1
Analisis tentang Konversi Utang Menjadi Saham yang Tidak Sesuai dengan Anggaran Dasar Perseroan (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011 antara PT PANN (Persero) dan PT Mandala Airlines) Liedarmawan Chandra dan Teddy A.Anggoro (Pembimbing) Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK Penelitian ini membahas konversi utang menjadi saham sebagai isi dari perjanjian perdamaian dalam Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang (PKPU) PT Mandala Airlines yang telah disahkan dalam putusan Pengadilan Niaga. Salah satu kreditor konkuren yaitu PT PANN (Persero) tidak dapat melaksanakan konversi utang menjadi saham karena tidak sesuai dengan anggaran dasar perseroan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah konversi utang menjadi saham tersebut dapat dilaksanakan oleh PT PANN (Persero) melalui mekanisme spin-off. Penelitian ini juga menyarankan PT PANN (Persero) untuk melaksanakan pengambilan saham PT Mandala Airlines setelah melakukan mekanisme spinoff. Kata kunci: Konversi utang menjadi saham, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perdamaian. ABSTRACT The focus of this study is the conversion of debt into equity as the content of the reconcilement agreement as in Suspension of Debt Payment (PKPU) PT Mandala Airlines which was approved by the verdict of the Commercial Court. One of the unsecured creditors, namely PT PANN (Limited) can not carry out the conversion of debt into equity because it does not fit with the company's articles of association. This research is normative. The results of this study is the conversion of debt to equity can be executed by PT PANN (Limited) through a mechanism of spin-off. The study also suggests PT PANN (Limited) to take of PT Mandala Airlines’s stocks after the spin-off mechanism. Key words: conversion of debt into equity, reconcilement, Suspension of Debt Payment.
2
PENDAHULUAN
Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia pada pertengahan
tahun
1997
telah
memporak-porandakan
sendi-sendi
perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Negara Indonesia memang tidak sendirian dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya.1 Tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar, sedangkan yang masih dapat bertahan pun usahanya memprihatinkan. Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang memprihatinkan yang akan berakibat pula pada tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan dalam peraturan perundangundangan dalam rangka mengatasi permasalahan di dunia usaha, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan. Inisiatif pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan, sebenarnya timbul karena ada “tekanan” dari International Monetery Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor ke kreditor. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda selama ini kurang dapat memenuhi tuntutan zaman.2 Untuk menghindari terjadinya penetapan kepailitan oleh pengadilan dengan suatu keputusan hakim yang tetap, maka akan di lakukan suatu upaya hukum yang dapat menyeimbangi keberadaan dan fungsi hukum kepailitan itu sendiri, yaitu dengan dilakukannya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). PKPU dapat diajukan oleh debitor maupun kreditor yang memiliki
1
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers, 1991), hal 10 2
Sutan Remi Sjahdeni, Hukum Kepailitan, (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hal 50.
3
itikad baik, dimana permohonan pengajuan PKPU harus diajukan sebelum diucapkannya putusan pernyataan pailit.3 PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga kepada debitor dan kreditor untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang debitor,
baik
sebagian
maupun
seluruhnya
termasuk
apabila
perlu
merestrukturisasi utang tersebut. Diberikannya kesempatan bagi debitor untuk menunda kewajiban pembayaran utang-utangnya, maka ada kesempatan bagi debitor untuk melanjutkan usahanya, aset-aset dan kekayaan akan tetap dapat dipertahankan debitor sehingga dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang kepada seluruh kreditor, dan juga memberi kesempatan kepada debitor untuk merestrukturisasi utang-utangnya, sedangkan bagi kreditor, PKPU yang telah diberikan kepada debitor juga dimaksudkan agar kreditor memperoleh kepastian mengenai tagihannya, utang piutangnya akan dapat dilunasi oleh debitor.4 Ketentuan PKPU yang berlaku di Indonesia masih menjadi satu dengan Undang-Undang Kepailitan, baik semasa Faillissement Verordening Stb. 1905 No.217 jo. Stb. 1906 No.348, dan setelah terjadinya krisis moneter di Indonesia Juli 1997, maka dirubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135) yang bukan merupakan Undang-Undang Kepailitan yang baru melainkan hanya sekedar mengubah dan menambah beberapa pasal peraturan kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Peraturan tersebut dianggap tidak dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat, maka pemerintah bersama dengan DPR menerbitkan
3
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi revisi Berdasarkan Undang-undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Malang: UPT Percetakan Universitas Muhammadiyah, 2008), hal 220 . 4
Kartini Muljadi, dalam Lontoh dkk, Penyelesaian Utang Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hal 173.
4
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.5 Permohonan PKPU diajukan dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian utang atau seluruh utang kepada kreditor. Rencana Perdamaian ini merupakan proposal akan tindakan-tindakan yang akan diambil debitor dalam rangka penyehatan kembali perusahaannya. Salah satu tindakan yang ditempuh debitor dalam rangka menyelesaikan utang-utangnya tersebut adalah dengan cara melakukan pengajuan restrukturisasi atas utangnya. PKPU memiliki beberapa perbedaan dengan Kepailitan. Yang pertama adalah dalam PKPU ini nasib orang yang mendapat PKPU tidak sejelek orang yang dinyatakan pailit. Orang yang dinyatakan pailit akan kehilangan kecakapan berbuat terhadap harta bendanya sendiri, sedangkan orang yang mendapatkan PKPU tidak akan kehilangan hak atas harta bendanya. Dalam lembaga PKPU, orang yang mendapat PKPU masih cakap berbuat terhadap harta-bendanya tetapi ia harus meminta izin dari Pengurus yang diangkat oleh hakim. Dalam PKPU, kurator tidak turut campur dalam persoalan PKPU tetapi hakim akan mengangkat Pengurus yang bertugas mengawasi orang yang mendapat PKPU dalam mengurus harta bendanya.6 Restrukturisasi utang merupakan salah satu upaya alternatif yang dapat ditempuh debitor yang utang-utangnya telah jatuh tempo atau bahkan sebagai termohon pailit. Salah satu upaya dalam merustrukturisasi utang adalah dengan cara konversi piutang kreditor menjadi saham perusahaan debitor atau “debt to equity swap”. Dengan cara demikian, diharapkan kedua belah pihak saling diuntungkan dimana kreditor dapat memperoleh sebagian hak kepemilikan atas perusahaan debitor dan memperoleh deviden atas kepemilikan saham,
5
Sutan Remi Sjahdeni, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Verordering, Juncto Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2008), hal 328. 6
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal 103.
5
sedangkan bagi debitor sendiri tetap dapat menjalankan perusahaannya sehingga masih memiliki kemungkinan untuk diselamatkan. Kasus-kasus restrukturisasi utang dengan jalan konversi utang menjadi saham telah terjadi di Indonesia, diantaranya adalah yang dilakukan oleh PT. Mandala Airlines. PT Mandala Airlines didirikan pada 17 April 1969 dan awalnya merupakan bagian dari badan militer Indonesia. Pada bulan April 2006, grup transportasi Indonesia, Cardig International mengakuisisi maskapai penerbangan tersebut senilai Rp300 Milyar (34 Juta USD). Pada bulan Oktober 2006, Indigo Partners, sebuah perusahaan investasi mengakuisisi 49% saham Cardig.7 Pada tanggal 12 Januari 2011, Mandala Airlines menghentikan kegiatan operasionalnya. Mandala menghadapi masalah sengketa internal dengan pihak yang menyewakan pesawat. Mandala mengalami kesulitan atau gagal bayar terkait pembayaran sewa pesawat terhadap perusahaan yang menyewakan pesawat.8 Beban utang Mandala Airlines mencapai Rp 2,45 triliun kepada kreditor konkuren atau kreditor yang tidak dijamin dengan aset-aset perusahaan. Jumlah kreditor konkuren sebanyak 114 kreditor yang bersifat perusahaan, 72.000 pemegang tiket yang sudah diverifikasi, dan 350 agen perjalanan. Mandala Airlines juga berhutang kepada kreditor separatis yakni Bank Victoria, yang dijamin dengan aset-aset Mandala Airlines. Jumlah utang maskapai ini mencapai Rp 54,14 miliar. Perhitungan aset sementara Mandala Airlines kini mencapai Rp 110 miliar. Aset itu hanya berupa gedung, tanah, dan mesin pesawat Mandala Airlines.9
7
Herdaru Purnomo, ”Tak Ada Gugatan Pailit, PN Jakpus Belum Terima PKPU Mandala”, http://finance.detik.com/read/2011/01/13/133740/1545677/4/tak-ada-gugatan-pailitpn-jakpus-belum-terima-pkpu-mandala 8
Eko Priliawito , ”Mandala Stop Operasi Selama 45 Hari”, http://bisnis.news.viva. co.id /news/read/198991-mandala-berhenti-operasi-sementara-45-hari
6
Dalam dokumen perjanjian perdamaian Mandala dengan para kreditornya disebutkan ada enam penyebab Mandala tak mampu membayar utang. Pertama, biaya besar yang timbul akibat konversi armada perseroan dari Boeing 737 (seri 200 dan 400) menjadi Airbus A319/320. Kedua, adanya penyusutan jumlah armada pesawat perseroan yang menyebabkan pengurangan pendapatan perseroan secara signifikan. Ketiga, munculnya depresiasi mata yang rupiah sekitar 25% di 2008 terhadap mata uang dolar AS. Keempat, terjadinya kenaikan tajam biaya pembelian bahan bakar di 2008. Kelima, infrastruktur yang belum memadai untuk menyokong operasi penerbangan domestik yang berkesinambungan. Dan terakhir, adanya penumpukan biayabiaya operasional yang sudah terakumulasi dalam waktu panjang sehingga mencapai jumlah yang sangat besar.10 Di dalam dokumen perjanjian perdamaian Mandala dengan para kreditornya, juga dipaparkan jika Mandala diputuskan dilikuidasi oleh pengadilan, hanya kreditor separatis yaitu Bank Victoria yang akan dikembalikan utangnya. Karena itu, pelaksanaan proses likuidasi Mandala Airlines hanya dapat memberi pengembalian kepada kreditor separatis, yang sebelumnya telah terjamin dengan aset perusahaan. Sebaliknya para kreditor konkuren tidak mendapatkan sisa dari hasil likuidasi aset perusahaan. Sehingga, kreditor konkuren yang jumlah utangnya Rp 2,45 triliun terancam tak terbayar seluruh utangnya. Selain kepada para kreditor tersebut, Mandala juga memiliki kewajiban kepada para pemegang tiket yang belum terbang. Semula 157.000 pemegang tiket, setelah diverifikasi menjadi sekitar 72.000 pemegang tiket. Untuk pengembalian uang tiket, utang Mandala mencapai Rp 27 miliar. Para pemegang tiket itu, termasuk kreditor konkuren. Mandala dilarang membayar utang kepada sebagian kreditor. Ini sesuai aturan yang berlaku. Kecuali 9
Anonim, “Beban Utang Mandala Airlines Rp 2,45 Triliun”, http://www.kabarbisnis. com /read/ 2818207 10
Loc. Cit.
7
Mandala membayar ke seluruh kreditor dengan imbangan piutang masingmasing, maka pengembalian uang tiket kepada penumpang yang belum terbang tidak dapat dilakukan.11 Pada tanggal 17 Januari 2011, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan PKPU Mandala Airlines sekaligus memberikan waktu 45 hari kepada Mandala Airlines untuk membuat strategi restrukturisasi perusahaan.12 Mandala kemudian mengajukan Rencana Perdamaian yang secara garis besar isinya mencakup ketiga hal berikut: pertama, pengajuan konversi hutang kreditor konkuren menjadi saham. Kedua, masuknya investor baru untuk menyuntikkan modal bagi perusahaan. Dan, ketiga, masuknya pengelola baru untuk memulai kembali operasi perusahaan.13 Atas Rencana Perdamaian yang diajukan Mandala, kreditor diberikan waktu untuk melakukan analisa dan evaluasi atas Rencana Perdamaian tersebut. Terhadap Rencana Perdamaian itu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 2 Maret 2011 telah mengesahkan hasil voting dalam perdamaian antara PT Mandala Airlines dan para kreditor melalui Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. Pengadilan Niaga dalam hal ini juga telah mempertimbangkan sedikitnya tiga keberatan dari kreditor. Namun, oleh majelis hakim, keberatan itu dianggap tidak beralasan sehingga ditolak oleh hakim. Keputusan konversi utang itu diambil setelah pemungutan suara yang diambil oleh 344 hak suara kreditor. Sebanyak 304 suara setuju dengan konversi saham, 37 suara menolak, dan 3 suara abstain.14
11
Loc. Cit
12
Eddy Dwinanto Iskandar, “Rencana Perdamaian Mandala Ditolak 37 Kreditor”, http://swa.co.id/listed-articles/rencana-perdamaian-mandala-ditolak-37-kreditor 13
14
Loc .Cit
Erlangga Djumena, ”Perdamaian Mandala Disahkan Pengadilan,” http://bisniskeuangan. kompas.com/read/2011/03/02/1539275/P erdamaian.Mandala.Disahkan .Pengadilan.
8
Salah satu permohonan Mandala yang disetujui oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. tersebut adalah konversi utang menjadi saham. Salah satu kreditor Mandala yaitu PT PANN (Persero) kemudian mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. tersebut. Adapun yang menjadi alasan PT PANN (Persero) dalam anggaran dasarnya adalah sebagai perusahaan pembiayaan yang wajib tunduk kepada ketentuan dalam
Pasal
29
ayat
(1)
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan yang menyatakan bahwa: “Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan di sektor keuangan di Indonesia”. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, apabila PT PANN (Persero) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, maka PT PANN (Persero) akan mendapatkan sanksi berupa Peringatan, Pembekuan Kegiatan Usaha, dan Pencabutan Izin Usaha. PT PANN (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara, dalam anggaran dasarnya menegaskan dan mengatur bahwa apabila PT PANN (Persero) hendak melakukan penyertaan modal pada perusahaan lain, maka PT PANN (Persero) wajib mendapatkan tanggapan tertulis Dewan Komisaris dan mendapatkan persetujuan dari Pemegang Saham yang dalam hal ini adalah Negara Republik Indonesia yang diwakili oleh Menteri Negara BUMN dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Bahwa dengan demikian sesungguhnya penolakan PT PANN (Persero) atas Penawaran Perdamaian yang diajukan oleh Mandala Airlines yang isinya antara lain utang kepada kreditor dikonversi menjadi Saham Baru Perseroan (Saham Seri C), didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang PT PANN (Persero) untuk melakukan penyertaan modal dalam perusahaan selain perusahaan di sektor keuangan di Indonesia, sedangkan Mandala
Airlines
adalah
perusahaan
yang
bergerak
di
sektor
angkutan/perhubungan udara sehingga PT PANN (Persero) menurut hukum
9
yang berlaku dilarang untuk melakukan penyertaan modal, dalam bentuk apapun tidak terkecuali dalam bentuk konversi utang menjadi kepemilikan saham pada Mandala Airlines. Berdasarkan alasan tersebut di atas, PT PANN (Persero) mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. tersebut. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011 menolak permohonan Peninjauan Kembali tersebut. Pokok Permasalahan 1. Bagaimana akibat hukum atas konversi utang menjadi saham yang tidak sesuai dengan anggaran dasar perseroan? 2. Bagaimana upaya hukum yang tepat untuk melaksanakan konversi utang menjadi saham yang tidak sesuai dengan anggaran dasar perseroan?
Bentuk penelitian tesis ini adalah bentuk penelitian yuridis normatif, yaitu suatu bentuk penelitian berdasarkan norma hukum tertulis. Alasannya adalah penelitian ini didasarkan pada adanya suatu ketentuan undang-undang dan putusan Mahkamah Agung yang merupakan norma hukum tertulis. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan suatu keadaan. Penelitian ini menjelaskan mengenai konversi utang menjadi saham sebagai salah satu agenda dari PKPU. Dari sudut tipe penelitiannya, penelitian ini adalah penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian yang tujuannya memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan.15 Berdasarkan tujuannya, penelitian ini adalah penelitian problem solution, yaitu suatu penelitian yang bertujuan memberikan jalan keluar dan saran pemecahan
15
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)., hlm.4.
10
masalahnya.16 Konversi utang menjadi saham ternyata tidak serta-merta dapat dilaksanakan. Maka penelitian ini berusaha mencari solusi atas permasalahan tersebut. Adapun jenis data yang penulis kumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.17 Data sekunder tersebut akan didukung dengan hasil wawancara dengan narasumber. Alasan penulis mengumpulkan data sekunder adalah karena penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada norma hukum tertulis. Norma hukum tertulis termasuk sebagai sumber data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersumber dari peraturan perundangundangan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU 4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 84/PMK. 012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan 5. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 01/PKPU/2011/PN. NIAGA.JKT.PST 6. Putusan Mahkamah Agung Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011 7. Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Kemudian bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini penulis menggunakan buku, makalah, serta artikel yang berkaitan dengan hukum kepailitan dan PKPU. Selanjutnya bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau referansi terhadap bahan hukum 16
Ibid., hal. 5.
17
Ibid., hal 28.
11
primer dan sekunder. Dalam penelitian ini penulis menggunakan ensiklopedia dan kamus. Alat pengumpulan data yang digunakan penulis adalah studi dokumen atau penelusuran literatur dan wawancara. Studi dokumen penting dilakukan untuk merumuskan kerangka teori dan konsep.18 Wawancara dilakukan dengan narasumber untuk memperoleh data guna mendukung data sekunder. Wawancara akan penulis lakukan secara langsung, yaitu berhadapan dengan narasumber.
PEMBAHASAN
Debt to equity swap merupakan suatu langkah yang diambil oleh pihak kreditor karena kreditor tersebut melihat dan mengamati bahwa perusahaan dari debitor yang mengalami masalah keuangan tersebut mempunyai nilai ekonomi yang sangat bagus di masa yang akan datang, dan ini merupakan cara yang bagus bagi kreditor untuk menambah laba, yaitu dengan cara reklasifikasi tagihan debitor menjadi penyertaan.19 Transaksi debt to equity swap pada dasarnya merupakan transaksi pengeluaran saham-saham baru dimana pembayaran atas saham tersebut dilakukan dengan dikonversikannya piutang kreditor atau pemegang saham perseroan terbatas menjadi saham-saham baru. Pemegang saham atau kreditor yang mempunyai tagihan terhadap perseroan dapat mengkompensasikan hak tagihnya menjadi penyetoran atas harga saham, sepanjang hal tersebut disetujui oleh RUPS.20
18
19
Ibid., hal. 29.
Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Bentuk dan Pemajakannya, (Jakarta: Salemba Empat, 2001) hal. 61.
12
Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan tundaan pembayaran utang adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberi kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut. Jadi, PKPU sebenarnya merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium.21 Perdamaian pada dasarnya adalah suatu kesepakatan antara debitor dan kreditor untuk merestrukturisasi utang secara paksa. Penyelesaian utangpiutang secara damai di luar kepailitan hanya dapat dicapai jika debitor dan kreditor telah sama-sama sepakat atas syarat-syarat dan ketentuan perjanjian perdamaian. Kreditor tidak dapat dipaksa untuk menyetujui syarat-syarat perdamaian, demikian pula sebaliknya.22 Suatu perjanjian perdamaian dapat dibuat untuk mengakhiri suatu sengketa dan dalam hal PKPU adalah penyelesaian utang yang telah jatuh tempo dengan cara-cara antara lain: restrukturisasi utang dengan pengurangan pokok pinjaman dan bunganya,
20
Pheo Marojahan Hutabarat, “Beberapa Ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Terkait dengan Organisasi Perusahaan: Suatu Tinjauan Praktek”, (makalah disampaikan dalam Pelatihan Calon Advokat kerjasama PBHI dengan PERADI, Jakarta 10 Agustus 2008), hal. 40. 21
Munir Fuady, Hukum Pailit, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 175.
22
Andrey Sitanggang, “Perdamaian Dalam Kepailitan”, (makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Kurator dan Pengurus AKPI, Jakarta, Oktober 2012), hal. 1.
13
pengurangan tingkat suku bunga, konversi utang menjadi saham, atau penundaan pembayaran.23 Isi rencana perdamaian tidak dibatasi oleh undang-undang sehingga dapat berisi restrukturisasi utang-utangnya. Dengan demikian apabila rencana perdamaian tersebut diterima oleh para kreditornya dan perusahaan debitor dapat membayar kembali utangnya kepada para kreditornya maka keadaan tersebut tentu lebih menguntungkan. Perdamaian yang telah disetujui Pemohon PKPU dan termohon serta para kreditronya akan dihomologasi oleh pengadilan niaga segera setelah putusan perdamaian disahkan. Perdamaian tersebut mengikat semua kreditor konkuren tanpa kecuali untuk menaati isi perdamaian tersebut. Putusan pengesahan perdamaian langsung mempunyai kekuatan hukum tetap.24 Konversi utang menjadi saham adalah salah satu cara restrukturisasi utang yang dapat ditawarkan debitor kepada para kreditornya dalam PKPU. Melalui cara ini, seluruh utang debitor terhadap para kreditor konkuren akan dikonversi menjadi saham baru perseroan. Dengan dikeluarkannya saham baru perseroan, kreditor konkuren tidak lagi memiliki tagihan terhadap perseroan dan perseroan akan secara penuh dibebaskan dari kewajiban membayar utang terhadap kreditor konkuren. Dalam kasus PKPU PT Mandala Airlines, permohonan PKPU yang diajukan pada tanggal 13 Januari 2011 belum mencantumkan rencana konversi utang menjadi saham sebagai solusi yang ditawarkan. Pada tahap ini pemohon PKPU menyampaikan bahwa masih adanya kemungkinan perusahaan dapat dijalankan apabila diberikan tenggat waktu untuk menunda pembayaran utangnya kepada para kreditor dan juga bahwa pemohon PKPU sedang dalam tahap negosiasi dengan beberapa calon investor.untuk menambah modal. Atas
23
R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 112. 24
Ibid., hal. 114
14
permohonan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan mengabulkan permohonan PKPU PT Mandala Airlines. PT Mandala Airlines kemudian mengajukan rencana perdamaian yang pada intinya memuat rencana restrukturisasi utang. Dalam rencana perdamaian tersebut konversi utang menjadi saham digunakan sebagai cara yang akan ditempuh guna melaksanakan restrukturisasi utang PT Mandala Airlines kepada para kreditornya. Ditawarkan kepada para kreditor konkuren agar hak tagih mereka dikonversi menjadi 15-20% saham seri C perseroan. Dalam rapat kreditor yang dilangsungkan pada tanggal 24 Februari 2011, rencana perdamaian yang diajukan PT Mandala Airlines tersebut mendapat persetujuan dari para kreditor konkuren melalui mekanisme pemungutan suara. Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan menyatakan sah perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan para kreditornya dan menghukum debitor dan kreditor untuk menaati isi dari perdamaian tersebut. Penulis berpendapat bahwa akibat hukum dari pengesahan perdamaian antara PT Mandala Airlines dan para kreditornya tersebut adalah para kreditor konkuren tidak akan menerima pembayaran piutangnya dalam bentuk uang tunai maupun bentuk lainnya kecuali saham seri C perseroan. Artinya bahwa seluruh kreditor konkuren akan menjadi pemegang saham perseroan atau dengan kata lain akan melakukan penyertaan modal di PT Mandala Airlines. Salah satu kreditor konkuren PT Mandala Airlines adalah PT PANN (Persero) yang merupakan perusahaan pembiayaan. Hal ini ternyata dalam anggaran dasar PT PANN (Persero) yang perubahan terakhirnya dimuat dalam Akta Nomor 66 Tanggal 14 Agustus 2008 yang dibuat oleh Poerbaningsih Adi Warsito, S.H., Notaris di Jakarta Selatan. Pasal 3 anggaran dasar PT PANN (Persero) memuat maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan usaha di bidang lembaga pembiayaan termasuk usaha pembiayaan dengan prinsip syariah dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya perseroan untuk
15
menghasilkan jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat untuk mendapatkan/mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip perseroan terbatas. Dari rumusan pasal tersebut jelas bahwa PT PANN (Persero) adalah perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan menyatakan bahwa perusahaan pembiayaan hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan di sektor keuangan di Indonesia. Dalam hal ini PT PANN (Persero) sebagai perusahaan pembiayaan dibatasi geraknya dalam melakukan penyertaan modal terhadap perusahaan lain. PT Mandala Airlines adalah perusahaan yang bergerak di sektor jasa transportasi, bukan di sektor keuangan. Penulis berpendapat, PT PANN (Persero) tidak dapat memiliki saham PT Mandala Airlines, karena sebagai pemegang saham, maka secara otomatis PT PANN (Persero) melakukan penyertaan modal di PT Mandala Airlines, yang mana hal ini dilarang oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.. Penulis berpendapat, apabila PT PANN (Persero) tetap mengambil saham PT Mandala Airlines sebagai akibat dari pengesahan perdamaian, maka PT PANN (Persero) dapat dikenai sanksi berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha dan pencabutan izin usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. PT PANN (Persero) melakukan upaya hukum peninjauan kembali atas perdamaian
yang
sudah
disahkan
tersebut.
Dalam
Putusan
070
PK/Pdt.Sus/2011, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali yang diajukan PT PANN (Persero) tersebut, sehingga perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan para kreditornya harus dilaksanakan karena telah
16
berkekuatan hukum tetap dan PT PANN (Persero) sudah tidak bisa mengajukan upaya hukum apapun. Penulis berpendapat bahwa terjadi ketidaksesuaian antara perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan para kreditornya yang disahkan dalam Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST dengan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Bahwa di satu sisi PT PANN (Persero) dihukum untuk menaati isi perdamaian yang di dalamnya mengharuskan PT PANN (Persero) untuk ikut serta melakukan penyertaan modal di PT Mandala Airlines, sementara di sisi lain PT PANN (Persero) sebagai perusahaan pembiayaan dilarang untuk melakukan penyertaan modal di luar sektor keuangan di Indonesia. Akibat hukumnya, PT PANN (Persero) terjebak dalam dua aturan hukum yang samasama mengikat bagi dirinya. Penulis berpendapat bahwa Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN. NIAGA.JKT.PST yang mengesahkan perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan
para
kreditornya
dan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan kedua-duanya merupakan pranata hukum yang wajib ditaati oleh PT PANN (Persero) sebagai salah satu kreditor konkuren PT Mandala Airlines dan juga sebagai sebuah perusahaan pembiayaan. Ketidaksesuaian antara tindakan penyertaan modal yang harus dilakukan PT PANN (Persero) berdasarkan isi perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan para kreditornya dengan aturan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan membuat hal tersebut tidak dapat serta-merta dilaksanakan. Penulis berpendapat, pokok permasalahan tidak dapat dilaksanakannya penyertaan modal sebagai konsekuensi konversi utang menjadi saham terdapat pada kegiatan usaha PT PANN (Persero) di bidang pembiayaan yang membuatnya
17
harus
tunduk
kepada
aturan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan tersebut. Terhadap perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan para kreditornya telah disahkan melalui Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA .JKT.PST telah diajukan upaya hukum peninjauan kembali oleh PT PANN (Persero). Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 070 PK/Pdt.Sus/2011 telah menolak peninjauan kembali tersebut, sehingga PT PANN (Persero) tidak dapat lagi mengajukan upaya hukum dalam jalur pengadilan. Penulis berpendapat, karena upaya hukum dalam jalur pengadilan sudah tidak ada, maka PT PANN (Persero) harus mencari upaya lain di luar jalur pengadilan untuk dapat menjalankan konversi utang menjadi saham sebagaimana diatur dalam perdamaian. Agar PT PANN (Persero) tidak lagi tunduk terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dapat dijalankan upaya restrukturisasi perseroan dengan jalan spin-off. Spin-off adalah bentuk restrukturisasi perseroan dengan melakukan pemisahan tidak murni. Menurut Pasal 135 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pemisahan tidak murni mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva perseroan yang melakukan pemisahan beralih karena hukum kepada satu perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan, dan perseroan yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada. Ada unit bisnis baru yang dipisahkan dari PT PANN (Persero). Unit baru ini akan menjadi perusahaan pembiayaan, sedangkan PT PANN (Persero) akan menjadi holding company. Penulis berpendapat, dengan dilakukannya spin-off, maka sebagai holding company PT PANN (Persero) dapat mengubah kegiatan usahanya tidak lagi di bidang pembiayaan, karena unit usaha baru yang menjadi anak usahanya sudah menjadi perusahaan pembiayaan. Dengan demikian, PT PANN (Persero) tidak lagi tunduk pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18
84/PMK.02/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Maka, tidak ada halangan bagi PT PANN (Persero) untuk mengambil saham dan melakukan penyertaan modal di PT Mandala Airlines. Adapun pelaksanaan tindakan hukum spin-off tidak mudah. Merujuk pada ketentuan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kuorum kehadiran untuk RUPS yang membahas pemisahan paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan sah apabila disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS, kecuali bila anggaran dasar perseroan menentukan kuorum yang lebih besar. Dalam hal ini para pemegang saham PT PANN (Persero) adalah Negara Republik Indonesia yang diwakili oleh Menteri Negara BUMN dan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, penulis berpendapat wacana spin-off dapat disetujui oleh para pemegang saham dalam RUPS. Setelah tindakah hukum spin-off dijalankan, penyertaan modal kepada PT Mandala Airlines dapat dilaksanakan oleh PT PANN (Persero) sebagai holding company setelah merubah maksud dan tujuan perseroan pada anggaran dasarnya tidak lagi bergerak di bidang pembiayaan sehingga tidak lagi tunduk pada
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
84/PMK.02/2006
tentang
Perusahaan Pembiayaan.
PENUTUP Kesimpulan a. Pengesahan perdamaian antara PT Mandala Airlines dengan para kreditor konkurennya melalui Putusan Nomor 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST yang
dikuatkan
oleh
Mahkamah
Agung
dalam
Putusan
Nomor
070PK/Pdt.Sus/2011 yang di dalamnya memuat konversi utang menjadi saham dan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan yang menyatakan
19
bahwa: “Perusahaan Pembiayaan hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan di sektor keuangan di Indonesia” membuat PT PANN (Persero) berada dalam posisi yang dilematis karena konversi utang menjadi saham tidak dapat terlaksana. Hal ini disebabkan kedua pranata hukum tersebut saling bertentangan sehingga membuat PT PANN (Persero) tidak dapat menerima pelunasan piutangnya sebagai hasil perdamaian dari PT Mandala Airlines karena konversi utang menjadi saham tidak dapat dilaksanakan. Seharusnya perdamaian tidak boleh disahkan jika ada kreditor yang dirugikan. Ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenai mekanisme pemungutan suara tidak tepat, karena seharusnya dalam perdamaian tidak boleh ada kreditor yang dirugikan. b. Di dalam anggaran dasarnya PT PANN (Persero) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan, maka tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dalam perkara ini sudah tidak ada lagi upaya hukum dalam jalur pengadilan yang bisa dilakukan karena peninjauan kembali yang dimohonkan PT PANN (Persero) telah ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian terhadap PT PANN (Persero) isi perdamaian dengan PT Mandala Airlines telah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diajukan upaya hukum lagi. Restrukturisasi perseroan diperlukan agar PT PANN (Persero) dapat menerima pelunasan piutangnya sebagai hasil perdamaian dari PT Mandala Airlines. Mekanisme spin-off dapat dijadikan sebagai tindakan hukum untuk menyelesaikan masalah.
Saran a. Kepada Pemerintah Republik Indonesia agar merivisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terutama pada bagian isi perdamaian, bahwa isi perdamaian harus pula memperhatikan ketentuan-ketentuan perundang-
20
undangan lainnya yang berlaku serta bahwa persetujuan perdamaian seharusnya tidak menggunakan mekanisme pemungutan suara dan juga merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 agar memberikan pengecualian bagi perusahaan yang menerima saham karena hukum (diperintahkan putusan pengadilan). b. Kepada PT PANN (Persero) agar melakukan tindakan restrukturisasi perseroan spin-off
disertai dengan perubahan anggaran dasar dengan
mengganti maksud dan tujuan perseroan di luar bidang pembiayaan agar tidak
tunduk
lagi
kepada
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dengan demikian penyertaan modal di PT Mandala Airlines dapat dilaksanakan. c. Kepada PT Mandala Airlines agar segera menyelesaikan restrukturisasi utangnya dengan melaksanakan seluruh isi perjanjian perdamaian secara efektif dan efisien. d. Kepada pengadilan niaga agar teliti dalam memeriksa dan menanggapi keberatan dari kreditor dalam hal kreditor yang bersangkutan terikat pada suatu peraturan yang membuatnya tidak dapat melaksanakan isi perjanjian perdamaian. e. Kepada masyarakat agar selalu menyampaikan keberatan atas isi rencana perdamaian sebelum perdamaian disahkan dengan putusan pengadilan niaga.
DAFTAR REFERENSI A. Buku Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1991. Fuady, Munir. Hukum Pailit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999 Gunadi. Restrukturisasi Perusahaan dalam Berbagai Pemajakannya. Jakarta: Salemba Empat, 2001.
Bentuk
dan
21
Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan Edisi revisi Berdasarkan Undang-undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Malang: UPT Percetakan Universitas Muhammadiyah, 2008. Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Muljadi, Kartini. ”Kepailitan dan Penyelesaian Utang-Piutang” Dalam Penyelesaian Utang Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni, 2001. Sjahdeni, Sutan Remi. Hukum Kepailitan. Jakarta:Rajawali Pers, 2009. ________. Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Verordering, Juncto Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2008. Suyatno, R. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan. Jakarta: Kencana, 2012. Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
B. Artikel Anonim. Kabar Bisnis. “Beban Utang Mandala Airlines Rp 2,45 Triliun”, http://www.kabarbisnis.com/read/ 2818207, diakses pada 1 September 2012. Djumena, Erlangga. ”Perdamaian Mandala Disahkan Pengadilan,” http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/02/1539275/Perdamai an.Mandala.Disahkan.Pengadilan, diakses pada 1 September 2012. Hutabarat, Pheo Mahojahan. “Beberapa Ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas Terkait dengan Organisasi Perusahaan: Suatu Tinjauan Praktek”. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Calon Advokat kerjasama PBHI dengan PERADI, Jakarta 10 Agustus 2008. Iskandar, Eddy Dwinanto. “Rencana Perdamaian Mandala Ditolak 37 Kreditur”,http://swa.co.id/listed-articles/rencana-perdamaian-mandala -ditolak-37-kreditur, diakses pada 1 September 2012. Priliawito, Eko. ”Mandala Stop Operasi Selama 45 Hari”, http://bisnis .news.viva.co.id/news/read/198991-mandala-berhenti-operasisementara-45-hari, diakses pada 1 September 2012.
22
Purnomo, Herdaru. ”Tak Ada Gugatan Pailit, PN Jakpus Belum Terima PKPU Mandala”,http://finance.detik.com/read/2011/01/13/133740/1545677/4/ tak-ada-gugatan-pailit-pn-jakpus-belum-terima-pkpu-mandala, diakses pada 1 September 2012. Sitanggang, Andrey. “Perdamaian Dalam Kepailitan”. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Kurator dan Pengurus AKPI, Jakarta, Oktober 2012. C. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) _______. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) _______. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang _______. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas _______. Peratutan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1999 tentang Bentuk-Bentuk Tagihan Tertentu Yang Dapat Dikompensasikan Sebagai Setoran Saham _______. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan