v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Alhamdulillah
Kupanjatkan kepada ALLAH SWT atas segala rahmat dengan kesempatan untuk menyelesaikan laporan akhir praktikum Geologi Struktur dengan segala kekuranganku. Segala syukur aku ucapkan kepada-Mu karena telah menghadirkan mereka yang selalu memberi semangat dan doa disaat kutertatih, karena-Mu lah tugas laporan akhir praktikum geologi struktur ini terselesaikan. Hanya pada-Mu tempat kumengadu dan mengucapkan syukur.
Kepada Ayah dan Ibu tersayang, tugas laporan akhir ini ibel persembahkan. Tiada yang bisa menggantikan segala sayang, usaha, semangat, dan juga uang yang telah dicurahkan untuk penyelesaian tugas akhir ini . Teruntuk adik adik ( Habil, Diva, Diki ) yang menyebalkan, tugas laporan akhir ini kakak persembahkan untuk jadi motivasi dan pengingat semangatmu. Luluslah lebih cepat dan lebih baik dari kakakmu ini ya. (walau kakak agak meragukan itu) .
Kepada para Dosen dan Asisten-asisten dosen yang telah membimbing saya selama proses kegiatan perkuliahan dan praktikum di laborratorium. Saya ucapkan terimakasih atas ilmu, nasihat, dan cerita yang telah bapak/ ibu atau abang- abang senior beri pada saya. Terimakasih atas kesabaran nya selama masa membimbing saya walau saya banyak kekurangan dan kelalaian.
Segelas coklat untuk kalian para sahabat yang selalu menghangatkan hidupku dan memberikan semburan warna ditugas laporan kahir ini. Kalian yang selalu ada walau tidak sampai akhir disetiap langkahku (Riduan, Musriyono, Maria, Regi, Ranty, Fipty, Iwan, dan Lisa). Tanpa kalian tugas laporan akhir ini akan terasa seratus kali lebih berat untuk diselesaikan. terimakasih yang takkan pernah habis untuk kalian yg telah meciptakan sebuah cerita denganku dikota ini. Cerita tentang 7 bidaduri yang ada disetiap sudut sekolah kita akan selalu terkenang selamanya. Kalian adalah keluarga dan rumah kedua bagiku.
Untuk kamu yang selalu ada disetiap cerita (Suryono Hardy P.Sianturi). Untuk kamu yang selalu menjadi alasanku tersenyum dan terus melangkah walau goyah untuk terus berusaha dan pantang menyerah. Teruntuk kamu yang selalu mendampingi dikala susah maupun senang. Teruntuk kamu yang selalu berbagi cerita dan tawamu. Aku berterimakasih kepadaNya kerena telah mengizinkanmu untuk menemaniku sampai sekarang ini.
Kebahagian bukanlah berasal dari sekeliling kamu
Tetapi kebahagian berasal dari kamu dan pikiran kamu (Hitam Putih)
Bukanlah suatu aib jika kamu gagal dalam suatu usaha, yang merupakan aib adalah jika kamu tidak bangkit dari kegagalan itu (Ali bin Abu Thalib)
Bermimipilah maka Tuhan akan memelukmu (Ara)
Teruslah berusaha walau sekelilingmu meragukan kamu. Teruslah tersenyum karena orang-orang yang kamu sayang menginginkan senyummu. Teruslah bersinar untuk mereka yang ada dikegelapan. Dan percayalah tuhan tidak akan mengubah nasib kaumnya tanpa usaha kaum itu. Teruslah melangkah karena orang-orang yang menyayangimu akan selalu menopangmu.
Gombal itu alami buat kalian yang hidup di era gombalisasi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur saya ucapkan kehadiran Allah SWT, sebagai penguasa alam yang memberikan sentuhan indah dan mengilhami dalam setiap langkah nadi jiwa bersama nikmat dan karunia Nya yang tak ternilai, sebagai Laporan Resmi Prinsip Stratigrafi ini dapat penulis selesaikan pada waktunya.
Semoga laporan resmi ini dapat membantu dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan yang dapat di terapkan dan di manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya bagi mahasiswa dan bagi masyrakat pada umumnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung dalam pembuatan laporan akhir ini. Adapun pihak-pihak yang telah berjasa dalam pembuatan laporan ini di antaranya :
Bapak Budi Prayitno, ST,MT
Team Asisten Dosen
Orang Tua / Wali
Dan Teman-teman sekalian
Penulis menyadari bahwa dalam uraian dan penjelasan materi masih banyak kekurangan dan kesalahan. Penulis mengharapkan partisipasi pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan resmi ini. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Pekanbaru, 27 Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN i
HALAMAN PERSEMBAHAN ii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL viii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.2 LATAR BELAKANG 1
1.3 TUJUAN 1
BAB II PENGENALAN PRINSIP STRATIGRAFI 2
2.1 DASAR TEORI 2
2.2 TUGAS 10
2.3 KESIMPULAN 11
BAB III LITOSTRATIGRAFI DAN BIOSTRATIGRAFI 12
3.1 DASAR TEORI 12
3.2 TUGAS 16
3.3 KESIMPULAN 17
BAB IV KORELASI STRATIGRAFI 18
4.1 DASAR TEORI 18
4.2 TUGAS 22
4.3 KESIMPULAN 23
BAB V PENGUKUR PENAMPANG STRATIGRAFI 24
5.1 DASAR TEORI 24
5.2 KESIMPULAN 32
BAB VI KULIAH LAPANGAN PS 33
A. PENDAHULUAN 33
B. PEMBAHASAN 67
DAFTAR PUSTAKA 77
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ilustrasi Hukum Superposisi
Gambar 2. Ilustrasi Hukum Horizontality
Gambar 3. Ilustrasi Pemancungan
Gambar 4. Perubahan Muka Bumi
Gambar 5. Contoh Cross-Cutting
Gambar 6. Ilustrasi lapisan berfosil
Gambar 7. Contoh korelasi dengan fasies sedimen
Gambar 8. Tiga jenis bentuk ketidakselarasan dalam geologi: Angular unconformity, Disconformity, dan Nonconformity
Gambar 9. Foto singkapan batuan-batuan yang memperlihatkan hubungan yang tidak selaras: ketidakselarasan bersudut (Angular Unconformity)
Gambar 10 Hubungan potong memotong (crosscutting relationships)
Gambar 11. Contoh Singkapan batuan
Gambar 12. Sketsa pengukuran penampang stratigrafi
Gambar 13. Posisi pengukuran lereng
Gambar 14. Pengukuran searah dengan kemiringan lapisan
Gambar 15. Pengukuran berlawanan
Gambar 16. Contoh penyajian hasil pengukuran
Gambar 17. Penggambaran penampang stratigrafi terukur yang dilengkapi dengan foto-foto untuk menjelaskan hubungan antar lapisan batuan ataupun kontak antar lapisan batuan.
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 LATAR BELAKANG
Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta distribusi perlapisan tanah dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah Bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas penyebaran lapisan batuan.
1.3 TUJUAN
Sebagai pembelajaran tentang korelasi batuan
Mendapatkan pengetahuan tentang sejarah bumi
Menentukan lingkungan pengendapan batuan serta untuk menentukan posisi atas dan bawah dari suatu lapisan.
BAB II
PENGENALAN PRINSIP STRATIGRAFI
2.1 DASAR TEORI
Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas penyebaran lapisan batuan.
Ilmu stratigrafi muncul untuk pertama kalinya di Britania Raya pada abad ke-19. Perintisnya adalah William Smith. Ketika itu dia mengamati beberapa perlapisan batuan yang tersingkap yang memiliki urutan perlapisan yang sama (superposisi). Dari hasil pengamatannya, kemudian ditarik kesimpulan bahwa lapisan batuan yang terbawah merupakan lapisan yang tertua, dengan beberapa pengecualian. Karena banyak lapisan batuan merupakan kesinambungan yang utuh ke tempat yang berbeda-beda maka dapat dibuat perbandingan antara satu tempat ke tempat lainnya pada suatu wilayah yang sangat luas. Berdasarkan hasil pengamatan ini maka kemudian Willian Smith membuat suatu sistem yang berlaku umum untuk periode-periode geologi tertentu walaupun pada waktu itu belum ada penamaan waktunya. Berawal dari hasil pengamatan William Smith dan kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang susunan, hubungan dan genesa batuan yang kemudian dikenal dengan stratigrafi.
Berdasarkan dari asal katanya, stratigrafi tersusun dari 2 (dua) suku kata, yaitu kata "strati" berasal dari kata "stratos", yang artinya perlapisan dan kata "grafi" yang berasal dari kata "graphic/graphos", yang artinya gambar atau lukisan. Dengan demikian stratigrafi dalam arti sempit dapat dinyatakan sebagai ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan. Dalam arti yang lebih luas, stratigrafi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang aturan, hubungan, dan pembentukan (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu.
A. Hukum-Hukum Stratigrafi
1. Hukum Superposisi (Nicolas Steno,1669):
Dalam suatu urutan perlapisan batuan, maka lapisan batuan yang terletak di bawah umurnya relatif lebih tua dibanding lapisan diatasnya selama lapisan batuan tersebut belum mengalami deformasi atau masih dalam keadaan normal.
Gambar 1. Ilustrasi Hukum Superposisi
2. Hukum Horizontalitas (Nicolas Steno,1669):
Lapisan-lapisan sedimen diendapkan mendekati horisontal dan pada dasarnya sejajar dengan bidang permukaan dimana lapisan sedimen tersebut diendapkan. Susunan lapisan yang kedudukannya tidak horisontal berarti telah mengalami proses geologi lain setelah pengendapannya, misalnya dipengaruhi oleh gaya tektonik.
Gambar 2. Ilustrasi Hukum Horizontality
3. Original Continuity (Nicolas Steno,1669):
"The original continuity of water-laid sedimentary strata is terminated only by pincing out againts the basin of deposition, at the time of their deposition" (Steno, 1669)
Lapisan sedimen diendapkan secara menerus dan bersinambungan (continuity), sampai batas cekungan sedimentasinya. Lapisan sedimen tidak mungkin terpotong secara tiba-tiba, dan berubah menjadi batuan lain dalam keadaan normal. Pada dasarnya hasil suatu pengendapan yakni bidang perlapisan, akan menerus walaupun tidak kasat mata.
Pemancungan disebabkan oleh :
Ketidakselarasan
Erosi
Morfologi
Lateral Continuity :
Pada awalnya lapisan sedimen mengalami kemenerusan tapi lapisan tersebut di pisahkan oleh lembah atau ada bidang yang tererosi
Gambar 3. Ilustrasi Pemancungan
4. Law of uniformitarianism (james hutton, 1785):
Hukum ini meyatakan bahwa keadaan sekarang adalah kunci bagi keadaan masa lalu(the present is the key to the past) Proses geologi terjadi pada saat ini juga terjadi pada masa lampau. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa pada saat ini batu gamping koral sedang tumbuh dilaut, jadi kalau pada saat ini terdapat dipucak gunung dapat disimpulkan bahwa pada jaman yang lalu daerah pegunungan tersebut merupakan dasar laut. Proses (tektonik lempeng,pembentukan gunung, erosi, dll) yang terjadi sekarang diyakini telah terjadi sejak bumi terbentuk Proses geologi yang sedang terjadi saat ini juga terjadi pada masa lampau.
Gambar 4. Perubahan Muka Bumi
5. Cross-Cutting Relationship (A.W.R Potter & H. Robinson):
Apabila terdapat penyebaran lap. Batuan (satuan lapisan batuan), dimana salah satu dari lapisan tersebut memotong lapisan yang lain, maka satuan batuan yang memotong umurnya relatif lebih muda dari pada satuan batuan yang di potongnya.
Gambar 5. Contoh Cross-Cutting
6. Faunal Succession (Abble Giraud-Soulavie, 1778):
Pada setiap lapisan yang berbeda umur geologinya akan ditemukan fosil yang berbeda pula. Secara sederhana bisa juga dikatakan Fosil yang berada pada lapisan bawah akan berbeda dengan fosil di lapisan atasnya. Fosil yang hidup pada masa sebelumnya akan digantikan (terlindih) dengan fosil yang ada sesudahnya, dengan kenampakan fisik yang berbeda (karena evolusi). Perbedaan fosil ini bisa dijadikan sebagai pembatas satuan formasi dalam lithostratigrafi atau dalam koreksi stratigrafi. dan bisa untuk mengetahui lingkunan sebelum terfossilkan
Gambar 6. Ilustrasi lapisan berfosil
7. Strata Identified by Fossils (Smith, 1816) :
pada setiap lapisan dapat di bedakan oleh fosil fosil yang terkandung di di dalamnya tertentu.
8. Fasies sedimen (sellay,1978) :
Suatu kelompok litologi dengan ciri ciri yang khas yang merupakan hasil dari suatu lingkungan pengendapan tertentu baik aspek fisik, kimia, atau biologi suatu endapan dalam kesatuan waktu. dua buah batuan yang di endapkan pada satu waktu di katakan beda fasies apabila berbeda fisik,kimia, biologi.
Gambar 7. Contoh korelasi dengan fasies sedimen
B. Hubungan Stratigrafi
a) Keselarasan (Conformity)
adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis batuan lainnya diatas atau dibawahnya yang kontinyu (menerus), tidak terdapat selang waktu (rumpang waktu) pengendapan. Secara umum di lapangan ditunjukkan dengan kedudukan lapisan (strike/dip) yang sama atau hampir sama, dan ditunjang di laboratorium oleh umur yang kontinyu.
b) Ketidak Selarasan (Unconformity)
adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis batuan lainnya (batas atas atau bawah) yang tidak kontinyu (tidak menerus), yang disebabkan oleh adanya rumpang waktu pengendapan. Dalam geologi dikenal 3 (tiga) jenis ketidak selarasan, yaitu):
Gambar 8. Tiga jenis bentuk ketidakselarasan dalam geologi: Angular unconformity, Disconformity, dan Nonconformity
1) Disconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan lainnya (kelompok batuan lainnya) yang dibatasi oleh satu rumpang waktu tertentu (ditandai oleh selang waktu dimana tidak terjadi pengendapan).
2) Angular Unconformity (Ketidakselarasan Bersudut) adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan lainnya (kelompok batuan lainnya), memiliki hubungan/kontak yang membentuk sudut.
3) Nonconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan beku atau metamorf.
Gambar 9. Foto singkapan batuan-batuan yang memperlihatkan hubungan yang tidak selaras: ketidakselarasan bersudut (Angular Unconformity)
4. Genang laut dan Susut laut (Transgresi dan Regresi )
a).Transgresi (Genang Laut). Transgresi dalam pengertian stratigrafi/sedimentologi adalah laju penurunan dasar cekungan lebih cepat dibandingkan dengan pasokan sedimen (sediment supply). Garis pantai maju ke arah daratan.
b). Regresi (Susut Laut). Regresi dalam pengertian stratigrafi/sedimentologi adalah laju penurunan dasar cekungan lebih lambat dibandingkan dengan pasokan sedimen (sediment supply). Garis pantai maju ke arah lautan.
5 Hubungan potong memotong (Cross-cutting relationships)
Hubungan petong-memotong (cross-cutting relationship) adalah hubungan kejadian antara satu batuan yang dipotong/diterobos oleh batuan lainnya, dimana batuan yang dipotong/diterobos terbentuk lebih dahulu dibandingkan dengan batuan yang menerobos.
Pada gambar 10 terlihat urutan kejadian dan umur batuan adalah sebagai berikut: batuan yang terbentuk/terendapkan pertama kali adalah Formasi (Fm) Lutgrad, selanjutnya berturut-turut adalah Fm Birkland, Fm. Leet Junction.
Gambar 10 Hubungan potong memotong (crosscutting relationships): Fm. Lutgrad, Fm. Birkland, dan Fm. Leet Junction diterobos oleh intrusi Granit dan kemudian terbentuk Fm. Larsonton disertai intrusi Dike, kemudian dilanjutkan dengan pengendapan Fm. Foster, Fm. Hamlinville, dan Skinner Guich Limestone.
Ketiga formasi batuan tersebut kemudian mengalami orogenesa disertai terbentuknya batuan terobosan (Intrusi) Granit dan kemudian tererosi membentuk bidang ketidak selarasan bersudut dan dilanjutkan dengan pengendapan Fm. Larsonton dan aktivitas magma berupa Intrusi Dike, dilanjutkan dengan pembentukan Fm. Foster City, Fm. Hamlinville, dan batuan termuda dan terakhir terbentuk adalah Skinner Guich Limestone.
2.2 TUGAS
2.3 KESIMPULAN
Prinsip stratigrafi merupakan ilmu yang mempelari prinsip prinsip stratigrafi,yang mana prinsip stratigrafi merupakan ilmu cabang dari stratigrafi yang mempelajari tentang perlapisan batuan.
Stratigrafi awalnya dikemukakan oleh William Smith di Britania Raya. Ketika itu dia mengamati beberapa perlapisan batuan yang tersingkap yang memiliki urutan perlapisan yang sama (superposisi).
BAB III
LITOSTRATIGRAFI DAN BIOSTRATIGRAFI
3.1 DASAR TEORI
A. Litostratigrafi
Pembagian litostratigrafi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama yang bersendi pada ciri-ciri litologi. Pada satuan litostratigrafi penentuan satuan didasarkan pada ciri-ciri batuan yang dapat di-amati di lapangan, sedangkan batas penyebarannya tidak tergantung kepada batas waktu.
Satuan Resmi dan Tak Resmi:
Satuan litostratigrafi resmi ialah satuan yang memenuhi persyaratan Sandi, sedangkan satuan litostratigrafi tak resmmi ialah satuan yang tidak seluruhnya memenuhi persyaratan Sandi.
Batas dan Penyebaran Satuan Satuan Litostratigrafi:
Batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan antara dua satuan yang berlainan ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan tersebut.
Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan bidang yang diperkirakan kedudukannya (batas arbiter).
Satuan satuan yang berangsur berubah atau menjemari, peralihannya dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan Sandi.
Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh kelanjutan ciri-ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh batas cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
Batas-batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai alasan berakhirnya penyebaran lateral (pelamparan suatu satuan.
Tingkat-Tingkat Satuan Litostratigrafi
Urutan tingkat satuan litostratigrafi resmi, masing-masing dari besar sampai kecil ialah : Kelompok, Formasi dan Anggota.
Formasi adalah satuan dasar dalam pembagian satuan litostratigrafi.
Anggota ialah bagian dari Suatu Formasi yang secara litologi berbeda dengan ciri umum Formasi yang bersangkutan, serta memiliki penyebaran lateral yang berarti.
Kelompok ialah suatu litostratigrafi resmi setingkat lebih tinggi daripada Formasi dan karenanya terdiri dari dua Formasi atau lebih yang menunjukkan kesegaran ciri-ciri litologi.
Stratotipe Atau Pelapisan Jenis
Suatu stratotipe merupakan perwujudan alamiah satuan litostratigrafi resmi di lokasi tipe yang dapat di jadikan pedoman umum.
Letak suatu staratotipe di nyatakan dengan kedudukan koordinat geografi.
Apabila pemerian stratotipe suatu satuan litostratigrafi di lokasi tipenya tidak memungkinkan, maka sebagai gantinya cukup dinyatakan lokasi tipenya.
Tatanama Satuan Litostratigrafi
Tatanama satuan litostratigrafi resmi adalah dwinama (binomial). Untuk tingkat Kelommpok, Formasi dan Anggota dipakai istilah tingkatnya dan diakui nama geografinnya.
Penulisan kedua kata nama satuan litostratigrafi resmi harus dimulai dengan huruf besar sedangkan nama satuan tak resmi selalu dengan huruf kecil, kecuali ditulis pada awal kalimat.
Jika untuk satuan litostratigrafi yang sama teredapat dua buah penamaan, maka nama resmi yang diusulkan terdahulu yang harus dipakai.
Nama geografi sebaran satuan di waktu lampau, yang telah populer atau telah dikenal dalam pustaka, sebaiknya di pertahankan. Statusnya dipastikan atau diubah menurut aturan satuan litostratigrafi yang sesuai.
Nama geografi mungkin berubah atau bahkan hilang, tetapi perubahan itu tidak boleh mempengaruhi nama satuan litostratigrafi yang telah ada
B. Satuan Biostratigrafi
Korelasi adalah menghubungkan lapisan lapisan batuan didasarkan atas kesamaan kandungan dan penyebaran fosil yang terdapat di dalam batuan. Dalam korelasi biostratigrafi dapat terjadi jenis batuan yang berbeda memiliki kandungan fosil yang sama.
a. Azas Tujuan
Pembagian biostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan lapisan-lapisan batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan satuan bernama berdasar kandungan dan penyebaran fosil.
Satuan biostratigrafi ialah tubuh lapisan batuan yang dipersatukan berdasar kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya.
Satuan Resmi dan Tak Resmi: Satuan biostratigrafi resmi ialah satuan yang memenuhi persyaratan Sandi sedangkan satuan biostratigrafi tak resmi adalah satuan yang tidak seluruhnya memenuhi persyaratan Sandi.
b. Kelanjutan Satuan
Kelanjutan satuan biostratigrafi ditentukan oleh penyebaran kandungan fosil yang mencirikannnya.
c. Tingkat dan Jenis Satuan Biostratigrafi
Zona ialah satuan dasar biostratigrafi
Zona adalah suatu lapisan atau tubuh batuan yang dicirikan oleh satu takson fosil atau lebih.
Urutan tingkat satuan biostratigrafi resmi, masing-masing dari besar sampai kecil ialah: Super-Zona, Zona, Sub-Zona, dan Zenula,
Berdasarkan ciri paleontologi yang dijadikan sendi satuan biostratigrafi, dibedakan: Zona Kumpulan, Zona Kisaran, Zona Puncak, dan Zona Selang
Zona Kumpulan
Zona Kumpulan ialah kesatuan sejumpah lapisan yang terdiri oleh kumpulan alamiah fosil yang hkas atau kumpulan sesuatu jenis fosil.
Kegunaan Zona Kumpulan, selain sebagai penunjuk lingkungan kehidupan purba dapat juga dipakai sebagai penciri waktu.
Batas dan kelanjutan zona Kumpulan ditentukan oleh batas terdapat bersamaannya (kemasyarakatan) unsur-unsur utama dalam kesinambungan yang wajar.
Nama Zona Kisaran harus diambil dari satu unsur fosil atau lebih yang menjadi penciri utama kumpulannya.
Zona Kisaran:
Zona kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran stratigrafi untur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada
Kegunaan Zona Kisaran terutama ialah untuk korelasi tubuh-tubuh lapisan batuan dan sebagai dasar untuk penempatan batuan batuan dalam skala waktu geologi
Btasa dan Kelanjutan Zona Kisaran ditentukan oleh penyebaran tegak dan mendatar takson (takson-takson) yang mencirikannya.
Nama Zona Kisaran diambil dari satu jenis atau lebih yang menjadi ciri utama Zona.
Zona Puncak:
Zona Puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan perkembangan maksimum suatu takson tertentu.
Kegunaan Zona Puncak dalam hal tertentu ialah untuk menunjukkan kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat dipakai sebagai petunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba
Batas vertikal dan lateral Zona Puncak sedapat mungkin bersifat obyektif
Nama-nama Zona Puncak diambil dari nama takson yang berkembang secara maksimum dalam Zona tersebut.
Zona Selang
Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari dua takson penciri.
Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh-tubuh lapisan batuan
Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh pemunculan awal atau akhir dari takson-takson penciri.
Nama Zona Selang diambil dari nama-nama takson penciri yang merupakan batas atas dan bawah zona tersebut.
Zona Rombakan
Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh banyaknya fosil rombakan, berbeda jauh dari pada tubuh lapisan batuan di atas dan di bawahnya.
Zona Padat
Zona Padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya fosil dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak dari pada tubuh batuan di atas dan dibawahnya
3.2 TUGAS
3.3 KESIMPULAN
Litostratigrafi adalah ilmu stratigrafi yang mana ilmu ini menggolongkan batuan yang ada di bumi berdasarkan pada ciri litologinya, litostratigrafi batas batas penyebarannya,yang salah satunya batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan antara dua satuan yang berlainan ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan tersebut
Biostratigrafi merupakan ilmu cabang stratigrafi yang mana biostratigrafi menggolongkan batuan berdasarkan kandungna fosil yang ada didalamnya,berbeda dengan litostratigrafi yang menggolongkan batuan dengan ciri litologinya
BAB IV
KORELASI STRATIGRAFI
4.1 DASAR TEORI
Dalam pengertiannya yang paling sederhana, korelasi diartikan sebagai usaha untuk menunjukkan ekivalensi satuan-satuan stratigrafi. Korelasi merupakan bagian fundamental dari stratigrafi dan banyak usaha telah dilakukan oleh para ahli untuk menciptakan satuan-satuan stratigrafi resmi yang pada gilirannya memungkinkan ditemukannya metoda-metoda praktis dan handal untuk mengkorelasikan satuan-satuan tersebut. Tanpa korelasi, penelaahan stratigrafi tidak lebih dari sekedar pemerian stratigrafi lokal.
Konsep korelasi menembus jauh kepada akar stratigrafi. Prinsip-prinsip dasar korelasi telah ditampilkan dalam ber-bagai buku ajar lama mengenai geologi dan stratigrafi. Pembahasan yang menarik mengenai hal ini dilakukan oleh Dunbar & Rodgers (1957), Weller (1960), serta Krumbein & Sloss (1963). Terus meningkatnya ketertarikan para ahli pada masalah korelasi antara lain ditunjukkan oleh terbitnya sejumlah karya tulis baru mengenai korelasi, khususnya korelasi yang dilakukan dengan menggunakan metoda statistika (a.l. Agterberg, 1990; Cubitt & Reyment, 1982; Mann, 1981; Merriam, 1981).
Konsep-konsep dasar korelasi stratigrafi telah ditetapkan dengan mantap pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Prinsip-prinsip dasar tersebut yang masih tetap penting dewasa ini. Walau demikian, munculnya berbagai konsep dan metoda analisis baru hingga tingkat tertentu telah mengubah persepsi kita mengenai korelasi serta menelurkan metoda-metoda korelasi baru. Perkembangan magnetostratigrafi sejak dasawarsa 1950-an, misalnya saja, terbukti merupakan alat baru yang sangat penting untuk korelasi kronostratigrafi berdasarkan magnetic polarity events. Selain itu, perkembangan baru dalam teknologi komputer dan penerapan metoda-metoda statistika dalam korelasi statigrafi telah banyak mem-berikan nilai kuantitatif pada korelasi stratigrafi. Dalam tulisan ini saya akan mencoba menyajikan sejumlah perkembangan baru tersebut, bersama-sama dengan konsep-konsep korelasi stratigrafi "klasik."
Meskipun konsep korelasi telah ada sejak awal perkembangan stratigrafi, namun para ahli belum sepakat mengenai arti eksak dari istilah "korelasi" itu sendiri. Dilihat dari kacamata sejarah, ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama bersikukuh agar konsep korelasi hanya diartikan sebagai usaha untuk memperlihatkan kesebandingan waktu (time equivalency); maksudnya, korelasi merupakan usaha untuk menunjukkan bahwa dua tubuh batuan diendapkan pada rentang waktu yang sama (Dunbar & Rodgers, 1957; Rodgers, 1959). Dilihat dari kacamata ini, usaha untuk memperlihat-kan ekivalensi dua satuan litostratigrafi berdasarkan kemiripan litologi tidak termasuk ke dalam kategori korelasi. Pendapat kedua mengartikan korelasi secara luas sehingga mencakup semua usaha untuk memperlihatkan kesebandingan litologi, paleontologi, atau kronologi (Krumbein & Sloss, 1963). Dengan kata lain, dua tubuh batuan dapat dikorelasikan sebagai satuan litostratigrafi atau satuan biostratigrafi yang sama, meskipun keduanya memiliki umur yang berbeda. Karena keluasan arti dan kesederhanaan pemakaiannya, tidak mengherankan apabila kebanyakan ahli geologi dewasa ini lebih cenderung untuk menerima pengertian korelasi yang luas ini. Para ahli geologi perminyakan, misalnya saja, secara rutin melakukan korelasi formasi-formasi bawah permukaan dengan menggunakan well logs atau rekaman seismik. Sandi Stratigrafi Amerika Utara 1983 mengakui adanya tiga tipe utama korelasi sbb:
Litokorelasi (lithocorrelation) yang mengungkapkan kemiripan litologi dan posisi stratigrafi.
Biokorelasi (biocorrelation) yang mengungkapkan kemiripan kandungan fosil dan posisi biostratigrafi.
Kronokorelasi (chronocorrelation) yang mengungkapkan korespondensi umur dan posisi kronostratigrafi.
Berikut akan dikemukakan hubungan antara litokorelasi dengan kronokorelasi. Kronokorelasi dapat dibuat berdasar-kan setiap metoda yang memungkinkan penyetaraan umur strata. Korelasi yang didasarkan pada litologi juga dapat menghasilkan korelasi kronostratigrafi pada skala lokal, namun apabila ditelusuri secara regional, banyak satuan lito-stratigrafi memotong bidang-bidang waktu. Satuan stratigrafi yang diendapkan selama transgresi atau regresi besar memotong bidang-bidang waktu. Contoh formasi transgresi-regresi paling terkenal di Amerika Utara adalah Tepeats Sand-stone (Kambrium) di Grand Canyon. Tepeats Sandstone di tepi barat Grand Canyon semuanya berumur Kambrium Awal, sedangkan Tepeats Sandstone di tepi timur ngarai tersebut semuanya berumur Kambrium Tengah. Dengan demikian, Tepeats Sandstone, yang dapat ditelusuri secara lateral di semua bagian ngarai tersebut, dikorelasikan sebagai satu satuan litostratigrafi, namun bukan sebagai satuan kronostratigrafi. Satu hal penting yang perlu ditekankan disini adalah bahwa batas-batas yang ditentukan berdasarkan kriteria tertentu belum tentu sama dengan batas-batas yang ditentukan berdasarkan kriteria lain. Fakta inilah yang mendorong munculnya metoda-metoda korelasi yang beragam (litokorelasi, biokorelasi, kronokorelas) dan dapat memberikan hasil yang berbeda-beda, meskipun diterapkan pada lintap stratigrafi yang sama.
A. Litokorelasi
Penelusuran Satuan Stratigrafi ke Arah Lateral
Penelusuran langsung satuan litostratigrafi dari satu lokasi ke lokasi lain merupakan satu-satunya metoda yang dapat memberikan informasi yang sangat meyakinkan kepada kita mengenai ekivalensi satuan tersebut. Metoda korelasi ini hanya dapat diterapkan apabila strata yang diteliti tersingkap secara menerus atau hampir menerus. Cara penelusuran langsung adalah dengan mengikuti satuan litostratigrafi itu ke arah lateral, jengkal demi jengkal. Seorang ahli geologi yang menelusuri satuan stratigrafi dari satu lokasi ke lokasi lain dengan menelusuri suatu bidang perlapisan dapat meyakinkan dirinya bahwa dia telah menetapkan korelasi pada saat itu juga. Jadi, usaha yang mungkin memerlukan ketahanan fisik itu akan memberikan hasil yang memuaskan. Cara lain yang juga berguna, namun kehandalannya sedikit lebih rendah dibanding hasil yang diperoleh dengan cara di atas, adalah dengan cara menelusuri penyebaran lateral suatu lapisan sebagaimana yang tampak pada potret udara. Pada daerah yang kaya akan singkapan dan kenampakan singkapan itu praktis tidak terganggu oleh kehadiran tanah atau vegetasi, penelusuran lateral satuan stratigrafi dapat dilakukan dengan cepat dan efektif melalui potret udara. Metoda ini hanya dapat diterapkan pada lapisan-lapisan yang khas dan cukup tebal untuk dapat terlihat pada potret udara.
Meskipun penelusuran satu atau sejumlah lapisan merupakan satu-satunya metoda korelasi yang sangat meyakinkan, namun metoda itu bukan tidak terbatas. Salah satu pembatas yang paling serius adalah fakta bahwa, pada kebanyakan daerah penelitian, suatu lapisan biasanya tidak dapat ditelusuri hingga jarak yang jauh karena pada tempat-tempat tertentu lapisan itu tertutup oleh tanah atau vegetasi, terdeformasi (misalnya sesar), tererosi (misalnya terpotong oleh satu sungai besar). Masalah lain yang mungkin muncul adalah hilangnya lapisan batuan yang ditelusuri karena membaji atau berubah secara lateral menjadi lapisan batuan yang lain. Hal seperti itu seringkali terjadi pada kasus strata non-marin. Pada kasus seperti itu, penelusuran suatu individu lapisan atau suatu bidang perlapisan tidak mungkin dilakukan. Jadi, dalam prakteknya, para ahli geologi umumnya hanya dapat menelusuri satuan litostratigrafi yang relatif besar (misalnya sebuah anggota atau sebuah formasi) yang terdiri dari sejumlah lapisan dengan karakter yang mirip satu sama lain.
B. Biokorelasi
Satuan biostratigrafi merupakan satuan stratigrafi objektif yang dapat diamati dan ditentukan keberadaannya berdasarkan fosil yang terkandung didalamnya. Karena itu, satuan biostratigrafi dapat ditelusuri dan di-match-kan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara yang lebih kurang sama dengan cara penelusuran satuan litostratigrafi. Satuan biostratigrafi bisa maupun tidak bisa memiliki kebenaan waktu. Sebagai contoh, jika ditelusuri ke arah lateral, zona kumpulan (assemblage zone) dan zona puncak (abundance zone) dapat memotong garis-garis waktu. Di lain pihak, zona selang (interval zone), yang terutama ditentukan keberadaannya berdasarkan pemunculan pertama suatu taxa, memiliki batas-batas yang pada umumnya berimpit dengan garis waktu. Satuan biostratigrafi dapat dikorelasikan, tanpa tergantung pada kebenaan waktu-nya, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sangat mirip dengan prinsip-prinsip korelasi litostratigrafi, misalnya ber-dasarkan ke-match-an menurut kandungan fosil dan posisi stratigrafinya. Pada tulisan ini pertama-tama kita akan mempelajari korelasi yang didasarkan pada zona kumpulan dan zona puncak. Setelah itu kita akan mempelajari metoda-metoda biokorelasi yang didasarkan pada zona selang dan zona-zona lain yang menghasilkan korelasi kronostratigrafi.
D. Kronokorelasi
Satuan kronostratigrafi sangat penting artinya dalam stratigrafi karena menjadi dasar untuk korelasi regional hingga global berdasarkan kesebandingan waktu. Di atas telah dibahas bahwa kronokorelasi adalah korelasi yang menyatakan korespondensi umur dan posisi kronostratigrafi dari satuan-satuan stratigrafi. Bagi banyak ahli geologi, korelasi yang didasarkan pada kesebandingan umur merupakan tipe korelasi terpenting dan kronokorelasi merupakan satu-satunya tipe korelasi yang dapat digunakan berdasarkan hal-hal yang sifatnya global. Metoda-metoda untuk menetapkan kesebanding-an umur strata berdasarkan teknik-teknik magnetostratigrafi, seismik stratigrafi, dan biologi telah dibahas di atas. Sejumlah metoda kronostratigrafi lain juga sering digunakan, termasuk korelasi yang didasarkan pada depositional events, transgressive-regressive events, dan stable isotope events, dan umur absolut.
4.2 TUGAS
4.3 KESIMPULAN
Korelasi merupakan penghubungna suatu lapisan batuan dengan lapisan batuan lainnya dengan syarat memiliki biostratigrafi,kronostratigrafi atau litostratigrafi yang sama, dari korelasi kita dapat membuat sebuah ilustrasi awal terbentuknya sampai akhir.
BAB V
MENGUKUR PENAMPANG STRATIGRAFI
5.1 DASAR TEORI
Pengukuran stratigrafi merupakan salah satu pekerjaan yang biasa dilakukan dalam pemetaan geologi lapangan. Adapun pekerjaan pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang terperinci dari hubungan stratigrafi antar setiap perlapisan batuan / satuan batuan, ketebalan setiap satuan stratigrafi, sejarah sedimentasi secara vertikal dan lingkungan pengendapan dari setiap satuan batuan. Di lapangan, pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan dengan menggunakan tali meteran dan kompas pada singkapan-singkapan yang menerus dalam suatu lintasan. Pengukuran diusahakan tegak lurus dengan jurus perlapisan batuannya, sehingga koreksi sudut antara jalur pengukuran dan arah jurus perlapisan tidak begitu besar.
3.2 Metoda Pengukuran Stratigrafi
Pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran terperinci urut-urutan perlapisan satuan stratigrafi, ketebalan setiap satuan stratigrafi, hubungan stratigrafi, sejarah sedimentasi dalam arah vertikal, dan lingkungan pengendapan. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan mempunyai arti penting dalam penelitian geologi. Secara umum tujuan pengukuran stratigrafi adalah:
Mendapatkan data litologi terperinci dari urut-urutan perlapisan suatu satuan stratigrafi (formasi), kelompok, anggota dan sebagainya.
Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi.
Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan batuan dan urut-urutan sedimentasi dalam arah vertical secara detil, untuk menafsirkan lingkungan pengendapan.
Pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan yang menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi yang resmi. Metoda pengukuran penampang stratigrafi banyak sekali ragamnya. Namun demikian metoda yang paling umum dan sering dilakukan di lapangan adalah dengan menggunakan pita ukur dan kompas. Metoda ini diterapkan terhadap singkapan yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang dapat disusun menjadi suatu penampang stratigrafi.
Gambar 11. Contoh Singkapan batuan
Metoda pengukuran stratigrafi dilakukan dalam tahapan sebagai
berikut:
Menyiapkan peralatan untuk pengukuran stratigrafi, antara lain: pita ukur (} 25 meter), kompas, tripot (optional), kaca pembesar (loupe), buku catatan lapangan, tongkat kayu sebagai alat bantu.
Menentukan jalur lintasan yang akan dilalui dalam pengukuran stratigrafi, jalur lintasan ditandai dengan huruf B (Bottom) adalah mewakili bagian Bawah sedangkan huruf T (Top) mewakili bagian atas.
Tentukan satuan-satuan litologi yang akan diukur. Berilah patokpatok atau tanda lainnya pada batas-batas satuan litologinya.
Gambar 12. Sketsa pengukuran penampang stratigrafi
Pengukuran stratigrafi di lapangan dapat dimulai dari bagian bawah atau atas. Unsur-unsur yang diukur dalam pengukuran stratigrafi adalah: arah lintasan (mulai dari sta.1 ke sta.2; sta.2 ke sta.3. dst.nya), sudut lereng (apabila pengukuran di lintasan yang berbukit), jarak antar station pengukuran, kedudukan lapisan batuan, dan pengukuran unsur-unsur geologi lainnya.
Jika jurus dan kemiringan dari tiap satuan berubah rubah sepanjang penampang, sebaiknya pengukuran jurus dan kemiringan dilakukan pada alas dan atap dari satuan ini dan dalam perhitungan dipergunakan rata-ratanya.
Membuat catatan hasil pengamatan disepanjang lintasan pengkuran stratigrafi yang meliputi semua jenis batuan yang dijumpai pada lintasan tersebut, yaitu: jenis batuan, keadaan perlapisan, ketebalan setiap lapisan batuan, struktur sedimen (bila ada), dan unsur-unsur geologi lainnya yang dianggap perlu. Jika ada sisipan, tentukan jaraknya dari atas satuan.
Data hasil pengukuran stratigrafi kemudian disajikan diatas kertas setelah melalui proses perhitungan dan koreksi-koreksi yang kemudian digambarkan dengan skala tertentu dan data singkapan yang ada disepanjang lintasan di-plot-kan dengan memakai simbol-simbol geologi standar.
Untuk penggambaran dalam bentuk kolom stratigrafi, perlu dilakukan terlebih dahulu koreksi-koreksi antara lain koreksi sudut antara arah lintasan dengan jurus kemiringan lapisan, koreksi kemiringan lereng (apabila pengukuran di lintasan yang berbukit), perhitungan ketebalan setiap lapisan batuan dsb.
3.2.1 Perencanaan lintasan pengukuran
Perencanaan lintasan pengukuran ditetapkan berdasarkan urut-urutan singkapan yang secara keseluruhan telah diperiksa untuk hal halsebagai berikut:
Kedudukan lapisan (Jurus dan Kemiringan), apakah curam, landai, vertikal atau horizontal. Arah lintasan yang akan diukur sedapat mungkin tegak lurus terhadap jurus.
Harus diperiksa apakah jurus dan kemiringan lapisan secara kontinu tetap atau berubah rubah. Kemungkinan adanya struktur sepanjang penampang, seperti sinklin, antiklin, sesar, perlipatan dan hal ini penting untuk menentukan urut-urutan stratigrafi yang benar.
Meneliti akan kemungkinan adanya lapisan penunjuk (key beds) yang dapat diikuti di seluruh daerah serta penentuan superposisi dari lapisan yang sering terlupakan pada saat pengukuran.
3.2.2 Menghitung Ketebalan
Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara bidang alas (bottom) dan bidang atas (top). Dengan demikian perhitungan tebal lapisan yang tepat harus dilakukan dalam bidang yang tegak lurus jurus lapisan. Bila pengukuran di lapangan tidak dilakukan dalam bidang yang tegak lurus tersebut maka jarak terukur yang diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu dengan rumus:
d = dt x cosinus s ( s = sudut antara arah kemiringan dan arah pengukuran).
Didalam menghitung tebal lapisan, sudut lereng yang dipergunakan adalah sudut yang terukur pada arah pengukuran yang tegak lurus jurus perlapisan. Apabila arah sudut lereng yang terukur tidak tegak lurus dengan jurus perlapisan, maka perlu dilakukan koreksi untuk mengembalikan kebesaran sudut lereng yang tegak lurus jurus lapisan. Biasanya koreksi dapat dilakuan dengan menggunakan tabel "koreksi dip" untuk pembuatan penampang.
Gambar 13. Posisi pengukuran lereng
1. Pengukuran pada daerah datar
(lereng 0o) Pengukuran pada daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak lurus jurus, ketebalan langsung di dapat dengan menggunakan rumus : T = d sin (dimana d adalah jarak terukur di lapangan dan adalah sudut kemiringan lapisan). Apabila pengukuran tidak tegak lurus jurus, maka jarak terukur harus dikoreksi seperti pada cara diatas.
2. Pengukuran pada Lereng
Terdapat beberapa kemungkinan posisi lapisan terhadap lereng seperti diperlihatkan pada gambar 3.5 dan gambar 13 { Catatan: sudut lereng (s) dan kemiringan lapisan ( ) adalah pada keadaan yang tegak lurus dengan jurus atau disebut "true dip" dan "true slope" }.
a. Kemiringan lapisan searah dengan lereng.
Bila kemiringan lapisan ( ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah :
T = d sin ( - s ). (Gambar 14 b)
Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudutlereng dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah:
T = d sin (s - ). (Gambar 14 c)
Gambar 14. Pengukuran searah dengan kemiringan lapisan
b. Kemiringan lapisan berlawanan arah dengan lereng
Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus maka:
T = d sin ( + s ) (Gambar 15 b)
Apabila jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 900 (lereng berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus jurus maka :
T = d (Gambar 15 c)
Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng danarah lintasan tegak lurus jurus, maka :
T = d sin (1800 - - s) (Gambar 15 d )
Bila lapisannya mendatar, maka : T = d sin (s)
Gambar 15. Pengukuran berlawanan
Penyajian hasil pengukuran stratigrafi seperti yang terlihat pada dibawah ini. Adapun penggambaran urutan perlapisan batuan/satuan batuan/satuan stratigrafi disesuaikan dengan umur batuan mulai dari yang tertua (paling bawah) hingga yang termuda (paling atas)
Gambar 16. Contoh penyajian hasil pengukuran
Seringkali hasil pengukuran stratigrafi disajikan dengan disertai fotofoto. Adapun maksud dari penyertaan foto-foto singkapan adalah untuk lebih memperjelas bagian bagian dari perlapisan batuan ataupun kontak antar perlapisan yang mempunyai makna dalam proses sedimentasinya.
Gambar 17. Penggambaran penampang stratigrafi terukur yang dilengkapi dengan foto-foto untuk menjelaskan hubungan antar lapisan batuan ataupun kontak antar lapisan batuan.
5.2 KESIMPULAN
Pengukuran yang di jalankan ketika mendapatkan suatu perlapisan haruslah memakai rumus yang sesuai pula,tidak semua bentuk perlapisan dapat di rumuskan dengan rumusan yang sama. Seperti kemiringan berlawanan dan searah memiliki pengukuran atau rumus yang berbeda pula. Rumusan ini penting dalam mengukur ketebalan sebenarnya lapisan dilapangan.
BAB VI
KULIAH LAPANGAN PS
A. PENDAHULUAN
Maksud dan Tujuan
Maksud dari prinsip statigrafi adalah komposisi dan umur relatif serta distribusi perlapisan tanah dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah Bumi.
Adapun tujuan dari prinsip statigrafi ini adalah : Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas penyebaran lapisan batuan.
Lokasi
Lokasi penelitian berada di daerah Sawahlunto, Sumatera Barat. Penelitian dilakukan selama 1 hari pada lintasan sungai, lokasi Sungai loban daerah Kabupaten Sawahlunto merupakan bagian dari Wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Dasar Teori
Stratigrafi berasal dari kata strata (stratum) yang berarti lapisan (tersebar) yang berhubungan dengan batuan, dan grafi (graphic) yang berarti pemerian/ gambaran atau urut-urutan lapisan. komposisi dan umur relatif serta distribusi peralapisan tanan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antarlapisan yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). Jadi stratigrafi adalah ilmu yang mempelajari pemerian perlapisan batuan pada kulit bumi. Secara luas stratigrafi merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang membahas tentang urut-urutan, hubungan dan kejadian batuan di alam (sejarahnya) dalam ruang dan waktu geologi.
(Gambar 1.1 Lapisan Didalam Bumi)
PRINSIP STRATIGRAFI
Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai stratigrafi, yaitu:
1. Hukum atau prinsip yang dikemukakan oleh Steno (1669), terdiri dari:
Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)
(Gambar 1.2 Prinsip Superposisi. Steno, 1669)
Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif lebih tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum mengalami deformasi. Konsep ini berlaku untuk perlapisan berurutan.
Prinsip Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity)
Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral dan hanya membaji pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu terbentuk.
(Gambar 1.3 Lateral Continuity. Steno,1669)
Prinsip Akumulasi Vertikal (Original Horizontality)
Lapisan sedimen pada mulanya diendapkan dalam keadaan mendatar (horizontal), sedangkan akumulasi pengendapannya terjadi secara vertikal (principle of vertical accumulation).
(Gambar 1.4 Original Horizontality. Steno, 1669)
2. Hukum yang dikemukakan oleh James Hutton (1785)
Hukum atau prinsip ini lebih dikenal dengan azasnya yaitu uniformitarisme
yaitu proses-proses yang terjadi pada masa lampau mengikuti hukum yang berlaku pada proses-proses yang terjadi sekarang, atau dengan kata lain "masa kini merupakan kunci dari masa lampau" ("the present is the key to the past"). Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa lampau.
3. Hukum Intrusi/Penerobosan (Cross Cutting Relationship) oleh AWR Potter dan H. Robinson.
Suatu intrusi (penerobosan) adalah lebih muda daripada batuan yang diterobosnya
(Gambar 1.5 Cross Cutting Relationship. AWR Potter dan H. Robinson)
4. Hukum Urutan Fauna (Law of Fauna Succession) oleh De Soulovie (1777)
Dalam urut-urutan batuan sedimen sekelompok lapisan dapat mengandung kumpulan fosil tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.
5. Prinsip William Smith (1816)
Urutan lapisan sedimen dapat dilacak (secara lateral) dengan mengenali kumpulan fosilnya yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.
6. Prinsip Kepunahan Organik oleh George Cuvier (1769-1832)
Dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup sekarang dibandingkan dengan lapisan batuan yang umurnya lebih tua.
Didalam penyelidikan stritigrafi ada dua unsur penting pembentuk stratigrafi yang perlu di ketahui, yaitu:
1. Unsur batuan
Suatu hal yang penting didalam unsur batuan adalah pengenalan dan pemerian litologi. Seperti diketahui bahwa volume bumi diisi oleh batuan sedimen 5% dan batuan non-sedimen 95%. Tetapi dalam penyebaran batuan, batuan sedimen mencapai 75% dan batuan non-sedimen 25%. Unsur batuan terpenting pembentuk stratigrafi yaitu sedimen dimana sifat batuan sedimen yang berlapis-lapis memberi arti kronologis dari lapisan yang ada tentang urut-urutan perlapisan ditinjau dari kejadian dan waktu pengendapannya maupun umur setiap lapisan.
Dengan adanya ciri batuan yang menyusun lapisan batuan sedimen, maka dapat dipermudah pemeriannya, pengaturannya, hubungan lapisan batuan yang satu dengan yang lainnya, yang dibatasi oleh penyebaran ciri satuan stratigrafi yang saling berhimpit, bahkan dapat berpotongan dengan yang lainnya.
2. Unsur perlapisan
Unsur perlapisan merupakan sifat utama dari batuan sedimen yang memperlihatkan bidang-bidang sejajar yang diakibatkan oleh proses-proses sedimetasi. Mengingat bahwa perlapisan batuan sedimen dibentuk oleh suatu proses pengendapan pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, maka Weimer berpendapat bahwa prinsip penyebaran batuan sedimen tergantung pada proses pertumbuhaan lateral yang didasarkan pada kenyataan, yaitu bahwa:
Akumulasi batuan pada umumnya searah dengan aliran media transport, sehingga kemiringan endapan mengakibatkan terjadinya perlapisan selang tindih (overlap) yang dibentuk karena tidak seragamnya massa yang diendapkannya.
Endapan di atas suatu sedimen pada umumnya cenderung membentuk sudut terhadap lapisan sedimentasi di bawahnya.
PERKEMBANGAN KLASIFIKASI STRATIGRAFI
International Stratigraphic Guides, 1994 dan International Subcommission for Stratigraphic Classification. (R.P.Koesoemadinata)
1. Perkembangan klasifikasi stratigrafi dalam dunia internasional memperlihatkan kecenderungan untuk memisahkan kategori klasifikasi deskriptif dan interpretatif. Stratigrafi didasarkan padafakta yang terlihat di lapangan dan tidak secara interpretatif.
2. Penamaan satuan yang bersifat interpretatif sebaiknya dihindari, satuan tersebut dinyatakan sebagai satuan tidak resmi (contoh: Seismik Stratigrafi, Sikuen Stratigrafi).
3. Kategori deskriptif dibatasi pada kriteria litologi dan kandungan fosilnya, sedangkan criteria sifat-sifat fisik, kimia cenderung hanya dibatasi pada sifat yang dapat menentukan waktu atau umur , seperti paleomagnetic polarity. Satuan berdasarkan karakteristik log, penampang seismik tidak dapat dinyatakan sebagai satuan resmi, walaupun diakui keberadaannya
4. Kategori yang bersifat interpretatif : penafsirannya dibatasi pada hal-hal yang menyangkut waktu/ umur. Kategori satuan stratigrafi yang bersifat interpretative seperti lithogenetic units, satuan lingkungan pengendapan, cyclothems tidak dapat diterima sebagai satuan stratigrafi resmi.
5. Keberadaan satuan tidak resmi dapat diakui walaupun sangat tidak dianjurkan.
Permasalahan Stratigrafi Nasional Sekarang
Pada kebanyakan makalah dalam publikasi IPA, IAGI menggunakan nama tidak resmi, karena penulis umumnya tidak sanggup mengajukannya secara resmi, karena peraturannya sangat banyak. Hal tersebut mendorong semakin banyaknya satuan tidak resmi terutama dalam kalangan industri.
Tidak konsisten dalam penamaan formasi. Dalam satu cekungan dinamai 2 atau 3 nama satuan resmi oleh peneliti yang berbeda.
Pada cekungan yang berbeda (yang lain), masih ada pemeta yang menggunakan nama formasi yang sama dengan cekungan di tempat lain.
Penyusunan satuan stratigrafi gunungapi dalam SSI, didasarkan pada genesa bukan secara diskriptif. Pembagian secara genesa tersebut mengakibatkan hanya berlaku untuk gunungapi Kuarter yang masih terlihat bentuk-bentuknya.
Konsep stratigrafi tradisional masih lebih banyak digunakan, walaupun secara eksplisit. Sikuenstratigrafi sudah tercantum dalam SSI 1996.
Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 mengandung pembagian satuan yang bersifat diskriptif dangenetik. Hal ini berarti tidak mengidahkan anjuran dari International Stratigraphic Guides, 1994.
Sandi Stratigrafi Indonesia 1996. (soejono martodjojo)
Pencantuman Satuan Stratigrafi Gunungapi (BAB 111), merupakan wujud keprihatinan terhadap tidak adanya wadah penamaan yang dapat dipakai untuk gunungapi di Indonesia. Di negara maju, sistem penamaan dalam pemetaan gunungapi sudah mampu memberikan sumbangan terhadap peramalan kegiatan dan bahayanya. Ada keinginan dibuat unit-unit stratigrafi lainnya dalam SSI-1996, seperti Tektonostratigrafi, Stratigrafi Kuarter, dan lain-lain sayangnya draft dari para pengusul atas satuan tersebut tidak terselesaikan dalam batas waktunya. Mendukung dibuatnya Lexicon Stratigrafi di Indonesia bagi masing-masing satuan stratigrafi. Dengan catatan bahwa Lexicon ini lebih bersifat literatur resmi, tetapi masih terbuka bagi perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan akumulasi data yang ada. Panitia Sandi Stratigrafi Indonesia perlu dilestarikan dan diluaskan sehingga mencakup organisasi lain yang bersangkutan dengan stratigrafi di Indonesia. Tujuan penggolongan Stratigrafi perlu menjadi bahan pertimbangan.
Sandi Stratigrafi Indonesia 1996: Suatu Catatan Perkembangan Sandi Stratigrafi Indonesia. (Djuhaeni)
SSI-1996, merupakan hasil penambahan tiga satuan stratigrafi baru ke dalam Sandi Stratigrafi Indonesia 1973. Tiga satuan stratigrafi baru: Satuan Litodemik, Satuan Stratigrafi Gunungapi, dan Sikuenstratigrafi, atau perbandingannya :
SSI 1973 : memuat Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi
SSI 1996 : Litostratigrafi, Biostratigrafi, Kronostratigrafi, Litodemik, Gunung api, Sikuenstratigrafi.
Satuan Litodemik, untuk pembagian unit batuan beku dan metamorf. Satuan Litodemik dibedakan dengan Satuan Litostratigrafi karena mempunyai kaidah yang berbeda dengan Hukum Superposisi, terutama hubungan kontak dan pelamparannya. Dihimbau bagi pengguna-akademisi-pakar mineral untuk berperan aktif, mengkaji ulang, mengembangkan dalam memperbaiki satuan litodemik yang disesuaikan dengan perkembangan, baik secara konsep maupun aplikasinya di Indonesia. Satuan Stratigrafi Gunungapi, masih perlu dikembangkan, dan disesuaikan dengan perkembangan penerapannya di Indonesia.
Satuan Sikuenstratigrafi, Satuan Sikuenstratigrafi perlu disempumakan, misalnya untuk keperluan korelasi di Ladang Migas; order parasikuen perlu dikembangkan lebih lanjut., sesuai perkembangan konsep dan penerapannya di Indonesia.
Sosialisasi SSI-1996, Wacana tentang usulan Satuan Tektonostratigrafi dan Satuan Stratigrafi Kuarter untuk dimasukkan ke dalam SSI-1996, sampai saat ini belum terwujud. Sosialisasi SSI-1996 setelah PIT-IAGI 1996 di Bandung kurang mendapat perhatian.
Perkembangan Penelitian Stratigrafi di Indonesia : 3 Era
Era Pra-SSI.. Satuan stratigrafi lebih didasarkan kepada kerangka waktu, dan penamaannya diikuti oleh kata "series" atau "beds", sebagai contoh Halang Series, Cidadap Beds.
Era SSI-1973. Ada perubahan nama, contoh "Halang Series/Beds" menjadi Formasi Halang.
Era SSI-1996. Perkembangan satuan stratigrafi sangat mencolok, munculnya Satuan "Sikuenstratigrafi" dan Satuan "Tektonostratigrafi".
Adanya kemajuan penelitian geologi dan perkembangan tatanama satuan stratigrafi menimbulkan dampak kerancuan penyebutan nama satuan stratigrafi dan pelamparannya : Formasi Kujung menjadi "Kujung Time" (Kujung 1, Kujung 11, dan Kujung 111), tetapi tidak jelas pemerian waktunya. Akan membingungkan lagi apabila yang akan datang, ada penyebutan Sikuen Kujung.
Distribusi/pelamparan Satuan Stratigrafi perlu dijelaskan lebih lanjut, tidak terbatas "dapat dipetakan dalam skala 1 : 25.000" saja, sehingga timbul problem "terlalu banyak nama-nama satuan litostratigrafi". Di sisi lain justru menimbulkan pertanyaan: "sejauh mana validitas pelamparan suatu formasi itu", sebagai contoh Formasi Talangakar dikenal dari Sumatra Selatan sampai Jawa Barat bagian Utara (NW Java Basin).
Munculnya penamaan satuan stratigrafi (Unit Allostratigrafi) yang mengacu kepada "Sandi Stratigrafi Asing" yang pernah muncul dalam Procceding PIT-IAGI sangat tidak diharapkan untuk dikembangkan. Bila dianggap perlu, satuan stratigrafi yang tidak mengacu pada SSI agar diusulkan kepada Komisi SSI-IAGI, untuk dimasukkan menjadi salah satu ayat dalam SSI (Pasal 12 SSI-1996).
Untuk mengatasi kerancuan dan problematika tatanama dan penamaan satuan stratigrafi, Komisi SSI-IAGI perlu memperhatikan setiap perkembangan satuan stratigrafi yang ada di Indonesia, dan mendokumentasikan di dalam bentuk "Lexicon Stratigrafi Indonesia".
Komisi SSI 1996 juga memberi peluang apabila ada usulan perubahan, penambahan, dan lainnya, sesuai dengan Pasal 12 SSI-1996, selanjutnya dapat disampaikan secara tertulis kepada Komisi SSI, IAGI. Pembahasannya dilaksanakan bersamaan PIT-IAGI.
Dengan adanya kepedulian dan peran aktif para Ahli Geologi di Indonesia, diharapkan SSI selalu dapat mengikuti perkembangan satuan stratigrafi pada setiap waktu.
Status Penerapan Lithostratigrafi Dalam Rencana penerbitan Leksikon Stratigrafi Indonesia
Pada prinsipnya Leksikon yang dirintis oleh P3G mengacu pada SSI 1996.
Perkembangan kegiatan penelitian dan pemetaan geologi hingga kini, menghasilkan nama satuan stratigrafi baru yang banyak bermunculan baik resmi ataupun tidak resmi.
Di antara nama yang diusulkan, terdapat ketidaksesuaian dengan kaidah-kaidah SSI, seperti perbedaan pemerian dan usulan nama yang berbeda untuk satuan batuan yang sama.
Hasil penelitian dan pemetaan geologi oleh P3G hingga kini menghasilakan lebih dari 2000 nama satuan batuan di Indonesia.
Penyusunan dan penataan kembali tatanama stratigrafi akan dilakukan oleh Puslitbang Geologi dengan tahapan pertama menerapkan litostratigrafi ke dalam bentuk leksikon.
Leksikon Stratigrafi Indonesia, menguraikan butir-butir nama satuan, umur, nomenklatur/tatanama, lokasi tipe, pemerian, kandungan fosil, hubungan stratigrafi, ketebalan, penyebaran, lingkungan pengendapan, tataan tektonik, aspek ekonomi, catatan dan acuan, serta dilengkapi dengan peta geografi yang memuat lokasi tipe masing-masing satuan.
Diharapkan, di masa mendatang, leksikon ini dapat diakses melalui suatu sistem informasi geologi.
Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi (Sutikno Bronto)
Ada 4 kendala penerapan satuan stratigrafi gunungapi dalam lingkup ilmu geologi di Indonesia :
Kendala Lingkup Penerapan
Selama ini Satuan Stratigrafi Gunungapi hanya diterapkan pada gunungapi Kuarter dan aktif dan penelitian tidak begitu cepat memberikan nilai ekonomi tinggi, maka sangat sedikit ahli geologi yang tertarik untuk mempelajari ilmu gunungapi.
Kendala Pendidikan Dasar Geologi
Pendidikan dasar geologi belum sepenuhnya mengacu pada kondisi geologi Indonesia yang berhubungan dengan cekungan sedimentasi busur magma dan gunungapi, menyebabkan pemahaman ilmu gunungapi sangat minim. Akibatnya Ilmu stratigrafi gunungapi terasa menjadi semakin sulit untuk dipelajari.
Kendala Kesampaian Medan
Kesampaian medan gunungapi yang sangat sulit, terjal menyebabkan keengganan para ahli geologi untuk melakukan penelitian di daerah gunungapi.
Kendala Atmosfer Penelitian
Belum terciptanya atmosfer penelitian di Indonesia secara optimal, apalagi yang menyangkut ilmu dasar dan dalam jangka pendek tidak langsung berorientasi ke ekonomi.
1.3. Stratigafi Regional
Secara stratigrafi, berdasarkan dari resume para peneliti terdahulu (Koesoemadinata dan Matasak, 1981, Koning, 1985, Situmorang, dkk., 1991, Yarmanto dan Fletcher, 1993, Barber, dkk., 2005) cekungan Ombilin memiliki batuan dengan umur Pra-Tersier (Perm dan Trias) hingga batuan berumur Kuarter (Gambar 4) dengan deskripsi dari tiap-tiap formasi yang ditulis oleh para peneliti terdahulu yang ditunjukkan pada (Gambar 5).
Gambar. 1.6 Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi Koesomadinata dan Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk.(1991), Yarmanto dan Fletcher (1993), Barber, dkk. (2005).
Gambar 1.7.Deskripsi dari tiap formasi kompilasi dari Koesomadinata dan Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991).
Untuk mempermudah penjelasan, penulis merujuk kepada satu tata nama satuan litostratigrafi, yaitu yang dibuat oleh Koesomadinata dan Matasak (1981), yang dijelaskan dari tua ke muda sebagai berikut.
Batuan Pra-Tersier
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), batuan Pra-Tersier merupakan batuan yang mendasari cekungan Ombilin. Batuan ini tersingkap di bagian barat dan timur dari cekungan.
Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian barat cekungan terdiri dari:
Formasi Silungkang
Terdiri dari litologi batuan vulkanik batugamping koral. Batuan vulkanik terdiri dari lava andesitik, basaltik serta tufa. Umur formasi ini adalah Permo- Karbon berdasarkan kandungan fosil Fusulinida pada batu gamping.
Formasi Tuhur
Terdiri dari litologi batusabak, anggota serpih dan anggota batugamping.Umur formasi ini adalah Trias.
Seluruh batuan ini kemudian diintrusi oleh Granit Lassi, yang berumur 200 juta tahun yang lalu (Katili,1962 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).
Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian timur cekungan terdiri dari:
Formasi Kuantan terdiri dari litologi batugamping Oolit yang mengalami rekristalisasi, marmer, batusabak, filit serta kuarsit yang berkembang secara lokal.Umur dari formasi ini adalah Trias (Kastowo dan Silitonga,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981)
Formasi Kuantan di intrusi oleh granit masif dari Formasi Sumpur (Musper, 1930 dalamKoesoemadinata dan Matasak, 1981) yang berumur 200 juta tahun yang lalu (Obradovich,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).
Batuan Tersier
Batuan Tersier cekungan Ombilin dapat dibagi menjadi enam formasi menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), sebagai berikut.
Formasi Brani
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Brani terdiri dari konglomeratberwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil sampai kerakal, dengan beraneka ragam jenis fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak dan argilit, granit, kuarsit, "arkosic gritsand" yang berbutir kasar, massif dan umumnya tidak berlapis. Umur formasi ini berdasarkanhubungan yang menjemari dengan Formasi Sangkarewang diduga Paleosen hingga Eosen. Formasi Brani diperkirakan diendapkan sebagai endapan kipas aluvial.
Formasi Sangkarewang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang terdiri dari serpihberlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam, plastis, gampingan mengandung material karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisan- lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam, matriks lempung terpilah buruk mengandung mika dan material karbon dan terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir ini menunjukan pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa polen umur dari formasi ini diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam Koesomadinata dan Matasak, 1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen Atas (Himawan, 1991 dalam Situmorang, dkk.,1991), berumur Paleosen-Eosen (Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen- Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993), berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan, 1989, Howells, 1997 dalam Barber, 2005). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) berdasarkan hubungannya dengan Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang berdasarkan analisa polen Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen diperkirakan Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan danau.
Formasi Sawahlunto
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terdiri dari sekuen serpihberwarna abu-kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa berwarna abu-kecoklatan dan dicirikan dengan hadirnya batubara. Serpih umumnya karbonan. Batupasir memiliki ciri sekuen menghalus ke atas, memiliki struktur sedimen berlapis silang- siur, ripple lamination dan dasar erosi tegas yang menunjukkan suatu sekuen point bar. Batubara umumnya berselingan dengan batulanau berwarna kelabu dan lempung karbonan.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) Formasi Sawahlunto ini berumur Eosen berdasarkan analisa polen yang menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen, sedangkan menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991) dan Bartman dalam Yarmanto dan Fletcher (1993) berdasarkan analisa polen, umur formasi ini diperkirakan Oligosen hingga Miosen Awal.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), hadirnya serpih karbonan, batubara, khususnya batupasir yang bertipe point bar menunjukkan lingkungan pengendapan dari formasi ini merupakan suatu dataran banjir dengan sungai yang berkelok dimana batubara terdepositkan.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto terletak selaras di atas Formasi Brani dan secara setempat juga terletak selaras dengan Formasi Sangkarewang dan juga diperkirakan menjemari dengan Formasi Sangkarewang di beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk (1981) dalam Koning (1985) proses pengangkatan dan erosi yang berhubungan dengan tektonik sesar mendatar terjadi pada saat pengendapan Formasi Sawahlunto. Proses hiatus ini menurut Koning (1985) ditemukan tersingkap di beberapa tempat dan sebagai bukti adanya ketidakselarasan bersudut pada beberapa hasil seismik pada pinggir cekungan.Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto memiliki ketebalan 274 meter. Sedangkan, menurut Koning (1985) berdasarkan sumur bor, tebal formasi ini 170 meter.
Formasi Sawah Tambang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh sekuen massifyang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang secara setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar, sebagian besar konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah sangat buruk, menyudut tanggung, keras dan masif. Ciri sekuen Formasi Sawahtambang terdiri dari siklus- siklus atau seri pengendapan dimana setiap siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan paralel laminasi dengan sekuen yang menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan terdapat lensa-lensa batupasir yang bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya berskala besar dan memiliki bentuk gelombang (trough crossbedded). Secara setempat, pada bagian bawah Formasi Sawahtambang, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang membentuk unit tersendiri yaitu sebagai Anggota Rasau. Sedangkan, pada bagian atas formasi ini dengan sisipan lapisan- lapisan batulempung dengan kandungan laminasi batubara yang terjadi secara setempat, membentuk unit sendiri, yaitu Anggota Poro.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terletak selaras di atas Formasi Brani dan memiliki hubungan selaras dan menjari dengan Formasi Sawahlunto di beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk. (1981) dalam Koning (1985) berdasarkan pemetaan lapanganyang telah dilakukan oleh Cameron, dkk. menunjukkan antara Formasi Sawahtambang dengan Formasi Sawahlunto memiliki hubungan ketidakselarasan bersudut. Sedangkan, menurut Situmorang, dkk (1991) secara keseluruhan antara Formasi Sawahlunto dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan menjari berdasarkan lingkungan pengendapan dari kedua formasi tersebut yang merupakan sistem sungai, yang mana Formasi Sawahtambang memiliki lingkungan pengendapan sungai teranyam pada bagian fasies proksimal yang berubah secara lateral menjadi fasies distal yang membentuk endapan sungai berkelok dari Formasi Sawahlunto.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) umur dari formasi ini berdasarkan posisi stratigrafi di bawah Formasi Ombilin dan hubungan yang selaras di atas Formasi Sawahlunto diperkirakan berumur Oligosen. Menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991) berdasarkan analisa polen formasi ini juga menunjukan berumur Oligosen.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) dan Situmorang, dkk. (1991), formasi ini diendapkan pada lingkungan sistem sungai teranyam.eMenurut Whateley dan Jordan (1989) dan Howells (1997) dalam Barber, dkk. (2005) sumber sedimen dari Formasi Sawahtambang ini berasal dari barat cekungan Ombilin. Menurut Barber, dkk. (2005) proses pengendapan dari Formasi Sawahtambang ini bersamaan dengan pengangkatan dari Bukit Barisan.Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahtambang memiliki ketebalan antara 625 meter sampai 825 meter, dan menunjukan terjadinya penebalan dari utara cekungan ke arah selatan. Sedangkan, menurut (Koning, 1985) berdasarkan sumur bor tebal formasi ini 1420 meter.
Formasi Ombilin
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari serpih ataunapal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila lapuk menjadi berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk kedalam sekuen ini adalah lapisan-lapisan batupasir yang mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu kehijauan, secara umum terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada bagian bawah dari formasi ini terdapat nodul-nodul batugamping dan lensa batugamping foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas sisipan lapisan batupasir tufaan, diselingi oleh batulanau bersifat karbonan, mengandung glaukonit dan fosil moluska. Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) napal dari formasi ini mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut.Umur dari formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal (Koesomadinata dan Matasak, 1981, Humpreys, dkk., 1991 dalam Situmorang, dkk., 1991).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan fosil bentonik serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan neritik luar sampai batial atas. Menurut Howell (1997) dalam Barber, dkk. (2005) Formasi Ombilin terendapkan pada lingkungan laut, yang terdiri dari batupasir halus, batulanau dan batulempung yang sering kali karbonatan dengan batugamping secara setempat memiliki ketebalan 50 meter sampai 100 meter yang termasuk ke dalam lentikuler koral dan batugamping alga. Batupasir halus dengan fragmen dari batubara dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir pantai. Proses pengendapan Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini terjadi akibat adanya proses transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin yang berhubungan dengan fase transgressi pada cekungan busur belakang Sumatra (Situmorang, dkk., 1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak selaras di atas Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di beberapa tempat. Sedangkan, Formasi Ombilin terletak selaras di atas Formasi Sawahtambang. Menurut Koning (1985) antara Formasi Ombilin dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan reflektansi vitrinit terhadap kedalaman pada sumur bor di subcekungan Sinamar yang mengindikasikan terdapatnya bagian Sawahtambang yang telah tererosi.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin memiliki ketebalan antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning (1985) berdasarkan data seismik, tebal formasi ini 2740 meter.
Formasi Ranau
Menurut van Bemmelen (1943) pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin, didapatkanformasi berupa tufa yang disebut sebagai Tufa Ranau. Tufa ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen (Koesomadinata dan Matasak, 1981), sedangkan menurut Bellon, dkk. (2004) dalam Barber, dkk. 2005 umur dari formasi ini diperkirakan antara 5,5 hingga 2,4 juta tahun yang lalu (Pliosen).
Adanya perbedaan urutan litostratigrafi terhadap umur dari tiap peneliti-peneliti sebelumnya (Gambar .2), diakibatkan oleh sukarnya penentuan umur yang tepat dari tiap formasi pada cekungan Ombilin bagian bawah yang berupa endapan darat. Penentuan umur yangmemiliki rentang umum dari endapan-endapan darat tersebut, dibatasi oleh endapan berlingkungan laut Formasi Ombilin yang terdapat foraminifera dari Miosen Awal, yang memberikan batas umur paling muda untuk formasi-formasi yang lebih tua (Gambar 4).
Proses penambangan batubara pada saat ini terletak di bagian barat cekungan ombilin dan terdapat pada formasi sawahlunto yang terdiri dari batu lempung ( clay stone ), batu pasir ( sand stone ), dan batu Lanau ( silkstone ) dengan sisipan batubara. Formasi sawahlunto ini terletak pada dua jalur yang terpisah yaitu jalur yang menjurus dari Sawahlunto sampai ke Sawahrasau dan dari Tanah Hitam terus ke timur dan kemudian kea rah utara yang disebut Parambahan.
1.4 Metode Pengambilan Data Stratigrafi
1. Metode Jacob Staff
Metode Jacob Staff adalah metode yang digunakan untuk megukur ketebalan suatu lapisan batuan yang menggunakan alat yang bernama tongkat jacob yaitu tongkat yang panjangnya 150 cm, diberi tanda atau grid yang panjangnya 10cm berwarna hitam putih atau merah putih untuk memudahkan perhitungan tebal lapisan tersebut dan pada ujung tongkat terdapat busur derajat untuk menyesuaikan kemiringan lapisan batuan. Metode ini lebih praktis dan cepat dalam pengolahan datanya dikarenakan langsung dapat mengetahui tebal sebenarnya. Tetapi tidah semua bidang perlapisan bisa diukur dengan metode ini, karena diperlukan singkapan yang ideal.
Cara penggunaan metode ini adalah : Mengukur dip bidang perlapiasn tersebut setelah itu tempelkan ujung bawah tongkat Jacob Staff ini pada lapisan yang paling bawah, kemudian dimiringkan sesuai dengan dip lapisan tersebut.
2. Metode Bentang Tali
Metode rentang tali adalah metode yang lakukan untuk mengukur ketebalan sebenarnya suatu bidang perlapisan dengan cara merentangkan tali yang sudah di beri tanda atau grid setiap 10 cm atau 1 meter, kemudian direntangkan pada singkapan batuan dan sebelumnya diukur dip dan slope bidang singkapan tersebut. Selanjutnya dalam pengolahan data lapangan menggunakan metode matematis dengan rumus. Metode ini lebih akurat dibandingkan dengan Metode Jacob Staff.
2.1 Pada daerah datar
Pengukuran pada daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak lurus jurus, ketebalan langsung di dapat dengan menggunakan rumus : T = d sin (dimana d adalah jarak terukur di lapangan dan adalah sudut kemiringan lapisan). Apabila pengukuran tidak tegak lurus jurus, maka jarak terukur harus dikoreksi seperti pada cara dibawah.
(Gambar 1.8 sketsa pengukuran tidak tegak lurus)
2.2 Pada daerah berlereng Terdapat beberapa kemungkinan posisi lapisan terhadap lereng seperti diperlihatkan pada gambar 2 dan gambar 3. (Catatan: sudut lereng (s) dan kemiringan lapisan ( ) adalah pada keadaan yang tegak lurus dengan jurus atau disebut "true dip" dan "true slope" ).
Kemiringan lapisan searah dengan lereng.
Bila kemiringan lapisan ( ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah : T = d sin ( - s )
(Gambar 1.9 Bila kemiringan lapisan ( ) lebih besar daripada sudut lereng (s) dan arah lintasan tegak lurus jurus)
Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudut lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah : T = d sin (s - )
(Gambar 1.10 Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada sudut lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus)
Kemiringan lapisan berlawanan arah dengan lereng
Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus maka : T = d sin ( + s )
(Gambar 1.11 Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus)
Apabila jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 900 (lereng berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus jurus maka: T = d
(Gambar 1.12 lereng berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus jurus)
Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka : T = d sin (1800 - - s)
(Gambar 1.13 Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul terhadap lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus)
2.3 Kemiringan lapisan mendatar
Bila lapisannya relatif mendatar,dengan kemiringan lereng yang sudah diketahui dan di ukur. Maka dapat menggunakan rumus : T = d sin (s)
(Gambar 1.14 Bila lapisannya relatif mendatar,dengan kemiringan lereng yang sudah diketahui dan di ukur)
2.4 Lapisan batuan tegak
Bila lapisannya relatif tegak,dengan kemiringan lereng yang sudah diketahui dan di ukur. Maka dapat menggunakan rumus : T = d sin (90o - s)
(Gambar 1.15 Bila lapisannya relatif tegak,dengan kemiringan lereng yang sudah diketahui dan di ukur)
1.5 Geomorfologi
Kota Sawahlunto terletak di koordinat 100°41'59" - 100°49'60" BT dan 0°33'10" - 0°48'33" LS. Kota ini berjarak 94 km ke arah timur Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, dan 137 km ke arah selatan Kota Bukittinggi.Kota Sawahlunto terletak di antara jajaran Bukit Barisan. Dengan ketinggian antara 250-650 m dpl, Kota Sawahlunto memiliki bentang alam yang bervariasi, terdiri dari perbukitan terjal, landai, dan dataran. Kota lama seluas 5,8 km terletak di sebuah plato sempit yang dikelilingi perbukitan terjal, menjadikan daerah sekelilingnya sebagai pembatas dalam pengembangan tata wilayah kota ini. Sedangkan kawasan datar yang relatif lebar terdapat di Kecamatan Talawi, yang terbentang dari utara keselatan, sementara di bagian utara yang bergelombang dan relatif datar, kawasan berpenduduk lebih banyak berada dikawasan dengan ketinggian 100 – 500 m dpl. Untuk kawasan yang terletak pada bagian timur dan selatan, topografi wilayahnya relatif curam (dengan kemiringan lebih dari 40%).
Morfologi atau bentang alam Kota Sawahlunto dan sekitarnya dapat dikelompokkan menjadi perbukitan terjal, perbukitan landai, dan dataran. Perbukitan terjalnya berupa bukit membulat dengan lereng bukit curam hingga terjal. Kemiringan lereng terjal menjadi kendala sekaligus faktor pembatas bagi perkembangan wilayah ini. Perbukitan landai terletak hampir di tengah Kota Sawahlunto seperti kondisinya saat ini, tetapi umumnya berupa jalur-jalur sempit yang dapat dikembangkan menjadi suatu permukiman perkotaan. Posisinya memanjang sepanjang sepanjang sesar Sawahlunto, memisahkan perbukitan terjal yang terletak di kedua sisinya. Sedangkan dataran yang memungkinkan berkembangnya permukiman perkotaan hanya dijumpai di Talawi dan Kota Sawahlunto (Pemerintah Daerah Kota Sawahlunto dan Lembaga Pengabdian pada Masyarakat, ITB).
Kawasan dengan kemiringan lereng antara 0% hingga 15%, yaitu kawasan di Kota Sawahlunto yang bisa dimanfaatkan dengan sedikit kesukaran teknis dan aman, hanya memiliki luas 5.183 hektar atau 18,5% luas daerah, yang mana seluas 2.411 hektar berada di Talawi.
Kota Sawahlunto dilalui oleh lima sungai, yaitu:
1. Batang Ombilin, yang mengalir dari Desa Talawi di utara ke Desa Rantih, Kecamatan Talawi, di selatan
2. Batang Malakutan, yang mengalir dari hulunya di Desa Siberambang, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Solok di barat, melewati beberapa Desa Kolok Mudiak dan Desa Kolok Tuo di Kecamatan Barangin, ke arah timur dan bertemu dengan Sungai Ombilin
3. Batang Lunto, berhulu di Desa Lumandai di Kecamatan Barangin di barat, mengalir ke arah timur dan membelah Kota Sawahlunto, Kecamatan Lembah Segar dan bermuara di Batang Ombilin
4. Batang Sumpahan, berhulu di Kelurahan Sapan, Kecamatan Barangin, kemudian bertemu dengan Batang Lunto dan bermuara di Batang Ombilin
5. Batang Lasi, berhulu di Sepuluh Koto Sungai Lasi, Kabupaten Solok, yang mengalir menyusuri sepanjang jalan dari Solok ke Sijunjung, Kecamatan Silungkang, dan keluar di perbatasan Kota Sawahlunto, Sijunjung. Sungai ini kemudian bertemu dengan Batang Ombilin di Sungai Kuantan dan Indragiri.
1.6 Geologi Struktur
Kota Sawahlunto terletak di sebuah cekungan batuan yang terbentuk pada masa Pra-Tersier Ombilin. Bentuknya berupa belah ketupat panjang dengan ujung yang bulat, dengan lebar 22,5 km dan panjang 47 km. Cekungan yang dalamnya diperkirakan sampai 2 km itu diisi oleh lapisan yang lebih muda, yang disebut dengan formasi Brani, formasi Sangkarewang, formasi Sawahlunto, formasi Sawah Tambang, dan formasi Ombilin. Formasi Ombilin tergolong lapisan paling muda, yang terbentuk pada jaman Tersier, lebih dari 2 juta tahun yang lalu. Kota Sawahlunto sendiri berdiri di atas formasi Sawahlunto, yang berupa batuan dan terbentuk pada jaman Eocen dari masa sekitar 40 – 60 tahun yang lalu. Menurut para ahli, wilayah sekitar kepulauan Nusantara yang dikenal saat ini terbentuk sekitar 4 juta tahun yang lalu, sehingga diperkirakan ketika formasi Sawahlunto terbentuk, Pulau Sumatera belum ada.
Struktur Ombilin
Berdasarkan data geologi yang ada saat ini, Cekungan Ombilin dinyatakan sebagai suatu graben yang terbentuk akibat struktur pull-apart yang dihasilkan pada waktu Tertier Awal, yang diikuti dengan tektonik tensional sehubungan dengan pergerakan strike-slip sepanjang zona Patahan Besar Sumatera. Berikutnya terjadi erosi dan patahan, sehingga menghalangi rekonstruksi dari konfigurasi Cekungan Ombilin yang sebenarnya(Gambar2.2). Gambar.1.16 Elemen Struktur Paleogen dan Neogen Cekungan Sumatera Tengah
(Koesoemadinata dan Matasak,1981)
Cekungan Ombilin pada awalnya lebih luas dari batas-batas tepi cekungan yang adasaat ini. Walaupun begitu, erosi pasca pengendapan telah menghilangkan batas dari cekungan awal. Sesar Tanjung Ampolo telah membelah Cekungan Ombilin dalam ukuran besar dan secara struktural memisahkan cekungan tersebut menjadi dua bagian. Bagian Timur adalah bagian yang turun, sementara bagian barat adalah bagian yang berada diatas, sehingga memperlihatkan bagian lapisan yang dibawahnya ((KoesoemadinatadanMatasak, 1981)(Gambar2.2).
Gambar.1.17 LokasiBlok SouthWestBukitBarisanpadaPatahanSumatera
(KoesoemadinatadanMatasak, 1981)
Gambar.1.18 Peta Geologi Cekungan Ombilin (dimodifikasi dari Koesoemadinata dan Matasak, 1981)
Patahan Utara-Selatan Tanjung Ampalo membentuk patahan yang megah menonjol dan kelihatan nyata,sebagian patahan yang ditandai dengan adanya suatu tebing yang memisahkan bagian dalam dari Cekungan Ombilin dari daratan Sigalut dan dibentuk oleh batuan pasir konglomeratik dalam jumlah yang besar dari Formasi Sawahtambang Kala Oligocene.
Patahan Tanjung Ampalo di yakini sebagai tingkat kedua dari dextral wrench yang dihubungkan dengan Zona Patahan Besar Sumatera. Patahan terbelah dibagian selatan dengan satu bagian mengarah selatan dari cekungan kedataran tinggi Pre-tertiary dan bagian yang lain sejajar dengan batas cekungan barat.Batas timur cekungan tersebut ditandai dengan patahan menonjol Takung dimana batuan Pre- tertiary terendap kan diatas endapan Tertiary.
Pembentukan pegunungan pada kala miosen tengah telah mengangkat bagian tenggara dari cekungan tersebut dan batuan Formasi Tertiary yang muncul dari erosi berikut nya membentuk tepian selatan dan barat laut dari cekunganya ngada saat ini. Patahan terbalik telah ditemukan pada cekungan tersebut, semuanya sejajar dan berhubungan dengan Patahan Takung. Patahan yang mengarah ke barat daya ditemukan pada bagian barat laut dari cekungan dan memisahkan endapan Pre-tertiary dan Tertiary (Koesoemadinata dan Matasak,1981).
1.7 Peta Regional Sawahlunto
Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional
Perkembangan struktur pada cekungan Ombilin dikontrol oleh pergerakan Sistem Sesar Sumatera yang membuat sesar tua yang telah terbentuk ditimpa oleh sesar yang lebih muda oleh sistem sesar yang sama (Situmorang, dkk., 1991)
Menurut Situmorang, dkk.(1991) keseluruhan geometri cekungan Ombilin memanjang dengan arah umum barat laut tenggara, dibatasi oleh sesar berarah barat laut-tenggara Sitangkai di utara dan sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang lebih paralel terhadap Sistem Sesar Sumatra (Gambar 5).
Gambar 1.19 Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatera Barat (Situmorang, dkk., 1991).
Menurut Situmorang, dkk. (1991) secara umum, cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh Sesar Tanjung Ampalu berarah utara- selatan.
Menurut Situmorang, dkk.(1991) secara lokal ada tiga bagian struktur yang bisa dikenal pada cekungan Ombilin.
1.Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian dari sistem sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh Sesar Sitangkai dan Sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah tenggara menjadi sesar Takung. Bagian selatan dari cekungan dibatasi oleh Sesar Silungkang.
2.Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat pada timur laut dari cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola tangga (step-like fault), dari utara ke selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar Tanjung Ampalu. Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari pembentukan cekungan dan terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan.
3.Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar antitetik mengiri dengan komponen dominan dip-slip.
Menurut Situmorang, dkk.(1991) pola struktur keseluruhan dari cekungan Ombilin menunjukkan sistem transtensional atau pull-apart yang terbentuk di antara offset lepasan dari Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-tenggara yang mana sistem sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan sistem sesar yang berarah baratlaut-tenggara.
Menurut Situmorang, dkk.(1991) adanya fase ekstensional dan kompresional yang ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena umum untuk cekungan Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan ini mengalami pergantian fase ekstensional pada satu sisi yang diikuti oleh pemendekkan pada sisi yang lain.
Hastuti, dkk. (2001) mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang bekerja pada Cekungan Ombilin yang mempengaruhi pola struktur pada Cekungan Ombilin (Gambar 2.7 dan Gambar 2.8). Lima fase tektonik yang terjadi pada cekungan Ombilin menurut Hastuti, dkk. (2001), yaitu:
-Fase tektonik pertama (F3grnt) berlangsung awal Tersier berupa fase tektonik ekstensif bersamaan dengan terbentuknya sistem tarik pisah berarah baratlaut-tenggara yang merupakan awal terbentuknya cekungan Ombilin. Bersamaan dengan membukanya cekungan, terbentuk endapan kipas aluvium Formasi Brani menempati lereng-lerengtinggian batuan dasar dan terbentuk endapan rawa Formasi Sangkarewang di bagian tengah cekungan.
-Fase tektonik ke dua (F4brn) berlangsung sejak Eosen berupa fase kompresif dengan terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase kompresif dibeberapa tempat terdapat daerah ekstensif yang menyebabkan penurunan dasar cekungan yang cepat dan diimbangi pula oleh pengendapan sedimen yang seimbang, menyebabkan pelongsoran- pelongsoran endapan aluvium Formasi Brani pada tepi cekungan dan sebagian masuk ke dalam endapan rawa Formasi Sangkarewang, sehingga kedua formasi berhubungan menjari- jemari.
-Fase tektonik ke tiga berupa fase kompresif (F5swl). Fase ini mengakibatkan proses pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai berkelok Formasi Sawahlunto. Di beberapa tempat fase kompresif diikuti oleh fase ekstensif dengan terbentuknya endapan batubara di daerah limpah banjir. Selain itu, pada fase ini terjadi pengaktifan kembali sesar- sesar yang sudah terbentuk dan sesar minor berupa sesar naik yang terjadi bersamaan dengan pengendapan Formasi Sawahlunto.
-Fase tektonik yang ke empat berupa fase kompresif (F6swtk) berarah relatif utara-selatan. Akibat fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan baratlaut-tenggara yang terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik dan sesar mendatar. Bersamaan dengan fase ini (F6swtk) terjadi pula fase ekstensif (F6swte) berarah relatif baratlaut- tenggara yang mengakibatkan dibeberapa tempat terjadi genangan rawa dan penumpukan sedimen yang membentuk endapan tipis batubara.
-Fase tektonik yang ke lima berupa fase ekstensif (F7omben) yang berarah relatif utara- selatan berlangsung sejak Miosen awal. Fase ini mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar berarah barat-timur. Selain itu, fase ekstensif ini mengakibatkan terjadinya Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan yang kemudian diikuti dengan fase genanglaut. Pada Miosen Akhir terjadi fase kompresif (F7ombek) berarah relatif barat-timur yang menghasilkan sesar- sesar berarah timurlaut-baratdaya dan sesar-sesar yang terbentuk awal aktif kembali.
Gambar 1.20. Tektonikstratigrafi cekungan Ombilin menurut penjelasan Hastuti, dkk.(2001) dan. Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatera Barat menurutHastuti, dkk.(2001). (A) Kapur-Tersier Awal (B) Paleosen (C) Miosen Awal (D) Plio-Pleistosen.
1.8 METODE PENELITIAN
Metodelogi
Metode penelitian yang kami lakukan adalah dengan cara penelitian langsung kelapangan ( fieldtrip),dengan metode pagambilan sampling dilapangan. Daerah penelitian yang kami teliti merupakan daerah cekungan ombilin(sawah lunto dan sekitarnya).
Adapun metode penelitian yang kami lakukan adalah sebagai berikut:
Alat lapangan :
Kompas Geologi
Kompas yang digunakan berjenis brunton untuk menenunjukkan arah, mengukur stike/dip, Azimuth, Slope, mengeplot lokasi, dan lintasan.
Peta Topografi
Peta dasar atau potret udara gunanya untuk mengetahui gambaran secara garis besar daerah yang akan kita selidiki, sehingga memudahkan penelitian lapangan baik morfologi, litologi, struktur dll. Selain itu peta dasar digunakan untuk menentukan lokasi dan pengeplotan data, umumnya yang digunakan adalah peta topgrafi/kontur.
Palu Batuan Beku (pick point)
Palu batuan beku yaitu alat yang umum digunakan oleh para peneliti untuk mengambil sampel batuan, Palu batuan beku berbentuk runcing ini umumnya dipakai di daerah batuan keras (batuan beku dan metamorf).
Palu Batuan Sedimen (chisel point)
Jenis palu geologi yang digunakan salah satunya adalah palu batuan sedimen (chisel point). Bentuknya berujung datar seperti pahat, umumnya dipakai untuk batuan yang berlapis (batuan sedimen) dan mengambil fosil.
Lup
Lup atau kaca pembesar adalah sebuah lensa cembung yang mempunyai titik fokus yang dekat dengan lensanya. Benda yang akan diperbesar terletak di dalam titik fokus lup itu atau jarak benda ke lensa lup tersebut lebih kecil dibandingkan jarak titik fokus lup ke lensa lup tersebut. Di geologi, lup digunakan untuk mengamati batuan misalnya mineral maupun fosil., lensa pembesar yang umum dipakai adalah perbesaran 8 sampai 20.
Komparator Geologi
Komparator dipakai untuk membantu dalam deskripsi batuan, misalnya komparator butir, pemilahan (sorting) atau prosentase komposisi mineral, maupun tabel-tabel determinasi batuan baik batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf, dan lain sebagainya.
Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam kegiatan lapangan biasanya menggunakan meteran 50 meter. Berbentuk seperti roll kabel agar praktis dibawa. Biasanya digunakan untuk mengukur jarak litasan dalam suatu daerah ataupun mengukur ketebalan lapisan.
Larutan HCl N
HCl digunakan untuk menguji ada atau tidaknya kandungan karbonat dalam suatu batuan yang diamati terutama batuan sedimen. Caranya adalah dengan meneteskan larutan tersebut pada batuan yang sedang diamati. Apabila batuan tersebut berbuih setelah ditetesi HCl, maka diindikasikanbatuan tersebut mengandung karbonat, dan sebaliknya.
Kantong Sampel
Kantong contoh batuan (kantong sampel) dapat digunakan kantong plastik yang kuat atau kantong jenis lain yang dapat dipakai untuk membungkus contoh-contoh batuan dengan ukuran yang baik yaitu kurang lebih (13x9x3) cm. Sedangkan kertas label digunakan untuk memberi kode pada tiap contoh batuan sehingga mudah untuk dibedakan. Dapat juga menggunakan "permanent spidol" untuk memberi kode langsung pada kantong.
Kamera
Dalam fieldtrip ini, kamera digunakan untuk mengambil gambar sampel batuan, mineral dan gambar daerah sekeliling tempat ditemukannya batuan atau mineral yang diteliti tersebut sebagai bukti dilaksanakannya praktikum.
Tas Ransel
Tas ransel digunakan sebagai tempat peralatan yang diperlukan untuk dibawa ketika penelitian sehingga tidak kesulitan untuk dibawa.
Alat tulis
Alat tulis terdiri dari papan dada, pensil, bolpoin dan beberapa lembar kertas HVS. Alat tulis ini digunakan untuk mencatat setiap materi dan hasil pengamatan yang telah dilakukan dari stopsite satu ke stopsite lain
Langkah kerja :
Metode Orientasi Lapangan (Field Orientation)
Prinsip pada metode Orientasi Lapangan ini adalah dengan cara memplot Lokasi pengamatan/singkapan (stasiun) berdasarkan pada orientasi terhadap sungai, puncak-puncak bukit/gunung, Kota, Desa, dll. Titik patokan yang digunakan dalam metode ini adalah daerah yang dikenal di lapangan dan berada dalam peta dasar (topografi).
Metode Lintasan Kompas (Compass Traverse)
Prinsip pada metode lapangan ini adalah dengan cara menentukan lintasan sebelumnya dengan kontrol arah kompas sesuai rencana lintasan.
Metode Pita Ukur dan Kompas (Tape and Compass Traverse)
Alat yang digunakan dalam metode ini adalah kompas dan pita ukur atau skala geologi (biasanya berukuran 5-50 m). Pada metode ini, arah lintasan dapat ditentukan sesuai dengan keinginan pemeta. Sehingga dianggap merupakan metode lapangan yang paling teliti, efektif dan efisien.
metode meusured straction
yaitu metode untuk pembuatan log, di dalam ini menggunakan kompas Brunto untuk mengeplot azimuth, Slope, dan strike/dip pada satu singkapan
B. PEMBAHASAN
Penjelasan per Stasiun Beserta Statigrafinya
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 09.30 WIB -
Stasiun : 1 Daerah : sawahlunto
Cuaca : mendung Srike/Dip : N 300o E/70o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban
INTERPRETASI
Satuan pada singkapan 1 – 2 kami mengukur sepanjang 40 meter dengan kedudukan azimuth 50° dan slope -4°. Pada stasiun ini kami mendapati sebanyak 4 lapisan yang terdiri dari 2 jenis litologi yaitu batulanau setebal 70 cm dan 181 cm, batu gamping wackstone setebal 80 cm dan lanau yang terendapkan secara berulang dan bergantian. Dan pada bagian tegah dari singkapan terdapat soil yang menutupi sehingga pada bagian tersebut tidak diketemukan data. Dan pada 3,8 meter terakhir kami jg menemukan batugamping kristalin.
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 10.50 WIB-
Stasiun : 2 Daerah : sawahlunto
Cuaca : mendung Srike/Dip : N 271o E/65o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban
INTERPRETASI
Satuan pada singkapan 2 – 3 kami mengukur sepanjang 20 meter dengan kedudukan azimuth 40° dan slope -11°. Pada stasiun kedua, kami menemukan batulanau dengan ketebalan 97 cm dengan ciri fisik, warna lapuk coklat, warna segarnya abu-abu kecoklatan, S angular, wellsorted dan karbonatan. Setelah itu terdapat juga batulempung dengan ketebalan 1,4 M dengan warna lapuk coklat kehijauan dan warna segar abu-abu kehitaman, dan kabonatan. Lalu juga ada batupasir halus yang hanya dengan ketebalan 16 cm, ini bisa juga disebut sisipan batupasir yang terdapat pada batulempung. Dan batulanau dengan ketebalan 69 cm serta pada lapisan terakhir terdapat batulempung dengan ketebalan 15 cm.
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 14.10 WIB -
Stasiun : 3 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 293o E/ 46o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban
INTERPRETASI
Satuan pada singkapan 3 – 4 kami mengukur sepanjang 4,7 meter dengan kedudukan azimuth 5° dan slope -8°. Pada stasiun ini ditemukan batuan sedimen yaitu batulempung yang menyerpih dengan ketebalan 1,2 meter, batulempung tersebut karbonatan. Kami juga menemukan singkapan yang hilang dengan panjang 8 meter.
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 14.35 WIB -
Stasiun : 4 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 157o E/ 35o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban
INTERPRETASI
Pada stasiun 4 terdapatnya serpih yang memiliki warna lapuk abu-abu kecoklatan dan warna segar abu-abu. Kebundarannya S angular, serta kemasnya tertutup dan karbonatan. Panjang tersingkapnya batu tersebut 7,4 M. Slop pada stasiun ini adalah -50. Sebab jalur lintasan kami yaitu mengarah dari atas ke bawah (menurun).
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 15.15 WIB -
Stasiun : 5 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 195o E/ 84o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban
INTERPRETASI
Pada stasiun 5 terdapat batulempung dengan ketebalan 343 cm dengan berkedudukan N1950E/840 dan slop nya -60. Batulempung memiliki wrana lapuk hijau kekuningan dan warna segar abu-abu kekuningan. Kebundaran nya S angular, kemasnya tertutup dan pemilahannya poorlysorted. Batulempung ini adalah karbonatan. Ini menunjukkan bawa singkapa ini merupakan zona lipatan atau hancuran.
Hari/ Tanggal : rabu/09-11-2016 Jam : 15.30 WIB -
Stasiun : 6 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 209o E/ 75o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban
INTERPRETASI
Satuan pada singkapan 6 kami mengukur sepanjang 8,4 meter dengan kedudukan azimuth 37° dan slope 3°. Pada stasiun 6 terdapatnya batulempung dengan endapan kalsit, ketebalan batulempung ini 140 cm dengan kedudukan N2090E/750. Panjang singkapan pada stasiun ke lima ini adlah 592 cm. batulempung itu memiliki ciri fisik dengan warna lapuk hijau kekuningan dan segarnya abu-abu keputihan, kebundarannya S angular dan batulempung ini karbonatan.
Hari/ Tanggal : rabu /09-11-2016 Jam : 15 : 50 WIB
Stasiun : 7 Daerah : sawahlunto
Cuaca : gerimis Srike/Dip : N 205o E/ 87o
Di ukur oleh : kelompok 9 Lokasi : Sungai Loban
INTERPRETASI
Pada stasiun ini kami menemukan batulanau dengan ketebalan 160 cm. kebundarannya angular, kemasnya tertutup, permilahannya well sorted , permabilitasnya buruk dan kontaknya berangsur. Batulanau merupakan batuan sedimen yang mengandung karbonatan karena lingkungan pengendapannya di tepi sungai.
INTERPRESTASI JALUR LINTASAN
Pengukuran penampang statigrafi atau disebut juga dengan Measuring Section yang dilakukan pada sungai loban didesa Muaro kelaban tepatnya di kota Sawahluntoh, Sumatra barat. Secara hitungan koordinat, sungai loban tersebut terletak pada posisi 00042'31" LS dan 100046'46,59" BT. Pengukuran yang kami lakukan dimuali dari atas ke bawah.
Pada stasiun pertama, kami menemukan terdapatnya batulanau dan batugamping. Batulanau memiliki warna segar abu-abu kehitaman dan warna lapuknya coklat keabuan sedangkan batugamping memiliki warna segar coklat dan warna lapuknya coklat kehitaman. Kedua batu itu sama sama karbonatan. Ketebalan pada batulanau adalah 70 cm dan batugamping 80 cm. pada stasiun pertama ini kami mendapat kedudukan N 3000E/700. Lalu pada stasiun pertama ini juga terdapat bongkah dengan panjang 1,1 M, setelah itu baru dijumpai lagi batulanau dengan ketebalan 1,1 M.
Pada stasiun kedua, kami menemukan batulanau dengan ketebalan 97 cm dengan ciri fisik, warna lapuk coklat, warna segarnya abu-abu kecoklatan, S angular, wellsorted dan karbonatan. Setelah itu terdapat juga batulempung dengan ketebalan 1,4 M dengan warna lapuk coklat kehijauan dan warna segar abu-abu kehitaman, dan kabonatan. Lalu juga ada batupasir halus yang hanya dengan ketebalan 16 cm, ini bisa juga disebut sisipan batupasir yang terdapat pada batulempung. Dan batulanau dengan ketebalan 69 cm serta pada lapisan terakhir terdapat batulempung dengan ketebalan 15 cm. semua batu yang terdapat pada stasiun 2 ini semua karbonatan.
Pada stasiun 3 kami menjumpi batulempung dengan ciri fisik diantaranya, ,memiliki warna lapuk abu-abu kehitaman dan warna segarnya abu-abu kehijauan. Kebundarannya S angular, pemilahannya poorlysorted dan batulempung ini karbonatan. Ketebalan batulempung yang kami temukan di stasiun 3 adalah 1,2 M, setelah itu kami menjumapai bongkah dengan panjang 8 M.
Pada stasiun 4 terdapatnya serpih yang memiliki warna lapuk abu-abu kecoklatan dan warna segar abu-abu. Kebundarannya S angular, serta kemasnya tertutup dan karbonatan. Panjang tersingkapnya batu tersebut 7,4 M. Slop pada stasiun ini adalah -50. Sebab jalur lintasan kami yaitu mengarah dari atas ke bawah (menurun).
Pada stasiun 5 terdapat batulempung dengan ketebalan 343 cm dengan berkedudukan N1950E/840 dan slop nya -60. Batulempung memiliki wrana lapuk hijau kekuningan dan warna segar abu-abu kekuningan. Kebundaran nya S angular, kemasnya tertutup dan pemilahannya poorlysorted. Batulempung ini adalah karbonatan.
Pada stasiun 6 terdapatnya batulempung dengan endapan kalsit, ketebalan batulempung ini 140 cm dengan kedudukan N2090E/750. Panjang singkapan pada stasiun ke lima ini adlah 592 cm. batulempung itu memiliki ciri fisik dengan warna lapuk hijau kekuningan dan segarnya abu-abu keputihan, kebundarannya S angular dan batulempung ini karbonatan.
Pada stasiun 7 kami menemukan batulanau dengan karbonatan. Ketebalan batulanaun ini adalah 160 cm dan memiliki warna lapuk coklat keputihan serta warna segarnya coklat. Kebundarannya Angular dan kemasnya tertutup serta kontaknya berangsur.
DAFTAR PUSTAKA
http://alfhadlyblog.blogspot.co.id/2012/11/contoh-laporan-prinsip-stratifrafi.html
https://kelompok5stratigrafi.wordpress.com/2011/10/29/prinsip-prinsip-dasar-stratigrafi/
https://id.wikipedia.org/wiki/Stratigrafi
http://materiilmugeografi.blogspot.co.id/2015/12/prinsip-stratigrafi.html