1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makanan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, oleh karena itu makanan yang kita makan bukan hanya harus memenuhi gizi dan mempunyai bentuk yang menarik, akan tetapi juga harus aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan bahan kimia yang dapat menyebabkan keracunan penyakit. Perusahaan makanan dan minuman kemasan di Indonesia saat ini berkembang dengan sangat pesat. Ditemukan makanan dan minuman kemasan yang diproduksi hanya mementingkan aspek selera konsumen tanpa memperdulikan aspek kesehatan (Yuliarti, 2007).
Salah satu makanan pelengkap adalah kerupuk. Hampir setiap keluarga Indonesia mengkonsumsi kerupuk. Kerupuk dapat membangkitkan selera makan sebagai camilan atau makanan kecil (Rohaendi, 2009). Kerupuk merupakan produk kering yang dibuat dari tapioka atau tepung lain dengan menggunakan bahan yang sesuai dengan jenis makanan lainnya. Kerupuk mudah diperoleh di pasaran Kota Manado. Beberapa pedagang di pasaran yang menjual kerupuk dengan penampilan yang menarik dan tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan, dengan cara mewarnai dengan warna yang beragam. Di masyarakat beredar kerupuk berwarna yang dicurigai menggunakan zat pewarna yang dilarang untuk makanan yaitu zat pewarna untuk tekstil (Rohaendi, 2009).
Rhodamin B adalah zat pewarna berupa kristal yang tidak berbau dan berwarna hijau atau ungu kemerahan yang beredar di pasar untuk industri sebagai zat pewarna tekstil (Wirasto, 2008). Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2004, Rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produk-produk pangan. Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati akan tetapi sampai sekarang masih banyak produsen yang menggunakan Rhodamin B dalam produk makanan dan minuman yang dihasilkannya. Rhodamin B ditemukan dalam berbagai produk seperti: kerupuk. Zat warna Rhodamin B walaupun telah dilarang penggunaanya ternyata masih ada produsen yang sengaja menambahkan zat warna Rhodamin B untuk produk kerupuk. (Suprapti, 2005).
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
Mengetahui pengertian dari zat warna sintetik
Mengetahui sifat kimia dan fisika rhodamin B
Mengetahui struktur molekul rhodamin B
Mengetahui penyalahgunaan rhodamin B pada kerupuk.
Mengetahui cara menganalisis kadar rhodamin B dengan menggunakan Spektrofotometri Visible.
1.3 Metodologi Penelitian
Metode penelitian ini merupakan hasil uji laboratorium dengan melakukan observasi pada kerupuk yang dicurigai mengandung rhodamin B dan dilanjutkan dengan melakukan analisis kualitatif dengan menggunakan kromatografi lapis tipis dan kuantitatif dengan spektrofotometri visible.
1.4 Manfaat Penelitian
Dapat meningkatkan wawasan tentang pewarna sintetik.
Dapat memberikan informasi tentang penyalahgunaan zat pewarna rhodamin b pada makanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Tambahan Makanan (Bahan Aditif)
Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan. Bahan ini biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan bukan bahan khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasann penyimpanan atau pengangkutan makanan yang dapat mempengaruhi sifat khas dari makanan tersebut. (Praja, 2015).
Penambahan bahan tambahan ke dalam makanan dipandang perlu untuk meningkatkan mutu suatu produk makanan sehingga mampu bersaing di pasaran. Bahan tambahan tersebut diantaranya pewarna, pengawet, penyedap rasa atau aroma, antioksidan, pengental dan pemanis (Julyana, 2013).
Dalam kehidupan sehari-hari bahan tambahan makanan sudah umum digunakan, namun sering terjadi kontroversial karena banyak produsen pangan yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan serta melebihi dosis yang diizinkan. Bahan aditif juga bisa membuat penyakit jika tidak digunakan sesuai dosis, apalagi bahan aditif buatan atau sintetis. Penyakit yang bisa timbul akibat dari penggunaan zat aditif dalam jangka waktu lama adalah kanker, kerusakan ginjal dan lain-lain (Praja, 2015)
2.2 Zat Pewarna
Zat pewarna adalah bahan-bahan yang dibuat secara kimiawi atau bahan alami dari tanaman, hewan, atau sumber lain yang diekstrak yang ditambahkan atau digunakan ke bahan makanan, obat atau kosmetik, bisa menjadi bagian dari warna bahan tersebut. Penggunaan pewarna bertujuan untuk memperkuat warna asli dan memberikan tampilan yang lebih menarik (Praja, 2015).
Warna merupakan salah satu kriteria dasar untuk menentukan kualitas makanan antara lain; warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan. Oleh karena itu, warna menimbulkan banyak pengaruh terhadap konsumen dalam memilih suatu produk makanan dan minuman sehingga produsen makanan sering menambahkan pewarna dalam produknya. Pada awalnya, makanan diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau mineral, akan tetapi zat warna tersebut tidak stabil oleh panas dan cahaya serta harganya mahal (Utami & Suhendi, 2009).
Warna merupakan daya tarik terbesar untuk menikmati makanan setelah aroma.Pewarna dalam pangan dapat meningkatkanpenerimaan konsumen terhadap suatu produk. Oleh karena itu produsen pun berlomba menawarkan aneka produknya dengan tampilan yang menarik dan warna-warni (Sumarlin, 2010).
2.2.1 Pewarna Alami
Pewarna alami adalah zat warna alami (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau dari sumber – sumber mineral. Zat warna ini telah digunakan sejak dahulu dan umumnya dianggap lebih aman daripada zat warna sintetis. Pigmen-pigmen zat pewarna alami diantaranya yaitu karoten menghasilkan warna jingga sampai merah yang dihasilkan dari wortel atau pepaya, biksin yang menghasilkan warna kuning didapatkan dari bixa orellana, karamel menghasilkan warna coklat yang dihasilkan dari hidrolisis karbohidrat, klorofil menghasilkan warna hijau yang dihasilkan dari daun suji, daun pandan dan lain-lain serta antosianin yang menghasilkan warna merah, oranye, ungu, biru dan kuning yang terdapat pada bunga dan buah-buahan (Hidayat & Saati, 2006).
2.2.2 Pewarna Sintesis
Pewarna buatan atau sintesis diperoleh melalui proses sintesis kimia buatan yang mengandalkan bahan-bahan kimia atau dari bahan yang mengandung pewarna alami melalui ekstraksi secara kimiawi. Kelebihanpewarna buatan adalah dapat menghasilkan warna lebih kuat meskipun jumlah pewarna yang digunakan hanya sedikit. Selain itu, biarpun telah mengalami proses pengolahan dan pemanasan, warna yang dihasilkan dari pewarna buatan akan tetap cerah (Cahyadi, 2009).
Beberapa alasan para produsen lebih memilih menggunakan zat pewarna sintetis daripada zat pewarna alami diantaranya warna yang dihasilkan pewarna sintetis lebih cerah dan lebih homogen, sedangkan zat pewarna alami lebih pudar dan tidak homogen; pewarna sintetis memiliki banyak variasi warna, sedangkan pewarna alami sedikit; zat pewarna sintetis harganya lebih murah sedangkan zat pewarna alami lebih mahal; ketersediaan zat pewarna sintetis tidak terbatas, sedangkan zat pewarna alami terbatas; zat pewarna sintetis bersifat stabil sedangkan pewarna alami kurang stabil (Putri, et. al., 2012).
Menurut Joint FAC / WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) zat pewarna buatan dapat digolongkan dalambeberapa kelas berdasarkan rumus kimianya, yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten, dan indigoid. Sedangkan berdasarkan kelarutannyadikenal dua macam pewarna buatan, yaitu dyes dan lakes. Dyes adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air, sehinggalarutannya menjadi berwarna dan dapat digunakan untuk mewarnaibahan pangan. Sedangkan untuk zat pewarna lakes dibuat melaluiproses pengendapan dan absorpsi dyes pada radikal (Al atau Ca) yang dilapisi dengan aluminium hidrat (Alumina) (Cahyadi, 2009).
Di Indonesia, undang-undang penggunaan zat pewarna belum memasyarakat sehingga terdapat kecendrungan penyimpangan pemakaian zat pewarna untuk berbagai bahan pangan oleh produsen, misalnya pemakaian zat pewarna tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai makanan. Timbulnya penyimpangan penggunaan zat pewarna disebabkan karena tidak adanya penjelasan dalam label yang melarang penggunaan senyawa tersebut untuk bahan pangan. Haltersebut disebabkan bea masuk zat pewarna untuk makanan jauh lebih mahal dari zat pewarna non-pangan (Winarno, 1994).
2.3 Rhodamin B
2.3.1 Sifat Fisika dan Kimia Rhodamin B
Rhodamin B adalah zat pewarna terlarang yang sering ditemukan pada makanan. Rhodamin B, yaitu zat pewarna berupa serbuk kristal berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, serta mudah larut dalam larutan yang memberikan warna merah terang berfluoresan (Yamlean, 2011).
Kelarutan Rhodamin B dalam air adalah ~50 g/L. Namun kelarutan dalam larutan asetat 30 % vol. Adalah ~ 400 g/L. Air kran yang diklorinasi terurai dengan rhodamin B. Rhodamin B cenderung menyerap plastik sehingga harus ditempatkan dalam wadah gelas (Praja, 2015).
Rhodamin B memiliki berbagai nama lain, yaitu: Tetra ethyl rhodamin, Rheonine B, D & C Red No. 19, C.I. Basic Violet 10, C.I. No 45179, Food Red 15, ADC Rhodamine B, Aizan Rhodamone dan Briliant Pink B. Sedangkan nama kimianya adalah :
N-9-(carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-3H-xanten-3-ylidene]-N-
ethyleyhanaminium clorida. Rumus molekul dari rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar 479 g/mol. Sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluorensi kuat (Sri, ).
Gambar 2.1 Struktur Rhodamin B (Sumarlin, 2010).
2.3.2. Bahaya Rhodamin B
Rhodamin B ditemukan dalam produk pangan yang seharusnya digunakan untuk pewarna tekstil. Walaupun memiliki toksisitas yang rendah, namun pengkonsumsian dalam jumlah yang besar maupun berulang-ulang menyebabkan sifat kumulatif yaitu iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati (Sumarlin, 2010).
Rhodamin B dilarang penggunaannya pada makanan dan dinyatakan sebagai bahan yang berbahaya menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988 tentang zat warna yang dinyatakan berbahaya dan dilarang di Indonesia. Rhodamin B dilarang digunakan dalam produk makanan karena penggunaan rhodamin B dalam waktu lama dan jumlah yang banyak pada manusia dapat menyebabkan gangguan fungsi hati atau kanker hati dengan cara menumpuk dilemak yang lama kelamaan jumlahnya terus bertambah didalam tubuh. Bila mengkonsumsi makanan berwarna yang mengandung Rhodamin B, urine akan berwarna merah atau merah muda (Pertiwi, et.al., 2003).
Menurut WHO, Rhodamin B berbahaya bagi kesehatan manusia karena sifat kimia dan kandungan logam beratnya. Penggunaan Rhodamin B pada makanan dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker. Namun demikian, bila terpapar Rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan Rhodamin B. Bila Rhodamin B tersebut masuk melalui makanan akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan urine yang berwarna merah maupun merah muda. Selain melalui makanan dan minuman, Rhodamin B juga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, jika terhirup akan terjadi iritasi pada saluran pernafasan. Mata yang terkena Rhodamin B juga akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata kemerahan dan timbunan cairan atau udem pada mata. Jika terpapar pada bibir dapat menyebabkan bibir akan pecah-pecah, kering, gatal, bahkan kulit bibir terkelupas. Rhodamin B mengandung senyawa klorin (Cl). Senyawa klorin merupakan senyawa halogen yang berbahaya dan reaktif. Jika tertelan, maka senyawa ini akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara mengikat senyawa lain dalam tubuh, hal inilah yang bersifat racun bagi tubuh. Selain itu, rhodamin B juga memiliki senyawa pengalkilasi (CH3-CH3) yang bersifat radikal sehingga dapat berikatan dengan protein, lemak, dan DNA dalam tubuh (Yulianti, 2007).
2.3.3. Aplikasi dan Penggunaan Rhodamin B
Rhodamin B ini juga adalah bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pewarna dasar pada tekstil dan kertas. Pada awalnya zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam sinar matahari. Selain itu, rhodamin B juga digunakan di laboratorium untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg dan Th. Rhodamin B digunakan sebagai pewarna, pelacak dalam air untuk menentukan laju dan arah aliran transportasi. Pewarna Rhodamin B digunakan secara ekstensif dalam aplikasi bioteknologi seperti mikroskop fluoresensi, sitometri, fluoresensi spektroskopi korelasi dan ELISA (Praja, 2015).
2.3 Kerupuk
Salah satu makanan pelengkap adalah kerupuk. Kerupuk beraneka ragam macamnya menurut rasa, bentuk, dan asal daerahnya. Sebagai jenis makanan ringan, kerupuk mengandung pati yang cukup tinggi karena umumnya terbuat dari tepung tapioka dicampur dengan air menjadi adonan kemudian ditambahkan bumbu, pengenyal dan pewarna. Di masyarakat beredar kerupuk berwarna yang dicurigai menggunakan zat pewarna yang dilarang untuk makanan ( zat pewarna untuk tekstil). Hal ini disebabkan karena zat pewarna tersebut mudah didapatkan, warna menarik serta lebih tahan lama sehingga banyak konsumen yang menyukainya dan harganya lebih murah serta memberikan keuntungan yang lebih besar kepada produsen (Murtiyanti, et al., 2013).
2.4 Metode Analisa
2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pertama kali dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar , yang fase diamnya berupa lapisan seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik (Gandjar &Rohman, 2007).
KLT merupakan salah satu metode isolasi yang terjadi berdasarkan perbedaan daya serap (adsorpsi) dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen. Oleh karena daya serap adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan (Hostettmann et al, 1995).
Kromatografi lapis tipis merupakan jenis kromatografi yang dapat digunakan untuk menganalisis senyawa secara kualitatif maupun kuantitatif. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita, setelah pelat/lapisan ditaruh dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi setelah perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan/dideteksi. Deteksi dilakukan dengan menggunakan sinar UV (Sudjadi, 1988).
Pada dasarnya KLT digunakan untuk memisahkan komponen-komponen berdasarkan perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang. Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis, terjadi hubungan kesetimbangan antara fase diam dan fasa gerak, dimana ada interaksi antara permukaan fase diam dengan gugus fungsi senyawa organik yang akan diidentifikasi yang telah berinteraksi dengan fasa geraknya. Kesetimbangan ini dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : kepolaran fase diam, kepolaran fase gerak, serta kepolaran dan ukuran molekul (Watson, 2010).
2.4.2 Spektrofotometri UV-VIS
Spektrofotometri merupakan suatu metoda analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detektor. Panjang gelombang yang dikaitkan dengan cahaya tampak itu mampu mempengaruhi selaput pelangi mata manusia dan akan menimbulkan kesan subyektif akan ketampakan.
Konsentrasi unsur atau senyawa dapat dihitung menggunakan kurva standar yang diukur pada panjang gelombang absorban tertentu, yaitu panjang gelombang yang diperoleh dari hasil nilai absorbansi yang tertinggi. Larutan pembanding dalam spektrofotometri pada umumnya adalah pelarut murni atau suatu larutan blanko yang mengandung sedikit zat yang akan ditetapkan atautidak sama sekali (Day & Underwood 1998).
Tabel 2.1 Panjang gelombang warna komplementer dan warna yang diserap (Basset et al., 1994).
Panjang gelombang (nm)
Warna yang diserap
Warna komplementer
400-435
Ungu
Hijau kekuningan
435-480
Biru
Kuning
480-490
Biru kehijauan
Jingga
490-500
Hijau kebiruan
Merah
500-560
Hijau
Ungu kemerahan
560-580
Hijau kekuningan
Ungu
580-595
Kuning
Biru
595-610
Jingga
Biru kehijauan
610-750
Merah
Hijau kebiruan
Dalam sebuah spektrofotometer, terdapat alat-alat sebagai berikut :
Sumber cahaya
Sumber cahaya pada spektrofotometer harus memiliki panacaran radiasi yang stabil dan intensitasnya tinggi. Sumber cahaya pada spektrofotometer Ultraviolet-Sinar Tampak ada dua macam, yaitu lampu Tungsten (Wolfram) dan lampu Deuterium.
Monokromator
Monokromator adalah alat yang akan memecah cahaya polikromatis menjadi cahaya tunggal (monokromatis) dengan komponen panjang gelombang tertentu.
Kompartemen sampel
Kompartemen ini digunakan sebagai tempat diletakkannya kuvet. Kuvet merupakan wadah yang digunakan untuk menaruh sampel yang akan dianalisis. Syarat-syarat kuvet yang baik, yaitu :
Permukaannya harus sejajar secara optis
Tidak berwarna sehingga semua cahaya dapat di transmisikan
Tidak ikut bereaksi terhadap bahan-bahan kimia
Tidak rapuh
Bentuknya sederhana
Macam-macam jenis kuvet berdasarkan spektrofotemeter yang digunakan :
Ultraviolet : fused silika, kuarsa
Sinar Tampak : gelas biasa, silika atau plastik
Detektor
Detektor akan menangkap sinar yang diteruskan oleh larutan. Sinar kemudian diubah menjadi sinyal listrik oleh amplifier dan dalam rekorder dan ditampilkan dalam bentuk angka-angka pada reader (komputer).Syarat-syarat ideal sebuah detektor adalah :
Mempunyai kepekaan tinggi.
Respon konstan pada berbagai panjang gelombang.
Waktu respon cepat dan sinyal minimum tanpa radiasi.
Sinyal listrik ayng dihasilkan harus sebanding dengan tenaga radiasi.
Visual display
Merupakan sistem baca yang memperagakan besarnya isyarat listrik, menyatakan dalam bentuk persentransmitan maupun absorbansi (Pangestu, 2011).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian ini merupakan deskriptif laboratorium yaitu dengan melakukan observasi pada kerupuk yang dicurigai mengandung rhodamin B dan dilanjutkan dengan melakukan analisis sampel di laboratorium (Widana danYuningrat, 2007).
Lokasi pengambilan sampel kerupuk yaitu 4 pasar yang ada di Kota Manado yaitu pasar tuminting, pasar paal 2, pasar 45 dan pasar bersehati 45. Sampel kerupuk sudah tersedia dalam plastik kecil dengan bermacam-macam merek yang ada dipasar, sampel diambil dari tiap-tiap empat penjual yang ada di pasar Kota Manado, kemudian sampel di kemas dandibawa ke laboratorium Farmasi F-MIPA UNSRAT.
Beberapa variasi penelitian adalah
T1 : Kerupuk pada penjual satu dari pasar Tuminting
T2 : Kerupuk pada penjual dua dari pasar Tuminting
T3 : Kerupuk pada T penjual tiga dari pasar Tuminting
P1 : Kerupuk pada penjual satu dari pasar Paal 2
P2 : Kerupuk pada penjual dua dari pasar Paal 2
P3 : Kerupuk pada penjual tiga dari pasar Paal 2
451 : Kerupuk pada penjual satu dari pasar 45
452 : Kerupuk pada penjual dua dari pasar 45
B1 : Kerupuk pada penjual satu dari pasar Bersehati 45
B2 : Kerupuk pada penjual dua dari pasar Bersehati 45
3.1 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian yaiu :
Erlenmeyer, timbangan analitik (Preeisa XB 220A), corong pisah, labu takar, gelas kimia, gelas ukur, pipet, batang pengaduk, spektrofotometer UV-Vis(PG Instrument T80 UV-Vis), hot plate ANKE, oven, kertas saring (Whatman No.1), dan chamber.
3.2 Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu :
10 macam kerupuk berbeda-beda merek berwarna merah, benang wool, akuades, etanol 70%, larutan asam klorida, larutan ammonia, n-butanol, etil asetat, asam asetat, dan lempeng kromatografi lapis tipis.
3.3 Preparasi Sampel
Ekstraksi dan pemurnian dalam pembuatan larutan uji berdasarkan penelitian Utami dan Suhendi, 2009.
1. Sampel kerupuk ditimbang sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian direndam dalam 20 ml larutan ammonia 2 % (yang dilarutkan dalam etanol 70%) selama semalaman.
2. Larutan disaring filtratnya dengan menggunakan kertas saring whatman No. 1
3. Larutan dipindahkan ke dalam gelas kimia kemudian dipanaskan di atashot plate.
4. Residu dari penguapan dilarutkan dalam 10 ml air yang mengandung asam (larutan asam dibuat dengan mencampurkan 10 ml air dan 5 ml asam asetat 10%).
5. Benang wol dengan panjang 15 cm dimasukkan ke dalam larutan asam dan didihkan hingga 10 menit, pewarna akan mewarnai benang wol, kemudian benang diangkat.
6. Benang wol dicuci dengan air.
7. Kemudian benang dimasukkan ke dalam larutan basa yaitu 10 ml ammonia 10% (yang dilarutkan dalam etanol 70%) dan didihkan.
8. Benang wol akan melepaskan pewarna, pewarna akan masuk ke dalam larutan basa.
9. Larutan basa yang di dapat selanjutnya akan digunakan sebagai cuplikan sampel pada analisis kromatografi lapis tipis.
3.4 Penentuan Kadar Rhodamin B
Pembuatan larutan baku rhodamin B dilakukan dengan membuat larutan bakudengan konsentrasi 20 ppm. Selanjutnya dibuat larutan baku dengan konsentrasimasing-masing 0.5; 1; 1,5; 2; 3; 5; 6; 7,5 ppm. Pelarut yang digunakan adalah larutan HCl 0,1 N (Putri, 2009).
Identifikasi sampel pada plat KLT berukuran 20 x 20 cm diaktifkan dengan cara dipanaskan dalam oven pada suhu 1000C selama 30 menit. Sampel ditotolkan pada plat KLT dengan menggunakan pipa kapiler pada jarak 1,5 cm dari bagian bawah plat, jarak antara noda adalah 2 cm.
Kemudian dibiarkan beberapa saat hingga mengering. Plat KLT yang telah mengandung cuplikan dimasukkan kedalam chamber yang lebih terdahulu telah dijenuhkan dengan fase gerak berupa nbutanol: etil asetat : ammonia (10:4:5).
Dibiarkan hingga lempeng terelusi sempurna, kemudian plat KLT diangkat dan dikeringkan. Diamati warna secara visual dan dibawah sinar UV, jika secara visual noda berwarna merah jambu dan dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm berfluoresensi kuning atau orange, hal inimenunjukkan adanya rhodamin B (Ditjen POM, 2001; Djalil et al dalam Utami dan Suhendi, 2009; Putri, 2009).
Penetapan kadar rhodamin B adalah dari masing-masing larutan dimasukkan ke dalam kuvet, kemudian diukur secara spektrofotometri cahaya tampak pada panjang gelombang 500-600nm. Untuk menghitung kadar rhodamin B dalam sampel dapat di hitung dengan menggunakan kurva kalibrasi dengan persamaan regresi y=bx ± a.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pemeriksaan Kualitatif Rhodamin B pada sampel
Sebelum dilakukan analisa kuantitatif Rhodamin B pada sampel, perl dilakukan identifikasi untuk mengetahui ada tidaknya Rhodamin B pada sampel dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT).
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menotolkan sampel yang telah dipekatkan pada plat KLT kemudian dielusi oleh fasa gerak. Fasa gerak yang digunakan yaitu nbutanol: etil asetat : ammonia (10:4:5). Kemudian noda hasil KLT dapat dilihat secara visual dibawah sinar UV.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kualitatif Rhodamin B pada sampel diperoleh data seperti pada tabel 1
Jika suatu senyawa mengandung Rhodamin B akan maka secara visual noda akan memberikan berwarna merah jambu dibawah sinar UV 254 nm dan akan berfluoresensi menjadi warna kuning atau orange pada panjang gelombang 366 nm.
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa dari sepuluh sampel yang telah diuji dengan dua kali pengujian (duplo), yaitu sembilan sampel T1, T2, T3, P1, P2, P3, 452, B1, dan B2 adalah negatif atau tidak mengandung rhodamin B dan satu sampel dari pasar 451 positif mengandung rhodamin B. Hal ini dapat dilihat dangan fluoresensi kuning pada KLT yang di sinari lampu UV dengan panjang gelombang 366 nm. Pada Gambar 1 dibawah ini adalah noda cuplikan dari sampel positif yang terlihat dibawah sinar UV.
Selain itu, untuk mengidentifikasi suatu senyawa dapat kita lakukan dengan melihat harga Rf-nya. Identifikasi dilkaukan jika senyawa yang dianalisis dibandingkan dengan senyawa pembanding dan dengan campuran yang terdiri atas senyawa yang dianalisis dan senyawa pembanding (cara spiking( pada lapisan yang sama (Gritter et al, 1991).
Dari tabel dapat dilihat bahwa pada sampel ke delapan, sampel dari pasar 451 memberikan harga Rf yang berdekatan dengan pembandingnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa sampel dari pasar 451 positif mengandung Rhodamin B.
4.2 Penetapan Kadar
4.2.1 Panjang Gelombang Maksimum Larutan Baku Rhodamin B
Penentuan panjang gelombang maksimum larutan baku rhodamin B pada konsentrasi 3,5 ppm dengan panjang gelombang 500-600 nm. Hal ini dilakukan karena larutan rhodamin B merupakan larutan berwarna. Menurut Sudjadi (2007), sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400-750 nm.
Hasil penentuan panjang gelombang maksimum larutan baku Rhodamin B dengan konsentrasi 3,5 ppm diperoleh panjanggelombang 558 nm.
4.2.2 Kurva Kalibrasi Larutan Baku Rhodamin B
Pembuatan kurva kalibrasi larutan baku rhodamin B dilakukan dengan membuat larutan baku dengan konsentrasi 20 ppm. Selanjutnya dibuat larutan baku dengan konsentrasi masing-masing 0.5; 1; 1,5; 2; 3; 5; 6; 7,5 ppm, kemudian di ukur serapannya pada panjang gelombang 558 nm.
Hasil perhitungan persamaan regresi kurva kalibrasi di atas diperoleh persamaan garis y = 0,1275x + 0,0081 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,989. Hasil kolerasi yang terdapat positif antara kadar dan serapan, artinya dengan meningkatnya konsentrasi makaabsorbansi juga akan meningkat.
4.2.3 Kadar Rhodamin B Pada Sampel
Penetapan kadar rhodamin B dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 558 nm.
Hasil penetapan kadar Rhodamin B pada sampel dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini
Dari tabel di atas dapat dilihat dengan kadar rhodamin B dalam kerupuk. Hal ini membahayakan konsumen, karena semakin banyak rhodamin B masuk dalam tubuh maka besar efek toksik yang akan timbul. Rhodamin B ditambahkan pada kerupuk untuk menambah kualitas pewarna agar lebih menarik sehingga konsumen lebih tertarik untukmembelinya. Selain itu banyak penjual masih menggunakan rhodamin B yang praktis digunakan dan harganya relatif murah serta tersedia dalam kemasan kecil di pasaran sehingga memungkinkan masyarakat umum untuk membelinya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian diperoleh sampel 451 positif mengandung rhodamin B.
Rhodamin B pada sampel dari pasar 451 yaitu sebesar 0,28 μg/ml.
5.2 Saran
1. Bagi konsumen agar lebih hati-hati dalam membeli kerupuk untuk dikonsumsi.
2. Pemerintah dalam hal ini lebih intensif bagi dinas kesehatan agar memperketat
pengawasan dan pemeriksaan pada kerupuk sehingga tidak ada penggunaan zat pewarna rhodamin B yang tidak diizinkan.
Gritter, Roy J, James M. Robbit. 1991. Pengantar Kromatografi. Edisi Ke-2. ITB. Bandung