1.
CEKUNGAN KALIMANTAN TIMUR UTARA (CEKUNGAN TARAKAN)
Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan (IBS, 2006) merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon di Kalimantan Timur bagian utara. Cekungan Tarakan dapat dibagi menjadi 4 subcekungan yaitu: Sub-cekungan Tidung, Sub-cekungan Berau, Sub-cekungan Tarakan, dan Sub-cekungan Muara (Biantoro dkk., 1996; IBS, 2006). Batas-batas dari empat sub-cekungan tersebut adalah zona-zona sesar dan tinggian. Bagian utara dari Cekungan Kalimantan Timur Utara dibatasi oleh Tinggian Samporna yang terletak sedikit ke utara dari perbatasan wilayah Indonesia dan Malaysia. Bagian barat ke arah Kalimantan dibatasi oleh Punggungan Sekatak-Berau. Sedangkan
di
bagian
selatan,
terdapat
Punggungan
Mangkalihat
yang
memisahkan Cekungan Tarakan dengan Cekungan Kutai. Batas timur dan tenggara dari cekungan ini berupa laut lepas Selat Makasar.
Gambar 1. Peta lokasi Sub-Cekungan Tarakan (Biantoro dkk., 1996).
Tektonik Regional Cekungan Tarakan
Perkembangan struktur-struktur di Sub-cekungan Tarakan, Cekungan Tarakan berlangsung dalam beberapa tahapan yang mempengaruhi pengendapan sedimen pada area tersebut. Konfigurasi secara struktural sudah dimulai oleh rifting sejak sejak Eosen Awal. Pemekaran (rifting (rifting ) pada sub-cekungan ini disebabkan oleh pembentukan sesar-sesar normal. Pergerakan dari sesar-sesar tersebut menghasilkan daerah-daerah rendahan yang kemudian terisi oleh sedimensedimen tertua pada sub-cekungan ini, seperti Formasi Sembakung (akhir Miosen Awal-Miosen Tengah). Sedimen-sedimen pra-Tersier tidak terpenetrasi pada banyak sumur yang dibor dibor pada sub-cekungan ini, namun keberadaannya terdeteksi pada data seismik (Biantoro dkk., 1996). 1996).
Proses Rifting berjalan dengan terus menerus disertai dengan adanya pengangkatan secara lokal di bagian barat dari sub-cekungan mengontrol siklussiklus pengendapan sedimen pada sub-cekungan ini. Pengendapan pada subcekungan ini dapat dibagi menjadi 4 siklus berhubungan dengan beberapa kejadian tektonik pada regional. Pengendapan sedimen-sedimen siklus yang pertama (Siklus 1) terjadi pada saat terjadinya pengangkatan pada Eosen Tengah yang menyebabkan erosi di Tinggian/Punggungan Tinggian/Punggungan Sekatang.
Pengendapan siklus yang kedua (Siklus 2) dimulai sejak pengangkatan Oligosen Awal pada fasa transgresif, dengan sedimen yang diendapkan secara tidakselarasan terhadap Siklus 1. 1. Fasa ini berubah berubah menjadi regresif ketika ketika proses rifting berakhir dan pengangkatan mencapai puncaknya pada akhir dair Miosen
Akhir. Pengangkatan yang kedua ini berbeda dengan proses pengangkatan pertama karena berkembang ke arah timur dan menghasilkan Punggungan DasinFanny. Proses rifting yang kedua ini menghasilkan sesar-sesar normal yang memiliki arah timurlaut-baratdaya.
Gambar 2. Tektonik Sub-Cekungan Tarakan (Modifikasi dari Biantoro dkk., 1996). Proses-proses rifting, pengangkatan, dan reaktivasi sesar-sesar tua mempengaruhi perkembangan struktur dan siklus pengendapan di Sub-Cekungan Tarakan. Pengendapan Siklus 3 yang regresif berlangsung pada lingkungan transisional-deltaik. Sedimen-sedimen yang diendapkan dalam jumlah yang besar menyebabkan rekativasi dari sesar-sesar tua yang terbentuk selama Oligosen
sampai Miosen Awal yang berkembang menjadi growth fault . Petumbuhan dari sesar-sesar tersebut berhenti untuk sementara waktu pada awal pengendapan dari Formasi Santul dikarenakan oleh terjadinya fasa trangresif yang pendek. Pensesaran tersebut berlangsung selama Pliosen ketika siklus pengedapan keempat (Siklus 4), yaitu Formasi Tarakan diendapkan.
Aktivitas Tektonik pada Pliosen Akhir-Pleistosen bersifat kompresif dan menghasilkan
sesar-sesar strike-slip.
Di
beberapa
tempat,
kompresi
ini
menginversikan sesar-sesar normal menjadi sesar-sesar naik (Biantoro dkk., 1996). Kegiatan tekonik yang menyebabkan pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran keseluruhan Cekungan Tarakan pada Pliosen Akhir kemudian menyebabkan munculnya ketidakselarasan di beberapa daerah secara lokal. Pada Siklus 5 yang merupakan siklus pengendapan terakhir pada sub-cekungan ini, diendapakan Formasi Bunyu.
Stratigrafi Regional Cekungan Tarakan
Batuan dasar pada cekungan Kalimantan Timur Utara terdiri dari sedimensedimen berumur tua, meliputi Formasi Danau (Heriyanto dkk., 1991) atau disebut juga Formasi Damiu (IBS, 2006), Formasi Sembakung, dan Batulempung Malio. Sedimen-sedimen tersebut telah terkompaksi, terlipatkan, dan tersesarkan.
Formasi Danau
Formasi Danau terdeformasi kuat dan sebagian termetamorfosa, mengandung breksi terserpentinitisasi, rijang radiolaria, spilit, serpih, slate, dan kuarsa.
Formasi Sembakung dan Batulempung Malio
Formasi Sembakung diendapkan di atas Formasi Danau secara tidak selaras. Formasi ini terdiri dari sedimen volkanik dan klastik yang berumur Eosen AwalEosen Tengah. Di atas Formasi Sembakung diendapkan batulempung berfosil, karbonatan, dan mikaan yang dikenal dengan Batulempung Malio yang berumur Eosen Tengah.
Gambar 3.
Kolom Stratigrafi Cekungan Kalimantan Timur Utara (kiri:
dimodifikasi dari Heriyanto dkk., 1991; kanan: IBS, 2006) Siklus 1: Formasi Sujau, Mangkabua, dan Selor (Eosen Akhir – Oligosen)
Sedimen-sedimen pada Siklus 1 diendapkan secara tidak selaras terhadap Formasi Sembakung dan memiliki lingkungan pengendapan dari laut littoral sampai dangkal. Formasi Sujau terdiri dari sedimen klastik (konglomerat dan batupasir), serpih, dan volkanik. Klastika Formasi Sujau merepresentasikan tahap
pertama pengisian cekungan “ graben-like” yang mungkin terbentuk sebagai akibat dari pemakaran Makassar pada Eosen Awal. Produk erosional dari Paparan Sunda di sebelah barat terakumulasi bersamaan dengan endapan gunungapi dan pirokasltik pada bagian bawah siklus ini. Keberadaan lapisan-lapisan batubara dan interkalasi napal pada bagian bawah mengindikasikan fasies pengendapan danau yang bergradasi ke atas menjadi lingkungan laut. Batugamping mikritik dari Formasi Seilor diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Sujau dan Formasi Mangkabua yang terdiri dari serpih laut dan napal yang berumur Oligosen menjadi penciri perubahan suksesi ke basinward . Batuan sedimen siklus 1 terangkat, sebagian tersingkap dan tererosi sebagian di tepi barat dari cekungan berkaitan dengan aktivitas volkanisme yang terjadi sepanjang tepian deposenter pada akhir Oligosen.
Siklus 2: Formasi Tempilan, Formasi Taballar, Napal Mesalai, Formasi Naintupo (Oligosen Akhir – Miosen Tengah).
Sedimen-sedimen yang diendapkan di atas sedimen sebelumnya secara tidak selaras. Sedimen-sedimen tersebut merupakan sikuen-sikuen transgersif dan tidak terlalu terdeformasi. Fasies klastik basal dari Formasi Tempilan diendapkan pertama kali pada siklus ini dan diikuti oleh batugamping mikritik dari Formasi Taballar. Formasi Taballar merupakan sikuen paparan karbonat dengan perkembangan reef lokal Oligosen Akhir sampai Miosen Awal. Formasi ini secara gradual menipis ke arah cekungan terhadap napal Mesalai yang kemudian berubah menjadi Formasi Naintupo di atasnya. Formasi Naintupo terdiri dari lempung dan
serpih yang bergradasi ke atas menjadi napal dan batugamping yang menandakan meluasnya genang laut di cekungan Tarakan.
Siklus 3: Formasi Meliat, Formasi Tabul, dan Formasi Santul (Miosen Tengah – Miosen Akhir).
Sedimen-sedimen dari siklus 3 ini terdiri dari sikuen-sikuen deltaik regresif yang terbentuk setelah tektonisma Miosen Awal (Orogenesa Intra-Miosen). Siklus sedimentasi ini terbagi menjadi 3 formasi, yaitu: Formasi Meliat, Tabul, dan Santul. Perbedaan sikuen deltaik antara formasi-formasi tersebut sulit untuk diuji dan dibedakan mengingat sedikitnya fosil-fosil yang dapat ditemukan dan kesamaan litologi antar formasi-formasi tersebut. Pengangkatan yang terjadi menyebabkan
berhentinya
fasa
genang
laut
dan
perubahan
lingkungan
pengendapan yang semula bersifat laut terbuka menjadi lebih paralik. Perubahan ini mengawali pola pengendapan baru di Cekungan Tarakan yang membentuk delta-delta konstruktif dengan progradasi dari barat ke timur.
Formasi Meliat merupakan nama formasi tertua dari siklus 3 dan diendapkan secara tidak selaras dengan Serpih Naintupo. Formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih karbonatan, dan batugamping tipis. Di beberapa bagian, Formasi Meliat terdiri dari batulanau dan serpih dengan sedikit lensa-lensa batupasir. Formasi Tabul terdiri dari batupasir, batulanau, dan serpih yang kadang disertai dengan kemunculan lapisan batubara dan batugamping. Bagian paling atas dari siklus ini adalah Formasi Santul. Pada formasi ini sering dijumpai lapisan
batubara tipis yang berinterkalasi dengan batupasir, batulanau, dan batulempung, yang diendapkan di lingkungan delta plain sampai delta front pada Miosen Akhir.
Siklus 4: Formasi Tarakan (Pliosen)
Pada siklus sedimentasi Pliosen, diendapkan Formasi Tarakan. Formasi ini terdiri dari interbeding batulempung, serpih, batupasir, dan lapisan-lapisan batubata lignit, yang menunjukan fasies pengendapan delta plain. Dasar dari Formasi Tarakan pada beberapa ditepresentasikan oleh ketidakselarasan, sedangkan di Pulau Bunyu, kontak antara Formasi Santul dengan Tarakan bersifat transisional.
Siklus 5: Formasi Bunyu (Plistosen)
Sejak Pliosen, sedimen fluviomarine yang sangat tebal terbentuk, terutama terdiri dari perlapisan batupasir delta, serpih, dan batubara. Sedimen Kuarter dari siklus 5 dinamakan Formasi Bunyu, diendapkan di lingkungan delta plain sampai fluviatil. Batupasir tebal, berukuran butir medium sampai kasar, kadangkala konglomeratan dan interbeding batubara lignit dengan serpih merupakan litologi penyusun dari formasi Bunyu. Batupasir formasi ini lebih tebal, kasar, dan kurang terkonsilidasi jika dibandingkan dengan batupasir Formasi Tarakan. Batas bawah dari Formasi ini dapat bersifat tidak selaras maupun transisional. Meningginya muka laut pada kala Pleistosen Akhir menyebabkan garis pantai mundur ke arah barat seperti garis pantai saat ini
2.
CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA
Cekungan Jawa Barat Utara ( North West Java Basin) merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 1) yang sudah terbukti dapat menghasilkan hidrokarbon. Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan dan lepas pantai Serang di sebelah barat membentang ke arah timur sampai Cirebon dan terdiri dari beberapa subcekungan.
Gambar 1. Cekungan Jawa Barat Utara (Noble dkk., 1997).
Tektonik Regional
Cekungan Jawa Barat Utara secara geodinamik saat ini berada pada posisi belakang busur dari jalur vulkanik Jawa yang merupakan hasil dari subduksi lempeng India-Australia di selatan terhadap lempeng Eurasia (Paparan Sunda) di utara. Beberapa peristiwa tektonik yang terjadi sejak Tersier mempengaruhi pembentukan struktur dan pola sedimentasi pada cekungan ini.
Gambar 2. Jalur subduksi Meratus (Kapur Akhir-Tersier Awal) dan jalur subduksi Tersier Akhir (Hutchison, 1982). Panah hijau menunjukan arah tegasan utama (kompresif) pada masing-masing periode subduksi.
Selama periode Kapur Akhir sampai Eosen Awal* 1, berlangsung subduksi yang dikenal dengan subduksi Meratus pada batas selatan Paparan Sunda dengan jalur gunung apinya melewati Cekungan Jawa Barat Utara (Gambar 2). Menurut Gresko dkk. (1995), keberadaan subduksi Meratus tersebut mempengaruhi keadaan geologi cekungan. Terjadinya metamorfisme regional pada Kapur Akhir, deformasi pada Paleosen, serta vulkanisme sampai Oligosen Awal diperkirakan berhubungan dengan kegiatan subduksi Meratus. Metamorfisme dan magmatisme yang berlangsung menghasilkan batuan metamorf dan intrusi batuan beku yang kemudian menyusun batuan dasar pada Cekungan Jawa Barat Utara, sedangkan deformasi yang terjadi menyebabkan pengangkatan dan erosi pada Kala Paleosen.
Gambar 3. Peta struktur dan tektonik Oligosen Awal Cekungan Jawa Barat Utara (Gresko dkk., 1995).
Jalur memberikan
subduksi tegasan
Meratus utama
yang
berarah
relatif
baratdaya-timurlaut
kompresif
yang
berarah
baratlaut-tenggara,
menghasilkan struktur sesar-sesar normal (turun) berarah baratlaut-tenggara di daerah penelitian. Pemekaran (rifting ) yang diakibatkan pergerakan dari sesarsesar turun tersebut menyebabkan terbentuknya daerah-daerah rendahan (Gambar 3) yang kemudian diisi oleh endapan-endapan yang dihasilkan oleh kegiatan vulkanisme yang sedang berlangsung (Formasi Jatibarang).
Gambar 4. Pergerakan fragmen benua dari selatan dari Kapur sampai Eosen Awal(kanan) yang kemudian menumbuk batas selatan Paparan Sunda (Sribudiyani dkk., 2003).
Pemekaran pada Cekungan Jawa Barat Utara kemudian berhenti pada Oligosen Awal*. Menurut Sribudiyani dkk. (2003), sebuah fragmen benua yang berasal dari selatan bergerak menuju ke jalur subduksi Meratus dan mulai menumbuk jalur subduksi tersebut pada Eosen Awal. Tumbukan tersebut mengakibatkan berhentinya aktivitas magmatisme sebelumnya (periode Subduksi Meratus)
dan
terjadinya
pengangkatan
kompleks
subduksi
membentuk
Pegunungan Meratus di Kalimantan dan Kompleks Melange Luk Ulo di Jawa Tengah (Gambar 4), serta menyebabkan berhentinya pemekaran di Cekungan Jawa Barat Utara. Setelah berlangsungnya tumbukan fragmen benua dengan tepi tenggara paparan Sunda, jalur subduksi baru yang dikenal dengan jalur subduksi Jawa yang berarah barat-timur kemudian muncul. Jalur subduksi Jawa ini berada di selatan jalur subduksi Meratus dan menghasilkan jalur gunung api yang berada di selatan
terhadap jalur gunung api akibat subduksi Meratus, sehingga Cekungan Jawa Barat Utara berada di belakang busur sejak Oligosen (Gambar 2).
Gambar 5. Cekungan-cekungan pull apart yang terbentuk pada Eosen Tengah danOligosen Akhir (Daly dkk., 1987). Biru: pull apart basin yang terbentuk pada masing-masing periode
Daly dkk. (1987) menyatakan bahwa konvergensi India dengan Asia sejak Eosen Akhir menyebabkan ekstrusi Asia Tenggara melalui beberapa sesar geser utama. Sesar geser Bangka ( Bangka Shear ) dan zona sesar Sumatra (SFZ ) merupakan dua sesar geser utama yang dianggap berperan dalam menimbulkan fase transtensional yang berperan dalam membentuk cekungan-cekungan di regional Sumatra dan Jawa (Sribudiyani dkk., 2003). Rendahan-rendahan yang diakibatkan pergerakan sesar-sesar normal utama berarah relatif utara-selatan muncul di Sumatera pada Eosen Tengah* 3/40jtl dan di Jawa Barat Utara pada Oligosen/30jtl (Gambar 5). Cekungan Jawa Barat Utara berkembang menjadi pull apart basin yang terdapat di belakang busur sejak Oligosen.
Gambar 6. Penampang barat-timur Cekungan Jawa Barat Utara (Patmosukismo dan Yahya, 1974) Pembentukan struktur sesar-sesar normal utama (Oligosen Akhir*4) tersebut menyebabkan terjadinya pemekaran yang diikuti oleh penurunan dari dasar cekungan. Beberapa tinggian dan rendahan yang terbentuk mengontrol penyebaran dari sedimen serta membagi Cekungan Jawa Barat Utara menjadi beberapa sub-cekungan, seperti: Sub-cekungan Ciputat, Sub-cekungan Pasirputih, dan Sub-cekungan Jatibarang (Gambar 6). Namun pengisian cekungan yang berjalan dengan cepat yang disertai dengan adanya pengangkatan bagian selatan cekungan menjadi daratan pada Plio-Plistosen mengakibatkan terjadinya peristiwa penutupan cekungan untuk Cekungan JawaBarat Utara. 3.
CEKUNGAN KUTAI
Cekungan Kutai merupakan cekungan dengan luas 165.000 km 2 dan memiliki ketebalan sedimen antara 12.000-14.000 meter. Hal ini menyebabkan Cekungan Kutai dikatakan sebagai cekungan terluas dan terdalam di Indonesia yang terletak di pantai timur Kalimantan dan daerah paparan sebelumnya. Cekungan Kutai merupakan cekungan
hidrokarbon yang berumur Tersier dimana minyak dan gas bumi terperangkap pada batupasir berumur Miosen dan Pleistosen. Cekungan ini terbentuk pada batupasir berumur Miosen dan Plestosen. Cekungan ini terbentuk dan berkembang akibat proses-proses pemisahan diri akibat tegangan di dalam lempeng Mikro Sunda yang menyertai interaksi antara lempeng Sunda dan lempeng Pasifik disebelah timur. Lempeng Hindia-Australia di selatan, dan lempeng Laut Cina selatan di utara (Satyana, et. Al., 1999). Secara tektonik, pada bagian utara Cekungan Kutai terdapat Cekungan Tarakan yang dipisahkan oleh punggungan Mangkalihat yang merupakan suatu daerah tinggian batuan dasar yang terjadi pada Oligoser. Di sebelah selatan, cekungan ini dijumpai Cekungan Barito yang dibatasiSesar Adang, yang terjadi pada Zaman Miosen Tengah. Pada bagian tenggara cekungan ini, terdapat paparan Paternoster dan gugusan penggunungan Meratus, sedangkan batas barat dari cekungan adalah daerah tinggi Kuching (pegunungan Kalimantan Tengah) yang berumur Pra-Tersier dan merupakan bagian dari inti benua. Tinggian ini menghasilkan sedimen tebal yang berumur Neogen. Pada bagian timur daricekungan ini terdapat delta Mahakam yang terbuka ke Selat Makassar.
Gambar Cekungan Kutai dapat dilihat sebagai Berikut :
Gambar 3.1 Fisiografi Cekungan Kutai (Peterson dkk., 1997 dalam Mora dkk.,2001) a. Batuan Induk
Batuan induk utama pada Cekungan Kutai adalah batuan berumur Miosen yaitu mudstone, serpih, lempung, dan batubara. Batuan induk ini terbentuk pada lingkungan pengendapan paralic, delta, sampai laut dangkal. Analisa geokimia pada serpih, lempung, dan batubara Miosen menunjukkan bahwa batuan induk ini dapat menghasilkan waxy oil dan gas dari percampuran kerogen dengan tipe yang berbeda. Nilai TOC berkisar antara 0.14 ± 15.37% dan rata ± rata berkisar antara 0.5 ± 1.0%. Endapan serpih organic dari delta plain bawah sampai lingkungan delta front diketahui sebagai batuan induk pada barat laut Kalimantan dan Cekungan Kutai. Serpih memuat 2 ± 3% produksi karbon organic dari kategori tipe III (Anshary, 2008). b. Batuan Reservoar
Akumulasi minyak dan gas bumi yang terdapat di daerah Mahakam, umumnya ditemukan pada reservoir yang berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir pada Formasi Balikpapan. Reservoar karbonat tidak terlalu banyak mengandung akumulasi
hidrokarbon bernilai ekonomis. Akumulasi hidrokarbon justru ditemukan dalam endapan turbidit. Pada lapangan minyak yang berada di darat (onshore), reservoar pada umumnya terdiri dari sedimen ± sedimen fluvial dan distributary channel, dimana jarak antara tubuh batupasir dan jumlah akomdasi sedimen sangat mengontrol konektivitas dari reservoar ± reservoar tersebut (Anshary, 2008). Reservoar yang terdapat pada bagian dalam lepas pantai (inner offshore) terdiri dari sedimen ±sedimen lower delta plain dan sedimen ±sedimen delta front . Sedimen ± sedimen distributary channel juga hadir dengan dimensi yang sama denngan reservoar darat namun lebih jarang muncul. Reservoar pada delta front terdiri dari sedimen ± sedimen mouthbar (Anshary, 2008). c.
Perangkap (Tr ap) , Sekat (Seal) , dan Lapisan Penutup
Lapangan ± lapangan minyak dan gas yang berada di Delta Mahakam memiliki perangkap struktur dan stratigrafi. Reservoar ± reservoar yang berupa endapan fluvial, distributary channel, dan mouth bar biasanyaterdapat di bagian sayap dari antikllin dan dapat juga muncul sebagai perangkap campuran antara struktur dan stratigrafi. Komponen± komponen stratigrafi di bagian utara dan selatan Sungai Mahakam Modern, dimana paleo-channel -nya miring terhadap sumbu struktur. Perangkap struktur terbentuk pada Miosen Akhir karena adanya pergerakan tektonik yang mendesak batuan dasar dan batuan sedimen di atasnya, pergerakan tersebut berarah ke barat menghasilkan pengangkatan dan erosi 1.000 kaki sedimen berumur Oligosen dan Miosen (Anshary, 2008). Lapisan penutup yang berada di Delta Mahakam umumnya berupa batulempungserpih sedangkan di bagian laut didominasi oleh sejumlah besar mudstone. d. Migrasi Pal eogen Play
Migrasi primer hidrokarbon terjadi pada batuan induk Eosen Tengah ± Eosen
Akhir seccara vertical maupun lateral. Pada bagian lepas pantai dari Cekungan Kutai, jalur migrasi vertical dari Paleogen Kitchen terjadi sesar ±sesar berarah NNE ± SSW menuju reservoar lowstand berumur Miosen Tengah ± Miosen Akhir. Migrasi lateral dari daerah mature kitchen juga difasilitasi melalui reservoar lowstand yang miring ke timur menuju perangkap stratigrafi atau struktur yang ada pada daerah tersebut. Neogen Play
Migrasi hidrokarbon dari batuan induk berumur Miosen Awal± Miosen Tengah terjadi setelah Miosen Tengah. Jalur migrasi pada umumnya vertical dan mungkin memiliki migrasi lateral yang berasal dari pusat cekungan. Pembentukan perangkap terjadi sejak Miosen Tengah sampai sekarang (Anshary, 2008).
4.
CEKUNGAN SUMATERA TENGAH
Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasilhidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengahmerupakan cekungan belakang busur. Cekungan
Sumatra
tengah
ini
relatif
memanjang
Barat
laut-Tenggara,
dimanapembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi lempeng HindiaAustralia dibawah lempengAsia (gambar 1). Batas cekungan sebelah Barat daya adalah Pegunungan Barisan yang tersusunoleh batuan pre-Tersier, sedangkan ke arah Timur laut dibatasi oleh paparan Sunda. Batastenggara cekungan ini yaitu Pegunungan Tigapuluh yang sekaligus memisahkan CekunganSumatra tengah dengan Cekungan Sumatra selatan. Adapun batas cekungan sebelah barat lautyaitu Busur Asahan, yang memisahkan Cekungan Sumatra tengah dari Cekungan Sumatra utara(gambar 2).
Gambar 1. Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan Asia Tenggara lainnya pada masa kini Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagianbawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas dan dapur-dapur magmadengan produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam, sifat magma dalam dan hipabisal.Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke arah atas melewati jalur-jalur sesar. Secarakeseluruhan, hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan tingginya heat flow di daerah cekunganSumatra tengah (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995).
Gambar 2. Lokasi Cekungan Sumatra tengah dan batas-batasnya
Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalahadanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Subduksi lempeng yang miring dariarah Barat daya pulau Sumatra mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress diCekungan Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini dicerminkan oleh bidang sesar yang curamyang berubah sepanjang jurus perlapisan batuan, struktur sesar naik dan adanya flower structureyang terbentuk pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan struktur (gambar 3).Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar dengan penebalan sedimenterjadi pada bagian yang naik (inverted ) (Shaw et al., 1999). Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir samadengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa strukturBarat laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995). Walaupundemikian, struktur berarah Utara-Selatan
jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut±Tenggara. Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan Sumatra tengah dipengaruhiadanya morfologi High ± Low pre-Tersier. Pada gambar 4 dapat dilihat pengaruh struktur danmorfologi High ± Low terhadap konfigurasi basin di Cekungan Sumatra tengah (kawasan Bengkalis Graben), termasuk penyebaran depocenter dari graben dan half graben. Lineasi Basement Barat laut-Tenggara sangat terlihat pada daerah ini dan dapat ditelusuri di sepanjangcekungan Sumatra tengah. Liniasi ini telah dibentuk dan tereaktivasi oleh pergerakan tektonikpaling muda (tektonisme Plio-Pleistosen). Akan tetapi liniasi basement ini masih dapat diamatisebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan formasi dari cekungan Paleogen didaerah Cekungan Sumatra tengah. Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi beberapatahap, yaitu : 1. Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara. 2. Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zamanKapur. 3. Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkansistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik initerhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya perubahanlingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan lakustrin, danditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting .
4. Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yangmengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatiftenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arahTimur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur lautPulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasimuka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif darikelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi regresif yangmenghasilkan Formasi Petani. 5. Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan rejimkompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. PegununganBarisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill ). Arahsedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatanmenuju utara dengan kontrol strukturstruktur berarah utara selatan. 6. Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-inversistruktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara.Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasiMinas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya. Proses sedimentasi di Cekungan Sumatra tengah dimulai pada awal tersier (Paleogen), mengikuti proses pembentukan cekungan half graben yang sudah
berlangsung sejak zaman Kapur hingga awal tersier. Konfigurasi basement cekungan tersusun oleh batuan-batuan metasedimen berupa greywacke, kuarsit dan argilit. Batuan dasar ini diperkirakan berumur Mesozoik. Pada beberapa tempat, batuan metasedimen ini terintrusi oleh granit (Koning & Darmono, 1984 dalam Wibowo,1995). Stratigrafi regional Cekungan Sumatra Tengah tersusun dari beberapa unit formasi dan kelompok batuan dari yang tua ke yang muda, yaitu batuan dasar (basement), Kelompok Pematang, Kelompok Sihapas, Formasi Petani dan Formasi Minas. 5.
CEKUNGAN BOGOR
Secara tektonis, Cekungan Bogor merupakan Cekungan Busur-Belakang (Back-Arc Basin) terhadap busur vulkanik Oligo-Miosen yang berada di selatannya. Aktivitas tektonik yang terjadi di Jawa telah menyebabkan terbentuknya unsur - unsur tektonik berupa zona akresi, cekungan, dan busur magmatik. Evolusi tektonik Jawa Barat menyebabkan posisi cekungan yang telah terbentuk dapat erubah kedudukannya terhadap busur magmatik. Cekungan Bogor pada kala Eosen-Oligosen merupakan cekungan busur muka magmatik, namun pada kala Oligo-Miosen posisi cekungan berubah menjadi cekungan busur belakang. Kegiatan tektonik Plio-Plistosen Cekungan Bogor ditempati oleh jalur magmatik hingga kini (Satyana & Armandita, 2004). Daerah paparan (Northwest Java Basin) yang berada di utara Cekungan Bogor - Kendeng pada awalnya (Eosen - Oligosen) juga merupakan daerah cekungan busur muka dalam bentuk terban yang diisi oleh endapan Paleogen
nonmarin vulkanosklatika dan endapan lakustrin Formasi Jatibarang serta endapan fluviatil, kipas aluvial, fluvio deltaik, dan material lakustrin Formasi Talang Akar (Sudarmono drr., 1997, op. cit. Ryacudu drr., 1999). Dalam perkembangannya, pascatektonik Oligo-Miosen, daerah ini menjadi paparan hingga lingkungan laut dangkal sebagai tempat diendapkannya sedimen Miosen
Formasi Baturaja
(karbonat), Formasi Cibulakan, dan Formasi Parigi (karbonat) yang berpotensi sebagai reservoir.
Menurut Effendi drr. (1998) (Gambar 2) secara stratigrafis, batuan tertua di daerah Sukabumi adalah Formasi Walat yang disusun oleh batupasir kuarsa berlapisan silang, konglomerat kerakal kuarsa, batulempung karbonan, dan lapisan tipis-tipis batubara; ke atas ukuran butir bertambah kasar; tersingkap di Gunung Walat dan sekitarnya. Umur satuan ini diduga Oligosen Awal. Di atasnya secara selaras diendapkan Formasi Batuasih yang terutama terdiri atas batulempung napalan hijau dengan konkresi pirit. Di beberapa tempat mengandung banyak fosil foraminifera besar dan kecil yang diduga berumur
Oligosen Akhir. Tebal satuan ini mencapai 200 m, dan tersingkap baik di Kampung Batuasih. Selanjutnya, diendapkan Formasi Raja-mandala yang disusun oleh napal tufan, lempung napalan, batupasir, dan lensa-lensa batugamping mengandung fosil Globigerina oligocaenica, Globigerina praebulloides, Orbulina, Lepidocyclina, dan Spiroclypeus yang memberikan informasi kisaran umur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Formasi ini menindih secara tak selaras Formasi Batuasih dengan tebal sekitar 1.100 m. Anggota Batugamping Formasi Rajamandala yang terdiri atas batugamping terumbu koral dengan sejumlah fosil Lithothamnium, Lepidocyclina sumatrensis, dan Lepidocyclina (Eulepidina) ephippiodes, biasanya terdolomitkan. Di atasnya diendapkan Formasi Halang yang terdiri atas Anggota Tuf berupa batupasir
tuf dasitan, tuf andesit, dan
Anggota Breksi berupa breksi andesit/dasit tufan, batugamping, dan batulempung napalan; setempat lapisan batugamping mengandung fosil Trillina howchini, Lepidocyclina brouweri, dan Globorotalia mayeri, yang memberikan indikasi umur Miosen Awal. Anggota ini merupakan bagian paling bawah Formasi Jampang yang menindih secara selaras Formasi Rajamandala. Selanjutnya, ke arah atas terdapat batuan Gunung Api Tua yang terdiri atas: (1) Batuan Gunung Api Pangrango, endapan lebih tua, lahar, dan lava serta basal andesit, dan (2) Breksi Gunung Api, breksi bersusunan andesit – basal, setempat aglomerat, lapuk.