BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Faktanya, satu dari empat orang dewasa akan mengalami masalah kesehatan jiwa pada satu waktu dalam hidupnya. Bahkan, setiap 40 detik di suatu tempat di dunia ada seseorang yang meninggal karena bunuh diri (WFMH, 2016). Data WHO (2016) menunjukkan, terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia. Di Indonesia, menimbang dari berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk di Indonesia, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara n egara dan penurunan pe nurunan produktivitas produkti vitas manusia manusi a untuk jangka panjang. panjan g. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun keatas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi preval ensi gangguan ga ngguan jiwa ji wa berat, bera t, seperti sepe rti skizofre ski zofrenia nia mencapai men capai sekita s ekitarr 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Merujuk pada data tersebut, maka masalah kesehatan jiwa seseorang janganlah dianggap enteng. Data dari Dinas Provinsi Banten pasien dengan gangguan jiwa mencapai 660 ribu atau 6% dari jumlah penduduk. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, penderita Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) mencapai angka signifikan, sampai tahun 2017 mencapai 1235 orang. Data yang terjaring di Puskesmas Carita didapatkan sebanyak 58 orang dinyatakan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), data yang berobat ke Puskesmas Carita berjumlah 25 orang.
1
Dari data tersebut diatas, kami tertarik untuk membahas masalah kesehatan jiwa dalam upaya merubah anggapan yang salah tentang gangguan jiwa di keluarga dan masyar akat (destigmat (dest igmatisas isasii gangguan jiwa) sebagai seba gai judul makalah ini.
1.2 Tujuan Penulisan 1.2.1
Tujuan Umum
Dokter
mampu
memahami
dan
menjelaskan
masalah-masalah
kesehatan jiwa dalam upaya merubah anggapan yang salah tentang gangguan jiwa di keluarga dan masyarakat (destigmatisasi gangguan jiwa). jiwa) . 1.2.2
Tujuan Khusus
1. Dokter mengetahui pengertian kesehatan jiwa. 2. Dokter mengetahui pengertian gangguan gangguan jiwa. 3. Dokter mengetahui model-model konseptual kesehatan jiwa masyarakat. 4. Dokter dapat merubah cara pandang keluarga dan masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa. 1.3 Masalah
Stigma juga sebagai suatu kelompok perilaku atau keyakinan negatif yang memotivasi masyarakat untuk merasa takut, menolak, menghindar, dan mendiskriminasi ODGJ. Sedangkan Sedangkan bagi pasien gangguan jiwa, stigma merupakan penghalang yang memisahkan mereka dengan masyarakat dan menjauhkan mereka dari orang lain. Proses stigma yang terjadi pada keluarga terhadap penderita skizofrenia tidak mengalami kehilangan status (loss ( loss status) dan diskriminasi karena dukungan dan sikap keluarga yang kaitannya pada pengkajian pemahaman agama dan falsafah hidup serta faktor sosial dan keterikatan keluarga menjadi pengaruh kepada keluarga bahkan masyarakat untuk tidak melakukan perlakuan yang tidak adil akibat stigmanya. Penderita tidak
2
mengalami penurunan atau kehilangan status dimana keadaan tersebut dapat merugikan kehidupan sosial penderita. Penderita juga tidak memiliki batasan-batasan
akses
dalam
kehidupan,
mereka
masih
memiliki
kesempatan yang sama dengan anggota keluarga dan masyarakat lainnya. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penderita tidak membuat keluarga menyingkirkan (mendiskriminasi) penderita dari hubungan sosial dan masyarakat. Sebagian keluarga penderita masih menggunakan cara-cara non medis untuk menangani penderita skizofrenia. Salah satunya dengan membawa penderita ke pengobatan alternatif yaitu dukun. Anggapan lain yang masih ada dan dipertahankan oleh masyarakat adalah memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia adalah aib, sehingga harus disembunyikan. Keluarga lebih memilih untuk merahasiakan keberadaan penderita skizofrenia dari pada membawanya kerumah sakit untuk diberikan terapi penyembuhan. Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa mereka mengalami penyakit penyakit yang berhubungan dengan supranatural yaitu mereka akan segera diberi pengobatan dengan memanggil dukun yang dapat mengusir roh jahat dari tubuh si penderita. Waktu penyembuhan tersebut bisa memakan waktu sebentar ataupun lama. Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa gangguan jiwa yang terjadi pada penderita tersebut akan semakin parah tanpa pertolongan segera psikiater ataupun psikiatri. Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa adalah aib yaitu dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa tersebut dari masyarakat. Mereka tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut ke profesional tetapi cenderung menyembunyikan atau merahasiakan keadaan tersebut dari orang lain
3
ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang terlambat dapat memperparah keadaan gangguan jiwanya. Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat disekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat serta lingkungan. Tidak ada penyembuhan bagi penderita skizofrenia. Penanganan bagi penderita skizofrenia ditujukan untuk mengendalikan pola-pola perilaku yang ganjil seperti halusinasi dan waham, dan mengurangi resiko kekambuhan yang berulang-ulang. Skizofrenia dapat ditangani simptomsimptomnya secara cukup efektif, namun penyembuhan masih jauh dari mungkin. Penelitian yang sudah dilakukan menunjukan bahwa perawatan yang sudah dilakukan di rumah sakit jiwa tidak banyak berguna untuk menghasilkan efek perubahan yang berarti dan bertahan lama. Bukti menunjukan tingkat perawatan kembali di rumah sakit jiwa atau hospitalisasi berkisar 40% - 50% setelah satu tahun dan lebih dari 75% setelah dua tahun. Kekambuhan yang terjadi pada penderita skizofrenia diakibatkan oleh salah satunya hubungan keluarga yang kurang harmonis dan tidak adanya dukungan sosial. Kurangnya kasih sayang dari orang terdekat, misal keluarga dan masyarakat juga dapat menjadi penyebab kekambuhan pada penderita skizofrenia semakin tinggi. Hal ini juga diungkapkan oleh Maslow yang mengatakan bahwa jika individu gagal memenuhi salah satu kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai maka
4
individu tersebut tidak dapat naik ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, yakni kebutuhan akan harga diri yang didalamnya ada kepercayaan diri. Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak mudah. Namun kita perlu untuk berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan di masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma tersebut memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu dimasyarakat dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut. Tidak semua keluarga dari penderita skizofrenia memberikan perlakuan yang kurang baik pada penderita skziofrenia. Terdapat beberapa keluarga yang memilih untuk memperhatikan keadaan penderita skizofrenia dengan mengusahakan pengobatan dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Selain mengusahakan pengobatan di rumah sakit jiwa, pihak keluarga juga mengusahakan dirinya untuk memiliki kemampuan melakukan aktivitas agar penderita menjadi mandiri. Terdapat penderita skizofrenia yang dapat membangun kembali kehidupanya dengan normal. Hal ini mampu dicapai oleh penderita skizofrenia yang mendapatkan perlakuan positif, misalnya orang tua yang rutin mengantar ke rumah sakit jiwa. Bentuk dukungan dari keluarga tersebut membuat penderita skizofrenia mampu membangun kepercayaan dirinya untuk sembuh, bahkan mampu mandiri melakukan aktivitas seharihari.
5
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut : 1. BAB I
: Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, masalah, dan sistematika penulisan.
2. BAB II
: Tinjauan teoritis, terdiri dari pengertian kesehatan jiwa, pengertian gangguan jiwa, stigma gangguan jiwa di keluarga, stigma gangguan jiwa di masyarakat
3. BAB III
: Pembahasan, terdiri atas dampak stigma gangguan jiwa, penanganan stigma di keluarga, penanganan stigma di masyarakat, stigma pasung dalam masyarakat, inovasi bebas
pasung
pemerintah daerah, system pelayanan
kesehatan jiwa, tata laksana gangguan kejiwaan
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian Kesehatan Jiwa
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai “keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan.” Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekedar keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri. Tidak ada satupun definisi universal kesehatan jiwa, tetapi kita dapat menyimpulkan kesehatan jiwa seseorang dari perilakunya. Karena perilaku seseorang dapat dilihat atau ditafsirkan berbeda oleh orang lain, yang bergantung kepada nilai dan keyakinan, maka penentuan definisi kesehatan jiwa menjadi sulit. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa memiliki banyak komponen dan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Johnson, 1997): 1. Otonomi dan kemandirian: Individu dapat melihat ke dalam dirinya untuk menemukan nilai dan tujuan hidup. Opini dan harapan orang lain dipertimbangkan, tetapi tidak mengatur keputusan dan perilaku individu tersebut. Individu yang otonom dan mandiri dapat bekerja secara interdependen atau kooperatif dengan orang lain tanpa kehilangan otonominya. 2. Memaksimalkan
potensi
diri:
Individu
memiliki
orientasi
pada
pertumbuhan dan aktualisasi diri. Ia tidak puas dengan status quo dan secara kontinu berusaha tumbuh sebagai individu.
7
3. Menoleransi ketidakpastian hidup: Individu dapat menghadapi tantangan hidup sehari-hari dengan harapan dan pandangan positif walaupun tidak mengetahui apa yang terjadi di masa depan. 4. Harga diri: Individu memiliki kesadaran yang realistis akan kemampuan dan keterbatasannya. 5. Menguasai lingkungan: Individu dapat menghadapi dan mempengaruhi lingkungan dengan cara yang kreatif, kompeten, dan sesuai kemampuan. 6. Orientasi realitas: Individu dapat membedakan dunia nyata dari dunia impian, fakta dari khayalan, dan bertindak secara tepat. 7. Manajemen stress: Individu dapat menoleransi stress kehidupan, merasa cemas atau berduka sesuai keadaan, dan mengalami kegagalan tanpa merasa hancur. Ia menggunakan dukungan dari keluarga dan teman untuk mengatasi krisis karena mengetahui bahwa stress tidak akan berlangsung selamanya. Faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang dapat dikategorikan sebagai faktor individual, interpersonal, dan sosial/budaya. Faktor individual meliputi struktur biologis, memiliki keharmonisan hidup, vitalitas, menemukan arti hidup, kegembiraan atau daya tahan emosional, spritualitas, dan memiliki identitas yang positif (Seaward, 1997). Faktor interpersonal meliputi komunikasi yang efektif, membantu orang lain, keintiman, dan mempertahankan keseimbangan antara perbedaan dan kesamaan. Faktor sosial budaya meliputi keinginan untuk bermasyarakat, memiliki penghasilan yang cukup, tidak menoleransi kekerasan, dan mendukung keragaman individu.
2.2 Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan Jiwa atau Gangguan Mental dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Mental Disorder . Istilah tersebut digunakan secara resmi dalam ilmu kedokteran jiwa dan psikologi klinis. Jadi, penyebutan “penyakit jiwa”, “sakit jiwa”, mental desease/mental illness tidak digunakan.
8
Saat ini gangguan jiwa didefinisikan dan ditangani sebagai masalah medis. Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu dan hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa adalah gangguan mental yang berdampak kepada mood, pola pikir, hingga tingkah laku secara umum. Ciri-ciri orang yang mengalami sakit jiwa dapat berbeda-beda antara satu sama lain. Namun pada umumnya, mereka yang mengalami gangguan jiwa dapat dikenali dari beberapa gejala tertentu. Gejala yang dimaksud seperti perubahan mood yang sangat drastis dari sangat sedih, menjadi sa ngat gembira atau sebaliknya, merasa ketakutan yang secara berlebihan, menarik diri dari kehidupan sosial, kerap merasa sa ngat marah hingga suka melakukan kekerasan.
2.3 Stigma Gangguan Jiwa di Keluarga
Penderita gangguan jiwa seringkali mendapat stigma dari lingkungan sekitarnya.
Stigma
tersebut
melekat
pada
penderita
sendiri
maupun
keluarganya. Hal ini karena menderita gangguan jiwa sendiri sudah dinamakan secara berbeda dari penderita penyakit fisik lainnya. Beberapa orang percaya bahwa gangguan jiwa merupakan hasil dari pilihan-pilihan yang buruk, dalam penelitian Tyas (2008), Wardhani, dkk (2011) dan Colucci (2013) disebutkan bahwa gangguan jiwa terjadi akibat sebab supranatural dan ada pula yang mempercayai akibat keturunan dari orang tua atau kerabat terdekatnya. Selain itu, orang dengan gangguan jiwa dipercaya sebagai orang yang berbahaya dan tidak bisa diprediksi, kurang kompeten, tidak dapat bekerja, harus dirawat di RSJ, dan tidak akan pernah sembuh. Stigma terhadap penderita gangguan jiwa akan semakin kompleks apabila penanganannya tidak berlanjutan. Sikap pasrah keluarga penderita gangguan jiwa, yang membiarkan enderita gangguan jiwa untuk dipasung karena tidak ada biaya untuk pengobatan lebih lanjut. Pemilihan untuk memasung penderita gangguan jiwa beralasan agar keluarga bisa lebih dapat mengawasi penderita supaya tidak
9
menyakiti diri sendiri dan orang lain. Selain itu rasa malu yang ditanggung oleh keluarga merupakan stigma yang dibuat sendiri oleh keluarga te rhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Sehingga bantuan dari lingkungan sekitar untuk mengobati penderita tidak diperhatikan lagi. Rasa malu tersebut menyebabkan keluarga penderita gangguan jiwa me nutup diri dari lingkungan. Menurut Sherman (2007), efek dari stigma dan penarikan diri secara sosial memiliki dampak yang lebih besar kepada individu daripada menderita gangguan jiwa itu sendiri. Keluarga juga terkena dampak stigma dan kemungkinan dipersalahkan karena menyebabkan atau berkontribusi terhadap gangguan jiwa yang diderita anggota keluarganya. Perlakuan dari komunitas dapat berefek secara negatif terhadap rerata kesembuhan penderita gangguan jiwa. Pemasungan yang terjadi justru memperparah keadaan baik itu keadaan penderita gangguan jiwa itu sendiri, keluarga penderita maupun lingkungan sekitar.
2.4 Stigma Gangguan Jiwa di Masyarakat
Stigma adalah suatu usaha untuk label tertentu sebagai sekelompok orang yang kurang patut dihormati daripada yang lain (Sane Research, 2009). Masyarakat seringkali memiliki persepsi negatif terhadap kegilaan. Orang gila dianggap sebagai orang yang tidak waras, sinting dan ungkapan kasar lainnya. Menurut Irwanto, Phd, peneliti di Universitas Atma Jaya, Jakarta, "Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespons kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidak tahuan publik. Terdapat logika yang salah di masyarakat. Mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan kesembuhan si penderita. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental sebagai sampah sosial. Pola pikir demikian harus didekonstruksi" (Kompas, 27/09/04). Salah kaprah pengertia n dan pemahaman penyakit jiwa ini mungkin karena ketidak tahuan masyarakat pada masalah-masalah kejiwaan dan kesehatan mental. Ketidak tahuan ini mengakibatkan persepsi yang keliru,
10
bahwa penyakit mental merupakan aib bagi si penderita maupun bagi keluarganya. Sehingga si penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh keluarganya. Selain itu ada anggapan keliru di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa hanya mereka yang menghuni rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang berkeliaran di jalanan. Padahal gangguan jiwa bisa dialami oleh siapa saja, disadari atau tidak. Orang yang tampaknya sehat secara fisik, bukan tidak mungkin sebenarnya menderita gangguan jiwa, dalam kadar yang paling ringan seperti depresi misalnya. Persepsi masyarakat tersebut antara lain: 1. Penyakit mental disebabkan oleh roh jahat. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat. 2. Penyakit mental itu memalukan. Adanya persepsi masyarakat bahwa orang gila ataupun keluarganya akan menerima aib. Orang gila dan keluarganya sering dicemooh bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Adanya persepsi bahwa kegilaan adalah aib menyebabkan orang gila yang dianggap sembuh oleh dokter di rumah sakit jiwa tetap tidak dapat dipulangkan karena keluarga dan masyarakat tidak menginginkannya kembali. 3. Penderita gangguan jiwa adalah sampah masyarakat yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota. Perlakuan-perlakuan masyarakat terhadap orang gila yaitu dengan memasung , memperlakukan dengan kasar, perlakuan kasar seringkali dilakukan oleh anak-anak dengan melempari batu dan mengejek, membuang orang gila tersebut ke daerah lainnya karena orang gila tersebut adalah sampah masyarakat, dan mas yarakat menghardik orang gila tersebut dan pemerintah menyingkirkannya secara tidak manusiawi, hal ini karena dianggap sudah tidak dapat disembuhkan lagi dan dikwatirkan dapat menular.
11
Selama bertahun-tahun, banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun temurun dalam masyarakat kita. Penyakit mental masih menghasilkan kesalahpahaman, prasangka, kebingungan, dan ketakutan. Keadaan di Indonesia masih banyak ditemukan orang yang mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak pantas. Kalau kita melihat dari pelayanan kesehatan kita, bahwa bangsal-bangsal yang ada di rumah s akit umum, banyak yang belum ada bangsal jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya masyarakat awam saja yang melakukan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa, tetapi para profesional kesehatan pun secara tidak sadar melakukan stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa.
12
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Dampak Stigma Gangguan Jiwa
Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa secara tidak langsung dapat merugikan penderita gangguan jiwa, keluarga penderita gangguan jiwa, dan masyarakat sekitar. 1. Pada penderita gangguan jiwa Persepsi masyarakat yang salah dapat menyebabkan penderita gangguan jiwa tersebut akan menerima siksaan dengan pemasungan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat. Kesembuhan pada penderita gangguan jiwa tersebut pun sangat kecil harapannya karena masyarakat malah menghina mereka alih-alih memberi perhatian dan kasih sayang untuk kesembuhan gangguan mental mereka. Setelah sembuh pun ada kemungkian penderita gangguan jiwa tersebut akan kembali menjadi kambuh, hal ini dikarenakan masyarakat tetap tidak menerima mantan penderita gangguan jiwa. Mereka tetap mempunyai persepsi negatif terhadap penderita gangguan jiwa, sehingga penderita gangguan jiwa tetap menjadi beban keluarganya ataupun masyarakat karena ketiadaan lapangan kerja yang mau menerima penderita gangguan jiwa untuk bekerja. 2. Pada keluarga penderita penderita gangguan jiwa Keluarga merasa malu atas anggota keluarganya yang gila bahkan adanya tekanan batin yang dialami keluarga karena cemoohan dan pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat. 3. Pada masyarakat Masyarakat mungkin saja akan mengalami kekerasan yang dilakukan orang gila atas perlakuan kasar yang mereka lakukan kepada orang gila tersebut. Persepsi masyarakat tersebut dapat pula menyebabkan perilaku imitasi yang akan dilakukan oleh anak-anak untuk menyakiti orang lain terutama orang gila dengan melakukan kekerasan secara fisik dan secara verbal.
13
3.2 Penanganan Stigma di Keluarga
Beberapa penanganan stigma di keluarga dianta ranya: 1. Memberi penyuluhan kepada keluarga tentang penyakit gangguan jiwa 2. Menanamkan rasa saling sayang diantara anggota keluarga 3. Menanamkan rasa saling peduli diantara anggota keluarga 4. Menanamkan rasa tanggung jawab antara satu sama lain
3.3 Penanganan Stigma di Masyarakat
Menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak mudah. Namun kita perlu untuk berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan di masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma tersebut memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individuindividu di masyarakat dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut. Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi mental atau di rumah sakit jiwa, apalagi ditelantarkan di jalanan, tapi berada di tengah-tengah
keluarganya,
diantara
orang-orang
yang
dicintai
dan
mencintainya. Yang mereka butuhkan selain pengobatan medis adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses pemulihan kondisi jiwanya Beberapa kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma gangguan jiwa antara lain: 1. Masyarakat ikut berperan aktif dalam kampanye tentang kesehatan jiwa. Kampanye tersebut dapat dimasukkan dalam kegiatan masyarakat melalui program desa siaga, FKD (Forum Kesehatan Desa) pertemuan ditingkat RT maupun
RW,
perlu
keaktifan
masyarakat
untuk
mendapatkan
akses/kesempatan seluas-luasnya secara akurat dan terbaru tentang kesehatan jiwa.
14
2. Perlunya adanya pengetahuan tentang kesehatan jiwa sejak dini melalui sekolah-sekolah. Pendidikan tersebut dapat dilakukan atau dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah atau melalui kegiatan kurikuler. 3. Keluarga ataupun masyarakat ikut terlibat dalam pelaksanaan tindakan terhadap pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan masyarakat tentang cara pandang pada pasien gangguan jiwa dapat berubah dan dapat membantu menanganinya. 4. Kepada individu tenaga kesehatan harus menunjukkan atau memberi contoh kepada masyarakat bahwa kita tidak melakukan stigma tersebut, harus menentang kesalahpahaman tentang gangguan jiwa dan menunjukkan fakta-fakta bahwa penyakit mental sangatlah umum dan dapat disembuhkan dengan management tindakan yang tepat 5. Pemerintah ataupun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada orangorang yang mengalami gangguan jiwa ataupun orang-orang yang telah sembuh dari gangguan jiwa.
3.4 Stigma pasung dalam masyarakat
Pemasungan dilakukan dengan cara dipasung dan pengisolasian. Pasung merupakan semua metode manual yang menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasung atau ditempelkan pada tubuh ODGJ dan membuat tidak dapat bergerak dengan mudah atau yang membatasi kebebasan dalam mengerakan tangan, kaki atau kepala. Pengisolasian merupakan tindakan mengurung ODGJ sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa, dalam suatu ruangan atau ar ea yang secara fisik membatasi untuk keluar atau meninggalkan ruangan atau area tersebut. Indonesia mencanangkan bebas pasung. Semua dinas sosial di kawasan yang terdata banyak kasus pemasungan sudah diperintahkan untuk menggiatkan upaya ini. Sejak dulu banyak pihak yang melihat orang dengan gangguan jiwa adalah sosok yang menakutkan, sulit diatur dan kerap membahayakan orang lain sehingga banyak yang memilih mencegah interaksi mereka yang mengalami gangguan jiwa dengan masyarakat umum melalui pasung. Di beberapa daerah di
15
Indonesia, pasung masih digunakan sebagai alat untuk menangani pasien gangguan jiwa di rumah. Saat ini, masih banyak pasien gangguan jiwa yang didiskriminasikan haknya baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitar melalui pemasungan. Sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan larangan "tradisi" memasung pasien gangguan jiwa berat yang kerap dilakukan penduduk yang berdomisili di pedesaan dan pedalaman terus berupaya dilakukan antara lain dengan memberdayakan petugas kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya. Pemasung terjadi karena bermacam – macam alasan. Sebagian masyarakat memiliki pemahaman dan pengetahuan yang keliru tentang gangguan jiwa. ODGJ diaggap sebagai orang kerasukan setan, kena teluh atau berbahaya bagi lingkungannya. Pemasungan dianggap sebagai solusi untuk mengendalikan gejala kerasukan, kena teluh atau mengurangi keberbahayaan ODGJ. Ditempat lain, kesulitan menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan atau ketiadaan pelayanan kesehatan jiwa disuatu tempat menjadikan masyarakat mencari jalan pintas untuk mengendalikan gejala-gejala gangguan terhadap ODGJ. Upaya pemasungan dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Dalam sejumlah peraturan perundang-undangan bahkan dalam konstitusi negara, disebutkan dengan jelas setiap warga negara memiliki hal yang sama untuk semua sektor kehidupan termasuk pelayanan kesehatan dan juga hak-hak lainnya sebagai warga negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 i ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 42 menyatakan bahwa setiap warga Negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya Negara. Untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan
16
martabat kemanusiaannya, meningkat rasa percaya diri dan kemampuan beradaptasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Undang-Undang No 36 Tahun 2019 pasal 148 ayat 1 menyatakan penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara sementara Pasal 149 menyatakan penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam ke selamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Tindakan pemasungan terhadap ODGJ adalah per buatan yang dilarang dan diancam pidana. UU No 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 86 menyatakan: “Setiap
orang
yang
dengan
sengaja
melakukan
pemasungan,
penelanataran, kekerasan dan atau menyuruh orang lain melakukan pemasungan, penelantaran dan atau kekerasan terhadap ODMK atau ODGJ atau tindakan lain nya yang melanggar hukum ODMK dan ODGJ dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 333 menyatakan j uga dalam salah satu pasalnya menyatakan barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian diancam dengan pidana penjara yang paling lama delapan tahun. Hukuman akan bertambah bila kemudian menimbulkan luka-luka bahkan kematian. Adanya jaminan undang-undang mengharuskan setiap ODGJ mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak dipasung karena pemasungan merupakan pelanggaran atas hak pengobatan dan juga merupakan bentuk kekerasan terhadap ODGJ. Pemerintah Republik Indonesia sebetulnya telah menginisiasi upaya untuk tidak ada lagi pemasungan bagi orang yang mengalami gangguan jiwa atau keterbelakangan mental sebagai upaya untuk memastikan semua warga negara
17
mendapatkan hak yang sama dalam perawatan kesehatan. Penanggulangan pemasungan sudah dimulai sejak Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15 tanggal 11 November 1977 yang ditujukan kepada Seluruh Gubernur yang berisi pelarangan
melakukan
pemasungan
terhadap
ODGJ.
Namun
demikian,
berdasarkan laporan masyarakat dan media massa, masih ditemukan banyak ODGJ dipasung. Pada tahun 2010 Direktorat Bina Kesehatan Jiwa (Dit. Bina Keswa), Kementerian Kesehatan menyelenggarakan Program Indonesia Bebas Pasung. Tujuan Program Indonesia Bebas Pasung adalah terselenggaranya perlindungan Hak azasi bagi ODGJ, tercapainya peningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan di bidang Kesehatan Jiwa dan meningkatkan pemahaman masyarakat serta menghapus stigma yang buruk tentang masalah-masalah gangguan kesehatan jiwa khususnya penelantaran dan pemasungan ODGJ. Hal lain yang termasuk ke dalam program itu adalah terselenggaranya pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas disetiap tingkat layanan masyarakat dan tercapainya kerjasama dan koordinasi lintas sektor di bidang upaya penanggulangan ODGJ di pasung sehingga ODGJ mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan tidak ada lagi ODGJ yang dipasung dan ODGJ yang dipasung dapat dibebaskan, diobati dan dikembalikan kemasyarakat. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan telah melakukan sejumlah kegiatan antara lain menyusun Pedoman Penaggulangan Pemasungan, penelantaran perlakuan salah lainnya terhadap ODGJ, melakukan Advokasi kepada pemangku kepentingan di Provinsi dan Kabupaten dan Kota, Melakukan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Umum dalam penanganan masalah kesehatan jiwa. Disamping itu, Direktorat Bina Keswa turut terlibat dalam menyusun perundangundangan yang mengatur masalah kesehatan jiwa di antaranya Undang-Undang kesehatan jiwa. Kementerian Kesehatan telah menyediakan dan menghibahkan obat antipsikotik injeksi long acting sebagai bagian dari upaya pencagahan kekambuhan pada ODGJ. Sebelum program bebas pasung dijalankan, hingga tahun 2009, jumlah
18
kasus ODGJ dipasung yang ditemukan berjumlah 211 orang dan 96 orang diantaranya dibebaskan dan mendapat pelayanan medis. Namun sejak 2010 hingga bulan Desember 2014, jumlah kasus ODGJ dipasung yang ditemukan menjadi 5.868 kasus dengan 4.905 kasus dibebaskan dan mendapat pengobatan medis . Selain itu, sebelum tahun 2010 jumlah provinsi yang melakukan upaya penemuan pembebasan dan penanganan medis ODGJ dipasung hanya 12 Provinsi dari 33 Provinsi. Namun Tahun 2014 jumlah Provinsi yang telah berpartisipasi dalam Program Indonesia Bebas Pasung berjumlah 28 Provinsi dari 34 Provinsi. Saat ini telah ada lima pemerintah Provinsi yang telah mengesahkan peraturan tentang bebas pasung yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Jawa Timur. Dalam bidang pelayanan saat ini jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa makin bertambah. Diharapkan hal i ni akan memudahkan ODGJ mendapat pengobatan sehingga mengurangi pemasungan. Jumlah Puskesmas yang memberi pelayanan kesehatan jiwa adalah 4.182 dari 9.005 Puskesmas atau 46,44 persen. Jumlah Rumah Sakit Umum yang memberikan pelayanan kesehatan Jiwa baik rawat jalan dan atau rawat inap berjumlah 249 dari 445 RSU Kabupaten/Kota atau 55,95 persen. Lembaga swadaya masyarakat baik dari dalam negeri maupun luar negeri juga berperan dalam upaya Indonesia Bebas Pasung. Disamping hal-hal yang telah dicapai di atas ternyata upaya penanganan dan penanggulangan ODGJ dipasung melalui Program Indonesia Bebas Pasung masih mengalami beberapa kendala, dintaranya masih terdapat enam Provinsi dari 34 Provinsi yang belum berpartisipasi dalam penyelenggaraan program bebas pasung, kemudian kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat dalam mengupayakan pembebasan dan penanganan medik bagi ODGJ dipasung. Hal ini tercermin dari masih tingginya ODGJ dipasung yang ditemukan namun belum mendapatkan penanganan medis. Juga masih menjadi masalah kurangnya dukungan beberapa Pemerintah Daerah dalam Program Indonesia Bebas Pasung. Hal ini tercermi n dari rendahnya anggaran kesehatan jiwa di daerah serta belum tersedianya fasilitas
19
layanan obat-obatan untuk melayani ODGJ. Suksesnya pelaksanaan Program Indonesia daerah.
Bebas
Pasung
tidak
terlepas
dari
peran
serta
pemerintah
Dukungan sangat diperlukan dalam menerbitkan peraturan
yang
melindungi ODGJ, mengupayakan penemuan dan penanganan medis ODGJ serta melakukan upaya rehabilitasi ODGJ kembali ke masyarakat. Pemerintah daerah dapat menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan miliknya dalam upaya pengobatan dan perawatan ODGJ menyediakan fasilitas rehabilitasi ODGJ serta menyediakan anggaran dalam penanganan ODGJ serta menyediakan obat-obatan yang diperlukan dalam pencegahan kekambuhan bagi ODGJ. Juga perlu ditingkatkan upaya promotif bagi masyarakat dalam hal kesehatan jiwa agar masyarakat mengetahui masalah kesehatan jiwa, dilakukanya berbagai upaya untuk mencegah dan menangani masalah kesehatan jiwa, menghargai dan melindungi ODGJ, serta memberdayakan ODGJ. Perhatian pemerintah dalam penanganan disabilitas psikososial telah di atur sejak tahun 1977, Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15 tanggal 11 Nopember 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran mas yarakat untuk menyerahkan perawatan penderita gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien gangguan jiwa yang ada didaerah mereka. Pemasungan yang dimaksud adalah salah satu bentuk pengekangan yang secara tradisional, tanpa akses pada perawatan kesehatan jiwa dan layanan pendukung lain, untuk membatasi orang yang dianggap atau mengalami disabilitas psikososial di dalam atau di luar rumah. Pengekangan ini berupa mengikat orang atau menguncinya di kamar, gudang, atau kurungan atau kandang hewan selama beberapa jam tapi bisa pula berhari-hari hingga bertahun-tahun. Pasung biasanya dipraktikkan oleh keluarga yang percaya bahwa saudaranya yang menyandang disabilitas psikososial kerasukan roh jahat, atau khawatir dia bisa melukai diri atau orang lain, atau dia
20
bisa kabur. Pasung juga digunakan di pusat-pusat perawatan tradisional atau keagamaan
di
Indonesia
sebagai
bentuk
pengekangan,
hukuman,
atau
“pengobatan.” Di sebuah rumah sakit, bentuk pembelengguan fisik biasanya tidak disebut pasung karena secara teknis dilakukan dalam tempo singkat, bersamaan dengan pemberitan obat oral atau suntik, dan dalam pengawasan seorang psikiater. Dalam penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa dilakukan secara umum dilakukan dengan 4 jenis upaya yakni : promotif, preventif, kuratif; dan rehabilitatif . 1. Upaya kesehatan secara promotif, merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap ODGJ yang mencakup promosi kesehatan, proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat. 2. Upaya kesehatan secara kuratif Jiwa ditujukan untuk: penyembuhan atau pemulihan, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian disabilitas dan pengendalian gejala penyakit. Penanganan ODGJ dapat dilakukan dengan cara rawat jalan atau rawat inap. 3. Upaya
kesehatan
secara preventif,
merupakan
kegiatan
dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk mencegah atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi okupasional, dan mempersiapkan dengan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat. 4. Dalam Upaya rehabilitatif ODGJ dilakukan dengan cara rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial dan rehabilitasi sosial.
Sebagaimana telah digambarkan data kondisi kesehatan jiwa di Indonesia pada pendahuluan, kami telah melakukan trobosan dalam pelayanan kesehatan jiwa yaitu
di
Desa
Carita
Kabupaten
Pandeglang
Provinsi
Banten.
Dalam
Penyelenggaraan pelayanan ini dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut :
Tim kesehatan Jiwa atau kader-kader desa melibatkan kepala desa, perangkat desa lainnya, kader kesehatan desa dan Tokoh masyarakat. Tim
21
ini bertugas memantau kondisi pasien dan juga melaporkan jika ditemukan pasien baru di desa atau ditemukan adanya pemasungan dan bersama Tim Kesehatan di Puskesmas melakukan pembebasan pasung. Bersama semua tim yang ada di desa serta di bantu dengan pihak puskesmas melakukan pembebasan pasung ODGJ.
Pembebasan pasung ini berdasarkan hasil laporan dari kader-kader yang ada di desa. Kemudian pasien diperiksa langsung oleh dokter untuk menindaklanjuti pengobatan penyembuhan pasien, apakah pasien dilakukan pengobatan melalui pengobatan dirumah atau dirujuk ke Rumah Sakit.
Pasien dengan kondisi yang memprihatinkan dirujuk ke RS untuk dilakukan pengobatan hingga pasien membaik dan stabil. Jika pasien sudah stabil akan dikembalikan ke keluarga masing-masing dan dilakukan pengobatan dirumah.
Program pengobatan pasien ODGJ di Desa Carita yang merupakan program Pemerintah, bekerja sama dengan bidan desa agar distribusi obat dapat dijangkau tanpa terkecuali dan agar obat dapat dikonsumsi pasien secara berkesinambungan dengan memberikan kewenangan kepada bidan desa yang telah dilatih terlebih dahulu untuk mendistribusikan obat. Pasien mendapat pengobatan gratis. Setiap bidan desa mendapatkan surat perintah tugas (SPT) yang berisi pelimpahan kewenangan dari Pimpinan Puskesmas. Obat-obat yang diberikan disesuaikan dengan resep yang diberikan oleh dokter puskesmas. Bidan desa hanya meneruskannya saja.
Setiap 3 bulan dokter puskesmas akan mengadakan kunjungan ke desa untuk memantau kemajuan pengobatan pasien gangguan jiwa. Dengan kegiatan ini, obat dapat terdistribusi dengan baik. Pasien dengan latar belakang ekonomi yang menengah ke bawah bisa mendapatkan obat tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi ke puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan yang dilakukan di rumah, akan dipantau terus oleh kader-kader desa.
22
Dalam Penyelenggaraan pelayanan ini dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut :
Dinas kesehatan kabupaten dibantu oleh Tim Medis Puskesmas melakukan investigasi ke desa-desa untuk dilakukannya pembebasan pasung. Pembebasan pasung ini berdasarkan hasil laporan dari masyarakat setempat dan investigasi yang dilakukan oleh pengelola program jiwa puskesmas dan bidan desa. Kemudian pasien diperiksa langsung oleh dokter untuk menindaklanjuti
pengobatan
penyembuhan
pasien,
apakah
pasien
dilakukan pengobatan melalui pengobatan dirumah atau dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa.
Pasien dengan kondisi yang memprihatinkan dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa untuk dilakukan pengobatan hingga pasien membaik dan stabil. J ika pasien sudah stabil akan dikembalikan ke keluarga masing-masing dan dilakukan pengobatan dirumah. Biaya rehabilitasi pasien secara gratis tidak dipungut biaya.
Pengobatan dilakukan melalui rawat jalan di Puskesmas atau RSUD setempat yang melibatkan secara langsung dokter spesialis penyakit jiwa. Pengobatan dilakukan secara gratis, tidak dipungut dengan biaya.
Setelah pasien sembuh, pemerintah desa setempat mengadakan dan memberikan pelatihan serta pemberdayaan dengan melakukan kerja sama dengan pihak rumah sakit bagi pasien ODGJ. Hal ini dilakukan agar penanganan ODGJ berkelanjutan dan salah satu upaya kesembuhan.
Setelah pasien sembuh, pemerintah desa setempat mengadakan dan memberikan pelatihan membuat kerajinan tangan bagi pasien ODGJ yang melibatkan
berbagai
organisasi
dan
kesibukan
lainnya,
sehingga
penyakitnya tidak kambuh lagi. Hal ini dilakukan agar penanganan ODGJ berkelanjutan dan salah satu upaya dari kesembuhan. 3.5 Inovasi Bebas Pasung Pemerintah Daerah
Berdasarkan hasil identifikasi dan pemetaan literature dan praktek Inovasi bebas pasung pemerintah daerah, maka penanganan ODGJ meliputi dua jenis yakni
23
pelayanan kuratif dan pelayanan rehabilitatif. Pelayanan kuratif merupakan upaya menstabilkan
kondisi
kejiwaan
pasien
mulai
dari
mendiagnosa,
pengurangan/pemulihan serta pengendalian. Dalam pelayanan kuratif ini sangat penting peran dari keluarga/masyarakat, kepala desa/lingkungan, kader kesehatan, dokter spesialis dalam mendukung keberhasilan stabilisasi ODGJ. Selain itu, dukungan fasilitas Pelayanan Kesehatan meliputi Puskesmas dan jejaring, klinik pratama, dan praktik dokter dengan kompetensi pelayanan Kesehatan Jiwa, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa; dan rumah perawatan. Pada Pelayanan Kuratif ODGJ ini, Beberapa hal yang sangat penting di perhatikan antara lain sebagai berikut :
Partisipasi masyarakat untuk melaporkan ODGJ terutama yang dipasung dan menyerahkan ke fasilitas kesehatan jiwa untuk dilakukan pemulihan atau stabilisasi kejiwaan. Dalam tahap ini sangat penting untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat terkait dengan ODGJ, untuk itu media sosialisasi ODGJ dan pasung sangat penting untuk dilakukan.
Selain partisipasi masyarakat, “Sistem Jemput Bola” dari tim kesehatan pemerintah daerah juga sangat penting, hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan kepada ODGJ.
Investigasi ODGJ dilakukan oleh Tim Kesehatan pemda yang Dokter spesialis, perangkat desa, petugas rumah sakit / puskesmas / dinas kesehatan untuk membebaskan dan memutuskan langkah rehabilitasi berikutnya.
Pemeriksaan kondisi ODGJ oleh dokter spesialis u ntuk menentukan system pengobatannya.
ODGJ dengan kondisi parah yang membahayakan diri sendiri/orang lain mendapatkan rujukan untuk perawatan penstabilan jiwa di Rumah sakit Jiwa atau rumah/pondok ODGJ sampai pada kondisi tertentu dan dapat dilakukan perawatan di rumah.
ODGJ dengan kondisi ringan yang tidak membahayakan diri sendiri/orang lain dapat dilakukan pengobatan dirumah. Pengobatan dirumah pada umumnya keluarga pasien mendatangi fasilitas kesehatan seperti rumah
24
sakit/puskesmas untuk memeriksaan secara rutIn dan pengambilan obat. Namun, pola seperti ini sering kali kurang efektif untuk keluarga miskin karena mereka sering kali terkendala dengan biaya tranportasinya ke fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, untuk kasus seperti itu,tim kesehatan dapat memberikan pelayanan antar obat ke pasien dan pemeriksaan rumah di rumah dengan melibatkan bidan desa / kader keswa. Rehabilitatif ODGJ sangat penting untuk mencegah atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi okupasional, dan mempersiapkan dengan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat. Beberapa hal yang sangat penting di perhatikan antara lain seba gai berikut :
ODGJ yang telah “sembuh/stabil” perlu di jaga supaya tidak “kambuh” kembali. Oleh karena itu, ODGJ yang telah sembuh tetap perlu mendapatkan
ruang
konsutasi
kejiwaan
serta
pengembangan
kepribadian. Konsultasi ini tentunya tidak hanya untukODGJ saja tetapi juga untuk keluarga dan lingkungannya.
ODGJ salah satunya disebabkan karena faktor “menganggur” dan tidak memiliki kesibukan. Olah karena itu, memberikan ketrampilan kepada ODGJ yang telah stabil menjadi sangat penting, sehingga mereka dapat mandiri dalam bermasyarakat.
Evaluasi pasien ODGJ secara berkala.
3.6 Sistem Pelayanan Kesehatan Jiwa
Dalam
menyelenggarakan
pelayanan
kesehatan
jiwa,
Pemerintah
membangun sistem pelayanan Kesehatan Jiwa yang berjenjang dan komprehensif. Sistem pelayanan Kesehatan Jiwa terdiri dari dari dua jenis yakni pelayanan Kesehatan Jiwa dasar dan pelayanan Kesehatan Jiwa rujukan. Pelayanan Kesehatan Jiwa dasar merupakan pelayanan Kesehatan Jiwa yang diselenggarakan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan umum di Puskesmas dan jejaring, klinik pratama, praktik dokter dengan kompetensi pelayanan Kesehatan Jiwa, rumah perawatan,
25
serta fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan dan fasilitas rehabilitasi berbasis masyarakat. Fasilitas Pelayanan Kesehatan meliputi Puskesmas dan jejaring, klinik pratama, dan praktik dokter dengan kompetensi pela yanan Kesehatan Jiwa, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan rumah perawatan. Sedangkan Pelayanan Kesehatan Jiwa rujukan meliputi pelayanan Kesehatan Jiwa di rumah sakit jiwa, pelayanan Kesehatan Jiwa yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan umum di rumah sakit, klinik utama, dan praktik dokter spesialis kejiwaan.
3.7 TATA LAKSANA GANGGUAN KEJIWAAN
Ada 7 Prinsip Tata Laksana Gangguan Kejiwaan: 1. Tepat diagnosis: sebelum mendiagnosis seyogyanya memeriksa dengan cermat apakah jenis gangguan kejiwaaan ini. Cari komorbiditas fisi k dan psikiatri yang ada. 2. Pemberian psikofarmaka : memilih obat perlu disesuaikan dengan karakteristik pasien, usia,, efek samping yang dapat ditimbulkan, potensial ketergantungan, factor keturunan yang pernah gangguan kejiwaan dan pengobatannya serta adanya interaksi obat. 3. Tepat dosis pemberian obat perlu diawali dengan dosis inisial yang tepat dan dapat ditingkatkan dengan dosis terapi. 4. Efek Samping Obat (ESO) : evaluasi dan monitoring perkembangan penyakit secara berkala perlu dilakukan selain untuk melihat kemajuan terapi, juga memonitor terjadinya efek samping obat baik jangka pendek,maupun efek samping jangka panjang pada saat rumatan. 5. Durasi : pemberian psikofarmaka dalam jangka waktu yang tidak singkat, sehingga perlu monitoring kepatuhan minum obat. Perlu waktu yang cukup sekitar 2 bulan untuk menentukan apakah o bat ini mempunyai efek ataukah perlu diganti atau di augmentasi.
26
6. Diskontiniu dan pemantauan: pada tahap ini meliputi pemantauan jangka panjang atas respon terapi. Bila sudah waktu untuk diturunkan maka perlu diperhatikan sindrom diskontinuitas agar tidak terjadi. 7. Psikoterapi dan psikoedukasi : pembrian psikoedukasi perlu dilakukan sejak awal pada setiap pasien sesuai dengan keadaan dan kebutuhan psikologisnya. Pskoterapi dilakukan pada pasien yang membutuhkan dapat dilakukan perencanaan terapi dan program terapi. Psikoterapi suportif harus dilakukan sejak awal kedatangan ke dokter sehingga akan membuat pasien lebih tenang. Obat – obat yang dipakai dalam menangani Gangguan Kejiwaan
Terapi psikofarmaka
Golongan Anti Psikotik: o
Haloperidol 2 mg, 5 mg (dd), injeksi 5 mg amp (i.v,i.m), injeksi long acting 50 mg untuk 1 bulan, tetes 1 ml-2 mg
o
Olanzapine tablet 10 mg, zydis 5 mg, 10 mg(1dd), injeksi 10 mg i.m
o
Risperidone tablet 2 mg, 3 mg (2dd), tetes 1 ml-1 mg, injeksi long acting 25mg, 37,5 mg, 50 mg (1xdalam 2 minggu)
o
Quetiapine tablet 25 mg, 100 mg, 200 mg, 300 mg, 400 mg (13dd), XR 50mg, XR 200 mg, XR 300 mg, XR 400 mg, XR 500 mg (1dd)
o
Aripiprazole tablet 10 mg, disamelt 5 mg, 10 mg (1dd), tetes 1ml-1mg/injeksi (9,75 mg/1,3 ml) im
Golongan Anti Depresan : o
Trisiklil : Amitiptilin 25 mg(1-2dd)
o
Tetrasiklik : Matroptilin 25 mg (1-2dd)
o
SSRI (Serotonine Selective Reuptake Inhibitor) :
Fluoxetine 20 mg (1dd)
Sertraline 50 mg (1dd)
Escitalopram 10 mg (1dd)
27
Golongan Anti Epilepsi : o
Fase Manik :
Lithium Carbonate tablet 200 mg, 400 mg (2dd) Natrium Divalproat tablet 250 mg, 500 mg (2dd), ER 250 mg, ER 500 mg (1dd)
o
Carbamazepine tablet 200 mg (2dd), CR 200 mg (1dd)
Fase Depresi : lamotrigine 50 mg, 100 mg
Golongan Anti Ansietas o
Klordiazepoxid 10-100 mg
o
Diazepam 20-40 mg
o
Lorazepam 1-10 mg
o
Alprazolam 0,5-4 mg
o
Bromazepam 3-60 mg
o
Klobazam 10-60 mg
o
Klonazepam 1-6 mg
o
Propranolol 20-120 mg
o
Buspiron 15-45 mg
28
Kuisioner: Stigma masyarakat mengenai kasus-kasus gangguan jiwa
Sebanyak 40 responden yang kami kumpulkan dan kami tanyai sat u persatu ternyata dari hasil survey kami sebanyak 90 % terbukti bahwa stigma masyarakat mengenai kasus gangguan jiwa ini masih mendominasi. Stigma yang terjadi di masyarakat: 70% gangguan jiwa terjadi karena gunaguna,santet dan penyakit kiriman orang,sementara 20% mengganggap gangguan ini karna kesambet roh halus dan 10% tidak ada tanggapan. Melalui kuisioner sebanyak 40 ini juga kami dapat menyimpulkan bahwa setelah mendapat pengobatan pada pasien gangguan jiwa yang kami tangani, kami dapati bahwa stigma ini mengalami penurunan karena mereka yang sebagai responden melihat perubahan yang signifikan dalam pengobatan gangguan jiwa ini. Kesimpulan ini kami ambil dari 40 responden yang sebelumnya masih memiliki stigma yang tinggi terhadap gangguan jiwa dan ha silnya sebanyak 38 dari mereka sudah menganggap bahwa gangguan jiwa ini ternyata dapat di obati.
29
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sebagian besar dari keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa, mereka merasa malu, mereka beranggapan ini adalah penyakit aib keluarga. Sehingga tidak bol eh orang tua dan berdampak pada penyakit pasien semakin parah karena tidak mau membawa ke puskesmas / ke dokter. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan sekali tidak mengucilkan, tidak menjauhi, diajak peran serta dalam kegiatan di masyarakat. Misalnya: gotong-royong, agar pasien tidak merasa minder, dan punya rasa percaya diri yang kuat. Informan memiliki stigma terhadap penderita skizofrenia ditinjau dari aspek sosial budaya dengan pendekatan model konseptual Madeleine Leininger. Proses stigma terjadi mulai labeling, stereotip, separation saja, tidak sampai kehilangan status (loss status) dan diskriminasi. Budaya yang dipertahankan yaitu Pemahaman agama dapat digunakan sebagai mekanisme yang memperkuat dalam merawat penderita skizofrenia. Membantu keluarga untuk menghilangkan persepsi negatif yang mengatakan bahwa dalam pendekatan agama sangat melarang menel antarkan, menyakiti dan menolak anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan, seperti skizofrenia. Negosiasi budaya yaitu intervensi keperawatan untuk membantu keluarga dalam hal pengobatan yang sesuai terhadap penderita skizofrenia. Bukan perawatan hanya memenuhi kebutuhan dasar seperti makan dan tidur, tidak melakukan pengobatan lanjutan, tidak mengontrol obat bahkan tidak memberi dukungan kepada penderita dengan alasan penderita tidak mengganggu masyarakat.
30
Restrukturisasi budaya dilakukan pada peril aku keluarga yang melihat kondisi penderita bila muncul gejala kekerasan akan melakukan pemasungan, merantai, mengucilkan bila tidak menerima kondisi penderita dengan perilaku yang tidak wajar dan bahkan menelantarkan penderita karena menganggap tidak produktif dan menambah masalah keluarga karena kekambuhan. Membawa penderita ke pengobatan tradisional seperti ke dukun yang seharusnya melakukan pengobatan terhadap penderita skizofrenia kepelayanan kesehatan jiwa.
4.2 Saran
Berdasarkan
hasil
makalah
yang
telah
diolah,
maka
penulis
mempunyai beberapa saran yang diharapkan dapat dipertimbangkan dan berguna bagi kita semua, yaitu: 1. Membangun rumah sakit jiwa mengingat di Banten ini dengan segitu banyak penduduk belum memiliki RS jiwa. 2. Dukungan penuh dari keluarga sangat dibutuhkan untuk proses penyembuhan terhadap pasien jiwa. 3. Peran serta masyarakat akan sangat membantu dalam mengatasi masalahmasalah kesehatan jiwa.
31
DAFTAR PUSTAKA
Colucci, E. 2013. Breaking The Chains, Human Right Violations Againts People with Mental Illness, Thesis, Faculty of Humanities, School of Social Science, Granada Center for Visual Anthropology, University of Manchester Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta; EGC Tyas, Tri Hayuning. 2008. PASUNG Family experience of dealing with “the deviant“ in Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, Thesis, Amsterdam Master’s in Medical Anthropology Faculty of Social and Behavioral Science University of Amsterdam. Wardhani, Y.F., dkk. 2011. Model Eliminasi Pasung, Laporan Penelitian 2011 Surabaya: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Videback, Sheila.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta; EGC Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2010. Dinas Kesehatan Provinsi Banten 2017. Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang 2017
Ahmedani, B. K. (2011). Mental Health Stigma: Society, Individuals, and the Profession. National Institutes of Health. J Soc Work Values Ethics. 8 (2): 4-1-4-16 Amelia, D. & Anwar, Z. (2013). Relaps Pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. No. 01 Vol. 01. Hal 52-64 Ariananda, R. E. (2015) Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Skizofrenia. Skripsi. Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Uiversitas Negeri Semarang Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, (2013) . Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Claire, L., O’Reilly, J., Simon, B., Patrick, J., Kelly, Timothy, F. & Chen. (2015). Exploring the relationship between mental health stigma, knowledge and
32
provision of pharmacy services for consumers with schizophrenia. Journal Social and Administration Pharmacy, Autralia. University of Sydney Daniel, P. G., Fernando, M. & Arjan, E. R. B. (2015). Internalized mental illness stigma and subjective well-being: The mediathing role of psychological well-being. Journal Psychiatry. Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved Dinas kesehatan Kabupaten Pidie. (2016). Laporan Tahunan Kesehatan Jiwa, Bagian penanganan program kesehatan jiwa Kapungwe, A., S Cooper., J Mwanza., L Mwape., A Sikwese., R Kakuma., C Lund., AJ Flisher. & MhaPP Research Programme Consortium. (2010). Mental illness – stigma and discrimination in Zambia. African Journal of Psychiatry, Vol. 13 192-203 Lestari, W. & Wardhani, Y. F. (2014). Stigma Dan Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Berat Yang DiPasung . Naskah publikasi. Surabaya. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Li, Y. S., Chang, L. Y., Chaiw, Y. S., Chih, Y., Lin, Ming, J. & Yang. (2005). Community Attitude Toward The Mentally Ill : The Result of A National Survey Of The Thaiwanese Population. International Journal of Social Psychiatry, vol 51 (2) 174-188 Paul, H.L., Louanne, W. D., Debbie, M. W., Amy, S. & Nicole, B., (2006). Stigma, Social Function and Symptoms in Schizophrenia and Schizoaffective Disorder : Associations across 6 months. Elsevier Psychiatry Research, 149 89-95 Stuart, G. W., (2009). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart, Edisi Indonesia pertama; Budi Anna Keliat dan jesika Pasaribu. Singapore . Elsevier Tomey, M.A., & Alligood, M. R. (2006). Nursing Treorists and Their Work , St. Louis Missouri, Mosby Elsevier. Valerie, S., Jairus, R., Kenneth, F., Edward, T., Asbury & Jennifer, B. (2011). Public Perception, Knowledge and Stigma towards People with Schizophrenia. Journal of Public Mental Health, Vol.10 Iss: 1 pp.45-56
33
Lampiran Kuisioner : Stigma Masyarakat Mengenai Kasus-Kasus Gangguan Jiwa
Suatu keadaan dimana keluarga (anggota keluarga), sanak saudara mengalami gangguan kejiwaan yang terjadi tiba-tiba/berangsur-angsur antara lain sering mendengar bisikan, mengamuk tanpa ada sebab yang jelas, tidak bias diam, selalu curiga melihat orang lain, menarik diri dari dunia luar, mengurung diri, berbicara sendiri tanpa ada lawan bicara dan berperilaku tidak wajar. 1. Menurut anda apakah hal di atas merupakan suatu penyakit medis/kelainan yang secara medis dianggap suatu penyakit? a. Ya b. Tidak 2. Apakah kelainan tersebut merupakan hal yang gaib/mistis/kiriman dari orang yang bermaksud menyakiti anda? a. Ya b. Tidak 3. Apakah orang yang mengalami gangguan tersebut harus diasingkan/dikurung/dipisahkan dari keluarga? a. Ya b. Tidak 4. Apakah orang yang menderita keadaan tersebut diatas tidak bisa diata si dengan penanganan medis? a. Ya b. Tidak 5. Jika anda mengetahui bahwa ada orang di sekitar anda yang menderita penyakit demikian, apakah anda membawa orang tersebut ke dukun/kiayi/orang “pintar” lainnya daripada ke pelayanan/pusat kesehatan? a. Ya b. Tidak
34
MAKALAH MERUBAH STIGMA KELUARGA DAN MASYARAKAT TERHADAP PASIEN GANGGUAN JIWA DI UPT PUSKESMAS CARITA
DISUSUN OLEH
Dr. Immanuel Pasaribu NIP .198105012009021003
UPT PUSKESMAS CARITA 2018
35
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmatnya kepada saya sebagai penyusun bisa menyelesaikan bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “ CARA PANDANG / STIGMA KELUARGA DAN MASYARAKAT TERHADAP PASIEN GANGGUAN JIWA DI UPT PUSKESMAS CARITA”. Untuk itu saya sebagai penyusun,mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan suportnya selama ini. Saya menyadari, makalah yang saya buat jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu,saya sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, guna menghasilkan suatu makalah yang baik. Saya berharap, makalah yang saya susun ini bisa memberikan manfaat dan inspirasi bagi siapa saja yang membacanya.
Carita,
April 2018
Dr. Immanuel Pasaribu
36
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... DAFTAR ISI .......................................................................................... BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................ 1.2 Tujuan Penulisan ......................................................... 1.2.1 Tujuan Umum ................................................. 1.2.2 Tujuan Khusus ................................................ 1.3 Masalah ...................................................................... 1.4 Sistematika Penulisan ................................................. BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Kesehatan jiwa ......................................... 2.2 Pengertian Gangguan jiwa ......................................... 2.3 Stigma Gangguan Jiwa di Keluarga .......................... 2.4 Stigma Gangguan Jiwa di Masyarakat ...................... BAB III PEMBAHASAN 3.1 Dampak Stigma Gangguan Jiwa ................................ 3.2 Penanganan Stigma di Keluarga ................................ 3.3 Penanganan Stigma di Masyarakat ............................ 3.4 Stigma Pasung Dalam Masyarakat ………………….. 3.5 Inovasi Bebas Pasung Pemerintah Daerah …………... 3.6 Sistem Pelayanan Kesehatan Jiwa …………………… 3.7 Tata Laksana Gangguan Kejiwaan …………………... BAB III PENUTUP 4.1 Kesimpulan ............................................................... 4.2 Saran .......................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ Lampiran Kuisioner ...............................................................................
37
i ii 1 2 2 2 2 5 6 7 8 9 11 12 12 14 20 22 22 25 25 26 28