LAPORAN PENDAHULUAN NEFRITIS LUPUS
A. PENGERTIAN Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus eritomatosus sistemik (LES). Diagnosis klinis nefritis lupus di tegakkan bila pada LES terdapat tanda-tanda proteinuria dalam jumlah lebih atau sama dengan 1 gram/24 jam atau dengan hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau dengan penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Nefritis lupus adalah suatu proses inflamasi ginjal yang disebabkan oleh Sistemik Lupus Erithematosus, yaitu suatu penyakit autoimun (Sharon moore, 2008). Selain ginjal, SLE juga dapat merusak kulit,sendi, system saraf dan hampir semua organ dalam tubuh. B. ETIOLOGI 1. Faktor genetik Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) . Faktor genetik mempunyai mempun yai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembarn non-identik (2-9%). 2. Faktor lingkungan a. Infeksi Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang lain pernah sakit herpes zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varisela, virus yang juga menjadi penyebab dari penyakit cacar air (variscela atau chiken pox). b. Antibiotik Hormon Kurang lebih dari 90% dari penderita SLE adalah wanita. Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mungkin menjadi latar belakang timbulnya lupus. c. Faktor sinar matahari Adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus. Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimmun. Tetapi bukan berarti bahwa p enderita hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 WIB dan disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti Indonesia, merupakan faktor
pencetus kekambuhan bagi para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan di bagian muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal terhadap sinar matahari. d. Stres yang berlebihan e. Obat-obatan yang tertentu
Nefritis lupus terjadi ketika antibodi (anitnuklear antibodi) dan komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya proses peradangan. Hal tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik (eksresi protein yang besar) dan dapat progresi cepat menjadi gagal ginjal. Produk nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah. Systemic lupus erythematosus (SLE) menyerang berbagai struktur internal dari ginjal , meliputi nefritis interstitial dan glomerulonefritis menbranosa. Nefritis lupus mengenai 2 dari 10 ribu orang. Pada anak dengan SLE, sekitar setengahnya akan mengakibatkan terjadinya progresifitas menjadi gagal ginjal. SLE paling sering terjadi pada wanita usia 20-40 tahun. C. PATOFISIOLGI Respon autoantibodi pada LES tampaknya terarah terhadap nukleosom yang terbentuk dari sel apoptotik. Pasien dengan LES memiliki mekanisme klirens seluler yang buruk. Debris nuklear dari sel apoptotik menginduksi interferon-alfa melalui sel-sel dendritik plasmasitoid, yang merupakan induser sistem imun dan autoimunitas. Pada LES, limfosit B autoreaktif yang secara normal tidak aktif menjadi aktif karena malfungsi mekanisme homeostasis normal, sehingga autoantibodi diproduksi. Autoantibodi lain, termasuk anti-dsDNA terjadi lewat suatu proses penyebaran epitop. Autoantibodi ini akan bertambah banyak seiring waktu secara bertahap, beberapa bulan sampai tahun sebelum onset LES klinis. Lupus nefritis terkait dengan produksi auto antibodi nefritogenik dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Antigen secara spesifik adalah nukleosom atau dsDNA : beberapa antibodi dsDNA bereaksi silang dengan membran basal glomerulus. 2. Autoantibodi yang berafinitas tinggi dapat membentuk kompleks im un intravaskular, yang menumpuk dalam glomerulus. 3. Autoantibodi kationik memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan membran basal glomerulus yang bersifat anionik. 4. Autoantibodi isotop tertentu (IgG1 dan IgG3 ) dapat mengaktivasi komplemen. Kompleks imun terbentuk intravaskular dan kemudian diendapkan dalam glomeruli. Selain itu, autoantibodi dapat berikatan langsung dengan protein pada membran basal glomerulu s (yang kemungkinan adalah α-aktinin) dan membentuk kompleks imun in situ. Kompleks imun mencetuskan respons inflamasi dengan mengaktivasi komplemen dan menarik sel-sel radang, termasuk limfosit, makrofag dan netrofil. Tipe histologis dari nefritis lupus yang terjadi tergantung dari berbagai faktor, termasuk spesifisitas antigen dan sifat lain autoantibodi serta tipe respons inflamasi yang ditentukan oleh faktor-faktor host lainnya. Pada bentuk yang berat dari
nefritis lupus, proliferasi sel endotel, mesangial dan epitel serta produksi matriks protein dapat berakhir pada fibrosis. Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap hipertensi atau hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering pada pasien dengan nefritis lupus difus proliferatif atau membranosa, karena kedua lesi renal ini terkait dengan proteinuria berat. Gejala lain yang terkait langsung dengan hipertensi akibat nefritis lupus proliferatif difus termasuk sakit kepala, pusing, gangguan visual dan tanda-tanda gagal jantung D. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi manifestasi kelainan ginjalnya sendiri dan kelainan di luar ginjal seperti gangguan system Sistem Saraf Pusat, system hematologi, persendian dan lainnya. Manifestasi ginjal berupa proteinuri didapatkan pada semua pasien , sindrom nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penur unan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada 30% pasien. Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam, hematokrit 2.4 mg/dl, dan kadar C3 < 76 mg/dl. Gejala klinis NL yang dapat ditemukan sesuai klasifikasi sesuai kalsifikasi histopatologi sebagai berikut : 1. Proteinuria tanpa kelainan pada sedimen urin. 2. Proteinuria tanpa kelainan pada sedimen urin. 3. Hematuria mikroskopik dan atau proteinuria tanpa hipertensi dan tidak pernah terjadi sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal . 4. Hematuria dan proteinuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan pada sebagian pasien ditemukan hipertensi, sindrom nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal. 5. Hematuria dan proteinuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ditemukan pada hampir seluruh pasien . 6. Sindrom nefrotik ditemukan pada seluruh pasien, sebagian dengan hematuri atau hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun.
E. KLASIFIKASI NEFRITIS LUPUS 1. Glumeruli Normal a. Normal dengan sesuai tekhnik pemeriksaan. b. Normal dengan mikroskop cahaya, akan tetapi di temukan deposit dengan cara imunohistologi dan/atau dengan mikroskop elektron.
2. Perubahan pada mesangial a. Pelebaran mesangial dan atau dengan hiperselular ringan b. Proliferasi sel mesangial. 3. Focal segmental glomerulonefritis (dengan perubahan ringan/sedang mesangial, dan/atau deposit epimembran segmental). a. Lesi nefrotik aktif. b. Lesi sklerotik aktif. c. Lesi sklerotik. 4. Glomerulo nefritis difus (deposit luas mesangial/mesangial kapiler dan subendotel) a. Dengan lesi segmental b. Dengan lesi nefrotik aktif c. Dengan lesi sklerotik aktif d. Dengan lesi sklerotik 5. Glomerulonefritis membranosa difus, murni glomerulonefritis membranosa. F. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1) ANA titer 2) Basal urea nitrogen dan kreatinin 3) Tes lupus 4) Urinalisis 5) Urine immunoglobulin rantai pendek. G. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan medis dari nefritis interstitial tergantung pada penyebab dan klasifikasi dari nefritis interstitial apakah termasuk kronis atau akut. Penatalaksanaan medis pada pasien dengan gangguan nefritis interstitial antaralain: 1. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik tubulointerstitial nefritis akut akan menunjukkan adanya ruam pada kulit. Namun, ruam akan sangat bervariasi. Adanya ruam ini akan dapat menjadi bukti untuk mendukung etiologi alergi dari insufisiensi ginjal akut. Pemeriksaan fisik tubulointerstitial nefritis kronis akan menunjukkan adanya perubahan tekanan darah secara signifikan. Perubahan eliminasi urine dengan adanya hematuria. 2. Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menghitung sel darah lengkap dengan diferensial didapatkan eosinofilia. Pada pemeriksaan kimia darah, pemer iksaan BUN dan kreatinin serum akan memberikan informasi apakah ada insufisiensi ginjal. Tingkat bikarbonat yang rendah (CO2 <23-24 mEq/L) dapat menunjukkan asidosis. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis, akan mengungkapkan proteinuria, hematuria, dan adanya sel darah putih dengan atau tanpa bakteri. Analisis mikroskopis dari sedimen urine dapat mengungkapkan adanya peningkatan sel darah putih, eosinofil, dan kristal. b. Studi Imaging Studi imaging seperti, USG akan sangat membantu dalam mengidentifikasi hidronefrosis pada penyakit obstruktif, serta penyakit batu di saluran kemih. Selain USG, CT Scan juga akan memberikan informasi yang serupa dengan pemindaian USG dalam hasil pemeriksaan penyakit ginjal, umumnya dengan resolusi lebih besar. c. Biopsi Ginjal Biopsi ginjal merupakan pemeriksaan definitif untuk mendiagnosis nefritis interstitial akut. Diagnosis diferensial tubulointerstitial nefritis akut meliputi beberapa etiologi, termasuk nekrosis tubular akut, glomerulonefritis akut, vaskulitis, dan penyakit atheroembolik. Biopsi ginjal menunjukkan infiltrasi mononuklear dan sering seluler eosinofilik dari parenkim ginjal dengan hemat dari glomeruli. H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN 1. Pendidikan terhadap pasien Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit. 2. Monitoring yang teratur. 3. Penghematan energi Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup. 4. Fotoproteksi Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
5. Mengatasi infeksi Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya. 6. Menyarankan untuk rencana kehamilan Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif. I.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan SLE adalah: 1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit, kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas atau tingkat toleransi yang rendah. 2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, r asa nyeri, tidur/aktivitas yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai dan depresi/stres emosional. 3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik, kurangnya atau tidak tepatnya pemakaian alat-alat ambulasi. 4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang diakibatkan oleh penyakit kronik. J. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit, kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas atau tingkat toleransi yang rendah.
Intervnesi NOC Setelah dilakukan tindakkan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil: Skala nyeri berkurang TTV dalam batas normal Kegelisahan berkurang
NIC
Rasional
Kolaborasi Menggunakan pemberian analgetik agens dan kaji skala nyeri farmakologi untuk meredakan atau menghilangkan Ukur TTV pasien nyeri Mengetahui Observasi respon perubahan TTV nonverbal dari pasien ketidaknyamanan Mengetahui respon pasien terhadap nyeri
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, tidur/aktivitas yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai dan depresi/stres emosional.
Setelah dilakukan tindakkan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan keletihan teratasi dengan kriteria hasil: Glukosa darah adekuat Kecemasan menurun Istirahat cukup
Monitor nutrisi dan . Mengontrol sumber energi yang asupan nutrisi adekuat pasien untuk mengurangi Kaji tingkat keletihan kecemasan pasien . Mengetahui apakah pasien cemas untuk Monitoring pola tidur mengurangi dan lamanya tidur/ keletihan istirahat pasien . Mengetahui apakah istirahat/ tidur pasien cukup
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik, kurangnya atau tidak tepatnya pemakaian alat-alat ambulasi.
Setelah dilakukan tindakkan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkanpasien menunjukkan mobilitas fisik dengan kriteria hasil: Mampu berpindah dari tempat duduk ke kursi TTV normal saat dan setelah beraktivitas Mampu melakukan kebutuhan ADL secara mandiri
Latih pasien Melatih pasien berpindah dari tempat untuk berpindah tidur ke kursi untuk menghindari dissus atrofi. Ukur TTV pasien saat Mengetahui dan setelah perubahan TTV beraktivitas pasien saat dan setelah pasien beraktivitas Latih pasien dalam Memandirikan pemenuhan pasien dalam kebutuhan ADL memenuhi secara mandiri kebutuhan ADL
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang diakibatkan oleh penyakit kronik.
Setelah dilakukan tindakkan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkanpasien dapat menerima keadaan tubuhnya dengan kriteria hasil: Body image positif
Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
Mengetahui apakah body image pasien positif atau tidak Membantu pasien untuk mempertahankan
Mempertahankan Dorong klien interaksi sosial mengungkapkan Mendeskripsikan perasaannya secara faktual perubahan fungsi tubuh
interaksi sosialnya Mendorong pasien untuk mengungkapkan secara faktual tentang perasaannya terhadap perubahan fungsi tubuh
DAFTAR PUSTAKA
Corwin,elizabeth, J. (2001). Buku Saku Patofisiologi . Jakarta: EGC Bare & Suzanne. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah , Volume 2. Jakarta: EGC Endokrinologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR RSU Dr. Soetomo Surabaya Antono D, Kisyanto Y. (2009). Penyakit Jantung Tiroid. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. edisi 5. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. (2011). Profesional Guide of Pathophysiology Dalam: Hartono A, editor. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC Guyton AC, Hall JE. (2007). Textbook of Medical Physiology. Dalam : Rachman LY, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC Sherwood L. (2001). Human Physiology : From Cell To Systems. Dalam : Santoso BI, Editor. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC