BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian, dan Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi, berasal dari bahasa latin victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimalisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Viktimologi merupakan istilah bahasa Inggris Victimology yang berasal dari bahasa latin yaitu "Victima" yang berarti korban dan "logos" yang berarti studi/ilmu pengetahuan.
Menurut J.E Sahetapy pengertian Viktimologi adalah ilmu atau disiplin yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek, sedangkan menurut Arief Gosita Viktimologi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan korban dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupannya.
Korban juga didefinisikan oleh van Boven yang merujuk kepada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan sebagai berikut :
Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakannya (by act) maupun karena kelalaian (by omission)…
Sedangkan ruang lingkup kajian kriminologi, menurut J.E. Sahetapy ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pola korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Objek studi atau ruang lingkup viktimologi menurut Arief Gosita adalah sebagai berikut :
a. Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalistik;
b. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal;
c. Para peserta terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu viktimisasi kriminal atau kriminalistik, seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat undang-undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya;
d. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal;
e. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, suatu usaha-usaha prevensi, refresi, tindak lanjut (ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang berkaitan;
f. Faktor-faktor viktimogen/kriminogen.
Selain itu, viktimisasi juga dapat berkaitan dengan permasalahan ekonomi, politik dan sebagainya, seperti yang diungkapkan menurut J.E. Sahetapy, dimana beliau berpendapat sebagai berikut :
a. Viktimisasi politik, dapat dimasukan aspek penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan hak-hak asasi manusia, campur tangan angkatan bersenjata diluar fungsinya, terorisme, intervensi, dan peperangan lokal atau dalam skala internasional;
b. Viktimisasi ekonomi, terutama yang terjadi karena ada kolusi antara pemerintah dan konglomerat, produksi barang-barang tidak bermutu yang merusak kesehatan, termasuk aspek merusak lingkungan hidup;
c. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan, penyiksaan, terhadap anak atau istri dan menelantarkan kaum manusia lanjut atau orang tuanya sendiri;
d. Viktimisasi media dalam hal ini disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktik di bidang kedokteran dan lain-lain;
e. Viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas, baik yang menyangkut aspek peradilan dan lembaga pemasyarakatan maupun yang menyangkut dimensi diskrimiasi perundang-undangan, termasuk menerpkan kekuasaan dan stigmisasi, kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilan.
Dari pengertian mengenai Viktimologi dan juga ruang lingkupnya diatas penulis mencoba mengembangkan dan mengimplementasikan nya dalam tugas penulisan yang mengangkat mengenai Perlindungan dan Peranan Korban tindak pidana penjualan online (online shop) yang saat ini sedang marak terjadi di masyarakat dan bagaimana implementasi mengenai UU dan perlindungan terhadap korban kejahatan Online ini.
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi sangat pesat, khusus dalam bidang teknologi informasi kini telah lahir yang namanya internet, sebuah teknologi yang saat ini sangat digemari oleh seluruh masyarakat modern di seluruh penjuru dunia baik anak-anak kaum muda dewasa dan orang tua, karena dengan menggunakan internet para penggunanya dapat menjelajahi dunia hanya dengan perangkat elektronik yang tersambung dengan internet dalam hitungan menit bahkan detik, internet saat ini seringkali dijadikan sebuah akses untuk penggunanya melakukan kegiatan komunikasi.
Internet bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga dapat berfungsi khususnya untuk pencari informasi bahkan internet dikatakan sebagai perpustakaan digital dunia, karena dengan menggunakan internet pengguna yang sedang mencari informasi dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang dicarinya hanya dengan mengetikan sebuah kata di sebuah mesin pencarian seperti google chrom, kaula muda memberikan nama lain yaitu mbah Google karena semua yang di cari hampir seluruhnya ada di Google. Tidak hanya itu akhir-akhir ini juga internet dijadikan sebagai media bisnis, mulai dari periklanan sampai toko online
Dengan adanya internet sangat banyak membantu masyarakat dan mempermudah hampir segalanya, tetapi meski internet banyak berdampak positif ada pula dampak negatifnya salah satunya tindak pidana penipuan, sebuah data menunjukan bahwa mengenai penipuan di internet termasuk penipuan tokoonline, data yang dimiliki oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya terkait kejahatan tersebut terus meningkat tiap tahunnya kurang lebih sekitar 600 kasus per tahunnya
Terkait dengan penipuan di internet atau penipuan secaraonline, yang penulis kutif dari Endah Dewi Nawangsari seorang kandidat doktor cyber law di Universitas Padjajaran (Unpad) di sebuah media massa digital menyatakan bahwa mayoritas yang menjadi korban dari penipuan online adalah perempuan, karena shopping online atau belanja onlinesangat digemari ibu-ibu dan juga anak muda .
Kenapa penulis membuat makalah ini di samping sebagai tugas mata kuliah Viktimologi dan juga untuk mengetahui perlindungan dan penanganan kasus dan korban penipuan jual beli online
B. Rumusan Masalah
Bagaimana peranan korban dalam terjadinya tindak pidana penipuan transaksi jual beli online?
Bagaimana perlindungan hukum terhadap si korban dari aspek victimologi ?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana peranan korban dalam terjadinya tindak pidana penipuan transaksi jual beli online
Mengetahui perlindungan hukum terhadap si korban
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Korban dalam Terjadinya Tindak Pidana Penipuan Transaksi Jual Beli Online
Berbicara mengenai peranan korban, kenapa korban berperan dalam tindak kejahatan, karena korban memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Perlu diketahui bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tida k ada korban kejahatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa si korban mempunyai peranan penting dan tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan
Penulis mengutif pendapat dari Anthony J. Schembri: "Kejahatan sebenarnya memiliki tiga dimensi yaitu perbuatan jahat (criminal act), pelaku (criminals) dan korban (victim). Namun demikian Sistem Peradilan Pidana tampaknya lebih memberikan perhatian terhadap dua aspek yang pertama yakni perbuatan jahat dan pelaku
Berbeda lagi dengan pendapat JE. Sahetapy Dalam melihat hubungan antara kejahatan dengan korban, JE. Sahetapy mempunyai pendapat yang berbeda. JE Sahetapy menawarkan suatu istilah "viktimitas" berasal dari kata "victimity", dimana Sahetapy menginginkan adanya pembatasan hubungan antara masalah korban dengan faktor kejahatan. tadi kalau kita beranjak dari pangkal tolak viktimitas, maka dengan sendirinya masalah korban tidak perlu selalu dihubungkan dengan faktor kejahatan"[1]
Jika ingin mengetahui secara spesifik terkait korban, maka harus diperhatikan terlebih dahulu semua hubungan antara si korban dengan pelaku dalam timbulnya suatu kejahatan atau tindak pidana
Partisipasi atau ikut sertanya si korban dalam suatu penyimpangan dengan tujuan untuk mencapai sesuatu demi kepentingan diri sendiri atau orang lain dapat menyebabkan diri sendiri menjadi korban, misalnya ;
1. Ingin mendapatkan barang yang baik dengan harga yang sangat relatif rendah, ternyata barang yang dibeli adalah barang palsu. Jadi korban penipuan
2. Ikut dalam penyelundupan kerena ingin cepat berhasil mendapatkan uang, kemudian tidak berhasil dan menjadi obyek pemerasan petugas. Jadi obyek pemerasan
3. Mengadakan perkenalan dengan orang yang tidak jelas, akibatnya menjadi korban pemerkosaan
4. Menjadi korban karena kesan tertentu sebagai orang berada, berkedudukan, berkuasa, tidak mampu fisik, tidak tahu jalan dan lain-lain sebagainya sehingga mendorong orang menjadikan sebagai korban
Dan penulis masuk ke dalam no 1 ingin mendapatkan barang yang baik dengan harga yang sangat relatif rendah dan tidak mengecek terlebih dahulu apakah toko online tersebut bagus atau tidak, tetapi langsung memberika kepercaya
Dengan demikian jelaslah bahwa korban juga mempunyai pernan penting dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban ikut bertanggungjawab atas terjadinya seorang pembuat korban
Peran korban dalam mempengaruhi terjadinya kejahatan dapat berupa patisipasi aktif maupun pasif, dapat berperan dalam keadaan sadar maupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung, semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut terjadi[2]
Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang di klasifikasikan menjadi 6 tipe, tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut ;
a. The "completely innocent victim". Korban yang samasekali tidak bersalah oleh Mendeson dianggap sebagai korban "ideal" yang cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban
b. The "victim whit minor guilty" and victim due to his ignorance". Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan kelalaian dapat dicontohkan seorang wanita yang menggoda tetapi salah alamat, sebagai akibat malah dia menjadi korban
c. The "victim as guilty as offender" and " voluntary victim".Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh Mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe sebagai berikut;
1) Bunuh diri "dengan melemparkan uang logam";
2) Bunuh diri dengan adhesi;
3) Euthanasia;
4) Bunuh diri yang dilakukan suami isteri (misalnya pasangan suami isteri yang putus asa karena salah satu pasangan sakit)
d. The "victim more guilty than the offender". Dalam hal korban kesalahnaya lebih besar daripada pelaku ini ada dua tipe yakni :
1. korban yang memancing dan atau menggoda seeorang untuk berbuat jahat
2. korban lalai yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan
e. The "most guilty victim" and the " victim as is gultu alone".Korban yang sangat salah dan korban yang salah sendirian misalnya terjadi pada korban yang sangat agresif terlebih dahulu melakukan kejahatan namun akirnya justeru ia sendiri yang menjadi korban (misalnya penyerang yang mati akibat pembelaan diri dari orang lain yang diserang)
f. The "simulating victim" and the "imagine as victim". Korban pura-pura dan korban imajinasi oleh Mandesohn dicontohkan pada mereka yang mengaku menjadi korban demi kepentingan tertentu atau orang yang menjadi paranoid, hysteria atau pikun[3]
Sedikit berbeda dengan Mendelson yang membuat tipologi korban berdasarkan tingkat kesalahan, Schafer membagi tipe korban dalam kategori yang tergantung pada pertanggung jawaban korban dalam tindak pidana tersebut. Tipologi tersebut adalah :
a. "unrelated victim" yakni kejahatan dilakukan oleh pembuat kejahatan tanpa ada hubungan apapun dengan korban
b. "profokatif victim" disini korban memancing pembuat kejahatan untuk melakukan untuk melakukan kejahatan dengan perilaku tertentu mialnya korban mengingkari janji
c. "precipicatif victims" adalah "pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku melakukan kejahatan
d. "biological weak victims" yakni saiapa saja yang secara fisik atau mental lemah misalnya orang yang sangat muda atau sangat tua dan orang yang tidak sadar yang menjadi target kejahatan
e. " social weak victims" misalnya kaum imigran atau minoritas etnik yang memiliki posisi sosial yang lemah dalam masarakat dan sering dieksploitasi oleh elemen kejahatan
f. " self-victimizing victims" dan "political victim". Self-victimizing victim adalah korban dari tindakanya sendiri sebab mereka berkorban sendiri[4]
Mengenai peranan korban dalam terjadinya tindak pidana penipuan transaksi jual beli di internet. Si korban memiliki peranan yang yang cukup besar, yaitu dengan secara tidak sadar menjadikan dirinya diviktimisasi oleh pelaku, sehingga menjadikan si korban menjadi korban atas kejahatan yang dilakukan pelaku. Misalnya dalam hal ini memberikan kepercayaan terlalu berlebih kepada pelaku (mempercayai pelaku) padahal pelaku tersebut merupakan orang baru dan si korban belum mengetahui secara jelas mengenai identitas pelaku. Dengan memberikan kepercayaan berlebih tersebut maka si korban akan dengan mudah dijadikan oleh pelaku sebgai korbannya
Apabila kita melihat proses terjadinya suatu kejahatan dalam hal ini penipuan transaksi jual beli di internet, biasanya si pelaku menawarkan barang dengan harga yang semurah-murahnya bahkan sampai selisih 50% lebih dari harga pasaran yang sebenarnya supaya manarik calon pembeli sekaligus korban, setelah si korban tertarik untuk membeli barang yang ditawarkan, selanjutnya pelaku meminta si korban untuk mentransfer uang muka, dan si korban menurutinya karena sangat mendambakan barang tersebut yang di idam-idamkannya
Disini peranan korban terlihat dalam kejahatan yang dilakuan oleh pelaku, karena dengan mudahnya mempercayai pelaku dan akibat ketidak hati-hatian dari si korban sehingga menjadikan si korban di viktimisasi oleh pelaku. padahal apabila dipikir secara logika perihal harga yang ditawarkan pelaku sudah jelas bahwa hal tersebut seharusnya dapat dicurigai.
B. Contoh Kasus dan Siklus Penipuan Online shop.
Kasus :
cermati modus penipuan dalam tulisan berikut ini :
Kronologis:
P = Penipu
K1 = Korban ke-1
K2 = Korban ke-2
'P' membeli barang seharga Rp 150.000 ke 'K1 ,otomatis dia meminta reknya 'K1 untuk melakukan pembayaran sebesar Rp 150.000 itu. Kemudian pd saat yg bersamaan 'P' menjual barang lain ke 'K2 seharga Rp 650.000 .
Disini 'P' bukannya ngasih no.rek dia ke 'K2 malah ngasih no.rek punyanya 'K1 . Akhirnya 'K2 transfer ke 'K1 yg dikiranya no.rek si 'P'.
Nah kemudian si 'P' telp 'K1 bilang bahwa dia transfer kelebihan Rp 500.000
(yg harusnya transfer Rp 150.000 malah masuk Rp 650.000)
Si 'K1 setuju untuk mengembalikan Rp 500.000 uang yang dianggapnya kelebihan pembayaran dari si 'P' ke dia.
Tapi si 'P' ngasihnya no.rek REKBER…..!!
Dalam artian dia transaksi juga dengan orang lain lewat REKBER.
Akhirrnya si 'K1 transfer ke No.REKBER yang dikiranya No.Rek punya 'P' !!
Jadi disini si 'P' putar uang hasil penipuannya buat beli barang terus menerus..
Caranya cerdas memang karena sama sekali TIDAK PERLU PUNYA NO.REKENING..!!
Laahh dia transaksi selama ini pake rek orang lain diputar-putar buat beli-beli barang
Nah 'K2 bingung dong barangnya gak datang2,
Dilaporinlah ke Bank BCA sebagai tindak penipuan.
Tapi yang dilaporin itu No.Rek punya 'K1 karena memang 'K2 transfer ke no.rek milik 'K1 .
Tapi 'K1 gak tahu apa-apa soal penipuan…karena dia anggap itu uang hasil transaksi dengan 'P'
Diblokirlah no.rek 'K1 oleh Bank BCA, karna memang yang dilaporin no.rek punya 'K1
'K1 mencoba ngontak no.HP si 'P' tapi sudah dpt diduga..HP-nya udah gak aktif!
Akhirnya 'K1 harus ganti Rp. 650.000 ke 'K2 supaya no.reknya gak diblokir.
Sedangkan si 'P' lolos begitu saja!
C. Perlindungan Hukum Terhadap si Korban
Penipuan di internet atau bahasa lainnya penipuan secaraonline pada prinsipnya sama dengan penipuan konvensional, yang membedakan dari keduanya hanyalah sarana perbuatannya yakni menggunakan sistem elektronik seperti komputer, internet dan perangkat telekomunikasi lainnya. sehingga secara hukum penipuan di internet atau penipuan secara online dapat diperlakukan sama dengan delik konvensional
Mengenai kebijakan hukum terkait dengan tindak pidana penipuan transaksi jual beli di internet, khususnya dalam hal ini kebijakan yang dapat diterapkan terhadap pelaku, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia terkait dalam tindak pidana ini, masing-masing mangaturnya dalam satu pasal
Undang-Undang mengenai penipuan penjualan online
Perlakuan Hukum
Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan konvensional. Yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP").
Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."
Sedangkan, jika dijerat menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE"), maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE). Lebih jauh, simak artikel Pasal Untuk Menjerat Pelaku Penipuan Dalam Jual Beli Online.
Untuk pembuktiannya, APH bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime. Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik "penipuan". Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat general/umum dengan titik berat perbuatan "penyebaran berita bohong dan menyesatkan" serta pada "kerugian" yang diakibatkan perbuatan tersebut.
Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur "menguntungkan diri sendiri" dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Delik khusus "penipuan" dalam UU ITE, baru akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Revisi UU ITE yang saat ini dalam tahap pembahasan antar-kementerian.
Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan. Selama ini, tindak pidana penipuan sendiri diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana("KUHP"), dengan rumusan pasal sebagai berikut:
"Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun".
Walaupun UU ITE tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan timbulnya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan Pasal28ayat(1)UUITE yangmenyatakan:
"Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik."
Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sesuai pengaturan Pasal 45 ayat(2) UU ITE. Jadi, dari rumusan-rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP tersebut dapat kita ketahui bahwa keduanya mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP mengatur penipuan (penjelasan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP silakan simak artikel Penipuan SMS Berhadiah), sementara Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik (penjelasan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE silakan simak artikel Arti Berita Bohong dan Menyesatkan dalam UU ITE). Walaupun begitu, kedua tindak pidana tersebut memiliki suatu kesamaan, yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusanPasal 28 ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur "menguntungkan diri sendiri atau orang lain" sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Pada akhirnya, dibutuhkan kejelian pihak penyidik kepolisian untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP dan kapan harus menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Namun, pada praktiknya pihak kepolisian dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHPdan memenuhi unsur-unsur tindak pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, polisi dapat menggunakan kedua pasal tersebut
Dalam KUHP pasal yang secara khusus mengatur tindak pidana penipuan terdapat dalam Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut ;
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun"[5]
Sedangkan dalam UU ITE, pasal yang mengatur terkait dengan tindak pidana penipuan khususnya di internet, di atur dalam Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut :
(1) "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik"[6]
Ancaman pidana yang dapat dikenakan terhadap pelaku adalah pidana penjaran paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar sebagai mana disebutkan dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE, perihal ketentuan pidana dari pasal 28 ayat (1) UU ITE
Perlu diketahui sebelumnya, walaupun isi dari Pasal 28 ayat (1) tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan adanya unsur sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut yaitu "kerugian konsumen dalam transaksi elektronik", maka pasal tersebut dapat digunakan terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana penipuan di internet
Terkait adanya 2 (dua) aturan mengenai tindak pidana penipuan di internet atau penipuan secara online yakni Pasal 378 KUHP dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE, mengenai kebijakan yang dapat diterapkan kepada pelaku sepenuhnya dikembalikan kepada penyidik untuk menentukan Pasal mana yang akan dikenakan terhadap pelaku, disini dibutuhkan kejelian dari pihak penyidik yang menanganiya
Namun tidak menutup kemungkinan juga pihak penyidik dapat menggunakan kedua pasal tersebut secara bersamaan atau istilah yang biasa disebut pasal berlapis, apabila memang unsur-unsur dari kedua pasal tersebut terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peranan dan perlindungan korban dalam tindak pidana penipuan memiliki peranan yang cukup besar, karena terlalu memberikan kepercayaan terlalu besar kepada si pelaku dan kurangnya kehati-hatinya mengakibatkan si korban dengan mudah menjadikan korban oleh pelaku dan juga kurang nya peranan pemerintas dilihat dari ruanglingkup victimologi dan perlindungan terhadap korban kejahatan penipuan online.Padahal UU tentang Penipuan dan juga UU ITE sudah jelas mengatur Namun diprakteknya masih sangat minim sekali penegakan hukum yang bisa di bilang tidak kasat mata ini namun ada dan merugikan orang lain yang dapat dikatakan sebagai korban kejahatan yang di marginal kan oleh penegakan hukum.
Perlindungan hukum terhadap si korban mengenai tindak pidana penipuan transaksi online kada pada Pasal 378 KUHP, dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
B. Saran.
Sampai saat ini pemerintah belum bisa melindungi masyarakatnya secara maksimal khususnya dalam hal ini melindungi masyarakat atas tindak pidana penipuan transaksi di internet, seharusnya pemerintah melakukan berbagai cara melindungi masyarakatnya dari tindak pidana, seperti melakukan sosialisai atau himbauan kepada masyarakat melalui berbagai media informasi yang dapat diketahui oleh seluruh masyarakat indonesia.
Atau membuat websit sebagai wadah, cara mengetahu tempat toko online yang baik dan buruk, jadi bila satu orang tertipu yang lain tidak akan kena, dan toko online tersebut di hapus sepihak karena telah menipu
Bisa juga menjadi pihak ketiga dalam transaksi jual beli online, jadi si pembeli mentrasper uang ke pihak ketiga "pemerintah" dan setalah barang di terima si pembeli baru uang di trasper.
Maka dari pada itu di butuh kanya pihak penanganan perlindungan korban kejahatan ini oleh pemerintah dan seluruh penegak hukum di negara ini hingga penegakan hukum di negara ini dapat di tegakan berdasarkan salah satu cabang ilmu hukum Victimologi mengenai korban dan ruang lingkupnya.
DAFTAR PUSTAKA
GOOGLE.COM
Dari Buku
Iswanto, H dan Angkasa. 2004. Diktat Viktimologi. Purwokerto. Fakultas Hukum Universiatas Jenderal Soedirman.
Undang Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana "KUHP"
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dari Internet
Angkasa. 2014. http://www.slideshare.net/elsaref/dr-angkasa-viktimologi. (Di akses 12 januari 2014)
Condro,Bawonom,Adi.http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0db1bf87ed3/pasal-untuk-menjerat-pelaku-penipuan-dalam-jual-beli-online. (Di akses 12 januari 2014).
fhey laws. 2014. http://fhey-laws.blogspot.com/2013/05/makalah-viktimologi.html. (Di akses 12 januari 2014)
kurangsesendok. 2014. http://dialogbias.wordpress.com/2013/12/04/kalo-aja-php-merupakan-kriminalitas-mungkin-korban-php-bisa-dianalisis-melaui-ini-huft/. (Di akses 12 januari 2014)
Septian D. Putranto. 2014. http://putranto88.blogspot.com/2011/06/peran-korban-dalam-tindak-pidana.html. (Di akses 12 januari 2014)