BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penyakit kulit semakin berkembang, hal ini dibuktikan dari data Profil Kesehatan Indonesia 2010 yang menunjukkan bahwa penyakit kulit dan jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia berdasarkan jumlah kunjungan yaitu sebanyak 192.414 kunjungan
dan
122.076
kunjungan
diantaranya
merupakan
kasus
baru
(Kemenkes,2011). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit kulit masih sangat dominan terjadi di Indonesia.
Penyakit kulit banyak dijumpai di Indonesia, hal ini disebabkan karena Indonesia beriklim tropis (Utomo, 2004). Skabies merupakan penyakit kulit yang masih sering di jumpai di Indonesia dan tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat (Sudirman, 2006).
Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh adanya infestasi Sarcoptes scabiei var . hominis di kulit, ditandai dengan adanya gatal dan erupsi kulit dengan derajat keparahan yang bervariasi (Prendiville, 2011). Penyakit ini dapat ditularkan secara langsung (kontak kulit dengan kulit) misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan melalui hubungan seksual. Penularan secara tidak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dan selimut (Djuanda, 2007). Terapi penyakit skabies terkadang mengalami kegagalan atau pengobatan tidak bisa mencapai optimal sehingga kasus skabies masih ada.
Praktek pelayanan farmasi klinik mengharuskan setiap farmasis meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam proses pelayanan kesehatan, memahami penyakit dan terapinya dengan memperhatikan kondisi pasien secara individual, mampu mengidentifikasi dan menatalaksana problem kesehatan yang terkait dengan penggunaan obat ( Drug ( Drug Related Problems), Problems), mampu bekerjasama dengan
1
tenaga profesional kesehatan lainnya yang terlibat langsung dalam perawatan pasien.
Upaya dalam meningkatkan keberhasilan terapi dan mengurangi penularan penyakit skabies, apoteker dapat berperan langsung dengan cara membantu dalam pemilihan obat yang tepat, menghindari terjadinya DRP, pemberian informasi obat yang jelas terhadap pasien, melakukan monitoring terhadap kepatuhan pasien, serta memberi edukasi terhadap keluarga pasien untuk mencegah penularan yang mungkin mungkin terjadi.
I.2. Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui jenis-jenis penyakit yang terkait pada kulit khususnya skabies. 2. Untuk dapat mampu mengkaji resep dengan baik dan benar. 3. Untuk dapat mengetahui dan mampu mengkaji rsesep rasional atau tidak. 4. Untuk dapat melakukan pemberian informasi obat kepada pasien dengan tepat.
I.3. Manfaat
1. Dapat menambahwawasan mengenai ilmu pengetahuan terkait kesehatan, khususnya mengenai penyakit skabies. 2. Dapat membantu dalam penetapan kebijakan mengenai penyakit yang terkait dengan kulit. 3. Dapat diajadikan sebagai data dasar dan sumber rujukan untuk melakukan kajian selanjutnya yang berkaitan dengan penyakit kulit terutama skabies.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Tinjauan Umum 2.1.1. Peran Apoteker
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional. Dimana, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, digunakan secara bergantian istilah Pekerjaan Kefarmasian dan Praktik Kefarmasian dengan maksud menunjuk pengaturan atas subjek dan objek hukum yang sama. Dimana, pekerjaan kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pelayanan kefarmasian mempunyai peran penting dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu dimana apoteker sebagai bagian penting dari tenaga kesehatan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Berdasarkan Permenkes Nomor 35 Tahun 2014, mengenai standar pelayanan kefarmasian di apotek, dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus menjalankan perannya, yaitu: a. Pemberi layanan Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan. b. Pengambil keputusan Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
3
c. Komunikator Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik. d. Pemimpin Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan
yang
diharapkan
meliputi
keberanian
mengambil
keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. e. Pengelola Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang Obat dan halhal lain yang berhubungan dengan Obat. f. Pembelajar seumur hidup Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi
melalui
pendidikan
berkelanjutan
(Continuing
Professional
Development/CPD) g. Peneliti Apoteker
harus
selalu
menerapkan
prinsip/kaidah
ilmiah
dalam
mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.
Demi mewujudkan tujuan pelayanan kefarmasian yang berkualitas, maka disusunlah pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) atau Good Pharmacy Practice (GPP) sebagai perangkat untuk memastikan apoteker dalam pelayanannya kepada pasien memenuhi standar mutu dan merupakan cara untuk menerapkan Pharmaceutical Care (Ditjen Binfar & Alkes dan IAI, 2011).
Salah satu aktivitas utama pelayanan kefarmasian berdasarkan CPFB adalah aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan dan penggunaan sediaan
4
farmasi
dan
alat kesehatan dalam pelayanan resep, dengan kegiatan (Ditjen
Binfar & Alkes dan IAI, 2011): 1. Penerimaan dan pemeriksaan kelengkapan resep. 2. Pengkajian resep, meliputi identifikasi, mencegah dan mengatasi masalah terkait obat/ Drug Related Problem (DRP) 3. Penyiapan obat dan perbekalan farmasi lainnya, meliputi: pemilihan; pengadaan (perencanaan,
teknis
pengadaan.
penyimpanan);
pendistribusian, penghapusan
pencatatan dan
pelaporan,
jaminan
mutu,
penerimaan, dan
dan
pemusnahan,
serta monitoring dan
evaluasi. 4. Layanan
informasi
obat.
Meliputi:
penyediaan
area
konseling
khusus; kelengkapan literatur: penjaminan mutu SDM; pembuatan prosedur tetap dan pendokumentasiannya. 5. Monitoring terapi obat meliputi: pembuatan protap monitoring ; evaluasi perkembangan terapi pasien. 6. Dokumentasi
aktivitas
profesional,
meliputi:
catatan
pengobatan
pasien ( Patient Medication Record/PMR), protap evaluasi diri (self assesment ) untuk jaminan mutu CPFB/GPP
Aktivitas yang berhubungan dengan peningkatan penggunaan obat yang rasional, dengan kegiatan (Ditjen Binfar & Alkes dan IAI, 2011): 1. Pengkajian resep, meliputi: identifikasi, mencegah dan mengatasi DRP. 2. Komunikasi dan advokasi kepada dokter tentang resep pasien. 3. Penyebaran informasi obat. 4. Menjamin kerahasiaan data pasien. 5. Pencatatan kesalahan obat, produk cacat atau produk palsu. 6. Pencatatan dan pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO). 7. Evaluasi data penggunaan obat ( Drug Use Study). 8. Penyusunan Formularium Bersama tenaga kesehatan lain.
5
2.1.2. Kajian Resep
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014, standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, serta pelayanan farmasi klinik, dimana pengkajian resep merupakan salah satu bagian dari pelayanan farmasi klinik. Resep sendiri merupakan permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. 1. Kajian administratif meliputi:
Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
Nama dokter, nomor surat izin praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf; dan
Tanggal penulisan resep.
2. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
Bentuk dan kekuatan sediaan;
Stabilitas; dan
Kompatibilitas (ketercampuran obat).
3. Pertimbangan klinis meliputi:
Ketepatan indikasi dan dosis Obat;
Aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
Duplikasi dan/atau polifarmasi;
Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain);
Kontra indikasi; dan
Interaksi.
2.1.3 Drug Related Pr oblem (DRP)
Drug Related Problem (DRP) merupakan setiap kejadian yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien terkait atau diduga terkait terapi obat yang dapat mengganggu keberhasilan tujuan terapi yang diinginkan sehingga diperlukan
6
penilaian profesional untuk menyelesaikan masalah tersebut.Terdapat DRP aktual dan DRP potensial, dimana DRP aktual merupakan masalah yang sedang terjadi saat terapi sedang diberikan sedangkan DRP potensial merupakan masalah yang diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada pasien (Cipolle, et al ., 2012). Berdasarkan Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V 6.2), Drug Related Problem (DRP) diklasifikasikan sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe, 2010):
2.2. Tinjauan Khusus Skabies 2.2.1
Pengertian Skabies
Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau Sarcoptes scabei. Skabies tidak membahayakan bagi manusia. Adanya rasa gatal pada malam hari merupakan gejala utama yang mengganggu aktivitas dan produktivitas. Penyakit scabies banyak berjangkit di lingkungan yang padat penduduknya, lingkungan kumuh, lingkungan dengan tingkat kebersihan kurang. Skabies cenderung tinggi pada anak-anak usia sekolah, remaja bahkan orang dewasa (Siregar, 2005).
2.2.2
Etiologi
Penyebabnya penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei atau pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes (Djuanda, 2010).
Secara morfologi tungau ini berbentuk oval dan gepeng, berwarna putih kotor, transulen dengan bagian punggung lebih lonjong dibandingkan perut, tidak berwarna, yang betina berukuran 300-350 mikron, sedangkan yang jantan berukuran 150-200 mikron. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang merupakan kaki depan dan 2 pasang lainnya kaki belakang. Siklus hidup dari telur sampai menjadi dewasa berlangsung satu bulan. Sarcoptes scabiei betina terdapat
7
cambuk pada pasangan kaki ke-3 dan ke-4. Sedangkan pada yang jantan bulu cambuk tersebut hanya dijumpai pada pasangan kaki ke-3 saja (Aisyah, 2005).
2.2.3
Epidemiologi
Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya promiskuitas (ganti-ganti pasangan), kesalahan diagnosis dan perkembangan demografi serta (Djuanda, 2010).
2.2.4
Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kurang lebih satu bulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder (Djuanda, 2010).
2.2.5
Cara Penularan
Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, adapun cara penularannya adalah: 1. Kontak langsung (kulit dengan kulit) Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan hal tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya. 2. Kontak tidak langsung (melalui benda) Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut.
8
2.2.6
Gambaran Klinis
Diagnosa dapat ditegakkan dengan menentukan 2 dari 4 tanda dibawah ini : a. Pruritus noktural yaitu gatal pada malam hari karena aktifitas tungau yang lebih tinggi pada suhu yang lembab dan panas. b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga, begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena. c. Adanya kunikulus (terowongan) pada tempat-tempat yang dicurigai berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papula (tonjolan padat) atau vesikel (kantung cairan). Jika ada infeksi sekunder, timbul polimorf (gelembung leokosit). d. Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Gatal yang hebat terutama pada malam sebelum tidur. Adanya tanda : papula (bintil), pustula (bintil bernanah), ekskoriasi (bekas garukan).
Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit yang umumnya muncul di sela-sela jari, selangkangan dan lipatan paha, dan muncul gelembung berair pada kulit (Djuanda, 2010).
2.2.7. Penatalaksanaan Skabies
Menurut Sudirman (2006), penatalaksanaan skabies dibagi menjadi 2 bagian : a.
Penatalaksanaan secara umum.
Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan mandi secara teratur setiap hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang telah digunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Demikian pula dengan anggota keluarga yang beresiko tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak-anak, juga harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu menghindari terjadinya kontak langsung. Secara umum meningkatkan kebersihan lingkungan maupun
9
perorangan dan meningkatkan status gizinya. Beberapa syarat pengobatan yang harus diperhatikan: 1. Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi pengobatan secara serentak. 2. Higiene
perorangan
:
penderita
harus
mandi
bersih,
bila
perlu
menggunakan sikat untuk menyikat badan. Sesudah mandi pakaian yang akan dipakai harus disetrika. 3. Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei, bantal, kasur, selimut harus dibersihkan dan dijemur dibawah sinar matahari selama beberapa jam. b.
Penatalaksanaan secara khusus.
Dengan menggunakan obat-obatan, obat-obat anti skabies yang tersedia dalam bentuk topikal antara lain: 1. Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun. 2. Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai. 3. Gama benzena heksa klorida (gameksan = gammexane) kadarnya 1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua
stadium,
mudah
digunakan,
dan
jarang
memberi
iritasi.
Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian. 4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal. Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra. 5. Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik dibandingkan gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam. Bila belum sembuh diulangi setelah seminggu. Tidak anjurkan pada bayi di bawah umur 12 bulan.
10
2.2.9
Pencegahan
Cara pencegahan penyakit skabies adalah dengan : a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun. b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur minimal 2 kali dalam seminggu. c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali. d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain. e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau skabies. f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.
II.3
Tinjauan Khusus Obat
2.3.1
Scabimite Cream Topical
Scabimite Cream Topical mengandung bahan aktif permethrin 5% dengan kemasan tube dan diindikasikan untuk terapi investasi Sarcoptea scabiei (Scabies). Kontra Indikasi dari sediaan ini adalah hipersensitif terhadap Permethrin, Pirethroid sintetis atau Pirethrin. Scabimite merupakan antiparasit spektrum luas terhadap tungau, kutu rambut, kutu badan serta anthropoda lainnya. Scabimite bekerja dengan cara mengganggu polarisasi dinding sel syaraf parasit yaitu melalui ikatan dengan Natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi paralise parasit. Scabimite dimetabolisir dengan cepat di kulit. Hasil metabolisme yang bersifat tidak akan segera diekskresikan melalui urine. Efek samping dari scabimite diantaranya dapat timbul rasa panas seperti terbakar yang ringan, pedih, gatal, aritema, hipestesi serta ruam kulit. Efek samping ini bersifat sementara dan akan menghilang sendiri.
11
2.3.2
Desolex Lotion
Desolex lotion memiliki komposisi yaitu tiap lotion mengandung 0,5 mg Desonide yang diindikasikan untuk dermatosis yang responsif terhadap kortikosteroid, mengurangi manifestasi inflamasi dan pruritus dari dermatosis yang responsif terhadap kortikosteroid. Umumnya yang paling efektif dalam dermatosis akut atau kronis (misalnya, seboroik atau atopik dermatitis, neurodermatitis lokal, anogenital pruritus, psoriasis, fase akhir dari dermatitis kontak alergi, fase inflamasi dari xerosis). Kontraindikasi dari sediaan ini adalah hipersensitivitas terhadap desonide atau bahan dalam formulasi.
Dosis pemakaian desonide untuk dewasa yaitu
dermatosis yang responsif terhadap kortikosteroid adalah oleskan tipis 2-3 kali sehari sesuai dengan tingkat keparahan. Mekanisme kerja dari desonide ini adalah mengurangi peradangan dengan menstabilkan membran leukosit lisosomal, mencegah pelepasan asam hidrolisis merusak dari leukosit; menghambat akumulasi makrofag di daerah radang; mengurangi adhesi leukosit endotel kapiler; mengurangi dinding kapiler permeabilitas dan pembentukan edema; penurunan komponen pelengkap; antagonis aktivitas histamin dan pelepasan kinin dari substrat; mengurangi proliferasi fibroblast, deposisi kolagen, dan pembentukan jaringan parut berikutnya; dan mungkin dengan mekanisme lain yang belum diketahui. Efek samping dapat terjadi terutama pada kulit yang tertutup baju dengan ketat, terjadi seperti iritasi, rasa terbakar, gatal, kulit kering, hipertrikosis, erupsi yang menyerupai jerawat, maserasi kulit, atropi kulit, stria, miliaria, hipopigmentasi, folliculitis, perioral dermatitis, alergi kontak dermatitis dan infeksi sekunder. 2.3.3.
Dermovel 0,1% Cream
Dermovel
cream
mengandung
bahan
aktif
mometasone
furoate,
yang
diindikasikan sebagai antiinflamasi, antipruritus sera dapat menimbulkan vasokonstriksi. Kontraindikasi sediaan ini adalah untuk pasien yang hipersensitif
12
terhadap mometasone furoate serta bahan lain dalam sediaan ini. Efek samping yang dapat terjadi oleh pasien yang menggunakan sediaan ini antara lain rasa terbakar, pruritus dan atrofi kulit; rosacea, rasa tersengat dan furunkulosis. Mekanisme kerja mometasone furoate melalui induksi protein penghambat fosfolipase A2 yang secara kolektif disebut lipocortins. Protein ini mengontrol biosintesis prostaglandin don leukotrienes yang merupakan mediator inflamasi yang kuat dengan jalan menghambat pelepasan asam arakidonat yang dilepaskan dari fosfolipid membran oleh fosfolipase A 2.
2.3.4. Lameson
Lameson mengandung zat aktif methylprednisolone yang diindikasikan untuk penyakit
lupus
eritematosus
sistemik, karditis reumatik
akut,
polimiositis,
berbagai penyakit alergi dermatitis herpetiformis, sindroma Stevens – Johnson, dermatitis eksfoliatif, psoriasis, radang mata akut dan kronik, leukemia limfositik kronik dan akut, limfoma, multipel mieloma, kolitis ulseratif dan enteritis regional (penyakit
Crohn),
Sindroma
nefrotik,
penolakan
cangkok organ tubuh,
kelainan endokrin, kelainan hematologik, penyakit reumatik. Lameson adalah suatu glukokortikoid sintetik yang mempunyai efek antiinflamasi kuat.
Lameson
bekerja
dengan
menduduki
reseptor spesifik
dalam sitoplasma sel yang responsif. Kemudian kompleks steroid reseptor ini berikatan
dengan DNA yang
selanjutnya
akan
mempengaruhi
sintesa
berbagai protein. Beberapa efek penting yang timbul akibat ini ialah berkurangnya produksi prostaglandin dan leukotrien, berkurangnya degranulasi mest cell, berkurangnya sintesis kolagen. Lameson dikontraindikasikan pada tuberkulosis, (kecuali jenis fulminan/ diseminata), infeksi jamur sistemik, vaksinia/ varisela, keratitis herpes simpleks, tukak peptik, sindroma Cushing , psikosis akut, penderita yang baru divaksinasi.
13
Pemberian Lameson dosis tinggi dalam jangka waktu pendek (beberapa hari) jarang mengakibatkan timbulnya efek samping yang serius. Namun pemberian jangka lama, terutama dengan dosis besar, dapat menimbulkan timbulnya moon face,
deposit
lemak
di
bagian
otot, hipertensi, osteoporosis, penurunan
tubuh
toleransi
tertentu, glukosa,
kelemahan
tukak
peptik,
penurunan mekanisme pertahanan tubuh, perlambatan sembuhnya luka, hambatan pertumbuhan pada anak, glaukoma, katarak, trombosis, psikosis dan reaksi alergi. 2.3.6
Loratadine
Loratadine adalah suatu antihistamin trisiklik yang bekerja lama dengan aktivitas antagonis selektif terhadap reseptor H1 (reseptor histamin 1) perifer tanpa efek sedasi sentral (efek mengantuk) atau efek antikolinergik. Loratadine adalah antihistamin yang mempunyai efek kerja panjang. Loratadine mempunyai afinitas lemah terhadap reseptor adrenergik alfa dan reseptor asetilkolin. Loratadine diindikasikan untuk mengurangi gejala-gejala yang berkaitan dengan rhinitis alergik, seperti bersin-bersin, pilek, dan rasa gatal pada hidung, rasa gatal dan terbakar pada mata. Juga mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda urtikaria kronik serta penyakit dermatologik alergi lain. Loratadine tidak boleh diberikan pada pasien yang menunjukkan hipersensitif terhadap komponen obat ini. Efek samping loratadine yang pernah dilaporkan diantaranya lelah, sakit kepala, somnolensi, mulut kering, gangguan pencernaan, nausea, gastritis dan alergi yang menyerupai ruam. 2.3.7
Kloderma Cream
Kandungan dari kloderma cream adalah Clobetasol propionate yang diindikasikan untuk pemakaian jangka pendek terhadap pengobatan penyakit kulit yang resisten seperti psoriasis, eksim, lupus eritematosus, lichen planus, serta bentuk inflamasi dan gatal-gatal dari dermatoses yang responsif terhadap kortikosteroid. Kontraindikasi terhadap penderita Rosacea, Acne, Perioral dermatitis, lesilesi kulit yang disebabkan oleh infeksi virus, fungi atau bakteri.
14
Kloderma bekerja sebagai kortikosteroid. Digunakan secara topikal terutama untuk pemakaian dalam jangka pendek terhadap inflamasi (peradangan) dengan cara mengurangi eritema, rasa sakit dan rasa bengkak.
2.3.8. QV Skin Lotion
QV Skin Lotion mengandung Qv skin lotion soft white paraffin, cetyl alcohol, stearyl alcohol, squalene, glycerol 10 %. QV Skin Lotion diindikasikan untuk meredakan kulit kering termasuk iktiosis, pruritus, dermatitis atopik, eksema, psoriasis dan pemaparan terhadap sinar matahari,angin dan cuaca dingin.
15
BAB III ANALISIS RESEP
III.1. Kajian Resep
dr. YY spesialis kulit dan kelamin SIP xxxx Praktek : Apotik ff Jl. AbcdTelp : 1234567 9/4/2016 R/ Scabimite 20 gr S.u.e 1 tubuh 1x malam mulai 8/4/16 R/ QV Skin lot 50 mL Desolex lotion 50 mL m.f lot S.u.e 1 tubuh 1x malam mulai 10/4/16 R/ Kloderma cr 20 gr QV cr 10gr m.f cr S.u.e bruntus di tubuh lengan, tungkai sehari 2x mulai 10/4 R/ alloris tab lameson m.f cap dtd No V S 1 dd cap 1 pc
10 mg (1/2 tab) 2 mg
R/ dermovel cr 10 gr S.u.e bruntus di wajah sehari 2x mulai 7/4
Pro: An. XX Alamat: jl dcba Umur: 8 tahun
(Gambar 3.1. Resep)
16
3.1.1. Skrining Administrasi
Menurut Permenkes RI nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi:
Nama pasien, umur, jenis kelamin, dan berat badan
Nama dokter, nomor Surat Izin Praktek (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf
Tanggal penulisan resep
Hasil skrining resep tentang kajian administratif resep dapat dilihat pada Lampiran Tabel 3.1. 3.1.2. Skrining Farmasetika
Menurut Permenkes RI nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, kajian farmasetikpada kegiatan pengkajian resep, meliputi:
Bentuk dan Kekuatan Sediaan;
Stabilitas; dan
Kompatibilitas (ketercampuran obat)
Hasil skrining farmasetika resep dapat dilihat pada Lampiran Tabel 3.2 hingga Tabel 3.5. 3.1.3. Pertimbangan Klinis a. Ketepatan Indikasi dan Dosis Obat
1.
Scabimite Krim 5% (Permethrin)
Permethrin digunakan sebagai terapi pediculosis capitis dan scabies untuk dewasa
dan anak dengan usia ≥ 2 bulan , serta demodicidosis (AHFS, 2014). Pada pasien, obat ini digunakan untuk mengatasi skabies/ kudis (tepat indikasi). Dosis permethrin topikal menurut literatur adalah dengan kekuatan sediaan krim 5%, kemudian dioles tipis dan pijat dengan lembut secara menyeluruh ke seluruh permukaan kulit (AHFS, 2014). Pada pasien, krim diberikan satu kali sehari (tepat dosis).
17
2. Desolex Lotion (Desonide) Indikasi desonide adalah terapi dermatosis yang responsif terhadap kortikosteroid. Obat ini dapat digunakan untuk mengurangi manifestasi inflamasi dan pruritus. Umumnya , paling efektif digunakan pada dermatosis akut atau kronis (misalnya, dermatitis seboroik atau atopik, neurodermatitis lokal, pruritus anogenital, psoriasis, fase akhir dari dermatitis kontak alergi, dan fase inflamasi pada xerosis. Desonide krim dianggap memiliki potensi rendah hingga sedang (AHFS, 2014). Pada pasien An. XX, losion ini dapat digunakan untuk mengatasi reaksi inflamasi, eksim, dan gatal-gatal (tepat indikasi).. Pada pasien anak dengan usia > 3 bulan, desonide diberikan 2 kali sehari (AHFS, 2014), sedangkan pada pasien sediaan ini diberikan satu kali sehari (kurang tepat dosis).
3.
Kloderma krim (Klobetasol Propionat)
Klobetasol diindikasikan pada dermatosis yang responsif terhadap kortikosteroid. Klobetasol dapat digunakan
sebagai terapi jangka pendek dari manifestasi
inflamasi dan pruritus pada dermatosis yang responsif terhadap kortikosteroid sedang hingga parah, termasuk plak psoriasis dan dermatosis kulit kepala (AHFS, 2014). Pada pasien, krim ini diberikan untuk mengatasi gejala skabies seperti kemerahan dan gatal-gatal (tepat indikasi).
Untuk penggunaan pada anak dengan usia < 12 tahun, penggunaan obat ini tidak direkomendasikan. Hal ini dikaitkan dengan klobetasol yang merupakan kortikosteroid topical dengan potensi yang sangat tinggi (DIH, 2014). Anak-anak lebih mungkin untuk menyerap steroid topikal dalam jumlah besarbmelalui kulit. Penyerapan steroid pada anak dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, atau keterlambatan dalam pertumbuhan dengan penggunaan jangka panjang. Pada pasien, klobetasol diberikan dua kali dalam sehari setelah dilakukan pengenceran dengan menggunakan QV krim (dosis kurang sesuai karena pemakaian tidak dianjurkan).
18
4.
Alloris (Loratadin)
Loratadin merupakan golongan obat antihistamin yang diindikasikan untuk kondisi rinitis alergi serta urtikaria idiopatik kronik (AHFS, 2014). Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG). Peningkatan histamin menstimulasi rasa gatal melalui mediasi ujung saraf sensorik.(Wilmana, 2007). Pada pasien ini loratadin digunakan sebagai terapi untuk mengatasi rasa gatal, reaksi kemerahan,
dan urtikaria (kaligata) (tepat indikasi). Dosis untuk anak dengan usia ≥ 6 tahun adalah 10 mg satu kali sehari (AHFS, 2014), namun pasien hanya mendapatkan dosis 5 mg satu kali sehari (dosis kurang sesuai).
5.
Lameson (Metilprednisolon)
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid yang digunakan untuk penyakit kolagen, penyakit kulit, gangguan rematik, keadaan alergi, penyakit neoplastik, TB meningitis, dan lain-lain (Drug Facts, 2008). Pada pasien, obat ini digunakan untuk mengatasi penyakit kulit dengan tanda dan gejala inflamasi (tepat indikasi). Dosis umum yang digunakan adalah 0,117
– 1,99 mg/kg/hari (AHFS, 2014).
Untuk pasien ini, berat badan pasien diasumsikan 25 kg (usia 8 th) sehingga dosis yang dibutuhkan adalah 3 mg. Namun, pada resep tertulis 2 mg satu kali sehari (dosis kurang sesuai).
6.
Dermovel (Mometason furoat)
Mometason topikal diindikasikan untuk dermatosis yang responsif terhadap kortikosteroid (AHFS, 2014). Pada pasien, digunakan untuk mengatasi inflamasi seperti gatal dan kemerahan (tepat indikasi). Dosis yang dianjurkan adalah menggunakan krim ini dengan kekuatan sediaan 0,1% untuk daerah yang terkena, biasanya sekali sehari atau dapat juga diberikan dua kali sehari (AHFS, 2014). Hal ini sesuai dengan pengobatan yang diterima pasien yaitu dua kali sehari.
19
b.
Aturan, Cara, dan Lama Penggunaan Obat
1.
Scabimite krim 5% (Zat aktif : Permethrin) Penggunaan krim permethrin yaitu dengan cara dioleskan tipis dan pijat dengan lembut secara menyeluruh ke seluruh permukaan kulit (seluruh tubuh dan ekstremitas) dari leher sampai ke jari kaki (termasuk telapak kaki) kemudian dicuci setelah 8-14 jam (AHFS, 2014). Penggunaan dapat diulang dalam 1 minggu jika tungau masih muncul (DIH, 2014). Pada pasien, krim ini digunakan pada seluruh tubuh satu kali sehari pada waktu malam hari mulai tanggal 8/4/2016 (sesuai).
2.
Desolex lotion (desonide) Desonide dapat diberikan dua kali sehari (AHFS, 2014). Terapi harus dihentikan ketika gejala sudah terkontrol. Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 4 minggu, maka diperlukan pengkajian ulang diagnosis oleh dokter (DIH, 2014). Pada pasien ini, losion digunakan pada seluruh tubuh satu kali sehari pada waktu malam mulai tanggal 10/4/2016 (aturan penggunaan kurang sesuai).
3.
Kloderma krim (Klobetasol Propionat) Penggunaan klobetasol untuk pasien anak dengan usia < 12 tahun penggunaan tidak direkomendasikan Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 2 minggu, maka diperlukan pengkajian ulang diagnosis oleh dokter (DIH, 2014). Pada pasien digunakan untuk daerah bruntus di tubuh lengan, tungkai, sehari dua kali mulai tanggal 10/4/2016 (kurang sesuai).
4.
Alloris (Loratadin) Loratadin diberikan dengan interval satu kali sehari (AHFS, 2014), hal ini sesuai dengan yang diterima pasien yaitu satu kali dalam sehari.
5.
Lameson (metilprednisolon) Lameson diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali dalam sehari (AHFS, 2014), sedangkan pada pasien hanya diberikan satu kali dalam sehari (kurang sesuai).
6.
Dermovel (mometason furoat) Mometason diberikan dengan cara dioleskan untuk area yang terkena, sehari sekali atau dapat juga diberikan dua kali sehari (AHFS, 2014). Pada pasien,
20
obat ini diresepkan dua kali sehari
pada bruntus di daerah wajah mulai
tanggal 7/4/2016 (sesuai).
c. Duplikasi dan/atau Polifarmasi
Tidak ditemukan adanya duplikasi obat karena aturan penggunaan dan area masing – masing obat topikal berbeda, sedangkan untuk obat oral memiliki tujuan dan target kerja yang berbeda.
d. Interaksi obat
Terdapat interaksi obat antara loratadin dan metilprednisolon. Interaksi yang terjadi dapat menurunkan kadar atau efek dari loratadin. Metilprednisolon menurunkan kadar/efek dari loratadin dengan mempengaruhi enim metabolisme hati CYP3A4. Loratadin meningkatkan kadar/efek dari metilprednisolon melalui transporter. Solusi yang dapat dilakukan yaitu monitoring efektivitas terapi dan efek samping obat. e. Reaksi obat yang tidak diinginkan
1.
Scabimite krim 5% (Permethrin) Efek samping yang mungkin timbul adalah rasa terbakar yang ringan, pruritus, eritema, kebas, dan rash (terjadi dalam frekuensi lebih jarang) (DIH, 2014)
2.
Desolex lotion (desonide) Efek samping dari penggunaan obat ini adalah (AHFS, 2014) :
Reaksi obat merugikan sistemik terjadi bila digunakan dalam area yang luas pada tubuh, untuk periode yang lama, dan pemberian oklusif
Keamanan dan efikasi belum diketahui secara jelas
pada lotion
mometason untuk usia dibawah 12 tahun, tidak direkomendasikan
Reaksi
lokal
hipopigmentasi
seperti
iritasi,
(terutama
pada
hipertrichosis, penggunaan
acneiform oklusif
eruption,
dan
terapi
diperpanjang)
Infeksi kulit
21
3.
Kloderma krim (Klobetasol Propionat) Efek samping dari penggunaan obat ini adalah (AHFS, 2014) :
Reaksi obat merugikan sistemik terjadi bila digunakan dalam area yang luas pada tubuh, untuk periode yang lama, dan pemberian oklusif
Keamanan dan efikasi belum diketahui secara jelas
pada lotion
mometason untuk usia dibawah 12 tahun, tidak direkomendasikan
Reaksi
lokal
hipopigmentasi
seperti
iritasi,
(terutama
pada
hipertrichosis, penggunaan
acneiform oklusif
eruption,
dan
terapi
diperpanjang)
4.
Infeksi kulit
Alloris (loratadin) Efek samping yang mungkin timbul pada sistem saraf pusat antara lain : gelisah (4% pada usia 6-12 tahun), lelah (3% pada usia 6-12 tahun), malaise (2% pada usia 6-12 tahun). Selain itu juga dapat menimbulkan nyeri perut (2%) (DIH, 2014)
5.
Lameson (metilprednisolon) Efek samping yang mungkin muncul (AHFS, 2014) :
Imunosupresi
Miopati
Mengganggu pertumbuhan untuk anak anak dan harus dipantau penggunaannya pada anak-anak
6.
Dermovel (mometason furoat) Efek samping dari penggunaan obat ini adalah (AHFS, 2014) :
Reaksi obat merugikan sistemik terjadi bila digunakan dalam area yang luas pada tubuh, untuk periode yang lama, dan pemberian oklusif
Keamanan dan efikasi belum diketahui secara jelas
pada lotion
mometason untuk usia dibawah 12 tahun, tidak direkomendasikan
Reaksi
lokal
hipopigmentasi
seperti
iritasi,
(terutama
pada
hipertrichosis, penggunaan
acneiform oklusif
eruption,
dan
terapi
diperpanjang)
Infeksi kulit
22
f.
1.
Kontraindikasi
Scabimite Krim 5% (Permethrin) Permethrin dikontraindikasikan terhadap pasien yang hipersensitivitas terhadap permethrin, pirethroid, atau pyrethrin, atau komponen lain yang ada dalam formulasi (AHFS, 2014).
2.
Desolex lotion (desonide) Desonide dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitivitas terhadap desonide dan komponennya (AHFS, 2014)
3.
Kloderma krim (Klobetasol Propionat) Klobetasol dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitifitas terhadap klobetasol propionat atau kortikosteroid lainnya ( AHFS, 2014).
4.
Alloris (loratadin) Loratadin dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitifitas terhadap loratadine atau komponen lain dalam formulasi (AHFS, 2014).
5.
Lameson (metilprednisolon) Metilprednisolon dikontraindikasikan pada pasien dengan kondisi (AHFS, 2014) :
Hipersensitivitas terhadap metilprednisolon atau komponen lain yang terdapat pada formulasi, atau kortikosteroid lainnya
Infeksi fungi sistemik, kecuali ketika diberikan melalui rute intra articular untuk kondisi sendi yang terlokalisasi
Penggunaan bersamaan dengan vaksin hidup atau yang dilemahkan pada pasien yang menerima dosis imunosupresif
6.
Dermovel (mometason furoat) Mometason dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitivitas terhadap mometason furoat, kortikosteroid lain atau komponen lain pada formulasi (AHFS, 2014).
III.2. Analisis DRP 3.2.1. Assessment Analisis DRP (Drug Releated Problem)
Drug Related Problems (DRPs)merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat potensial mengganggu keberhasilan
23
terapi yang diharapkan.Suatu kejadian dapat disebut DRPs bila memenuhi 2 komponen, salah satunya ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat. Bentuk hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat mapun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif.
Drug Related Problems terdiri dari aktual DRP dan potensial DRP. Aktual DRP adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada penderita. Sedangkan potensial DRP adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Sudoyo, dkk., 2004).
Pengkajian DRP resep kulit meliputi 8 poin yaitu mulai dari ketepatan pemilihan obat, bentuk sediaan, pemilihan dosis, durasi terapi, penggunaan obat, persediaan obat, pasien dan lain-lain. Hasil dari pengkajian DRS dapat dilihat pada Lampiran Tabel 3.6.
Terdapat DRP aktual mengenai kurang sesuainya dosis beberapa obat yaitu dosis oral Alloris dan Lameson, Alloris (loratadine) Anak usia 10
mg
≤12 tahun dengan dosis
satu kali sehari sedangkan di resep 5 mg satu kali sehari, Lameson
(metilprednisolon) dengan dosis 0,117 – 1,99 mg/kg/hari : asumsi BB 25 kg (usia 8th) jadi dosisnya 3 mg (0,117 x 25) sedangkan di resep 2 mg satu kali sehari. Maka perlu dilakukannya konfirmasi dengan dokter mengenai dosis terapi pasien agar pengobatan pasien lebih efektif. Pemilihan klobetasol dengan jenis obat yang very high potency topical tidak direkomendasikan untuk anak karena efektifitas dan efek samping untuk anak belum jelas sehingga kemungkinan penyerapan sistemiknya lebih besar. Sebaiknya klobetason tidak ditambahkan dalam resep karena sudah terdapat krim yang lain yang kegunaannya hampir sama.
Interaksi obat terjadi antara Lameson dan Metil prednisolon dimana loratadi meningkatkan kadar atau efek dari metil prednisolon dengan melalui transportasi p-glukoprotein. Sedangkan metil prednisolon akan menurunkan kadar atau efek loratadin melalui enzim metabolisme CYP34A. Pemantauan efektifitas dan efek
24
samping kedua obat ini sangat diperlukan sebagai tindakan monitoring terhadap interaksi obat yang terjadi.
Jumlah obat yang diresepkan dokter harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan keluarga terdekatnya, seperti Scabimite 5% yang harus digunakan oleh seluruh keluarga pasien untuk mencegah terjadinya penularan.
Cara pemakaian beberapa obat yang kurang sesuai seperti Desolex lotion pada Anak > 3 bulan diaplikasikan 2 kali sehari sedangkan di resep pemakaian pada seluruh tubuh satu kali sehari pada waktu malam. Lameson terbagi dalam 3 kali dosis dalam sehari di resep satu kali sehari. Maka perlu dilakukan evaluasi dengan dokter terhadap cara pemakaian obat luar dan obat oral pasien.
DRP potensial yang diperkirakan akan terjadi yaitu durasi terapi yang akan membutuhkan waktu lama karena dosis oral kurang sesuai yaitu terlalu rendah, gejala gatal-gatal yang mungkin terjadi karena terjadinya interaksi obat, toleransi terhadap beberapa krim karena penggunaan krim yang very high potency topical , serta cara pemakaian obat yang akan mengakibatkan lamanya pembunuhan bakteri. Timbulnya DRP aktual dan potensial akan berdampak terhadap keamanan dan keefektifan pengobatan pasien, peran apoteker dalam menjaga kualitas pelayanan kefarmasian di apotek, maka sebagai seorang Apoteker diharuskan untuk menghindari sekecil mungkin timbulnya atau terjadinya DRP pada terapi pasien.
25
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1. Kesimpulan
1.
Secara keseluruhan resep an. X kurang lengkap dalam kelengkapan administrasi ada data yang kurang dilengkapi mengenai jenis kelamin dan berat badan pasien. Dalam kelengkapan farmasi klinis terdapat dosis, interaksi obat dan aturan pakai yang kurang sesuai.
2.
Dilihat dari Drug Related Problems (DRP) resep an X. Kurang rasional karena : a.
Dosis yang terlalu rendah sehingga perlu penambahan dosis Alloris menjadi 10 mg dan penambahan dosis Lameson menjadi 3 mg dalam sehari.
b.
Pemilihan klobetason yang kurang tepat untuk anak.
c.
Adanya interaksi obat antara Metil prednisolon dan Loratadin sehingga butuh monitoring efektifitas dan efek samping.
d.
Beberapa obat waktu penggunaannya kurang tepat, menurut li teratur seharusnya Desolex lotion diaplikasikan menjadi 2 kali sehari pada seluruh tubuh dan Lameson terbagi dalam 3 kali dosis dalam sehari.
IV.2. Saran
Apoteker diharapkan konfirmasi lebih lanjut kepada dokter mengenai dosis, pemilihan obat, interaksi obat, aturan pemakaian serta jumlah obat yang diperlukan pasien.
26
DAFTAR PUSTAKA
AHFS, 2014, Drug Information, Bethesda, American Society of Health-System Pharmacists. Aisyah, S., 2005. Infeksi Kulit pada Bayi dan Anak . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. APhA, 2014, Drug Information Handbook 23 rd edition, America, Lexicomp. Cipolle RJ, Strand LM, Morley PC. Pharmaceutical Care Practice: The Patientcentered Approach to Medication Management Services, 3 rd Edition. New York: McGraw-Hill Education, LLC; 2012. Depkes RI, 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. http://www.depkes.go.id. Ditjen Binfar & Alkes dan IAI. 2011. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 5-7. Djuanda. A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima, cetakan kedua.Jakarta : FKUI Djuanda, A., 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. European Guideline for the Management of Scabies 2010. Proposed guideline review date: January 2015 Guidelines for the Management of Scabies by NHS Highland Johan, R. (2015). Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat. Vol. 42 no.4. IAI. Cimahi, Jawa Barat. Kementerian
Kesehatan
RI,
2011.
Profil
Kesehatan
Indonesia
2010.
http://www.depkes.go.id. Kementrian Kesehatan, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014, Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek . Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
27
Kristiwiani D. 2005. Hubungan Antara Praktik Kebersihan Diri Dengan Kejadian Skabies Pada Anak SD Di SD Bandarharjo I Semarang . Skripsi.Semarang. FKM UNDIP. Prendiville JS. Scabies and lice. In: Irvine AD, Hoeger PH, Yan AC,
editors.Harper’s Textbook of Pediatric Dermatology 3rd ed. West Sussex:Blackwell Publishing Ltd. 2011. p. 72.1 – 72.16. Republik Indonesia, P., 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian , Jakarta. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 5063. Jakarta: Sekretariat Negara. Scabies management ed II 2001-01 by CANADIAN PAEDIATRIC SOCIETY STATEMENT Siregar, R.S., 2005. Penyakit Jamur Kulit . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tatro, 2008, Drug Facts and Comparisons, United States of America, Wolters Kluwer Health. Utomo. P. 2004. Pengendalian Parasit dengan Genetik Host Resistance. Wartazoa.Vol. 14. no. 4. th 2004. Halaman: 160-172 Chosidow, O., 2006, Scabies, The New England Journal of Medicine, 354:16,1718-1727 UU RI No. 36 (2009)
28
LAMPIRAN I KLASIFIKASI DRP
Tabel 2.1. Klasifikasi Drug Related Problems (DRP) Berdasarkan PCNE Classification V 6.2
• No
1
DRP
PENYEBAB
Pemilihan Obat:
Obat yang tidak tepat (termasuk
Penyebab DRP terkait
kontraindikasi)
pemilihan obat
Penggunaan obat tanpa indikasi Kombinasi obat-obat atau makananobat yang tidak tepat Duplikasi yang tidak tepat Indikasi bagi penggunaan obat tidak ditemukan Terlalu banyak obat diresepkan pada indikasi Terdapat obat lain yang lebih costeffective Dibutuhkan obat yang sinergistik/pencegahan namun tidak diberikan Indikasi baru bagi terapi obat muncul
2
Bentuk sediaan obat:
Pemilihan bentuk sediaan yang tidak
Penyebab DRP berkaitan
tepat.
dengan pemilihan bentuk sediaan obat. 3
Pemilihan dosis:
Dosis terlalu rendah
Penyebab DRP berkaitan
Dosis terlalu tinggi
dengan dosis dan jadwal
Frekuensi regimen dosis kurang
penggunaan obat.
Frekuensi regimen dosis berlebih Tidak ada monitoring terapi obat
29
Masalah farmakokinetik yang membutuhkan penyesuaian dosis Memburuknya/membaiknya kesakitan yang membutuhkan penyesuaian dosis 4
Durasi Terapi:
Durasi terapi terlalu singkat
Penyebab DRP berkaitan
Durasi terapi terlalu lama
dengan durasi terapi. 5
Proses Penggunaan Obat:
Waktu penggunaan dan/atau interval
Penyebab DRP berkaitan
dosis yang tidak tepat
dengan cara pasien
Obat yang dikonsumsi kurang
menggunakan obat,
Obat yang dikonsumsi berlebih
diluar instruksi
Obat sama sekali tidak dikonsumsi
penggunaan pada etiket.
Obat yang digunakan salah Penyalahgunaan obat Pasien tidak mampu menggunakan obat sesuai instruksi
6
Persediaan/Logistik:
Obat yang diminta tidak tersedia
Penyebab DRP berkaitan
Kesalahan peresepan (hilangnya
dengan ketersediaan obat
informasi penting)
saat dispensing.
Kesalahan dispensing (salah obat atau salah dosis)
7
Pasien:
Pasien lupa minum obat
Penyebab DRP
Pasien menggunakan obat yang tidak
berkaitan dengan
diperlukan
kepribadian atau perilaku
Pasien mengkonsumsi makanan yang
pasien.
berinteraksi dengan obat Pasien tidak benar menyimpan obat
8
Lainnya
Penyebab lain Tidak ada penyebab yang jelas
30
LAMPIRAN II PENGKAJIAN RESEP
Tabel 3.1. Hasil Pengkajian Administratif Resep
No.
Kriteria
Ada
Tidak
1
Nama dokter
√
2
SIP dokter
√
3
Alamat dokter
√
4
Tanggal penulisan resep
√
5
Tandatangan dokter
6
Nama pasien
√
7
Alamat Pasien
√
8
Umur
√
9
Jenis kelamin
√
10
Berat badan
√
11
No telepon dokter
√
12
Inscriptio
√
13
Signa
√
√
31
Tabel 3.2. Hasil Pengkajian Farmasetika Mengenai Bentuk Sediaan
R/
Bentuk Sediaan
Keterangan
Krim
Ada
(QV skin+desolex lot)
Lotion
Ada
(kloderma cr+QV cr)
Krim
Ada
Alloris tab+lameson tab)
capsul
Ada
krim
Ada
(Scabimite)
Dermovel cr
Tabel 3.3. Hasil Pengkajian Farmasetika Mengenai Kekuatan Sediaan
R/
Kekuatan Sediaan
Keterangan
(Scabimite)
-
Tidak ada
(QV skin+desolex lot)
-
Tidak ada
(kloderma cr+QV cr)
-
Tidak ada
Alloris tab+lameson tab
√
Ada
Dermovel cr
-
Tidak ada
32
Tabel 3.4. Hasil Pengkajian Farmasetika Mengenai Stabilitas
R/
Keterangan
(Scabimite) (QV skin+desolex lot) Secara umum stabil (kloderma cr+QV cr) Alloris tab+lameson tab) Dermovel cr
Tabel 3.5. Hasil Pengkajian Farmasetika Mengenai Kompatibilitas
R/
Kompatibel
Keterangan
(Scabimite)
√
-
(QV skin+desolex lot)
√
-
(kloderma cr+QV cr)
√
-
Alloris tab+lameson tab)
√
-
Dermovel cr
√
-
33
LAMPIRAN III ANALISIS DRP
Tabel 3.6. Analisis DRP
No 1
Jenis DRP
Pemilihan Obat
Penilaian
Ada
Keterangan
Pemilihan
obat
•
Tepat indikasi
Tepat
tepat
•
Kontraindikasi/
Tidak
tidak
direkomendasikan
efek samping
ditemukan
untuk
anak
•
Interaksi obat
Ada
•
Duplikasi
•
Pemberian obat
Tidak ada Tidak diketahui
Jumlah obat
klobetason
mengingat
efektifitas
dan
efek
sampingnya belum jelas (very
high
potency
topical ).
tanpa indikasi •
karena
kurang
Sesuai resep
Loratadin
meningkatkan
kadar Metil prednisolon. Metil
prednisolon
menurunkan
kadar
loratadin. Efek
samping
pemberian
obat
dan tanpa
indikasi belum diketahui karena tidak dikaji dari data rekam medik pasien. Jumlah
obat
diresepkan
yang
disesuaikan
dengan jumlah keluarga terdekat pasien. 2
Bentuk Sediaan obat
Sesuai
Cream dan lotion sudah tepat untuk penggunaan topikal pada kulit tubuh Kapsul
racikan
sesuai
34
untuk pasien
3
Pemilihan dosis
Ada
Alloris
•
Dosis rendah
(loratadine)Anakusia ≤ 12
•
Dosis tinggi
tahun : 10 mg satu kali sehari sedangkan di resep 5 mg satu kali sehari. Lameson (metilprednisolon) 0,117 – 1,99 mg/kg/hari : asumsi BB 25 kg (usia 8th) : 3 mg (0,117 x 25) sedangkan di resep 2 mg satu kali sehari
4
Durasi Terapi •
•
Tidak diketahui
Durasi
terapi
Durasi terapi
diketahui
karena
terlalu singkat
dilakukannya
Durasi terapi
dengan
terlalu lama
dokter
tidak tidak
wawancara
pasien
ataupun
serta
tidak
data
rekam
dikajinya
medik pasien. Sedangkan obat oralnya sudah sesuai 5
Proses penggunaan obat •
•
•
•
Waktu penggunaan
Ada
Desolex lotion,Anak > 3
Tidak diketahui bulan : diaplikasikan sehari
di
2
tidak tepat
kali
resep
Obat yang
pemakaian
dikonsumsi kurang
pada seluruh tubuh satu
/ berlebih
kali sehari pada waktu
Penyalahgunaan
malam
obat
Lameson, terbagi dalam 3-
Pasien tidak
4 kali dosis dalam sehari
mampu
di resep satu kali sehari.
diketahui
:
35
menggunakan obat
Proses penggunaan obat
sesuai instruksi
pasien
tidak
diketahui
karena tidak dilakukannya wawancara dengan pasien 6
Persediaan/Logistik •
•
Obat yang diminta
Tidak Tidak diketahui
tidak
diketahui
karena
dilakukannya
tidak tersedia
wawancara dengan dokter
Kesalahan
ataupun apoteker
peresepan •
Kesalahan dispensing
7
Pasien •
•
Tidak diketahui
Tidak
diketahui
karena
Pasien lupa minum
tidak
dilakukannya
obat
wawancara dengan pasien
Pasien menggunakan obat yang tidak diperlukan
•
Pasien mengkonsumsi makanan yang berinteraksi dengan obat
•
Pasien tidak tepat dalam menyimpan obat
8
Lainnya
Tidak Ada
36
LAMPIRAN IV ALGORITMA TERAPI SKABIES
(Gambar 3.2. Algoritma Terapi Skabies)
37
LAMPIRAN V ETIKET DAN KARTU OBAT
SCABIMITE
LOTION RACIKAN
Apotik Kimia Farma 11
Apotik Kimia Farma 11
Jl. Supratman 72 Bandung
Jl. Supratman 72 Bandung
Telp. (022) 7271413
Telp. (022) 7271413
No. 51 Tanggal : 08-04-2016
No. 51 Tanggal : 10-04-2016
Nama : X
Nama : X
Oleskan tipis pada seluruh tubuh
Oleskan tipis pada seluruh tubuh
1 X Sehari (Malam)
1 X Sehari (Malam)
Obat Luar
Obat Luar
Apotik Kimia Farma 11 Jl. Supratman 72 Bandung Telp. (022) 7271413 Tanggal : 07-04-2016
No.51
Nama : X
Pagi Siang
1 X Sehari 1 Tablet/Kapsul/Bungkus Sebelum/Sesudah Makan
Sore Malam
(Jauhkan obat dari jangkauan anak-anak)
CREAM RACIKAN
DERMOVEL CR
Apotik Kimia Farma 11
Apotik Kimia Farma 11
Jl. Supratman 72 Bandung
Jl. Supratman 72 Bandung
Telp. (022) 7271413
Telp. (022) 7271413
No. 51 Tanggal : 10-04-2016
No. 51 Tanggal : 07-04-2016
Nama : X
Nama : X
Oleskan pada bruntus di tubuh lenga
Oleskan pada wajah
& tungkai
2 X Sehari (Pagi-Malam)
2 X Sehari (Pagi-Malam)
Obat Luar
Obat Luar
(Gambar 3.3. Etiket)
38