PERAN MESOCYCLOPS SEBAGAI PENGEDALIAN HAYATI VECTOR
DEMAM BERDARAH DENGUE DI INDONESIA
Malik Saepudin
Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak
Jl. 28 Oktober Siantan Hulu. Pontianak. Kalimantan Barat
[email protected]
MESOCYCLOPS'S ROLE AS A BIOLOGICAL VECTOR CONTROL OF
AEDES SP IN INDONESIA
Abstrak
Demam Berdarah Dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, pada tahun 2010 Indonesia masih di urutan tertinggi kasus DBD di ASEAN, berbagai penelitian baik di dalam negeri maupun luar negeri berhasil dilakukan untuk menemukan alternatif pengendalian vektor Ae. aegypti tanpa pestisida, hasilnya cukup menggembirakan. Metode literatur bertujuan untuk mendapatkan ide dari hasil Mesocyclops penelitian sebagai kontrol biologis vektor DBD. Penelitian yang dilakukan di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia (B2P2VRP) Salatiga)menyimpulkan bahwa peran Cyclops sebagai kontrol biologis terutama vektor nyamuk Aedes aegypti sangat dipercaya. Satu negara dapat mengatasi masalah DBD adalah Vietnam, sebagai mengeksploitasi hasil penelitian sebagai dasar untuk program kontrol Cyclops intervensi vektor dan peran optimal dari semua sektor publik dan swasta, serta masyarakat. Semoga Cyclops bisa menjadi salah satu alternatif dalam pengendalian vektor DBD nasional di Indonesia, karena harus memenuhi beberapa kriteria alternatif dalam pemecahan masalah demam berdarah.
Keyword: Mesocyclops, pengedali hayati, Aedes aegypti
Abstract
Dengue hemorrhagic fever is still a public health problem, in 2010 Indonesia was still on the highest order of dengue cases in ASEAN, various studies both domestically and abroad successfully done to find alternative vector control Ae. aegypti without pesticide, the results are quite encouraging. Method of literature review aims to get an idea of the results of research Mesocyclops as biological control of dengue vectors. Research carried out in various countries in the world including Indonesia (B2P2VRP Salatiga) concluded that the role of Cyclops as a biological control especially vector Aedes aegypti is very believable. One country can overcome the problems of DHF is Vietnam, as exploit research results as the basis for intervention Cyclops vector control programs and the optimal role of all sectors both public and private, as well as the community. Hopefully Cyclops can be one alternative in the national dengue vector control in Indonesia, because it has to meet several criteria alternative in solving the problem of dengue.
Keyword: Mesocyclops, Biological Vektor control, Aedes Aegypti
PENDAHULUAN
Aedes aegypti (Ae. aegypti) dan Aedes albopictus (Ae. albopictus) merupakan dua spesies nyamuk yang berperan penting dalam bidang kesehatan masyarakat di daerah tropik dan subtropik, sebagai vektor penyakit demam kuning (Yellow Fever/YF), demam dengue (Dengue Fever/DF), demam berdarah dengue (Dengue Hemorrhagic Fever/DHF) dan Chikungunya. Dengue merupakan penyakit virus asal arthropoda yang paling penting di daerah tropis dan subtropis di dunia dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di Amerika, Asia dan Afrika. Infeksi Dengue merupakan masalah kesehatan internasional, badan kesehatan dunia The World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 2,5 miliar penduduk dunia berisiko terinfeksi dengan kejadian infeksi 50 sampai 100 juta kasus setiap tahunnya. (David G Nielsen, 2009)
Dengue ditemukan di daerah tropis dan subtropis terutama diperkotaan dan pinggiran kota. Demam Berdarah Dengue, berpotensi terjadi komplikasi yang mematikan, dikenal pertama kali pada tahun 1950 pada kejadian epidemik di Thailand dan Philipina. Dewasa ini Demam Berdarah Dengue merupakan penyebab utama kasus kesakitan dan kematian khususnya pada anak-anak. Proses penyembuhan dari infeksi oleh salah satu tipe virus akan menimbulkan kekebalan seumur hidup, akan tetapi tidak bersifat protektif terhadap ketiga tipe virus lainnya. Telah terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa infeksi kedua (secondary infection) virus akan menyebabkan infeksi lebih berkembang ke arah Demam Berdarah Dengue (DBD). Insiden Dengue di dunia sebanyak 2,5 miliar, sebanyak dua perlima penduduk dunia berada dalam risiko terinfeksi Dengue. Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan 50 juta infeksi Dengue terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Ditahun 2007 sendiri dilaporkan 890.000 kasus infeksi Dengue di Amerika, dimana 26.000 adalah infeksi DBD. (Juan E Ludert, et al ,2008)
Belum ada penurunan nyata dalam kasus demam berdarah atau demam berdarah dengue selama 20 tahun terakhir. Di seluruh dunia, sekitar 50 sampai 100 juta orang terinfeksi dengue setiap tahun. Ada beberapa juta kasus demam berdarah yang parah dan sekitar 500.000 kasus demam berdarah dengue setiap tahunnya. Kematian tetap tinggi di beberapa negara, tetapi negara-negara lain telah mengurangi kematian secara dramatis dengan memberikan perawatan medis yang luas. Beberapa ratus ribu orang dirawat di rumah sakit dengan demam berdarah dengue di Vietnam dan Thailand setiap tahun, tetapi tingkat kematian kurang dari 0,3 persen. Meskipun demikian, biaya ekonomi tinggi. Pasien memerlukan satu sampai tiga minggu rawat inap, dan orang tua kehilangan waktu kerja sambil mengasuh anak yang sakit di rumah sakit. Pemanasan global akhirnya bisa memperluas jangkauan geografis Dengue sebagai suhu yang lebih tinggi, dan waktu inkubasi virus akibatnya lebih pendek dalam nyamuk, merangsang transmisi.(Marten, 2001)
Kesakitan DBD di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan yang semakin meluas, pertama kali DBD terjadi di Surabaya pada tahun 1968 dan di Jakarta pada tahun 1969, hingga tahun 1994 telah menyebar ke 27 provinsi. Angka kesakitan DBD di Indonesia terus meningkat, tahun 1968 jumlah kasus DBD sebanyak 53 orang dengan Incidence Rate (IR) mencapai 0.05/100.000 penduduk, serta meninggal 24 orang (42,8%). DEPKES pada tahun 2008 mencatat IR sebesar 59,02 dab CFR 0,86, meningkat pada tahun 2009 menjadi 66,48 dan CFR 0,89. Jumlah kematian akibat DBD sekitar 1.317 orang pada tahun 2010. Menempatkan Indonesia pada urutan tertinggi kasus DBD di ASEAN. Data P2B2 Depkes menyebutkan jumlah kasus DBD di Indonesia tahun 2010 ada 150.000 kasus. (Anonim, 2015).
Program pengendalian Aedes di berbagai negara termasuk Indonesia pada umumnya kurang berhasil, karena hampir sepenuhnya bergantung pada pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa. Hal ini membutuhkan biaya besar, menimbulkan resistensi vektor akibat dosis yang tidak tepat, dan tidak berdampak panjang karena jentik nyamuk tidak mati. Resistensi Ae aegypti terhadap organofosfat di Salatiga berkisar antara 16,6 – 33,3 persen, sedangkan terhadap malathion 0,8% mencapai 66–82%. Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa Ae aegypti juga resisten terhadap d-Allethrin, Permethrin, dan Cypermethrin dengan Lethal Time 90% (LT90) berkisarantara 9 – 43 jam.( Astari S, Ahmad I, 2005)
Mengingat hal tersebut perlu dikembangkan pengendalian dan pemberantasan vector melalui pengendalian secara biologis dengan menggunakan predator yang telah tersedia di alam, dan jumlahnya sangat melimpah. Agen yang dikelompkan kedalam "kontrol biologis" mencakup berbagai organisme yang sangat luas, terdiri dari ekstrak dan produk biologi lainnya, yang tersebar luas di lingkungan. Salah satu predator hayati adalah ordo mesocyclops dari sub Kelas copepod.
METODE
Artikel ini merupakan study pustaka dari beberapa penilitian dan literature sejumlah 22 lteratur terdiri dari 15 literatur dalam negeri dan 7 literatur dalam negeri. Artikel ini dibuat unrtuk mendapat gambaran perkembangan dan pemanfaatan mesocyclops diberbagai Negara, serta kemungkinan prospek pemanfaatan siklop di Indonesia sebagai program pengendali hayati vector penyakit DBD yang efektif dan mudah terima masyarakat luas.
HASIL
Penelitian kemampuan mesocyclops sebagai pengedali hayati diberbagai Negara belahan dunia telah dilakukan dengan baik, antara lain: Percobaan lapangan di Rongaroa (Polinesia Prancis) kemudian menunjukkan bahwa Siklop dapat digunakan dalam intervensi larvisida terhadap Ae. aegypti. Percobaan ini berhasil mengurangi kepadatan populasi Ae. polynesiensis sekitar 76%. Secara nyata, di Kolombia melimpahnya copepoda di alam berbading terbalik dengan melimpahnya populasi larva anopheles (Marten et al., 1989). Marten, (1990) melaporkan bahwa 7 spesies Cyclopoid Copepoda telah digunakan untuk mengendalikan jentik Ae. Albopictus pada ban bekas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa M. longisetus dan albidus dapat menurunkan populasi Ae. Albopictus masing-masing sebesar 99,8 % dan 100 % setelah 3 bulan diintroduksikan pada ban bekas. Dilaporkan bahwa 4 spesies Cyclopoid Copepoda yaitu M. thermocyclopoides, M. venezolanus, M. longisetus dan M. albidus mempunyai efektivitas tinggi untuk mengendalikan jentik Ae. aegypti pada berbagai tempat penampungan air milik penduduk di El Progreso, Honduras. Keempat spesies tersebut mampu memangsa lebih kurang 20 ekor jentik Ae. aegypti / Cyclopoid / hari, tetapi hanya M. longisetus yang paling efektif mengendalikan jentik Ae. aegypti pada kondisi lapangan karena mampu bertahan hidup lama dalam penampungan air, toleran terhadap perubahan suhu dalam penampungan air dan biasa hidup di dasar air sepanjang hari hingga tidak terciduk pada waktu air digunakan oleh penduduk
Terkait dengan peranan siklop sebagai predator alami, mahkluk kecil itu merupakan pemakan yang rakus. Larva tingkat naupilus dan copepodit awalnya lebih menyukai makan tumbuhan, misalnya ganggang, sementara copepodit tingkat akhir cenderung sebagai predator jentik nyamuk, terutama jentik A. aegypti. Individu betina ternyata lebih rakus daripada yang jantan, dan dalam keadaan kurang makanan, muncullah sifat kanibal (memakan sesama jenis). Kemampuan siklop menyantap jentik nyamuk berkisar antara 5–10 ekor per hari. Selain itu siklop, juga melahap Algae, Protozoa, Rotifera, Copepoda dan Crustacea lain, Chironomidae, dan larva ikan. (R.A, Yuniarti, 2007)
Setelah diketahui bahwa betapa copepoda efektif, penelitian mulai juga dilakukan di beberapa Negara antara lain Australia, Asia Tenggara dan Amerika untuk mengidentifikasi spesies copepoda terbaik untuk pengendalian nyamuk dan bagaimana memanfaatkannya. Cocok untuk mengatasi permaslahan populasi Aedes aegypti hampir di mana-mana, karena spesies cepepoda selalu tersedia secara lokal cukup besar untuk membunuh jentik nyamuk secara alami. Mesocyclops aspericornis adalah spesies yang paling efektif di Polinesia, Australia dan sebagian Asia. Mesocyclops longisetus, spesies terbesar di dunia, terbukti paling efektif di Amerika. (Marten, 2001)
Penelitian di Vietnam Utara Tahun 1994, pemanfaatan Siklop dan partisipasi masyarakat, berhasil menurunkan kasus DBD, penelitian dikembakan ke 3 provinsi di Vietnam, berhasil menghilangan Ae. Albopictus masing-masing: 99,7%, 51% dan 98% penelitian yang tiga pada Tahun 1998 dikembangkan ke 9 provinsi lainnya, hasil penelitian menunjukan 60-100% wadah penyimpanan air telah mengandung Siklop, hasilnya secara signifikan menurunkan jenitik Ae. aegypti. Penelitian ekperimen pada Tahun 2004, secara signifikan menunjukan pada kelompok intervensi terjadinya penuruanan kasus DBD dari Tahun 2002 ke Tahun 2003, yaitu 112,8 menjadi 14,4 kasus per 100.000 di tingkat Kabupaten. (Nam, V, Yen, N, Kay, B, Marten, G and Reid, J, 1998)
Pada Tahun 1999, Vietnam mengembangkan siklop sebagai program nasional dalam pengendalian vector, diseluruh provinsi didirikan pusat produksi Copepoda, penditribusian dikelola sedemikan rupa terutama relawan yang disebut Kolaborator yang telah dibekali pengetahuan oleh petugas kesehatan. Setiap kolaborator bertanggung jawab terhadap 50 sampai 100 rumah, mulai dari memperkenalkannya sampai cara menuangkan segelas air yang berisi sekitar 50 Siklop ke dalam setiap tempat penampungan air penduduk. Hasilnya sangat signifikan yaitu membebaskan 90% container dari jentik Ae. Aegypti. (Marten, 2001)
Penelitian lain juga berhasil mengidentifikasi kelemahan dari copepoda antara lain: 1) Siklop tidak tahan terhadap pengeringan, 2) siklop hanya membunuh larva yang baru menetas, sehingga efek utama dari aplikasi cyclopoid tertunda, sampai terjadi hujan berikutnya disaat banyak telur Ae. aegypti baru menetas. Evaluasi aplikasi siklop di Pulau Rongoroa, ditemukan adanya kesulitan tersebut (Anonim, 2014), Kelemahan lain adalah ditemukan Copepoda pada air tawar sebagai pembawa larva cacing Guinea penyebab penyakit cacing Guinea. Terutama dibeberapa daerah termiskin di dunia, khususnya terbatas atau tidak memiliki akses air bersih, serta perilaku masyarakat yang minum air mengadung siklop yang terinfeksi cacing Guinea di 20 negara di Asia dan Afrika, sehingga penyakit ini endemik negara di Sub-Sahara Afrika. (Anonim, 2015). Namun sampai saat ini belum dilaporkan adanya penyakit ini pada Negara yang telah melaksankan program siklop sebagai pendalian vector Ae. aegypti seperti Vietnam.
Penelitian Siklop di Indonesia dilakukan Muhammad T.N. (1996), menguji pemanfaatan Mesocyclop Sp sebagai agen pengendali hayati Larva nyamuk dengan perbandingan antara Mesocyclop sp dan larva nyamuk adalah 1:3 (25 ekor Mesocyclop sp dan 75 ekor larva nyamuk), menyimpulkan hasil penelitian bahwa Mesocyclop sp mampu mempredasi larva nyamuk. Kemampuan predasi Mesocyclop sp terhadap Aedes aegepty lebih besar dibandingkan dengan kemampuan predasi terhadap Culex quinguefasciatus, dan Anopheles aconitus.
Penelitian di Wilayah Salatiga oleh para peneliti dari Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit (BPVRP) Salatiga, menunjukan hasil penelitian positif, ada lima penelitian siklop yang berhasil ditelusuri yaitu yang pertama penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti Umi dkk (1995), berhasil mengidentifikasi M. aspericornis sebagai salah satu predator dalam pengendalian vector di wilayah Kota Salatiga. Kedua, penelitian oleh Widiyastuti, dkk (1997), menyimpulkan siklop mampu penurunan populasi Ae. aegypti 59,12-65,09 % pada berbagai jenis tempat penampungan air di Kota Salatiga. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh RA. Yuniarti, Umi Widyastuti (1998), menyimpulan Kemampuan Makan Mesocyclops Aspericornis Terhadap Jentik Ae. aegypti pada konsentrasi media yang rendah, cenderung lebih tinggi. Keempat penelitian dilakukan oleh R. A Yuniarti dan Damar TB (2003) menyimpulkan Mesocyclops Aspericornis mampu menurunkan jentik Ae. aegypti lebih baik dibanding Bacillus Thuringiensis, Kelima penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti Umi dan RA Yuniarti (2005), menyimpulkan Jumlah jentik Ae. aegypti pada penampungan air menurun 21,7 kali setelah 15 bulan pelepasan Siklop disertai dengan partisipasi masyarakat yaitu eliminasi berbagai penampungan air yang tidak berguna seperti kaleng dan ban bekas.
PEMBAHASAN
Kegiatan penelitian dan pemanfaatan siklop sebagai predator jentik Ae. aegepty yang telah dilaksanakan baik di Indonesia maupun di luar negeri menunjukan hasil yang baik dan sangat menjanjikan, kepraktisan ini agen biologis dalam intervensi anti-demam berdarah. Meskipun begitu masih perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut khususunya di wilayah Indonesia yang beriklim tropis, dimana air selalu tersedia sepanjang tahun, sehingga memberi kesempatan siklop untuk berkembang biak secara optimal.
Siklus hidup sederhana copepoda dan kemampuan mereka untuk berkembang biak membuat produksi massal mudah dan murah. Sistem produksi menggunakan bakteri pada media biji gandum busuk sebagai makanan untuk protozoa kecil (Chilomonas) yang menyediakan makanan bagi copepoda muda dan protozoa yang lebih besar (Paramecium caudatum) yang menyediakan makanan untuk cepepoda yang lebih besar. Sistem ini sederhana, murah dan sangat tahan, berada dalam wadah terbuka dari berbagai ukuran atau bentuk. Seratus dewasa Siklop betina memproduksi sekitar 25.000 betina dewasa baru dalam waktu satu bulan. Betina yang diinseminasi sampai cukup umur dan tidak memerlukan kontak lebih lanjut dengan jantan untuk menghasilkan 50 sampai 100 telur per minggu selama hidupnya dalam beberapa bulan.
Copepoda merupakan kelompok entomostraca dengan jumlah spesies terbesar, yaitu sekitar 12.000 spesies dan sebagian besar hidup bebas dan sekitar 25%-nya sebagian ektoparasit. Kebanyakan Copepoda terdapat di laut dan sebagian lagi di air tawar, baik sebagai plankton maupun fauna interstisial. Beberapa spesies hidup dalam hamparan lumut dan humus. Rata-rata ukurannya antara 0,5-15 mm tetapi ada yang dapat mencapai 25 cm yang biasanya sebagai parasit, misalnya Panella sebagai ektoparasit pada ikan laut dan ikan hiu. Adapun klasifikasi siklop atau Copepoda ini berasal dari kingdom: Animalia, Filum: Arthtropoda, Subfilum: Crustacea, Kelas: Maxillopoda dan Subkelas: siklop (Copepoda).
Top of Form
Prospek pemanfaatan Siklop sebagai pengendalaian hayati vector DBD sangat menjanjikan di Indonesia dimana DBD masih sebagai masalah kesehatan utama, tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia, adanya perhatian masyarakat yang tinggi, kondisi lingkungan yang sebagian besar cocok untuk habitat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti dan juga cocok habitat perkembangbiakan Siklop. Siklop sebagai predator dapat dengan mudah dimasukkan ke tempat-tempat yang sulit dijangkau dan tidak membahayakan kesehatan serta biaya intervensi yang cukup murah. Menurut Service (1983) mengemukakan bahwa agens hayati cukup menjajikan sebagai dasar intervensi terhadap penularan DBD dan Gubler (1990) menyebutkan ada agen biologis dalam prospektus anti-Dengue yang diformulasikan kedokteraan tropis dan Hygine masyarakat Amerika tahun 1990-an. Hal ini memungkinkan untuk dikembangkan dalam jangka panjang sangat menjanjikan keberhasilannya dalam menekan angka kesakitan DBD.
Penggunaan Cyclops agar efektif dalam program pengendalian nyamuk, perlu dipertimbangkan antara lain seleksi spesies Cyclops yang paling efektif untuk diaplikasikan terutama efektivitasnya sebagai predator jentik nyamuk, produksi, penyimpanan dan distribusinya pada skala yang lebih luas, kesuksesan dalam mempertahankan kepadatan populasi setelah diintroduksikan pada habitat perairan, mampu bertahan hidup lama pada tempat perindukan dan keterkaitan Cyclops dalam praktek pengendalian nyamuk secara terpadu. Peluang produksi dan distribusi secara masal dan luas Siklop juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian Kesehatan di tingkat Provinsi seperti BPVRP di Salatiga, yang telah berhasil mengembangkan siklop lokal Mesocyclops aspericornis sesuai standar Marten at al (1994).
Berdasarkan adanya peluang tersebut, maka pemanfaatan Siklop sebagai pengendalaian vector secara hayati di Indonesia telah memenuhi beberapa kriteria prioritas pemecahan masalah kesehatan. Menurut Wijono, Djoko, (1999) penetapan periorita pemecahan maslah meliputi (1) Terdapat relevansi antara hasil alternatif dengan tujuan pemecahan masalah yang dilakukan artinya dapat membantu mengurangi atau mengatasi masalah yang ada. (2) Efektifitas (3) Relatif cost, dalam hal ini berapa besar biaya dari masing-masing alternatif, pilihlah alternatif dengan biaya relatif murah namun tidak mengurangi efektifitasnya. (4) Technical feasibility, apakah secara teknik suatu alternative dapat dijalankan. (5) Ketersediaan sumber daya untuk menjalankan alternative yang dipilih. (6) Keuntungan yang dimiliki oleh suatu alternative dibandingkan dengan alternative lainnya. (7) Kerugian yang mungkin timbul akibat pemilihan suatu alternative.
KESIMPULAN
Berdasarkan uarain di atas maka dapat ditarik kesimpulan yang pertama, beberapa penelitian dari berbagai Negara di dunia termasuk Indonesia (BPVRP Salatiga) menyimpulkan bahwa peran Siklop sebagai pengendali hayati terutama vector Aedes aegypti adalah sangat dipercaya dapat mengatasi permasalah DBD. Kedua, Keberhasilan Vietnam dalam pemanfaatan siklop sebagai pengdali vector Ae, aegypti antara lain karena memanfaatkan hasil penelitian siklop sebagai dasar intervensi program pengendalian vektor, adanya keterlibatan semua sector baik negeri maupun swasta dan peran aktif masyarakat secara optimal, serta adanya keterpaduan antara kegiatan penelitian dan program pengendalian vector. Ketiga, kelemahan dari program pemanfaatan copepoda antara lain: Siklop tidak tahan terhadap pengeringan, siklop hanya membunuh larva yang baru menetas, sehingga efek utama dari aplikasi cyclopoid tertunda dan kelemahan lain adalah siklop sebagai pembawa larva cacing Guinea penyebab penyakit cacing Guinea. Keempat, prospek program pengendalian vector Ae. aegypti dengan siklop di Indonesia cukup berpeluang untuk mengatasi masalah DBD yang merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Oleh karenanya semoga dapat dijadikan sebagai salah satu alternative dalam pengendalian vektor DBD secara nasional di Indonesia, karena telah memenuhi beberapa kriteria alternative dalam pemecahan masalah DBD.
SARAN
Perlu dikembangkan terus menerus penelitian jenis siklop lokal lainya di wilayah Indonesia, sehingga densitas siklop dapat memberikan jaminan sebagai predator yang handal dalam membasmi larva Aedes aegypty di wilayah Endemis DBD di Indonesia. Pemerintah Indonesia dapat melakukan benchmark/belajar dari Vietnam atau negara lain yang telah memanfaatkan siklop sebagai program nasionalnya, dipadukan dengan program pengendalian yang telah terlaksana dengan baik, Mengaptkan peran serta masyarakat dalam melaksnakan program ini, karena kunci kesuksesan adalah ada pada masyarakat itu sendiri. Kondisi social budaya seperti budaya gotong royong sangat menguntungkan dalam pelaksanaan program pengendalian vector DBD secara biologi (siklop) secara nasional di Indonesia. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2014. Prospects for suppressing dengue transmission by means of biological agents. http://www.solutions-site.org/node/112. (Sitasi, 12 Juni 2014)
Anonim, 2015, Kasus DBD di Indonesia Tertinggi di ASEAN http://internasional.kompas.com/read/2011/02/19/07163187 (Sitasi, 13 Mei 2015)
Anonim, 2015. Guinea worm: Wikis. http://www.thefullwiki.org/Guinea_worm (sitasi, 12 April 2015)
Astari S, Ahmad I, 2005. Insecticide Resistance and Effect of Piperonyl Butoxide as a Synergist in Three Strain nof Aedes aegypti (Linn) (Diptera: Cullicidae) on Insecticide Permethrin, Sypermethrin, and d-Allethrin. Bul. Penel. Kesehatan Vol 33 No 2: 73 – 79.
Brown, M, Kay, B and Hendrix, J ,1991. 'Evaluation of Australian Mesocyclops (Copepoda: Cyclopoida) for mosquito control', Journal of Medical Entomology, vol 28, pp618–623
David G Nielsen, 2009.The relationship of interacting immunological components in Dengue pathogenesis, Virology Journal Review
Juan E Ludert, Clemente Mosso, Ivonne Caballos-Olvera, Rosa M del Angel, 2008. Use of commercial enzyme immunoassays to monitor Dengue virus replication in cultured cells,Virology Journal,
Marten, G, 1984. 'Impact of the copepod Mesocyclops leuckarti pilosa and the green alga Kirchneriella irregularis upon larval Aedes albopictus (Diptera: Culicidae)', Bulletin of the Society for Vector Ecology, vol 9, pp1 - 5 .
Marten, G, 1990. 'Elimination of Aedes albopictus from tire piles by introducing Macrocyclops albidus (Copepoda, Cyclopoida)', Journal of American Mosquito Control Association, vol 6, pp689 - 693
Marten G. 2001.This in-depth story is from Human Ecology: Basic Concepts for Sustainable Development, pages 184-196, available online: Chapter 12 at www.gerrymarten.com/human-ecology/tableofcontents.html
Nam, V, Yen, N, Kay, B, Marten, G and Reid, J, 1998. 'Eradication of Aedes aegypti from a village in Vietnam, using copepods and community participation', American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, vol 59, pp657 - 660
Nurulhady, Muhammad Taufiq, 1996. Kemungkinan Pemanfaatan Mesocyclop Sp Sebagai Agen. Sekeripsi Fakultas MIFA Undip (tidak dipublikasikan)
R. A Yuniarti dan Damar TB (2003) menyimpulkan Mesocyclops Aspericornis mampu menurunkan jentik Ae. aegypti lebih baik dibanding Bacillus Thuringiensis
R. A. Yuniarti dan Damar T.B., 2003. Efikasi Kombinasi Bacillus Thuringiensis Israelensis Dan Mesocyclops Aspericornis Sebagai Pengendali Hayati Aedes Aegypti Di Gentong Air. Balai besar penelitian dan pengembangan vektor dan reservoir penyakit Bul. Penel. Kesehatan, Vol. 36, No. 1,2008:26 - 32 (BPVRP), salatiga.
R.A. Yuniarti, 2007,Mesocyclops, Secercah Harapan Pengendali Demam Berdarah BioS Vol.1 No.1
RA.Yuniarti, Umi Widyastuti, 1998. Kemampuan Makan Mesocyclops Aspericornis Terhadap Jentik Aedes Aeupti Pada Medium Rendaman Seresah Salvinia Dan Rendaman Tinja Kambing Di Laboratorium Bul. Penelit. Kesehat. 27
R.A.Yuniarti, Umi Widyastuti, 1996. Reproduksi M. aspericornis pada Berbagai Macam Media Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Vol. VI No. 01 : 19 - 22.
Widiastuti Umi, Yuniati RA, Blondin Ch P, Wiarti, 1995. predasi mesocyclop terhadap berbagai jenis nyamuk vektor di laboratorium. Majalah Parasit Indonesia, 8 (2): 32-38
Widiastuti Umi, R. A Yuniarti, Widiarti, 1997. Efektifitas mesocyclops asperocornis terhadap jentik Ae. Aegypti pada berbagai type penampungan air. Jurnal ekologi keaehatan vol 3 no.2, Agustu 2004 :56-63
Widyastuti Umi dan R.A. Yuniarti, 2005. Pengendalian Jentik Aedes Aegypti Menggunakan Mesocyclops Aspericornis Melalui Partisipasi masyarakat Media Penelit. Dan Pengembang. Kesehat. Volume XIX Tahun 2009, Suplemen II
Widyastuti, Umi, R.A. Yuniarti, 1997. Korelasi Antara Ukuran Panjang dan Predasi M. aspericornis terhadap Jentik Nyamuk Vektor, Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta Vol. 119. Hal 54 - 57
Wijono, Djoko. 1999. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan: Surabaya http://fkmutu.blogspot.com (sitasi, 12 Mei 2015)