LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS
disusun guna memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Ners (PPPN) Stase Keperawatan KMB di Ruang Seruni RSD dr. Soebandi Jember
oleh Ririn Halimatus Sa’diah, S.Kep NIM 092311101048
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2014
LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS oleh: Ririn Halimatus Sa’diah, S.Kep
I. KONSEP TEORI 1. Kasus
Fraktur Cruris 2. Proses terjadinya masalah a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringau tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doengoes, 1999). Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai tipe dan luasnya. Fraktur terjadi ketika tulang diberikan stres lebih besar dari kemampuannya untuk menahan (Sapto Harnowo, 2001). Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula. fibula. Fraktur cruris cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula (Brunner & Suddart, 2000). b. Klasifikasi Fraktur
Ada 2 tipe dari tipe dari fraktur cruris diantara adalah sebagai berikut: 1) Fraktur intra capsuler : yaitu terjadi dalam tulang sendi panggul dan captula. Contoh (Kapital fraktur, dibawah kepala femur, melalui ekstra kapsuler)
2) Fraktur ekstra kapsuler Terjadi diluar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih besar atau yang lebih kecil pada daerah intertrokanter. Terjadi di bagian distal menuju leher cruris tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokanter terkecil. Selain 2 tipe diatas ada beberapa klasifikasi fraktur diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi : a. Fraktur complete, dimana tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih.
Gambar 1. Tipe fraktur
b. Fraktur incomplete (parsial) Fraktur incomplete terbagi lagi menjadi 1. Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di tempat, biasa terjadi di tulang pipih 2. Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius, ulna, clavikula dan costae. 3. Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam. 2) Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang: a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-100 0 dari sumbu tulang)
b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<80 0 atau >1000 dari sumbu tulang) c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur. 3) Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur : a.
Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat anatomisnya
b. Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya. 4) Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar. a.
Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: 1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya. 2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. 3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. 4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang sehingga cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi. fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu : Derajat I
Luka kurang dari 1 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
Kontaminasi ringan.
Derajat II
Laserasi lebih dari 1 cm
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
Fraktur komuniti sedang.
Derajat III Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
c. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Trauma Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada tempat yang terkena, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu: a. Trauma langsung. Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut. b. Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. 2) Fraktur Patologis Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau osteoporosis. 3) Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan. Tulang juga bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut tidak mampu mengabsorpsi energi atau kekuatan yang menimpanya. 4) Spontan Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
5) Fraktur tibia dan fibula Terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras. Fraktur tibia dan fibula secara umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat dan sering dikait dengan gangguan kesejajaran.
d. Patofisiologi
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini merupakan keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkn syok neurogenik (Mansjoer, 2002). Kerusakan pada system persyarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera. Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah, kedalam jaringan lemak tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati di mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yg disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tuulang baru mengalmi remodelling untuk membentuk tulang sejati (Mansjoer Arief, 2002).
e. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
(Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk: 1) Deformitas Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti rotasi pemendekan tulang dan penekanan tulang 2) Bengkak Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur 3) Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan. 4) Kehilangan
sensasi
(mati
rasa,
mungkin
terjadi
dari
rusaknya
saraf/perdarahan), pergerakan abnormal, dan shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus fraktur antara lain sebagai berikut: 1) Foto Rontgen Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung dan Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik. 2) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. 3) Artelogram bila ada kerusakan vaskuler 4) Tekhnik lain a. Tomografi Menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. c. Arthrografi Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. d. Computed Tomografi-Scanning Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
g. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi. 1) Rekognasi Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih parah. Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala
menunjukkan
perlunya
evaluasi
radiografik ,
yang
dapat
memperlihatkan fraktur tulang belakang bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya. 2) Traksi Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu: a. Skin Traksi Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam). b. Skeletal traksi Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada
sendi
panjang
untuk
mempertahankan
bentuk
dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang. 3) Reduksi Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu: a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Reduksi fraktur ( setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation) Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. T etapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi
yang paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang. 4) Imobilisasi Fraktur Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
h. Biologi penyembuhan tulang
1) Biologi penyembuhan tulang Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: a. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. b. Stadium Dua-Proliferasi Seluler Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua
fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya. c. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus Sel – sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. d. Stadium Empat-Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. e. Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993).
i.
Komplikasi
1) Komplikasi Awal a) Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. b) Kompartement Syndrom Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. c) Fat Embolism Syndrom Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan
gangguan
pernafasan,
tachykardi,
hypertensi,
tachypnea, demam. d) Infeksi System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. e) Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock Shock meningkatnya
terjadi
karena
permeabilitas
kehilangan kapiler
yang
banyak bisa
darah
dan
menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. 2) Komplikasi Dalam Waktu Lama a) Delayed Union Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang. b) Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang. c) Malunion Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. (Black, J.M, et al, 1993)
III ASUHAN KEPERAWATAN a. Pengkajian
1. Pengumpulan Data a.
Anamnesa 1) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. 2) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan (PQRST): a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. b)
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c)
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d)
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. e)
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang harin (Ignatavicius, Donna D, 1995)
3) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). 4) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik
dan
juga
diabetes
menghambat
proses
penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995). 5) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995). 6) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995). 7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995). b) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab
masalah
muskuloskeletal
dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang
merupakan
faktor
predisposisi
masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. c) Pola Eliminasi Perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak d) Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999). e) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur
dibanding
pekerjaan
yang
lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995). f) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995). g) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995). h) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu
juga
pada
kognitifnya
tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995). i) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995). j)
Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995). k)
Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
b. Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. 1) Gambaran Umum Perlu menyebutkan: a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti: (1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. (2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. (3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin (1) Sistem Integumen Adakah
erytema,
suhu
sekitar
daerah
trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan. (2) Kepala Adakah gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala. (3) Leher
Adakah
gangguan
yaitu
simetris,
tidak
ada
penonjolan, reflek menelan ada. (4) Muka Apakah wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. (5) Mata Adakah gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan) (6) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Adakah lesi atau nyeri tekan. (7) Hidung Adakah deformitas, pernafasan cuping hidung. (8) Mulut dan Faring Adakah pembesaran tonsil, gusi terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. (9) Thoraks Adakah pergerakan otot intercostae, gerakan dada. (10) Paru (a) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. (b) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (c) Perkusi Adakah suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi Adakah Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. (11) Jantung (a) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung. (b) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (c) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. (12) Abdomen (a) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. (b) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (c) Perkusi Suara
thympani,
ada
pantulan
gelombang
cairan. (d) Auskultasi Peristaltik usus normal 20 kali/menit. (13) Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. 2) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: (1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (b) Cape au lait spot (birth mark). (c) Fistulae. (d) Warna
kemerahan
atau
kebiruan
(livide)
atau
hyperpigmentasi. (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). (f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) (2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah: (a) Perubahan
suhu
disekitar
trauma
(hangat)
dan
kelembaban kulit. (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. (c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan
terhadap
dasar
atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. (3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif (Reksoprodjo, Soelarto, 1995) c. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan Radiologi Sebagai
penunjang,
“pencitraan”
pemeriksaan
menggunakan
sinar
yang rontgen
penting (x-ray).
adalah Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: a) Bayangan jaringan lunak. b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti: (1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. (2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. (3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. (4) Computed potongan
Tomografi-Scanning: secara
transversal
dari
menggambarkan tulang
dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. 2. Pemeriksaan Laboratorium a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 3. Pemeriksaan lain-lain a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur. d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan. e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut: 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan) 2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang 3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik 4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma destruksi jaringan tulang 5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
c. Intervensi Keperawatan
No . 1.
Diagnosa Keperawatan Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan)
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC: pain level dan pain control Kriteria Hasil: - Pasien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri dan mampu menggunakan tehknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri) - Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi dan Rasional NIC:Pain Managament 1.1 lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas) Rasional : mengetahui skala nyeri yang dirasakan pasien 1.2 kontrol lingkungan pasien yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan Rasional : memberikan kenyamanan bagi pasien 1.3 ajarkan tentang tekhnik non farmakologi seperti teknik relaksasi nafas dalam Rasional : mengalihkan rasa nyeri yang dirasakan pasien 1.4 berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri Rasional : mengurangi rasa nyeri pasien 1.5 tingkatkan istirahat Rasional : manajemen energi pasien 1.6 evaluasi keefektifan control nyeri Rasional : mengevaluasi hasil tindakan dan menentukan intervensi lanjutan
2.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
OC: joint movement dan mobility level riteria Hasil: - Peningkatan aktivitas pasien - Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi
NIC:Exercise therapy (ambulation) 2.1 monitor vital sign sebelum dan sesudah latihan Rasional : mengetahui kondisi pasien secara umum 2.2 kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi Rasional : mengetahui kemampuan pasien 2.3 dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan sehari hari pasien (ADLS) Rasional : mencegah terjadinya cedera 2.4 berikan alat bantu jika pasien membutuhkan Rasional : memberikan keamanan bagi pasien 2.5 ajarkan pasien bagaimana mengubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan Rasional : mencegah cedera pada pasien
3.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik
4.
Resiko infeksi OC: immune status, berhubungan and risk control dengan trauma riteria Hasil: destruksi - Klien bebas dari tanda jaringan tulang dan gejala infeksi - Jumlah leukosit dalam batas normal
NOC: tissue integrity (skin and mocus membranes) Kriteria Hasil: - Tidak ada luka, lesi pada kulit - Perfusi jaringan baik - Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperature, hidrasi pigmentasi)
NIC: Pressure Management 3.1 jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering Rasional : menghindari terjadinya infeksi 3.2 mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali Rasional : mencegah luka dekubitus 3.3 monitor kulit aka adanya kemerahan Rasional : memantau tandatanda infeksi 3.4 oleskan lotion atau minyak pada daerah yang tertekan Rasional : mencegah luka dekubitus 3.5 monitor status niutrisi pasien Rasional : membantu pemulihan
NIC: Infection Control 4.1 monitor vital sign pasien Rasional : mengetahui kondisi umum pasien 4.2 batasi pengunjung Rasional : mengurangi resiko infeksi 4.3 cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan Rasional : tindakan aseptik untuk mencegah terjadinya infeksi 4.4 pertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat
Rasional : mengurangi resiko infeksi 4.5 tingkatkan intake nutrisi Rasional : meningkatkan status imun pasien
5.
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
OC: Anxiety self control, coping riteria Hasil: - Pasien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas - Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tekhnik untuk mengontrol cemas Vital sign dalam batas normal
NIC: anxiety reduction 5.1 gunakan pendekatan yang menenangkan Rasional : memberikan rasa nyaman pada pasien 5.2 jelaskan semua prosedur dan apa yang yang dirasakan selama prosedur Rasional : menurunkan rasa cemas pasien 5.3 dengarkan dengan penuh perhatian Rasional : memberikan penghargaan pada pasien 5.4 identifikasi tingkat kecemasan Rasional : mengetahui tingkat cemas yang dirasakan pasien 5.5 instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi Rasional : mengurangi rasa cemas pasien
Daftar pustaka
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 10. Jakarta: EGC. Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach. W.B. Saunder Company. Mansjoer, Arif. dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapsis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Marilynn, Doenges. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3. Jakarta: EGC. NANDA. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA, 2005-2006 Definisi & Klasifikasi. Philadelphia, NANDA International.
Price, Sylvia. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC. Reeves. Charlene. J. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika. Smeltzer, Susanne. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth, Ed. 8. Jakarta : EGC. Syamsuhidajat, R & Jong, D.W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 2). Jakarta: EGC