MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT YANG DILAKUKAN SAAT
KONTES TERNAK DI KANJURUHAN MALANG
Praktikum Manajemen Produksi Ternak Ruminansia
Oleh :
Sopi Sopiatun Nida
155050101111244
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas karunia dan hidayah-Nya dalam
penulisan makalah dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini
ditulis dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemuliaan Ternak.
Maksud penulisan makalah ini yakni bertujuan untuk mengetahui Manajemen
Pemeliharaan Sapi Potong Milik Peternak Rakyat
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Kuswati, MS dan Ir. Tri Eko
Susilorini, MP selaku dosen mata kuliah Manajemen Produksi Ternak
Ruminansia atas segala budi baiknya, penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Sebagai manusia, tentu tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Oleh
sebab itu, makalah ini tidak mustahil masih terdapat banyak kekurangan.
Kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan sangat penulis tunggu. Akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih dan mohon maaf atas segala
kekurangan, semoga makalah ini bisa berguna.
Malang, Desember 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 2
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 3
2.1 Manajemen Pemilihan Bibit dan Pemeliharaan 3
2.1.1 Pemilihan Bibit 4
2.1.2 Sistem Pemeliharaan 4
2.2 Manajemen Pakan 6
2.2.1 Jenis Pakan 6
2.2.2 Kebutuhan Nutrisi 8
2.2.3 Frekuensi Pemberian Pakan 11
2.3 Manajemen Kandang 13
2.3.1 Sistem Perkandangan 13
2.3.2 Kontruksi Kandang 14
2.4. Manajemen Sanitasi dan Bio Security 16
2.4.1 Sanitasi 16
2.4.2 Bio Security 17
2.4.3 Kesehatan 18
2.5. Judging 20
2.6 Body Condition Score 21
BAB III PENUTUP 23
3.1. Kesimpulan 23
3.2. Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 24
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Peternakan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai saat ini
sudah semakin berkembang dan telah mencapai kemajuan yang cukup pesat.
Sebenarnya, perkembangan kearah komersial sudah ditata sejak puluhan
tahun yang lalu, bahkan pada saat ini peternakan di Indonesia sudah
banyak yang berskala industri. Perkembangan ini tentu saja harus
diimbangi dengan pengelolaan yang profesional dan disertai dengan tata
laksana yang baik. Tanpa pengelolaan dan tata laksana yang baik,
produksi ternak yang akan dihasilkan tidak akan sesuai dengan harapan,
bahkan peternak bisa mengalami kerugian yang cukup besar (AAK, 1991).
Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor –
faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan juga modal untuk
menghasilkan produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi
bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau
pengelolaan. Manajemen mencakup pengelolaan perkawinan, pemberian pakan,
perkandangan, dan kesehatan ternak. Manajemen juga mencakup penanganan
hasil ternak, pemasaran, dan pengaturan tenaga kerja (Santoso, 2001).
Usaha ternak juga merupakan suatu kegiatan peternakan dimana peternak
dan keluarganya melakukan pemeliharaan ternak yang bertujuan memperoleh
hasil dan pendapatan, sedangkan sistem usaha ternak sapi potong adalah
suatu sistem usaha yang terdiri dari komponen – komponen yang saling
berkaitan terhadap usaha pemeliharaan sapi potong. Peternak memilih
mengusahakan ternak sapi dengan beberapa tujuan. Bagi peternak, ternak
sapi berfungsi sebagai sumber pendapatan, protein hewani, dan tenaga
kerja serta penghasil pupuk. Fungsi lain adalah sebagai penghasil bibit
dan tabungan.
Besarnya kontribusi Ternak sapi terhadap pendapatan bergantung
pada jenis sapi yang dipelihara, cara pemeliharaan dan alokasi sumber
daya yang tersedia di masing-masing wilayah. Namun, pemeliharaan ternak
secara ekstensif (tradisional) menyebabkan produktivitasnya rendah
sehingga pendapatan juga menjadi rendah. Sapi merupakan hewan yang
potensial dan secara genetik mempunyai kemampuan adaptasi tinggi
terhadap lingkungan tropis. Produktivitas ternak dapat ditingkatkan
dengan memperbaiki efesiensi produksi, antara lain meningkatkan
kelahiran pedet, memperpendek jarak beranak, memperpanjang masa
produksi, serta mengoptimalkan pengelolaan perkawinan guna menyediakan
bakalan (Santoso, 1997).
Pada sistem pemeliharaan yang kurang baik umumnya peternak
memberikan pakan yang tidak menentu, peternak umumnya tidak mengerti
nilai padang penggembalaan dan peternak biasanya tidak mengusahakan
lahan yang cukup untuk memungkinkan peternak menanam tanaman khusus
sebagai pakan ternak, sapi – sapi dibiarkan merumput mencari makan pada
semak – semak. Mereka mungkin diberi berbagai konsentrat sisa pabrik
seperti dedak padi, tetapi pada banyak negara, makanan seperti itu
diberikan untuk makanan ayam. Padahal sistem pemeliharaan yang baik akan
memberikan hasil produksi yang jauh lebih baik pula (Bambang, 1990).
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Manajemen Pemilihan Bibit dan Pemeliharaan?
2. Bagaimana Manajemen Pakan?
3. Bagaimana Manajemen Kandang?
4. Bagaimana Sanitasi dan Bio Security?
5. Apa itu Judging?
6. Apa itu Body Condition Score?
3. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Manajemen Pemilihan Bibit dan Pemeliharaan.
2. Untuk Mengetahui Manajemen Pakan.
3. Untuk Mengetahui Manajemen Kandang.
4. Untuk Mengetahui Sanitasi dan Bio Security.
5. Untuk Mengetahui Judging.
6. Untuk Mengetahui Body Condition Score.
4. Manfaat
Manfaat yang didapat yaitu kita dapat mengetahui bagaimana
manajemen ternak pototong yang baik, khususnya ternak sapi.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Manajemen Pemilihan Bibit dan Pemeliharaan
2.1.1 Pemilihan bibit
Abidin (2002) Usaha Pembibitan sapi merupakan kegiatan usaha
dari pengadaan induk sapi, mengawinkan sapi, hingga sapi tersebut
melahirkan anaknya. Sapi yang akan digunakan sebagai bibit
pembesaran sapi potong dapat juga diambil dari jenis sapi perah
jantan. Bibit ternak sendiri sangat penting untuk menunjang sebuah
usaha pembibitan sapi potong. Kusuma, dkk (2017) menyatakan Usaha
untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan daging dilakukan dengan
mengembangkan industri peternakan sapi potong, sedangkan untuk
menyuplai ternak sapi bakalan untuk dipotong, penting diperhatikan
mengenai usaha pembibitan. Bibit ternak merupakan sarana untuk
mendukung berkembangnya industri peternakan, namun sampai saat ini
kebutuhan bibit ternak baik jumlah maupun mutunya belum sepenuhnya
dapat dipenuhi dari dalam negeri. Usaha penyediaan ternak bibit
sangat penting karena tidak akan ada ternak yang bisa dipotong
jika ternak yang ada baru dapat memenuhi kebutuhan replacement
induk.
Kebanyakan dari peternak-peternak yang ada di kontes memilih
sapi yang persilangan, seperti punya bapak Mardi merupakan
persilangan sapi limousin dengan peranakan ongole. Hal ini seperti
yang dinyatakan oleh Hartono dan Widayati (2011) yang menyatakan
bahwa persilangan bibit sapi ditujukan untuk memperolus suatu
jenis sapi dengan produktivitas yang tinggi. Hal ini juga
ditambahkan oleh Guo, dkk (2016) Pemilihan bibit sapi yang baik
dilihat dari produktivitasnya dan biasanya sapi dengan
persilangan lebih tinggi produktivitasnya. Pemilihan bibit dapat
dilakukan dengan dengan melihat ciri-ciri fisik dari sapi atau
pedet. Hal ini sesuai dengan pendapat Adrial (2010) untuk
meningkatkan produktivitas dan eksistensi sapi pesisir perlu
dilakukan perlindugan, pelestarian, dan pengelolaan sapi pesisir
melalui pemurnian genetik, pengaturan pengeluaran ternak, dan
perbaikan manajemen pemeliharaan. Peningkatan produktivitas dapat
dilakukan dengan penerapan manajemen terpadu usaha peternakan sapi
pesisir melalui pemilihan bibit/bakalan unggul, perbaikan
manajemen kandang, manajemen pakan gizi seimbang, perbaikan
manajemen reproduksi, dan pengendalian penyait. Teknologi budi
daya untuk meningkatkan produktivitas sapi pesisir mencakup
penerapan manajemen usaha ternak terpadu melalui: 1) Pemilihan
bibit atau bakalan unggul berdasarkan umur, ciri-ciri fisik,
riwayat keturunan, dan kesehata. 2) Manajemen perkandangan dengan
teknologi kandang standar. 3) Manajemen pakan melalui introduksi
hijauan makanan ternak unggul, pemanfaatan bahan pakan lokal dan
hasil ikutan produk pertanian, sitem integrasi tanaman-ternak, dan
teknologi ransum simbang berbasis external input sustainable
agriculture. 4) Manajemen reproduksi dengan melakukan seleksi
terhadap induk dan pejantan, mencegah terjadinya perkawinan
keluarga (inbreeding), dan menerapkan teknologi IB. 5) Pencegahan
dan pengendalian penyakit secara periodik, terutama penyakit
menular, vaksinasi, pemberantasan vektor penyakit, menyiagakan
petugas lapang (tenaga medis veteriner), serta melaporkan kejadian
penyakit kepada petugas dan dinas peternakan setempat.
2.1.2 Sistem pemeliharaan
Pemeliharaan sapi pada Pak Masdi menggunakan kandang biasa
dengan terdapat palungan untuk tempat pakan, tempat teduh, dan
setiap pagi dan sore kandang akan dibersihkan dan menggunakan
sistem kreman. Hal ini sesuai dengan pendapat Prajogo, dkk (2012)
yang menyatakan bahwa Sebagian peternak memelihara sapi dalam
kandang permanen, namun ada juga yang menggunakan kandang
bervariasi sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara. Peternak
pembibitan di daerah pertanian intensif umumnya menggunakan sistem
kreman sehingga induk menjadi cepat gemuk. Namun, induk yang
terlalu gemuk bisa terganggu proses produksinya atau menyebabkan
kemajiran. Setelah melahirkan anak kedua, sapi induk tidak lagi
bunting walaupun sudah dilakukan IB beberapa kali. Pola
pengandangan ternak pada usaha pembibitan umumnya bersifat
perseorangan karena pemilikan sapi induk relatif kecil. Beberapa
peternak yang melakukan usaha penggemukan menggunakan kandang
kolektif, cara ini dinilai dapat memberikan keuntungan, antara
lain: 1) mendorong saling tukar informasi antar petani, 2)
mempermudah pengawasan terhadap kesehatan dan perkembangan bobot
badan ternak, 3) meningkatkan total skala usaha pemeliharaan.
Ditambahkan juga oleh Sudarmono (2016) pada umumnya sapi-sapi yang
dipelihara secara intensif hampir sepanjang hari berada di dalam
kandang. Sapi memperoleh perlakuan yang lebih teratur atau rutin
dalam hal memberikan pakan, membersihkan kandang, memandikan sapi,
menimbang, mengendalikan penyakit dan sebagainya. Pakan sapi yang
di pelihara secara intensif pada umumnya terdiri atas pakan
hijauan dan pakan seperti dedak halus, bungkil kelapa, bungkil
kacang tanah, tetes, jagung giling, dan lain-lain. Bahan pakan
berupa pakan hijauan diberikan sebanyak 10% dari berat badab dan
pakan penguat sebanyak 1 & dari berat badan. Pakan hijauan bisa
diberikan 2-3 kali sehari, sedangkan pakan penguat bisa diberikan
1-2 kali sehari. Pemberian air minum 20-30 liter/ekor/hari. Dalam
sistem pemeliharaan di peternakan bapak Masdi menggunakan ternak
dengan hasil persilangan limosin dengan Peranakan Ongole untuk
mengasilkan ternak dengan produktivitas yang tinggi.
Kutsiyah (2012) menyatakan bahwa Persilangan dalam cakupan
jangka pendek persilangan dapat membawa berkah dengan
kesejahteraan petani sebagai dampak gabungan sifat tetua terhadap
keturunannya. Sisi yang lain dalam jangka panjang tidak diketahui,
apakah nantinya sapi poting yang ada di Pulau Madura aka menjadi
baik atau sebaliknya. Kekhawatiran ini bukan semata mata hanya
bertujuan untuk memperthankan pemurnian plasma nutfah, akan tetapi
persilangan berjalan cukup massif, tanpa koridor yang jalas.
Namun, dengan persilangan, masing masing dapat saling melengkapi
satu sama lain dengan kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya,
karena tidak satupun jenis ternak yang superior dan memiliki
karakteristik sifat-sifat produksi yang unggul pada semua kondisi
lingkungan.
Menurut Berry (2014) menyatakan bahwa setiap hari kandang
harus dibersihkan dari kotoran. Karena kotoran dapat menyebabkan
terjangkitnya penyakit pada ternak. Walmsley (2016) menambahkan
bahwa kandang yang memiliki tempat teduh sangan tepnting bagi
tenak karena dengan kandang yang tidak memiliki tempat teduh,
ternak bisa saja kehujanan dan kepanasan yang mengakibatkan
metabolisme pada ternak terganggu dan ternak dapat secara gampang
terjangkit penyakit. Sudarmono (2016) menambahkan bahwa setiap
hari kandang harus dibersihkan dari kotoran. Sesudah dibbersihkan,
sebaiknya lantai diberikan tilam sekaligus. Dengan adanya tilam,
pembuangan kotoran yang ada dilantai bisa ditunda. Peternak tidak
perlu setiap hari membersihkan lantai, melainkan cukup dengan
menebarkan tilam diatasnya sehingga tilam menjadi tumpukan yang
lebih tebal, berlapis-lapis, empuk serta bisa memperbanyak pupuk.
Tilam yang sudah tertimbun tebal ini bisa dibongkan seminggu
sekali.
2.2 Manajemen Pakan
2.2.1 Jenis pakan
Manajemen pemberian pakan sangat dibutuhkan untuk
mengoptimalkan hasil ternak yang dipelihara. Hal tersebut meliputi
penyediaan bahan pakan, penyimpanan bahan pakan, macam dan
kualitas bahan, jumlah dan frekuensi pemberian, kebutuhan
dan konsumsi nutrient, serta pemberian air minum. Wardoyo dan
Risdianto (2011), manajemen pemberian pakan yaitu pemanfaatan
sumberdaya-sumberdaya dalam proses pemberian pakan untuk
mengoptimalkan bahan pakan dalam memperoleh hasil ternak
yang baik. Manajemen pemberian pakan sendiri meliputi penyediaan
bahan pakan, penyimpanan bahan pakan, macam dan kualitas bahan,
jumlah dan frekuensi pemberian, kebutuhan dan konsumsi
nutrient, pemberian air minum serta PBB.
Jenis pakan yang dibutuhkan ternak ruminansia termasuk sapi
potong harus mampu menjaga kondisi rumen tetap stabil. Bahan
pakan yang dipilih harus sesuai ketentuan, agar tidak merugikan
peternak dan mendapatkan hasil ternak yang maksimal, diantaranya
adalah bahan pakan tidak mengandung racun, tidak dipalsukan,
tersedia sepanjang waktu, harga tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia, terdapat disekita peternakan agar lebih irit. Santosa (
2005), dalam memilih bahan pakan harus mengetahui beberapa
ketentuan bahan pakan yaitu bahan pakan harus mudah diperoleh dan
sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak
menimbulkan masalah ongkos transportasi dan kesulitan
mencarinya. Bahan pakan tersebut harus terjamin
ketersediaannya sepanjang waktu dan dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan. Bahan pakan harus mempunyai harga yang
layak dan diusahakan jangan bersaing dengan kebutuhan manusia
yang sangat utama. Bahan pakan harus dapat diganti oleh bahan
pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya hampir sama.
Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak
menampakan perbedaan warna, bau, atau rasa dari keadaan normalnya.
Tujuan pemberian pakan dalam usaha penggemukan sapi
potong adalah untuk memperoleh pertambahan bobot badan
secara maksimal. Jenis pakan yang harus diberikan kepada ternak
yaitu pakan hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan merupakan pakan
utama untuk ternak yang berasal dari rumput unggul, rumput
lokal dan leguminosa. Sedangkan konsentrat diantaranya dedak
padi, bungkil kelapa, jagung giling, bungkil kacang tanah,
ampas tahu, ampas kecap, dan lain-lain. Syafrial,dkk (2007),
jenis pakan ternak yaitu, pakan hijauan yang merupakan bahan
pakan utama ternak sapi penggemukan adalah dalam bentuk
hijauan yaitu berasal dari rumput unggul, rumput lokal dan
leguminosapakan Penguat (Konsentrat) adalah campuran dari
beberapa bahan pakan untuk melengkapi kekurangan gizi dari
hijauan pakan ternak. Bahan pakan konsentrat yang dapat
diberikan pada ternak sapi antara lain: dedak padi, bungkil
kelapa, jagung giling, bungkil kacang tanah, ampas tahu,
ampas kecap, dan lain-lain.
Pakan merupakan hal yang penting guna mensuskseskan usaha
peternakan. Jika pakan yang diberikan tepat, maka hasil yang
dicapai akan sesuai dengan yang diharapkan. Sapi potong akan
menghasilkan bibit dan daging yang baik jika pakan yang diberikan
sesuai. Pakan seperti halnya rumput, jerami, silase memiliki serat
kasar tinggi yang penting untuk pencernaan sapi. Wahlberg, et.al
(2009), ternak ruminansia membutuhkan pasokan pakan yang memiliki
serat kasar tinggi karena sangat baik untuk kesehatan pencernaan
dan fungsi rumennya. Pakan yang memiliki serat kasar tinggi antara
lain jerami dan silase.
Salah satu kendala dalam usaha ternak sapi yaitu ketika
musim kemarau dan musim penghujan sampai mengakibatkan banjir.
Ketika musim kemarau, hijauan sulit dicari begitupun saat banjir
akan mempersulit peternak untuk memanen hijauan. Hal tersebut akan
mengakibatkan pendapatan peternak menurun sebab harus mencari
hijauan di daerah jauh dari kandang dan perkembangan bobot badan
sapi jauh dari harapan. Pen,M.et al. (2010), pelayanan yang sesuai
dan meningkatkan sistem pemberian makan adalah rekomendasi untuk
meningkatkan penghasilan sapi. Menggembalakan sapi termasuk salah
satu solusi dalam mencari pakan yang terbatas. Salah satu
tantangan utama untuk peladang yang mana diperlukan bekerja keras
tinggi, terutama selama musim kering dan banjir.
2.2.2 Kebutuhan nutrisi
Sama halnya dengan manusia dan makhluk hidup lainnya, ternak
sapi juga membutuhkan asupan nutrisi berimbang yang memenuhi
standar kecukupan, kebersihan dan kesehatan ternak. Pemberian
pakan hanya dengan satu jenis pakan misalnya rumput atau hijauan
makanan ternak tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bagi ternak
sampi. Aada beberapa kandungan zat makanan yang dibutuhkan oleh
ternak sapi supaya pertumbuhannya bisa optimal. Hal ini
ditambahkan juga oleh Taufiq (2017) bahwa Produktivitas ternak
sapi potong sangat bergantung kepada nutrisi yang harus terpenuhi.
Rendahnya angka kebuntingan, service per conception yang tinggi,
serta calving interval yang panjang menjadi faktor penghambat
dalam mencapai keberhasilan produksi ternak. Kesuburuan ternak
yang rendah dapat diakibatkan oleh asupan nutrisi yang kurang.
Nutrisi pada ternak berasal dari pakan yang diberikan, namun masih
rendahnya kemampuan peternak untuk membiayai kebutuhan ternaknya
menjadi salah satu kendala.
Pakan bagi sapi bunting diperlukan induk /calon induk sapi
potong untuk kebutuhan hidup pokok dan keperluan janin sapi .Pada
awal kebuntingan sapi induk/calon induk pemberian pakan masih
mengacu standrad pakan untuk kebutuhan hidup pokok sapi dewasa.
Namun setelah perjalanan mencapai 1/3 masa kebuntingan kebutuhan
kandungan gizi pakan sudah harus diperhitungkan untuk keperluan
perkembangan calon pedet. Kandungan gizi pakan yang harus
diperhitungkan diawal pertumbuhan sapi induk/ calon induk bunting
adalah pakan yang mengandung karbohidrat, kalsium dan fosfo dan
vitamin A dan D. Konsumsi gizi pakan yang mengandung karbohidrat
diperlukan sapi induk/calon induk bunting dalam jumlah yang banyak
untuk diubah menjadi energie yang diperlukan untuk kekuatan tenaga
sapi bunting. Kalisium , fosfor dan vitamin D diperlukan untuk
kepentingan pembentukan tulang pada janin calon pedet.. Vitamin A
diperlukan sapi bunting untuk memenuhi keperluan periode laktasi
dalam menghasilkan air susu sapi. Hal ini ditambahkan juga dengan
Gustiani (2010) bahwa Induk bunting yang diberi pakan dengan
kualitas yang baik akan memberikan persediaan nutrisi yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan anak yang dikandungnya,
sehingga berat lahir anak cukup tinggi dan produksi air susu
indukpun cukup banyak.
Kebutuhan ternak ruminansia direprestasikan dalam kebutuhan
akan konsumsi bahan kering. Bahan kering (BK) adalah total zat-zat
pakan selain air dalam suatu bahan pakan, kebutuhan bakan kering
ini dipenuhi dari hijauan dan konsentrat. Pada ternak sapi potong
kebutuhan bahan kering adalah 2,5 – 3,15 % dari bobot badannnya
(menurut Tillman). Konsumsi BK dipengaruhi oleh bangsa, jenis
ternak, palatabilitas pakan, umur, kualitas pakan, laju pakan
dalam saluran pencernaan dan keadaan lingkungan. Hal ini
ditambahkan juga oleh Porto (2012) bahwa Berdasarkan uji lanjut
menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%,
diperoleh perlakuan terbaik yaitu pada P3.Hal ini diduga karena
seiring dengan tingginya jumlah bahan kering ransum yang
dikonsumsi akan meningkatkan jumlah asupan nutrisi yang diterima
oleh ternak. Semakin tinggi asupan nutrisi yang diterima oleh
ternak maka nutrien yang masuk dalam tubuh semakin besar.
Makanan konsentrat merupakan bahan makanan yang mempunyai
kandungan serat kasar rendah, mudah dicerna dan mengandung minimal
20 persen protein. Konsentrat dapat berupa satu bahan pakan atau
campuran beberapa bahan pakan yang diracik/disusun sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu bahan yang mengandung protein sebesar 20
persen atau lebih dan serat kasar yang rendah yang berfungsi untuk
melengkapi kekurangan gizi dari bahan makanan lainnya. Hal ini
juga ditambahkan oleh (2012) bahwa hijauan yang diberikan pada
ternak umumnya belum dapat mencukupi kebutuhan hidup pokok dan
produksi karena mutu pakan rendah, sehingga ternak harus
mendapatkan pakan tambahan untuk meningkatkan produksinya.
Pertambahan bobot badan pada ternak sangat dipengaruhi oleh
kualitas pakan yang baik dan tersedia pakan tambahan seperti
konsentrat.
Pada pemeliharaan sapi apa adanya, pemberian pakan hijauan
seperti rumput lapangan, rumput unggul, limbah pertanian,
leguminosa, dan hijauan lain dianggap sudah memenuhi kebutuhan
pakan sapi. Padahal, untuk penggemukan sapi dengan laju
pertambahan bobot sekitar 1 kg per hari, pemberian pakan hanya
dengan hijauan tidak akan bisa terpenuhi. Untuk memacu per
tambahan bobot harian sapi yang tinggi, diperlukan pakan
konsentrat sebagai pakan penguat. Dengan demikian, kebutuhan gizi
pada sapi akan terpenuhi dan pertambahan bobotnya juga bisa
tercapai. Sebagai contoh, sapi putih (PO) yang mendapat pakan
rumput lapangan dan jerami padi, bobot badan yang dicapai berkisar
0,24 kg/ ekor/hari dibandingkan dengan sapi potong yang mendapat
pakan rumput lapang dan jerami dengan ditambahkan konsentrat,
bobot badan yang dicapai 0,65 kg/ekor/hari. Contoh tersebut masih
di bawah target pertumbuhan sapi potong yang dicanangkan dalam
Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi, yaitu
pertambahan bobot sapi potong Peranakan Onggole (PO) di atas 0,7
kg/ekor/hari, sapi keturunan di atas 0,9 kg/ekor/hari dengan bobot
potong sapi PO lebih dari 400 kg dan sapi keturunan lenih dari 500
kg. Hal ini ditambahkan oleh Umiyasih (2012) bahwa Terpenuhinya
zat nutrisi yang dibutuhkan ternak diharapkan sapi dara akan
mengalami pubertas pada umur yang tepat dan kondisi yang optimal.
Pada kondisi tubuh yang optimal pada saat kawin, diharapkan dapat
memperkecil kemungkinan kegagalan perkawinan sehingga secara tidak
langsung akan memperpendek jarak beranak. Cohen . (1980) dan
Mukasa-Mugerwa (1989) mengemukakan bahwa faktor kecepatan
pertumbuhan pada sapi lebih dominan menentukan umur saat dewasa
kelamin dibandingkan dengan faktor umur itu sendiri. Kelebihan
ataupun kekurangan badan akan dapat merugikan peternak karena
berdampak negatif terhadap aspek reproduksi; antara lain berupa
tidak teraturnya lus birahi atau bahkan dapat terjadinya
kemajiran.
2.2.3 Frekuensi pemberian pakan
Frekuensi pemberian pakan termasuk dalam sistem managemen
pakan. Hal ini tergantung pada bentuk pakan yang diberikan dan
umur ternak. Biasanya dapat dilakukan dengan frekuensi 1
kali/hari, 2 kali/hari, 3 Kali/hari.Pemberian pakan semakin sering
akan semakin baik, karena pakan akan selalu segar dan dapat
meningkatkan nafsu makan, tetapi kita harus juga mengingat efisien
tenaga dan waktu. Hal ini dinyatakan oleh Wardoyo (2011) Manajemen
pemberian pakan yaitu pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya dalam
proses pemberian pakan untuk mengoptimalkan bahan pakan dalam
memperoleh hasil ternak yang baik. Manajemen pemberian pakan
sendiri meliputi penyediaan bahan pakan, penyimpanan bahan pakan,
macam dan kualitas bahan, jumlah dan frekuensi pemberian,
kebutuhan dan konsumsi nutrient, pemberian air minum serta PBB.
Kosentrat sebaiknya diberikan 2—3 kali dalm sehari semalam.
Jika diberikan dua kali, maka pemberiaanya dilakukan pada pukul
08.00 dan 15.00, namun jika diberikan tiga kali, maka pemberiannya
dilakukannya pukul 08.00, 12.00, dam 16.00.
Sementara itu, hijauan sebaiknya diberikan secara bertahap,
minuman empat kali sehari semalam. Pemberian hijauan yang pertama
dilakukan 2 jam setelah kosentrat diberikan, atau sekitar pukul
10.00. Jika kosentrat diberikan dua kali sehari, maka jadwal
pemberian hijaua adalah pukul 10.00, 13.00, 17.00, dan terakhir
pukul 19.00. Sementara itu, jika kosentrat diberikan tiga kali
sehari, maka hijauan doberikan pada pukul 10.00, 14.00, dan 18.00.
dan 19.00. Sedangkan menurut Qomarudin (2011) bahwa tata laksana
pemberian pakan di kelompok tani Mekar Sari dilakukan tiga kali
sehari yaitu pagi, sore, dan malam hari. Contoh pemberian pakan
meliputi rumput gajah, jerami, dedak kangkung,konsentrat.
1. Makan pagi : biasanya pada jam 07.00 pakan yang digunakan
adalah : rumput sawah.
2. Makan siang : biasanya pada jam 12.00 pakan yang di gunakan
adalah konsentratseperti dedak padi atau konsentrat lainnya yang
memiliki nilai gizi tinggi.
3. Makan malam : biasanya pada jam 19.00 pakan yang di gunakan
adalah jerami dan dedak kangkung.
Pedet yang baru lahir wajib diberikan kolostrum. Kapasitas
normal pedet yang baru lahir adalah 1 liter, dengan demikian
kolostrum tidak dapat diberikan secara sekaligus, perlu dilakukan
beberapa kali dalam sehari. Untuk hari-hari berikutnya, selama 3
hari berikutnya, berikan kolostrum 4 – 6 liter/hari dalam 3 kali
pemberian (1.5 – 2 liter /pemberian). Kualitas kolostrum
menentukan konsumsi antibodi pedet dalam darahnya, bila kurang
memadai peluang hidup 30 % dan bila baik dapat menjadi 95 %. Hal
ini ditambahkan oleh Sudarmono (2007) bahwa frekuensi pemberian
pakan pada pedet umur 1-4 hari, harys diusahakan bisa diberikan
kolostrum. Kolostrum sebagai air susu pertama umur 0-4 hari
mengandung berbagai bahan penangkis terhadap berbagai infeksi
penyakit. Pedet pasca kolostrum atau umur sebulan, sebagian besar
jenis pakan yang diberikan berupa susu atau bahan cair lain. Hal
ini sebanding dengan Nikkhah (2013) bahwa pemberian susu pasca
kolostrum dapat dimulai sejak pedet berumur 3 – 4 hari.
Pemberiannya perlu dibatasi berkisar 8 – 10 % bobot badan pedet.
Misalnya pedet bobot badannya 50 kg, maka air susu yang diberikan
4 – 5 liter/ekor/hari. Pemberian susu diberikan secara bertahap
dalam 1 hari 2 – 3 kali pemberian. Jumlah air susu yang diberikan
akan terus meningkat sampai menginjak usia 2 bulan (8 minggu)
disesuaikan bobot badan sapi dan akan terus menurun sampai ke fase
penyapihan di usia 3 bulan (12 minggu). (dapat dilihat di tabel
pemeliharaan pedet).
Menurut Belasco (2015) yaitu pemberian calf starter dapat
dimulai sejak pedet 2 – 3 minggu (fase pengenalan). Pemberian
calf starter ditujukan untuk membiasakan pedet dapat mengkonsumsi
pakan padat dan dapat mempercepat proses penyapihan hingga usia 4
minggu. Tetapi untuk sapi – sapi calon bibit dan donor penyapihan
dini kurang diharapkan. Penyapihan (penghentian pemberian air
susu) dapat dilakukan apabila pedet telah mampu mengkonsumsi
konsetrat calf starter 0.5 – 0.7 kg kg/ekor/hari atau pada bobot
pedet 60 kg atau sekitar umur 1 – 2 bulan. Tolak ukur kualitas
calf starter yang baik adalah dapat memberikan pertambahan bobot
badan 0.5 kg/hari dalam kurun waktu 8 minggu.
2.3 Manajemen Kandang
2.3.1 Sistem perkandangan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui
bahwa ada beberapa jenis kandang namun kebanyakan peternak
menggunakan kandang jenis kelompok. Hal ini sesuai dengan Lestari
C.M.S, E. Purbowati, S. Dartosukarno dan E. Rianto (2014),Tipe
kandang yang digunakan terbuka yaitu di sekeliling tidak ada
dinding penutup, terbuat dari kayu atau bambu dengan atap dari
gentingdan sudah dilengkapi dengan palung pakan yang terbuat dari
bambu dan ember sebagai tempat minum. Lantai kandang berupa tanah
yang dipadatkan. Ukuran kandang sangat bervariasi tergantung dari
banyaknya kepemilikan ternak. Sapi ditempatkan saling berhadapan
(head to head).
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui
bahwa pada pemeliharaan sapi di dalm kandang perlu diperhatikan
kebersihan tempat pakan dan minumnya,ventilasi,kemiringan lantai
serta ukuran kandang. Hal ini sesuai dengan Suhaema E, Widiatmaka,
dan Boedi Tjahjono (2014) Dalam pola pemeliharaan ternak sapi
potong yang dikandangkan, faktor Temperature Humidity Index (THI)
menjadi pembatas yang penting selain curah hujan dan kelerengan.
Nilai THI terkait dengan pengaruh stress akibat panas pada ternak.
Ternak yang dikandangkan harus beradaptasi dengan desain kandang
karena ukuran tinggi dan lebar kandang dan luas bukaan ventilasi
kandang sangat berpengaruh terhadap suhu di dalam kandang. Sapi
potong yang dikandangkan rentan mengalami stress panas
dibandingkan dengan sapi yang digembalakan karena terbatasnya
lingkungan tempat distribusi panas tubuh sapi potong. Hal ini juga
didukung oleh pernyataan Darmono(2010) bahwa pembuatan kandang
sapi kreman harus memperhatikan beberapa hal yaitu 1) luas kandang
: berapa meter persegi yang diperlukan untuk memelihara sapi yang
dapat leluasa bergerak. 2) lantai kandang: dapat dibuat agak
miring,dibuat dari semen atau tanah biasa. Bila dibuat dari
semen,sebaiknya diberi alas jerami dibawahnya supaya lantai agak
lunak. 3) tempat makanan : dibuat memanjang sepanjang kandang dan
sapi dapat mengeluarkan kepalanya untuk mengambil makanan yang
diberikan. 4) tempat minuman:dapat ditaruh di ember atau bahan
lain, digantung setinggi 80 cm dari lantai
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui
bahwa fungsi utama kandang adalah untuk melindungi ternak dari
panas dan hujan. Hal ini sesuai dengan Sirajuddin S.N, Aslina
Asnawi, Ilham Rasyid, Azmi Mangalisu, Masnur (2016) Bahwa kandang
merupakan tempat untuk berlindung ternak dari gangguan
iklim,kesibukan masyarakat,binatang pemangsa dan yang lainya
,sehingga dengan adanya bangunan tersebut sapi dapat hidup ,makan
,minum ,berdiri ,tidur,bergerak cukup,tumbuh dengan baik
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui
bahwa biasanya peternak menggunakan bahan semen untuk lantai
kandang dikarenakan mudah dalam pembersihan kandang.lantai kandang
dibuat sedikit miring dengan kemiringan sekitar 15 o . hal ini
sesuai dengan Lestari T dan Budi Rianto (2016) bahwa lantai
kandang biasanya dibuat dari bahan semen atau tanah yang
dipadatkan dan dibuat lebih tinggi dari lahan sekitarnya. Lantai
kandang harus kuat,tidak licin,dan dibuat dengan kemiringan 15
derajat ke arah selokan di belakang sapi untuk mempermudah
penampungan kotoran sapi dan pakan yang jatuh.
2.3.2 Konstruksi kandang
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui
bahwa kostruksi kandang sapi sangat berpengaruh terhadap
kenyamanan ternak sehingga harus diperhatikan. Ha ini sesuai
dengan Steflyando,R;Abubakar;Alex Saleh (2014)Proses usaha sapi
potong terdiri dari tujuh hal yang perlu diperhatikan dalam
menjalankan usaha ini. Berikut langkah-langkah yang perlu
diperhatikan dalam menjalankan usaha sapi potong: konstruksi dan
letak kandang, ukuran kandang, perlengkapan kandang, pembibitan,
pemberian pakan, fasilitas, dan pemberian vaksin dan obat cacing.
Fasilitas yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha sapi potong
terdiri dari fasilitas kantor dan fasilitas produksi. Hal ini juga
didukung oleh pernyataan Hastuti,D dan Shofia Nur Awami ( 2015)
Bahwa Lokasi kandang sapi potong yang digunakan peternak responden
adalah lahan milik pemerintah, peternak yang mendirikan kandang
dilahan pemerintah diwajibkan membayar sewa lahan setiap tahunnya.
Bentuk bangunan kandang masih sederhana belum tertutup dengan
permanen. Rata rata dibatasi dengan kain, bambu atau kayu, juga
ada yang dibiarkan terbuka, sedangkan atap menggunakan genting dan
lantai kandang masih berupa tanah, tempat pakan terbuat dari kayu
atau ember dan minum juga menggunakan ember. Saluran pembuangan
kotoran belum tersedia secara baik, responden membuang kotoran
sapi dibelakang kandang atau disamping kandang. Tercium bau yang
sangat menyengat pada musim penghujan karena kotoran yang basah
dan terseret aliran air hujan ke sekitar perkandangan. Kandang
kandang berada dalam satu lingkungan kelompok secara komunal yang
terdiri sapi potong dan sapi perah.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui
bahwa dalam membangun kandang harus memperhatikan konstruksinya.
Konstruksi kandang dibuat harus sesuai dengan kondisi alam agar
ternak merasa nyaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sudarmono,A.S dan Sugeng, Y.B (2008) bahwa agar ternak sapi yang
tinggal di dalam kandang merasa nyaman,maka konstruksi kandang
harus dibangun sesuai dengan hukum alam setempat. Kita menyadari
bahwa hukum alam tidak bisa dirubah ,melainkan peternaklah yang
harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diketahui
bahwa konstruksi kandang bisa terbuat dari kayu (papan),bambu
maupun batu bata. Serta ventilasi perlu diperhatikan agar terjadi
pertukaran didalam kandang.Yang terpenting adalah ternak merasa
nyaman dan tidak mengalami stress. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sirajuddin S.N, Aslina Asnawi, Ilham Rasyid, Azmi
Mangalisu, Masnur(2016) bahwa Bahan konstruksi kandang adalah kayu
gelondongan/papan yang berasal dari kayu yang kuat . kandang sapi
tidak boleh tertutup rapat, tetapi agak terbuka agar sirkulasi
udara didalamnya lancar. Hal ini juga didukung oleh pernyataan
Lestari T Dan Budi Rianto(2016) bahwa konstruksi kandang sapi
seperti rumah kayu. Atap kandang berbentuk kuncup dan salah
satu/kedua sisinya miring. Lantai kandang dibuat padat,lebih
tinggi dari pada tanah sekelilingnya dan agak miring kearah
selokan di luar kandang. Maksudnya adalah agar air yang tampak
,termasuk kencing sapi mudah mengalir ke luar lantai kandang tetap
kering
2.4 Manajemen Sanitasi dan Bio Security
2.4.1 Sanitasi
Sanitasi merupakan suatu kegiataan yang dilakukan peternak
untuk menjaga kebersihan kandang dan lingkungannya. Kegiatan ini
penting karena dengan keadaan kandang serta lingkungan yang bersih
maka kesehatan ternak maupun pemiliknya menjadi
terjamin.sependapat dengan pernyataan Muridi dan Ahmad (2011)
bahwa Sanitasi kandang dilakukan beberapa tahap setelah
pembersihan kandang meliputi membersihkan tempat makan dan tempat
minum dan membersihkan kotoran sapi potong yang berada di dalam
kandang.Sanitasi kandang adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
peternak untuk kebersihan kandang dan lingkungannya.
Secara keseluruhan responden peternak menerapkan
aktivitas/kegiatan yang cukup dalam upaya pengendalian terhadap
penyakit ternak sapi potong. Tindakan pencegahan penyakit yang
dilakukan peternak biasanya adalah membersihkan kandang (sanitasi
kandang) dan lingkungan sekitar kandang. Pencegahan yang dilakukan
peternak dengan sanitasi kandang yang dilakukan 1 minggu 4 kali.
Sanitasi sebaiknya dilakukan untuk mencegah terjadinya
perkembangan penyakit. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono
(1999) dalam Asmirani, dkk (2014) yang menyatakan bahwa sanitasi
kandang dapat mencegah timbulnya penyakit pada ternak.
Tidak hanya sanitasi kandang dan kebersihan tubuh ternak
saja yang harus dijaga, tetapi alat-alat seperti alat coper pakan,
sabit untuk memotong rumput juga harus dijaga kebersihannya.
Sependapat dengan Aric, et all, (2008) bahwa peralatan yang
digunakan pemotongan pakan rumbut harus dibersihan untuk menjaga
kesehatan hewan.
Sanitasi yang dilakukan berupa menjaga kebersihan kandang
secara rutin dan kebersihan tubuh ternak salah satunya dengan cara
memandikan sapi. Badan sapi terutama pada bagian kulit, seringkali
kotor akibat : kulit ari yang mengelupas atau debu/ lumpur yang
melekat bersama dengan keringat dan lemak sapi agar terbebas dari
berbagai penyakit (Veronica, et all 2015). Menurut Ernawati, dkk
(2000) Dalam melakukan sanitasi kandang untuk pemeliharaan sapi,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu persyaratan
kandang, lokasi kandang, Arah kandang dan kebersihan kandang.
2.4.2 Bio security
Biosecurity didefinisikan sebagai keamanan dari penularan
penyakit menular, parasit dan hama. Biosecurity memiliki fokus
pada pemeliharaan atau peningkatan status kesehatan hewan dan
mencegah pengenalan patogen penyakit baru dengan menilai semua
kemungkinan resiko terhadap kesehatan hewan. Biosecurity memiliki
tiga komponen utama: segregasi, pembersihan dan desinfeksi
Biosecurity tidak hanya menjaga lingkungan yang baik namun juga
meminimalkan penyakit menular dan zoonosis dan selanjutnya
meningkatkan kesehatan masyarakat langkah biosekuriti pada
peternakan sapi terdiri dari gerakan hewan, pembagian peralatan
dan perusahaan dan kontraksi mengunjungi peternakan (Lestari et
all, 2014). Sependapat juga dengan Wahyuning (2010) bahwa
Biosekuriti merupakan perlakuan pertama dari sembilan tindakan
pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan
kontak dengan peternakan tertular dan agens penyebar penyakit.
Biosecurity mempunyai peranan penting dalam pencegahan
penyebaran penyakit. Dalam suatu usaha peternakan biosecurity
merupakan sesuatu sistem yang dapat melokalisasi agen penyakit
sehingga tidak menyebar ke tempat lain atau di dalam peternakan
itu snediri (Prichard et all, 2015).
Biosekuriti dilaksanakan melalui penyediaan pagar yang
melindungi peternakan, adanya kandang dengan dengan kontruksi
kandang yang kokoh, adanya jarak antara peternakan dengan
pemukiman penduduk, adanya jarak antar kandang yang dibangun,
pekerja peternakan tidak meminjamkan peralatan kandang dan adanya
tindakan pengawasan terhadap pengunjung (Suyasa dkk, 2016).
Hasil wawancara lisan dengan peternak, sebagian pelaksanaan
biosecurity telah diterapkan seperti pengeluaran ternak yang mati
dan pemisahanan ternak yang sakit. Seperti yang dikatakan Abu
Bakar (2014) bahwa C. Pelaksanaan Biosecurity Dalam rangka
pelaksanaan kesehatan hewan, setiap pembibitan sapi potong harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. lokasi usaha tidak mudah dimasuki binatang liar dan bebas dari
hewan peliharaan lainnya yang dapat menularkan penyakit;
2. melakukan desinfeksi kandang dan peralatan dengan
menyemprotkan desinfektan;
3. melakukan penyemprotan insektisida pembasmi serangga, lalat,
dan hama lainnya di sekitar kandang ternak;
4. untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari satu
kelompok ternak ke kelompok ternak lainnya, pelayanan
dilakukan mulai dari ternak yang sehat ke ternak yang sakit;
5. menjaga agar tidak setiap orang dapat bebas keluar masuk
kandang ternak yang memungkinkan terjadinya penularan
penyakit;
6. membakar atau mengubur bangkai ternak yang mati karena
penyakit menular;
7. menyediakan fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan
kendaraan tamu di pintu masuk perusahaan;
8. segera mengeluarkan ternak yang mati dari kandang untuk
dikubur atau dimusnahkan;
9. mengeluarkan ternak yang sakit dari kandang untuk segera
diobati atau dipotong.
2.4.3 Kesehatan
Kesehatan adalah istilah umum yang menggambarkan keseluruhan
kesejahteraan dan kondisi ternak. Di banyak cara yang sama bahwa
"kecantikan ada di mata yang melihatnya," Kesehatan sapi potong
seringkali menjadi masalah, biasanya ditentukan oleh pengamatan
visual dari Hewan, sering ditambah dengan berbagai pengukuran
klinis (misalnya, suhu rektal atau serum klinis profil) untuk
membantu konfirmasi keadaan penyakit dan diagnosa (Galyean et al,
2006)
Menurut Endang dan Masito (2010) Manajemen kesehatan yang
baik meliputi kesehatan sapi (program pengobatan dan vaksinasi),
kebersihan kandang dan lingkungan (sanitasi dan desinfeksi)
sehingga dapat meminimalisasi agen patogen (bakteri, virus, jamur,
protozoa) yang dapat mengganggu kesehatan sapi. Hasil wawancara
lisan yang dilakukan dengan peternak, seluruh peternak sudah
melakukan manajemen kesehatan yang baik seperti pengobatan,
vaksinasi dan menjaga kebersihan kandang.
Untuk perawatan sapi potong yaitu dengan memandikan sapi
pada pagi hari dengan menyemprotkan air dengan menggunakan selang
atau menyiram air dengan menggunakan ember dan kemudian digosok
dengan menggunakan sapu lidi, hal ini untuk menghindari
terbentuknya kerak pada permukaan kulit maupun di bawah lipatan
kulit. Hal ini sesuai dengan pendapat Wardoyo dan ahmad (2011),
yaitu sapi sangat perlu dimandikan pada pagi hari karena biasanya
pada malam hari sapi itu penuh dengan kotoran yang menempel pada
tubuhnya. Sapi yang selalu bersih akan terhindar dari berbagai
penyakit dan nafsu makannya meningkat. Sapi yang kulitnya bersih,
air keringatnya akan keluar dengan lancar, pengaturan panas tubuh
akan sempurna, dan parasit kulit yang menyebabkan penyakit pada
kulit tidak mudah menginfeksi.
Hasil wawancara lisan dengan peternak, diketahui bahwa
penanganan kesehatan dan pengobatan terhadap ternak yang sakit
pada umumnya mendapatkan perhatian yang baik. Peternak
mengandalkan mendatangkan mantri hewan untuk melakukan pengobatan
dan pemberian vaksinasi.. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjahjati
(2001) yang menyatakn bahwa pemberian vaksinasi secara berkala
penting dilakukan, pemberian vaksinasi sebaiknya dilakukan setiap
2–3 bulan sekali yang berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit
menular.
Peternak juga perlu memperhatikan Parasit pada tubuh ternak
seperti yang dikatakan Ektoparasit merupakan parasit yang menempel
pada hewan ternak. Bisa mulai dari serangga. Ektoparasit bisa
mengganggu hewan ternak dan bisa menyebabkan menurunnya nafsu
makan untuk hewan ternak.(Hill and Dubey, 2013).
5. Judging
Judging atau penilaian pada ternak sangat diperlukan untuk
mengetahui seberapa baik kualitas dari seekor ternak. Penilaian pada
seekor ternak biasanya didasarkan pada recording ternak, mulai dari
siapa induknya, riwayat penyakit, catatan produksi dll. Hal ini sesuai
dengan pendapat Nugroho (2008) bahwa penilaian ternak (sapi/kerbau)
berdasarkan keturunan atau silsilahnya dapat dilihat dari data
rekordingnya. Data yang dilihat antara lain: mengenai siapa bapaknya,
siapa induknya, danberdasarkan catatan produksinya baik itu daging,
susu atau jumlah anak yang dilahirkan, beratanak pada waktu lahir,
ketahanan terhadap penyakit, dan lain-lain.Penilaianini juga digunakan
sebagai acuan menseleksi atau memilih bibit yang baik pada ternak,
dikarenakan baik buruknya seekor ternak kedepannya dapat dilihat dari
recordingnya. Jadi sangat penting dilakukannya penilaian pada ternak,
menurut Oltenacu dan Broom (2010) bahwa perlunya pemilihan dan
pemuliaan yang dinilai berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan dan
kesejahteraan individu dan generasi mendatang.
Menurut Patmawati dkk (2013) bahwa beberapa hal yang dinilai dalam
uji Performans ini adalah: (1) penilaian kuantitatif yang meliputi
panjang badan, lingkar dada, tinggi gumba, dan berat badan; (2)
penilaian kualitatif yang meliputi lingkar skrotum, temperamen, warna
rambut , cacat klinis, penyimpangan dari criteria sapi Bali murni,
keserasian dan perototan. Oleh karena itu sebenarnya dalam penilaian
ternak tidak cukup dengan hanya melihat dari recording ternak namun
perlu dilakukannya pengamatan atau penilaian secara langsung.
Pada saat dilapangya itu pada saat kontes ternak, untuk penilaian
sapi kreman dilakukan pengukuran bobot badan ternak. Hal ini sesuai
dengan pendapat Suranjaya dan Wiyana (2011) bahwa pengetahuan dan
keterampilan peternak dalam mengukur bobot badan ataupun capaian
pertambahan bobot badan ternaknya adalah salah satu aspek manajemen
yang cukup penting pada usaha pemeliharaan sapi potong (kreman). Hal
ini menandakan bahwasannya pengukuran bobot badan ternak perlu
dilakukan. Tidak hanya bobot badan yang perlu diukur, namun ukuran atau
bentuk kaki dari ternak juga perlu dilihat dikarenakan banyak ternak
yang bobot badannya baik namun kakinya tidak mampu menopang berat
tubuhnya. Hal tersebutdikuatkanolehpendapat Cole et al (2011) bahwa
dalam penilaian ternak yang perludilihatantara lain ambing, kaki,
bentuk tubuh. Kaki ternak penting diperhatikan untuk mengetahui
kekuatan menopang berat tubuh ternak. Penilaian tersebut untuk berjaga-
jaga agar ternak sehat sampai dewasa.
6. Body Condition Score
BCS merupakan suatu metode peniliaian tingkat kegemukan dari
seekor ternak secara subyektif, untuk range penilaian tersebut berbeda
antara ternak potong dan ternak perah. Penilaian untuk ternak perah
dari 1 – 5, sedangkan untuk ternak potong antara 1 – 9. Scorenya pun
sangat bervariatif tergantung dari kondisi atau periode dari ternak
karena dengan mengetahui nilai BCS maka kita dapat tahu nilai nutrisi
yang sudah diserap dan bagaimana tingkat reproduksi dari seekor ternak
atau kesehatan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Petrovska dan
Jonkus (2014) bahwa BCS adalah yang terendah dari hari laktasi ke-40
sampai 80. Pada periode ini BCS menurun menjadi 2,45 poin. Menurut
penelitian sebelumnya, risiko menjadi sakit dengan demam susu, ketosis
dan fatty liver meningkat jika BCS lebih besar dari 3,5 poin setelah
melahirkan dan hilangnya BCS sangat hebat.
Dalam penilaian BCS dilakukan dengan beberapa tahap yaitu
mengamati lalu mengkategorikan tubuh sapi apakah termasuk ukuran kurus,
sedang atau gemuk. Langkah berikutnya yaitu perabaan dan ditekan, dalam
perabaan ini yang diraba ialah beberapa bagian ternak diantara lain
rib, backbone, rump, hip, tailhead, dan pine bone. Penekanan pada tubuh
ternak dilakukan untuk mengetahui tingkat perlemakan dari ternak.
Langkah terakhir yaitu pemberian score BCS yaitu antara 1 – 9 sesuai
dengan kategori ukuran tubuh ternak yang telah ditentukan sebelumnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Eversole et al (2009) bahwa perabaan
dilakukan di bagian backbone, ribs, hooks dan pins. Untuk nilai BCS 5 –
7 maka tubuh ternak dalam kondisi ideal dikarenakan beberapa bagian
tertutupi lemak.
Menurut Susilorini dkk (2008) bahwa pemberian score dapat dilihat
dari perlemakan di daerah rump (antara hip dan tail head), apabila
membentuk cembung maka dapat di beri nilai paling tinggi sedangkan
apabila langsung tulang atau tidak ada perlemakan maka diberi nilai
terkecil.
Nilai BCS perlu diperhatikan dikarenakan nilai BCS yang terlalu
besar ataupun kecil atau bisa disebut tidak ideal akan mempengaruhi
reproduksi dari seekor ternak. Hal ini disampaikan oleh Budiawan dkk
(2015) bahwa apabila ternak mempunyai bobot badan yang melebihi bobot
badan ideal, ternak tersebut akan mengalami gangguan reproduksi dan
penyakit metabolisme, sebaliknya apabila ternak memiliki bobot badan
kurang dari ideal akan berdampak pada sistem reproduksi. Oleh karena
itu, perlunya untuk mengkontrol dari kondisi ternak atau nilai BCS
ternak.
Menurut Anisa dkk (2017) bahwa Body Condition Score (BCS) induk
erat hubungannya dengan status cadangan energy tubuh ternak, sedangkan
cadangan energy tersebut erat hubungannya dengan gizi yang dikonsumsi.
Dapat diartikan bahwa BCS dipengaruhi oleh pakan yang diberikan pada
ternak tersebut. Hal ini juga sesuai dengan tujuan dari penilai BCS
yaitu untuk mengetahui estimasi manajemen pemberian pakan pada seekor
ternak
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam pemeliharaan ternak sapi potong terdapat faktor – faktor yang
penting untuk diperhatikan salah satunya adalah segitiga produksi dimana
terdapat breeding, feeding dan management. Breeding berarti bibit
sehingga dalam pemeliharaan sapi potong, bibit yang kita peroleh harus
bagus, tidak cacat, tidak sakit, dan data tetuanya jelas (terdapat
recording). Feeding merupakan pakan yang diberi untuk dikonsumsi oleh
ternak sapi potong itu. Pakan yang diberi harus memenuhi secara
kuantitas dan kualitas atau ketersediaan nutrient yang dibutuhkan oleh
ternak sapi potong terpenuhi dan ketercukupi. Hal yang tidak kalah
pentingnya dalam pemeliharaan sapi potong adalah manajemen dimana
manajemen ini terdiri dari manajemen kandang, menajemen kesehatan, dan
manajemen pemeliharaan.
2. Saran
Manajemen pemeliharaan untuk sapi potong harus lebih diperhatikan
lagi, pemberian pakan dan sanitasi lingkungan ternak potong harus selalu
terjaga agar hasil yang didapat bisa optimal.
DAFTAR PUSTAKA
A. Nikkhah,A. 2013. Feeding Frequency Interfacing Tradition and modernity
in Dairy Production: Feeding Behavior Insights. Journal of Animal
and Poultry Science, 2013, 2(4): 91-97.
Abidin, Zainal. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Jakarta: Agro Media
Adial. 2010. Potensi Sapi Pesisir Dan Upaya Pengembangannya Di Sumatera
Barat. Jurnal Litbang Pertanian. 29(2) : 66-72
Ajiz, I.J. 2016. Sistem Rekomendasi Bibit Sapi Menggunakan Metode Ahp Dan
Topsis. Artikel Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Hal 2-13.
Alam, Asmirani., S.Dwijatmiko dan W.Sumekar. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Aktivitas Budidaya Ternak Sapi Potong di Kabupaten Buru.
Agrinimal 4 (1) : 28-37
Anisa, E., Y. S Ondho dan D. Samsudewa. 2017. Pengaruh Body Condition Score
(BCS) Berbeda Terhadap Intensitas Birahi Sapi Induk Simmental
Peranakan Ongole (SIMPO). Jurnal Sains Peternakan Indonesia. 12(2)
Asmirani, Alam., S. Dwijatmiko Dan W. Sumekar. 2014. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Aktivitas Budidaya Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Buru
Agrinimal. 4 (1) : 28-37
Badriyah, Nuril dan I.N. Fatilah. 2011. Studi Manajemen Pakan Domba Di
Peternakan Jaya Mandiri Di Desa Campurejo Kecamatan Panceng Kabupaten
Gresik. Jurnal ternak. 2 (1) : 16-20.
Bakar, Abu. 2014. Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik. Jakarta :
Direktorat Perbibitan Ternak.
Belasco,Eric., Yuanshan,C., Ted,C. 2015. The Impact of Extreme Weather on
Cattle Feeding Profits. Journal of Agricultural and Resource
Economic. Vol. 40(2):285–305
Berry, D.P., E. Wall., J.E Pryce. 2014. Genetics and Geonomics of
Reproductive Performance in dairy and Beef Cattle. Animal. 8: 105-121
Brandt, Aric W., M. W. Sarderson., B. D. Degroot., D. U. Thomson and Larry
C. H. 2008. JAVMA. 232 (2) : 262-270.
Budiawan, Aditya., M. Nur Ihsan., dan Sri Wahyuningsih. 2015. Hubungan Body
Condition Score Terhadap Service Per Conception dan Calving Interval
Sapi Potong Peranakan Ongole di Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan.
Jurnal Ternak Tropika. 16(1):34-40
Cole, John B., George R Wiggans., Li Ma., Tad S Sonstegard., Thomas J
Lawlor Jr., Brian A Crooker., Curtis P Van Tassel., Jing Yang.,
Shengwen Wang., Lakshmi K Matukumalli and Yang Da. 2011. Genome-wide
association analysis of thirty one production, health, reproduction
and body conformation traits in contemporary U.S. Holstein cows. Bio
Meal Central.
Efendy,J., Affandhy, L. 2016. Kualitas Kompos Sapi Po Pada Sistem
Pemeliharaan Di Kandang
Ernawati. 2000. Sanitasi Kandang Sapi Perah. Jawa Tengah : Departemen
Pertanian BPTP Ungaran
Eversole., Dan E., Milyssa F. Browne., John B. Hall and Riichard E. Dietz.
2009. Body Condition Scoring Beef Cows. Virginia Cooperative
Extension.
Gollnick,S.N.,Scharr,J.C.,Schares,G., Langenmayer,M.C. 2015.
NaturalBesnoitia besnoitiinfections in cattle:chronology of disease
progression. BMC Veterinary Research. Vol 11(35): 1-16.
Guo, Pengcheng., Zhao, Zhihul., Yan, Shouqing., dkk. 2016. PSAP gene
variants and haplotypes reveal significant effects on carcass and meat
quality traits in Chinese Simmental-cross cattle. Arch Anim Breed. 59:
461-468
Gustiani, Erni., Budiman dan Sukmaya. 2010. .Pengaruh Perbaikan Manajemen
Pakan Dengan Metoda Flushingterhadap Kinerja Reproduksi Induk
Sapi Podi Kabupaten Bandung. Jurnal Peternakan. 3(4):20-26.
Hall, John B., William W. Seay., Scott M. Baker.2012. Production Cycle
Nutrition and Nutrient Requirements of Cows, Pregnant Heifers and
Bulls. Journal of Animal Husbandry.5(6):11-22.
Hartono, S., Widayati, T.W. 2011. An Alternative Approach To Meet Beef Self-
Sufficiency In West Papua. J. Indonesian Trop Anim Agric. 36(3): 198-
204
Hastuti,D dan Shofia Nur Awami.2015. Analisis Ekonomi Usahatani Sapi Potong
Di Kelurahan Plalangan Gunungpati Kota Semarang. Jurnal Ilmiah
Cendekia Eksakta :24-34
Hill, D.E and J.P Dubey. 2013. Toxoplasma gondii prevalence in farm animals
in the United States. International Journal for Parasitology. 4 (3) :
107-133
K. Pritchard, W., Wapenaar and M.L Brennan. 2015. Cattle Veterinarian's
Awareness and Understanding of Biosecurity. 1 (1) : 1-4
Kelompok Model Balitbangtan. Prosiding Seminar Nasional II. Hal 280-286 .
Korsan,E.Y.N., Soebroto,A.A., Cholissodin. 2015. Sistem Pendukung Keputusan
Pemilihan Bibit Unggul Sapi Bali Menggunakan Algoritma Simpliified
Sequential Minimal Optimization (Ssmo) Pada Suppport Vector Machine
(Svm). Journal of Environmental Engineering & Sustainable Technology
(JEEST). Vol. 02 No. 01. Pages 37-48.
Kusuma, Satria Budi., Ngadiyono, Nono., Sumadi. 2017. Estimasi Dinamika
Populasi Dan Penampilan Reproduksi Sapi Peranakanongole Di Kabupaten
Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Buletin Peternakan Vol. 41 (3): 230-242
Kutsiyah, Farahdilla. 2012. Analisis Pembibitan Sapi Potong. Wartazoa.
22(3) : 113-126.
Lestari C.M.S, E. Purbowati, S. Dartosukarno dan E. Rianto.2014. Sistem
Produksi dan Produktivitas Sapi Jawa-Brebes dengan Pemeliharaan
Tradisional. Jurnal Peternakan Indonesia.vol 16.(1):8-14
Lestari T Dan Budi Rianto.2016. Economic Empowerment "Peasants" Beef Cattle
Through The Intensive Scale House District Trenggalek. Academic
Research International Vol. 7(1):207-213
Lestari, V. S., S.N. Sirajudin and K. Kasim. 2015. Perception of Beef
cattle Farmers toward Biosecurity Practices. Advances in
Environtmental Biology. 9 (24) : 450-452.
Lestari, V.S., S.N. Sirajudin and A. Asnawi. 2014. Biosecurity Adoption on
Cattle Farms in Indonesia. European Journal of Sustainable
Development. 3 (4) : 403-408
M. L. Galyean., L. J. Perino and G. C. Duff. 2012. Interaction of Cattle
Health/Immunity and Nutrition. 2009. J. Anim. Sci. 7 (1) : 1120-1134.
Nugroho, Cahyo Priyo. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
Oltenacu, PA and DM Broom. 2010. The Impact of Genetic Selection for
Increased Milk Yield on the welfare of Dairy Cows. Animal Welfare.
19(s): 39-49
Patmawati, Ni Wayan., Ni Nyoman Trinayani., Mahmud Siswanto., I Nengah
Wandia dan I Ketut Puja. 2013. Seleksi Awal Pejantan Sapi Bali
Berbasis Uji Performans. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan. 1(1):25-33
Pen, M., Savage,D., Strur, W., Lorn, S., Seng,M. 2010. Cattle Feeding and
Management Practices of Small-holder Farmers in Kampong Cham Province,
Cambodia. International Journal of Environmental and Rural
Development. Hal 132-139.
Petrovska, Solvita and Daina, Jonkus. 2014. Relationship Between Body
Condition Score, Milk Productivity and Live Weight of Dairy Cows.
Agricultural Sciences. 1
Porto, Marlos Oliveira., Mário Fonseca Paulino, Sebastião de Campos
Valadares Filho, Edenio Detmann, Jucilene Cavali, Maykel Franklin
Lima Sales, Ériton Egidio Lisboa Valente, Victor Rezende Moreira
Couto. 2012. Nutritional requirements of energy, protein and
macrominerals for maintenance and weight gain of young crossbred
Nellore × Holstein bulls on pasture. Revista Brasileira de
Zootecnia. Vol.41, No.3, Page.734-745.
Prajogo., U. Hadi., N. Ilham. 2012. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha
Pembibitan Sapi Potong Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21(4):
148-157
Qomarudin,M dan Ahmad,N.P. 2011. Studi Manajemen Pemberian Pakan Pada
ternak Sapi Potong di Kelompok Tani Ternak Mekar Sari Desa Tambak
Rigadung Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan. Jurnal Ternak,
Vol.02(1): 21-23.
Safus, P.,Pribyl,Z., Vesela,L., Stipkova,M.,Stadnik. 2006. Selection
indexes for bulls of beef cattle. Czech J. Anim. Sci. Vol 51 (7):
285–298.
Sejati, Wahyuning K., 2010. Penerapan Biosekuriti pada Peternakan Ayam
Broiler di Kabupaten Bogor. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 32 (6) : 1-3
Sirajuddin S.N, Aslina Asnawi, Ilham Rasyid, Azmi Mangalisu, Masnur.2016.
Competitiveness of Beef Cattle Fattening in Kulo Subdistrict, Sidrap
District South Sulawesi. Advances in Environmental Biology, 10(1),
Pages: 171-175
Steflyando,R;Abubakar;Alex Saleh.2014. Analisis Kelayakan Usaha Sapi Potong
Dengan Metode Zero Waste Farming Di Kecamatan Parongpong. Jurusan
Teknik Industri Itenas. No.04.Vol.01:226-237
Sudarmono dan Y.B. Sugeng. 2016. Panduan Beternak Sapi Potong. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Sudarmono,A.S dan Bambang,S. 2007. Sapi Potong + Pemeliharaan, Perbaikan
Produksi, Prospek Bisnis, Analisis Penggemukan. Penebar Swadaya.
Sudarmono,A.S dan Sugeng, Y.B.2008.Sapi Potong.Jakarta:Penebar Swadaya
Sudarmono. A. S dan Sugeng, B. 2009. Pemeliharaan, Perbaikan Produksi,
Prospek Bisnis, Analisis Penggemukan Sapi Potong. Jakarta : PS
Suhaema E, Widiatmaka, dan Boedi Tjahjono.2014. Pengembangan Wilayah
Peternakan Sapi Potong Berbasis Kesesuaian Fisik Lingkungan Dan
Kesesuaian Lahan Untuk Pakan Di Kabupaten Cianjur. J. Tanah Lingk., 16
(2): 53-60
Suharyati,S dan Hartono,M. 2015. Pengaruh Manajemen Peternak Terhadap
Efesiensi Reproduksi Sapi Bali Di Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. Vol. 16 (1): 61 – 67
Suranjaya, I. GD dan KD. Anom Wiyana. 2011. Aplikasi Rumus Penaksiran Bobot
Badan Ternak Berdasarkan Ukuran Dimensi Tubuh Pada Kelompok Peternak
Sapi Potong di Desa Dauh Yeh Cani Abiansemal Badung. Udayana Mengabdi.
10(1):46-50
Susilawati, Endang dan Masito. 2010. Teknologi Pembibitan Ternak Sapi.
Jambi : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Susilorini, Tri Eko., Manik Eirry Sawitri dan Muharlien. 2008. Budidaya 22
Ternak Potensial. Jakarta:Penebar Swadaya
Suyasa, Ika G., N.P. Sarini dan S.A. Lindawati. 2016. Penerapan Manajemen
Pencegahan Penyakit di Peternakan P4S Mupu Amerta, Banjar Sale, Desa
Abuan, Bangli. Peternakan Tropika. 4 (1) :1-6
Syafrial., Susilawati, E., Bustami. 2007. Manajemen Pengelolaan Penggemukan
Sapi Potong. Jambi : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Taufiq, Muhammad Noor., Candra Dewi, Wayan Firdaus Mahmudy. 2017. Optimasi
Komposisi Pakan Untuk Penggemukkan Sapi Potong Menggunakan Algoritma
Genetika. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer
Vol. 1, No. 7, Juni 2017, hlm. 571-582.
Thompson, N. M., Eric A., Vuyst, D., Brorsen,B.W., Lusk,J.L. 2014. Value of
Genetic Information for Management and Selection of Feedlot Cattle.
Journal of Agricultural and Resource Economics. Vol 39(1):139–155.
Truyers,I., Luke,T., Wilson,D., Sargison,N. 2014. Diagnosis and management
of venereal campylobacteriosis in beef cattle. BMC Veterinary
Research. Vol 10(280):1-7
Umiyasih, Uum., Yenny Nur Anggraeny. 2012. Petunjuk teknis Ransum seimbang,
strategi pakan Pada sapi potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan:Pasuruan.
Wahlberg, M. L. 2009. Alternative Feeds for Beef Cattle. VirginiaTech. Hal
1-9
Walmsley B.J., M.L Wolcott., W.S Pitchford., D.J Johnston., S.A Barwiek.
2016. Extended cow Liveweight Modelling For Beef Cattle Breeding
Objectives. Proc. Assoc. Breed. Genet. 21: 13-16.
Wardoyo dan Ahmad R. 2010. Studi Manajemen Pembibitan dan Pakan Sapi
Peranakan Ongole di Loka Penelitian Sapi Potong Grati Pasuruan.
Jurnal Ternak, Vol.02(1):1-7
Wardoyo dan A. Risdianto. 2011. Studi Manajemen Pembibitan Dan Pakan Sapi
Peranakan Ongole Di Loka Penelitian Sapi Potong Grati Pasuruan. Jurnal
Ternak. 2 (1) : 1-15.
Wardoyo dan Risdianto. 2011. Studi Manajemen Pembibitan dan Pakan Sapi
Peranakan Ongole di Loka Penelitian Sapi Potong Grati Pasuruan. Jurnal
Ternak. Vol 02 (1): 1-7