Modul 2.0.09 Pembakaran I.
Pendahuluan
Dalam kehidupannya sehari-hari, manusia membutuhkan energi dalam jumlah besar. Masyarakat tumbuh di dalam kondisi yang bergantung pada teknologi dimana mereka
membutuhkan
energi
dalam
transportasi,
memasak,
kegiatan
pabrik,
menghasilkan listrik, dan sebagainya. Sebagian besar energi tersebut berasal dari energi pembakaran bahan bakar, khususnya khusu snya bahan bakar fosil. Energi (panas) dapat dengan mudah dikonversi menjadi bentuk energi lainnya seperti energi mekanik dan energi listrik. Energi ini dapat dihasilkan melalui internal combustion engine ataupun external combustion engine. Internal combustion engine
secara langsung menggunakan energi panas yang dihasilkan oleh oksidasi bahan bakar dalam ruang pembakaran untuk menggerakkan turbin atau piston, sedangkan external combustion engine menggunakan energi panas untuk menggerakkan fluida kerja seperti
dalam mesin uap. Pada dasarnya, reaksi pembakaran menghasilkan zat-zat yang tidak diinginkan seperti CO2, CO, dan jelaga. Rekasi pembakaran sempurna akan menghasilkan CO2, hal ini terjadi bila suplai oksigen diberikan berlebih. Sebaliknya bila reaksi oksidasi bahan bakar kekurangan oksigen maka akan terjadi reaksi pembakaran tidak sempurna yang menghasilkan CO dan jelaga. CO lebih berbahaya dari CO2 sehingga pembentukannya perlu dihindari. Pembakaran yang tidak efisien juga akan menghasilkan keluaran energi yang rendah serta boros bahan bakar. Untuk menghasilkan panas pembakaran yang optimal serta memaksimalkan efisiensi pembakaran, perlu dilakukan penelitian yang akan dilakukan dalam percobaan ini. Berbagai macam kondisi pembakaran serta laju gas buang akan diukur, serta energi yang dihasilkan pun dapat diketahui. Untuk itu diperlukan keterampilan dalam pengukuran supaya didapat d idapat data dan hasil yang akurat. ak urat.
II.
Sasaran Percobaan
Pada percobaan ini, sasaran percobaan yang ingin dicapai adalah : -
Praktikan mampu melakukan pengamatan visual terhadap kondisi flame dalam tungku pembakaran
-
Praktikan mampu mengumpulkan dan memperoleh data-data yang diperlukan untuk analisis hasil-hasil percobaan, meliputi laju alir udara, laju alir bahan bakar, laju alir air pendingin, temperatur air pendingin yang masuk, temperatur air pendingin yang keluar, temperatur gas buang radiasi, dan temperatur gas buang non-radiasi.
-
Praktikan mengetahui pengaruh faktor laju alir bahan bakar dan laju alir udara terhadap proses pembakaran
-
Praktikan
mampu
melakukan
penyusunan
neraca
energi
pada
percobaan
pembakaran yang dilakukan berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada percobaan
III.
Tujuan Percobaan
Pada percobaan ini, tujuan percobaan yang ingin dicapai adalah :
IV.
-
praktikan mendapatkan pengetahuan pen getahuan tentang proses pembakaran
-
Praktikan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pembakaran
Tinjauan Pustaka
4.1 Pembakaran
Pembakaran adalah serangkaian reaksi-reaksi kimia eksotermal antara bahan bakar dan oksidan berupa udara yang disertai dengan produksi prod uksi energi berupa panas dan konversi senyawa kimia. Pelepasan panas dapat mengakibatkan timbulnya cahaya dalam bentuk api. Bahan bakar yang umum digunakan dalam pembakaran adalah senyawa organik, khususnya hidrokarbon dalam fasa gas, cair atau padat. Terdapat bermacam-macam jenis pembakaran yang dapat dijelaskan pada poin poin berikut ini :
1. Complete combustion
Pada pembakaran sempurna, reaktan akan terbakar dengan oksigen, menghasilkan sejumlah produk yang terbatas. Ketika hidrokarbon yang terbakar dengan oksigen, maka hanya akan dihasilkan gas karbon dioksida dan uap air. Namun kadang kala akan dihasilkan senyawa nitrogen dioksida yang merupakan hasil teroksidasinya senyawa nitrogen di dalam udara. Pembakaran sempurna hampir tidak mungkin tercapai pada kehidupan nyata. 2. Incomplete combustion
Pembakaran tidak sempurna umumnya terjadi ketika tidak tersedianya oksigen dalam jumlah yang cukup untuk membakar bahan bakar sehingga dihasilkannya karbon dioksida dan air. Pembakaran yang tidak sempurna menghasilkan zat-zat seperti karbon dioksida, karbon monoksida, uap air dan karbon. Pembakaran yang tidak sempurna sangat sering terjadi, walaupun tidak diinginkan, karena karbon monoksida merupakan zat yang sangat berbahaya bagi manusia. Kualitas pembakaran dapat ditingkatkan dengan perancangan media pembakaran yang lebih baik dan optimisasi proses. 3. Smouldering combustion
Smouldering merupakan bentuk pembakaran yang lambat, bertemperatur rendah, dan tidak berapi, yang dipertahankan oleh panas ketika oksigen menyerang permukaan dari bahan bakar pada fasa yang terkondensasi. Pembakaran ini dapat dikategorikan sebagai pembakaran yang tidak sempurna. Contoh pembakaran ini adalah inisiasi kebakaran yang dikarenakan rokok, dan sisa kebakaran hutan yang masih menghasilkan hawa panas. 4. Rapid combustion
Rapid combustion merupakan pembakaran yang melibatkan energi dalam jumlah yang banyak dan menghasilkan pula energi cahaya dalam jumlah yang besar. Jika dihasilkan volume gas yang besar dalam pembakaran ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang signifikan, sehingga terjadi ledakan. 5. Turbulent combustion
Pembakaran yang menghasilkan api yang turbulen sangat banyak digunakan untuk aplikasi industri, misalnya mesin berbahan bakar bensin, turbin gas, dll, karena turbulensi membantu proses pencampuran antara bahan bakar dan pengoksida. 6. Slow combustion
Pembakaran yang terjadi pada temperatur yang rendah. Contoh pembakaran ini adalah respirasi seluler. Pembakaran dapat terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi, seperti dalam mesin motor roket. Turbin gas, dan mesin pembakaran internal. Pembakaran juga dapat terjadi dengan kecepatan yang sangat rendah (seperti api pada lilin). Pada pembakaran dengan kecepatan rendah, terjadi siklus umpan balik terjadi di antara fasa gas bahan bakar dan bahan bakar. Pada fasa gas. Oksigen di dalam udara mendorong pembakaran bahan bakar fasa gas dan panas akan dilepaskan secara eksoterm. Sebagian dari panas akan digunakan untuk mempertahankan kelangsungan reaksi pembakaran, sedangkan sebagian lainnya dipindahkan kembali kepada fasa terkondensasi Pada reaksi pembakaran, selalu terjadi serangkaian proses yang berurutan, dimulai dari proses berlangsungnya pembakaran hingga proses reaksi pembakaran berakhir. Proses-proses tersebut selalu sama untuk pembakaran semua jenis bahan bakar. Rangkaian proses tersebut dapat dikategorikan menjadi lima buah proses yang berbeda-beda, yaitu pre-ignition, flaming combustion, smoldering combustion, glowing combustion, dan extinction. Pre-ignition (pra penyalaan) adalah fasa penyerapan panas dalam pembakaran,
yang mana panas diberikan kepada bahan bakar yang menyebabkan proses penguapan air dan zat-zat lain, sehingga menghasilkan gas-gas yang dapat mempertahankan keadaan api. Selama fasa pra-penyalaan, temperatur dari sistem bahan bakar dinaikkan dengan metode perpindahan panas secara konduksi, konveksi, radiasi. Panas untuk pra penyalaan (pre-ignition) adalah jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan temperatur bahan bakar menjadi temperatur penyalaan (ignition temperature). Pada fasa ini, akan dihasilkan produk mayoritas berupa uap air yang dihasilkan dari kadar air yang tercampur secara molekuler dengan bahan bakar. Temperatur bahan bakar akan sulit meningkat apabila kadar air ini belum teruapkan. Pada fasa ini, akan terjadi degradasi senyawa organik, yang lebih sering dikenal dengan nama pirolisis. Pirolisis adalah degradasi termal dari bahan-bahan kimia, yang mana ikatan yang mendukung molekul-molekul kompleks diputuskan, sehingga melepaskan molekul-molekul yang berukuran kecil dari material bahan bakar dalam bentuk gas. Flaming combustion adalah fasa pembakaran yang paling efisien, yang
menghasilkan paling sedikit jumlah asap per unit bahan bakar yang dikonsumsi. Fasa ini merupakan fasa transisi dari proses pembakaran yang endotermik menjadi proses
pembakaran yang eksotermik. Pada umumnya, fasa ini terjadi pada saat temperatur mencapai
300°C.
Energi
yang
digunakan
untuk
mempertahankan
api
dan
mempertahankan reaksi berantai dari pembakaran dikenal dengan panas pembakaran. Temperatur yang dicapai di dalam fas ini bervariasi, bergantung pada jenis bahan bakar. Smoldering combustion adalah fasa pembakaran yang paling tidak efisien, dimana
pada fasa ini dihasilkan paling banyak jumlah asap per unit bahan bakar yang dikonsumsi. Pada fasa ini, terjadi kekurangan api, dan diasosiasikan dengan kondisi dimana kadar oksigen terbatas, baik dikarenakan deposit jelaga dari bahan bakar (terutama jelaga dengan rasio luas permukaan terhadap volume yang besar). Fasa pembakaran ini terjadi pada temperatur rendah. Glowing combustion adalah fasa pembakaran, dimana hanya bara dari bahan
bakat =r yang dapat diamati. Glowing cobustion menandakan proses oksidasi bahan padat hasil pembakaran yang terbentuk pada fasa sebelumnya Fasa pembakaran ini terjadi ketika tidak lagi tersedia energi yang cukup untuk menghasilkan asap pembakaran yang merupakan karakteristik dari fasa pembakaran sebelumnya, sehingga tidak dihasilkan lagi tar atau bahan volatil dari bahan bakar. Produk utama yang dihasilkan dari fasa pembakaran ini adalah gas-gas tak tampak, seperti gas karbon monoksida dan gas karbon dioksida. Extinction merupakan proses pemadaman api ketika reaki pembakaran tidak lagi
berlangsung dan segitiga api telah terputus. Perihal mengenai segitiga api akan dijelaskan lebih rinci pada subbab api. Jika diasumsikan pembakaran terjadi pada kondisi yang sempurna, dimana tidak terdapat penambahan atau pengurangan panas, maka temperatur pembakaran adiabatis dapat ditentukan dengan didasarkan pada hukum pertama termodinamika. Pada kasus pembakaran bahan bakar fosil, temperatur pembakaran bergantung pada panas pembakaran, perbandingan stoikiometri udara dan bahan bakar, dan kapasitas panas spesifik dari bahan bakar dan udara. Dalam industri, perbandingan stoikiometri udara dan bahan bakar lebih dikenal dengan istilah persen kelebihan udara (percent of excess air). Bahan bakar yang diinjeksikan kedalam tungku pembakaran membutuhkan sejumlah udara teoretik agar reaksi dapat berjalan dengan sempurna. Kebutuhan udara dapat dihitung secara stoikiometrik meskipun dalam kenyataannya sering terjadi reaksi
samping yang dapat menyebabkan adanya panas yang hilang. Biasanya dalam pembakaran udara dipasok lebiah banyak dari kebutuhan stokiometrik sebagai usaha untuk meningkatkan keefisienan proses tetapi komposisi udara yang dipasok juga tidak boleh terlalu tinggi karena dapat menyebabkan pembakaran kurang sempurna bahkan tidak berjalan. Reaksi pembakaran merupakan reaksi kimia dimana berlaku hukum kekekalan massa dan energi . Panas yang timbul selama proses pembakaran akan terbagi menjadi panas yang lain seperti untuk air,gas buang dan sebagian panas yang hilang. Untuk Udara dan LPG,panasnya dapat meningkatkan panas pembakaran tetapi dapat juga menurunkan (mengurangi) kalor pembakaran tergantung pada temperatur referensinya. Energi masuk = Energi keluar Q pembakaran = Qair + Qgas Buang + Qloss + (Qudara + QLPG)
Komponen-komponen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Q air yang masuk
Qair in = n air in
∫
Tin
Tref
Cpair dT
2. Q udara masuk
∫
Q udara in = n udara in
Tin
Tref
Cpair dT
3. Q LPG yang masuk Q fuel in = n fuel in
∫
Tin
Tref
Cpair dT
4. Q pembakaran Qpembakaran dengan
NHV
= nC3H8 . NHVC3H8 + nC4H10 . NHVC4H10
= net heating value , panas pembakaran
Sedangkan energi yang keluar adalah sebagai berikut : 1. Q exhaust ( gas cerobong ) Qexhaust
= nfgx Cpfg x ( Tfg – Tref )
2. Q air keluar
Qair out = n air out
∫
Tout
Tref
Cpair dT
3. panas yang lolos melewati dinding alat pembakaran Qloss
= ( Qair,in + Qudara,in + QLPG,in + Qpembakaran )
- ( Qexhaust + Qair,out )
Karena banyaknya reaksi yang terjadi seperti reaksi suksesif, kompetitif, overlapping dan berlawanan didalam tungku pembakaran, belum ada teori yang mampu menjelaskan secara detail dan memuaskan tentang reaksi berantai yang terjadi.Pada suhu pembakaran, hidrokarbon secara cepat memisahkan diri menjadi radikal hidrokarbon bebas.Radikal hidrokarbon bebas ini labil terhadap serangan oksigen dan sangat reaktif. Meskipun demikian , saat ini yang banyak diterima secara umum adalah bahwa hanya melalui rangkaian radikal aktif inilah karbon dan hidrogen didalam bahan bakar terkonversi menjadi karbon dioksida dan air. Ada juga bukti yang meyakinkan bahwa atom-atom dan radikal-radikal O, H, OH dan H2O terlibat didalam oksidasi hidrogen dan juga aktif di dalam pembakaran hidrokarbon.Aldehid, walaupun juga dalam keadaan transisi, adalah penghubung yang diperlukan didalam proses pembakaran. Jenis radikal teroksigenasi yang membentuk aldehid dan yang terbentuk dari mereka adalah masih menjadi bahan percobaan saat ini. Pada keadaan yang normal , kenaikan suhu akan mempercepat penyulutan dan laju penyelesaian pembakaran. Tungku bertemperatur tinggi dapat dioperasikan dalam laju panas masuk yang lebih tinggi daripada tungku bertemperatur rendah dengan ukuran yang sama. Efek pemanasan awal berguna untuk menaikkan suhu pembakaran adiabatik.Pemanasan awal ini juga berfungsi meningkatkan suhu nyata tungku ketika kondisi operasi lainnya telah tertinggal tidak terpakai. Pada alat pembakaran terjadi peristiwa perpindahan panas, yang terjadi bila terdapat perbedaan temperatur antara dua benda atau dua titik.Peristiwa perpindahan panas dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi.
4.2 Api
Api sering disebut sebagai zat keempat, karena tidak dapat dikategorikan ke dalam kelompok zat padat, zat cair maupun zat gas. Api disebut memiliki bentuk plasma. Plasma adalah bentuk gas yang mana sebagian dari partikel diionisasi. Seperti halnya gas, plasma tidak memiliki bentuk yang tetap maupun volume yang tetap, kecuali jika dikurung dalam suatu wadah yang tetap.
Segitiga api mengilustrasikan hubungan antara tiga elemen dasar yang diperlukan untuk membangkitkan api. Tiga eleman dasar yang dibutuhkan untuk membangkitkan api adalah senyawa oksigen, bahan bakar yang dapat terbakar dan mengandung energi, serta sumber api atau sumber panas. Jika salah satu dari ketiga eleman dasar tersebut telah habis, maka api akan padam, atau reaksi pembakaran tidak dapat dilanjutkan dengan baik. Ketiga elemen dasar yang dapat mebangkitkan api tersebut digambarkan di dalam sebuah segitiga, yang sangat umum dikenal sebagai segitiga api. Berikut ini akan disajikan gambar segitiga api.
Gambar 4.1 Segitiga Api
Sumber api atau sumber panas, pada awalnya disediakan atau didapatkan dari sumber di luar sistem pembakaran, misalnya dari korek api, kilat ketika hujan, percikan listrik, dan sumber-sumber api lainnya. Panas yang didapatkan dari luar sistem tersebut akan mulai memutuskan ikatan kimia di dalam bahan bakar, yang pada umumnya merupakan senyawa organik. Pemutusan awal ikatan kimia di dalam bahan bakar merupakan reaksi yang eksoterm atau menghasilkan energi panas. Energi panas yang dihasilkan dari pemutusan awal tersebut akan digunakan sebagai energi untuk pemanasan ikatan kimia berikunya di dalam bahan bakar. Api menyala ketika panas yang dihasilkan dari pemutusan ikatan kimia di dalam bahan bakar dapat digunakan seterusnya untuk memutuskan ikatan-ikatan kimia lain di dalam bahan bakar. Oleh karena itu, sumber panas hanya merupakan inisiator terbenuknya api. Setelah proses penyalaan api, sumber panas tidak lagi dibutuhkan, melainkan api dari reaksi pembakaran akan menghasilkan panas yang dapat digunakan oleh manusia untuk
Bahan bakar pada umumnya berupa senyawa organik. Senyawa organik merupakan senyawa yang mengandung unsur-unsur berupa karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O). Reaksi oksidasi terhadap senyawa organik pada umumnya merupakan reaksi pemutusan rantai ikatan pada senyawa organik. Pemutusan ikatan pada rantai senyawa organik pada umumnya menghasilkan panas. Pada proses pembakaran, oksigen yang berperan sebagai oksidator akan bergabung, mengikat unsur-unsur C dan H yang putus akibat energi panas dari proses pembakaran. Api akan padam jika salah satu dari ketiga elemen dasar tidak lagi tersedia. Prinsip segitiga api ini banyak digunakan sebagai prinsip dasar untuk menyalakan atau memadamkan api.
4.3 LPG
LPG ( Liquefied Petroleum Gas) merupakan gas alam yang dicairkan. LPG merupakan campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam. Komponen dari LPG didominasi oleh propana (C3H8) dan butana (C4H10), namun LPG juga memiliki kandungan hidrokarbon lain, meskipun dalam jumlah kecil, misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Dalam kondisi atmosferik, LPG memiliki bentuk gas, akan tetapi dengan meninggikan tekanan dan menurunkan temperatur, maka gas alam akan berubah fasa menjadi fasa cair. Gas alam dalam betuk cair memiliki volume yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan volume gas alam di dalam fas gas. Perbandingan volume gas alam dalam fasa gas dibandingkan ketika berada dalam fas cair adalah 250 berbanding 1. Oleh karena itu, bahan bakar gas alam pada umumnya dipasarkan dalam bentuk cair di dalam tabung-tabung logam bertekanan, sehingga lebih dikenal dengan sebutan Liquefied Petroleum Gas (LPG)
Untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang dikandung di dalam tabung logam, tabung LPG tidak diisi secara penuh, melainkan hanya terisi sekitar 80-85% dari kapasitasnya Tekanan di mana LPG berbentuk cair dinamakan sebagai tekanan uap. Tekana uap dari LPG bergantung pada komposisi dan temperatur. Butana murni membutuhkan tekanan sekitar 2.2 bar (220 kPa) pada temperatur 20 °C. Propana murni membutuhkan tekanan sekitar 2 bar (200 kPa) pada suhu sekitar 55 °C
Untuk LPG, proses pembakaran ini merupakan reaksi antara hidrokarbon (propana dan butana) dengan oksigen. Reaksi yang terjadi pada proses pembakaran sempurna LPG adalah : C3H8 + 5 O2Æ 4 H2O +
3 CO2
2 C4H10 + 13 O2Æ 5 H2O + 8 CO2 Sifat-sifat utama LPG akan diuraikan sebagai berikut :
• Bahan bakar gas alam sangat mudah terbakar, baik dalam fasa gas mupun dalam fasa cair.
• Gas tidak beracun dan tidak berwarna • LPG sebenarnya tidak memiliki bau, namun sering ditambahakn zat kimia berbau menyengat dengan tujuan dapat terdeteksi dengan cepat apabila terjadi kebocoran. Zat kimia yang berbau menyengat adalah gas merkaptan
• Cairan LPG dapat menguap jika dilepaskan dari tabung bertekanan 4.4 Perpindahan Panas
Untuk mendapatkan panas dari reaksi pembakaran, maka disiplin ilmu mengenai perpindahan panas perlu dikuasai dengan baik. Ada tiga jenis mekanisme perpindahan panas, yaitu : konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi merupakan peristiwa perpindahan panas yang tidak melibatkan pergerakan media perantaranya. Konveksi merupakan metode perpindahan panas yang disertai dengan perpindahan media perambatan panasna. Radiasi merupakan mekanisme perpindahan panas yang tidak memerlukan media perambatan panas. Pada percobaan pembakaran, panas yang dihasilkan dari reaksi pembakaran akan diserap oleh air pendingin maupun gas buang. Gas buang akan menerima panas dari pembakaran secara radiasi. Sedangkan air akan menerima panas melalui beberapa mekanisme perpindahan panas. Pertama kali, panas akan merambat melaui dinding pembatas antara api dan air pendingin secara konduksi. Kemudian panas akan berpindah secara konveksi melalui lapisan air. Panas akan ditransmisikan kemudian melalui dinding pembatas luar secara konduksi. Dinding pembatas luar akan melepas panas ke udara di sekitarnya dengan metode konveksi alami. Kualitas perpindahan panas akan meningkat seiring bertambahnya luas perpindahan panas. Driving force dari proses perpindahan panas adalah perbedaan temperatur. Semakin tinggi perbedaan temperatur, semakin tinggi driving force
perpindahan panas, yang mengakibatkan semakin banyaknya panas yang dipindahkan. Perpindahan panas secara konveksi akan dipengaruhi pula oleh sebuah koefisien perpindahan panas yang spesifk untuk masing-masing media atau cara perpindahan panas.
4.5 Orifice Meter
Orifice meter adalah alat yang digunakan untuk mengukur laju alir fluida.Orifice meter biasanya diapasang di pipa tempat fluida mengalir.Orifice meter sebenernya adalah sebuah piringan tipis yang memiliki lubang di tengahnya untuk tempat mengalirnya fluida. Prinsip kerja orifice meter sama dengan venturi meter. Pada orifice meter dipasang plat yang berlubang. Perubahan luas penampang aliran fluida akan menyebabkan penurunan tekanan.Orifice meter menggunakan prinsip Bernoulli untuk mengukur laju alir fluida. Orifice meter memanfaatkan hubungan antara beda tekan dengan laju alir fluida. Oleh karena itu, biasanya instalasi orifice meter dilengkapi juga dengan manometer. Jarak instalasi manometer dari plat orifice tergantung pada diameter lubang pada plat orifis tersebut. Fluida
yang
mengalir
melalui
pipa
memiliki
tekanan
dan
kecepatan
tertentu.Ketika fluida melewati orifice meter, aliran fluida dipaksa untuk berkontraksi sehingga timbul perbedaan tekanan pada fluida.Bagian tempat mengecilnya aliran fluida disebut vena contracta.Karena aliran fluida dipaksa untuk berkontraksi tiba-tiba, terjadi perubahan pada kecepatan dan tekanan pada fluida. Setelah melewati bagian vena contracta, fluida akan mengalami ekspansi dan tekanan serta kecepatan fluida akan berubah kembali. Perbedaan tekanan fluida pada bagian pipa sebelum vena contracta serta pada vena contracta inilah yang diukur pada manometer. Dengan diketahuinya beda tekan pada fluida, kecepatan fluida dapat diketahui dari penurunan persamaan Bernoulli. Beda tekan pada fluida berbanding lurus dengan kuadratik laju alir volumetrik fluida.
Gambar 4.2 Orifice meter
Sama dengan venturi meter, dengan menerapkan persamaan Bernoulli dan kontinuitas pada titik 1 dan 2 maka akan didapatkan :
⎡ ⎤ ⎢ 2( P − P ) ⎥ b a ⎥ V b = Cv ⎢ 2 ⎢ ρ (1 − Ab ⎥ 2 )⎥ ⎢ Aa ⎦ ⎣
1
2
dengan Cv adalah coefficient of discharge yang nilainya dapat ditentukan melalui grafik.
4.6 Rotameter
Rotameter adalah alat yang digunakan untuk mengukur laju alir fluida.Rotameter biasanya terbuat dari tabung yang berbentuk kerucut, biasanya terbuat dari gelas, dan sebuah bola yang dapat mengambang di dalam tabung. Bola di dalam tabung dapat mengapung karena adanya gaya apung yang diciptakan oleh fluida yang mengalir dari bawah. Selain itu, bola juga mendapat gaya gravitasi. Kedua gaya ini menyebabkan bola dalam keadaan kesetimbangan untuk setiap laju alir fluida tertentu. Untuk laju alir fluida yang lebih besar, dibutuhkan area yang lebih antara bola dan dinding tabung untuk mengakomodasi aliran fluida, sehingga bola akan mengapung. Karena alasan ini pula lah tabung dibuat berbentuk kerucut. Apabila tabung berbentuk lurus, ketika laju alir fluida ditingkatkan akan terjadi peningkatan tekanan di dalam tabung rotameter. Bola di dalam rotameter biasanya berbentuk bulat atau elipsoidal.Bola ini dirancang agar dapat berputar ke arah aksial.Perputaran bola ini bisa menjadi indikator
apakah bola tersangkut di dalam dinding rotameter.Apabila bola tidak berputar, berarti bola tersangkut di dalam dinding rotameter.Rotameter merupakan alat ukur laju fluida yang memiliki pressure difference yang tetap. Prinsip kerjanya rotameter adalah dengan memanfaatkan gaya apung benda padat (solid) dalam aliran fluida. Seperti yang terlihat pada gambar.
Gambar 4.3 Rotameter
Bila bola pada keadaan setimbang, maka : 0 = Fgravity + F pressure above – F buoyancy – F pressure below 0= π
6
π
6
D03 ρ b g + P3π D0 −
π
6
D03 ρ f g − P1π D03
3 2 D0 ( ρ b − ρ f ) g = π D0 ( P1 − P3 )
(9)
Dari persamaan Bernoulli didapatkan : 2 ⎛ V 22 V 12 ⎞ V 2 ⎟⎟ = ρ − P1 − P2 = ρ ⎜⎜ 2 2 2 ⎝ ⎠
⎛ A22 ⎞ ⎜⎜1 − 2 ⎟⎟ ⎝ A1 ⎠
(10)
Tapi nilai (A2/A1)2 umumnya sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Bila persamaan (2) disubtitusikan pada (1) maka akan didapat :
⎛ D g ρ B − ρ F ⎞ ⎟⎟ V2 = ⎜⎜ 0 ρ F ⎝ 3 ⎠ Sumber : Noel de Nevers “Fluid Mechanics for Chemical Engineering”
(11)
Kita akan mendapatkan untuk diameter bola apung yang tetap, rapat massa bola dan fluida yang tetap, hanya terdapat satu nilai V2 yang mungkin agar bola mengapung. Syarat sebagai benda apung pada rotameter adalah memiliki satu titik dimana luas bidangnya paling luas.
4.7 Termokopel
Prinsip kerja termokopel adalah dengan menghubungkan dua logam yang memiliki konduktivitas yang berbeda menjadi sebuah sirkuit. Konduktivitas yang berbeda akan menyebabkan perbedaan laju aliran panas. Bila kedua sambungan (junction) logam tersebut memiliki perbedaan temperatur maka akan timbul tegangan yang proporsional terhadap temperatur. Dengan mengukur tegangan yang timbul, dapat diketahui berapa perbedaan temperatur. Biasanya salah satu junction akan ditempatkan pada temperatur referensi. Rentang (Range) suhu yang dapat diukur tergantung dari jenis logam yang dipakai. Rentang pengukuran tersebut yang membedakan satu jenis termokopel dengan jenis lainnya. Kemampuan logam yang digunakan sebagai termokopel tergantung dari titik leleh logam yang bersangkutan. Termokopel memanfaatkan peristiwa efek termoelektrik untuk mengukur perbedaan temperatur. Efek termoelektrik adalah peristiwa ketika sebuah konduktor yang diberikan perbedaan panas secara gradien akan menghasilkan tegangan listrik. Pada termokopel, untuk mengukur perubahan temperatur digunakan gabungan dari dua jenis termokopel yang memiliki konduktivitas panas berbeda. Termokopel hanya dapat mengukur perbedaan temperatur dari dua titik yang berbeda.Termokopel tidak dapat mengukur temperatur absolut suatu benda.Pada termokopel, salah satu sambungan (sambungan yang dingin) logam ditempelkan ke satu benda yang sudah diketahui temperaturnya, sehingga tegangan listrik yang muncul pada sambungan itu sudah diketahui sebelumnya. Tegangan ini yang kemudian akan digunakan sebagai faktor koreksi untuk pengukuran suhu pada sambungan yang lain (sambungan yang panas). Sambungan lain dari konduktor (sambungan panas) akan dihubungkan ke benda yang akan diukur temperaturnya sehingga akan muncul tegangan listrik. Tegangan ini kemudian yang akan diukur lalu dikoreksi dengan faktor koreksi yang diketahui dari nilai tegangan listris di sambungan yan dingin. Sehingga dapat diketahui perbedaan temperatur kedua sambungan tersebut.
Berikut ini meupakan tipe-yipe termokopel:
• Tipe K (Chromel (Ni-Cr alloy) / Alumel (Ni-Al alloy)) Termokopel untuk tujuan umum. Lebih murah. Tersedia untuk rentang suhu −200 °C hingga +1200 °C.
• Tipe E (Chromel / Constantan (Cu-Ni alloy)) Tipe E memiliki output yang besar (68 µV/°C) membuatnya cocok digunakan pada temperatur rendah. Properti lainnya tipe E adalah tipe non magnetik.
• Tipe J (Iron / Constantan) Rentangnya terbatas (−40 hingga +750 °C) membuatnya kurang populer dibanding tipe K Tipe J memiliki sensitivitas sekitar ~52 µV/°C
• Tipe N (Nicrosil (Ni-Cr-Si alloy) / Nisil (Ni-Si alloy)) Stabil dan tahanan yang tinggi terhadap oksidasi membuat tipe N cocok untuk pengukuran suhu yang tinggi tanpa platinum. Dapat mengukur suhu di atas 1200 °C. Sensitifitasnya sekitar 39 µV/°C pada 900°C, sedikit di bawah tipe K. Tipe N merupakan perbaikan tipe K Termokopel tipe B, R, dan S adalah termokopel logam mulia yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Mereka adalah termokopel yang paling stabil, tetapi karena sensitifitasnya rendah (sekitar 10 µV/°C) mereka biasanya hanya digunakan untuk mengukur temperatur tinggi (>300 °C).
• Type B (Platinum-Rhodium/Pt-Rh) Cocok mengukur suhu di atas 1800 °C. Tipe B memberi output yang sama pada suhu 0°C hingga 42°C sehingga tidak dapat dipakai di bawah suhu 50°C.
• Type R (Platinum /Platinum with 7% Rhodium)
Cocok mengukur suhu di atas 1600 °C. sensitivitas rendah (10 µV/°C) dan biaya tinggi membuat mereka tidak cocok dipakai untuk tujuan umum.
• Type S (Platinum /Platinum with 10% Rhodium) Cocok mengukur suhu di atas 1600 °C. sensitivitas rendah (10 µV/°C) dan biaya tinggi membuat mereka tidak cocok dipakai untuk tujuan umum.Karena stabilitasnya yang tinggi Tipe S digunakan untuk standar pengukuran titik leleh emas (1064.43 °C).
• Type T (Copper / Constantan) Cocok untuk pengukuran antara −200 to 350 °C. Konduktor positif terbuat dari tembaga, dan yang negatif terbuat dari constantan.Sering dipakai sebagai alat pengukur alternatif sejak penelitian kawat tembaga. Type T memiliki sensitifitas ~43 µV/°C Berikut ini merupakan skema penyambungan kawat dalam termokopel sederhana:
Gambar 4.4 Skema Termokopel
Tipe termokopel yang berbeda akan memiliki pembacaan temperatur sebagai fungsi dari tegangan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan tipe termokopel yang berbeda dibuat dari tipe logam yang berbeda, sehingga memiliki konduktivitas yang berbeda-beda. Berikut ini merupakan contoh grafik yang menunjukkan hubungan antara tegangan dan temperatur menurut persamaan seebeck
Gambar 4.5 Hubungan antara beda tegangan dengan temperatur pada termokopel.
V.
Rancangan Percobaan
V.1 Alat dan Bahan
V.1.1 Perangkat dan alat ukur
‐
Seperangkat alat pembakaran
‐
Termometer
‐
Gelas Reducing valve gas
‐
Tabung LPG
‐
Termokopel
‐
Stopwatch
‐
Ukur
V.1.2 Bahan/zat kimia
‐
Air
‐
LPG
V.2 Prosedur Awal Percobaan
V.2.1
Kalibrasi Alat
V.2.1.1
Kalibrasi Orificemeter Kalibrasi alat ini dilakukan dengan menghubungkannya dengan wet test meter. Setelah dihubungkan udara dialirkan ke dalam orificemeter hingga ketinggian fluida pada pipa U berubah. Amati ketinggiannya dan catat skala pada wet test meter serta waktu yang dibutuhkan untuk sejumlah volume fluida untuk masuk ke dalam pipa U. Buat kurva pengukuran wet test meter terhadap orificemeter.
V.2.1.2
Kalibrasi Rotameter Rekalibrasi rotameter dilakukan dengan mengalirkan sejumlah tertentu air lalu dihitung waktu yang dibutuhkan untuk mencapai volume air tersebut kemudian dilihat bacaan skala yang ada di rotameter. Bacaan rotameter dan laju alir nyata lalu di plot pada grafik dan diregresi liner dengan intercept 0 sehingga akan didapat persamaan kalibrasi rotameter.
V.2.2
Pengukuran Temperatur Pengukuran temperatur dilakukan terhadap temperatur gas exhaust, air masuk, dan air keluar. Temperatur gas exhaust diukur dengan menggunakan termokopel sedangkan temperatur air masuk dan keluar menggunakan alat ukur yang sudah tersedia pada alat pembakaran yang digunakan.
V.3 Diagram Alir Percobaan
Start
Alat dan bahan dipersiapkan
Udara dialirkan ke dalam
Air dialirkan ke dalam
LPG dialirkan ke dalam
Temperatur dan laju alir
Temperatur dan laju alir
Temperatur dan laju alir
Temperatur dan laju alir gas buang
Komposisi gas buang dihitung
Keadaan flame diamati
Selesa V.4 Variasi Percobaan
Percobaan ini dilakukan dengan memvariasikan 2 variabel, laju alir gas serta laju alir udara. Sedangkan laju alir air dibuat tetap. Akan dilakukan lima (5) variasi laju alir gas. Setiap variasi laju alir gas memiliki 5 (lima) variasi laju alir udara. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengaruh laju alir udara terhadap pembakaran yang beralngsung untuk laju alir gas tertentu.
V.5 Contoh Lembar Data
V.5.1 Kalibrasi Orificemeter No.
Bacaan Wet Test Meter
Volume (mL)
Waktu (s)
V.5.2 Kalibrasi Rotameter No.
Bacaan Rotameter
Volume (mL)
Waktu (s)
V.5.3 Pembakaran
Run
Laju Alir
Laju alir
Laju alir
Tair,in
Tair,out
LPG
udara
air
(oC)
(oC)
Tgas buang
Tgas buang
dengan
tanpa radiasi
radiasi (oC)
(oC)
Kondisi Flame
V.6 Contoh Perhitungan
V.6.1
Kalibrasi Orificemeter
Alurkan grafik laju alir nyata terhadap skala terbaca pada wet test meter.
; m = gradien V.6.2
Kalibrasi Rotameter Hasil pengamatan pada bacaan rotameter dibuat kurva kalibrasi dengan sumbu x sebagai skala rotameter dan sumbu y sebagai besar laju alir nyata. Titik-titik yang diperoleh diregresi linear hingga diperoleh persamaan garis yang melambangkan hubungan skala rotameter dengan besar laju alir nyata: y = m .x
; m = gradien V.6.3
Perhitungan Kalor yang Hilang
V.6.3.1
Neraca Energi Total
, , , , , , , , , V.6.3.2
Kalor masing-masing peristiwa
Untuk Qin
,
,
, ,
0,21
0,79
, , Untuk Qout
, , V.6.2.4
Efisiensi Pembakaran
100% Daftar Pustaka
Geankoplis, Christie J.. 1993. Transport Process and Unit Operations . New Jersey: Prentice Hall. Perry, Robert H.. 1984. Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, 4th edition. Singapore: McGraw Hill.