BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filsafat merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni Philosophia, Philosophia, yang terdiri dari kata philos, philos, yang berarti cinta atau suka, dan shopia shopia yang berarti bijaksana. Dengan demikian,secara etimologis, filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan (Praja, S, 2003:1-2). Filsafat India di bangun di atas salah satu peradaban yang tertua di dunia. Tradisitradi trad isinya, sinya,
yang berawal ber awal dari abad ab ad 15-10 15- 10 SM, sampai kini masih masih di
pertahan pertahankan. kan. India, khususnya Lembah Indus, merupakan tempat lahirnya peradaban dunia yang tertua. Zaman perunggu mencul di sana sekitar tahun 2500 SM. Penggalian
arkeologi
menunjukkan
peninggalan-peninggalan
yang
menyingkap peran Lembah Indus sebagai pusat kebudayaan besar. Dari pening peningg galan-pen alan-peniinggal ggalan an
diketah diketahui ui
bahwa bahwa
tidak tidak
terdapat terdapat
gejol gejolak ak
perkembang perkembangan an yang yang terl terlalu alu hebat. Lembah Lembah Indus Indus merupakan erupakan kawasan yang yang subur. Antara tahun 1700 hingga 1400 SM terjadi gelombang migrasi bangsa Arya yang memasuki India lewat pegunungan Hindu Kush di utara. Mereka kemudian menduduki lembah-lembah subur di daerah percabangan sungai Indus. Suku Arya dikenal sebagai suku bangsa yang gemar berperang. Mereka menemukan kuda dan kereta untuk perang. Itulah sebabnya mereka mudah
mengalahkan
transformasi,
dari
musuh-musuhnya.mereka
masyarakat
nomad
menjadi
kemudian masyarakat
mengalami petani
yang
menetap. Kehadiran mereka lama-lama mendesak penduduk asli, yakni suku Dravida, ke arah selatan. Konflik bangsa Arya dan Dravida terekam dalam epos epo s mahabrata dan Ramayana. Ramayana. Dalam perkembangan selanjutnya, terciptalah sistem kelas. Para kepala suku
bertanggungjawab
meneruskan
perjuangan
melawan
suku
asli. 4
Kemudian muncul kelas imam, ketika Brahmanisme, dengan ritualismenya, menjadi semakin penting. Bersama itu pula berkembangan tradisi lisan, yang kemudian dikumpulkan dan kita kenal sebagai Veda. (Sandiwan S.Brata: 1921) Filsafat Yunani, seperti halnya kegiatan berfilsafat itu sendiri, bertolak dari kenyataan yang dialami sehari-hari. Tapi sebagai sistem pemikiran, kedua filsafat itu berbeda. Orang Yunani dan India sama-sama berfilsafat untuk mencari kebenaran. Tapi ada perbedaannya. Orang Yunani mencari kebenaran sebagai kebenaran, sedangkan orang India mencari kebenaran untuk melepaskan diri dari dunia. (Poedjawijatna: 54-55)
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah/periodisasi filsafat India? 2. Bagaimana metode filsafat India? 3. Apakah
filsafat
India
sebagai
India
dikatakan
sebuah
filsafat
yang
cerdas
(Konsep
epistemologi)? epistemologi)? 4. Mengapa
filsafat
sebagai
sebuah
filsafat
yang
menuju
kesempurnaan (Konsep epistemologi) epistemologi)?
C. Tujuan 1. Mengetahui sejarah/periodisasi filsafat India. 2. Mengetahui metode filsafat India. 3. Mengetahui filsafat India sebagai Sebuah Filsafat yang Cerdas (Konsep epistemologi). epistemologi). 4. Mengetahui
filsafat
India
Sebuah
Filsafat
yang
Menuju
Kesempurnaan
(Konsep epistemologi) epistemologi).
5
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah/periodisasi Filsafat India
Filsafat India dibagi atas lima periode besar. Yaitu : 1.
Zaman Weda (2000 - 600 SM)
Bangsa Arya masuk ke India dari utara, sekitar 1500 SM. Literatur suci mereka disebut Weda, yang terdiri dari Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan
Upanisad.
Samhita
memuat
Rigweda
(kumpulan
pujian-pujian),
Samaweda (himne-himne liturgis), Yajurweda (rumus-rumus korban), dan Artharwaweda (rumus-rumus magis). Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad memuat komentar-komentar pada semua literatur. Upanisad merupakan yang terpenting dari filsafat India, yang sepanjang sejarah India merupakan sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan. Tema yang menonjol untuk Upanisad adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subjektif dari kenyataan, "diri" manusia. Sedangkan Brahman adalah segi objektif, makrokosmos, alam semesta. Upanisad mengajarkan bahwa Atman dan Brahman memang sama dan bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman. 2.
Zaman Skepti si sme (600 SM – 300 M)
Sekitar tahun 600 SM mulai suatu reaksi, baik terhadap ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi hubungan dengan korban para rahib. Para imam mengajarkan ketaatan pada kitab suci, tetapi para rahib mengajarkan suatu metafisika dimana ketaatan ini mengganggu kebaktian kepada dewa-dewa. Reaksi ini dating dalam berbagai bentuk. Tetapi, yang terpenting diantaranya adalah Buddhisme, ajaran dari Gautama Buddha, yang memberi pedoman praktis untuk mencapai keselamatan dan mengajarkan
6
secara nyata bagaimana manusia dapat mengurangi pemderitaannya dan bagaimana ia mencapai terang budi yang membawa keselamatan. Reaksi lain adalah kebaktian yang lebih eksklusif kepada Siwa dan Wisnu dan juga Jainisme dari Mahawira Jina. Keduanya merupakan bentuk agama yang menarik daripada ritualisme dan spekulasi dari imam dan para rahib. Sebagai kontra-reformasi, munculah hinduisme resmi enam sekolah ortodoks (disebut ortodoks karena Buddhisme dan Jainisme yang tidak berdasarkan Weda dianggap bidah). Sekolah itu adalah Saddharsana (Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Purwa-Mimamsa, dan Ynana). Adalah yang terpenting dari sekolah itu adalah Samkhya (artinya jumlah)dan Yoga (dari kata " juj", menghubungkan). Yoga mengajarkan suatu jalan (marga) untuk mencapai kesatuan
dengan
ilahi.
Samkhya
mengajarkan
sebagai
tema
terpenting
hubungan alam-jiwa, kesadaran-materi. 3.
Zaman Pur ani s (300 – 1200)
Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India. Pemikiran India dalam abad pertengahan dikuasai oleh spekulasi teologis, terutama mengenai inkarnasi dewa-dewa. Contoh cerita tentang inkarnasi dewa-dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata dan Ramayana. 4.
Zaman Musli m (1200 – 1757)
Dua
nama
yang
menonjol
dalam
periode
muslim
yaitu
Kabir
(pengarang syair) yang mencoba mengembangkan suatu agama universal, dan Guru Nanak (pendiri aliran Sikh) yang mencoba menyerasikan Islam dan hinduisme. 5.
Zaman Modern (setel ah 1757)
Zaman modern adalah zaman pengaruh Inggris di India mulai tahun 1757. Periode ini memperlihatkan kembali nilai-nilai klasik India, bersama dengan pembaharuan sosial. Nama penting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-1833) yang mengajarkan monoteisme berdasarkan Upanisad
dan
suatu
moral
berdasarkan
Khotbah
di
Bukit
dari
Injil,
Vivekananda (1863-1902) yang mengajarkan semua agama benar tetapi
7
agama Hindu paling cocok di India, Gandi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore (1861-1941) sang pengarang syair dan penmikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide luar. Sejumlah pemikir India zaman sekarang melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat Timur dan filsafat Barat. Radhakrishnan (18881975) mengusulkan pembongkaran batas-batas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir masa depan seluruh dunia. Pemikir-pemikir lain tidak begitu optimis dengan kemungkinan ini. Menurut mereka, perbedaan antara corak berpikir Timur dan Barat terlalu besar untuk mengadakan suatu interaksi, dalam arti "saling melengkapi". Filsafat India dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenal identitas mikrokosmos. Mungkin, filsafat Barat terlalu duniawi sedangkan filsafat Timur terlalu mistik.
B. Metode Filsafat India
Proses berfilsafat India umumnya mengikuti langkah-langkah berikut: 1. Sravana (mendengarkan): mendengarkan ajaran-ajaran benar dari teks-teks Kitab Suci agar dapat menangkap pengertiannya secara penuh. 2. Manana (perbincangan/pe nalara n): diskusi tentang isi teks yang didengar tadi. 3. Nididhyasana: duduk dengan sikap meditasi dengan konsentrasi pikiran pada ajaran yang didengarkan itu. Dengan sikap meditasi, pikiran dibebaskan dari keraguan. Pikiran menjadi terbuka untuk diresapi dan diterangi oleh kebenaran ajaran itu. Ketiga langkah ini menyebabkan bahwa di India filsafat bukan suatu yang hanya teoritis, tapi menjadi suatu kekuatan yang menghidupkan dan mengubah menusia. (Sastrapratedja: 1).
8
C. Filsafat India sebagai Sebuah Filsafat yang Cerdas (Konsep epi stemologi )
Kata cerdas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah; sempurna perkembangan
akal
budinya
(untuk
berpikir,
mengerti,
dsb)
dan
tajam
pemikirannya. Jadi dikatakan cerdas apabila dia membahas ‘sesuatu’ dengan tajam dan melalui proses akal budi. Dengan konsep-konsep penting yang kita ketahui tentang epistemologi, akan terlihat bagaimana filsafat India dapat dikatakan cerdas. C1. K ecerdasan F i l safat Zaman U pani sad; Br ahman adal ah At man
Ada dua kata kunci dalam filsafat zaman Upanisad yang harus diketahui.Kata kunci itu adalah Brahman dan Atman. Kaelan menjelaskan bahwa Brahman sebagtai asas kosmos adalah sama dengan Atman sebagai asas hidup manusia di dalam Atman itulah Brahman menjadi Imanent, yang tidak
terbatas
menjadi
terbatas.
Yang
memiliki
seluruh
dunia
sebagai
intisarinya atau akarnya, itulah kenyataan, itulah Atman, itulah kamu (tattwam asi). Di lain hal ditekankan bahwa inti sebenarnya dari setiap orang adalah Brahman, maka setiap orang harus tahu bahwa dirinya adalah Brahman. Aku adalah Brahman (aham – Brahma asmi), ialah menjadi segala yang beraneka ragamini. Hanya Brahman dan atau Atmanlah yang nyata di luarnya tiada sesuatupun yang nyata. Oleh karena Brahman adalah Atman maka Atman bukan hanya berada di dalam manusia melainkan juga di dalam segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini, sama seperti Brahman. Subari mengatakan bahwa konsep epistemologi dari zaman upanisad melewati dua tahap perkembangan, perkembangan
pertama adalah saat
Upanisad mengajarkan bahwa baik pengetahuan mengenai super natural maupun
pengetahuan
tentang
alam
tidak
dapat
dikatakan
sebagai
kebijaksanaan. Sikap awal Upanisad yang demikian ini menunjukan bahwa
9
Upanisad
kurang
menekankan
ajaran
empiris
yang
mana
ajaran
ini
berkembang dengan pesat pada belakangan ini. Perkembangan
ke dua saat Upanisad membedakan pengetahuan
menjadi dua yaitu pengetahuan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang lebih rendah. Pengetahuan yang lebih tinggi ini bisa pengetahuan tentang Brahman, pengetahuan yang rendah adalah pengetahuan tentang Weda. Lalu untuk mencapai pengetahuan tentang Brahman, dibutuhkan suatu pemahaman intuisi atau kesadarn langsung karena panca indera (empiris) dan akal (rasio) tidak bisa untuk menjangkau Brahman. Kita bisa melihat keistimewaan kecerdasan pemikiran dari zaman Upanisad. Pertama, pada zaman ini orang-orang mulai bereaksi terhadap kitab Weda.Ini berarti pada zaman Upanisad orang sudah mulai berpikir secara kritis.Mereka
mulai
mempertanyakan
tradisi-tradisi
yang
belum
dapat
dibuktikan.Karena itulah Upanisad memposisikan pengetahuan Weda sebagai pengetahuan yang rendah. Kedua, pada zaman ini filsafat India mulai menggunakan akalnya, mulai menggunakan pemikiran sendiri untuk mencari kebenaran. Hal ini tertuang dalam pemikiran Upanisad tentang Brahman dan Atman.Pemikiran pemikiran mandiri ini juga digunakan untuk meperjelas ajaran-ajaran pada zaman Brahmana mengenai manusia.Dan ketiga, kecerdasan yang tampak adalah penggunaan metode dalam mencari kebenaran. Pada zaman ini sudah didapat cara mencari kebenaran yang paling baik adalah dengan menggunakan pemahaman intuitif. Sudah bisa dikatakan bahwa filsafat zaman Upanisad ini adalah sebuah filsafat yang cerdas. Karena sudah membahas Brahman dan Atman secara jelas dan tajam, juga dilakukan dengan sebuah proses akal budi.
C2. Kecerdasan F i l safat Carwaka; Ti nggal kan yang Ti dak Dapat D i bukt i kan
Filsafat Carwaka merupakan sebuah filsafat yang kurang begitu populer
pada
zamannya,
bahkan
hingga
sekarang.Karena
Carwaka
10
mengajarkan sebuah pandangan tentang materialis-hedonistis di daerah yang pandangan kerohaniannya begitu tinggi (India). Tetapi bila kita membuang ketidakpopuleran
Carwaka
dan
melihat
bagaimana
mereka
menjelaskan
tentang pengetahuan dan kebenaran, akan terlihat sebuah kecerdasan dari orang-orang yang “terpinggirkan”. Epistemologi
carwaka
hanya
menerima
pengetahuan
berdasarkan
persepsi langsung. Penyimpulan hanya memberi pengetahuan umum tentang sesuatu hal, sementara generalisasinnya bukan merupakan dasar yang kuat untuk kebenaran. Jadi, Induksi tidak diterima; sementara itu deduksi tidak menyajikan sesuatu yang baru karena kebenarannya sudah terkandung dalam premisnya.Kesaksian verbal tidak
diterima
karena
kesalahan interpretasi,
penyimpangan dan kebohongan sulit dikontrol. Oleh karena itu, sistem filsafat ini tidak menerima kehidupan sesudah mati (kehidupan sesudah kehidupan di dunia ini) karena tidak seorang pun yang
telah
melihatnya
memverifikasikannya.Maka,
dan
seandainya
hanya
ada,
eksistensi
tidak
ada
sarana
duniawi
ini
yang
untuk diakui;
kebakaan jiwa sebagai entitas ditolak. Carwaka begitu tajam dalam mengkritik sumber-sumber pengetahuan yang menurut mereka tidak benar. Sebagai contoh kritik mereka terhadap penyimpulan. Dalam penyimpulan untuk menghasilkan kebenaran dibutuhkan premis-premis.
Dengan
konsep
generalisasi,
penyimpulan
memperoleh
pengetahuan tentang objek yang belum diketahui dengan mencari objek yang sama. Lalu disatukan dengan konsep generalisasi sehingga menciptkan sebuah pengetahuan baru. Menurut Carwaka, hal ini tidaklah logis. Misalnya ada kasus semua yang berasap adalah berapi (premis 1), lalu setelah melihat gunung itu berasap (premis 2) dapat diketahui bahwa gunung itu berapi (kesimpulan). Carwaka mengkritik cara berpikir seperti ini. Menurut mereka bagaimana bisa asap yang ada di gunung bisa diketahui tanpa adanya observasi langsung. Karena bisa saja ada unsur lain yang menghasilkan asap selain api.Kata semua dalam
11
penyimpulan dianggap oleh Carwaka sebagai suatu penyesatan, karena kata semua tidak bisa dibuktikan dengan pengalaman. Kritik mereka yang ke dua adalah walaupun memang benar-benar ada api di dalam gunung, bagaimana bisa api tersebut disamakan dengan api yang ada di luar gunung. Kritik carwaka ini menunjukan bagaimana kecerdasan mereka dalam berepistemologi. Penolakan terhadap sumber verbal, wahyu dan penyimpulan dijelaskan secara tajam dengan sebuah proses akal budi. Walaupun tanpa disadari, sekarang banyak orang menjalankan cara-cara berpikir seperti carwaka. Di mana tanpa adanya bukti yang otentik dan dapat diverifikasi, pengetahuan tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan yang ‘benar’.
C3. Kecerdasan F i l safat J ain i s; Sebuah Perjal anan ke Pengetah uan Tan pa Titi k Tolak
Jainis, sebuah aliran filsafat yang menolak Weda sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Disebut juga sebagai golongan heterodox atau nastika. Epistemologi dari Jainis agak sedikit membingunkan bila kita tidak mengetahui kata kunci dari filsafat Jainis. Kata kunci dari filsafat ini adalah ‘mimasa’, yang berarti adanya perubahan selalu bergerak dari yang r endah menuju yang lebih tinggi. Lalu ‘semua pendapat itu sah’ karena perbedaan titik tolak dan tidak adanya “pengetahuan yang absolut”. Ajaran
epistemologi
pengetahuan
yaitu,
mengandung
kebenaran.
kualitasnya.
Hal
ini
Jainisme
persepsi,
penyimpulan
Hanya
berbeda
berpendapat
kandungan
dengan
bahwa
dan
wahyu,
kebenarannya
Carwaka,
yang
3
sumber ketiganya
tidak
menolak
sama semua
pengetahuan kecuali persepsi langsung. Pengetahuan menurut Jainis ada dua macam, yaitu pengetahuan langsung ( pratyaksa) dan pengetahuan yang tak langsung (paroksa).Yang dimaksud dengan pengetahuan yang langsung ialah pengetahuan, di mana pribadi itu tidak memerlukan pertolongan dari luar untuk medapatkan
12
pengetahuan itu. Contohnya adalah intuisi, jadi yang dimaksud langsung bukanlah langsung melalui indera manusia. Sedangkan pengetahuan yang tidak langsung adalah pengetahuan yang dengan mempergunakan alat-alat pengamatan dan dengan kesaksian dalam tanda-tanda, simbol atau kata-kata. Contoh alat-alat yang lain adalah ingatan, pengenalan, induksi dan deduksi. Jainisme berusaha memperlihatkan bahwa setiap pendapat adalah sah. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak melihat kontradiksi-kontradiksi, tetapi yang ada dalam pemikiran mereka adalah komplesitas realitas. Perbedaan pendapat sering terjadi karena perbedaan titik tolak yang dipakai orang, atau penemuan yang terbatas hanya dalam suatu aspek tertentu dalam realitas. Maka, Jainisme berpendapat bahwa tidak akan ada pengetahuan yang absolut. Pengetahuan dinyatakan sah hanya dalam relasinya dengan titik tolak yang dipakai. Oleh karena itu, pendekatan yang benar adalah menerima keabsahan sebagai relatif. Untuk
mendukung
teori
teorinya
ini
Jainisme
mengakui
tujuh
kemungkinan titik tolak untuk memandang realitas, yaitu pertama ada, kedua tiada, ketiga tak dapat dilukiskan, keempat ada dan tak dapat dilukiskan, kelima tiada dan tak dapat dilukiskan,keenam ada dan tiada dan terakhir , ada tiada dan tak dapat dilukiskan. Walaupun semua pengetahuan dapat dibenarkan, tetapi Jainisme juga meningkatakan macam-macam pengetahuan menjadi lima. Hal ini dilakukan agar para Jainis mengetahui mana yang lebih tinggi kualitasnya. Lima macam pengetahuan itu adalah : 1. Mati, adalah pengetahuan yang menyimpulkan tentang ingatan, recognisi dan induksi. 2. Sruti,adalah pengetahuan yang diterima dengan melewati tanda-tanda, simbol-simbol,
dan
kata-kata
yang
didalamnnya
meliputi
assosiasi,
perhatian, pengertian dan saran-sarana mengenai sesuatu hal.
13
3. Awadhi, adalah pengetahuan langsung mengenai sesuatu benda yang terikat pada ruang dan waktu. Ketiga pengetahuan ini kualitasnya rendah dan mudah salah. 4. Manahparyaya, adalah
pengetahuan
yang
langsung
diterima
dari
pemikiran orang lain. 5. Kewala, adalah pengetahuan yang sempurna dan mempunyai sifat komperhensif (menyeluruh), dan bersifat lebih dalam. Tingkat kelima inilah yang di katakan sebagai pengetahuan tertinggi, walau tidak absolut. Karena pengetahuan terakhir ini dicapai tanpa titik tolak dan bersifat komperhensif. Sehingga menciptakan manusia yang tahu arti sebuah ‘kebenaran’. Sangat terlihat dalam filsafat Jainisme, sebuah kecerdasan yang tajam. Jainisme mengulas habis bagaimana pengetahuan itu bisa diaanggap benar, yang menurut mereka semua itu karena berasal dari titik tolak pandangan manusia dalam melihat objek. Jainisme menyatukan semua pengetahuan dan tidak ada pengetahuan yang salah. Dalam Jainisme pengetahuan itu bersifat mencerahi diri untuk membantu manusia melihat objek. Konsep epistemologi ini dapat kita lihat berbagai keistimwaannya. Pertama, pengetahuan dalam jainisme tidak ada yang salah semuanya benar
hanya
berbagai
saja berbeda
macam
pengetahuan
kwalitasnya.
pengetahuan
manusiapun
dapat
yang
Hal ini dapat memunculkan
baru
bertambah
dari dan
manusia, tidak
sehingga terkukung.
Kedua,apabila orang sudah mencapai tahap Kewala, memberikan tempat individu untuk mengerti sendiri tentang kebenaran, sehingga menciptkan pribadi yang maha-tahu tentang kebenaran (sudut pandang Jainisme). Karena hal-hal di atas inilah kita bisa menyebut filsafat Jainis sebagai sebuah filsafat yang cerdas, karena sudah bisa menyatukan berbagai pengetahuan dan meningkatkannya untuk mencapai kebenaran
14
yang tinggi.Suatu pemahaman yang komplek yang di dapat dengan akal budi manusia.
C4. K ecerdasan F i l safat N yaya; K ecocokan Gagasan dan Obj ek
Filsafat Nyaya, menurut penulis sangatlah kompleks. Ajaran filsafat ini
begitu
epistimologis
dengan
semangat
mereka
mencari
kebenaran
tertinggi. Dengan dasar percaya atau mendukung ajaran Weda, tidak mengecilkan arti kecerdasan dalam usaha Nyaya mencari pengetahuan yang tertinggi itu sendiri. Sekarang mari kita lihat bersama ajaran epistimologis Nyaya, dan kecerdasan mereka dalam hal itu. Hadiwiyono mengatakan dalam bukunya bahwa menurut Nyaya, ada empat alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu : pengamatan (pratyaksa),
penyimpulan
(anumana),
pembandingan
(upamana)
dan
kesaksian (sabda). Pertama pengamatan (pratyaksa), hal ini memberikan pengetahuan kepada
kita
akan
Pengetahuan
ini
panca-indera
kita
objek-objek
disebabkan dengan
karena
menurut
ketentuan
adanya
objek-objek
itu.
masing-masing.
hubungan-hubungan Nyaya
menganggap
antara bagi
pengetahuan yang di dapat secara transendent, seperti seorang paranormal yang mengamati hal yang tidak bisa di lihat orang lain adalah pengamatan yang luar biasa. Pratyaksa itupun di bagi lagi menjadi 2 yaitu pratyaksa yang tidak dibedakan
(nirwikalpa)
dan
pratyaksa
yang
ditentukan
(sawikalpa).
Nirwikalpa apabila kita mengamati objek, tanpa penilaian, tanpa asosiasi dengan sesuatu sebutan. Di sini kita mengenal objek itu melulu sebagai “sesuatu”. Sedangkan Sawikalpa membuat kita mengenal objek dengan segala ciri-ciri, sifat-sifat, dan sebutannya. Kedua penyimpulan (anumana), dapat dikatakan bahwa anumana adalah ajaran yang terpenting di dalam sistem Nyaya.Pengetahuan yang diperoleh dengan penyimpulan atau anumana itu memerlukan sesuatu yang
15
ada diantara subyek dan obyek. Dengan pengamatan kita dapat memperoleh pengetahuan yang langsung. Artinya tidak ada sesuatu yang diantara subjek dan objek. Indera kita berhubungan langsung dengan objek-objeknya. Tidaklah
demikian
keaaan
pengetahuan
yang
diperoleh
dengan
penyimpulan. Ketiga, pembandingan (upamana), yaitu pengetahuan tentang adanya kesamaan, yang menghasilkan pengetahuan adanya hubungan antara nama atau sebutan obyek yang disebut dengan nama atau sebutan dan obyek yang disebut dengan nama itu. Keempat adalah kesaksian (sabda), yaitu kesaksian orang yang dapat dipecaya yang dinyatakan dalam kata-katanya dan kesaksian Weda. Oleh karena bagaian-bagian Weda itu dipandang sebagai pernyataan Tuhan, maka kesaksian Weda dipandang sebagai pengetahuan yang sempurna, sedangkan kesaksian manusia hanya bisa dikatakan benar bila berasal dari orang yang dipercaya. Keempat , ajaran Nyaya tentang kebenaran ini menggambarkan kepada kita, betapa Nyaya ingin mengungkapkan kebenaran akan pengetahuan. Kita dapat melihat keistimewaan dari ajaran Nyaya ini. Pertama, mereka membuat penyimpulan dengan cara memberikan contoh lain sebagai pembanding. Menurut penulis ini adalah suatu terobosan yang dapat memperkuat posisi penyimpulan dalam pengetahuan. Hal itu bisa dicontohkan sebagai berikut; Misal penyimpulan biasa, maka yang terjadi adalah, bila semua yang berasap itu berapi (premis 1), dan gunung mengeluarkan asap (premis 2), maka dapat disimpulkan bahwa gunung
itu
berapi.
Penyimpulan
biasa
seperti
ini,
mempunyai
banyak
kelemahan yang salah satunya di kritik oleh Carwaka (lihat sub-bab tentang kecerdasan filsafat Carwaka). Nyaya
memberika
sebuah
penyimpulan
yang
lain,
dengan
penambahan ilustasi dan objek pembanding. Cara ini dapat memperkuat posisi penyimpulan sebagai sumber pengetahuan. Sebagai contoh : apabila Gunung itu berapi (premis 1) karena ia berasap (premis 2). Dengan melihat
16
dapur kita mengatahui bahwa yang berasap itu berapi (ilustrasi), Gunung itu berasap, sedang asap senantiasa menyertai api (perbandingan), jadi dapat disimpulkan bahwa gunung itu berapi. Kedua, adalah pengetahuan dalam Nyaya mempunyai sebuah batu uji yang dinamakan praktek. Sebuah pemikiran yang tidak ditemukan dalam filsafat lain di India pada zamannya. Jadi apabila sebuah kesimpulan mengatakan bahwa makan itu bisa membuat lapar, sedangkan dalam prakteknya malah membuat kenyang, maka kesimpulan itu salah dengan argumentasi apapun. Itulah kecerdasan dari filsafat Nyaya, sebuah filsafat yang memberikan sebuah pemikiran untuk memperkuat suatu penyimpulan dan dapat menguji pengetahuan-pengetahuan mereka dengan batu uji sendiri yaitu praktek.
C5. Kecerdasan F i l safat Sank hya;Pengamatan A dalah Proses
Sankhya mempunyai kekhasan dalam menjelaskan metafisika mereka, seperti pemikiran mereka tentang Purusa sebagai asas rohani yang kekal. Agar pembaca dapat memahami lebih dalam tentang epistemologi Sankhya sebagai sebuah filsafat yang cerdas, penulis menyarankan untuk lebih mendalami metafisika Sankhya dulu, yang dalam kesempatan ini tidak penulis jabarkan. Epistemologi
Sankhya
sebenarnya
tidak
terlalu
berbeda
dangan
Nyaya, karena mereka sama-sama dalam posisi astika atau pendukung kitab Weda. Tetapi ada beberapa perbedaan yang membuat epistemologi Sankhya lebih khas dan mengambarkan kecerdasan mereka. Menurut Sankhya ada tiga alat untuk medapatkan pengetahuan yang benar, yaitu : pengamatan, penyimpulan dan kesaksian. Karena penyimpulan dan kesaksian Sankhya hampir sama dengan Nyaya, maka yang di bahas hanya pengamatan saja, yang menjadi ciri khas filsafat Sankhya. Seperti halnya dengan Nyaya-Waisesika, Sankhya mengakui adanya dua tingkat pengamatan, yaitu pengamatan yang tidak menentukan dan pengamatan
yang
menentukan.
Tetapi keterangan
yang diberikan
atas
17
pengamatan-pengamatan ini berbeda sekali daripada sistem-sistem yang lain. Yang
dimaksud
dengan
pengamatan
yang
tidak
menentukan
bukannya
pengamatan atas hal-hal yang berdiri sendiri, yang lalu dijadikan sintese pada taraf pengamatan yang menentukan.Tetapi yang diamaksut ialah bahwa pengamatan itu mula-mula
hanya mewujudkan pengamatan yang kabur.
Dengan perantaraan analisa, sintesa dan interpretasi pengamatan ini lalu menjadi
jelas
dan
tertentu.
Menurut
Sankhya
pengetahuan
itu
dapat
dibandingkan dengan pertumbuhan yang organis, dari yang sederhana hingga menjadi kompleks. Dicontohkan pengamatan sebagai berikut : Indera-indera itu menerima obyek-obyek
tanpa
menentukannya,
dan
menyampaikan
pengamatan-
pengamatan itu kepada manas. Manas Selanjutnya menyususnnya hingga menjadi
suatu
sintesa
dan
meneruskannya
kepada
ahamkara,
yang
meneruskannya lagi kepada pribadi. Pribadi ini memerintahkan kepada buddhi untuk menentukan tabiat pengalaman itu. Demikianlah proses pengamatan itu dipandang sebagai sama dengan sistem pemungutan pajak. Kepala desa mengumpulkan pajak itu dari penduduk dan meneruskannya ke camat, yang selanjutnya
meneruskannya
lagi
ke
bupati,
untuk
akhirnya
disampaikan
kepada gubenur. Gubenurlah yang bertugas mengawasi agar pajak itu sampai ke kas negara. Kecerdasan Sankhya dalam membuat proses pengamatan sudah bisa dimaksukan dalam kategori cerdas. Karena Sankhya menjelaskan secara tajam bagaimana pengamatan dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan bagaiman proses masuknya pengamatan dari indera ke pribadi melalui proses. Dapat dikatakan juga bahwa epistemologi Sankhya mempunyai kata kunci yaitu pengamatan, dan proses.
18
D. Filsafat India Sebuah Filsafat yang Menuju Kesempurnaan
(Konsep
epistemologi)
Bila epistemologi India sudah penulis paparkan dan semuanya identik dengan kata ‘cerdas’, maka untuk etika dalam filsafat india penulis mengatakan sebagai sebuah filsafat yang menuju kesempurnaan. Karena bila kita melihat secara lebih dalam ajaran etika dari berbagai filsafat di India, mereka semua mengejarkan suatu tingkatan. Di mana tingkatan itu diakatan sebagai tingkatan sempurna yang dicapai manusia, khususnya filsafat yang kita bahas yaitu; Upanisad, Carwaka, Jainis, Budhis, Nyaya, dan Sankhya. Dalam pembahasan ini penulis coba menuliskan ajaran etika dari aliran filsafat di atas dan menerangkan bagaimana bisa di katakan sebagai sebuah filsafat yang menuju kesempurnaan. D1. Perjal anan Menuju Kesempur naan F i l safat Zaman U pani sad
Subari
menjelaskan
secara
jelas
tentang
bagaimana
Upanisad
mengajarkan hal yang harus dilakukan manusia. Tujuan manusia ialah inigin mendapatkan suatu pelepasan. yang dimaksudkan pelepasan di sini adalah lepas dari kelahiran kembali karena kelahiran kembali itu berarti manusia berada dalam keadaan samsara. Dan sebab orang itu dilahirkan kembali, menurut Upanisad sebab orang dilahirkan kembali karena adanya karma, dan karma diartikan suatu perbuatan atau akibat perbuatan itu sendiri. Orang yang berbuat baik nantinya akan dilahirkan kembali dalam keadaan atau tingkatan yang baik dan sebaliknya, tetapi yang perlu diketahui selama manusia masih berbuat apakah itu perbuatan baik maupun perbuatan yang jelek pada prinsipnya adalah masih harus dilahirakn kembali dan berarti manusia dalam keadaan samsara. Lalu bagaimanakah yang baik itu? Upanisad menjelaskan bahwa yang baik adalah mengorbankan karma dan cara mengorbankan karma adalah dengan selangkah demi selangkah. Subari menjelaskan tingkatan itu antara lain :
19
1. Tingkatan
belajar
kepada
seorang
guru,
khusunya
tentang
Weda
(Srawana). 2. Tingkatan menyakini terhadap apa yang diajarkan guru tentang Weda (Manana). 3. Tingkatan menjadi satu dengan Weda (Dhyana).
Bila kita melihat tingkatan untuk menjadi yang ‘baik’ dari Upanisad, maka terlihat bahwa etika Upanisad berjalan melalui tingkatan menuju sebuah tingkatan yang dikatakan sempurna. Di mana seseorang harus bersatu dengan Weda. Tingkatan terakhir dalam Upanisad ini mengharapkan agar manusia sudah bersih dari kepentingan dan sudah bersatu dangan Brahman dan mengerti aliran Atman. Sebuah Filsafat yang menuju kesempurnaan.
D 2. Carw aka K esempurn aan A dalah Kebebasan
Melihat kembali kata kunci dari carwaka bahwa Carwaka adalah aliran yang materialis-hedonis akan otomatis menjawab pertanyaan kita tentang tujuan hidup manusia dan etika dari carwaka. Karena aliran ini bersifat hedonis maka sudah pasti yang benar adalah yang mengandung unsur kesenangan. Carwaka memandang hidup ini tidak ada ikatan, dan tidak ada yang memberatkan hingga muncul ungkapan “lalui saja”, menggambarkan Carwaka sebagai sebuah aliran yang bebas. Menurut mereka yang sempurna adalah yang bebas. Seperti dikatan dalam Kamasutra: “Sejauh hukum moral mengenai sesuatu, sejauh itu pula harus kita taati, jika bukan demi kebahagiaan hidup mendatang sekurang-kurangnya untuk membuat hidup masa kini mudah dan terhormat. Lalu di mana perjalanan menuju kesempurnaan dari Carwaka ? perjalanan menuju kesempurnaan itu dapat kita lihat dari bagaimana Carwaka mencapai
kebebasan
yang
mereka
inginkan.
Yaitu
mencapai
sebuah
kebebasan dengan mewujudkan sebuah kehidupan yang mudah dan terhormat.
20
Memang dari semua aliran filsafat di India hanya Carwaka yang tidak atau kurang spiritualis. D 3. Jai ni s Sebuah Pelepasan
Mungkin
bila
menggambarkan
sosok
yang
spiritualis
dan
meninggalkan Tujuan hidup jainisme adalah mencapai pembebasan dari belenggu-belenggu hidup bersifat
manusiawi
yang mengekang manusia.
seprti
penderitaan
,
Objek-obejek yang
kebahagiaan,
kesenangan
dan
kesakitan dianggap sebagai sandiwara-sandiwara kehidupan manusia. Orangorang yang mengejar hal-hal itu di sebut sebagai orang yang tidak kuat dan bodoh, karena orang yang kuat menurut prespektif Jainisme adalah orang yang berhasil menolak segala godaan manusiawi. Keadaan akhir atau tujuan itu dinamkan sebagai kaivalya, atau
yang dalam Zimmer dikatakan sebagai
pelepasan diri secara absolut, karena seriap partikel dalam materi karma terbakar, yang berarti tidak ada aliran benih baru yang bisa masuk, maka tidak ada lagi kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman baru. Dalam prakteknya untuk melakukan pembebasan jainisme melakukan 3 hal. Pertama, adalah keyakinan yang sempurna bahwa di dunia ini ada hukum karma yang berlaku, bahwa setiap perbuatan pasti akan dibalas entah perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Selain itu juga keyakinan sempurna akan adanya pembebasan tertinggi yang di sebut moksa. Setiap orang yang mencapai moksa harus melakukan pembebasan terhadap belnggu-belenggu duniawi mereka. Dalam prakteknya jainisme monlak ajaran weda karena janisme
tidak
cocok
dengan
berbagai
peraturan
yang mengikat
dan
kepercayaan terhadap otoritas tertinggi. Kedua, pengetahuan
benar
dalam
ajaran
tersebut.
Pengetahuan
kebenaran dalam Jainisme adalah pengetahuan yang tidak hanya tergantung pada persepsi, tetapi melihat kebebnaran seperti apa adanya benda yang dilihat yang
juga melihat kebenaran dari titik tolak di mana kebenaran itu di ambil, ebrarti
juga
bersifat
relativ,
yang
berarti
juga
bahwa
jainisme
menghormati segala bentuk pemikiran dari semua pihak.
21
Ketiga , perilaku benar yang terdiri atas praktek tidak menyakiti atau melukai seluruh makhluk hidup, menghindari kesalahan, mencuri, sensualitas, dan kemelakatan objek-objek indriya, mengkombinasikan ketiganya di atas, perasaan
akan
dikendalikan
dan
karma
yang membelenggu roh akan
disingkirkan Ketiga hal inilah yang didapatkan untuk membebaskan jiwa dari belenggu, dapat dikatakan juga tujuan hidup jainisme adalah untuk etika dan spritual.
22
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Filsafat India mengalami pembabakan selama 5 periode antara lain : -
Perkembangan filsafat India pada zaman Veda
-
Perkembangan filsafat India pada zaman Skeptisisme
-
Perkembangan filsafat India pada zaman Puranis
-
Perkembangan filsafat India pada zaman Muslim
-
Perkembangan filsafat India pada zaman Modern
Filsafat India dikatakan cerdas karena filsafat india pra-modern melakukan banyak terobosan-terobosan berpikir dan pembahasan yang tajam tentang apa itu pengetahuan yang benar. Upanisad menunjukkan kecerdasannya dengan menggali Brahman dan Atman, Carwaka dengan persepsi langsungnya, Jainisme dengan titik tolaknya, Sankhya dengan Pengamatannya dan Nyaya dengan pemahamn akan obyek dan gagasan. Sedangkan dikatakan Etika yang mnuju kesempurnaan , karena berbagai aliran filsafat di India menghendaki agar pengikut kaummnya melewati sebuah proses untuk mecapai sebuah kesempurnaan. Bila Upanisad dengan menyatu dengan
Brahman,
Carwaka
menuju
kesempurnaan
hidup
yang
mudah
dan
terhormat, dan Jainisme dengan menuju sebuah pelepasan, di mana pelepasan sendiri adalah tingkat yang lebih tinggi daripada dunia “sandiwara” yang fana.
B. Saran
Penulis menyadari akan kekurangan dalam makalah tersebut, oleh karena itu kami mengharapkan pembaca juga mengumpulkan referensi yang lain untuk melengkapi pembahasan yang belum jelas.
23
DAFTAR PUSTAKA http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf http://id.wikipedia.org/wiki/adwaita Vedanta http//www.network54.com/forum/178267/message/Pengaruh+Sad+Dharsana+di+Bal i Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya. Paramita Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-A liran Filsafat dan Etika. Jakarta. Kencana
24