Pengaruh Pelatihan Terhadap Keterampilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Penurunan Kepadatan Jentik Di Lingkungan Rumah Siswa SDN 2 Hurun Kabupaten Pesawaran Tahun 2015
Muhamad Defri 1, Tri Krianto2 1,2
Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak Hingga tahun 2012 angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Pesawaran masih tinggi yaitu sebesar 67,50 per 100.000 penduduk. Angka kematian DBD atau Case Fatality Rate (CFR) di Kabupaten Pesawaran merupakan kedua tertinggi di Provinsi Lampung, yaitu sebesar 1,43 per 100.000 orang. Untuk Kecamatan Teluk Pandan pada tahun 2015 sampai dengan bulan Mei tedapat 23 kasus DBD, khusus untuk desa Hurun terjadi 3 kasus Penyebab kejadian. DBD ditenggarai oleh keberadan jentik dan jumlah penampungan air dan kebiasaan melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Skripsi ini menyajikan sejauh mana perubahan keterampilan anak sekolah serta apakah juga terjadi penurunan angka cointainer index dan house index di rumah masing-masing siswa yang mengikuti kegiatan pelatihan. Penelitian ini merupakan studi intervensi, dengan metode One-Group Pretest-posttest design. Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh peserta didik SDN 2 Hurun, sedangkan sampel adalah seluruh siswa kelas 4 dan 5 yang berusia rata-rata 11 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh pelatihan dengan perubahan keterampilan siswa dalam melakukan PSN (p=0,001), serta penurunan kepadatan jentik berdasarkan angka container index (p=0,000) dan house index (p=0,44). Disarankan perlunya pelatihan PSN untuk meningkatkan keterampilan dan menggalakan kegiatan PSN agar menurunkan kepadatan jentik.
The Effect of Training In the Change of Skill On Mosquito Breeding Control and The Density of Larvae Reduction In The House Environment among Students of SDN 2 Hurun Kabupaten Pesawaran Lampung 2015
Abstract By the year of 2012, the morbidity rate of Dengue Fever in Pesawaran District remained high which was 67.5 per 100,000 population. The mortality rate or Case Fatality Rate (CFR) of Dengue Fever in Pesawaran District reached the second highest position in the Province of Lampung which was 1.43 per 100,000 inhabitants. By May 2015, there was 25 cases and 3 cases in Teluk Pandan sub-district and Hurun Village respectively. The main cause of Dengue Fever was the existence of mosquito larvae, the number of water reservoirs, and the habit of mosquito breeding control (PSN). This study aims to determine the skills change of the school students, as well as the change of container index and house index after training. This study was an intervention study with One-Group Pretest-posttest design. The target population was all students of SDN 2 Hurun, while the sample was all fourth and fifth-class student with the average age around 11 years old. The results of statistics testing indicated that there was a significant effect of training with the skill change of the students in doing mosquito breeding control (p=0,001). There was also a reduction of the density of larvae according to container index (p=0,0001) and house index (p=0,44). It was suggested that mosquito breeding control (PSN) training should be
held in order to increase students skill and mosquito breeding control implementation should be enhanced in order to reduce the number of larvae. Keywords; Container index, House index, Skill, Training
Pendahuluan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang terjadi di negara-negara tropis dan sub-tropis seperti di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Latin dan Amerika Tengah. Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 500.000 kasus DBD memerlukan rawat inap, dimana proporsi kejadian yang sangat besar terjadi pada anak-anak. Sekitar 2,5% dari mereka meninggal dunia (WHO, 2015). Jika tidak mendapat perawatan yang tepat, tingkat fatalitas kasus DBD dapat melebihi angka 20% (WHO, 2006). Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat sejak tahun 1968 saampai saat ini dan telah menyebar di 33 provinsi dan 436 kabupaten/kota dari 497 kabupaten kota (88%) (Kemenkes RI, 2014). Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa DBD masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Hingga pertengahan tahun 2013, kasus DBD terjadi di 31 provinsi dengan penderita 48.905 orang, 376 di antaranya meninggal dunia (Kurniati dalam www.tempo.com 2013). Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah endemis DBD di mana terjadi peningkatan kasus dan perluasan penyebaran sehingga berpotensi menimbulkan KLB (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2013). Angka kejadian atau Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Lampung sepanjang tahun 2004 – 2012 cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2012, angka kejadian DBD mencapai 68,44 per 100.000 penduduk. Angka tersebut lebih tinggi dibanding IR Nasional yaitu 55 per 100.000 penduduk. Angka Bebas Jentik (ABJ) juga masih kurang dari 95% (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2013). Gambar 1 Grafik Distribusi Angka Kejadian (IR) DBD Per 100.000 penduduk, Per Kabupaten Kota Se- Provinsi Lampung Tahun 2012
Gambar 1 menunjukkan bahwa IR DBD di Provinsi Lampung masih cukup tinggi. Yang tertinggi di Kota Metro, yaitu sebesar 256,78 per 100.000 penduduk dan yang terendah di Lampung Barat sebesar 10,87 per 100.000 penduduk. Kabupaten Pesawaran menempati urutan ke enam, yaitu sebesar 67,50 per 100.000 penduduk. Angka kematian atau Case Fatality Rate (CFR) akibat DBD di Kabupaten Pesawaran merupakan kedua tertinggi di Provinsi Lampung, yaitu sebesar 1,43 per 100.000 orang. Berdasarkan data yang dihimpun dari Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran untuk Kecamatan Teluk Pandan pada tahun 2015 sampai dengan bulan Mei tedapat 23 kasus DBD, khusus untuk desa Hurun terjadi 3 kasus. Sejak tahun 2014, Kementerian Kesehatan mengenalkan program Jumantik PSN Anak Sekolah. Anak sekolah merupakan 20% dari seluruh populasi penduduk Indonesia sehingga dapat memiliki peran yang strategis. Peran serta anak sekolah sebagai Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dapat digunakan untuk menanamkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) pada usia dini. Upaya penanaman PHBS sejak dini akan digunakan sebagai dasar pemikiran dan perilakunya dimasa yang akan datang. Selain itu, menggerakan anak sekolah lebih mudah dibandingkan dengan orang dewasa dalam pelaksanaan PSN. Upaya Jumantik-PSN Anak Sekolah merupakan upaya baru yang dapat diterapkan untuk mengurangi angka kejadian dan kematian DBD. Pada tahun 2015 peneliti melakukan kegiatan Pengalaman Belajar lapangan 3 di SDN 2 Hurun dan salah satu kegiatannya adalah pelatihan jumantik. Untuk itu skripsi ini menyajikan sejauh mana peningkatan keterampilan anak sekolah dan apakah juga terjadi penurunan angka cointainer index dan house index di rumah masing-masing siswa yang mengikuti kegiatan pelatihan tersebut. Untuk itu maka akan disajikan informasi tentang peningkatan keterampilan siswa SDN 2 Hurun dalam PSN 3M antara sebelum dan sesudah pelatihan serta penurunan kepadatan jentik nyamuk dilingkungan rumah pada tahun 2015. Tinjauan Teoritis Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh 4 serotype virus dengue dan ditandai dengan empat gejala klinis utama, yaitu demam tinggi, manifestasi pendarahan (mimisan, bintik-bintik merah pada kulit), hematomegali, dan disertai pembesaran hati serta tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya renjatan/syok (sindrom renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian (Sucipto, 2011).
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropodborne virus atau virus yang disebarkan oleh antropoda. Virus ini termasuk genus Flavivirus dari family Flaviviridae (Widoyono, 2005). Flavivirus ini terdiri dari 4 serotipe yaitu serotipe 1,2,3 dan 4 (DEN 1,2,3,4), ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yaitu Aedes aegypti dan Aedes Albopictus (Sucipto, 2011). Dari keempat serotipe tersebut, DEN-3 merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah. Infeksi dari salah satu serotipe akan menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak untuk serotipe yang lain. Keempat jenis virus tersebut semuanya terdapat di Indonesia. Didaerah endemik DBD, seseorang dapat terkena infeksi semua serotipe virus dalam waktu yang bersamaan (Widoyono, 2005). Gejala penyakit DBD adalah demam mendadak, berlangsung 2-7 hari, wajah kemerahan, nyeri kepala, punggung dan ulu hati. Perkembangan klinis seperti ini dapat terjadi sangat cepat, yaitu disertai dengan perdarahan bawah kulit dan mukosa hidung dan usus dengan komplikasi renjatan (shock), dan bisa berakhir fatal. Gejala-gelaja penyakit demam berdarah dengue sebagai berikut (Sucipto, 2011): 1) Trombositopenia ringan sampai nyata bersamaan dengan hemokonsentrasi adalah gejala spesifik. 2) Perbedaan utama dengan demam dengue adalah adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan Ht, efusi paru, atau hipoproteinemia. 3) DBD pada anak biasanya ditandai dengan kenaikan suhu tubuh mendadak, facial flush, dan tanda lain yang menyerupai demam dengue (anorexia, muntah, sakit kepala, serta nyeri tulang atau otot). Nyeri epigastrium, ketegangan pada batas kosta kanan dan nyeri abdomen menyeluruh juga sering ditemukan. 4) Suhu tubuh bisa mencapai >39°C. 5) Fenomena pendarahan yang biasanya sering terjadi adalah uji tourniquet (t), petekie, ekimos, pada ekstremitas, muka dan palatum efitaxis, dan pendarahan gusi juga dapat terjadi. 6) Hati biasanya teraba pada fase demam, lebih sering ditemukan pada kasus DBD dengan syok. 7) Pada akhir fase demam, biasanya terjadi gangguan sirkulasi yang ditandai dengan keringat banyak, gelisah, akral teraba dingin, dan terjadi perubahan tekanan nadi/darah
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorphosis sempurna, yaitu: telur, jentik, kepompong, nyamuk. Stadium telur, jentik, dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu selama 9-10 hari (Depkes RI, 2005) Menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta (2003), tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Tempat penampungan air (TPA), yaitu tempat untuk menampung air guna keperluan sehari–hari seperti tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan lain–lain. 2. Bukan TPA, seperti tempat minum hewan peliharaan, barang–barang bekas (ban bekas, kaleng bekas, botol, pecahan piring/gelas), vas bunga, dll. 3. Tempat penampungan air alami (natural/alamiah) misalnya tempurung kelapa, lubang di pohon, pelepah daun, lubang batu, potongan bambu, kulit kerang dll. Kontainer ini pada umumnya ditemukan diluar rumah. Pada saat ini pemberantasan nyamuk menular (Aedes aegypti) merupakan cara utama yang dilakukan umtuk memberantas penyakit demem berdarah, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Pemberantasan terhadap jentik aedes agypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan sarang nyamuk (PSN), dilakukan dengan cara (Sucipto, 2011).: a. Kimia: cara memberantas jentik nyamuk. Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida) ini dikenal dengan istilah abatisasi, larvasida yang bisa digunakan adalah temepos. Formulasi temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan. b. Biologi: misalnya memlihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah Aplocheilus panchax dan ikan guppy Poecilia reticulata) c. Fisik: cara ini dikenal dengan kegiatan 3M (menguras, menutup, mengubur) yaitu menguras bak mandi, bak wc, menutup tempat penampungan air rumah tangga, serta mengubur atau memusnakan barang-barang bekas. Pengurasan tempat-tempat penampungan air (TPA) perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapay berkembang biak di tempat itu. pemberantasan sarang
nyamuk sebagaimana telah diprogramkan pemerintah yaitu “3M”, (menguras, menutup, menimbun/mengubur). Maksudnya adalah menguras bak mandi atau kontainer air 1 kali dalam seminggu, menutup kontainer air, menimbun barang bekas yang dapat menampung air (Firdous dan Suwarno, 2012).
Untuk mengetahui kepadatan jentik di suatu wilayah, dapat dapat dilakukan dengan beberapa metode survei. 1. Single Larva Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut. 2. Visual Survei entomologi dilakukan dengan memeriksa wadah berisi air (kontainer) di dalam dan di luar rumah. Survei ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya larva di setiap tempat genangan air tanpa mengambil larvanya. Setelah dilakukan survei dengan metode tersebut, pada survei jentik nyamuk akan dilanjutkan dengan pemeriksaan kepadatan jentik dan prediktor KLB (breteau index/BI) dihitung dengan rumus (WHO, 2007): Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti: a. House Index (HI) adalah jumlah rumah positif jentik dari seluruh rumah yang diperiksa. Jumlah rumah yang positif jentik HI =
Jumlah rumah yang diperiksa
X 100 %
b. Container Index (CI) adalah jumlah kontainer yang ditemukan larva dari seluruh kontainer yang diperiksa Jumlah kontainer yang positif jentik CI =
Jumlah kontainer yang diperiksa
X 100 %
c. Breteau Index (BI) adalah jumlah kontainer dengan larva dalam seratus rumah. Jumlah kontainer yang positif jentik BI =
100 rumah yang diperiksa
X 100 %
BI = Jumlah kontainer positif dalam 100 rumah. d. Pupa index (PI) adalah jumlah kontainer dengan pupa dalam seratus rumah Jumlah kontainer yang positif Pupa PI =
100 rumah yang diperiksa
X 100 %
Menurut WHO suatu wilayah dikatakan mempunyai kepadatan dan penyebaran vektor yang tinggi serta berisiko tinggi untuk penularan DBD jika CI ≥5% dan HI ≥10%. Suatu daerah dikatakan berpotensi mengalami KLB DBD jika BI >50 dan Suatu daerah dikatakan berpotensi mengalami KLB DBD jika BI >50 (WHO, 2007). Kirkpatrick (1994) mendefinisikan pelatihan sebagai upaya meningkatkan pengetahuan, mengubah perilaku dan mengembangkan keterampilan. Pelatihan menurut Strauss dan Syaless (Notoatmodjo, 1998) berarti mengubah pola perilaku, karena dengan pelatihan maka akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku. Pelatihan adalah bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar, berguna untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif singkat dan metodenya mengutamakan praktik daripada teori. Pelatihan memiliki tujuan penting untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebagai kriteria keberhasilan program kesehatan secara keseluruhan (Notoatmodjo, 2005). Tujuan pelatihan kesehatan secara umum adalah mengubah perilaku individu, masyarakat di bidang kesehatan. Tujuan ini adalah menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai di masyarakat, menolong individu agar mampu secara mandiri atau kelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai hidup sehat. Prinsip dari pelatihan kesehatan bukanlah hanya pelajaran di kelas, tapi merupakan kumpulan pengalaman di mana saja dan kapan saja, sepanjang pelatihan dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan kebiasaan (Tafal, 1989). Metode yang digunakan dalam pelatihan antara lain: ceramah, tanya jawab, diskusi kelompok, kelompok studi kecil, bermain peran, studi kasus, curah pendapat, demonstrasi, penugasan, permainan, simulasi dan praktik lapangan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1991). Menurut Ryan (1980) sebagaimana dikutip oleh Mimin Haryati, penilaian hasil belajar psikomotor dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu, pertama melalui pengamatan langsung serta penilaian tingkah laku siswa selama proses belajar mengajar. Kedua, setelah proses
belajar yaitu dengan cara memberikan tes kepada siswa untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ketiga, beberapa waktu setelah proses belajar selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya. Menurut kamus besar Indonesia, keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat syaraf (motorik) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah. Meskipun bersifat motorik namun keterampilan perlu dikoordinasi antara gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Menurut Robert (1988) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola tingkah laku yang tersusun secara kompleks. Meskipun bersifat jasmani, untuk mempraktikkan keterampilan yang ada perlu mempunyai pengetahuan agar pola dan tingkah laku yang tercipta sebagai cerminan dari pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi intervensi, metode yang digunakan adalah Pre Ekperimental One-Group Pretest-posttest design (Wibowo, 2014). Penelitian ini dilakukan selama 4 pekan, dimulai dari ke 3 Mei s/d pekan ke 2 Juni 2015). Di Sekolah Dasar Negeri 2 Hurun Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh peserta didik Sekolah Dasar Negeri 2 Hurun Kabupaten Pesawaran. Sampel adalah seluruh siswa kelas 4 dan 5 yang berusia rata-rata 11 tahun. Secara umum kegiatan intervensi terhadap siswa di SDN 2 Hurun yang dilakukan dalam rangka meningkatkan keterampilan pemeriksaan jentik dan pemberantasan sarang nyamuk dalam rangka pencegahan demam berdarah dengue (DBD). Kegiatan intervensi dilakukan selama satu bulan, terdiri dari kegiatan pelatihan yang dilakukan sebanyak satu kali awal dan praktik . Kegiatan pelatihan dilakukan pada tanggal 23 Mei 2015, diikuti oleh 46 waktu pelaksanaan dari pukul 07.30 – 10.30 WIB. Selain pelatihan siswa juga penugasan untuk melakukan pemeriksaan jentik dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dirumah masing-masing. Penugasan ini dilakukan sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 4 pekan, 1 kali diawal intervnesi sebelum dilakukan pelatihan dan 3 kali setelah pelatihan. Setaip kali penugasan, siswa juga diminta mengisi formulir kepadatan jentik yang sudah dibuat oleh peneliti (terlampir).
Hasil Penelitian
Tabel 1 Distribusi Keterampilan Responden Sebelum dan Sesudah Pelatihan Pemeriksaan Jentik dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (n=46 orang) No.
Keterampilan
Persentase Responden yang
Persentase
Melakukan dengan Benar
perubahan keterampilan
Sebelum
Sesudah
f
%
f
%
1.
Mengamati kontainer dengan menggunakan senter
26
56,5
46
100
76,9
2.
Menemukan jentik nyamuk Aedes aegypti pada
15
32,6
36
78,3
140
kontainer 3.
Menguras bak mandi atau ember air
26
56,5
32
69,6
23,1
4.
Menutup wadah tempat penyimpanan air (gentong,
35
76,1
37
80,4
5,7
25
54,3
35
76,1
40,0
35
76,1
40
87,0
14,3
41
89,1
46
100
9,8
kendi, drum) 5.
Mengganti air dalam vas bunga atau penampungan air sejenis
6.
Membalikan/menelungkupkan barang bekas supaya tidak menampung air
7.
Membersihkan barang bekas (botol bekas, kaleng) dengan cara dikumpulkan dan dimasukan dalam satu wadah (kantong sampah) dan kemudian dimanfaat kembali (bisa dijual atau didaur ulang)
Pada tabel 1 menunjukan hasil yang didapat bahwa responden yang dapat melakukan dengan benar keterampilan 1 sebelum pelatihan sebesar 26 orang (56,5%) dan mengalami peningkatan sesudah pelatihan menjadi 46 orang (100%), dengan persentase perubahan keterampilan sebesar 76,9%. Responden yang dapat melakukan dengan benar keterampilan 2 sebelum pelatihan sebesar 15 orang (32,6%) dan mengalami peningkatan persentase akhir sesudah pelatihan menjadi 36 orang (78,3%), dengan persentase perubahan keterampilan sebesar 140%.
Tabel 2 Analisis Bivariat Keterampilan Berdasarkan Jenis Kelamin Sebelum Pelatihan (Pre test) Jenis kelamin
Mean
SD
P value
N
Laki-laki
4,88
1,147
Perempuan
4,17
0,986
0,034 (0,057 – 1,359)
16 30
Pada tabel 2 sebelum dilakukan pelatihan.terlihat bahwa rata-rata keterampilan siswa yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 4,88, sedangkan siswi yang bejenis kelamin perempuan rata-rata keterampilannya adalah 4,17. Hasil uji statistik didapat nilai p value <0,05, berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang signifikan rata-rata keterampilan antara siswa yang berjenis kelamin laki-laki dengan siswi berjenis kelami perempuan.
Tabel 3 Analisis Bivariat Keterampilan Berdasarkan Jenis Kelamin Setelah Pelatihan (Post test) Jenis kelamin
Mean
SD
P value
N
Laki-laki
6,13
0,619
0,150 (-0,122 – 0,772)
16
Perempuan
5,80
0,761
30
Pada tabel 3 setelah dilakukan pelatihan terlihat bahwa rata-rata keterampilan siswa yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 6,13, sedangkan siswi yang bejenis kelamin perempuan rata-rata keterampilannya adalah 5,80. Hasil uji statistik didapat nilai p value >0,05, berarti pada alpha 5% terlihat tidak perbedaan yang signifikan rata-rata keterampilan antara siswa yang berjenis kelamin laki-laki dengan siswi berjenis kelamin perempuan.
Tabel 4 Perbedaan Nilai Rata-rata Keterampilan Sebelum dan Sesudah Pelatihan Berdasarkan Jenis Kelamin (n=46) Jenis Kelamin
Pre test
Post test
Persentase perubahan
Mean
Mean
Laki-laki
4,88
6,13
25,6
Perempuan
4,17
5,80
39,1
Gambar 1 Grafik Persentase perubahan keterampilan berdasarkan jenis kelamin sebelum dan sesudah pelatihan
Laki-laki
Perempuan 6.13 5.8
4.88 4.17
Pre test
Post test
Tabel 4 memperlihatkan persentase perubahan rata-rata keterampilan berdasarkan jenis kelamin. Terlihat bahwa persentase perubahan rata-rata keterampilan siswa berjenis kelamin perempuan lebih besar dari laki-laki. Untuk siswi perempuan kenaikan persentase perubahan keterampilan sebesar 39,1% dan persentase perubahan keterampilan siswa laki-laki sebesar 25,6%.
Tabel 5 Perbedaan Keseluruhan Nilai Rata-rata Keterampilan Sebelum dan Sesudah Pelatihan (n=46) Pengukuran
Mean
SD
SE
n
P Value
Pre test
4,41
1,087
0,160
46
0,001
Post test
5,91
0,725
0,107
46
Tabel 5 rata-rata keterampilan pada pengukuran pertama adalah 4,41 dengan standar deviasi 1,087. Pada pengukuran kedua didapat rata-rata keterampilan adalah 5,91 dengan standar deviasi 0,725. Terlihat nilai perbedaan mean pada pengukuran pertama dan kedua adalah 1,500 dengan standar deviasi 0,937. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p value <0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat keterampilan pada pengukuran pertaman dan pengukuran kedua.
Tabel 6 Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pelatihan Pemeriksaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti (n=42 orang/rumah)1 Jenis Kontainer
Pre test
Post 1
Post 2
Post 3
(22 Mei 2015)
(29 Mei 2015)
(5 Juni 2015)
(12 Juni 2015)
p
+
%
p
+
%
p
+
%
P
+
%
Bak mandi
42
26
61,9
39
18
46,2
27
12
44,4
42
19
45,2
Bak WC
42
23
54,8
39
19
48,7
27
12
44,4
42
20
47,6
Ember
42
27
64,3
39
19
48,7
27
13
48,1
42
16
38,1
Kendi
42
8
19,0
39
7
17,9
27
2
7,4
42
3
7,1
Dispenser
42
7
16,7
39
4
10,3
27
1
3,7
42
3
7,1
Penampungan air kulkas
42
5
11,9
39
3
7,7
27
4
14,8
42
3
7,1
Drum
42
11
26,2
39
4
10,3
27
2
7,4
42
3
7,1
Pot/Vas bunga
42
13
31,0
39
11
28,2
27
7
25,9
42
9
21,4
Kolam/akuarium
42
6
14,3
39
4
10,3
27
3
11,1
42
2
4,8
Ban bekas
42
21
50,0
39
17
43,6
27
12
44,4
42
16
38,1
Botol bekas
42
25
59,5
39
18
46,2
27
11
40,7
42
22
52,4
Baskom
42
3
7,1
42
1
2,4
Derigen
42
1
2,4
42
2
4,8
*
Kondisi Fisik
Suhu
32
32°
32°
32°
°C
C
C
C
Kelembaban udara
Rata-rata 59%-91%
Curah Hujan
Rata-rata sedang (5,0 - 10,0 mm/jam atau 20 - 50 mm/hari)
Gambar 3 Grafik Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pelatihan Pemeriksaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti 1
Semula jumlah siswa yang ikut pengukuran keterampilan berjumlah 46, namun pada saat melakukan pemeriksaan jentik hanya 42 siswa yang melakukan karna 4 ada siswa yang bertempapt tinggal sama. Pengurangan dua orang lagi adalah mereka yang tidak pernah melaporkan hasil pemeriksaan jentik
Tabel 6 dari hasil penilaian terhadap formulir pemeriksaan jentik pertama didapat keberadaan jentik sebelum dilakukan pelatihan (pre test) memperlihatkan hampir semua jenis kontainer berisi jentik Aedes aegypti. Kontainer yang paling banyak mengandung jentik adalah ember (64,3%), bak mandi (61,9%), botol bekas (59,5%), bak WC (54,8%), ban bekas (50,0%), pot bunga (31,0%) dan drum (26,2) Sedangkan jenis kontainer yang paling sedikit ditemukan jentik adalah baskom dan jerigen sebesar (7,1%) dan (2,4%). Pada gambar 3 dapat dilihat tren persentase keberadaan jentik setelah dilakukan pelatihan, dimana saat pemeriksaan kedua (post 1) terjadi penurunan yang tampak jelas pada sejumlah kontainer seperti pada ember menjadi (48,7%), bak mandi (48,7%) botol bekas (46,2%) bak WC (48,7%), ban bekas (43,6%), pot bunga (28,2%) dan drum menjadi (10,3%). Pada pemeriksaan jentik ketiga (post 2) tren kembali berubah ada sejumlah kontainer yang terus
mengalami penurunan dengan angka bervariasi dan ada yang kembali mengalami
kenaikan persentase keberadaan jentiknya. Kontainer yang tetap menunjukan tren penurunan
adalah ember (48,1%), bak mandi menjadi (44,4%), botol bekas (40,7%), bak WC (44,4%), pot bunga (25,9%) dan drum menjadi (7,4%). Kontainer yang persentasenya kembali mengalami peningkatan adalah ban bekas menjadi (44,4%) dan penampung air kulkas dimana saat pre test persentase keberadaan jentiknya sebesar (11,9%), pada post test pertama turun menjadi (7,7%) namun pada post test kedua naik menjadi (14,8%). Pada pemeriksaan jentik keempat (post 3) dan merupakan post test terakhir. Terdapat sejumlah kontainer yang mengalami kenaikan persentase keberadaan jentiknya, padahal pada dua kali pemeriksaan sebelumnya menunjukan tren penurunan. Kontainer yang kembali mengalami kenaikan adalah bak mandi menjadi naik menjadi (45,2%), botol bekas (52,4%), dan bak WC (47,6%). Kontainer yang kembali mengalami penurununan angkanya adalah ban bekas turun menjadi (38,1%), pot bunga (21,4), dan drum (7,1%).
Tabel 7 Indikator House index dan Container index Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pelatihan Pemeriksaan Jentik dan Pemberantasan Sarang Nyamuk Indikator
Pre test (%)
Post test 1 (%)
Post test 2 (%)
Post test 3 (%)
House index
95,2
89,7
88,9
85,7
Container index
32,2
24,7
22,8
21,8
Gambar 4 Grafik House Index dan Container index Pre Test dan Post Test
100
95.2
89.7
88.9
85.7 House index
50 32.2
24.7
22.8
21.8
0 Pre test Post Post Post test 1 test 2 test 3
Container index
Angka house index merupakan perbandingan antara jumlah rumah dinyatakan positif jentik dengan total rumah diperiksa. Hasilnya didapat bahwa pada pemeriksaan pertama angka house index sebesar 95,2%, pemeriksaan kedua 89,7%, pemeriksaan ketiga 85,7% dan pemeriksaan terakhir sebesar 85,7%. Jika dilihat pada grafik 5.2 terlihat bahwa terjadi tren penurun dari pemeriksaan pertama sampai terakhir untuk angka house index sebesar 9,5%, yaitu dari 95,2% pada pemeriksaan pertama menjadi 85,7% dipemeriksaan terakhir.
Hasilnya didapat bahwa pada pemeriksaan pertama angka container index sebesar 32,2%, pemeriksaan kedua 24,7%, pemeriksaan ketiga 22,8% dan pemeriksaan terakhir sebesar 21,8%. Jika dilihat pada grafik 5.2 terlihat bahwa terjadi tren penurun dari pemeriksaan pertama sampai terakhir untuk angka container index sebesar 9,4%, yaitu dari 32,2% pada pemeriksaan pertama menjadi 21,8% dipemeriksaan terakhir.
Tabel 8 Perbandingan Angka Container index Pada Setiap Pemeriksaan Jentik P value
Pre test
Pre test
Post test 1
Post test 2
Post test 3
0,006
0,017
0,000
0,503
0,118
Post test 1
0,006
Post test 2
0,017
0,503
Post test 3
0,000
0,118
0,764 0,764
Pada tabel 8 terlihat bahwa perbandingan angka container index saat pretest terhadap pengukuran post test baik post test 1, 2 dan 3 menghasilkan nilai p value <0,05, berarti ada perbedaan yang signifikan rata-rata angka container index antara pre test terhadap post test 1, post test 2, post test 3. Terlihat juga bahwa perbandingan angka container index pada post test 1 ke post test 2, post test 2 ke post test 3 dengan nilai p value >0,05, yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata angka container indexnya antara pengukur post test 1 ke post test 2, maupun post test 2 ke post test 3.
Tabel 9 Perbedaan Nilai Rata-rata Container index Sebelum dan Sesudah Pelatihan Variabel
Mean
SD
SE
N
P Value
Pengukuruan I
4,19
2,308
0,356
42
0,001
Pengukuran II
2,83
1,999
0,308
42
Tabel 9 dilakukan analisis data dengan membandingkan nilai mean pada pemeriksaan pertama dan pemeriksaan terakhir, hal ini dilakukan karna pemeriksaan kedua dan ketiga terdapat nilai missing sehingga tidak valid untuk dianalisis. Hasilnya didapat rata-rata angka container
index pada pengukuran pertama adalah 4,19 dengan standar deviasi 2,308. Pada pengukuran kedua didapat angka container index adalah 2,83 dengan standar deviasi 1,99. Terlihat nilai perbedaan mean pada pengukuran pertama dan kedua adalah 1,357 dengan standar deviasi 2,022. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p-value <0,05 artinya ada perbedaan yang signifikan container index pada pengukuran pertaman dan pengukuran terakhir
Tabel 10 Perbedaan Nilai Rata-rata House index Sebelum dan Sesudah Pelatihan Variabel
Mean
SD
SE
N
P Value
House Index I
0,95
0,216
0,033
42
0.044
House Index II
0,86
0,354
0,055
42
Tabel 10 dilakukan analisis data dengan membandingkan nilai mean pada pemeriksaan pertama dan pemeriksaan terakhir, hal ini dilakukan karna pemeriksaan kedua dan ketiga terdapat nilai missing sehingga tidak valid untuk dianalisis. Hasilnya didapat rata-rata angka house index pada pengukuran pertama adalah 0,95 dengan standar deviasi 0,216. Pada pengukuran kedua didapat rata-rata angka house index adalah 0,86 dengan standar deviasi 0,354. Terlihat nilai perbedaan mean pada pengukuran pertama dan kedua adalah 0,095 dengan standar deviasi 0,297 Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p value <0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan angka house index pada pengukuran pertama dan pengukuran terakhir.
Pembahasan
Setelah dilakukan pelatihan keterampilan siswa yang paling meningkat adalah keterampilan menemukan jentik nyamuk Aedes aegypti pada kontainer dengan persentase perubahan keterampilan sebesar 140%.
Untuk perubahan keterampilan berdasarkan jenis kelamin,
keterampilan siswi yang berjenis kelamin perempuan lebih besar perubahan dibandingkan dengan siswa berjenis kelamin laki-laki. Siswi perempuan setelah dilakukan pelatihan menjadi lebih terampil dalam melakukan pemeriksaan jentik dam melakukan PSN 3M. Hasil ini sejalan dengan penelitian Tri Krianto (2008) yang menyatakan bahwa setelah intervensi murid perempuan mengalami peningkatan KAP lebih tinggi dari pada laki-laki. Hal ini juga sesuai dengan temuan yang dilakukan Auwauter dan Aruguette (2008), yaitu murid perempuan
cenderung lebih sungguh-sungguh dalam belajar dari pada murif laki-laki karena: a) mempunyai cita-cita lebih luas, b) menilai bahwa belajar adalah suatu persyaratan keberhasilan berprestasi di sekolah, c) dapat dipercaya, dan d) mempunyai karakter personal yang lebih tekun (Tri Krianto, 2008). Secara keseluruhan dari hasil uji paired t-test menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna pada tingkat keterampilan sesudah dan sebelum diadakan pelatihan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hayati dkk (2008) dan Fitri dan Mardiana (2011) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara keterampilan dan pelatihan. Terjadinya peningkatan keterampilan PSN 3M menunjukan bahwa memeriksa jentik dan kegiatan PSN 3M mudah dilakukan. Hal ini sejalan dengan teori difusi yang dikemukan oleh Rogers (1962) yang menyatakan bahwa suatu perilaku baru mudah diterima apabila: a) gampang dikerjakan, dan b) manfaatnya dapat dirasakan (Tri Krianto, 2008). Angka container index dapat menggambarkan padatnya nyamuk pada suatu wilayah tertentu. Dari hasil penelitian ini didapat salah satu kontainer yang paling banyak ditemukan jentik adalah bak mandi pada pengukuruan awal lebih dari setengah pada kontainer yang diperiksa terindikasi positif jentik. Penelitian yang dilakukan Sari (2005) menunjukkan persentase positif jentik tertinggi ditemukan pada TPA dengan bahan dasar semen (44,8%). Selain tempat penampungan air tersebut, kontainer yang paling banyak ditemukan jentik juga terdapat pada ember, bak WC dan drum. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukan oleh Focks dan Cladee (1997) jenis-jenis tempat penampungan air yang paling sering ditemukan larva yakni tempayan, drum dan bak mandi dalam memfasilitasi perolehan larva Aedes aegypti. Ketiganya termasuk tempat penampungan air berukuran besar yang sulit untuk mengganti airnya, sehingga keberhasilan perkembang biakan nyamuk didukung olehukuran tempat penampungan air yang cukup besar dan air yang berada didalamnya cukup lama. Kemampuan jenis-jenis tempat penampungan air sebagai tempat tersedianya organisme air dapat bertindak sebagai sumber makanan, kompetitor, predator dan parasit yang di prediksi akan mempengaruhi perkembangan larva menjadi dewasa, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya (Novelani, 2007) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh angka container index sebelum dilakukan pelatihan sebesar 29,25% dan setelah pelatihan sebesar 20,24%. Dari data dapat dilihat terjadi penurunan angka container index antara sebelum dan sesudah pelatihan sebesar 9,4%. Meskipun angkanya tidak begitu besar, namun angka setelah dilakukan uji statistik didapat
nilai p value <0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara angka container index pada pengukuran pertaman dan pengukuran kedua. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh angka house index pada pemeriksaan pertama sebelum dilakukan pelatihan sebesar 95,2% dan pada peemeriksaan terakhir sebesar 85,7%. Dari data tersebut dapat dilihat terjadi penurunan angka house index antara sebelum dan sesudah pelatihan meskipun hanya sebesar 9.5%. Setelah dilakukan uji statistik didapat nilai p value <0,001, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara angka house index pada pemeriksaan pertama dan pemeriksaan terakhir. Jika dibandingkan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Kurniawan dkk 2010 mengenai pengaruh penyuluhan terhadap kepadatan jentik menunjukkan bahwa penurunan house index tidak berbeda bermakna. Hal ini berarti pelatihan lebih efektif untuk mengurangi angka kepadatan jentik. Meskipun secara statistik terjadi penurunan secara signifikan angka house index, namun angka house index yang sebesar 85,7% masih sangat tinggi. Menurut WHO, suatu wilayah dikatakan mempunyai kepadatan dan penyebaran vektor yang tinggi serta berisiko tinggi untuk penularan DBD jika angka house index ≥10%. Menurut Depkes RI (2001), angka house index yang dianggap aman untuk tidak terjadinya penularan penyakit DBD adalah <5%. Depkes RI. (2001). Dengan demikian kepadatan jentik berdasarkan angka house index sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan masih beresiko tinggi untuk penularan DBD. Simpulan a. Terjadi peningkatan keterampilan siswa dalam melakukan kegiatan pemeriksaan jentik dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) setelah dilakukan pelatihan. Hal ini menunjukan bahwa, adanya pengaruh antara pelatihan pemeriksaan jentik dan PSN terhadap tingkat keterampilan siswa SDN 2 Hurun dalam melakukan pemeriksaan jentik dan PSN. b. Terjadi penurunan secara signifikan angka container index sebagai indikator kepadatan jentik disetiap tempat penampung air pada rumah siswa setelah dilakukan pelatihan. Berdasarkan hasil penelitian angka pre test sebesar 32,2% dan post test terakhir sebesar 21,8%. c. Terjadi penurunan angka house index sebagai indikator positif jentik disetiap rumah siswa setelah dilakukan pelatihan. Berdasarkan hasil penelitian angka pre test sebesar 95,2% dan post test terakhir 82,7%.
Saran a. Sekolah bekerja sama dengan pihak puskesmas setempat untuk mengadakan pelatihan serupa dalam rangka regenerasi siswa yang sudah lulus dan meneruskan penugasan kegiatan pemantausan jentik dan pemberantasan sarang nyamuk oleh siswa yang telah dilatih dirumah masing-masing setiap pekannya dan dikontrol oleh wali kelas melalui formulir pemantausan jentik (terlampir). Diharapkan dikemudian hari dapat menurunkan kejadian DBD di desa Hurun b. Kepala desa sebagai puncuk pimpinan pemerintahan didesa Hurun berkerja bersama tokoh masyarakat untuk menggalakkan gerakan pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serentak setiap satu pekan sekali di Desa Hurun dan menciptakan kondisi yang mendukung kelapa desa juga membuat tanda-tanda peringatan kegiatan PSN yang harus dilakukan setiap minggunya. c. Pihak puskesmas bekerja sama dengan kepala desa Hurun untuk menggalakan kegiatan PSN setiap sepekan sekali di desa Hurun, Menjamin pemeriksaan jentik berkala di sekolah, menjamin kegiatan pelatihan PSN di sekolah, agar terus terjadi regenerasi siswa yang memiliki keterampilan pemantauan jentik dan PSN. d. Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran Mengadakan kegiatan Pelatihan PSN diseluruh sekolah di Kabupaten Pesawaran, sehingga lebih banyak lagi siswa yang memiliki keterampilan dalam pemeriksaan jentik dan pemberantasan sarang nyamuk.
Daftar Referensi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1991). Bahan Pelajaran untuk Peserta Kursus AKTA, Depdikbud, Jakarta. Depkes RI. 2001. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Dit. Jen. PPM-PL. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Depkes RI. (2005) Pencegahan dan Pemberantaasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. (2013). Profil Kesehatan Profinsi Lampung Tahun 2012. Bandar Lampung. Dinkes DKI Jakarta. (2003). Demam berdarah. http://www.dinkesdki.go.id/db.html. (Diakses pada 15 Mei 2015 pukul 22.00 WIB).
Haryati, Mimin. (2009). Model Dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press. Kantachuvessiri, A. (2002). Dengue Haemorrhagic Fever in Thai Society/ The Southeast Asian, Journal of Tropical Medicine and Public Health, Vol. 33 No.1, p. 4-10. Kirkpatrick, Donald L. (1994). Evaluating Training Programs: The Four Levels. San Francisco CA: BerrettKoehler Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta Novelani. (2007). Studi Habitat Dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes Serta Kaitannya Dengan Kasus Demam Berdarah Di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur. Tesis. Bogor Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Sucipto, Cecep Dani. (2011). Vektor Penyakit Tropis. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Suwarno, Firdous. Umar. (2012) Penyakit Demam Berdarah, Penanggulangan & Aspek Pengawasannya, INFORWAS, ISSN 1858-0485, Hal 16-22. PDF from:http://www.itjen.depkes.go.id/public/upload/unit/pusat/files/Inforwas/Inforwas%20edisi%20 2%20Final.pdf. Diakses pada senin, 03 Mei 2015. Pukul 11.49 WIB. Porebonegoro S & Tafal Z., (1989). Konsep Pendidikan Kesehatan dalam Notoatmodjo S, Poerbonegoro S, FTafal Z, Sudarti, Sasongko A, Pratomo H, Hasan A, Mamdy Z (dds). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta:FKM UI Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan. (2002). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Widyaiswara. Pusdiklat, Jakarta. Krianto, Tri. (2008). Pengaruh Promosi Kesehatan Terhadap Perilaku Pengendalian Vektor Dengue Studi Intervensi Pada Murid-Murid Sekolahh Dasar Negeri Di Kota Depok. Tesis: FKM UI WHO. (2007). Trend dengue in Indonesia. Geneva: World Health Organization. WHO. (2010). DBD di Indonesia Mulai Mewabah. Fakultas KesehatanMasyarakat USU. Sumatra Utara. WHO. (2006) Dengue Haemorrhagic Fever: early recognition, diagnosis and hospital management. WHO. (2009). Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. France WHO, (2015). Dengue and severe dengue. Dalam http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ di akses pada 7 Mei 2015 Wibowo, Adik. (2014) Metodologi Penelitian Praktis. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Widoyono. (2008) Penyakit Tropis – Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan nya. Jakarta: Erlangga.