LAPORAN PENDAHULUAN (LP)
HIPERBILIRUBINEMIA
DI RUANG PERINATOLOGI RSUD KOTA SEMARANG
Disusun Oleh :
Nama : Yulia Wardah
NIM : 8933171480
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2015
KONSEP DASAR
PENGERTIAN
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin indirek pada otak terutama pada corpus striatum, thalamus, nukleus thalamus, hipokampus, nukleus merah dan nukleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin tersebut berkisar antara 10 mg / dl pada bayi cukup bulan dan 12,5 mg / dl pada bayi kurang bulan (Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan(Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut 'Excess Physiological Jaundice'. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani (Etika et al,2006).
ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi :
Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005).
PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009).
MANIFESTASI KLINIS
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007).
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
Tampak pada hari 3,4
Bayi tampak sehat (normal)
Kadar bilirubin total <12mg%
Menghilang paling lambat 10-14 hari
Tak ada faktor resiko
Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al, 2005).
Gambaran klinik ikterus patologis :
Timbul pada umur <36 jam
Cepat berkembang
Bisa disertai anemia
Menghilang lebih dari 2 minggu
Ada faktor resiko
Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 2005).
Tampak ikterus pada sklera, kuku, dan sebagian besar kulit serta membran mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak bayi lahir disebabkan oleh penyakit hemolitik, sepsis atau ibu dengan diabetik dan infeksi. Jaundice yang tampak pada hari ke-2 atau ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-3 sampaike-4 serta menurun pada hari ke-5 sapai hari ke-7 biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia, fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), kejang, tak mau menetek, tonus otot meninggi dan akhirnya opistotonus. (Ngastiyah, 2005).
PATHWAYS
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :
Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20mg%
Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct positif (Hassan et al, 2005).
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi.
Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan 'Coombs test', darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar(Etika et al, 2006).
KONSEP KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Aktivitas/ istirahat : letargi, malas
Sirkulasi : mungkin pucat, menandakan anemia
Eliminasi : Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat, faeces mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran billirubin. Urine berwarna gelap.
Makanan cairan : Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
Palpasi abdomen : dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
Neurosensori :
Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin ada dengan inkompathabilitas Rh.
Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih, aktifitas kejang.
Pernafasan : krekels (oedema fleura)
Keamanan : Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis berlebihan, pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
Seksualitas : mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air (IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin.
Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat pengobatan/terapi sinar.
Resiko tinggi cedera berhubungan dengan komplikasi tranfusi tukar.
Resiko injuri pada mata dan genetalia berhubungan dengan foto terapi.
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.
Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan eksresi bilirubin.
RENCANA TINDAKAN
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air (IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu.
Tujuan : Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi .
Intervensi :
Pertahankan intake : beri minum sesuai kebutuhan karena bayi malas minum
berikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dapat diberikan menggunakan sendok atau sonde.
Berikan terapi infus sesuai program bila indikasi : meningkatnya temperatur,
meningkatnya konsentrasi urin, dan cairan hilang berlebihan.
Perhatikan frekuensi BAB, mungkin susu tidak cocok (jika bukan ASI) .
Kaji adanya dehidrasi: membran mukosa, ubun-ubun, turgor kulit, mata.
Monitor suhu tiap 2 jam.
Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin.
Tujuan : Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus.
Intervensi :
Jika bayi sudah terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi (sekitar jam 7
– 8 selama 15 – 30 menit).
Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah 7 mg% ulang
keesokan harinya.
Berikan minum banyak.
Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg%/lebih segera hubungi dokter, bayi perlu terapi.
Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat pengobatan/terapi sinar.
Tujuan : Untuk memenuhi kebutuhan psikologik, dengan memangku bayi setiap memberikan minum dan mengajak berkomunikasi secara verbal
Intervensi :
Mengusakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan
Memelihar kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya
Mencegah terjadinya infeksi (memperhatikan cara bekerja aseptik)
Resiko tinggi cedera berhubungan dengan komplikasi tranfusi tukar.
Tujuan : menyelesaikan tranfusi tukar tanpa komplikasi dan menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum.
Intervensi :
Perhatikan kondisi tali pusat bayi sebelum tranfusi bila vena umbilikal
digunakan.
Pertahankan puasa selama 4 jam sebelum prosedur tindakan atau aspirasi isi
lambung.
Jamin ketersedian alat resusitatif
Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan sesudah prosedur tindakan
Pastikan golongan darah serta faktor Rh bayi dan ibu
Pantau tekanan vena, nadi, warna, frekuensi pernafasan selama dan setelah
tranfusi
Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan
Pantau tanda ketidakseimbangan elektrolit
Kolaborasi :
Pantau peneriksaan laboratorium sesuai indikasi ( kadar bilirubin
serum, protein total serum, kalsium dan kalium, glukosa, kadar Ph
serum
Berikan albumin sesuai indikasi
Kalsium glukonat 5 %
Natium bikarbonat
Protein sulfat
Resiko injuri pada mata dan genetalia berhubungan dengan foto terapi.
Tujuan : tidak terjadi kecelakaan pada mata selama terapi diberikan.
Intervensi :
Gunakan pelindung pada mata dan genetalia pada saat fototerapi.
Pastikan mata tertutup, hindari penekanan mata yang berlebihan karena dapat
menimbulkan jejas pada mata yang tertutup atau pada kornea .
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.
Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama terapi diberikan.
Intervensi :
Inspeksi kulit setiap 4 jam.
Gunakan sabun bayi.
Merubah posisi bayi dengan sering.
Gunakan pelindung daerah genetal.
Gunakan pengalas yang lembut.
Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan eksresi bilirubin.
Tujuan : bayi tidak mengalami kecelakaan selama perawatan.
Intervensi :
Cegah adanya injuri (internal).
Kaji hiperbilirubin tiap ( 1-4 jam) dan catat.
Berikan fototerapi sesuai program.
Monitor kadar bilirubin 4 – 8 jam sesuai program.
Antisipasi kebutuhan tranfusi tukar.
Monitor Hb da Hct.
DAFTAR PUSTAKA
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aeseulupius
Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Continuing education ilmu kesehatan anak
Hassan, R.,. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta :
Percetakan Infomedika.
Sacher, Ronald, A., Richard A., McPherson. 2004. Tinjaun Klinis Hasil Pemeriksaan
Laborotorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia: Hartonto, Huriawati. Jakarta: EGC
Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in
Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins
Murray, R.K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia Harper. 27th edition. Alih
bahasa Pendit, Brahm U. Jakarta : EGC
Sarwono, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu Kesehatan Anak. Ikterus Neonatorum(Hyperbilirubinemia Neonatorum). Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.