MAKALAH HUKUM PERKAWINAN PRINSIP UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DALAM ASPEK ISLAM
DI SUSUN OLEH MOHAMMAD FAJAR ABDJUL NIM : 1011415086
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM 2016
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................................................ BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................... A. LATAR BELAKANG ..................................................................................................... B.
RUMUSAN MASALAH ................................................................................................
BAB 2 PEMBAHASAN .................................................................................................... A. PENGERIAN PERKAWINAN.........................................................................................
B. Prinsip Perkawinan ............................................................................................. C. Pengertian Perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata /BW... D. Hakikat, Asas, Sifat , Syarat, Dasar, dan Tujuan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW ................................................................................ E. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami Istri menurut UU No.1/1974 dan KUHPdt/BW.............................................................................................. F. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Harta Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW ............................................................................ G. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Keturunan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW ................................................................................. H. Logika Sistem (Sumber Hukum Perkawinan ) .................................................... I. Prinsip UU No.1 Tahun 1974 ......................................................................... J. Kedudukan anak dan perwaliannya ..................................................................... K. Kedudukan anak dan perwaliannya .................................................................
BAB 3 PENUTUP.......................................................................................... A. KESIMPULAN.........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat. Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Gorontalo 26 November 2016
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, mawadah serta saling menyantuni antara keduanya. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukunrukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama. Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah mas yarakat.
B. Rumusan Masalah
Atas dasar latar belakang diatas, maka saya mengambil rumusan permasalahan: “bagaimana seluk beluk dan Logika Sistem mengenai UU NO 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?”. Dengan makalah ini, saya akan membahasnya satu persatu.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting[1]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering diartikan pula sebagai perkawinan. Mulanya kata “nikah” berasal dari bahasa Arab. Sedangkan di dalam Al-Quran menggunakan kata“zawwaja” dan kata “zauwj”, yang berarti pasangan. Hal ini dikarenakan pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Para pakar hukum perkawinan Indonesia juga memberikan definisi tentang perkawinan antara lain menurut : 1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan [2] 2. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.[3] 3. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli kata dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain bersetubuh[4] 4. Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Secara umum AlQuran hanya menggunakan 2 kata ini, untuk menggambarkan terjadinya hubungan suami isteri secara sah. Kata-kata ini mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima). Ijab kabul pernikahan pada hakekatnya adalah ikrar dari calon isteri melalui walinya dan dari calon suami untuk hidup seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah dengan melaksanakan segala tuntunan ajaran agama serta melaksanakan segala kewajiban sebagai seorang suami[5].
B. Prinsip Perkawinan
Pada prinsip perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolongmenolong antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum tampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya status sebagai suami istri dan di halalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni antara keduanya. Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah dan ada yang tidak sah. Akad perkawinan dikatakan sah, apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan Agama. Sebaliknya, akad perkawinan dikatakan tidak sah bila tidak dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan Agama. Sementara dalam pandangan ulama suatu perkawinan telah dianggap sah apabila telah terpenuhi baik dalam syarat maupun rukun perkawinan.
C. Pengertian Perkawinan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata / BW
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian Perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Jika diperhatikan bagian pertama pasal tersebut perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Dari kalimat di atas jelas bahwa perkawinan itu baru ada apabila dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan. Seiring dengan perkembangan jaman sering dijumpai di dalam masyarakat terdapat hubungan antara seorang pria dengan seorang pria yang disebut homo seksual atau seorang wanita dengan seorang wanita yang disebut lesbian, hubungan ini tidak dapat dilanjutkan ke jenjang perkawinan, karena di Negara Indonesia tidak mengatur perkawinan sesama jenis dan di dalam hukum agamapun tidak diperbolehkan adanya perkawinan sesama jenis. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang tedapat dalam KUHPdt/BW tidak ada satu Pasal pun yang memberikan pengertian tentang arti perkawinan itu sendiri. oleh karena itulah, maka untuk memahami arti perkawinan kita melihat pada ilmu pengetahuan / pendapat para sarjana. Ali Afandi, mengatakan bahwa, “ perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Persetujuan kekeluargaan yang dimaksud disitu bukanlah seperti persetujuan biasa, tetapi mempunyai cirri-ciri tertentu:
“Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seoreang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara[6]”.
KUHPdt/BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata (Pasal26). Hal ini berarti bahwa undang-undangnya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHPdt/BW, sedang syarat-syarat atau ketentuan agama tidaklah diperhatikan/dikesampingkan. Dengan demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas te rlihat adanya unsur ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung asas Monogami tidak mutlak yang secara tegas dinyatakan di dalam Dasar Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri sedangkan seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang yang lazim dikenal dengan Poligami, izin ini diberikan apabila Poligami ini dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain Poligami dapat dilaksanakan sepanjang Hukum Agama yang bersangkutan mengizinkan dan itupun dibatasi oleh alasan dan persyaratan yang ketat yaitu dengan izin Pengadilan. Dari uraian diatas diketahui bahwa rumusan dalam Pasal 1 UU No.1 th 1974 merupakan rumusan perkawinan yang telah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia, dasar falsafah negara Pancasila dan UUD 1945.
D. Hakikat, Asas, Sifat , Syarat, Dasar, dan Tujuan Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Menurut UU No.1/1974 hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Dari rumusan diatas jelaslah bahwa ikatan lahir dan batin harus ada dalam setiap perkawinan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan demikian, bahwa hakikat perkawinan itu bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Hendaknya pasangan yang sudah resmi sebagai suami istri juga merasakan adanya ikatan batin, ini harus ada sebab tanpa itu perkawinan tak akan punya arti, bahkan akan menjadi rapuh. Hal ini lah yang membedakan dengan haikat perkawinan menurut KUHPdt/BW. Apabila kita membaca KUHPdt dapat diketahui bahwa hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subjek-subjek yang mengikatkan diri dalam perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah antara seorang pria dan seorang wanita). Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan diantara mereka dan dengan adanya tujuan tesebut mereka menjadi terikat. Persetujuan yang dimaksud disini bukanlah persetujuan yang terdapat dalam buku III KUHPdt/BW, walaupun antara persetujuan dalam perkawinan dan
persetujuan umumnya tedapat unsur yang sama yaitu adanya ikatan antara dua belah pihak, tetapi ada perbedaan yaitu dalam bentuk hal dan isi. Asas perkawinan adalah monogami, bahwa dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya dioperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai satu orang laki-laki sebagai suaminya. hal ini tercantum dalam Pasal 3 UU No.1/1974 dan juga pada Pasal 27 KUHPdt/BW. Dengan adanya asas monogami serta tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suatu tindakan yang akan mengakibatkan putusnya suatu perkawinan (dalam hal ini yang dimaksud adalah perceraian) harus benar-benar dipikirkan serta dipertimbangkan masak-masak. Sebab jika itu terjadi maka akan membawa akibat yang luas, tidak hanya menyagkut diri suami atau istri tetapi nasib anak-anak juga harus diperhatikan. dengan demikian diharapkan pula agar tidak begitu mudah melangsungkan perkawinan serta begitu mudah bercerai (kawin-cerai berulang-ulang).
E. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Suami Istri menurut UU No.1/1974 dan KUHPdt/BW
Pasal 30 sampai dengan 34 UU No.1/1974, yang isinya: 1. Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. 2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain. 3. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalah kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat. 4. Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 5. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik baiknya. 6. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. (Syahrani,1985,hlm.98).
Akibat lain yang timbul dari hubungan suami istri yang terdapat dalam KUHPdt/BW: 1. Suami istri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti kemana suami memandang baik untuk bertempat tinggal. 2. Suami wajib menerima istrinya dalam satu rumah, yang ia diami. Suami juga wajib melindungi istrinya dan member padanya segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan dan kemampuannya. 3. Suami istri saling mengikatkan diri secara timbale balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak.
F. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Harta Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Pasal 35 UU No.1/1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. KUHPdt/BW (Pasal 119 sampai dengan 121) berbunyi: jika tidak ada perjanjian kawin maka terjadi persatuan bulat demi hukum, sehingga baik harta bawaan maupun harta yang didapat selama perkawinansemuanya menjadi harta persatuan.
G. Akibat Hukum dari Perkawinan terhadap Keturunan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Mengenai keturunan juga diatur dalam UU No.1/1974 dalam Bab IX, Pasal 42 sampai dengan 44. UU No.1/1974 mengenal adanya anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Hal itu berarti anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa yang diatur oleh UU No.1/1974 tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai konsekuensi sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUHPdt/BW. Bagi seorang anak yang tidak sah UU No.1/1974 menentukan bahwa anak itu hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluar ga ibunya (Pasal 43 ayat 1). Dengan demikian ia hanya dapat mewaris harta atas peninggalan ibunya. Seorang suami dapat melakukan penyangkalan atas sahnya anak yang dilahirkan dari istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1) UU No.1/1974), jika dibandingkan dengan KUHPdt/BW tidak terdapat perbedaan. Terhadap keabsahan dari anak, suami dapat manyangkalnya. Hal itu diatur dalam beberapa Pasal dari KUHPdt/BW antara lain Pasal 252, 253, 254, namun dalam hal-hal tertentu suami tidak dimungkinkan menggunakan ingkar tersebut, yaitu dalam hal: 1. Suami sebelum perkawinan telah mengetahui bahwa istrinya telah mengandung. 2. Pada waktu anak dilahirkan ia ikut hadir dan pada waktu akta dibuat ia ikut menandatangani akta itu. 3. Anak tidak hidup waktu dilahirkan (Pasal 251 KUHPdt/BW). Untuk membuktikan asal usul anak, dapat dilakukan dengan: 1. Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. 2. Jika hal itu tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tantang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
3. Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Anak luar kawin (anak tidak sah) menurut UU No.1/1974 tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan dala m KUHPdt/BW hubungan hukum itu ada hanya dengan orang yang mengakuinya saja.
1. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW 2. Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW Mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya diatur dalam Bab VIII UU No.1/1974, Pasal 38 sampai dengan 41. Salah satu penyebab putusnya perkawinan adalah kematian, perceraian, dan dapat pula karena putusan pengadilan. Menurut Pasal 199 KUHPdt/BW perkawinan bubar karena: 1. 2. Keadaan tak hadir si suami/istri selama sepuluh tahun, diikuti dengan perkawinan baru suami/istri sesuai dengan ketentuan. 3. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan yang dicatat oleh catatan sipil sesuai dengan ketentuan. 4. Perceraian sesuai dengan ketentuan. Pasal 39 ayat (2) UU No.1/1974 serta Pasal 19 PP No.9/1975 memuat mengenai alasanalasan yang dapat dijadikan dasar perceraian dan isinya antara kedua Pasal tersebut sama, yaitu : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain. 5. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
2. Akibat Putusnya Perkawinan menurut UU No.1/1974 dan menurut KUHPdt/BW
Salah satu penyebab putusnya hubungan perkawinan adalah karena perceraian. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian (terhadap anak/keturunannya): 1. Ibu/bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai anak-anak pengadilan akan memutuskannya. 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak, bila mana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No.1/1974). Bagi Pegawai Negeri Sipil, maka mengenai perceraian juga diatur dalam Surat Edaran No. 08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
H. Logika Sistem (Sumber Hukum Perkawinan )
Undang-undang perkawinan dibentuk karena kebutuhan masyarakat yang sejak zaman kerajaan Islam (sebelum Indonesia dijajah Belanda) sejak zaman kerajaan Islam telah memiliki pengadilan agama dengan berbagai nama yaitu Pengadilan Penghulu, Mahkamah Syari’ah dan Pengadilan Surambi. Setelah merdeka, pemerintah Republik Indonesia telah membentuk sejumlah peraturan tentang Pengadilan Agama. Di antaranya adalah pembentukan Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan rujuk. Akan tetapi dari segi kebutuhan pengadilan yang memerlukan hukum formil dan hukum materiil, maka Undang-undang Nomor 22 tahun1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan rujuk, belum dapat dikatakan sebagai hukum formil maupun materiil karena Undangundang tersebut lebih menekankan akan pentingnya pencatatan perkawinan. Untuk kepentingan pencatatan perkawinan, akan didenda sebesar lima puluh rupiah. Usaha pembentukan Undang-undang perkawinan di Indonesia dimulai sejak tahun 1950. Pada waktu itu pemerintah membentuk panitia penyelidik peraturan hukum perkawinan, talak dan rujuk yang memiliki dua tugas yang pertama yaitu melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawinan yang telah ada dan yang kedua menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) perkawinan yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Setelah menempuh perjalanan panjang akhirnya Bangsa Indonesia mengesahkan Undangundang Nasional yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, meskipun sebelumnya
mengalami kritikan yang tajam baik dari pihak politisi maupun dari berbagai ormas Islam yang ada. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah Undang-undang Perkawinan Nasional. Undang-Undang tersebut diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974 dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober tahun 1975. Dengan demikian Undang-Undang perkawinan Nasional berlaku untuk semua Warga negara di seluruh wilayah Indonesia, Undang-Undang ini berusaha menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan Hukum Perkawinan yang berlaku untuk semua golongan dalam masyarakat dan sekaligus telah memberi landasan Hukum Perkawinan Nasional. Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan tersebut, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 Nomor 74) dan peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang yang baru itu dinyatakan tidak berlaku. Sebenarnya bangsa Indonesia telah lama bercita-cita untuk mempunyai Undang-undang yang mengatur Perkawinan secara Nasional, yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia. Namun cita-cita tersebut baru dapat terwujud pada tahun 1974, tepatnya pada tanggal 2 Januari 1974. yaitu dengan di undangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Selanjutnya disingkat UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan bahwa: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordanatie Perkawinan Indonesia Kristen (huwelijks Ordanantie Christen Indonesier, S 1933 No 74),Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, S 1898 No. 158 ) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undangundang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 66 di atas tidak mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai Hukum Perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesier, S. 1933 Np 74 ), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde huwelijken, S. 1898 Nomor 158), dan Peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan, melainkan sejauh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan, bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, sedangkan pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud, diundangkan pada tanggal 1 April 1975, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 (Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dengan demikian Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Dari ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat diketahui, bahwa hal-hal mengenai : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pencatatan Perkawinan ; Tata cara Perkawinan ; Akta perkawinan ; Tata cara Perceraian ; Pembatalan Perkawinan ; Waktu tunggu ; Beristri lebih dari seorang ;
Telah mendapat pengaturan, sehingga dapat diperlakukan secara efektif, sedangkan hal-hal mengenai : 1. 2. 3. 4.
Harta benda dalam perkawinan; Hak kewajiban orang tua dan anak ; Kedudukan anak ; Perwalian ;[7]
Belum mendapatkan pengaturan, sehingga belum dapat diperlukan secara efektif, maka dengan sendirinya masih diperlukan ketentuanketentuan dan perundang-undangan yang lama Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di muka dapatlah disimpulkan, bahwa semua peraturan perkawinan yang ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mendaftarkan kepada golongan penduduk dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. selanjutnya perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang bersifat Nasional, di dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan, masing-masing merupakan syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
I. Prinsip UU No.1 Tahun 1974
Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. 3. Undang-undang menganut asas Monogami. Hanya apabila dikehedaki oleh yang bersangkutan karena Hukum dan Agama yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari satu. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Karena perkawinan yang dilakukan wanita di bawah umur mengakibatkan tingkat kelahiran semakin tinggi. Oleh karena itu Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. 4. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan. 5. Hak dan kedudukan seorang isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan dapat diputuskan bersama antara suami isteri. Untuk menjamin kepastian hukum maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dilaksanakan menurut hukum yang ada pada saat itu maka Perkawinan tersebut dinyatakan sah menurut Hukum.
J. Hak dan kewajiban Orang Tua terhadap anak yang dilahirkan
Dengan adanya perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita maka menghasilkan buah dari perkawinan mereka yaitu lahirlah seorang anak. Dengan lahirnya seorang anak maka timbulnya hubungan antara orang tua dengan anak yang dilahirkannya. Akibat perkawinan terhadap anak yang lahir dalam perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, yaitu sebagai berikut: 1. Hal yang pertama yaitu mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang di maksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Ketentuan ini diatur di dalam pasal 45 Undang-undang Perkawinan; 2. Hal yang kedua yaitu terjadi dalam praktek, apabila perkawinan kedua orang tua putus karena perceraian atau karena putusan pengadilan, maka atas permohonan dari pihak suami atau isteri, Pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada suami isteri yang benar-benar beritikad baik, untuk dipelihara dan didik anak mereka secara baik; 3. Hal yang ketiga yaitu bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, masih berada dibawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya; 4. Hal yang keempat yaitu Orang tua berhak mewakili anak mereka tersebut, mengenai segala perbuatan hukum didalam dan di luar Pengadilan; 5. Hal yang kelima yaitu Orang tua boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin sebelumnya, kecuali kalau kepentingan anak itu menghendaki; Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, untuk waktu tertentu atas permintaan orang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.
K. Kedudukan anak dan perwaliannya
Menurut ketentuan Undang-undang Perwalian kedudukan anak diatur secara otentik (resmi di dalam undang-undang) dan secara rinci. Pertama yang ditegaskan adalah Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan alam perkawinan atau akibat perkawinan. Sedangkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga dari ibunya. Kedudukan anak tersebut di dalam ketentuan terdahulu selanjutnya akan di atur di dalam Peraturan Pemerintah sedangkan ketentuan tersebut di atas di atur di dalam Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-undang Perkawinan. Sedangkan di dalam Pasal 44 Undang-undang Perkawinan dinyatakan bahwa seorang suami dapat menggugat sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana sang suami dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak tersebut merupakan akibat dari perzinahan isterinya. Maka Pengadilan memberikan keputusan tentang sah dan tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum dalam hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat). Hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Saat ini implementasi UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 di masyarakat sudah cukup baik, dimana UU ini tidak menganjurkan pernikahan di bawah umur terjadi di masyarakat. Ketentuan mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1) UU No, 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin. Tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Keluarga sebagai institusi terkecil dalam sebuah masyarakat memegang peran yang penting bagi pembentukan generasi muda yang berkualitas. Menikah dimaksudkan untuk mencapai kebahagian dan ketentraman hidup manusia. Melalui pintu pernikahanlah seorang laki-laki dan perempuan bisa memenuhi kebutuhan biologisnya. Secara syar’i melalui perintah
menikah ini pula Allah menunjukkan betapa besar kasih sayangnya kepada manusia dan betapa maha luas pengetahuan Allah akan kebutuhan manusia. Manusia yang sejak lahir dibekali potensi syahwat terhadap lawan jenis membutuhkan sarana untuk menyalurkan potensi tersebut, bila potensi ini tidak tersalurkan secara terarah, maka akan menimbulkan berbagai kerawanan. Untuk membentuk suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera serta penuh dengan kebahagiaan yang kekal seperti yang dicita-citakan itu, masing-masing pihak yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya telah dewasa baik secara psikologis maupun secara biologis, serta mampu untuk bertanggung jawab atas keluarga yang dibentuknya itu. Pemerintah telah mengeluarkan suatu bentuk Undang-Undang Perkawinan Nasional yang telah lama dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia pada tanggal 2 Januari 1974, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang kemudian demi kelancaran pelaksanaannya dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung isi yang sangat luas, yaitu mengatur masalah perkawinan, perceraian, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, dan juga mengatur masalah perwalian serta mengatur masalah pembuktian asal-usul anak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa calon suami maupun calon isteri itu harus masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, dengan maksud agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itudalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah ditentukan batas umuruntuk melangsungkan perkawinan bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Pembatasan umur untuk melaksanakan perkawinan ini dimaksudkan sebagai pencegahan terhadap perkawinan yang masih dibawah umur. Selain itu juga dimaksudkan untuk menunjang keberhasilan Program Nasional dalam bidang Keluarga Berencana. Hal ini juga dikehendaki oleh masyarakat dengan adanya tendensi pengunduran usia kawin. Akan tetapi pada kenyataannya perkawinan yang masih dibawah umur itu masih sering terjadi ditengahtengah masyarakat kita. Padahal kalau dipikirkan lebih jauh lagi, perkawinan yang masih dibawah umur itu akan menimbulkan berbagai akibat yang kurang menguntungkan, seperti kurang dapatnya suami atau isteri dalam mengatasi masalah yang timbul dalam keluarga yang dibentuknya itu, disamping itu juga timbulnya angka fertilitas yang cukup tinggi dari wanita kawin usia muda yang menimbulkan masalah peledakan penduduk.
DAFTAR PUSTAKA
Rusli, SH. An R. Tama, SH. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Penerbit : Shantika Dharma. Bandung, 1984, hal 10 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. hal. 6 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1996, hal 2. Hosen Ibrahim, Figh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, Jakarta, Ihya Ulumudin, 1971, hal 65. M Quraish Shihab,M.A.Wawasan Al-Quran. Penerbit Miz an. Bandung. Scholten, kutipan Prawiro Hamidjojo dan Safioedin, 1982, hlm 31. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit PT Rineke Cipta. Jakarta, 1991, cet 1.Halm 1 Suhardana, F.X., SH. Hukum Perdata I. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. R. Subekti, SH. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, PT Pradnya Paramita,1999. Hazirin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Zahir Tradingco, Medan, 1975. Hukum Perkawinan Indonesia. Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1997. Wibowo Reksopadoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid I, Tentang Per kawinan
[1] Rusli, SH. An R. Tama, SH. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Penerbit : Shantika Dharma. Bandung, 1984, hal 10 [2] Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan Indonesia. Sumur. Bandung, 1974. hal. 6 [3] Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, J akarta,1996, hal 2. [4] Hosen Ibrahim, Figh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak dan Rujuk, Jakarta, Ihya Ulumudin, 1971, hal 65. [5] M Quraish Shihab,M.A.Wawasan Al-Quran. Penerbit Mizan. Bandung. [6] Scholten, kutipan Prawiro Hamidjojo dan Safioedin, 1982, hlm 31. [7] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit PT Rineke Cipta. Jakarta, 1991, cet 1.Halm 1