BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai senyawa, baik senyawa organik maupun anorganik. Senyawa organik sangat banyak jenisnya, sehingga perlu adanya penggolongan senyawa organik. Penggolongan senyawa organik atau senyawa karbon sebagai berikut : Senyawa siklik: senyawa yang mempunyai rantai karbon tertutup. Senyawa alifatik: senyawa yang mempunyai rantai karbon terbuka. Senyawa homosiklik: senyawa siklik yang atom lingkarnya hanya tersusun oleh atom karbon. Senyawa heterosiklik : senyawa siklik yang atom lingkarnya, selain tersusun dari atom C (karbon) juga tersusun oleh atom lain, misalnya : O, N, dan S.Senyawa polisiklik: senyawa yang mempunyai lebih dari dua struktur lingkar atom karbon. Senyawa alisiklik : senyawa siklik yang mempunyai sifat-sifat seperti senyawa alifatik. Senyawa aromatik : senyawa siklik yang tersusun oleh beberapa atom karbon membentuk segi lima, segi enam secara beraturan dan mempunyai ikatan rangkap yang terkonjugasi dengan ketentuan : tiap atom dalam cincin harus mempunyai orbital p yang tersedia untuk pengikatan, bentuk cincin harus datar, harus terdapat (4n+2) elektron π dalam cincin itu (aturan Huckel). Tipe reaksi dalam senyawa organik digolongkan dalam beberapa tipe . Pada makalah ini akan dibahas menegenai reaksi subtitusi nukleofilik senyawa organik. 1.2 Rumusan masalah Dari uraian latar belakang diatas dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Apa itu nukleofilik? 2) Apa itu reaksi Substitusi 3) Bagaimana menjelaskan reaksi subtitusi nukleofilik pada senyawa organik 1.3 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui dan memahami reaksi subtitusi nukleofilik pada senyawa organik
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Nukleofil dan Elektrofil Nukleofil adalah spesies (atom / ion/ molekul) yang kaya elektron, sehingga dia tidak
suka akan elektron tetapi suka akan nukleus (inti yang kekurangan elektron). Contoh :
Elektrofil adalah spesies (atom / ion / molekul) yang kekurangan elektron, sehingga ia suka akan elektron. Contoh elektrofil:
Menurut konsep asam basa Lewis nukleofil adalah suatu basa, sedangkan elektrofil adalah suatu asam. Reaksi senyawa karbon pada dasarnya adalah reaksi antara suatu nukleofil dengan suatu elektrofil. 2.2
Reaksi Substitusi Reaksi substitusi terjadi jika dua bahan baku saling mempertukarkan gugus membentuk
dua produk baru.
Mekanisme reaksi ini dimulai dengan penyerangan elektrofilik atau nukleofilik terhadap gugus fungsional kunci.
2
Substitusi nukleofilik alkil halida:
Substitusi nukleofilik alkil halida
2.3 Reaksi substitusi nukleofilik Pada
reaksi
substitusi
nukleofilik
atom/
gugus
yang
diganti
mempunyai
elektronegativitas lebih besar dari atom C, dan atom/gugus pengganti adalah suatu nukleofil, baik nukleofil netral atau nukleofil yang bermuatan negatif.
3
Reaktivitas relatif dalam reaksi substitusi nukleofilik dipengaruhi oleh reaktivitas nukleofil, struktur alkil halida dan sifat dari gugus terlepas. Reaktivitas nukleofil dipengaruhi oleh basisitas, kemampuan mengalami polarisasi, dan solvasi. Menurut kinetikanya, reaksi substitusi nukleofilik dapat dikelompokkan menjadi reaksi SN1 dan SN2 2.4
REAKSI SN1 SN1 merupakan reaksi dengan dua tahap reaksi, yaitu: ikatan antara karbon dengan gugus pergi putus secara heterolitik (karena pengaruh kepolaran pelarut) dan menghasilkan karbokation (ion positif). karbokation bergabung dengan nukleofil menghasilkan produk.
Mekanisme SN1 Mekanisme ini berlangsung dua langkah. Pada langkah pertama yang berjalan lambat, ikatan antra karbon dan gugus pergi putus sewaktu substrat ini berdisosiasi (mengion).
4
C —
L
lambat
C
Substrat
+
+
-
:L
karbokation
gugus pergi
Elektron dari ikatan C-L pergi bersama gugus pergi dan terbentuk karbokation. Sedangkan pada langkah kedua yang berlangsung cepat, karbokation bergabung dengan nukleofili menghasilkan produk.
C+ + : Nu
cepat
C
dan Nu+
Karbokation
C +
Nu
nukleofilik
Jika nukleofilik berupa molekul netral, contohnya air atau alkohol, lepasnya satu proton dari oksigen nukleofilik pada langkah ketiga menghasilkan produk akhir. Angka 1 digunakan untuk menunjukkan mekanisme ini sebab langkah penentu lajunya yang lambat hanya melibatkan salah satu dari dua reaktan, yaitu substrat. Tahap penentu laju ini tidak melibatkan nukleofili sama sekali. Artinya langkah pertama termasuk unimolekuler. Reaksi SN1 menyerupai adisi elektrofilik pada alkena yaitu reaksi lain yang memiliki karbokation intermediet. Beberapa petunjuk agar mengetahui mekanisme SN1: 1. Laju reaksi tidak bergantung pada konsentrasi nukleofilik. Langkah pertama adalah penentu laju dan nukleofilik tidak terlibat dalam langkah ini. Dengan demikian kendala dalam laju reaksi adalah laju pembentukan karbokation bukan laju reaksinya dengan nukleofilik yang berlangsung secara cepat.
2. Jika karbon pembawa gugus pergi merupakan stereogenik, reaksi berlangsung terutama dengan hilangnya aktivitas optis (artinya dengan rasemisasi). Pada karbokation hanya tiga gugus yang melekat pada karbon yang bermuatan positif. Maka karbon positif terhibridisasi sp2 dan berbentuk planar. Contohnya (R)-3-bromo3-metilheksana dengan air manghasilkan alkohol rasemik. Karbokation intermediet berbentuk planar dan akiral. Gabungan dengan H 2O dari “atas” atau “bawah” sama peluangnya, masing-masing menghasilkan alcohol R dan S dalam jumlah yang sama.
5
Br | C
CH3CH2
aseton berair
CH3CH2 CH3CH2CH2 CH3 (R)-3-bromo-3-metilheksana
+
C – CH3 CH3CH2CH2 karbokation intermediet H2O -H+
CH3 CH3CH2 CH3CH2CH2
C | OH
OH CH3CH2
C CH3
CH3CH2CH2
50% S (produk dan serangan Pada bagian bawah karbokation)
50% R (produk dan serangan pada bagian atas karbokation)
3. Reaksi paling cepat bila gugus alkil pada substrat keadaan tersier dan paling lambat bila primer. Hal ini karena reaksi SN1 belangsung melalui karbokation sehingga urutan reaktivitasnya sama dengan urutan kestabilan karbokation (3° > 2° > 1°) artinya semakin mudah pembentukan karbokation semakin cepat reaksi berlangsung. Maka reaktivitas SN1 juga sejalan dengan karbokation yang terstabilkan resonansi, contohnya karbokation alilik. Dan reaktivitas SN1 kurang menyukai aril dan vinil halida karena karbokation aril dan vinil tidak stabil dan tidak mudah terbentuk. Faktor tambahan yang berperan adalah karakter dari pelarut. Peningkatan stabilisasi nukleofil dengan hasil pelarut dalam menurunkan reaktivitas. Pelarut juga memainkan peran penting dalam menentukan jalur reaksi akan mengambil, SN1 dibandingkan SN2. Ini dapat diasumsikan bahwa kelompok meninggalkan primer tersubstitusi akan mengikuti jalur SN2 dalam hal apapun, karena pembentukan ion karbonium primer tidak stabil yang sesuai adalah tidak disukai. Reaksi dengan jalur SN1 sangat mungkin untuk senyawa dengan substitusi tersier, karena ion karbonium tersier yang sesuai distabilkan melalui Hiperkonjugasi:
6
Semakin baik pelarut menstabilkan ion, semakin besar kemungkinan bahwa reaksi akan mengikuti jalur SN1 (misalnya, dalam pelarut protik polar seperti air / aseton). Semakin tinggi diganti adalah ion karbonium baru jadi, lebih mungkin bahwa reaksi akan mengikuti jalur SN1. Semakin aktif nukleofil, semakin besar kemungkinan menjadi bahwa reaksi dengan elektrofil sekunder dan tersier akan mengikuti jalur SN1. Nukleofil lemah tidak seefektif dalam serangan belakang, karena lokasi ini sterik terlindung, terutama dalam hal substrat tersier. Ion karbonium yang planar dan karena itu kurang sterik terhalang, dan secara alami lebih reaktif sebagai elektrofil daripada senyawa induknya bermuatan. Hidrolisis tert-butil klorida adalah reaksi SN1 khas:
Kebanyakan alkil halida primer bereaksi subtitusi dengan SN2 secara eksklusif dan tidak dengan reaksi SN1. Tetapi suatu halida alilik atau benzilik primer sangat reaktif, baik dalam reaksi SN1 maupun SN2. Tabel 5.4 memaparkan reaktivitas relative beberapa halida dalam kondisi SN1, yang khas. Dapat dibaca disitu bahwa halilhalida 30 kali lebih reaktif dari pada suatu etil halida, dan suatu benzil halida hampir 400 kali lebih reaktif. Jika terdapat dua gugus fenil maka halida itu 100.000 kali lebih reaktif.
7
Tabel 5.4 laju relatif beberapa halida organik pada kondisi SN1 yang khas HALIDA LAJ RELATIF CH3 CH2 x 1.0a CH2 = CHCH2 X 33 C6 H5 CH2 X 380 (C6 H5 )2 X 105 a reaksi yang teramati agaknya berjalan menurut SN2 Sebab meningkatkan reaktivitas kedua tipe halida dalam suatu reaksi SN1 terletak dalam adanya stabilisasi – resonansi (dari) karbokation dan dari keadaan transisi yang menghasilkan karbokation itu. Karbokation distabilakan oleh menyebarnya muatan positif. Stabilisasi induktif menyangkut penyebaran muatan positif lewat ikatan – ikatan sigma.Telah digunakan efekinduktif untuk menerangkan kestabilan relative karbokation primer, sekunder dan tersier. Stabilisasi – resonansi menyangkut penyeberan muatan positif oleh ikatan – ikatan pi.
Dalam sub-bab 2.9 telah di bahas bahwa struktur – struktur yang berbeda hanya dalam hal posisi electron pi adalah struktur resonansi. Jika struktur – struktur resonansi dapat digambar untuk sebuah molekul atau ion, maka hibrid resonansi itu (strukur yang nyata) memiliki energi yang lebih rendah dari pada jika seandainya delokalisasi electron atau muatan listrik itu tidak terjadi. Kedua struktur resonansi untuk kation alil itu identik dalam hal struktur dan pengikatan, oleh karena itu memiliki energi yang sama dan sumbangan pada struktur kation alil yang nyata juga sama. Karena kation alil itu terstabilkan oleh resonansi, maka energy keadaan transisi yang menghasilkan relatif rendah. Akibatnya, laju reaksi SN1nya cukup cepat. Suatu gambar p-orbital (suatu gabungan orbital ikatan π) suatu kation alil ditunjukkan dalam gambar 5.7.
8
Keduakarbon terminal (ujung) dalam kation alil mempunyai jumlah muatan positif yang sama. Lalu atom mana yang akan diserang oleh nukleofil? Jawabnya ialah kedua – duanya! Perhatian suatu system alilik lain untuk menjelaskan dua produk. Kedua produk ini dihasilkan oleh serangan H2O terhadap salah satu dari dua atom karbon yang bermuatan positif parsial.
Benzil halida juga menunjukkan peningkatan lajuSN1 karena stabilisasi – resonansi (dari) keadaan transisi yang menghasilkan karbokation itu. Dalam hal ini elektron-pi dalam awan pi aromatik (dari) cincin benzena membantu menyebarkan muatan.
9
Biasanya awan pi aromatik benzena dilambangkan oleh suatu lingkaran didalam cincin. Namun dalam pembahasan delokalisasi elektron-pi, rumus Kekule lebih tepat. Dengan rumus Kekule ini banyaknya elektron pi dalam cincin dapat cincin dapat dihitung dan atom mana yang kekurangan elektron mudah nampak. Perhatikan keserupaan antara struktur resonansi kation benzil dan kationalil. Kation benzil mempunyai empat struktur resonansi yang serupa dengan struktur resonansi yang serupa dengan struktur resonansi alilik.
Kedua struktur resonansi pertama yang ditunjukkan diatas adalah penyumbang utama karena struktur ini memiliki stabilisasi aromatik. Oleh karena itu karbon yang paling positif dalam zat antara itu adalah karbon benzil. Karbon inilah yang diserang oleh nukleofi.
Pada reaksi SN1, o Kecepatan reaksi hanya tergantung pada konsentrasi substrat dan lebih menyukai nukleofil netral. o Bila karbon yang mengikat gugus pergi bersifat asimetris, maka dihasilkan campuran Rasemat. o Kecepatan reaksi terbesar terjadi pada alkil halida tersier, kemudian sekunder dan terakhir adalah alkil halida primer. 2.5
REAKSI SN2 10
Pada reaksi SN2 Nukleofil menyerang dari balik gugus pergi (L). Pada saat keadaan transisi, nukleofil dan gugus pergi terikat secara parsial pada atom karbon dimana terjadi subsitusi. Pada saat gugus pergi meninggalkan atom karbon dengan membawa pasangan elektron ikatan, nukleofil memberikan pasangan elektron ikatan dan menghasilkan produk tersubtitusi dengan konfigurasi inversi terhadap substratnya.
Mekanisme SN2 Mekanisme ini berlangsung satu langkah, dinyatakan dengan persamaan: | -
Nu : +
Nukleofil
C–L
substrat
[Nu …. C …. L ]
keadaan transisi
Nu – C +
produk
: L-
gugus pergi
Nukleofilik menyerang dari sisi belakang dari ikatan C-L. Pada tahap tertentu (keadaan transisi), nukleofilik dan gugus pergi keduanya terikat secara parsial pada karbon tempat berlangsungnya reaksi substitusi. Sewaktu gugus pergi meninggalkan karbon dengan sepasang electron bebasnya, nukleofili memasok sepasang elektron lain pada atom karbon. Angka 2 digunakan untuk menjelaskan mekanisme ini karena reaksi ini bimolekuler. Artinya dua molekul, yaitu nukleofili dan substrat, yang terlibat dalam langkah kunci (hanya satu langkah) dalam mekanisme reaksi ini. Beberapa petunjuk agar mengetahui mekanisme SN2: 1. Laju reaksi bergantung pada konsentrasi nukleofilik maupun substrat. Contohnya reaksi ion hidroksida dengan etil bromida. Jika dilipat duakan konsentrasi nukleofilik (HO-), maka reaksi berlangsung dua kali lebih cepat. Hal yang sama terjadi jika dilipat duakan konsentrasi etil bromida.
11
2. Setiap penggantian melalui SN2 selalu mengakibatkan inversi konfigurasi. Contohnya (R)-2-bromobutana direaksikan dengan natrium hidroksida, yang akan menghasilkan (S)-2-butanol. CH3 HO- +
CH3 C – Br
H CH2CH3 (R)-2-bromobutana
+ Br -
HO – C H CH2CH3
(S)-2-butanol.
3. Reaksi akan paling cepat jika gugus alkil pada substrat berupa metal atau primer dan paling lambat jika berupa tersier. Alkil halida sekunder bereaksi dengan laju pertengahan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada SN2 Kecepatan reaksi tergantung pada konsentrasi substrat dan reagen dan lebih menyukai nukleofil bermuatan (anion). Penggantian nukleofil terjadi dengan konfigurasi sebaliknya (inversi).
Kecepatan reaksi SN2 terbesar terjadi pada substitusi pada alkil halida primer dengan alkil terkecil, kemudian alkil halida sekunder dan paling lambat pada alkil halida Tersier. Halida alilik dan benzilik juga bereaksi SN2 dengan laju yang lebih cepat dari pada alkil halida primer dan bahkan dari pada metil halida. Table 5.5 memaparkan laju relatif rata – rata beberapa halida dalam suatu reaksi SN2 yang khas.
12
Tabel 5.5 laju SN2 relatif beberapa halida organik HALIDA CH3 X CH3 CH2 X (CH3 )2 CHX CH2 = CHCH2 X C6 H3 CH2 X
LAJU RELATIFE 30 1 0.025 40 120
Reaktifitas SN2 halida alilik dan benzilik yang lebih besar ini disebabkan oleh karena ikatan pi alilik atau awan pi aromatik menurunkan energi keadaan transisi suatu reaksi SN2. Dalam keadaan transisi itu, karbon yang beraksi berubah dari keadaan hibrida-sp3 kekeadaan hibrida-sp2 dan mempunyai suatu orbital p. orbital p ini membentuk ikatan parsial baik dengan nukleofil yang datang maupun dengan gugus yang pergi. Gugusan atom keseluruhan mengemban suatun muatan negatif. Orbital – orbital p yang di dekatnya, seperti dalam suatu gugus alilik atau benzilik, mengalami tumpang tindih parsial dengan orbital p transisi. Dengan cara ini orbital – orbital p membantu mendelokalisasi muatan negatif, sehigga menurunkan energy keadaan transisi. Gambar 5.8 memperagakan orbital –orbital p dari kasus alilik kasus benzil adalah serupa. Agar stabilisasi ditingkatkan dalam reaksi SN1 dan SN2 senyawa – senyawa bersistempi, system-pi itu harus berdekatan dengan karbon yang bereaksi jika tidak cukup dekat, system ini tidak dapat tumpang tindih keadaan transisi sehingga tak dapat membantu menstabilkan keadaan transisi itu.
Substitusi Nukleofilik pada Benzena Penggantian salah satu atom hidrogen dengan gugus fungsi nukleofil tidak dapat dilaksanakan secara langsung. Cara alternatif yaitu dengan menambahkan suatu gugus pergi (leaving group) pada cincin benzena. Setelah itu, gugus pergi akan digantikan oleh gugus nukleofil. Reaksi akan berhasil jika gugus pergi yang digunakan adalah garam diazonium (+ N2). Reaksi tersebut dinamakan reaksi substitusi nukleofilik. Contoh reaksi substitusi nukleofilik adalah reaksi pembuatan fenol. Gugus OH tidak dapat ditambahkan langsung pada cincin benzena, melainkan via garam diazonium seperti pada skema berikut. Reaksi pembuatan Fenol
13
Reaksi pembuatan fenol via garam diazonium
Ada beberapa ketentuan umum yang berguna, yakni: 1. Ion negatif lebih nukleofilik atau pemasok electron yang lebih baik daripada molekul netral. Maka HO- > HOH ; RS- > RSH ; RO- > ROH
2. Unsur yang berada dibagian bawah table berkala cendrung lebih nukleofilik dari pada unsur yang terletak di bagian atas pada golongan yang sama, maka HS- > HO- ; I- > Br- > Cl- > F-
(dalam pelarut protik)
3. Unsur dalam periode yang sama pada table berkala cenderung kurang nukleofilik jika unsur tersebut semakin elektronegatif (artinya semakin kuat mengikat electron pada dirinya). Maka,
R
R
R – C- > R
N- > R – O - > F-
dan
R
14
H3N: > H2O > HF
15
BAB III PENUTUP 3.1
KESIMPULAN Nukleofil adalah spesies (atom / ion/ molekul) yang kaya elektron, sehingga dia tidak
suka akan elektron tetapi suka akan nukleus (inti yang kekurangan elektron). Elektrofil adalah spesies (atom / ion / molekul) yang kekurangan elektron, sehingga ia suka akan elektron. Reaksi substitusi terjadi jika dua bahan baku saling mempertukarkan gugus membentuk dua produk baru. Pada reaksi substitusi nukleofilik atom/ gugus yang diganti mempunyai elektronegativitas lebih besar dari atom C, dan atom/gugus pengganti adalah suatu nukleofil, baik nukleofil netral atau nukleofil yang bermuatan negatif. Menurut kinetikanya, reaksi substitusi nukleofilik dapat dikelompokkan menjadi reaksi SN1 dan SN2. SN1 merupakan reaksi dengan dua tahap reaksi, yaitu: ikatan antara kabon dengan gugus pergi putus secara heterolitik (karena pengaruh kepolaran pelarut) dan menghasilkan karbokation (ion positif).karbokation bergabung dengan nukleofil menghasilkan produk. Pada reaksi SN1,Kecepatan reaksi hanya tergantung pada konsentrasi substrat dan lebih menyukai nukleofil netral.Bila karbon yang mengikat gugus pergi bersifat asimetris, maka dihasilkan campuran Rasemat.Kecepatan reaksi terbesar terjadi pada alkil halida tersier, kemudian sekunder dan terakhir adalah alkil halida primer. Pada reaksi SN2 Nukleofil menyerang dari balik gugus pergi (L). Pada saat keadaan transisi, nukleofil dan gugus pergi terikat secara parsial pada atom karbon dimana terjadi subsitusi. Pada saat gugus pergi meninggalkan atom karbon dengan membawa pasangan elektron ikatan, nukleofil memberikan pasangan elektron ikatan dan menghasilkan produk tersubtitusi dengan konfigurasi inversi terhadap substratnya. 3.2
Saran 1. Diharapkan dengan adanya makalah ini mampu membantu Pembaca dalam memahami reaksi subtitusi nukleofilik 2. Diharapkan kepada pembaca agar mampu memberikan saran yang membangun untuk pembuatan Karya tulis selanjutnya agar lebih baik dari yang telah ada sekarang.
16
DAFTAR PUSTAKA Allinger, Norman L. et.al. 1976. Organic Chemistry. Second edition. New York:Worth Publishers Inc. Fessenden, Fessenden. 1992. Kimia Organik. (Terjemahan Aloysius HadyanaPudjaatmaka). Edisi ketiga. Jakarta:Penerbit Erlangga Pine, Stanley H. et. Al. 1980. Organic Chemistry. Fourth edition. McGraw-Hill
17