TUGAS MAKALAH
“
SISTEM MANAJEMEN KEBAKARAN PADA GEDUNG BERTINGKAT
”
Disusun Oleh:
RAMDHONI ZUHRO
NIM
101614253001 101614253001
OKKY ZUBAIRI ABDILLAH
NIM
101614253002 101614253002
FARAHUL JANNAH
NIM
101614253004 101614253004
MOCH. SAHRI
NIM
101614253007 101614253007
PROGRAM STUDI STUDI MAGISTER KESEHATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 2017
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang
Kebakaran terjadi tidak mengenal tempat dan waktu, bisa terjadi dimana saja
dan
menyaksikan
kapan
saja,
kebakaran
hampir
setiap
diberbagai
hari di
tempat
di
berbagai media tanah
kebakaran perusahaan dapat merupakan penderitaan dan perkerjaan, sekalipun mereka tidak menderita
cedera.
air.
kita
dapat
Bagi tenaga kerja,
malapetaka khususnya
Setiap tempat kerja selalu
berusaha agar semua peralatan, per alatan, aset dan hartanya hartan ya aman dan dapat dioperasikan dengan baik, oleh sebab itu pencegahan kebakaran perlu mendapatkan perhatian sungguhsungguh. Salah satu tempat kerja yang menjadi perhatian adalah gedung-gedung bertingkat. Bangunan gedung menurut UU RI No. 28 Tahun 2002 adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Menurut Indrawan (2013), bahaya dari bangunan gedung bertingkat yaitu tinggi dimana akses untuk menyelamatkan diri adalah sedikit dan terbatas, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan bahaya kebakaran terintegrasi dalam satu sistem
manajemen
yang efektif dan efisien dan sehingga
implementasi
dan
pembaharuannya dapat mengikuti kebutuhan. Menurut Wahyudi (2005), kebakaran adalah suatu insiden akibat dari api yang bekerja tidak pada tempatnya, yang terjadi antara api, bahan bakar, dan oksigen. Peristiwa munculnya api awal berlanjut menjadi kebakaran besar hanya butuh waktu dibawah 4 menit atau 10 menit. Ukuran waktu 4 -10 menit tersebut hasil dari suatu pengkajian dan studi pengalaman dimana tahapan api belum berkembang dan meluas. Setelah lebih dari waktu yang dimaksud, api akan berkembang menjadi api bertumbuh (growth) dan menjadi menjadi penuh (full steady fire) dengan suhu mencapai 600 derjat Celsius sampai 1000 derajat Celcius lebih, dimana ini sudah berada pada tahapan sulit dipadamkan. Hanya
perangkat hidran hidran dan sejenisnya yang dapat mengurangi mengurangi dan
memadamkan Indrawan (2013) menyebutkan dari sebuah data resmi dari United States National Fire Protection Association(US NFPA) yang diterbitkan tahun 2008 menjelaskan
tentang kerugian yang diakibatkan dari bencana kebakaran ini. rata rata 350.000 kali bencana kebakaran di daerah perumahan dan perkantoran yang terjadi dalam setahun, 15.300 kali merupakan kejadian kebakaran di gedung bertingkat di seluruh Amerika serikat dengan rata rata 60 orang meninggal, 930 luka-luka dan menelan kerugian sebesar 52 juta dollar mengikuti bencana kebakaran di gedung gedung bertingkat. Sistem mnajemen kebakaran mempunyai peranan penting dalam mencegah mence gah jatuhnya korban dan kerugian material akibat kebakaran. k ebakaran. Sistem Sis tem mnajemen kebakaran harus dilaksanakan dari mulai proses desain gedung, commisioning dan operasional gedung. Selama ini dalam pembangunan gedung, pemilik gedung hanya melibatkan konsultan perencana bangunan (arsitek), manajemen konstruksi, listrik dan kontraktor bangunan tetapi belum melibatkan konsultan fire safet y,artinya pihak pemilik/pengelola harus lebih berkoordinasi dengan pihak-pihak yang kompeten untuk setiap bidang, tidak terkecuali masalah fire safety, dalam perencanaan pembangunan gedung. Sementara di negara maju dalam pembangunan gedung harus melibatkan fire safety consultant.
II.2 Rumusan Masalah
Bagaimana sistem manajemen kebakaran pada gedung bertingkat dalam upaya pencegahan terjadinya kerugian akibat kebakaran ?
II.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : - Untuk memenuhi tugas mata kuliah penanggulangan kebakaran dan baha ya - Sebagai bahan pembelajaran umum untuk mengetahui sistem manajemen kebakaran pada gedung bertingkat - Sebagai bahan referansi atau bahan belajar mengenai sistem manajemen kebakaran pada gedung bertingkat.
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Landasan Hukum
II.1.1 UU No. 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Undang-Undang Nomor 01 tahun 1970 tentang keselamatan kerja pada bab 3 tentang syarat-syarat keselamatan kerja pada pasal 3 ayat 1 poin b disebutkan bahwa salah satu syarat keselamatan kerja adalah untuk mencegah, mengurangi dan memadam kan kebakaran;
II.1.2 Undang-undang No. 28 Tahun 2002 Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengatur ketentuan
tentang
bangunan
gedung
yang
meliputi
fungsi,
persyaratan,
penyelenggaraan, peran masyarakat dan pembinaan. Pada pasal 7 ayat 1, disebutkan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan teknis bangunan gedung tersebut meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung yang terdiri dari kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban
muatan,
serta
kemampuan
bangunan
gedung
dalam
mencegah
dan
menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir (Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 2002). Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif. Selain itu, pada pasal 19 ayat 3, disebutkan bahwa bangunan gedung selain rumah tinggal harus dilengkapi dengan sistem proteksi pasif dan aktif untuk tujuan pengamanan terhadap bahaya kebakaran. Sistem proteksi pasif meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya, serta proteksi pada bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap kebakaran. Sedangkan sistem proteksi aktif meliputi kemampuan peralatan dalam mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan kebakaran (Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 2002).
II.1.3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per 04/MEN/1980
Permenakertrans No. Per 04/MEN/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan mengatur tata cara pemasangan, persyaratan, penempatan, pemeliharaan, dan pengujian alat pemadam api ringan (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 1980).
II.1.4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 02/MEN/1983 Permenaker No. 02/MEN/1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Automatik mengatur tata cara pemasangan instalasi alarm otomatis, penempatan, pengujian dan pemeriksaannya (Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, 1983).
II.1.5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep 186/MEN/1999 Kepmenaker No. Kep 186/MEN/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat
Kerja.
Kepmenaker
ini
berisi
tentang
pedoman
pembentukan
unit
penanggulangan kebakaran di tempat kerja serta tugas dan syarat unit penanggulangan kebakaran (Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, 1999).
II.1.6 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2009 Permen PU No. 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan merupakan peraturan yang mengganti dan menyempurnakan Kepmen PU No. 11 Tahun 2000 mengenai Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan. Peraturan ini berisi tentangmanajemen proteksi kebakaran di perkotaan, lingkungan, dan pada bangunan gedung (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009).
II.1.7 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2008 Permen PU No. 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan merupakan peraturan yang mengganti dan menyempurnakan Kepmen PU No. 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Peraturan ini berisi persyaratan teknis mengenai akses dan pasokan air untuk pemadaman kebakaran, sarana penyelamatan, sistem proteksi pasif, sistem proteksi aktif, utilitas bangunan gedung, pencegahan kebakaran pada bangunan gedung, pengelolaan proteksi kebakaran pada bangunan gedung, serta pengawasan dan pengendalian (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2008).
II.2 Bangunan Gedung
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang persyaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan, bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Sedangkan bangunan gedung umum adalah bangunan yang digunakan untuk segala macam kegiatan kerja, antara lain untuk: a. Pertemuan umum b. Perkantoran c. Hotel d. Pusat perbelanjaan/mal e. Tempat rekreasi/hiburan f. Rumah sakit/perawatan g. Museum
II.3 Klasifikasi dan Kelas Bangunan Gedung
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20 Tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran Di Perkotaan, klasifikasi konstruksi bangunan dibagi menjadi : 1. Klasifikasi konstruksi bangunan gedung tipe I (konstruksi tahan api) Bangunan gedung yang dibuat dengan bahan tahan api (beton, bata dan lain-lain dengan bahan logam yang dilindungi) dengan struktur yang dibuat sedemikian, sehingga tahan terhadap peruntukan dan perambatan api mempunyai angka klasifikasi 0,5. 2. Klasifikasi konstruksi bangunan gedung tipe II (tidak mudah terbakar, konstruksi kayu berat) Bangunan gedung yang seluruh bagian konstruksinya (termasuk dinding, lantai dan atap) terdiri dari bahan yang tidak mudah terbakar yang tidak termasuk sebagai bahan tahan api, termasuk bangunan gedung konstruksi kayu dengan dinding bata,
tiang kayu 20,3 cm, lantai kayu 76 mm, atap kayu 51 mm, balok kayu 15,2 × 25,4 cm, ditetapkan mempunyai angka klasifikasi konstruksi bangunan gedung 0,75. 3. Klasifikasi konstruksi bangunan gedung tipe III (biasa) Bangunan gedung dengan dinding luar bata atau bahan tidak mudah terbakar lainnya sedangkan bagian bangunan gedung lainnya terdiri dari kayu atau bahan yang mudah terbakar ditentukan mempunyai angka klasifikasi konstruksi 1,0. 4. Klasifikasi konstruksi bangunan gedung tipe IV (kerangka kayu) Bangunan gedung (kecuali bangunan gedung rumah tinggal) yang strukturnya sebagian atau seluruhnya terdiri dari kayu atau bahan mudah terbakar yang tidak tergolong dalam konstruksi bangunan gedung biasa (tipe III) ditentukan mempunyai angka klasifikasi konstruksi 1,5. Sedangkan Berdasarkan NFPA klasifikasi bangunan di kelompokan menajdi : 1. Tipe I Tahan api. Konstruksi yang termasuk dalam kategori ini adalah konstruksi yang semua struktur elemennya (dinding, partisi, kolom, lantai, dan atap) terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar, biasanya baja dan beton. Baja yang digunakan harus memiliki lapisan pelindung api. Konstruksi ini dirancang untuk menahan efek dari api dalam beberapa waktu dan mencegah terjadinya penyebaran api. 2. Tipe II Tidak mudah terbakar. Konstruksi ini mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan Tipe I. akan tetapi terdapat beberapa perbedaan, yaitu (1) dinding, partisi, kolom, lantai, dan atap terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar akan tetapi tidak mampu menahan api; dan (2) tidak dapat mencegah terjadinya penyebaran api. 3. Tipe III Biasa. Dalam tipe konstruksi ini biasanya elemen struktur interior (lantai, atap, dan partisi interior) terbuat dari bahan yang mudah terbakar, misalnya kayu. Lantai dan atap biasanya terbuat dari bahan kayu, tapi bahan lainnya seperti balok baja, bisa ditemukan. Dinding terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan dapat menahan efek api, biasanya terbuat dari bahan batu yang dapat tahan api selama 2 jam. Konstruksi ini biasanya adalah bangunan dengan maksimal 6 lantai dan yang paling sering adalah bangunan 2 atau tiga lantai. 4. Tipe IV Kayu berat. Semua elemen struktur (kolom, balok, lengkungan, lantai, dan atap) terbuat dari bahan kayu berat. Konstruksi ini terdiri dari dinding eksterior yang
terbuat dari batu yang dapat tahan api selama 2 jam. Umumnya, jenis konstruksi ini ditemukan pada bangunan tua. Apabila terjadi kebakaran maka akan sulit dipadamkan.
5. Tipe V Mudah terbakar. Jenis konstruksi ini menggunakan bahan yang mudah terbakar, biasanya kayu, untuk semua elemen strukturnya. Akan tetapi konstruksi tahan terhadap keruntuhan. Kelas bangunan gedung, adalah pembagian bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan jenis peruntukan atau penggunaan bangunan gedung, sebagai berikut: (a) Kelas 1 : Bangunan gedung hunian biasa. Satu atau lebih bangunan gedung yang merupakan: 1) Kelas 1a: bangunan gedung hunian tunggal yang berupa: a) satu rumah tinggal; atau b) satu atau lebih bangunan gedung gandeng, yang masing-masing bangunan gedungnya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house, villa; atau 2) Kelas 1b, rumah asrama/kost, rumah tamu, hotel atau sejenisnya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan gedung hunian lain atu banguan kelas lain selain tempat garasi pribadi. (b) Kelas 2 : Bangunan gedung hunian, terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang masingmasing merupakan tempat tinggal terpisah. (c) Kelas 3 : Bangunan gedung hunian di luar bangunan gedung kelas 1 atau kelas 2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk:1) rumah asrama, rumah tamu (guest house), losmen; atau 2) bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau 3) bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau 4) panti untuk lanjut usia, cacat atau anak-anak; atau 5) bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan gedung perawatan kesehatan yang menampung karyawan-karyawannya (d) Kelas 4 : Bangunan gedung hunian campuran. Tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan gedung kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan gedung tersebut.
(e) Kelas 5 : Bangunan gedung kantor. Bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuantujuan usaha profesional, pengurusan administrasi, atau usaha komersial, di luar bangunan gedung kelas 6, 7, 8 atau 9.
(f) Kelas 6 : Bangunan gedung perdagangan. Bangunan gedung toko atau bangunan gedung lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk: 1) ruang makan, kafe, restoran; atau 2) ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau motel; atau 3) tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum; atau 4) pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel. (g) Kelas 7 : Bangunan gedung penyimpanan/Gudang. Bangunan gedung yang dipergunakan untuk penyimpanan, termasuk:1) tempat parkir umum; atau 2) gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang. (h) Kelas 8 : Bangunan gedung Laboratorium/Industri/Pabrik. Bangunan gedung laboratorium dan bangunan gedung yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan suatu produk, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan. (i) Kelas 9 : Bangunan gedung Umum. Bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu: 1) Kelas 9a : bangunan gedung perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dai bangunan gedung tersebut yang berupa laboratorium. 2) Kelas 9b : bangunan gedung pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan gedung peribadatan, bangunan gedung budaya atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan gedung yang merupakan kelas lain. (j) Kelas 10 : Bangunan gedung atau struktur yang bukan hunian. 1) Kelas 10a : bangunan gedung bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau sejenisnya. 2) Kelas 10b : struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, inding penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya. (k) Bangunan gedung-bangunan gedung yang tidak diklasifikasikan khusus. Bangunan gedung atau bagian dari bangunan gedung yang tidak termasuk dalam klasifikasi
bangunan gedung 1 s.d 10 tersebut, dalam persyaratan teknis ini, dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai peruntukannya. (l) Bangunan gedung yang penggunaannya insidentil. Bagian bangunan gedung yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan gedung lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan gedung utamanya.
II.4 Sistem Manajemen kebakaran bangunan gedung
Sistem manajemen kebakaran
adalah sistem pengelolaan/pengendalian unsur-
unsur manusia, sarana/peralatan, biaya, bahan, metoda, dan informasi untuk menjamin dan meningkatkan keamanan total pada bangunan terhadap bahaya kebakaran. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang pedoman teknis manajemen proteksi kebakaran di perkotaan, manajemen proteksi kebakaran gedung adalah bagian dari manajemen bangunan untuk mengupayakan kesiapan pemilik dan pengguna bangunan gedung dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran pada bangunan gedung. Setiap pemilik/pengguna bangunan gedung wajib melaksanakan kegiatan pengelolaan risiko kebakaran meliputi kegiatan bersiap diri, memitigasi, merespon, dan pemulihan akibat kebakaran. Selain itu setiap pemilik/pengguna bangunan gedung juga harus memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam iz in mendirikan bangunan gedung termasuk pengelolaan risiko kebakaran melalui kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala sistem proteksi kebakaran serta penyiapan personil terlatih dalam pengendalian kebakaran (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009). Khusus bangunan industri yang menggunakan, menyimpan, atau memproses bahan berbahaya dan beracun atau bahan cair dan gas mudah terbakar, atau yang memiliki luas bangunan minimal 5.000 m 2, atau beban hunian minimal 500 orang, atau dengan luas areal/site minimal 5.000 m 2, diwajibkan menerapkan manajemen penanggulangan kebakaran (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009). Didalam Sistem manajemen kebakaran harus mencakup hal-hal sebagai berikut : (1) Pemeriksaan dan pemeliharaan (2) Pembinaan dan pelatihan personal (3) Penyusunan Rencana Keadaan Darurat (4) Latihan Kebakaran (firedrill)
(5) Fire Safety Audit (6) Fire - Safe housekeeping (7) Sosialisasi internal (8) Komunikasi eksternal II.4.1 Organisasi Proteksi Kebakaran Bangunan Gedung
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009, unsur pokok organisasi penanggulangan kebakaran bangunan gedung terdiri dari penanggung jawab/ fire
safety
manager ,
personil
komunikasi,
pemadam
kebakaran,
penyelamat/paramedik, ahli teknik, pemegang peran kebakaran lantai ( floor warden), dan keamanan ( security) (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009). a. Kewajiban Pemilik/pengguna Gedung
Pemilik/pengelola penanggulangan
bangunan kebakaran
gedung dengan
wajib
membentuk
melaksanakan organisasi
manajemen
penanggulangan
kebakaran yang modelnya dapat berupa Tim Penanggulangan Kebakaran (TPK) yang akan mengimplementasikan Rencana Pengamanan Kebakaran ( Fire Safety Plan) dan Rencana Tindakan Darurat Kebakaran ( Fire Emergency Plan) (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009). Besar kecilnya struktur organisasi penanggulangan kebakaran tergantung pada klasifikasi risiko bangunan terhadap bahaya kebakaran, tapak, dan fasilitas yang tersedia pada bangunan. Bila terdapat unit bangunan lebih dari satu, maka setiap unit bangunan gedung mempunyai Tim Penanggulangan Kebakaran (TPK) masing-masing dan dipimpin oleh koordinator Tim Penanggulangan Kebakaran Unit Bangunan (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009). b. Struktur Organisasi Tim Penanggulangan Kebakaran
Struktur organisasi Tim Penanggulangan Kebakaran (TPK) antara lain terdiri dari : 1) Penanggung jawab Tim Penanggulangan Kebakaran (TPK) 2) Kepala bagian teknik pemeliharaan, membawahi : - Operator ruang monitor dan komunikasi - Operator lift - Operator listrik dan genset - Operator air conditioning dan ventilasi - Operator pompa 3) Kepala bagian keamanan, membawahi : - Tim Pemadam Api (TPA)
- Tim Penyelamat Kebakaran (TPK) - Tim Pengamanan (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009).
II.4.2 Tata Laksana Operasional
Tata laksana operasional mencakup kegiatan pembentukan tim perencanaan, penyusunan analisis risiko bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran, pembuatan dan pelaksanaan Rencana Pengamanan Kebakaran ( Fire Safety Plan), dan Rencana Tindak Darurat Kebakaran ( Fire Emergency Plan) (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009). Komponen
pokok
rencana
pengamanan
kebakaran
mencakup
rencana
pemeliharaan sistem proteksi kebakaran, rencana ketatarumahtanggan yang baik ( good housekeeping plan) dan rencana tindakan darurat kebakaran ( fire emergency plan) (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009). Hal-hal yang menjadi pertimbangan pokok dalam pembuatan dan pelaksanaan Rencana Pengamanan Kebakaran (Fire Safety Plan) yang di dalamnya termasuk Rencana Tindak Darurat Kebakaran (Fire Emergency Plan) meliputi: a. Pengawasan dan pengendalian; b. Komunikasi; c. Keselamatan jiwa; d. Proteksi property; e. Lingkungan komunitas sekeliling; f. Pemulihan dan restorasi; g. Administrasi dan logistik; h. Sosialisasi dan edukasi; i. Pelatihan (training); dan j. Latihan (drill).
II.4.3 Sumber Daya Manusia dalam Manajemen Penanggulangan Kebakaran
Menurut Permen PU No. 20/PRT/M/2009, untuk mencapai hasil kerja yang efektif dan efisien harus didukung oleh tenaga-tenaga yang mempunyai dasar pengetahuan, pengalaman dan keahlian di bidang proteksi kebakaran, meliputi : a. Keahlian dibidang pengamanan kebakaran ( Fire Safety), b. Keahlian di bidang penyelamatan darurat (P3K dan medic darurat), dan
c. Keahlian di bidang manajemen. Kualifikasi
masing-masing
jabatan
dalam
manajemen
penanggulangan
kebakaran harus mempertimbangkan kompetensi keahlian diatas, fungsi bangunan gedung, klasifikasi risiko bangunan gedung terhadap kebakaran, situasi dan kondisi infrastruktur sekeliling bangunan gedung. Sumber daya manusia yang berada dalam manajemen secara berkala harus dilatih dan ditingkatkan kemampuannya (Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, 2009).
II.5 Sistem Proteksi Kebakaran
Sarana penanggulangan kebakaran terdiri dari sistem proteksi pasif dan sistem proteksi aktif.
II.5.1 Sistem Proteksi Pasif
Sistem proteksi pasif merupakan sistem perlindungan terhadap kebakaran yang bekerjanya melalui sarana pasif yang terdapat pada bangunan. Biasanya juga disebut sebagai sistem perlindungan bangunan dengan menangani api dan kebakaran secara tidak langsung. Caranya dengan meningkatkan kinerja bahan bangunan, struktur bangunan, pengontrolan dan penyediaan fasilitas pendukung penyelamatan terhadap bahaya api dan kebakaran. Sistem proteksi kebakaran pasif meliputi: a.
Perencanaan Struktur dan Konstruksi Bangunan Hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan sistem ini antara lain: ·
Pemilihan material bangunan yang memperhatikan sifat material
·
kemampuan / daya tahan bahan struktur (fire resistance) dari komponenkomponen struktur.
·
penataan ruang, terutama berkaitan dengan areal yang rawan bahaya, dengan memilih material struktur yang lebih resisten
Terdapat tipe kontruksi tahan api terdiri dari tipe A, B, dan C menurut SNI 031736-989
Tipe A : Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu menahan secara struktural terhadap beban bangunan
Tipe B : Kontruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang dalam bangunan
Tipe C : Komponen struktur bangunannya adalah dari bahan yang dapat terbakar serta tidak dimaksudkan untuk mampu menahan secara struktural terhadap kebakaran.
b.
Perencanaan dan disain site, akses dan lingkungan bangunan Beberapa hal yang termasuk di dalam permasalahan site dalam kaitannya dengan penanggulangan kebakaran ini antara lain :
c.
Penataan blok-blok massa hunian dan jarak antar bangunan,
Kemudahan pencapaian ke lingkungan pemukiman maupun bangunan
Tersedianya area parkir ataupun open space di lingkungan kawasan
Menyediakan hidrant eksterior di lingkungan kawasan
Menyediakan aliran dan kapasitas suply air untuk pemadaman
Pintu darurat 1)
Persyaratan Umum Pintu penahan asap harus dibuat sedemikian rupa sehingga asap tidak akan melewati pintu dari satu sisi ke sisi yang lainnya, dan bila terdapat bahan kaca pada pintu tersebut, maka bahaya yang mungkin timbul terhadap orang yang lewat harus minimal.
2)
Konstruksi yang memenuhi syarat. Pintu penahan asap, baik terdiri dari satu ataupun lebih akan memenuhi persyaratan butir bila pintu tersebut dikonstruksikan sebagai berikut:
Daun pintu dapat berputar disatu sisi
Dengan arah sesuai arah bukaan keluar; atau
Berputar dua arah
Daun pintu mampu menahan asap pada suhu 2000 C selama 30 menit
Daun pintu padat dengan ketebalan 35 mm
Pada daun pintu dipasang penutup atau pengumpul asap.
Daun pintu pada umumnya pada posisi menutup; atau
Daun pintu menutup secara otomatis melalui pengoperasian penutup pintu otomatis yang dideteksi oleh detektor asap yang dipasang sesuai
dengan standar yang berlaku dan ditempatkan disetiap sisi pintu yang jaraknya secara horisontal dari bukaan pintu tidak lebih dari 1,5 m, dan Dalam hal terjadi putusnya aliran listrik ke pintu, daun pintu berhenti aman pada posisi penutup.
Pintu akan kembali menutup secara penuh setelah pembukaa secara manual
Setiap kaca atau bahan kaca yang menyatu dengan pintu kebakaran atau merupakan bagian pintu kebakaran harus memenuhi standar yang berlaku.
Bilamana panel berkaca tersebut bisa membingungkan untuk memberi jalan keluar yang tidak terhalang maka adanya kaca tersebut harus dapatdikenali dengan konstruksi tembus cahaya.
d.
Koridor Koridor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Lebar minimum 1,80 m
Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu kebakaran yang terdekat tidak boleh lebih dari 25 m.
Dilengkapi tanda-tanda penunjuk yang menunjukkan arah ke pintu kebakaran.
e.
Kompartemen Kompartemenisasi merupakan suatu usaha untuk mencegah penjalaran kebakaran dengan cara membatasi api dengan dinding, lantai, kolom, balok dan elemen lainnya yang tahan terhadap api dalam waktu yang sesuai dengan kelas bangunan. Ukuran kompartemenisasi dan konstruksi pemisah harus dapat membatasi kobaran api yang potensial, perambatan api dan asap.
f.
Pengendali asap Pengendali asap merupakan suatu alat yang berguna untuk mengendalikan asap yang terdapat di dalam ruangan pada saat kebakaran terjadi untuk selanjutnya dibuang keluar bangunan. Hal ini mengingat bahwa asap tersebut dapat membahayakan jiwa orang yang berada di dalam gedung. Alat ini berupa kipas/fan yang berputar setelah aktifnya detektor asap yang ditempatkan dalam zona yang sesuai dengan reservoir asap yang dilayani fan.
g.
Sistem tanda 1)
Tanda Keluar (Eksit) Suatu tanda eksit harus jelas terlihat bagi orang yang menghampiri eksit dan harus dipasang pada, di atas atau berdekatan dengan setiap:
pintu yang memberikan jalan ke luar langsung dari satu lantai ke: o
tangga, jalan terusan atau ramp yang dilindungi struktur tahan api, yang
berfungsi sebagai eksit yang memenuhi persyaratan; dan o
tangga luar, jalan terusan atau ramp yang memenuhi syarat sebagai eksit; dan
o
serambi atau balkon luar yang memberikan akses menuju ke eksit, dan
pintu dari suatu tangga, jalan terusan atau ramp yang dilindungi struktur tahan
api atau tiap level hamburan ke jalan umum atau ruang terbuka; dan
eksit horisontal, dan
pintu yang melayani atau membentuk bagian dari eksit yang disyaratkan pada lantai
2)
Tanda Penunjuk Arah Bila suatu eksit tidak dapat terlihat secara langsung dengan jelas oleh penghuni atau pengguna bangunan, maka harus dipasang tanda penunjuk dengan tanda panah menunjukkan arah, dan dipasang di kori dor, jalan menuju ruang besar (hallways), lobi dan semacamnya yang memberikan indikasi penunjukkan arah ke eksit yang disyaratkan.
h.
Perencanaan daerah dan jalur penyelamatan (evakuasi) pada bangunan Biasanya diperuntukkan untuk bangunan pemukimna berlantai banyak dan merupakan bangunan yang lebih kompleks. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan perencanaan sistem ini :
kalkulasi jumlah penghuni/pemakai bangunan
tangga kebakaran dan jenisnya
pintu kebakaran daerah perlindungan sementara jalur keluar bangunan &
i.
peralatan dan perlengkapan evakuasi
Manajemen sistem penanggulangan kebakaran Sistem manajemen kebakaran ini mencakup lima aspek yang harus dipertimbangkan di dalam sistem penanggulangan kebakaran, yaitu :
tindakan preventif / pencegahan
sistem prosedural
sistem komunikasi
perawatan / pemeliharaan sistem pelatihan
II.5.1 Sistem Proteksi Aktif
Menurut KepMen PU No.10/KPTS/2000 sistem proteksi aktif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilakukan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual, yang dapat dipergunakan oleh penghuni
atau
petugas
pemadam
kebakaran
dalam
melaksanakan
operasi
pemadaman. Setiap bangunan harus melaksanakan pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai pada pemanfaatannya sehingga bangunan gedung senantiasa andal dan berkualitas sesuai dengan fungsinya. Salah satu penerapannya adalah melengkapi gedung dengan sarana proteksi aktif terhadap kebakaran yang terdiri dari : a.
Alat Deteksi Kebakaran (Detektor) SNI 03-3989-2000 tentang sistem deteksi dan alarm kebakaran menjelaskan detektor kebakaran adalah alat yang dirancang untuk mendeteksi adanya kebakaran dan mengawali suatu tindakan. Detektor dibagi menjadi 3 macam yaitu :
b.
Alat Deteksi Asap (Smoke Detector)
Alat Deteksi Panas (Heat Detector)
Alat Deteksi Nyala Api (Flame Detector)
Alarm Kebakaran Menurut NFPA 72, alarm dibagi menjadi dua yaitu, alarm yang bekerja dengan manual yang bisa ditekan melalui tombol dalam kotak alarm (break glass), ada juga sistem alarm yang diaktifkan oleh sistem detector. Ketika detector
mendeteksi adanya api, maka detector secara otomatis akan segera mengaktifkan alarm. Alarm kebakaran ada berbagai macam antara lain :
Bel, merupakan alarm yang akan bordering jika terjadi kebarakan, dapat difungsikan secara manual atau dikoneksi dengan sistem deteksi kebarakarn. Suara bel agak terbatas, sehingga sesuai ditempatkan dalam ruangan terbatas seperti kantor.
Sirine, fungsi sama denga bel, naum jenis suara yang dikeluarkan berupa sirine. Sirine mengeluarkan suara yang lebih keras sehingga sesuai di gunakan di tempat kerja yang luas seperti pabrik.
Horn, horn juga berupa suara yang cukup keras namun lebih rendah disbanding sirine.
Pengeras suara, dalam suatu bangunan yang luas dimana penghuni tidak dapat mengetahui keadaan darurat secara cepat, perlu dipasang jaringan pengeras suara yang dilengkapi dengan penguatnya (pre-amplifier).
c.
Sistem Sprinkler Otomatis Menurut National Fire Protection Association (NFPA) 13 sistem sprinkler dibagi beberapa jenis yaitu : 1)
Dry
pipe
sistem,
menggunakan
sistem
sprinkler
otomatis
yang
disambungkan dengan sistem perpipaannya mengandung udara atau nitrogen bertekan yang bila terjadi kebakaran akan membuka dry pipe value. 2)
Wet pipe sistem, sistem sprinkler yang bekerja secara otomatis tergabung dengan sistem pipa yang berisi air dan terhubung dengan suplai air.
3)
Deluge sistem, menggunakan kepala sprinkler terbuka disambungkan dengan sistem perpipaan yang dihubungkan ke suplai air melalui suatu value. Ketika value dibuka, air akan mengalir ke dalam sistem perpipaan dan keluarkan dari seluruh sprinkler yang ada.
4)
Preaction sistem, sistem sprinkler yang bekerja secara otomatis yang disambungkan dengan sistem pipa udara yang bertekanan atau tidak. Penggerak sistem deteksi membuka katup yang membuat air dapat mengalir ke sistem pipa sprinkler.
5)
Combined dry pipe-preaction, sistem sprinkler yang bekerja secara otomatis dan terhubung dengan sistem yang mengandung air di bawah
tekanan yang dilengkapi dengan sistem deteksi yang terhubung ada satu area dengan sprinkler. Menurut SNI 03-3989-2000, sistem sprinkler dibagi menjadi dua macam yaitu sprinkler berdasarkan arah pancaran dan sprinkler berdasarkan kepekaan terhadap suhu. Berikut klasifikasi kepala sprinkler : 1)
2)
Berdasarkan arah pancaran
Pancaran ke atas
Pancaran ke bawah
Pancaran ke arah dinding
Berdasarkan kepekaan terhadap suhu Warna segel
Warna putih : temperatur 93 oC
Warna biru : temperatur 141 oC
Warna kuning : temperatur 181 oC
Warna merah : temperatur 227 oC
Tidak berwarna : temperatur 68 oC atau 74oC
Warna cairan dalam tabung gelas
d.
Warna jingga : temperatur 57 oC
Warna merah : temperatur 68oC
Warna kuning : temperatur 79 oC
Warna hijau : temperatur 93 oC
Warna biru : temperatur 141 oC
Warna ungu : temperatur 181 oC
Warna hitam : temperatur 227 oC atau 260oC
Alat Pemadam Api Ringan (APAR) APAR adalah alat pemadam api ringan, mudah dibawa serta dipindahkan yang dapat digunakan untuk memadamkan api pada awal kebakaran. APAR dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu cair, tepung kering, dan jenis karbondioksida. 1)
Alat dengan media pemadaman air Sifat air dalam memadamkan kebakaran adalah mengambil panas dan sangat tepat untuk memadamkan bahan padat yang terbakar karena dapat menembus sampai bagian dalam.
2)
Alat pemadam serbuk kimia kering Sifat serbuk kimia ini tidak beracun tetapi dapat menyebabkan sesak nafas dan mata menjadi kering. Ukuran serbuk sangat halus mempunyai berat jenis 0,91. Makin halus serbuk kimia kering, makin luas permukaan yang dapat ditutupi.
3)
Karbondiaksida (CO2) Media pemadaman api CO2 di dalam tabung harus dalam keadaan fase cair bertekanan tinggi. CO2 dapat memadamkan api dari kelas B, dan C.
4)
Alat pemadam media busa Dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran api kelas A dan akan lebih efisien untuk memadamkan api kelas B tetapi berbahaya bila digunakan untuk memadamkan api kelas C.
e.
Hidran Kebakaran Menurut NFPA 14, instalasi hidran kebakaran adalah suatu sistem pemadam kebakaran yang menggunakan media pemadam air bertekanan yang dialirkan melalui pipa – pipa dan selang kebakaran. Sistem ini terdiri dari sistem persediaan air, pompa perpipaan, kopling outlet dan inlet, selang, dan nozzle.
II.6 Teori Api
Api didefinisikan sebagai suatu peristiwa/reaksi kimia yang diikuti oleh pengeluaran asap, panas, nyala dan gas- gas lainnya. Api juga dapat diartikan sebagai hasil dari reaksi pembakaran yang cepat (Pusdiklatkar, 2006). Untuk bisa terjadi api diperlukan 3 (tiga) unsur yaitu bahan bakar ( fuel ), udara (oksigen) dan sumber panas. Bilamana ketiga unsur tersebut berada dalam suatu konsentrasi yang memenuhi syarat, maka timbullah reaksi oksidasi atau dikenal sebagai proses pembakaran (Siswoyo, 2007; IFSTA, 1993). Secara sederhana susunan kimiawi dalam proses kebakaran dapat digambarkan dengan istilah “Segitiga Api”. Teori segitiga api ini menjelaskan bahwa untuk dapat berlangsungnya proses nyala api diperlukan adanya 3 unsur pokok, yaitu: bahan yang dapat terbakar ( fuel ), oksigen (O2) yang cukup dari udara atau dari bahan oksidator, dan panas yang cukup (materi pengawasan K3 penanggulangan Kebakaran Depnakertrans, 2008).
Gambar : Segitiga Api ( Fire Triangle)
Berdasarkan teori segitiga api tersebut, maka apabila ketiga unsur di atas bertemu akan terjadi api. Namun, apabila salah satu unsur tersebut tidak ada atau tidak berada pada keseimbangan yang cukup, maka api tidak akan terjadi. Prinsip segitiga api ini dipakai sebagai dasar untuk mencegah kebakaran (mencegah agar api tidak terjadi) dan penanggulangan api yakni memadamkan api yang tak dapat dicegah (Karla, 2007; Suma’mur, 1989). Teori segitiga api mengalami perkembangan yaitu dengan ditemukannya unsur keempat untuk terjadinya api yaitu rantai reaksi kimia. Konsep ini dikenal dengan teori tetrahedron of fire. Teori ini ditemukan berdasarkan penelitian dan pengembangan bahan
pemadam
tepung kimia (dry chemical ) dan halon
(halogenated hydrocarbon). Ternyata jenis bahan pemadam ini mempunyai kemampuan memutus rantai reaksi kontinuitas proses api (materi kuliah behavior of fire). Gambar : Bidang Empat Api (Tetrahedron of Fire)
Teori tethtrahedron of fire ini didasarkan bahwa dalam panas pembakaran yang normal akan timbul nyala, reaksi kimia yang terjadi menghasilkan beberapa zat hasil pembakaran seperti CO, CO 2, SO2, asap dan gas. Hasil lain dari reaksi ini
adalah adanya radikal bebas dari
atom oksigen dan hidrogen dalam bentuk
hidroksil (OH). Bila 2 (dua) gugus OH pecah menjadi H 2O dan radikal bebas O. O radikal ini selanjutnya akan berfungsi lagi sebagai umpan pada proses pembakaran sehingga disebut reaksi pembakaran berantai. (Karla, 2007; Goetsch, 2005).
II.7 Teori Kebakaran
II.7.1 Definisi Kebakaran Kebakaran adalah suatu peristiwa oksidasi dengan ketiga unsur (bahan bakar, oksigen dan panas) yang berakibat menimbulkan kerugian harta benda atau cidera bahkan sampai kematian (Karla, 2007; NFPA, 1986). Menurut Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), kebakaran adalah suatu peristiwa bencana yang berasal dari api yang tidak dikehendaki yang dapat menimbulkan kerugian, baik kerugian materi (berupa harta benda, bangunan fisik, deposit/asuransi, fasilitas sarana dan prasarana, dan lain-lain) maupun kerugian non materi (rasa takut, shock , ketakutan, dan lain-lain) hingga kehilangan nyawa atau cacat tubuh yang ditimbulkan akibat kebakaran tersebut. Sifat kebakaran seperti dijelaskan dalam bahan training keselamatan kerja penanggulangan kebakaran (1987) adalah terjadi secara tidak diduga, tidak akan padam apabila tidak dipadamkan, dan kebakaran akan padam dengan sendirinya apabila konsentrasi keseimbangan hubungan 3 unsur dalam segitiga api tidak terpenuhi lagi.
II.7.2 Sebab-Sebab Terjadinya Kebakaran Menurut Agus Triyono (2001), kebakaran terjadi karena manusia, peristiwa alam, penyalaan sendiri dan unsur kesengajaan. a. Kebakaran karena manusia yang bersifat kelalaian, seperti: - Kurangnya
pengertian,
pengetahuan
tentang
penanggulangan
bahaya
kebakaran. - Kurang hati-hati dalam menggunakan alat atau bahan yang dapat menimbulkan api. - Kurangnya kesadaran pribadi atau tidak disiplin. b. Kebakaran karena peristiwa alam terutama menyangkut cuaca dan gunung berapi, seperti sinar matahari, letusan gunung berapi, gempa bumi, petir, angin dan topan. c. Kebakaran karena penyalaan sendiri, sering terjadi pada gudang- gudang bahan
kimia dimana bahan-bahan tersebut bereaksi dengan udara, air dan juga dengan bahan-bahan lainnya yang mudah meledak atau terbakar. d. Kebakaran karena unsur kesengajaan, untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya: - Sabotase untuk menimbulkan huru-hara, kebanyakan dengan alasan politis. - Mencari keuntungan pribadi karena ingin mendapatkan ganti rugi melalui asuransi kebakaran. - Untuk menghilangkan jejak kejahatan dengan cara membakar dokumen atau bukti-bukti yang dapat memberatkannya. - Untuk jalan taktis dalam pertempuran dengan jalan bumi hangus.
II.7.3 Klasifikasi Kebakaran Klasifikasi kebakaran adalah penggolongan atau pembagian kebakaran atas dasar jenis bahan bakarnya. Pengklasifikasian kebakaran ini bertujuan untuk memudahkan usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran (Soehatman Ramli, 2005). a. Klasifikasi Kebakaran Menurut NFPA NFPA ( National Fire Protection Association) adalah suatu lembaga swasta yang khusus menangani di bidang penanggulangan bahaya kebakaran di Amerika Serikat. Menurut NFPA, kebakaran dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu: 1.
Kelas A, yaitu kebakaran bahan padat kecuali logam Kelas ini mempunyai ciri jenis kebakaran yang meninggalkan arang dan abu. Unsur bahan yang terbakar biasanya mengandung karbon. Misalnya: kertas, kayu, tekstil, plastik, karet, busa, dan lain-lain yang sejenis dengan itu. Aplikasi media pemadam yang cocok adalah bahan jenis basah yaitu air. Karena prinsip kerja air dalam memadamkan api adalah menyerap kalor/panas dan menembus sampai bagian yang dalam.
2.
Kelas B, yaitu kebakaran bahan cair dan gas yang mudah terbakar. Kelas ini terdiri dari unsur bahan yang mengandung hidrokarbon dari produk minyak bumi dan turunan kimianya. Misalnya: bensin, aspal, gemuk, minyak, alkohol, gas LPG, dan lain-lain yang sejenis dengan itu. Aplikasi media pemadam yang cocok
untuk bahan cair adalah jenis
busa. Prinsip kerja busa dalam memadamkan api adalah menutup permukaan cairan yang mengapung pada permukaan. Aplikasi media pemadam yang cocok untuk bahan gas adalah jenis bahan pemadam yang bekerja atas dasar
substitusi oksigen dan atau memutuskan reaksi berantai yaitu jenis tepung kimia kering atau CO2.
Kelas C, yaitu kebakaran listrik yang bertegangan.
3.
Misalnya: peralatan
rumah tangga, trafo, komputer, televisi, radio,
panel listrik, transmisi listrik, dan lain-lain. Aplikasi media pemadam yang cocok untuk kelas C adalah jenis bahan kering yaitu tepung kimia atau CO 2. 4.
Kelas D, yaitu kebakaran bahan logam Pada prinsipnya semua bahan dapat terbakar tak terkecuali benda dari jenis logam, hanya saja
tergantung pada nilai titik nyalanya. Misalnya:
potassium, sodium, aluminum, magnesium, calcium, zinc, dan lain-lain. Bahan pemadam untuk kebakaran logam tidak dapat menggunakan air dan bahan pemadam seperti pada umumnya. Karena hal tersebut justru dapat menimbulkan bahaya. Maka harus dirancang secara khusus media pemadam yang prinsip kerjanya adalah menutup permukaan bahan yang terbakar dengan cara menimbun. Diperlukan pemadam kebakaran khusus (misal, Metal-X, foam) untuk memadamkan kebakaran jenis ini.
b. Klasifikasi Kebakaran Menurut Kepmen No. KEP.186/MEN/1999 Menurut Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja Republik Indonesia No.KEP.186/MEN/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran Di Tempat Kerja, kebakaran dapat diklasifikasi seperti tabel dibawah ini. Tabel : Klasifikasi Kebakaran Menurut Kepmen No.KEP/186/MEN/1999 Klasifikasi Bahaya Kebakaran Ringan Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah sehingga menjalarnya api lambat.
Jenis Tempat Kerja
Tempat ibadah Gedung/ruang perkantoran Gedung/ruang pendidikan Gedung/ruang perumahan Gedung/ruang perawatan Gedung/ruang restoran Gedung/ruang perpustakaan Gedung/ruang perhotelan Gedung/ruang lembaga Gedung/ruang rumah sakit Gedung/ruang museum gedung/ruang penjara
Bahaya kebakaran Sedang I Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, menimbun bahan dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang.
Bahaya kebakaran Sedang II Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, menimbun bahan dengan tinggi tidak lebih dari 4 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang sehingga menjalarnya api sedang.
Bahaya Kebakaran Berat Tempat kerja yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, menyimpan bahan cair.
Tempat parkir Pabrik elektronika Pabrik roti Pabrik barang gelas Pabrik minuman Pabrik permata Pabrik pengalengan Binatu Pabrik susu Penggilingan padi Pabrik bahan makanan Percetakan dan penerbitan Bengkel mesin Perakitan kayu Gudang perpustakaan Pabrik barang keramik Pabrik tembakau Pengolahan logam Penyulingan Pabrik barang kelontong Pabrik barang kulit Pabrik tekstil Perakitan kendaraan bermotor Pabrik kimia (kimia dengan kemudahan terbakar sedang) Pertokoan dengan pramuniaga kurang dari 50 orang. Pabrik kimia dengan kemudahan terbakar tinggi Pabrik kembang api Pabrik korek api Pabrik cat Pabrik bahan peledak Penggergajian kayu dan penyelesaiannya
c. Klasifikasi kebakaran Berdasar Permenaker Nomor : 04/MEN/1980 Klasifikasi kebakaran Berdasar Permenaker Nomor : 04/MEN/1980 Tentang syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR), penggolongan atau pengelompokan jenis kebakaran menurut jenis bahan yang terbakar, dimaksudkan untuk pemilihan media pemadam kebakaran yang sesuai. Pengelompokan itu adalah : a. Kebakaran kelas (tipe) A, yaitu kebakaran bahan padat kecuali logam, seperti : kertas, kayu, tekstil, plastik, karet, busa dll. yang sejenis dengan itu.
b. Kebakaran kelas (tipe) B, yaitu kebakaran bahan cair atau gas yang mudah terbakar, seperti : bensin, aspal,gemuk, minyak, alkohol, LPG dll. yang sejenis dengan itu. c. Kebakaran kelas (tipe) C, yaitu kebakaran listrik yang bertegangan d. Kebakaran kelas (tipe) D, yaitu kebakaran bahan logam, seperti : aluminium, magnesium, kalium, dll. yang sejenis dengan itu.
II.7.4 Teknik Pemadaman Kebakaran Dari segi strategi pemadaman ada dua cara penting yang perlu diperhatikan yaitu (1) teknik dan (2) taktik pemadaman kebakaran. Teknik pemadaman kebakaran
yaitu kemampuan mempergunakan alat dan
perlengkapan pemadaman kebakaran dengan sebaik-baiknya. Agar menguasai teknik pemadaman kebakaran maka seseorang harus mempunyai pengetahuan tentang penanggulangan kebakaran, bersikap positif terhadap penanggulangan kebakaran, terlatih dan terampil mempergunakan berbagai alat serta perlengkapan kebakaran. Taktik pemadaman kebakaran adalah kemampuan menganalisis situasi sehingga dapat melakukan tindakan dengan cepat dan tepat tanpa menimbulkan kerugian yang lebih besar. Taktik ini terkait dengan analisis terhadap unsur-unsur pengaruh angin, warna asap kebakaran, material utama yang terbakar, lokasi dan lain sebagainya. Memadamkan
kebakaran
adalah
suatu
teknik
menghentikan
reaksi
pembakaran/nyala api. Memadamkan kebakaran dapat dilakukan dengan prinsip menghilangkan salah satu atau beberapa unsur dalam proses nyala api (Depnakertrans, 2008). Pembakaran yang menghasilkan nyala api bisa dipadamkan dengan menurunkan temperatur (cooling ), membatasi oksigen (dilution), menghilangkan atau memindahkan bahan bakar ( starvation), dan memutuskan reaksi rantai api (Soehatman Ramli, 2005). Teknik pemadaman dilakukan dengan media yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemadaman tersebut (Depnakertrans, 2008). a. Pemadaman Dengan Pendinginan (Cooling ) Salah satu metode pemadaman kebakaran yang paling umum adalah pendinginan dengan air. Proses pemadaman ini tergantung pada turunnya temperatur bahan bakar sampai ke titik dimana bahan bakar tersebut tidak dapat menghasilkan uap/gas untuk pembakaran. Bahan bakar padat dan bahan bakar cair dengan titik nyala ( flash point ) tinggi bisa dipadamkan dengan mendinginkannya. Kebakaran yang melibatkan cairan dan gas-gas yang mudah menyala yang rendah
titik nyalanya tidak dapat dipadamkan dengan mendinginkannya dengan air karena produksi uap tidak dapat cukup dikurangi. Penurunan temperatur tergantung pada penyemprotan aliran yang cukup dalam bentuk
yang
benar agar
dapat
membangkitkan keseimbangan panas negatif (Pusdiklatkar, 2006). b. Pemadaman Dengan Pembatasan Oksigen ( Dilution) Pengurangan kandungan oksigen di area juga dapat memadamkan api. Dengan membatasi/mengurangi oksigen dalam proses pembakaran api dapat padam. Pembatasan ini biasanya adalah satu cara yang paling mudah untuk memadamkan api. Untuk pembakaran pada suatu bahan bakar membutuhkan oksigen yang cukup misalnya: kayu akan mulai menyala pada permukaan bila kadar oksigen 4- 5%, asetilen memerlukan oksigen dibawah 5%, sedangkan gas dan uap hidrokarbon biasanya tidak akan terbakar bila kadar oksigen dibawah 15% (Soehatman Ramli, 2005). Pengurangan kandungan oksigen dapat dilakukan dengan membanjiri area tersebut dengan gas lembam seperti karbondioksida yang menggantikan oksigen atau dapat juga dikurangi dengan memisahkan bahan bakar dari udara seperti dengan menyelimutinya dengan busa. Namun, cara- cara ini tidak berlaku pada bahan bakar yang jarang dipakai yang bisa beroksidasi sendiri (Pusdiklatkar, 2006). c. Pemadaman Dengan Mengambil/Memindahkan Bahan Bakar (Starvation) Dalam beberapa kasus, kebakaran bisa dipadamkan dengan efektif dengan menyingkirkan sumber bahan bakar. Pemindahan bahan bakar ini tidak selalu dapat dilakukan karena dalam prakteknya mungkin sulit, sebagai contoh: memindahkan bahan bakar, yaitu dengan menutup/ membuka kerangan, memompa minyak ke tempat lain, memindahkan bahan-bahan yang mudah terbakar dan lain- lain (Soehatman Ramli, 2005). Cara lain yang bisa dilakukan untuk menyingkirkan sumber bahan bakar adalah dengan menyiram bahan bakar yang terbakar tersebut dengan air atau dengan membuat busa yang dapat menghentikan/memisahkan minyak dengan daerah pembakaran (Soehatman Ramli, 2005), atau dengan menghentikan aliran bahan bakar cair atau gas atau dengan menyingkirkan bahan bakar padat dari jalur api (Pusdiklatkar, 2006). d. Pemadaman Dengan Memutus Reaksi Rantai Api Cara yang terakhir untuk memadamkan api adalah dengan mencegah terjadinya reaksi rantai di dalam proses pembakaran. Pada beberapa zat kimia
mempunyai sifat memecah sehingga terjadi reaksi rantai oleh atom-atom yang dibutuhkan oleh nyala api untuk tetap terbakar (Soehatman Ramli, 2006). Beberapa bahan pemadam seperti bahan kimia kering dan hidrokarbon terhalogenasi (halon) akan menghentikan reaksi kimia yang menimbulkan nyala api sehingga akan mematikan nyala api tersebut. Cara pemadaman ini efektif untuk bahan bakar gas dan cair karena keduanya akan menyala dahulu sebelum terbakar. Bara api tidak mudah dipadamkan dengan cara ini, karena saat halon tertutup, udara mempunyai jalan masuk pada bahan bakar yang sedang membara dan berlanjut sampai membakar. Pendinginan adalah salah satu cara yang praktis untuk memadamkan api yang membara (IFSTA, 1994).
II.7.5 Media Pemadam Kebakaran Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan dalam melakukan pemadaman kebakaran adalah ketepatan memilih media pemadam terhadap
kelas
kebakaran
yang
digunakan
tertentu. Dengan ketepatan pemilihan media pemadam,
maka akan dapat dicapai pemadaman kebakaran yang efektif dan efisien. a. Media Pemadam Jenis Padat -
Pasir Atau Tanah Pasir atau tanah efektif digunakan untuk memadamkan api awal dan juga memadamkan kebakaran kelas B, tetapi hanya untuk tumpahan atau ceceran minyak dalam jumlah kecil (Soehatman Ramli, 2005). Fungsi utama pasir atau tanah adalah untuk membatasi menjalarnya kebakaran. Namun, untuk kebakaran kecil dapat dipergunakan untuk menutupi permukaan yang terbakar sehingga oksigen akan terpisah dari proses nyala yang terjadi, dengan demikian nyalapun akan padam. Metode pemadaman dengan pasir atau tanah ini adalah dengan cara penyelimutan, yaitu pasir atau tanah akan menutupi bahan yang terbakar sehingga terisolasi dengan oksigen dengan demikian api akan padam (Pusdiklatkar, 2006)
-
Tepung Kimia Kering ( Dry Chemical ) Dry chemical adalah campuran berbentuk bubuk yang dipakai sebagai pemadam api. Berdasarkan klasifikasi kebakaran yang dipadamkan tepung kimia kering dibedakan menjadi 3, yaitu: 1.
Tepung kimia reguler (regular dry chemical ), yaitu tepung kimia yang dapat memadamkan kebakaran kelas B (kebakaran minyak) dan C (kebakaran
listrik). Bahan baku tepung kimia reguler
ini
terdiri
dari:
natrium
nikarbonat (NaHCl3), potassium bikarbonat (KHCO 3), potassium carbonat (K 2CO3) dan potassium chloride (KCl). 2.
Tepung kimia multipurpose (multipurpose dry chemical ), yaitu tepung kimia yang dapat memadamkan kebakaran kelas A (kebakaran benda padat bukan logam), B (kebakaran minyak), dan C (kebakaran listrik). Bahan baku tepung kimia multipurpose terdiri dari mono ammonium phosphate (MAP).
3.
Tepung kimia kering/khusus (dry powder ), yaitu tepung kimia yang khusus untuk memadamkan kebakaran kelas D (kebakaran benda logam). Bahan baku tepung kimia jenis ini merupakan campuran dari beberapa unsur tepung kimia yang dijadikan satu. Contoh: foundry flux, merupakan campuran dari kalium chloride, barium chloride, magnesium chloride, natrium chloride dan calcium chloride. Metode
pemadaman
jenis
dry
chemical
ini
adalah
dengan
menyemprotkan secara langsung pada kebakaran, api segera mati karena adanya sifat dari dry chemical , yaitu memutuskan hubungan udara luar dengan benda yang terbakar (penyelimutan/ smothering ), sehingga tidak terjadi percampuran antara oksigen dengan uap bahan bakar, dan memutuskan rantai reaksi pembakaran, dimana partikel-partikel tepung kimia tersebut akan menyerap radikal hidroksil dari api (Pusdiklatkar, 2006). b. Media Pemadam Jenis Cair -
Air Air adalah bahan pemadam api yang umum digunakan karena mempunyai sifat pemadaman dan keuntungan yang lebih banyak dibandingkan dengan bahan pemadam api lainnya. Air sangat efektif untuk memadamkan kebakaran kelas A. Dalam pemadaman kebakaran, air adalah paling banyak dipergunakan. Hal tersebut dikenakan air mempunyai keuntungan sebagai berikut:
Mudah didapat dalam jumlah yang banyak.
Murah
Mudah disimpan, diangkut, dan dialirkan.
Dapat dipancarkan dalam bentuk-bentuk: pancaran utuh, pancaran setengah tirai, pancaran tirai, pancaran kabut.
Mempunyai daya ”menyerap panas” yang besar.
Mempunyai daya mengembang menjadi uap yang tinggi.
Namun, air juga memiliki keterbatasan. Kelemahan air sebagai media pemadam, antara lain:
Menghantar listrik sehingga tidak cocok untuk kebakaran instalasi listrik yang bertegangan.
Berbahaya bagi bahan-bahan kimia yang larut dalam air atau yang eksoterm (menghasilkan panas).
Kemungkinan dapat terjadi ”slopver” ataupun ”boil over” bila untuk memadamkan kebakaran minyak dengan cara yang salah. Metode
pemadaman
kebakaran
media
jenis
air
dilakukan
dengan
mengarahkan aliran air (dari jarak yang aman) secara langsung ke api. Selama air digunakan untuk pemadaman, air akan menurunkan suhu bahan yang terbakar sehingga tidak melepaskan/mengeluarkan gas yang siap terbakar. Dengan
mendinginkan
permukaan
tidak
selamanya
efektif
untuk
menghentikan penguapan gas dan cairan mudah menyala yang mempunyai flash point (titik nyala) dibawah suhu air yang digunakan, dan air umumnya tidak disarankan untuk memadamkan bahan cair yang titik nyalanya dibawah 100 °F. Kebutuhan
air
untuk
memadamkan
api
tergantung
dari
berapa
besarnya/panasnya api. Karena air yang terkena panas akan berubah menjadi uap ( steam), dan uap air tersebut yang akan mengurangi (dilution) oksigen di udara. -
Busa ( Foam) Busa ( foam) pemadam api adalah kesatuan buih-buih kecil yang stabil dan mempunyai berat jenis sangat rendah dibanding dengan air maupun minyak yang dapat mengapung di atas permukaan zat cair dan mengalir di atas permukaan zat padat. Dari bentuk fisiknya, busa sangat efektif untuk memadamkan kebakaran kelas A dan B, terutama bila permukaan yang terbakar luas, sehingga sulit bagi media pemadam lain untuk bisa menutup permukan yang terbakar tersebut. Buih/busa ini dibuat dengan cara air bertekanan dicampurkan dengan cairan busa sehingga membentuk larutan busa ( foam solution), kemudian udara diinjeksi pada larutan tersebut dan dengan proses mekanis yaitu pengadukan atau peniupan udara akan terbentuklah busa mekanik. Bahan baku cairan busa antara lain: protein (baik protein hewani maupun nabati), fluoro protein (dasar protein ditambah flour , misal FP 70), fluorocarbon surfactant atau fluoro chemical (misalnya AFFF, light
water ), hydrocarbon surfactant (detergen) atau loury alkohol. Untuk melakukan proses pembentukan busa ini dipergunakan alat-alat pembentukan busa. Metode
pemadaman
media
jenis
busa
dilakukan
dengan
menutupi
( smothering ), yaitu dengan membuat selimut busa di atas bahan yang terbakar dan dengan mendinginkan (cooling ), yaitu menyerap panas kalori dari benda yang terbakar sehingga suhunya turun (Pusdiklatkar, 2006). -
Asam Soda Asam soda atau acid adalah media pemadam api jenis cairan yang kegunaannya sama dengan air yaitu untuk memadamkan kebakaran kelas A. Bahan baku asam soda ini adalah sodium bikarbonat dan larutan asam sulfat dengan reaksi sebagai berikut: Reaksi Pembentukan Asam Soda 2 NaHCO3 + H2SO4
Na2SO4 + 2H2O + 2 CO2
Keunggulan asam soda adalah cocok untuk temperatur dingin karena tahan beku, sedangkan kelemahannya adalah sangat korosif. c. Media Pemadam Jenis Gas Gas-gas yang umum digunakan sebagai media pemadam kebakaran adalah gas asam arang (CO 2), gas argon, gas lemas (N2) serta gas-gas inert lainnya. Namun, hanya gas CO2 dan N2 yang banyak dipakai karena gas argon mahal. Media pemadam jenis gas terutama untuk memadamkan kebakaran listrik (kelas C) karena sifatnya yang tidak menghantarkan listrik. Gas N2 lebih banyak dipergunakan sebagai tenaga dorong kimia pada instalasi pemadam tetap dan alat pemadam api ringan (APAR) ataupun dilarutkan (sebagai pendorong) dalam halon. Karbondioksida sangat efektif sebagai bahan pemadam api karena dapat memisahkan kadar oksigen di udara dan mencairkan udara disekitarnya. Keunggulan CO 2 adalah bersih, murah, mudah didapat dipasaran, tidak beracun dan menyemprot dengan tekanan penguapannya sendiri ( self expelling ). Sedangkan kerugiannya adalah wadahnya yang berat, tidak efektif untuk area terbuka, tidak cocok untuk kelas A atau bahan penyimpanan panas yang tinggi dan pada konsentrasi tinggi berbahaya bagi pernapasan karena bisa terjadi defisiensi oksigen di area gas tersebut disemprotkan. Metode pemadaman media jenis CO2 ini dilakukan dengan prinsip pendinginan, yaitu salju atau gas CO2 yang dingin efektif untuk menurunkan
temperatur penyalaan pada materi yang terbakar; penyelimutan, yaitu CO2 dalam jumlah yang besar akan membuat selimut dan menutupi materi yang terbakar sehingga terpisah dengan oksigen; dan memutuskan rantai reaksi kimia, yaitu CO2 akan mengikat radikal hidroksil sebanding dengan CO 2 yang ada. d. Media Pemadam Cairan Mudah Menguap (Halon) Halon merupakan singkatan dari ”halogenated hydrocarbon”, yaitu kelompok bahan pemadam yang disimpan dibawah tekanan dalam bentuk cair, namun bila disemprotkan dan mengenai api akan menjadi uap yang lebih berat (5 kali) dari udara. Halon adalah senyawa hidrokarbon atas kelompok yang terdiri atas elemen non metalik yang dikenal halogen, yakni fluorine, chlorine, bromine. Keunggulan pemadaman dengan halon adalah bersih dan daya pemadamannya sangat tinggi dibandingkan dengan media pemadam lain. Namun, halon juga memiliki kelemahan yaitu tidak efektif untuk kebakaran di area terbuka dan berac un. Halon terutama memadamkan dengan sangat cepat pada kebakaran kelas B dan C. Dalam kebakaran kelas A, halon dapat digunakan tetapi kurang efisien. Metode pemadaman media jenis halon dilakukan dengan prinsip penyelimutan, yaitu dengan cara mendesak udara/oksigen sehingga tidak bercampur dengan bahan bakar dan akhirnya api padam. Dibawah ini beberapa contoh halon yang dipergunakan sebagai media pemadam kebakaran.
Tabel Identifikasi dan Contoh Halon
No
Nama
Singkata
Rumu
1011
Chloro Bromo Methane
CBM
CH 2BrCl
1301
Bromo Trifluoro Methane
BTM
CBrF 3
2402
Dibromo Tetrafluoro Ethane
DTE
CF 2BrC
1202
Dibromo Difluoro Methane
DDM
CBr 2F2
1211
Bromo Chloro Difluoro Methane
BCF
CBrClF 2
104
Cabon Tetra Chorida
CTC
CCl 4
1001
Methyl Bromide
MB
CH3Br
II.7.6 Sistem Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Pencegahan dan penanggulangan kebakaran adalah semua tindakan yang berhubungan dengan pencegahan, pengamatan dan pemadaman kebakaran dan meliputi perlindungan jiwa dan keselamatan manusia serta perlindungan harta kekayaan. Pencegahan kebakaran lebih ditekankan kepada usaha-usaha yang memindahkan atau mengurangi terjadinya kebakaran. Penanggulangan lebih ditekankan kepada tindakan-tindakan terhadap kejadian kebakaran, agar korban menjadi sesedikit mungkin (Suma’mur, 1981). Pencegahan kebakaran pada dasarnya dilakukan sebagai upaya untuk menanggulangi kebakaran secara dini agar tidak meluas. Untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran perlu disediakan sarana pengaman/ keselamatan bahaya kebakaran yang sesuai dan cocok untuk bahan yang mungkin terbakar di tempat yang bersangkutan. Dalam buku Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan karangan Dr. Suma’mur dijelaskan bahwa pencegahan kebakaran dan pengurangan korban kebakaran tergantung dari 5 (lima) prinsip pokok sebagai berikut: 1.
Pencegahan kecelakaan sebagai akibat kecelakaan atau keadaan panik.
2.
Pembuatan bangunan yang tahan api.
3.
Pengawasan yang teratur dan berkala.
4.
Penemuan kebakaran pada tingkat awal dan pemadamannya.
5.
Pengendalian kerusakan untuk membatasi kerusakan sebagai akibat kebakaran dan tindakan pemadamannya. Mengingat akibat-akibat dari peristiwa terjadinya suatu kebakaran, berbagai
macam usaha telah dilakukan untuk menanggulangi bahaya kebakaran. Menurut IFSTA dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu: 2. Tindakan pencegahan ( preventive), yaitu usaha-usaha pencegahan yang dilakukan sebelum terjadinya kebakaran dengan maksud menekan atau mengurangi faktorfaktor yang dapat menyebabkan timbulnya kebakaran, antara lain:
Mengadakan penyuluhan-penyuluhan.
Pengawasan terhadap bahan-bahan bangunan.
Pengawasan terhadap penyimpanan dan penggunaan barang-barang.
Pengawasan peralatan yang dapat menimbulkan api.
Pengadaan sarana pemadam kebakaran.
Pengadaan sarana penyelamatan dan evakuasi.
Pengadaan sarana pengindra kebakaran.
Mempersiapkan petunjuk pelaksanaan(juklak) atau prosedur pelaksana.
Mengadakan latihan berkala.
2. Tindakan represive, yaitu usaha-usaha yang dilakukan setelah terjadi kebakaran
dengan
maksud
evakuasi
dan
menganalisa
peristiwa
kebakaran tersebut untuk mengambil langkah-langkah berikutnya, antara lain:
Membuat pendataan.
Menganalisa tindakan-tindakan yang telah dilakukan (kegagalankegagalan).
Menyelidiki faktor-faktor penyebab kebakaran sebagai bahan pengusutan.
3. Tindakan rehabilitasi, yaitu tindakan pemulihan yang dilakukan setelah terjadinya kebakaran yang dilakukan terhadap suatu kelompok bangunan setelah
dilakukan
pemeriksaandan
penelitian
mengenai
tingkat
kehandalan bangunan gedung tersebut setelah kejadian kebakaran sesuai dengan pedoman teknis yang berlaku.
BAB II KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terbentuknya api harus terdiri dari 3 unsur yaitu panas, oksigen dan bahan mudah terbakar serta adanya serangkaian rantai rekasi kimia didalam reaksi ketiga unsur tersebut yang disebut tetrahedron.
Sedangkan kebakaran merupakan suatu peristiwa bencana yang berasal dari api yang tidak dikehendaki yang dapat menimbulkan kerugian, baik kerugian materi (berupa harta benda, bangunan fisik, deposit/asuransi, fasilitas sarana dan prasarana, dan lain-lain) maupun kerugian non materi (rasa takut, shock , ketakutan, dan lain-lain) hingga kehilangan nyawa atau cacat tubuh yang ditimbulkan akibat kebakaran tersebut. Sistem manajemen kebakaran adalah sistem pengelolaan/pengendalian unsurunsur manusia, sarana/peralatan, biaya, bahan, metoda, dan informasi untuk menjamin dan meningkatkan keamanan total pada bangunan terhadap bahaya kebakaran. Dalam sistem manajemen kebakaran di gedung bertingkat dibagi menjadi 3 unsur utama yaitu sistem manajemen (kebijakan, organisasi, audit dll), sistem proteksi aktif (alarm, hydrat, sprinkle dll) dan sistem proteksi pasif (kompartemen, pengendali asap, pintu darurat, kontruksi bangunan dll).
DAFTAR PUSTAKA
1. Higene Perusahaan dan Kesehatan kerja : Dr. Suma’mur PK, M.Sc, Gunung Agung, Jakarta, 2. Depnaker – UNDP – ILO INS/84/012. Bahan Training Keselamatan Kerja