TUGAS MAKALAH INTEGRASI PSIKOLOGI
PERILAKU CYBERBULLYING BERDAMPAK PADA
TINDAKAN BUNUH DIRI
Disusun Oleh :
Luthfiasari Sekar Fatimah
14/362367/PS/06669
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
LATAR BELAKANG
Teman sebaya (peer group) memiliki peran yang sangat penting dan sangat berpengaruh dalam kehidupan remaja. Remaja yang masih dalam masa pencarian jati diri dan identitas dapat dikatakan sangat bergantung pada pengaruh teman-teman sebaya dalam bertindak dan berpikir, banyak lingkungan teman sebaya yang dapat memberikan pengaruh positif, namun juga tidak sedikit pula yang justru dapat menjerumuskan seorang remaja kedalam perilaku-perilaku negatif. Pengaruh negatif ini biasanya dimunculkan melalui tekanan-tekanan dalam pergaulan. Beberapa tekanan dalam hubungan pertemanan remaja termasuk rasa saling iri, intoleransi, dan persaingan antar gank yang berbahaya bagi lingkungan pertemanan, perilaku ini biasanya ditunjukkan oleh remaja yang memiliki kontrol moral dan keterampilan kepemimpinan yang rendah (Notar, Padgett, & Roden, 2013).
Remaja yang biasa menjadi pemicu tekanan dalam lingkungan teman sebaya rawan melakukan bullying terhadap anak lain yang dianggapnya lemah dan tak berdaya. Perilaku bullying didefinisikan oleh Santrock (2012) sebagai tindakan verbal atau fisik yang ditujukan untuk mengganggu orang lain yang dianggap lebih lemah. Anak yang dilaporkan menjadi korban bully adalah mereka yang kesepian dan sulit berteman (Santrock, 2012). Sementara itu, sebuah penelitian lain membuktikan bahwa dari 2.000 remaja di sekolah menengah di amerika, sebanyak 20% melaporkan pernah berpikir untuk bunuh diri dan 19% lainnya telah berniat untuk bunuh diri akibat mengalami pembullyan baik secara tatap muka maupun secara online (cyberbullying), jenis pembullyan yang didapatkan biasanya berupa sindiran kasar dan viktimasi (berupa fitnah dan tuduhan yang memojokkan) (Hinduja & Patchin, 2010).
Tidak disangkal lagi, bahwa agresi pada teman sebaya telah berubah seiring berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi (Hinduja & Patchin, 2010). Konflik-konflik interpersonal antarremaja tidak lagi dilakukan secara langsung (offline), melainkan juga terjadi secara tidak langsung melalui sosial media dan internet (online). Saat ini beberapa bentuk konflik dan agresi pada remaja dilakukan secara online, hal ini dikarenakan di 'dunia' online, remaja merasa lebih bebas dan tidak dibatasi oleh orang dewasa (Ontario Centre of Excellence for Child and Youth Mental Health, 2015).
Bentuk agresi yang biasa dilakukan secara online adalah cyberbullying. Berbeda dengan bullying pada umumnya, cyberbullying dapat dilakukan secara anonimus dan dimana saja (Notar, Padgett, & Roden, 2013). Cyberbullying pada remaja biasa dilakukan melalui sosial media seperti Facebook, Twitter, dan Instagram (Ontario Centre of Excellence for Child and Youth Mental Health, 2015). Orang dewasa yang seharusnya mengawasi kehidupan remaja kebanyakan justru tidak dapat melakukan perannya dengan baik karena kurang memiliki keahlian dalam menggunakan teknologi, padahal cyberbullying terbukti memiliki dampak negatif yang lebih besar pada perkembangan remaja dibandingkan bullying tradisional dan berefek pada masalah sosial dan psikologis jangka panjang pada korban yang dibully (Notar, Padgett, & Roden, 2013).
Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa remaja korban cyberbullying hampir dua kali lebih banyak memiliki niat bunuh diri dibandingkan remaja yang tidak menerima cyberbullying, fenomena bunuh diri akibat menerima agresi secara online ini juga disebut dengan cyberbullicide (Hinduja & Patchin, 2010). Dalam penelitiannya pula Hinduja dan Patchin (2010) menyebutkan bahwa remaja baik yang mendapatkan cyberbullying maupun traditional bully lebih banyak berpikir untuk bunuh diri apabila mendapat bentuk bullyan berupa viktimasi (victimization), seperti dirumorkan akan hal-hal yang negatif, daripada mereka yang dibully dengan cara disindir dengan kasar. Penelitian tersebut diperkuat dengan penelitian lain yang menyebutkan, bahwa peer victimization melalui cyberbullying berkaitan dengan meningkatnya pikiran untuk bunuh diri pada anak-anak dan remaja dibandingkan traditional bullying (Geel, Vedder, & Tanilon, 2014)
KASUS
Pada Sepetember 2010, Tyler Clementi, seorang mahasiswa gay di universitas Rutgers bunuh diri dengan cara melompat dari jembatan George Washington akibat menjadi target cyberbullying oleh teman-temannya. Hal ini bermula dari ulah teman satu kamar di asramanya, Dharun Ravi, yang mencoba memata-matai aktivitas Tyler bersama pasangan gay-nya di kamar asrama. Ravi memanfaatkan webcam di laptopnya untuk dapat memantau aktivitas Tyler di kamar. Setelah berhasil memata-matai Tyler dan pasangannya, Ravi kemudian menyebar dokumentasinya tersebut ke seluruh anak di kampusnya sehingga mereka dapat melihat aktivitas Tyler secara online, sontak Tyler yang dipermalukan tersebut langsung menjadi target cyberbullying oleh teman-teman di kampusnya, hal ini disadari Tyler ketika ia memantau feeds twitter milik Ravi dan mendapati bahwa ia telah menjadi topik bahasan terkait privasinya tersebut, tidak ada temannya yang mencoba melaporkan Ravi atas tindakan melanggar privasi. Beberapa hari kemudian, Tyler Clementi yang sudah terlanjur merasa malu memutuskan untuk bunuh diri dengan cara melompat dari jembatan George Washington pada usianya yang kedelapanbelas. Sementara akibat perbuatannya, Dharun Ravi dipenjara selama 30 hari dengan tuntutan berupa pelanggaran privasi.
Kasus yang hampir serupa juga dialami oleh Ryan Halligan. Pada Oktober 2003, Ryan memutuskan untuk gantung diri pada usianya yang ketigabelas setelah mendapat cyberbullying oleh teman-teman di sekolahnya. Peristiwa ini bermula ketika Ryan menjalin hubungan secara online dengan seorang teman perempuannya yang populer di sekolah. Mereka berkomunikasi melalui AOL Instant Messaging (AOL IM), Ryan yang merasa sudah dekat dengan temannya tersebut bersedia menceritakan kehidupan personalnya lewat chat. Tidak disangka, ternyata anak perempuan itu tidak benar-benar ingin berteman dengan Ryan, dia hanya memanfaatkan Ryan untuk mencari informasi terkait kehidupan pribadinya. Setelah mendapatkan cukup informasi, anak tersebut menyebarkan cerita kehidupan pribadi Ryan ke anak-anak lain di sekolahnya dengan cara men-screenshoot percakapannya dengan Ryan di AOL IM dan menyebarkan rumor bahwa Ryan adalah gay, anak tersebut juga berkata pada Ryan bahwa Ryan adalah pecundang dan betapa ia sebenarnya ia tidak mau berteman dengan Ryan. Merasa tidak tahan dengan bullying yang diterimanya, pada 7 Oktober 2003, Ryan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.
TINJAUAN KASUS MELALUI PERSPEKTIF PSIKOLOGI
Fenomena bunuh diri yang dilakukan oleh Tyler Clementi maupun Ryan Halligan dapat dijelaskan melalui perspektif behavioristik. Passer & Smith (2009) menjelaskan bahwa menurut perspektif behavioristik, manusia adalah reaktor dari lingkungannya. Stimulus, pengalaman, dan konsekuensi yang muncul di lingkungan suatu individu saat itu akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak. Perspektif behavioristik juga menekankan bahwa perilaku dan proses kognitif sangat dipengaruhi kondisi dan perlakuan dari lingkungan sosial tempat individu tumbuh.
Passer & Smith (2009) menyebutkan, apabila ditinjau dari perspektif behavioristik, kasus orang dengan depresi merupakan akibat dari perlakuan lingkungan yang tidak menyenangkan (nonrewarding environtment). Ketika suatu lingkungan tidak dapat memberikan dukungan dan kepuasan psikologis, maka seseorang akan akan merasa buruk dan tidak memiliki keinginan untuk mencari kepuasan diri, hal ini kemudian akan berdampak balik pada lingkungannya, dimana lingkungan akan semakin memberinya sedikit reward pada individu tersebut, individu juga akan terpengaruh menjadi semakin tak berdaya dan pesimis. Dalam kedua kasus diatas, terlihat bahwa lingkungan pertemanan baik yang dimiliki Tyler Clementi maupun Ryan Halligan adalah lingkungan yang sama sekali tidak memberikan kepuasan maupun kenyamanan psikologis bagi keduanya, mereka memiliki teman-teman yang berperangai buruk dan selalu berusaha menyudutkan keduanya dengan menyerang privasi mereka, hal ini tentu menjadi tekanan yang luar biasa bagi Tyler dan Ryan.
Selain itu, dalam perspektif behavioristik, terdapat pula konsep negative reinforcement, yang dapat menjelaskan bagaimana seseorang berusaha melakukan sesuatu untuk menghindari situasi yang aversif (Passer & Smith, 2009). Pada kasus bunuh diri Tyler Clementi dan Ryan Halligan, korban merasa terancam dengan situasi aversif, dimana ia merasa tertekan dan dipermalukan oleh banyak orang melalui media sosial. Pemahaman dari lingkungan yang diterima korban bahwa bunuh diri biasa dijadikan solusi terakhir untuk menghindari suatu masalah, kemudian dijadikan pelarian untuk menghindari situasi aversif tersebut.
SIMPTOM
Orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk bunuh diri, memiliki gejala seperti berikut ini :
Berbicara tentang bunuh diri, seperti "saya akan membunuh diri saya sendiri", "saya berharap saya mati saja", "saya berharap tidak pernah dilahirkan"
Membeli alat-alat yang dapat digunakan untuk bunuh diri
Menarik diri dari kontak sosial dan selalu menyendiri
Mengalami mood swings
Merasa terjebak dan tak berdaya dalam menghadapi situasi
Banyak mengonsumsi alkohol dan obat-obatan
Mengalami perubahan rutinitas, termasuk pola makan dan pola tidur
Melakukan kegiatan yang membahayakan diri sendiri seperti menggunakan obat-obatan atau mengemudi dengan sembarangan
Memberikan "salam perpisahan" pada orang-orang
Mengalami perubahan kepribadian seperti mengalami kecemasan yang tinggi
(Mayo Clinic Staff, 2015)
PENANGANAN (TREATMENT)
Untuk menangani cyberbullying maupun bullying biasa pada anak-anak usia sekolah, dapat dilakukan penanganan berupa school-based intervention dengan melibatkan seluruh pihak sekolah (Santrock, 2012). Bentuk intervensi tersebut beragam, mulai dari mengampanyekan antibullying hingga mengadakan training untuk melatih kemampuan sosial siswa. Salah satu program antibullying yang berhasil dilakukan oleh Dan Olweus dengan menyasar anak-anak sekolah usia 6-15 tahun, program ini berfokus pada pengurangan penguatan (reward) dan kesempatan atas tindakan bullying. Selain itu, karyawan-karyawan sekolah juga diinstruksikan untuk meningkatkan hubungan antarsiswa dan menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman (Santrock, 2012).
Pencegahan cyberbullying di lingkungan sekolah juga dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa langkah berikut : a) mendefinisikan cyberbullying; b) memiliki aturan yang kuat terkait cyberbullying; c) mensosialisasikan kepada staff, siswa, dan orang tua siswa terkait aturan yang telah dibuat dan dapat mengidentifikasi cyberbullying yang muncul di lingkungan sekolah; dan d) menggunakan teknologi filtering internet, selain itu juga diusahakan untuk dilakukan edukasi kepada orang tua siswa terkait penggunaan internet yang aman sehingga mereka mampu menetapkan aturan penggunaan internet pada anaknya dan dapat mencegah cyberbullying (Notar, Padgett, & Roden, 2013)
Selain tindakan prevensi dari sekolah, perlu diadakan pula penanganan untuk remaja yang sudah menjadi korban cyberbullying dengan melakukan pendampingan konseling menggunakan model client-centered. Proses konseling tersebut menekankan hubungan therapeutic antar konselor dan klien, pemberian unconditional positive regard serta empati. Klien harus diapresiasi atas eberaniannya mencari bantuan, dan diyakinkan bahwa cyberbullying yang dialaminya bukan karena kesalahannya, selain itu klien juga harus didorong untuk membangun kembali self-esteem nya (Campbell, 2007). Selain itu, Campbell (2007) juga menyebutkan 4 prinsip yang harus diperhatikan dalam menangani korban cyberbullying, diantaranya :
Peka terhadap bagaimana klien ingin diperlakukan, ketika mereka bersedia terbuka, apresiasilah keberaniannya
Selalu tekankan bahwa semua ini bukan salahnya, dan jangan paksa mereka untuk berubah. Hindari mengatakan "kamu harus lebih asertif", "kamu harus melawan pembully", dan lain sebagainya, karena hal tersebut dapat menyebabkan klien takut dan merasa bersalah karena tidak melakukannya
Pastikan kembali apakah bullying merupakan masalah utama yang dihadapi klien atau memang klien telah memiliki gangguan psikologis sebelumnya
Arahkan klien untuk mendapatkan support system yang baik
Selain untuk klien, treatment juga dapat ditujukan untuk pembully. Walaupun tentu saja mereka akan merasa enggan untuk diberi intervensi, namun mengingat para pembully masih berusia muda, mereka tetap membutuhkan bantuan untuk mengubah perilakunya sehingga mereka tidak lagi menyalahgunakan kekuatannya (Campbell, 2007). Para pembully biasanya tidak menyadari seberapa besar dampak buruk pembullyan yang dilakukannya, maka dari itu dibutuhkan intervensi berupa edukasi empati dan pemahaman akan dampak negatif dari perilaku bullying. Sementara untuk pembully yang memiliki kepercayaan diri tinggi, dianjurkan untuk mengadakan program self-control (Campbell, 2007)
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, M. A. (2007). Cyber bullying and young people: Treatment principles not simplistic advice. QUT Digital .
Geel, M. v., Vedder, P., & Tanilon, J. (2014). Relationship Between Peer Victimization, Cyberbullying, and Suicide in Children and Adolescents : A Meta-analysis. JAMA Pediatrics, E1-E8.
Health, O. C. (2015). Evidence In-Sight : Cyberbullying and mental health . 1-5.
Hinduja, S., & Patchin, J. (2010). Cyberbullying Research Summary : Cyberbullying and Suicide. Cyberbullying Research Center .
Notar, C. E., Padgett, S., & Roden, J. (2013). Cyberbullying: Resources for Intervention and Prevention. Universal Journal of Educational Research, 133-145.
Passer, M. W., & Smith, R. (2009). Psychology : The Science of Mind and Behavior (fourth edition). New York: The McGraw Hills Companies, Inc.
Santrock, J. W. (2012). A Topical Approach to Life-Span Development : sixth edition. New York: McGraw-Hill.
Staff, M. C. (2015, Agustus 28). Disease and Condition : Suicide and Suicidal Thoughts : Symptoms. Retrieved November 06, 2016, from MAYO CLINIC: http://www.mayoclinic.org