Manajemen Operasi Internasional
Nissan Motor Company
Dosen Pengampu : Anjar Priyono S.E.,M.Si.,Ph.D.
Disusun Oleh:
Rangga Surya Hidayat (14311639)
Muhammad Rafi Adriyan (14311645)
Elmy Nur Rohmah (14311653)
Evi Komalasari Aji Darma (14311657)
PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam gambaran kasus "Nissan Motor Company, Building Operational Resiliency" Jepang 11 Maret 2011 mengalami gempa bumi dan tsunami dengan kekuatan 9,0 skala Richter, di antara lima yang paling kuat pada waktu itu, terjadi di lepas pantai Jepang. Gelombang tsunami lebih dari 40 meter ini mempunyai ketinggian perjalanan hingga 10 kilometer kedalaman dan kemudian disusul tiga reaktor nuklir di Fukushima Dai-ichi dengan tingkat tujuh kebocoran. Dampak bencana gabungan ini adalah menghancurkan, dengan lebih dari 25.000 orang tewas, hilang dan terluka. Bencana ini tidak hanya berdampak pada krisis kemanusiaan, tetapi juga merupakan pukulan berat bagi perekonomian Jepang, seperti halnya 125.000 bangunan rusak dan produksi bulanan mengalami penurunan hampir 60% di bulan Maret dan April 2011 dibandingkan dengan tahun 2010, dan tidak sepenuhnya pulih hingga bulan Oktober. Contohnya Pasar di luar Jepang yang terpengaruh dengan adanya bencana pada saat itu, seperti Perusahaan Toyota, Honda dan Nissan, tiga industri besar yang berada di Jepang yang merupakan industri produsen otomotif peralatan asli (OEM), yang menerima sejumlah besar ekspor produksi dari Jepang untuk melayani pasar luar negeri. Sehingga dalam hal ini penurunan produksi berdampak pada ketersediaan produk Jepang di pasar-pasar ekspor. Khususnya pada industri Nissan yang mengalami kerusakan enam fasilitas produksi dan sekitar 50 dari pemasok mengalami kritis dan gangguan. Namun demikian, perusahaan Nissan tersebut mempunyai strategi-strategi yang siap untuk menahan berbagai macam guncangan, salah satunya seperti bencana alam pada waktu itu.
Sejarah industri otomotif di negara Jepang, sebelum tahun 1930-an pada dasarnya dalam kemampuan manufaktur secara domestik sangat terbatas, kemudian pada tahun 1933 langkah produksi sektor indutri menuju produksi massal. Sebelum perang duania ke II anak perusahaan jepang yaitu Ford dan General Motor mendominasi industri otomotif, namun Nissan dan Toyota memulai setelah perang dunia ke II. Pada saat itu Nissan dan Toyota sangat tertatih-tatih pada produktivitas produksi yang rendah dan akan beresiko tergelincir ke dalam kebangkrutan, jika kedua perusahaan tersebut tidak bekerjasama untuk mendapatkan pinjaman besar dari pemerintah dan dari Angkatan Darat Amerika Serikat selama Perang Korea. Perusahaan otomotif Jepang tersebut sangat bergantung pada transfer teknologi dari Amerika Serikat dan Eropa. Sehingga pada waktu itu perusahaan Toyota lebih agresif dalam mengembangkan penelitian dan mengembangkan kemampuan internal mereka, dan strategi ini akhirnya diadopsi oleh produsen mobil lainnya di negara Jepang. Dalam hal ini Produsen otomotif Jepang juga berkonsentrasi pada perbaikan proses, dan Toyota menjadi inovator awal dalam menerapkan strategi-strategi manufaktur Just-In-Time.
Prinsip-prinsip manufaktur Just-In-Time ini dipelopori oleh Toyota, yang telah diadopsi dalam berbagai aspek oleh produsen lain di negara Jepang dan global. Industri otomotif Jepang mulai memukul langkahnya. Pada akhir 1960-an, baik Toyota dan Nissan telah meningkat pesat dalam produksi dan ekspor mereka. Pada akhir 1970-an, ekspor menyumbang lebih dari 50% dari produksi Jepang dan pada tahun 1980 Jepang menyalip Amerika Serikat sebagai top negara produsen mobil dunia. Perusahaan mobil Jepang mulai membangun fasilitas manufaktur di Amerika Utara, seperti perusahaan Honda, Nissan dan Toyota yang bergerak pertama dan Mazda, Mitsubishi, Suzuki, dan Isuzu kemudian mengikuti setelahnya. Apresiasi yang cepat setelah kesepakatan yang dibuat pada pertemuan G-5 pada September 1985 menyebabkan perluasan lebih lanjut dari produksi asing di kedua negara maju dan berkembang tersebut. Tiga perusahaan Jepang terbesar melakukan operasi yang mengglobal untuk langkah yang berbeda, namun, perusahan seperti Honda dan Nissan memperluas jejak manufaktur asing mereka jauh lebih agresif daripada Toyota.
Nissan sangatlah berbeda dalam tata cara kontrol rantai pasokannya, perusahaan lebih menganut pada sistem desentralisasi struktur rantai pasokan namun tetap dikenakan kontrol pusat yang sangat kuat dan koordinasi penuh, khususnya ketika terjadi krisis yang memperngaruhi operasi global. Sesungguhnya mempertahankan organisasi yang fleksibel dan terintegritas sangatlah penting, terutama dalam prespektif tentang atribut kebudayaan. Sebegai indikasi dari cara perusahaan Nissan memeluk keberagaman ini dengan cara, mayoritas pejabat perusahan Nissan mewakili berbagai kebangsaan bahkan sebagian mereka memiliki pengalaman yang luas dalam operasi luar negri, dan ini merupakan ciri yang tidak dimiliki perusahaan lainya di jepang. Pihak perusahaan yakin keragaman ini menjadi sumber kekuatan dalam mengelola operasi global. Selain itu Nissan mengedepankan fleksibilitas yang berupaya untuk mempertahankan lini produk yang disederhanakan. Perusahaan mengadopsi strategi build to stock dan strategi build to order. Manajemen percaya bahwa strategi ini tidak hanya membantu untuk menyederhanakan operasi dan penawaran produk saja, namun juga sebenarnya memberikan kontribusi untuk peningkatan yang signifikan dalam hal penjualan. Filosofi supply chain adalah salah satu kewaspadaan dan kemampuan reaksi yang ekstrim yang di bangkitkan dari pengalaman krisisinya pada tahun 1999. Dengan menjaga manajemen rantai pasokan agar produksi masih tetap berjalan dengan baik, yang mampu menimbulkan rasa percaya diri ketika proses pemulihan dari bencana datang.
Manjemen risiko di Niisan antara lain , sikap Nissan terhadap resiko dan tanggap darurat muncul pertama kali melalui pengalaman perusahaan dalam mengatasi tantangan yang menakutkan. Pada tahun 1999 perusahaan menghadapi kesulitan keuangan yang parah. Untuk itu upaya perusahaan adalah memberdayakan divisi yang diharapkan mampu mengambil langkah langkah pencegahan untuk meminimalisisr dampak resiko yang didapat. Selanjutnya adalah persiapan yang terus menerus guna menanggulangi bencana Nissan membuat kegiatan seperti penguatan seismik fasilitas, peningkatan perencanaan kelangsungan bisnis dan simulasi bencana. Selain itu perusahaan juga memiliki rencana respon gempa darurat dalam tempat yang baik sebelum terjadinya gempa pada tahun2011, yang di jelaskan dalam laporan tahunan 2010. Nissan mempunyai prinsip prinsip dalam hal kemanusiaan , sebagai contoh rencana emergency response yang menjadi prioritas dalam keselamatan ketika terjadi bencana, kemudian pencegahan tindak tentang bencana, upaya pemulihan demi kesinambungan bisnis, serta dukungan untuk masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Yang pada akhirnya ini di tetapkan sebagai markas bencana global usai terjadinya bencana, yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mendistribusikan informasi mengenai keselamatan karyawan, kerusakan fasilitas, dan perencanaan kelangsungan bisnis untuk operasi Nissan dan para pemasoknya.
Terkait respon perusahaan Nissan, segera setelah bencana ada upaya pengendalian di markas Nissan yang dipimpin langsung oleh Chief Operating Officer, diselenggarakan untuk mengevaluasi dampak pada operasi dan untuk mengawasi pemulihan kegiatan. Sebuah komite pemulihan didirikan untuk mengkoordinasikan tindakan pemulihan global, khususnya untuk mengoptimalkan seluruh rantai pasokan. Pada tahun 2011 dalam laporan, dampak dari bencana yang dirasakan, terasa oleh semua daerah. Dalam bulan terakhir Nissan telah melaksanakan penanggulangan di setiap wilayah dimana ia melakukan bisnis. Di Eropa misalnya, dimana perusahaan mempertahankan basis produksi di Inggris, Spanyol dan Rusia, dengan mengambil langkah- langkah usai terjadinya bencana dengan cara memastikan persediaan suku cadang yang di butuhkan. Tim kawasan Eropa bekerja sama dengan pihak jepang untuk berbagi informasi tentang status pasokan yang masih tersedia. Dalam tingkat akurasi berbagi informasi ini benar-benar menakjubkan, guna menyelaraskan produksi-produksi tingkatan regional dengan kondisi yang terjadi setelah bencana, sehingga satu sama lain terjalin koordinasi yang efisien. Filosofi manajemen risiko perusahaan Nissan lahir dari pengalaman-pengalaman menjelang collapse nya perusahaan, hal ini yang menajdi pelajaran berharga bahwa seharusnya fokus untuk mengidentifikasi dan menganalisis risiko sedini mungkin serta cepat dalam melaksanakan penanggulangan. Perusahaan akhirnya membentuk fungsi manajemen risiko khusus yang bertanggung jawab untuk kegiatan ini. Ada juga sebuah komite tingkat eksekutif yang membuat keputusan tentang risiko perusahaan, yang berfungsi untuk mengelola risiko secara spesifik dan teratur kemudian di laporkan kepada komite pemulihan sehingga selalu terjalin koordinasi yang massif.
Dalam enam bulan setelah gempa bumi, produksi di semua produsen mobil di Jepang
menurun 24,3% dibandingkan dengan ramalan di awal. Tiga besar produsen Jepang bertengkar dengan isu yang berbeda terkait dengan bencana. Toyota memiliki eksposur yang signifikan karena ukurannya yang besar dan tingkat tinggi dari produksi Jepang (termasuk untuk ekspor). Nissan memiliki beberapa pabrik di dekat dengan daerah bencana. Sementara Honda sebagian terisolasi karena AS lokal sebagian besar memproduksi, pemulihan dari bencana itu masih lambat. Honda dikaitkan masalah produksi untuk kendala dalam rantai pasokan, 26 masalah yang Nissan telah berhasil terisolasi. Sebagai Chief Financial Officer Nissan Joseph Peter mengatakan, sebagian besar langkah-langkah yang telah kita diambil dalam menanggapi bencana 11 Maret merupakan kelanjutan dari strategi, prioritas dan rencana yang sudah di tempat. Salah satu contoh dari hal ini adalah Strategi lokalisasi perusahaan telah mengejar untuk lebih menyeimbangkan manufaktur dan sumber jejak penjualan perusahaan. Tindakan kita di daerah ini kembali ke awal dari krisis keuangan tahun 2008, ketika Tujuan utama kami adalah untuk mengurangi volatilitas dari pergerakan mata uang asing, terutama yen menguat, dan untuk mengurangi biaya.
Maju pada bulan januari 2012, perusahaan Nissan mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan produksi lokal mobil dalam amerika dari sekitar 70% sampai 90% sejumlah 2.015,28, selain itu perusahaan juga menetapkan target yang agresif untuk mengurangi ketergantungan pada komponen buatan jepang di pasbrik pabrik asing. Misalnya, perusahaan berharap untuk mengurangi jumlah komponen yang di bawa ke Amerika Utara dari jepang sekitar 50% yaitu 2.013,29. Menurut peter juga membuat upaya bersama untuk memahami dependensi yang ada dalam rantai pasokan. Banyak pelajaran yang dapat di ambil dari gempa, yang kedepannya akan memodifikasi pembelian untuk meningkatkan rencana yang berkesinambungan dalam bisnis, terutama untuk komponen komponen penting dan untuk mengurangi potensial dari risiko yang terjadi. Nissan memiliki pekerjaan yang harus dilakukan untuk menjadi lebih baik dalam melindungi terhadap bencana yang terjadi. Banyak tantangan yang masih terbentang di depan. Beberapa bagian pemasok belum mengembalikan operasi mereka. Kami rantai pasokan membutuhkan rehabilitasi. Pengalaman ini telah menginstruksikan kami dalam perlunya suatu ditindaklanjuti BCP (rencana kesinambungan bisnis) yang mencakup semua pemasok kami, termasuk di kedua dan ketiga tingkatan. Pengembangan rantai pasokan yang lebih kuat dan risiko yang komprehensif manajemen penting dalam membuat bisnis kita lebih sustainable.
Sehingga dalam kasus ini lebih pada mengidentifikasi struktur organisasi dan keputusan operasional yang memungkinkan Nissan Motor Company untuk pulih dari bencana lebih cepat daripada rekan-rekannya. Dalam melakukannya, Nissan diharapkan harus mampu dalam meningkatkan produksi dan merebut pangsa pasar dari pesaing-pesaing mereka, dengan mampu mewujudkan pemulihan dari masa-masa kebangkrutan dengan waktu yang relatif cepat melalui superior visibilitas rantai pasokan, upaya merespon dengan cepat, menerapkan alokasi pasokan yang fleksibel dan dalam keputusan produksinya.
Rumusan Masalah
Bagaimana identifikasi aspek dari respon Nissan dan apa manfaatnya?
Bagaimana manajemen resiko yang terdapat di perusahaan Nissan dan saran lainnya bagi kelompok anda?
Bagaimana Supply Chain management yang diterapkan di Perusahaan Nissan?
Bagaimana strategi lini produk perusahaan Nissan dalam merespon bencana?
Bagaimana strategi perubahan operasi pada tahun 2012, yang mempunyai pengaruh dalam kestabilan operasional di perusahaan Nissan tersebut setelah terjadinya bencana?
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis kasus
Respon Nissan Motor Company dalam menghadapi bencana
Setelah terjadinya bencana, perusahaan Nissan menyusun beberapa respon untuk mengendalikan bencana dalam skala global. Seperti dengan membuat markas yang dipimpin oleh COO (chief operating officer) yang bertujuan untuk mengevaluasi dampak yang terjadi pada bidang operasional dan juga untuk mengawasi pemulihan kegiatan akibat bencana. Selain itu perusahaan Nissan juga membentuk sebuah komite pemulihan guna untuk mengkoordinasikan kegiatan pemulihan dalam skala global, khususnya untuk mengoptimalkan seluruh rantai pasokan. Berikut adalah cara menanggapi bencana berdasar komite pemulihan:
Berbagi Informasi. Dalam berbagi informasi, perusahaan Nissan membawa semua wilayah global mereka ke dalam proses respon yang dilakukan, dimana dari tiap daerah diharuskan untuk mengirim dua staf ke Jepang untuk mengumpulkan informasi dari daerah mereka masing-masing karena informasi itu sangat diperlukan seperti halnya untuk menyelaraskan produksi antara Jepang dengan daerah yang lain. Selain itu, staf yang dikirimkan itu diharapkan dapat membantu mengatasi masalah secara holistik dalam menanggulangi bencana.
Mengalokasikan pasokan. Setelah terjadinya bencana, kapasitas pada perusahaan Nissan sangat terbatas dan manajemen harus mengidentifikasi bagaimana cara mengalokasikan pasokan secara global dan fokus pada barang dengan margin tinggi sehingga persediaan yang tersedia benar-benar dapat digunakan secara merata. Misalnya dengan menyediakan unit GPS (global positioning system) guna untuk memenuhi permintaan pelanggan dan mengalokasikan sumber daya secara tepat.
Mengelola produksi. Perusahaan Nissan mengelola produksi guna untuk mengurangi kesia-siaan terhadap nilai produksi, dan mengurangi kemacetan produksi atau hambatan dari awal produksi hingga produk itu sampai di tangan konsumen. Seperti halnya dengan mengurangi produksi dan menurunkan biaya lembur.
Kegiatan memberdayakan. Perusahaan Nissan menyediakan tindakan cepat dan fleksibel dan memberdayakan manajemen untuk membuat keputusan di lapangan tanpa analisis panjang dari pemerintah pusat. Untuk mempercepat proses pengambilan keputusan mengenai kegiatan pemulihan, perusahaan mengubah delegasi kewenangan aturan untuk jangka waktu terbatas. Pada saat bencana sangatlah perlu dalam membuat keputusan sementara dan tetap mengawasi situasi baru yang akan terjadi. Termasuk kelesamatan dan kerusakan yang disebabkan oleh karyawan.
Selain itu, langkah-langkah yang diambil setelah gempa seperti di Eropa adalah dengan memastikan persediaan suku cadang yang dibutuhkan dimana tim dari Eropa bekerjasama dengan Jepang mengenai informasi pasokan yang tersedia. Sehingga Eropa dan Jepang dapat menyelaraskan produksi mereka dengan kondisi Jepang.
Manajemen Resiko yang di terapkan di Nissan Motor Company
Dalam menghadapi bencana Nissan mempunyai langkah yakni pemberdayaan divisi yang diharapkan divisi ini nantinya mampu untuk mengambil langkah langkah pencegahan untuk meminimalisir dampak resiko yang terjadi. Selain dengan pemberdayaan divisi, simulasi bencana pun di lakukan yaitu dengan cara mengadakan kegiatan seperti penguatan seismik yang berkelanjutan, peningkatan perencanaan kelangsungan bisnis. Simulasi ini bertujuan agar ketika terjadinya bencana para karyawan sudah mengerti dan faham kemana harus kumpul dan atau bahkan apa yang seharusnya di lakukan ketika bencana itu berlangsung. Selanjutnya Nissan membuat komite pemulihan bencana dimana komite ini bertugas untuk mengevaluasi dampak operasi dan untuk mengevaluasi pemulihan kegiatan serta bertugas untuk mengkoordinasikan tindakan yang diambil untuk pemulihan tingkatan global, terutama dalam hal mengoptimalkan seluruh rantai pasokan. Perusahaan juga dapat melakukan strategi aliansi strategi global dengan lini yang luas. Artinya perusahaan melakukan perjanjian kerjasama dengan perusahaan yang bukan pesaingnya, tujuan yang di harapkan adalah untuk membagi beban fixed cost dan resiko pembuatan produk yang memakan biaya lebih mahal, namun dengan catatan perusahaan yang melakukan aliansi merupakan perusahaan terpercaya, sehingga kualitas dari Nissan tetap terjaga. Sehingga mampu mengurangi risiko operasi ketika perusahaan menghadapi tantangan bencana atau dsb. Karna pada dasarnya kemitraan bukan hanya merupakan suatu pilihan perencanaan, melainkan juga kebutuhan strategis. Selain itu Nissan juga dapat memperluas anak perusahaan yang membuat komponen komponen utama produk Nissan, sehingga harapaannya ketika bencana alam menimpa perusahaan inti, yaitu di jepang masih ada persediaan suku cadang yang di harapkan mampu menutupi kekurangan perusahaan di luar negeri.
Supply Chain Management Nissan Motor Company
Nissan Motor Company merupakan sebuah perusahaan yang dilahirkan kembali dari krisis pada tahun 1999 dan diselamatkan dari kebangkrutan yang akan datang ketika terjadi perang dunia II. Dalam hal ini, Nissan Motor Company melakukan penilaian risiko yang sewaktu waktu dapat menganggu dalam rantai pasokan didalam organisasi mereka adalah dengan adanya kontrol rantai pasokan, Nissan memanfaatkan sebuah strategi desentralisasi di dalam struktur rantai pasokan regional mereka, tetapi dalam strategi tersebut Nissan memiliki kontrol yang kuat dari pusat dan koordinasi yang yang baik ketika terjadi krisis yang mempengaruhi operasi global di perusahaan Nissan Motor Company. Nissan juga mempertahankan organisasi yang fleksibel dengan mengintegrasikan berbagai perspektif dan atribut budaya penting di dalam perusahaan tersebut, sebagai strategi dari cara perusahaan dalam memeluk keberagaman yang terdapat didalamnya, karena Nissan menganggap bahwa keragaman tersebut akan menjadi sumber kekuatan dalam mengelola operasi global yang cukup besar dan dapat menjadikan peluang untuk memperoleh posisi pasar terbaik. Strategi rantai pasokan Nissan juga fokus pada fleksibilitas, dengan mempertahankan lini produk yang dapat disederhanakan dibandingkan dari pesaing-pesaingnya. Manajemen Nissan percaya bahwa strategi ini tidak hanya membantu untuk menyederhanakan dalam operasi perusahaan dan penawaran produk, tetapi juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam meningkatkan penjualan, pembelian dan manjaemen rantai pasokan. Oleh karena itu supply chain management (Manajemen Rantai Pasokan) dalam suatu orgnisasi adalah salah satu strategi dalam merespon hal-hal yang tidak diinginkan dalam suatu organisasi dengan adanya tanggung jawab manajemen rantai pasokan yang terpusat untuk menjaga operasi produksi yang sedang berjalan. Sehingga dalam hal ini tujuan organisasi dan tanggung jawab terpusat yang jelas akan mempunyai pengaruh dalam pemulihan yang cepat yang dilakukan suatu organisasi tersebut dalam menghadapi krisis, bencana, maupun yang lainnya.
Strategi lini produk Nissan Motor Company
Menurut kelompok kami perusahaan Nissan dalam mempertahankan lini produknya mempunyai strategi dengan cara yang lebih sederhana di banding pesaingnya. Dengan mengadopsi strategi build to stock dan build to order, strategi build to stock sendiri merupakan suatu produk akhir yang nantinya untuk disimpan dan untuk pemenuhan kebutuhan konsumen melalui persedianan digudang sedangkan strategi build to order merupakan strategi yang hanya memproduksi produk akhir sesuai dengan adanya permintaan penganggan. Strategi ini mampu dalam menyederhanakan operasi dan penawaran produk, bahkan sebenarnya memberikan kontribusi dalam penjualan untuk peningkatan yang signifikan. Penerapan strategi build to stock sendiri mempunyai manfaat bagi organisasi ketika terjadi hal yang tidak terduga (permintaan produk), organisasi masih dapat memenuhi permintaan dari pelanggan karena ketersediaan rantai pasokan masih dapat terjaga dengan baik, sehingga secara tidak langsung melalui pemenuhan permintaan tersebut dapat mempertahan loyalitas dari pelanggan. Namun disisi lain hal tersebut juga mempunyai dampak negative, dimana dalam konsep Just in Time sendiri menjelaskan salah satu bentuk waste dalam oprasional perusahaan adalah adanya stock atau inventori yang berlebihan. Dimana dengan adanya stock yang berlebihan justru akan menambah biaya yang akan dikeluarakan oleh organisasi, seperti biaya simpan, penambahan orang untuk pengawasan, handling fisik dan potensi munculnya masalah penurunan kualitas produk. Sedangkan kekurangan dan kelebihan penggunaan strategi build to order diantaranya adalah perusahaan memperoleh pesanan dan tetap berjalan dengan memenuhi permintaan pasar; sebagai tambahan, organisasi dapat mengurangi pengeluaran besar pada organisasi yang ada (dari karyawan hingga gudangan hingga fasilitas) karena perkiraan penjualan yang tidak tepat. Kustomisasi missal dan build to order dapat dilakukan dan manajer operasi pada perusahaan terkemuka sanggup menghadai tantangan tersebut. Artinya strategi dalam lini produk ini memberikan kontribusi yang baik yang turut membantu perusahaan terutama ketika terjadinya bencana. Sehingga dari strategi tersebut perusahaan dapat menyeimbangkan strategi build to stock dan build to order untung diimplementasikan dalam oprasional perusahaan sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Penilaian perubahan strategi di tahun 2012 dan dampak dari perubahan strategi tetsebut terhadap Nissan Motor Company
Strategi yang di paparkan oleh Nissan pada tahun 2012 yaitu perusahaan Nissan mengumumkan bahwa mereka akan meningkatkan produksi lokal mobil dalam amerika dari sekitar 70 % sampai 90 % sejumlah 2.015,28, selain itu perusahaan juga menetapkan target yang agresif untuk mengurangi ketergantungan pada komponen buatan jepang di pasbrik pabrik asing. Misalnya, perusahaan berharap untuk mengurangi jumlah komponen yang di bawa ke Amerika Utara dari jepang sekitar 50% yaitu 2.013,29 sudah cukup baik, dengan adanya pengurangan pasokan pada komponen buatan Jepang di pabrik-pabrik asing, ini tentunya akan membuat lebih fleksibel namun tetap seharusnya masih anak perusahaan dari Nissan. Ketika Nissan pusat yang berada di jepang mengalami bencana alam, seperi: gempa bumi, tsunami atau dampak dari nuklir, dan akhirnya produksi terhenti selama beberapa waktu, sehingga menjadi hambatan untuk produktifitas Nissan di luar negeri, sehingga dengan memperkecil pasokan komponen-komponen dari jepang pabrik pabrik luar negri masih terjaga stabilitasnya. Hal ini sangat memepengaruhi fleksibilitas dalam nilai Supply Chain dan mengurangi beban operasi yang terhambat beberapa waktu. Tujuan manajemen membuat strategi ini tak lain adalah untuk menjaga perusahaan Nissan agar tetap sustain dengan banyaknya pesaing di dunia otomotif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perusahaan Nissan mempunyai banyak pengalaman yang sangat berharga, pengalaman itu di dapatkan dari tantangan yang di hadapi perusahaan dalam mengatasi bencana alam yang sering terjadi di negaa Jepang. Selain itu pengalaman berharga di dapatkan dari bangkitnya perusahaan yang hampir mendekati collapse yang terjadi setelah perang dunia ke II dan krisis yang mengancam pada tahun 1999. Sehingga pertama lahirlah filosofi supply chain untuk mengatasi krisis yang terjadi dalam rangka pemulihan dari bencana. Kedua lahirlah filosofi manajemen risiko dengan membentuk sebuah komite tingkat eksekutif yang membuat keputusan tentang risiko perusahaan, yang berfungsi untuk mengelola risiko secara spesifik dan teratur kemudian di laporkan kepada komite pemulihan sehingga selalu terjalin koordinasi yang massif. Sehingga dari strategi-startegi dalam menghadapi resiko-resiko yang akan terjadi di perushaan Nissan Motor Company tersebut akan membantu keberlangsungan operasional perusahaan Nissan Motor Company.