Mengenal dan Memahami LGBTIQ dari Perspektif Kristiani [1]
Stephen Suleeman
Pengantar
Akhir tahun lalu saya menjumpai sebuah kasus AIDS di sebuah jemaat di
Jakarta. Penderitanya adalah seorang laki-laki lajang yang berusia 46
tahun. Ia adalah seorang aktivis di jemaat itu, namun selama beberapa tahun
terakhir ia sudah jarang muncul. Ia pindah dari rumahnya di daerah Jakarta
Utara dan tinggal bersama dengan ibunya di Bekasi.
Sekitar bulan Agustus tahun 2013, ia muncul di salah satu program
pelayanan jemaat itu. Ia tampak sehat-sehat saja. Tidak mengherankan bila
pada awal Oktober teman-temannya mendapatkan berita bahwa laki-laki itu –
sebut saja namanya Bobby – menderita sakit parah.
Ketika teman-temannya berkunjung ke rumahnya, mereka sempat mengintip
hasil pemeriksaan laboratorium Bobby, dan mereka terkejut ketika hasil
diagnosisnya menyatakan "diduga AIDS".
Meskipun demikian, ketika teman-temannya bertanya kepadanya, Bobby
tetap membungkam dan tidak mau mengatakan apa sakit yang dideritanya.
Bahkan pendetanya pun tidak bisa mengorek informasinya. Baru belakangan,
ketika seorang temannya yang cukup dekat datang ke rumahnya, dan
mengkonfrontirnya tentang kemungkinan ia terkena AIDS, ia mengaku. Tapi ia
baru mau mengakui ketika teman itu bercerita tentang pengalamannya bergaul
dengan kaum LGBTIQ dan para penderita HIV dan AIDS. "Bobby, kamu tidak usah
ragu untuk mengakui bahwa kamu gay dan menderita AIDS. Ada banyak cara
orang mendapatkan HIV. Ada yang karena jarum suntik, atau karena dirawat
oleh seorang dokter yang mengidap HIV dan terluka. " Kemudian teman itu
melanjutkan, "Kalaupun kamu seorang gay, itu tidak masalah. Saya percaya
Tuhan menciptakan gay untuk mengetes saya, apakah saya mampu mengasihi kamu
sebagaimana adanya." Mendengar kata-katai itu Bobby menangis. "Baru pertama
kali saya mendengar kata-kata seperti ini," katanya.
STT Jakarta dan Program LGBTIQ
Sudah sekitar 15-an tahun STT Jakarta menyelenggarkan program-program
yang berkaitan dengan isu-isu LGBTIQ. Di tahun 1993 kami mulai mengutus
mahasiswa yang menjalankan Praktik Lapangan ke sebuah organisasi gay, IPOOS
(Ikatan Persaudaraan Orang-orang Sehati). Kontak dengan lembaga ini kami
peroleh dari teman kami, Marcel Latuihamallo, seorang aktivis AIDS, yang
juga seorang anggota GPIB.
Ketika saya pergi melanjutkan studi saya, kegiatan ini sempat
terhenti. Baru setelah saya kembali lagi ke STT Jakarta dan kembali
dipercayai untuk menangani program Pendidikan Lapangan, kami mulai mengutus
mahasiswa-mahasiswa kami ke lembaga-lembaga LGBTIQ. Dari mula-mula hanya
mengutus mereka ke organisasi gay, sekarang kami mengutus mereka ke
organisasi lesbian dan transgender.
Mengapa kami mengutus mahasiswa ke lembaga-lembaga seperti itu? Saya
berkeyakinan bahwa ini mungkin kesempatan satu-satunya bagi mereka untuk
bertemu langsung dan belajar mengenal kehidupan mereka dari dekat. Kalau
mereka hanya diutus ke panti asuhan atau panti jompo, semua itu pasti akan
mereka jumpai ketika mereka terjun dalam pelayanan gereja. Namun, seperti
dalam kasus Bobby, kalau mereka tidak sengaja diterjunkan ke lembaga-
lembaga itu, atau tidak secara terbuka berbicara tentang isu ini, maka kaum
LGBTIQ sendiri pun akan tetap bersembunyi. Kebanyakan dari mereka tetap
tinggal "in the closet", karena mereka merasa bahwa gereja pasti akan
mengutuk mereka, menganggap mereka sebagai orang berdosa atau orang-orang
yang dihukum Allah.
HIV dan AIDS
Banyak gereja dan orang Kristen yang cepat mengutuk dan
mempersalahkan mereka yang terkena HIV. HIV dan perkembangan selanjutnya
menjadi AIDS dianggap sebagai kutukan Allah bagi mereka yang melakukan
hubungan seks yang "menyimpang".
Kita perlu mencermati hal ini. Meskipun pada tahun 1983 ketika kasus-
kasus AIDS pertama kali ditemukan, pemerintah AS tidak mengambil tindakan
apapun, bahkan Presiden Ronald Reagan menyebutnya sebagai "gay disease",
kita perlu mencatat bahwa HIV dan AIDS tidaklah sinonim dengan gay ataupun
"perilaku seksual menyimpang" seperti yang dituduhkan kepada mereka.
Ditjen PP & PL, Kementerian Kesehatan RI melaporkan data sbb. untuk
triwulan Oktober-Desember 2013:
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko
AIDS
Heteroseksual 32,719
Homo-Biseksual 1,274
IDU/Jarum suntik 8,407
Transfusi Darah 123
Transmisi Perinatal 1,438
Tak Diketahui 7,954
Data di atas jelas menunjukkan bahwa homoseksualitas ataupun
biseksualitas justru adalah salah satu faktor penyebab terendah untuk kasus-
kasus AIDS. Dengan demikian, sungguh keliru apabila kita menuduh kaum
homoseksual sebagai penyebab atau pembawa virus HIV. Bahkan di Oklahoma,
7,000 orang pasien ditulari HIV lewat seorang dokter gigi yang menderita
penyakit itu, namun tetap menangani pasiennya.[2]
LGBTIQ sebagai Gaya Hidup
Sebagian orang menganggap seseorang menjadi gay atau lesbian hanyalah
sekadar sebagai gaya hidup, semata-mata sebagai pelampiasan frustrasi
karena tidak mampu menemukan pasangan hidupnya. Atau karena hubungannya
dengan suami atau istrinya tidak harmonis.
Saya pernah bertemu dengan seorang gay Kristen, dan saya bertanya
kepadanya, "Apa sih enaknya menjadi gay?" Dia menjawab, "Kalau saya punya
pilihan, untuk apa saya memilih menjadi gay? Mengapa saya memilih untuk
ditolak oleh keluarga dan gereja saya?" Banyak LGBTIQ yang takut akan
ditolak oleh lingkungannya, dank arena itu mereka berpura-pura menjadi
heteroseksual. Mereka menikah sengan lawan jenisnya, punya anak, dst.,
namun diam-diam mereka menjalin hubungan dengan kekasih gelap yang sejenis.
Ini pengakuan seorang penatua gereja yang dijumpai oleh seorang mahasiswa
saya dalam Praktik Lapangannya ketika ia berkunjung ke sebuah klub khusus
gay. Orang itu mengaku bahwa ia mempunyai istri dan anak di Yogya, tapi
setiap kali ke Jakarta, ia pasti datang ke klub itu.
Di AS saya bertemu dengan seorang ibu lanjut usia yang aktif dalam
gerakan PFLAG (Parents, Friends, and Families of Lesbian and Gay). Ia punya
suami dan anak-anak. Saya bertanya kepada seorang teman, mengapa ia begitu
aktif? Katanya, ibu itu dulu mempunyai suami yang lain. Suatu kali suaminya
berkata bahwa ia harus bercerai karena ia sadar bahwa ternyata ia seorang
gay. Ibu itu terkejut luar biasa, dan memohon agar mereka tidak bercerai.
"Kamu boleh melakukan apa saja dengan pacar kamu yang gay itu, asal jangan
menceraikan saya," katanya. Suaminya menjawab, "Tapi itu tidak fair. Saya
tidak mau mengkhianati kamu. Bercerai jauh lebih baik." Akhirnya mereka
bercerai, namun karena ibu itu sebetulnya tetap mencintai bekas suaminya
dan menghargai kejujurannya, ia pun menjadi aktif dalam organisasi itu.
Memang, hubungan homoseksual bisa menjadi sebuah pilihan, khususnya
ketika hubungan heteroseksual sangat sulit didapat. Hal ini misalnya banyak
terjadi di penjara, pesantren, seminari, dll. Hubungan ini disebut LSL
(atau MSM, man having sex with man). Dalam hubungan ini termasuk pula
hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang waria. Sementara pakar
lain mungkin akan menggolongkan hubungan laki-laki dengan waria sebagai
hubungan heteroseksual karena si laki-laki membayangkan sang waria itu
sebagai perempuan.
Para pakar membedakan antara perilaku seksual dengan orientasi
seksual. Apa yang terjadi di tempat-tempat tadi hanyalah perilaku seksual
yang bisa saja hilang atau ditinggalkan apabila orang yang bersangkutan
mendapatkan kesempatan lain untuk menyalurkan hasrat seksualnya.
Heteronormativitas
Dunia yang kita kenal umumnya adalah dunia yang menganut
heteronormativitas. Artinya, heteroseksualitas dijadikan norma yang harus
diberlakukan dan ditaati oleh semua orang, apapun juga orientasi seksual
dan identitas serta ekspresi gender mereka. Kisah Kejadian 1:27 yang
menyatakan, "… menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka."
Penjelasan seperti ini membuat orang percaya bahwa tidak ada jenis
kelamin lain di dunia. Ayat ini bukanlah penjelasan ilmu biologi ataupun
ilmu psikologi. Dibandingkan dengan ayat Alkitab ini yang ditulis pada masa
sekitar 500 seb.M. jelas berbeda dengan realitas yang kita lihat pada masa
kini di abad XXI. Sekarang kita mengenal laki-laki, perempuan, dan waria.
Ada pula gay dan lesbian yang tidak cocok dengan perintah Allah dalam Kej.
1:28, "Beranakcuculah dan bertambah banyak…" Mereka bertanya-tanya,
bagaimana kaum gay dan lesbian bisa memenuhi perintah ini, sebab mereka
tidak mungkin bereproduksi?
Pertanyaan seperti ini mungkin tidak begitu relevan lagi sekarang,
sebab dengan kemajuan teknologi bio-medis orang bisa mendapatkan keturunan
melalui bayi tabung, atau yang sejenisnya. Namun, untuk memahami lebih jauh
soal kehadiran waria dan lain-lain, baiklah kita melihat bagaimana ilmu
pengetahuan sekarang memahami seksualitas manusia dan identitas gender.
SOGIE (Sexual Orientation, Gender Identity and Expression)
Para pakar kini membuat pemilah-milahan antara orientasi seksual dan
perilaku seksual. Mereka juga membedakan antara seksualitas dan gender.
Dengan "seksualitas" kita membedakan antara "laki-laki" dan "perempuan".
Orang yang mempunyai penis disebut laki-laki, sementara yang mempunyai
vagina disebut perempuan.
Orientasi seksual seseorang bisa heteroseksual, homoseksual, atau pun
a-seksual. Heteroseksual adalah orientasi seksual yang terarah kepada lawan
jenis, sementara homoseksual adalah orientasi seksual kepada sesama jenis.
A-seksual adalah orang yang tidak mempunyai orientasi seksual apapun,
seperti yang terjadi tahun 2012 lalu di Jepang, ketika seorang juru masak
Jepang, Mao Sugiyama, menawarkan menu berupa genitalnya yang dipotong lewat
operasi dan kemudian disajikannya menjadi 6 porsi kepada tamu-tamu yang
bersedia membayar 100,000 yen per porsi. Dari 6 tamu yang mendaftar, 5
orang yang muncul.[3]
Gender identity dan gender expression adalah hal-hal yang berbeda
dengan seksualitas. Dengan identitas dan ekspresi kita mengenal "maskulin"
dan "feminin". Seorang laki-laki bisa saja mengambil identitas sebagai
seorang feminin, dan seorang perempuan maskulin. Seorang laki-laki yang
feminin bisa jadi seorang waria (transgender M to F), atau tetap menjadi
seorang yang heteroseksual. Seorang perempuan yang maskulin bisa jadi
seorang priawan (transgender F to M). Mengambil identitas gender berbeda
dengan mengekspresikan gender tersebut. Ada laki-laki yang sebetulnya
mempunyai kecenderungan feminin namun ia tidak mengekspresikan
kecenderungan itu. Mungkin ia suka dandan, mengenakan pakaian perempuan,
mengenakan make-up, tapi kalau ia hanya bersembunyi di rumahnya saja, maka
ia tidak dikenal sebagai waria, dan mungkin sekali tidak pernah menjadi
seorang transgender.
Seorang biseksual adalah orang yang menyukai kedua orientasi seksual
-- hetero maupun homoseksual. Ia bisa jadi seorang perempuan yang bersuami
atau laki-laki yang beristri, namun tetap merasa nyaman dengan menjalin
hubungan dengan pasangan sejenisnya. Seorang biseksual bisa saja seorang
yang monogami, dalam arti walaupun ia mempunyai orientasi biseksual, ia
tidak mempraktikkannya dalam hidupnya. Seorang biseksual lainnya mungkin
saja seorang yang poligami (poliamory).
Ada lagi intersex, yaitu seseorang yang dilahirkan tanpa kejelasan
jenis kelaminnya. Ia mungkin mempunyai sebuah penis yang terhambat
pertumbuhannya, sehingga dokter atau bidan yang menolongnya lahir
menyangkanya sebagai klitoris, dan menyatakan bayi itu sebagai perempuan.
Hal yang sebaliknya bisa terjadi. Kasus Alterina Hofan pada tahun 2010
mengingatkan kita akan kemungkinan bahwa identitas laki-laki dan perempuan
itu ternyata tidaklah sesederhana yang kita pahami selama ini.[4]
Queer adalah istilah yang digunakan bagi orang yang menolak untuk
dikategorikan dalam kelompok manapun, atau yang merasa orientasi seksualnya
cair. Hari ini ia merasa sebagai seorang perempuan yang heteroseksual,
namun suatu kali mungkin ia memutuskan untuk tidak menanggapi nafsu
seksualnya (menjadi a-seksual), dll.
Semua ini menunjukkan bahwa seksualitas seseorang ternyata tidak
mudah ditentukan. Seorang teman yang saya jumpai di AS pernah menceritakan
pengalamannya ketika ia merasa bahwa ia lesbian. Ia pun bergabung dengan
teman-temannya yang lesbian dan bergaul bersama mereka selama bertahun-
tahun. Namun perlahan-lahan ia merasakan ada yang aneh dalam dirinya. Ia
mulai menyadari bahwa ternyata ia pun tertarik kepada laki-laki. Karena itu
akhirnya ia mengakui dirinya sebagai biseksual. Hal ini membuat marah teman-
teman lesbiannya, yang menganggapnya sebagai pengkhianat.
Kasus Chastity Bono, anak penyanyi Cher Sarkasian dan Sonny Bono
mungkin akan membuat kita semakin bingung. Pada usia 13 tahun ia mulai
menyadari bahwa ia berbeda dengan teman-temannya yang lain. Ia memiliki
ketertarikan terhadap perempuan. Pada usia 18 tahun ia mengaku kepada kedua
orangtuanya bahwa ia seorang lesbian. Ia pun berpacaran dan mempunyai
kekasih. Namun pada tahun 1995, di usianya yang ke-26 tahun, dia coming out
sebagai seorang transgender. Pada tahun 2008-2010, ia menjalani prosedur
perubahan kelamin menjadi laki-laki dan mengubah namanya menjadi Chaz
Salvatore Bono. [5]
Born This Way
Lagu "Born This Way" oleh Lady Gaga adalah salah satu lagu favorit di
kalangan kaum LGBTIQ. Matthew Shepard, Gwen Araujo, adalah contoh-contoh
tentang orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan
norma-norma masyarakat umumnya (heteronormativitas). Karena itulah Shepard,
seorang gay, dan Araujo, seorang transgender, dibunuh. [6] Cap LGBTIQ telah
membuat mereka tidak layak menjadi manusia. Andaikata mereka tidak pernah
menunjukkan jati diri mereka sebagai gay, lesbian, transender, dll.
kemungkinan besar mereka akan tetap selamat.
Orang lain merasa takut untuk menyatakan orientasi seksual dan
identitas dan ekspresi gendernya karena mereka bisa kehilangan teman-
temannya, pekerjaannya, jabatannya. Seorang alumnus STT Jakarta beberapa
tahun yang lalu didesak oleh pendeta mentornya ketika ia menjalani proses
vikariatnya. Sebagai seorang calon pendeta, alumnus itu merasa ia perlu
bersikap jujur. Karena itulah ia dengan terus-terang mengakui bahwa ia
seorang gay.
Pengakuannya ini mengejutkan mentornya, sehingga ia akhirnya secara
halus didesak untuk mundur. Andaikata ia tidak berterus-terang, andaikata
ia berbohong dan menyembunyikan orientasi seksualnya dan identitas dan
ekspresi gendernya, kemungkinan besar ia akan selamat dan sudah ditahbiskan
sebagai pendeta. Rupanya ungkapan "Honesty is the best policy" tidak selalu
benar. Ada kalanya orang harus berbohong demi menyelamatkan masa depannya.
Dan tampaknya gereja-gereja kita lebih menyukai orang yang berbohong
daripada yang mengungkapkan kebenaran.
Memahami Teks-teks Alkitab yang Homofobik [7]
Dari sekian puluh ribu ayat Alkitab hanya ada sekitar 7 perikop yang
menyatakan bahwa homoseksualitas dilarang. Teks-teks itu adalah: Kejadian
19 tentang hukuman atas Sodom dan Gomora, Imamat 18:22, 20:13 tentang laki-
laki yang tidur dengan laki-laki, Roma 1:26-27 tentang persetubuhan yang
tidak wajar, Yudas 1:7 tentang mengejar kepuasan yang tidak wajar, I
Korintus 6:9-10 tentang orang sesat tidak akan mendapat bagian dalam
kerajaan Allah dan I Timotius 1:3-11 tentang ajaran sesat. Sementara itu
ada 24 ayat yang memerintahkan "kasihilah", 128 ayat yang berisi kata
"mengasihi", dan 295 yang berisi kata "kasih". Jadi, jelas ayat-ayat yang
berbicara tentang kasih dan mengasihi jauh lebih banyak daripada ayat-ayat
yang mengajarkan kebencian kepada orang-orang LGBT.
Kisah Sodom dan Gomora (Kej. 19) menggambarkan bagaimana "orang-orang
lelaki dari kota Sodom itu, dari yang muda sampai yang tua, bahkan seluruh
kota, tidak ada yang terkecuali, datang mengepung rumah itu" menyerbu rumah
Lot dan menuntut agar Lot menyerahkan tamu-tamunya untuk mereka "pakai".
Apakah artinya ini? Apakah "seluruh kota Sodom" itu homoseksual?
Kenyataannya, ada orang tua, tapi juga ada orang muda. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka tampaknya bereproduksi, dan biasa mengadakan hubungan
heteroseksual. Karena itu para pakar umumnya menyimpulkan bahwa tindakan
orang-orang Sodom ini sebetulnya adalah pemerkosaan massal dan upaya untuk
melecehkan bahkan menunjukkan kepada para tamu itu, siapa yang sesungguhnya
berkuasa di kota itu. Bandingkan dengan kebiasaan seorang "raja" di sel
penjara untuk memperkosa seorang tahanan baru, untuk menunjukkan siapa yang
harus ia taati. Atau praktik pemerkosaan massal dalam perang (Perang Teluk,
Konflik di Suriah, Perang Bosnia, Tragedi Mei 1998, dll.).
Ayat-ayat lain dalam Perjanjian Lama yang berkaitan dengan Sodom sama
sekali tidak menyebut-nyebut kejahatan seksual penduduk kota itu.
Sebaliknya, ayat-ayat itu menunjukkan bahwa kejahatan penduduk Sodom adalah
perzinahan, ketidakjujuran, ketidakpedulian terhadap orang-orang sengsara
dan miskin.
Yeremia 23:14
"Tetapi di kalangan para nabi Yerusalem Aku melihat ada yang
mengerikan: mereka berzinah dan berkelakuan tidak jujur; mereka
menguatkan hati orang-orang yang berbuat jahat, sehingga tidak ada
seorang pun yang bertobat dari kejahatannya; semuanya mereka telah
menjadi seperti Sodom bagi-Ku dan penduduknya seperti Gomora."
Yehezkiel 16:49
Lihat, inilah kesalahan Sodom, kakakmu yang termuda itu: kecongkakan,
makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan
pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang-orang
sengsara dan miskin.
Ayat-ayat ini tidak pernah dikutip oleh tafsiran-tafsiran yang menyerang
LGBTIQ karena memang tidak mendukung upaya itu.
Imamat 18:22
Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan
perempuan, karena itu suatu kekejian.
Imamat 20:13
Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh
dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah
mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.
Kedua ayat di atas seringkali dikutip oleh mereka yang menentang
LGBTIQ, tanpa memperhatikan konteks dan zaman ketika ayat-ayat tersebut
ditulis. Israel sedang berusaha menegaskan identitas mereka, dan karena itu
mereka melarang bangsanya melakukan hal-hal yang banyak dilakukan bangsa-
bangsa lain di sekitar Israel.
Yang menarik, walaupun kedua ayat ini sering dikutip, umumnya orang
justru melanggar ayat-ayat lain dalam Kitab Imamat yang jelas-jelas
melarang orang Kristen makan babi (11:7), makan ikan yang tidak bersisik,
makan udang, lobster, kepiting. Atau bagaimana dengan aturan ini, "Kamu
harus berpegang kepada ketetapan-Ku. Janganlah kawinkan dua jenis ternak
dan janganlah taburi ladangmu dengan dua jenis benih, dan janganlah pakai
pakaian yang dibuat dari pada dua jenis bahan." (Im. 19:19)?
Mereka yang bersikeras bahwa aturan-aturan di atas tidak berlaku lagi
akan mengatakan, "Kita sekarang hidup di masa Perjanjian Baru, sehingga
ayat-ayat tadi tidak berlaku lagi." Tapi bagaimana dengan ayat-ayat Im.
18:22; 20:13?
Roma 1:26-27
26 Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang
memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang
wajar dengan yang tak wajar.
27 Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar
dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang
terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki
dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka
balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.
Barangkali inilah satu-satunya ayat yang menyinggung praktik
lesbianisme di masa Alkitab. Ayat ini diawali dengan kata "Karena itu…."
Apa maksud ayat-ayat ini? Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa hubungan
homoseksual adalah "akibat", bukan "sebab". Hubungan itu adalah
konsekuensi, atau "balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka".
Konsekuensi apa? Penjelasannya kita peroleh dalam ay. 25, yaitu "Sebab
mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah
makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya,
amin."
Jadi ayat ini sebetulnya mengkritik praktik-praktik penyembahan
berhala orang-orang Kristen di Roma. Ayat-ayat ini bukanlah peringatan
untuk menghindari hubungan homoseksual, melainkan menjelaskan bagaimana
hubungan itu bisa terjadi. Lalu, pertanyaannya, apakah benar kaum
homoseksual itu adalah penyembah-penyembah berhala? Pada kenyataannya
sekarang kita menemukan banyak sekali pendeta gay dan lesbian. Bahkan di
Amerika Serikat terbit "The Queer Bible Commentary", yaitu tafsir Alkitab
yang ditulis dari perspektif queer, dari para pakar Alkitab yang umumnya
adalah LGBTIQ. Banyak dari mereka adalah dosen-dosen yang mengajar di
perguruan-perguruan tinggi teologi terkemuka di seluruh dunia, seperti
Universitas Edinburgh, Episcopal Divinity School, Universitas Monash,
Universitas Queensland, Christian Theological Seminary, Reconstructionist
Rabbinical College, Southwestern Theological Seminary, Chicago Theological
Seminary, dll. Mereka sangat serius dengan iman dan keilmuan mereka.
Yudas 1:7
sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan
cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan
yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan
kepada semua orang.
Yang dimaksudkan dengan "mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar"
di sini adalah kepuasan yang diperoleh orang-orang Sodom dan Gomora yang
melakukan hubungan seksual dengan "sarkos heteras" atau "tubuh yang asing".
Apakah yang dimaksudkan dengan "tubuh yang asing" di sini? Tampaknya
penulis Surat Yudas ingin menggambarkan bahwa orang-orang Sodom memahami
bahwa para malaikat itu adalah orang-orang asing, sehingga mereka ingin
menikmati tubuh mereka. Jadi, ayat ini tidak merujuk kepada kasus
homoseksualitas. Hal yang sama dapat kita temukan dalam selera orang-orang
kulit putih terhadap para pekerja seks di Thailand atau Filipina yang
mereka sebut sebagai "little brown f……g machines", atau orang-orang
Indonesia yang mencari pekerja seks barat, Uzbekistan, atau Tiongkok.
1 Korintus 6:9-10
9 Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak
akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang
cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit,
10 pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan
mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.
1 Timotius 1:10
bagi orang cabul dan pemburit, bagi penculik, bagi pendusta, bagi
orang makan sumpah dan seterusnya segala sesuatu yang bertentangan
dengan ajaran sehat
Dalam 1 Kor. 6:9 dan 1 Tim. 1:10 kita menemukan kata banci dan orang
pemburit. Dalam bahasa Yunani kedua kata yang digunakan Paulus adalah
malaikoi dan arsenokoitai
Kata arsenokoitai diterjemahkan menjadi "sodomites" (KJV),
"homosexuals," (NASB); "homosexual perversion," (NEB); "homosexual
offenders," (NIV). Sementara itu, kata "homosexual" sendiri baru muncul
pada abad ke-19 oleh seorang psikolog Jerman, Karoly Maria Benkert.
Pertanyaannya, apakah arsenokoitai sama dengan homoseksualitas yang kita
kenal di masa kini? Mengapa Paulus menggunakan kata yang tampaknya ia
ciptakan sendiri untuk menggambarkan sebuah situasi, sementara untuk
hubungan sesama jenis antara dua orang laki-laki pada waktu itu sudah
dikenal kata yang lebih umum, yaitu "paidarastes". Mengingat konteks jemaat
Korintus pada waktu itu yang terkenal dengan penyembahan berhala dan
praktik pelacuran kuil, banyak penafsir yang meyakini bahwa kata
arsenokoitai ini memang berkaitan dengan praktik-raktik tersebut.
Zinah dalam pemahaman Israel seringkali dihubungkan dengan
penyelewengan Israel dalam ibadahnya (bdk. Gomer dalam Hos. 1, dan dua
bersaudara Ohola-Oholiba dalam Yeh. 23:4 dyb.). Cahill menyatakan bahwa
Septuaginta menerjemahkan kata qadesh dalam 1 Raj. 14:24; 15:12 dan 22:46
dengan kata syndesmos yang artinya sesungguhnya adalah "bersatu" atau
"bonding", namun dalam Septuaginta, kata ini merujuk kepada pelacuran bakti
di kuil-kuil. Terjemahan itu pula yang kini digunakan dalam berbagai versi
Alkitab bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia.[8] Namun dalam KJV kata
tersebut diterjemahkan menjadi sodomites.
Pada masa Martin Luther arsenokoitai diterjemahkan dengan
Knabenschänder,[9] yang artinya mungkin lebih dekat dengan "pedofil", namun
di masa kini, sejak tahun 1946 ketika RSV diterbitkan, kata itu
diterjemahkan menjadi "homoseksual". Ini jelas sangat jauh berbeda dengan
maksud ayat itu yang sesungguhnya. Dan kalau kita bandingkan dengan 1
Korintus 6, tampaknya ada alasan yang kuat bagi Paulus untuk menempatkan
kata arsenokoitai setelah banci dan zinah.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa arsenokoitai yang dibahas
dalam 1 Korintus tidaklah sama dengan homoseksualitas yang kita kenal pada
masa kini, yaitu hubungan dua orang sejenis dalam hubungan cinta kasih.
Ketika beberapa negara bagian di AS mengumumkan pengakuannya terhadap
pernikahan LGBTIQ, banyak pasangan yang kemudian meresmikan pernikahan
mereka . Richard Dorr (84 tahun) dan John Mace (91 tahun) menunggu 61 tahun
untuk mendapatkan pengesahan dan pengakuan negara untuk kehidupan mereka
sebagai sebuah pasangan.[10] Semua itu terpaksa mereka lakukan karena
negara (dan juga bereja) tidak membeirkan pengakuannya kepada mereka.
Lalu bagaimana dengan banci? Apakah ini sama dengan waria yang kita
kenal sekarang? Tampaknya berbeda. Kata yang digunakan di sini adalah
malakoi, yang merujuk kepada laki-laki yang lembek, atau kemayu,
keperempuan-perempuanan. Di atas saya sudah menyinggung bahwa orientasi
seksual tidak selalu sama dengan identitas dan ekspresi gender. Seseorang
yang keperempuan-perempuanan tidak otomatis adalah seorang waria – seperti
yang dapat kita saksikan dalam diri seorang dokter terkenal yang sering
muncul di layar TV kita. Dengan kata lain, malakoi tidak menunjuk kepada
perempuan yang merasa terjebak dalam tubuh laki-laki. Kemungkinan malakoi
adalah orang-orang yang menyediakan diri sebagai pelacur kuil di Korintus
yang menjadi pasangan arsenokoitai dalam aktivitas ibadahnya.
Di sini kita bisa melihat bagaimana penerjemahan seringkali
dipengaruhi oleh agenda si penerjemah sendiri. Tepatlah yang dikatakan oleh
pepatah Italia, "traduttore, tradittore" atau "menerjemahkan berarti
mengkhianati".
Greg Carey, professor Perjanjian Baru di Lancaster Theological
Seminary, mengatakan bahwa seringkali kita begitu saja menganggap bahwa
Alkitab mengajarkan segala sesuatu kepada kita, termasuk hal-hal yang
menyangkut homoseksualitas. Kita merasa yakin bahwa teks-teks yang
disebutkan di atas dengan tegas mengutuk hubungan seks antara sesama enis,
sementara kita tidak mengatakan apa-apa tentang Daud yang mengatakan bahwa
cinta Yonatan "lebih ajaib dari pada cinta perempuan" (2 Sam. 1:26). Carey
juga mengatakan bahwa kita menggunakan standar ganda, yaitu memberlakukan
teks-teks yang berkaitan dengan homoseksualitas, namun mengabaikan perintah
agar korban pemerkosaan menikah dengan pemerkosanya (Ul. 22:28-29), atau
soal perceraian (Mrk. 10:2-12), dll.[11]
Mujizat penyembuhan
Orang Kristen percaya bahwa Kristus berkuasa untuk menyembuhkan, dan
bahwa mujizat itu masih terus terjadi hingga sekarang. Keyakinan ini
tampaknya telah mendorong sejumlah orang yang dengan aktif berusaha
"menyembuhkan" kaum LGBTIQ. Di Amerika Serikat terkenal Exodus
International dan Living Waters Australia berusaha "meluruskan" gay dan
lesbian. Namun pada 19 Juni 2013, Alan Chambers, presiden Exodus
International, mengumumkan pembubaran organisasi ini setelah pemungutan
suara yang disetujui secara bulat. Chambers menyatakan,[12]
Saya menyesal atas kepedihan dan penderitaan yang anda semua alami.
Saya meminta maaf karena beberapa di antara anda telah bertahuan-tahun
mengalami rasa malu dan bersalah ketika ketertarikan anda tidak
berubah. Saya menyesal bahwa kami telah mempromosikan usaha-usaha
perubahan orientasi seksual dan teori-teori tentang orientasi seksual
yang men-stigmatisasikan para orangtua.
Pada 24 Maret 2014, Living Waters Australia juga menyatakan akan
membubarkan diri pada akhir Juni tahun 2014 ini.[13] Living Waters
Australia adalah "penyembuhan " gay dan lesbian terbesar di Australia.
Menurut Ron Brookman, ketua organisasi ini, Living Waters Australia ditutup
karena "perubahan dalam gereja dan budaya Kristen selama dasawarsa
terakhir, defisiensi dalam kepemimpinannya, dan kebijaksanaan dalam
mengubah strategi dalam menghadirkan kesembuhan kepada mereka yang
terluka."
Jadi masih adakah mujizat yang bisa terjadi dalam menghadapi kasus
LGBTIQ di gereja-gereja kita? Saya teringat akan peristiwa Yesus yang
member makan kepada 5,000 orang (Mrk. 6:34 dyb.; Yoh. 6:1 dyb). Banyak
penafsir yang mengatakan bahwa mujizat yang terjadi bukanlah dalam bentuk
multiplikasi lima roti dan dua ikan itu, sebab pada masa itu ada kebiasaan
bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan tentu akan membawa bekalnya
masing-masing. Jadi, tidak mungkin kalau sampai 5,000 orang (dan itu baru
yang laki-laki saja) itu ternyata tidak mempunyai makanan sedikit pun.
Yohanes menambahkan dalam kisah ini peranan seorang anak kecil yang
menghadap ke Yesus dan menyerahkan lima ketul rotinya bersama dua ekor ikan
bekalnya. Lalu para penafsir mengatakan bahwa mujizat yang terjadi adalah
ketika orang-orang itu merasa ditegur oleh Yesus dan kemudian masing-masing
pun mengeluarkan bekalnya, sehingga tidak terjadi lagi kekurangan makanan.
Orang mungkin mengatakan, masa begitu saja menjadi mujizat? Kalau ada yang
bertanya seperti itu, coba pikirkan bagaimana dengan dunia pada saat ini,
ketika ada sebagian orang yang kelaparan sampaii mati, sementara di
berbagai tempat dan negara lain di dunia makanan dibuang-buang hingga
mencapai US$750 miliar per tahunnya.[14]
Dalam hal yang sama saya pikir dibutuhkan sebuah mujizat untuk
mengubah orang-orang dan gereja-gereja yang homofobik untuk membuka diri
dan menerima kehadiran dan keberadaan kaum LGBTIQ. Banyak orang yang
mengatakan, "Kami menerima orangnya, tetapi tidak bisa menyetujui dosanya."
Masalahnya, apakah memang menjadi LGBTIQ itu sebuah dosa? Apakah kalau
orang dilahirkan sebagai LGBTIQ dan tidak bisa mengubah orientasi seksual
dan identitas dan ekspresi gendernya, maka ia berdosa? Bukankah penolakan
terhadap LGBTIQ itu sendiri adalah dosa?
Patrick S. Cheng, seorang teolog Queer dari Boston, AS,mengatakan,
justru berdosa apabila seorang gay atau lesbian atau transgender yang
merasa malu dan menyangkal keberadaannya sebagai gay, lesbian, dan
transgender.[15] Adalah berdosa bila ia menyangkal bahwa Allah telah
menciptakannya seperti itu, dan kemudian berusaha keras untuk mengubahnya
dengan berbagai cara termasuk doa dan puasa. Pada kenyataannya, pendekatan
seperti itu – seperti yang dilakukan oleh Exodus Internatonal dan Living
Waters Australia – justru menimbulkan banyak sekali kerusakan. Ada banyak
LGBTIQ yang ikut serta dalam program-program Exodus International dan
Living Waters Australia yang merasa frustrasi, diliputi dosa, dan akhirnya
bunuh diri. Menurut statistik di berbagai negara di Barat, kematian karena
bunuh diri di kalangan LGBTIQ sangat tinggi. Sebuah penelitian di AS yang
sudah agak ketinggalan, "Sexual Identity, Sex of Sexual Contacts, and
Health-Risk Behaviors Among Students in Grades 9-12: Youth Risk Behavior
Surveillance.", yang terbit pada 1989, menunjukkan bahwa remaja/pemuda
LGBTIQ empat kali lebih tinggi kemungkinannya untuk mencoba bunuh diri
dibandingkan dari orang muda lainnya.[16]
Penutup
Saya ingin menutup makalah ini dengan sebuah kisah tentang perjumpaan
saya dengan seorang pemuda di sebuah gereja sekitar lima tahun yang lalu.
Saat itu saya diundang berbicara di gereja itu tentang isu LGBTIQ untuk
pemuda. Di situ saya melihat seorang pemuda yang hadir dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat cerdas. Saya pikir orang ini pandai dan
tahu banyak.
Sekitar dua minggu setelah perjumpaan itu, saya menerima sebuah surat
dari pemuda itu. Isinya curhat tentang pengalaman hidupnya sebagai seorang
gay. Ia bercerita bahwa ia sudah sembilan kali dikirim ayahnya ke rumah
sakit jiwa untuk disembuhkan. Ia pernah beberapa kali meminta kepada dokter
agar ia dikebiri saja. Semua itu terjadi karena ia selalu merasa dikejar-
kejar perasaan bersalah karena ia seorang gay. Ia bercerita tentang
pendamping pemuda dan pendeta di gerejanya yang berulang kali mencoba
meyakinkan dia bahwa dia pasti bisa "sembuh" kalau saja dia mau sungguh-
sungguh berdoa dan memohon kepada Tuhan. Dan surat itu panjangnya sekitar
120 hlm. Dari situ kita bisa membayangkan betapa dalamnya pergumulan yang
dihadapi pemuda ini.
Saya mengatakan kepada pemuda tersebut dalam surat balasan saya,
"Kamu tidak apa-apa. Kamu tidak bersalah. Kamu tidak perlu merasa dikejar-
kejar dosa karena orientasi seksual kamu sebagai gay. Yang salah adalah
gereja dan pembimbing pemuda kamu yang mengajarkan dan mencoba meyakinkan
kamu bahwa kamu bisa "sembuh" dan berubah menjadi seorang heteroseksual.
Terimalah dirimu sendiri sebagaimana Allah telah menciptakan kamu."
Saya sungguh bergembira bahwa Sinode GPIB berusaha mengangkat isu
inii dan mencoba meninjau kembali Aktanya yang dirumuskan hampir 20 tahun
yang lalu. Dunia sedang berubah, dan perubahannya sangat dahsyat. Karena
itu saya berharap bahwa GPIB memahami arah perubahan ini, dan menyadari
bahwa ini adalah kehendak Allah, dan bahwa untuk menjadi gereja yang benar-
benar terbuka, GPIB bisa memberitakan kabar sukacita kepada kaum LGBTIQ
dengan mengatakan yang sama dengan apa yang Yesus pernah katakan, "Lazarus,
marilah ke luar!" Ini adalah panggilan agar kaum LGBTIQ keluar dari tempat
persembunyiannya, dari kematiannya, ke dalam kehidupan.
Akhirnya, izinkan saya mengutip kata-kata dari Dan Clendenin dalam
renungannya atas kisah perjumpaan para murid dengan Yesus dalam perjalanan
ke Emaus, bacaan yang menjadi teks hari Minggu Paskah ketiga dalam Revised
Common Lectionary, Minggu 4 Mei 2014 yang dipakai oleh banyak gereja di
seluruh dunia, termasuk GKI:
The Emmaus disciples were blinded by their mistaken expectations about
what God was doing in Jesus. The relentless and powerful lies of
culture blind us to God's presence. Our family of origin shapes us in
ways known and unknown, both good and bad. Geography shapes us by the
power of place, and church by appeals to divine authority.
For many years I was blind to an empirical truth that's as obvious as
the nose on my face, namely, that there are millions of gay Christians
who confess Jesus as Lord, love God's people, and serve his church.
The gay teenage son of my pastor taught me this many years ago; I'm
just sorry it took so long to learn the lesson. Later, the
transgendering teenager of other church friends further opened my
eyes. Finally, one Sunday in church while I was taking the eucharist,
I experienced an acute sense of several gay people near me who were
making our ancient Christian confession: "Jesus is Lord."[17]
Jakarta, 1 Mei 2014
Rujukan
"Die Bücher der Bibel" online, diunduh 29 April 2014.
Cahill, Paul Thomas. "An investigation into the Bible and homosexuality,"
dalam http://whgln.blogspot.com/, diunduh 30 April 2013.
Cheng, Patrick S. From Sin to Amazing Grace. New York: Seabury Books, 2012.
Clendenin, Dan. "The Road to Emmaus: 'What Happened on the Way'", 2 Mei
2011, dalam
http://www.journeywithjesus.net/Essays/20110502JJ.shtml, diunduh 1
Mei 2014.
CNN. "NY Gay Couple Waiting 61 Years To Marry," dalam
http://www.youtube.com/watch?v=B237YJBK_Tw, diunduh 30 April 2014.
CTV News. "How an Oklahoma dentist may have exposed 7,000 patients to HIV,
hepatitis", 29 Maret 2013, http://www.ctvnews.ca/health/health-
headlines/how-an-oklahoma-dentist-may-have-exposed-7-000-patients-
to-hiv-hepatitis-1.1216320, diunduh 26 September 2013.
GayStarNews. "Australia's largest 'ex-gay' ministry announces it will close
down," 19 Maret 2014,
http://www.gaystarnews.com/article/australia%E2%80%99s-largest-
%E2%80%98ex-gay%E2%80%99-ministry-announces-it-will-close-
down190314, diunduh pada 4 April 2014.
Huffington Post. "Mao Sugiyama Cooks, Serves Own Genitals At Banquet In
Tokyo," 24 Mei 2012,
http://www.huffingtonpost.com/2012/05/24/asexual-mao-sugiyama-cooks-
serves-own-genitals_n_1543307.html, diunduh 28 April 2014.
HuffingtonPost, "Chaz Bono's Name & Gender Request Goes To Judge", 29 Maret
2010, http://www.huffingtonpost.com/2010/03/29/chaz-bono-changes-
his-nam_n_517332.html, diunduh 29 April 2014.
Kompas. "Caroline Sempat 41 tahun Menjadi Lelaki", 28 Februari, 2012,
http://health.kompas.com/read/2012/02/28/1421116/Caroline.Sempat.41.
Tahun.Menjadi.Lelaki, diunduh pada 29 April 2014.
Metronews. "Alterina Hofan Bebas", 23 November 2010,
http://metro.news.viva.co.id/news/read/190193-alterina-hofan-bebas--
tepuk-tangan-bergemuruh, diunduh pada 29 April 2014.
MetroWeekly. "'Ex-gay' ministry apologizes to LGBT community, shuts down",
20 Juni 2013. http://www.metroweekly.com/poliglot/2013/06/ex-gay-
ministry-apologizes-to-lgbt-community-shuts.html, diunduh 4 April
2014.
Robinson, B.A. "Same gender sexual behavior in the Christian Scriptures:
The 'clobber passages'." Ontario Consultants on Religious
Tolerance, 2011, dalam
http://www.religioustolerance.org/homarsen.htm,diunduh pada 24
April 2014.
U.S. Department of Health and Human Services. "Sexual Identity, Sex of
Sexual Contacts, and Health-Risk Behaviors Among Students in Grades
9-12: Youth Risk Behavior Surveillance." Dikutip dalam Suicide
Prevention Resources: Facts about Suicide,
http://www.thetrevorproject.org/pages/facts-about-suicide, diunduh
1 Mei 2014.
USA Today. "Slaying of transgender boy haunts city",
http://usatoday30.usatoday.com/news/nation/2002-10-20-
hatecrime_x.htm, diunduh pada 29 April 2014.
-----------------------
[1] Makalah ini disampaikan pada Konsultasi Teologi MS GPIB di Wisma
Kinasih II, Cibinong, 2 Mei 2014. Penulis adalah dosen dan koordinator P3M
STT Jakarta.
[2] "How an Oklahoma dentist may have exposed 7,000 patients to HIV,
hepatitis", dari CTV News, http://www.ctvnews.ca/health/health-
headlines/how-an-oklahoma-dentist-may-have-exposed-7-000-patients-to-hiv-
hepatitis-1.1216320, diunduh 26 September 2013.
[3] "Mao Sugiyama Cooks, Serves Own Genitals At Banquet In Tokyo,"
Huffington Post, 24 Mei 2012,
http://www.huffingtonpost.com/2012/05/24/asexual-mao-sugiyama-cooks-serves-
own-genitals_n_1543307.html, diunduh 28 April 2014.
[4] "Alterina Hofan Bebas", dalam Metronews, 23 November 2010,
http://metro.news.viva.co.id/news/read/190193-alterina-hofan-bebas--tepuk-
tangan-bergemuruh, diunduh pada 29 April 2014. Lih. pula "Caroline Sempat
41 tahun Menjadi Lelaki", dalam Kompas, 28 Februari, 2012,
http://health.kompas.com/read/2012/02/28/1421116/Caroline.Sempat.41.Tahun.Me
njadi.Lelaki, diunduh pada 29 April 2014.
[5] "Chaz Bono's Name & Gender Request Goes To Judge", dalam
HuffingtonPost, 29 Maret 2010,
http://www.huffingtonpost.com/2010/03/29/chaz-bono-changes-his-
nam_n_517332.html, diunduh 29 April 2014.
[6] "Slaying of transgender boy haunts city", USA Today,
http://usatoday30.usatoday.com/news/nation/2002-10-20-hatecrime_x.htm ,
diunduh pada 29 April 2014.
[7] Bagian ini dibuat berdasarkan B.A. Robinson, "Same gender sexual
behavior in the Christian Scriptures: The 'clobber passages'." Ontario
Consultants on Religious Tolerance, 2011, dalam
http://www.religioustolerance.org/homarsen.htm, diunduh 24 April 2014.
[8] Paul Thomas Cahill, "An investigation into the Bible and
homosexuality," dalam http://whgln.blogspot.com/, diunduh 30 April 2013.
[9] "Die Bücher der Bibel" online, diunduh 29 April 2014.
[10] "NY Gay Couple Waiting 61 Years To Marry," CNN, dalam
http://www.youtube.com/watch?v=B237YJBK_Tw, diunduh 30 April 2014.
[11] Greg Carey, "Christians Who Are Against LGBT Misuse The Bible", dalam
HuffingtonPost, 11 Agustus 2012, diunduh 1 Mei 2014.
[12] "'Ex-gay' ministry apologizes to LGBT community, shuts down".
MetroWeekly, 20 Juni 2013. http://www.metroweekly.com/poliglot/2013/06/ex-
gay-ministry-apologizes-to-lgbt-community-shuts.html, diunduh 4 April 2014.
[13] "Australia's largest 'ex-gay' ministry announces it will close down,"
GayStarNews, 19 Maret 2014,
http://www.gaystarnews.com/article/australia%E2%80%99s-largest-%E2%80%98ex-
gay%E2%80%99-ministry-announces-it-will-close-down190314, diunduh pada 4
April 2014.
[14] "Guess how much food is wasted around the world?" dalam Sydney Morning
Herald, 11 September 2011, http://www.smh.com.au/world/guess-how-much-food-
is-wasted-around-the-world-20130911-2tkuv.html, diunduh 1 Mei 2014.
[15] Patrick S. Cheng. From Sin to Amazing Grace. New York: Seabury Books,
2012, 114-116.
[16] U.S. Department of Health and Human Services. "Sexual Identity, Sex
of Sexual Contacts, and Health-Risk Behaviors Among Students in Grades 9-
12: Youth Risk Behavior Surveillance." Dikutip dalam Suicide Prevention
Resources: Facts about Suicide, http://www.thetrevorproject.org/pages/facts-
about-suicide, diunduh 1 Mei 2014.
[17] Dan Clendenin, "The Road to Emmaus: 'What Happened on the Way'", 2 Mei
2011, dalam http://www.journeywithjesus.net/Essays/20110502JJ.shtml,
diunduh 1 Mei 2014.