepada 12.000 karyawannya. Hal ini berakibat pada penghasilan buruh yang selama ini bergantung terhadap perusahaan terhenti dan tentunya akan berdampak pula terhadap kehidupan ekonomi 20.000 keluarga buruh yang terkena PHK tersebut. Hal tersebut akan menabah angka pengangguran dan membuat kesenjangan ekonomi semakin tinggi.
Kedua : Penyelesaian melalui mediasi. Penyelesaian melalui musyawarah antara pihak perusahaan gudang garam dengan serikat buruh yang di tengahi oleh salah satu mediator netral, bisa jadi di wakili oleh pihak Depnaker ( Departemen Ketenagakerjaan) yang antara lain mengenai perselisihan antara hak buruh dan kepentingan perusahaan. Sehingga dengan cara tersebut perusahaan dapat mengetahui apa yang di inginkan para buruh dan para buruh pun dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh perusahaan. Dari hasil mediasi tersebut didapatkan titik tengan dimana perusahaan dan para buruh dapat membuat keputusan bersama dimana tidak ada pihak yang saling di rugikan. Keputusan tersebut dapat berupa kebijakan baru atau perjanjian antara buruh dengan karyawan dimana dalam kasus ini para buruh menolak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran akibat kebijakan sistem kerja outsourcing. Sehingga didapatkan hasil win-win solution.
Benang Merah :
Dari ketiga konflik di atas kelompok kami menemukan, bahwasanya konflik yang terjadi antara pihak buruh dan manajemen terjadi biasanya karna banyak sudut pandang yang terkadang berbeda antara buruh dan pihak manajemen. Namun secara realistis tuntutan para buruh tidak lain adalah berkaitan tentang hak dan kesejahteraan kaum buruh yang terkadang dianggap sebagai kaum yang di minoritaskan. Konflik yang terjadi biasanya di karnakan PHK sepihak, biaya upah rendah, eksploitasi buruh, penyelewengan hak-hak buruh. Inilah yang menjadi dasar para buruh melakukan demonstrasi menuntut kesejahteraan mereka. Pada hakikatnya seharusnya dapat kita pahami bersama pihak manajemen memenuhi hak-hak para buruh dengan baik dan para buruh melakukan kewajibannya dengan baik sebagai seorang buruh di perusahaan kemudian pemerintah menjadi jembatan dalam pembuatan regulasi yang sesuai sehingga secara keseluruhan dapat berjalan beriringan secara integrasi dan interkoneksi yang baik.