Makalah Sejarah
" Tradisi Nyadran"
Disusun oleh :
Kusnul Latifah
X MIA 8 (ICT) / 15
SMA Negeri 1 Karanganyar
TAHUN PELAJARAN 2014/2015
KARANGANYAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmad, hidayah, serta inayahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembacanya.
Tujuan penulis dalam pembuatan karya tulis ini antara lain memenuhi tugas memenuhi tugas guru mata pelajaran Sejarah dan memberi informasi yang berkaitan dengan tradisi Nyadran.
Makalah ini secara umum berisi tentang asal mula tradisi nyadran dan apa yang disebut tradisi Nyadran itu.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Banyak kekurangan dan kesalahan dalam karyatulis ini. Maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat penulis harapkan.
Matesih, 31 Otober 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Salah satu wujud kebudayaan yang seringkali dikenal oleh masyarakat Jawa adalah tradisi nyadran. Tradisi nyadran ini dilakukan secara turun-temurun. Sebagaimana ritual dalam penanggalan Jawa lainnya, seperti Suranan, Muludan, dan Syawalan. Esensi nyadran adalah memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kesejahteraan. Tradisi ini merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang kita, yang patut untuk dilestarikan.
Budaya masyarakat yang senantiasa dilestarikan dan dijaga keberlasungannya akan membentuk sebuah tradisi. Dimana tradisi tersebut merupakan ciri khusus yang mereka jaga eksistensinya. Namun, dengan munculnya masa moderenisasi yang ditandai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang kian tak terbatas telah banyak mempengaruhi perilaku indifidu dalam masyarakat. Hingga berdampak pula pada budaya-budaya yang sejak awal telah dibentuk oleh masyarakat sendiri. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi Tradisi Nyadran antara lain , untul menghormati leluhur yang telah menciptakan tradisi nyadran, misalnya sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada sesepuh Dusun yang sangat ditokohkan dan disebut-sebut sebagai orang pertama yang mendirikan Dusun itu. Dan masih banyak lagi. Upacara nyadran juga mempunyai beberapa nilai yang terkandung didalamnya antara lain nilai keagamaan. Nilai keagamaan yang terkandung dalam Trdisi Nyadran adalah masyarakat meyakini bahwa segala yang mereka dapatkan baik berupa kesehatan ataupun kemakmuran datangnya dari Tuhan YME. Untuk itu perlu adanya ungkapan rasa syukur dengan menyempatkan diri menyisihkan waktu dan hartanya yang dalam tradisi nyadran dikemas dalam bentuk syukuran (makan bersama), ceramah agama, dan do'a bersama. Selain itu juga masih banyak nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Nyadran ini.
Menurut orang jawa, melestarikan tradisi bertujuan untuk mengingatkan manusia agar tidak lupa dengan asal-usulnya. Ketika manusia semakin jauh melangkahkan kaki dari asalnya, maka semakin rentan baginya untuk melupakan tradisi yang dibentuk oleh leluhurnya.
Bertitik tolak pada hal-hal diatas maka penulis mengangkat masalah tentang tradisi Nyadran.
Rumusan Masalah
Permasalahan dalam makalah ini data dirumuskan sebagai berikut:
Apa yang dimaksud tradisi nyadran ?
Bagaimana tradisi nyadran itu bisa terjadi ?
Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan ini antara lain:
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tradisi zaman praaksara yang masih dipertahankan.
Untuk mengulas kembali apa yang disebut Nyadran itu
Untuk memenuhi tugas guru mata pelajaran Sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Nyadran
Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Secara etimologi nyadran dapat diartikan sebagai satu bentuk tradisi layaknya kenduri yang menggunakan sarana tertentu yang biasanya berwujud makanan besekan. Sementara makanan yang biasanya harus ada saat nyadran adalah berujud ketan, kolak, serta apem.
Upacara kenduri itu dimaksudkan untuk menghormati arwah para leluhur keluarga tertentu. Dalam upacara itu, selain kenduri, biasanya juga dilakukan ziarah kubur dengan membawa bunga-bungaan, terutama bunga telasih, sebagai lambang masih adanya hu bungan yang akrab dan selalu segar antara si peziarah dan arwah leluhur yang diziarahi.
Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran memiliki kesamaan dengan tradisi craddha yang ada pada zaman kerajaan Majapahit (1284). Kesamaannya terletak pada kegiatan manusia berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang hakikatnya adalah bentuk penghormatan terhadap yang sudah meninggal.
Secara etimologis, kata craddha berasal dari bahasa Sansekerta "sraddha" yang artinya keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal, sejatinya masih ada dan memengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya.
Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka yang masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan yang meninggal. Selanjutnya, sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan diberi penerangan berupa lampu.
Ketika Islam datang ke pulau Jawa mulai abad ke-13, banyak tradisi Hindu-Buddha yang terakulturasi dengan ajaran Islam. Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengislaman atau pribumisasi ajaran Islam, berlangsung sukses dan membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya adalah tradisi sraddha yang menjadi nyadran.
Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran, dari sekadar berdoa kepada Tuhan, menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya'ban atau Nisfu Sya'ban. Ini dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya'ban yang datang menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.
Oleh karena itu, pelaksanaan ziarah juga dimaksudkan sebagai sarana introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun.
Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan "modifikasi' para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media siar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.
Sedangkan arus kedua terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya idul Fitri. Setidaknya, para akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada lebaran.
Apalagi ketika kemudian tradisi mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh risiko, seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha mengalokasikan anggaran untuk perbaikan batu nisan atau kompleks makam keluarga, makam para leluhur yang dihormati.
Pelaksanaan nyadran
Tempat-tempat yang digunakan dalam tradisi nyadran biasanya berupa makam leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi syiar agama. Lazimnya kegiatan nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing.
Waktu pelaksanaan nyadran biasanya dipilih pada tanggal 15, 20, dan 23 Ruwah atau sya'ban. Pemilihan tanggal nyadran itu, di samping berdasar kesepakatan, juga berdasar paham mudhunan dan munggahan, yaitu paham yang meyakini bulan Ruwah sebagai saat turunnya arwah para leluhur untuk mengunjungi anak cucu di dunia.
Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya.
Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar.
Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar.
Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas, bahwa saat memasuki bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-benar bersih, yang antara lain diupayakan dengan cara harus berbuat baik terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya. Melalui rangkaian tradisi nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa, nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka.
Menurut Fandi Hutari (2009), aneka makanan, kemenyan, dan bunga yang tersaji dalam tradisi nyadran memiliki arti simbolis, antara lain:
Tumpeng, melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan agar permohonan terkabul.
Ingkung (ayam yang dimasak utuh) melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai kesalahan.
Pisang raja, melambangkan suatu harapan supaya kelak hidup bahagia; jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan.
Ketan, kolak, dan apem, merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika melakukan kesalahan.
Kemenyan merupakan sarana permohonan pada waktu berdoa.
Bunga, melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati tulus.
Beraneka "bawaan" tersebut merupakan unsur sesaji sebagai dasar landasan doa. Setelah berdoa, makanan-makanan tersebut menjadi rebutan para peziarah yang hadir. Inilah arti kebersamaan dalam tradisi nyadran.
Selain makna-makna tersebut, nyadran juga memiliki makna sosial. Ketika masyarakat melaksanakan nyadran, mereka harus bekerja bersama. Ada unsur gotong-royong, kebersamaan, kasih sayang, dan pengorbanan di dalamnya. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi antar anggota masyarakat. Karena itulah, tradisi nyadran akrab dengan nilai kearifan lokal bangsa kita.
Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda.
Dampak Tradisi Nyadran
Pada perkembangannya, tradisi nyadran mengalami perluasan makna. Bagi mereka yang pulang dari rantauan, nyadran dikaitkan dengan sedekah, beramal kepada para fakir miskin, membangun tempat ibadah, memugar cungkup dan pagar makam. Kegiatan tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah mendidik, membiayai ketika anak-anak, hingga menjadi orang yang sukses. Bagi perantau yang sukses dan kebetulan diberi rezeki berlimpah, pulang nyadran dengan beramal merupakan manifestasi hormat dan penghargaan kepada leluhur.
Pelestarian tradisi nyadran merupakan wujud pelestarian budaya adhiluhung peninggalan nenek moyak, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi tradisi nyadran yang sangat relevan dengn konteks kekinian.
Hal ini karena prosesi nyadran tidak hanya sekedar gotong royong membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduri, dan membuat kue apem ketan kolak sebagai unsur utama sesaji. Lebih dari itu, nyadran menjelma menjadi ajang silaturahmi, wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme.
Saat pelaksanaan nyadran, kelompok-kelompok keluarga atau trah tertentu, tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, agama, golongan, partai politik, dan sebagainya. Perbedaan itu lebur, karena mereka berkumpul menjadi satu, berbaur, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.
Seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sinilah ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Terasa sekali, warga sekampung seakan satu keturunan.
Jika spirit nyadran itu bila dibawa dalam konteks negara, maka akan menjadikan Indonesia yang rukun, ayom, ayem dan tenteram.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari uraian diatas dapat disumpulakan bahwa. Tradisi nyadran adalah Tradisi yang tidak harus di tinggalkan karena tradisi nyadran untuk mengajak masyarakat berbaur, besatu, dan menjalin silaturahim antar sesama manusia, leluhur. Menurut tradisi nyadran saat ini yang dilakukan masyarakat adalah tradisi yang dilaksanakan pada zaman wali songo selain mengajak masyarakat untuk sialaturahim tapi juga untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Sehingga pola pikir manusia tidak menganggapnya sesuatu yang biasa, tetapi tradisi nyadran adalah sesuatu tradisi yang mempunyai sakral.
Saran
Untuk menjaga kesetabialan kepada masyarakat dalam menjalankan tradisi nyadran maka setiap menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah jangan melupakan, karena itu untuk menjaga melestarikan yang diperuntukan bagi penduduk terutama yang beragama Islam. Maka dari itu rasa saling memiliki dan tanggung jawab diterapkan oleh masyarakat Islam sejak kecil, untuk selalu mengingat dan bersilaturahim kepada para leluhurnya. Namun hal ini dilakaukan sesuai dengan kepercayaan pribadi masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
http://de-kill.blogspot.com/.html . Tradisi Nyadran Masyarakat Jawa. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 15.53 .
http://fhadhylha.blogspot.com/.html .TRADISI SEJARAH DALAM MASYARAKAT INDONESIA MASA PRA AKSARA DAN MASA AKSARA ( SejarahX). Diunduh pada tanggal 27 Oktober 2014 pukul 16.26 .
http://hidaimehosineda.blogspot.com/2014/01/makalah-etnografi-tradisi-nyadran-di_11.html . Makalah Etnografi Tradisi Nyadran Di Kabupaten Batang Desa Klidang Lor. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 15.50.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nyadran . Nyadran. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 15.50
http://knowphyjo.blogspot.com/2011/01/nyadran.html. Tradisi Nyadran Sebagai Transformasi Agama, Sosial, dan Budaya Masyarakat Jawa. Diunduh pada tanggal 28 Oktober 2014 pukul 12.25.
http://nevilvilennivel.blogspot.com/.html . Tradisi Nyadran Masyarakat Jawa Tengah. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 16.09 .
http://pariwisata.sidoarjokab.go.id/pesta_nyadran.php .Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 15.55.
http://thezeins.blogspot.com/2012/01/nyadran-dan-nyekar.html . Nyadran dan Nyekar. Diunduh pada tanggal 23 Oktober 2014 pukul 16.12.