NAMA
: BAIQ ISTI HIJRIANI
NPM
: 173112620120112 173112620120112
I.
ACARA LATIHAN
: PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN BARR BODY
II.
TEMPAT DAN WAKTU
a. Tempat Percobaan : Laboratorium Mikrotika b. Waktu Percobaan III.
: Selasa, 24 Oktober 2017
LATAR BELAKANG
Penentuan jenis kelamin dari suatu individu dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui pengamatan histologis yaitu ada tidaknya barr body, identifikasi gen amelogenin DNA, dan pengamatan drumstick pada nukleus neutrophil. Menurut Galdames (2011), penentuan jenis kelamin merupakan salah satu kunci dalam proses identifikasi. Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah pertama yang penting dilakukan dalam proses identifikasi forensik karena dapat menentukan 50% probabilitas kecocokan dalam identifikasi individu serta dapat mempengaruhi beberapa metode pemeriksaan lainnya, seperti estimasi usia dan tinggi tubuh individu. Secara mikroskopis atau histologis jenis kelamin dapat dideteksi dengan melihat keberadaan kromatin seks yaitu; kromatin X dan dan kromatin Y. Pada tahun 1949, Barr dan Bertam menemukan perbedaan diantara keduanya. Mereka menemukan adanya kondensasi kromatin yang berukuran kecil pada inti sel dari sel saraf kucing betina tetapi tidak dimiliki oleh sel-sel kucing jantan. Penemuan tersebut dinamakan sesuai dengan nama penemunya yaitu Barr body. Pada manusia, kondensasi kromatin ini juga dapat ditemukan di tulang, sel retina, sel mukosa rongga mulut, biopsi sel kulit, darah, tulang rawan, akar batang rambut dan pulpa gigi (Syafitri, 2013). Barr body dapat ditemukan sekitar 40% pada sel wanita sedangkan pada sel pria tidak memiliki Barr body sehingga disebut kromatin negatif. Kromatin Y dapat diteliti di dalam sel selama masa interfase dengan memberikan pewarnaan Quinacrine mustard, dimana dengan pewarnaan tersebut keberadaan kromatin Y akan berfluoresensi lebih terang dan dengan kehadirannya dapat secara konklusif mengindikasikan kromosom Y dan jenis kelamin positif sebagai pria (Syafitri, 2013).
IV.
TUJUAN PERCOBAAN
Untuk mengetahui dan mempelajari bentuk Barr Body pada sel mukosa pipi. V.
DASAR TEORI
Identifikasi atau pengenalan identitas seseorang pada awalnya berkembang untuk kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya penyelesaian permasalahan kriminal. Identifikasi individu dapat dilakukan melalui beberapa parameter, yaitu identifikasi usia, ras dan jenis kelamin. Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah pertama yang penting dilakukan dalam proses identifikasi forensik karena dapat menentukan 50% probabilitas kecocokan dalam identifikasi individu serta dapat mempengaruhi beberapa metode pemeriksaan lainnya, seperti estimasi usia dan tinggi tubuh individu. Identifikasi jenis kelamin dalam ruang lingkup antropologi dan kedokteran gigi forensik dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang dapat dilakukan antara lain melalui metode
karakteristik
morfologi,
metode
morfometrik
(pengukuran),
pemeriksaan histologis, serta pemeriksaan analisis DNA baik dari tulang maupun gigi (Syafitri, 2013). Kromosom manusia terdiri dari 23 pasang (22 pasang autosom dan 1 pasang kromosom seks) memberikan total sebanyak 46. Pada pria pasangan kromosom seksnya berupa XY sedangkan pada wanita adalah XX. Walaupun wanita memiliki jumlah kromosom X lebih banyak dari pria namun protein yang dihasilkan oleh wanita sama banyak dengan yang dihasilkan pria. Hal ini disebabkan oleh inaktivasi satu kromosom X pada setiap sel wanita. Akibatnya sel-sel pria dan wanita memiliki dosis efektif yang sama (satu salinan) dari gen-gen ini. Kromosom X yang inaktif dalam setiap sel wanita terkondensasi menjadi objek yang disebut dengan Badan Barr (Barr Body) apabila ditemukan pada sel-sel epitel tumbuh (Jenni, 2011). Inaktivasi kromosom X dimulai dari pusat inaktivasi X atau Xic, biasanya ditemukan di dekat sentromer. Pusat ini berisi dua belas gen , tujuh di antaranya kode untuk protein, lima untuk diterjemahkan RNA , dimana hanya dua yang diketahui memainkan peran aktif dalam proses inaktivasi X, Xist dan Tsix . Pusat ini juga tampaknya menjadi penting dalam menghitung kromosom, dimana pusat ini memastikan inaktivasi acak hanya
terjadi
ketika
dua
X-kromosom
hadir.
Penambahan
sebuah Xic
embriogenesis dapat menyebabkan inaktivasi X tunggal yang ditemukan dalam sel jantan (Jenni, 2011). Dewasa ini keberadaan kromatin kelamin sering kali digunakan untuk menentukan
jenis
kelamin
serta
mendiagnosis
berbagai
kelainan
kromosom kelamin pada janin melalui pengambilan cairan amnion embrio (amniosentesis). Pria dengan kelainan kromosom kelamin, seperti misalnya penderita sindrom Klinefelter (XXY), mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pria normal. Sebaliknya, wanita dengan sindrom Turner (XO) tidak mempunyai kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita normal (Anonim, 2017). Barr Body (Seks Kromatin Pada Wanita), ditemukan oleh seorang ahli genetika dari Kanada, yaitu M.L. Barr pada tahun 1949. Ia menemukan bahwa pada kandungan inti sel betina, ditemukan suatu badan yang menyerap warna, badan itu kemudian disebut dengan Barr Body. Adanya Barr Body menunjukan jenis kelamin wanita. Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin kelamin sementara sel somatis pria tidak memilikinya. Selanjutnya diketahui bahwa banyaknya kromatin kelamin ternyata sama dengan banyaknya kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita normal mempunyai sebuah kromatin kelamin karena kromosom X wanita ada dua. Sedangkan, pria normal tidak mempunyai kromatin kelamin karena kromosom X pria hanya satu. Kromatin seks merupakan kromatin khusus yang dijumpai pada banyak sel yang berkaitan dengan kromosom seks. Kromatin seks dibedakan atas Kromatin X yang dapat dilihat pada inti sel dalam bentuk Barr body dan Drum stick dan kromatin Y yang dapat dilihat dalam bentuk Fluoressensi body (F. Body) (Anonim, 2017). Banyaknya Barr body yang yang muncul sama dengan jumlah kromosom X dikurangi satu. Pada wanita normal akan memiliki sebuah Barr body pada inti sel karena memiliki dua kromosom X, sedangkan pada pria tidak memiliki Barr body karena kromatin X pria hanya satu (Syafitri, 2013). Hipotesis Lyon menyatakan bahwa dalam sel dengan beberapa kromosom X , semua aktif kecuali satu yang tidak aktif selama mamalia embriogenesis. Hal ini terjadi pada awal embrio pembangunan secara acak di mamalia, kecuali dalam kantung dan di beberapa-embrio jaringan ekstra
dari beberapa mamalia plasenta, di mana kromosom X ayah selalu dinonaktifkan. Pada pria dan wanita dengan lebih dari satu kromosom X, jumlah badan Barr pada interfase terlihat selalu kurang dari jumlah total kromosom X. Misalnya, pria dengan, 47 XXY kariotip memiliki tubuh Barr tunggal (+1), sedangkan wanita dengan 47, XXX kariotip memiliki dua badan Barr (+2). Badan Barr dapat dilihat pada inti dari neutrofil. Jadi, menurut Lyon Kromatin seks adalah kromosom X yang non aktif. Maka pada orang normal banyaknya kromatin seks dalam sebuah sel = jumlah kromosom seks kurang satu. Baar body dikatakan positif (+) bila ditemukan lebih dari 4 buah dalam 100 sel (Jenni, 2011). VI.
ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA
1. Alat a. Objek glass b. Sendok c. Bunsen 2. Bahan a. Kerokan sel mukosa pipi b. Methanol c. Cat giemsa 3. Cara kerja a. Sediakan kaca objek yang bersih dan bebas lemak. b. Ambil sel mukosa pipi dengan cara mengorek sisi dalam pipi (yang telah dibersihkan/berkumur) dengan ujung spatel atau sendok. c. Buat sediaan apus setipis mungkin dari hasil kerokan tersebut. d. Keringkan di udara. Setelah itu basahi dengan metanol dan biarkan selama 10 menit. e. Lakukan pewarnaan dengan giemsa selama 25 menit. f.
Bilas dengan air mengalir, keringkan dan periksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x100.
g. Diamati sel yang positif badan Barr
VII.
HASIL PERCOBAAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan tidak ditemukan bentuk Barr Body pada preparat apusan dari sel mukosa pipi.
Gambar 1. Tidak adanya Barr Body
Gambar 2. Terlihat adanya Barr Body VIII.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, perempuan mempunyai dua kromosom X. Namun, satu kromosom X dalam setiap sel pada perempuan menjadi hamper seluruhnya terinaktivasi
saat
perkembangan
embrio.
Akibatnya,
sel-sel
pada
perempuan dan laki-laki memiliki dosis efektif yang sama. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan yaitu mengamati apusan sel mukosa pipi dengan mikroskop perbesaran 10 x 100 tidak ditemukan bentuk Barr Body pada apusan yang dibuat dan diperiksa. Hal seperti ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti kurang maksimalnya
pengerokan pada sel mukosa pipi serta dapat juga
disebabkan karena apusan mukosa pipi yang dibuat terlalu tebal sehingga
pada saat dilakukan pemeriksaan di mikroskop, sel mukosa mulut terlihat bertumpuk-tumpuk dan Barr Body tidak terlihat jelas . Namun, adanya Barr Body yang terlihat menunjukkan bahwa adanya kromosom X yang ter-inaktivasi sehingga membentuk barr body pada sel epitel.
Biasanya
Inaktivasi
kromosom
X
terjadi
pada
awal
embriogenesis. Kromosom X yang teraktivasi tersebut dapat berasal dari ayah maupun ibu. Inaktivasi kromosom X bersifat tetap atau stabil, yaitu kromosom X yang inaktif tersebut diwariskan dari parental tetap dalam bentuk yang inaktif. Barr body termasuk dalam jenis sex chromatin. Sex chromatin merupakan struktur menggumpal yang terbentuk akibat kondensasi kromatin sebuah kromosom X yang inaktif yang terdiri dari salah satu dari dua buah kromosom X yang terdapat di dalam inti sel tubuh wanita, biasanya ditemukan pada sel-sel epitel tunika mukosa, disebut juga selaput lendir, mulut dan sel darah putih. Inti sel mukosa pipi perempuan mengandung badan kromatin, letaknya dekat dengan dinding inti sel, berbentuk bulat dan berwarna gelap karena bagian dari kromosom ini merupakan bagian yang menerima zat warna lebih intensif yang disebut dengan barr body (Renny, 2011). Barr body hanya dapat dijumpai pada sel epitel rongga mulut perempuan dan tidak demikian dengan sel epitel laki-laki, sehingga dapat disimpulkan bahwa
barr
body
merupakan
kromatin
seks
yang
terkondensasi
sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan adanya satu buah barr body pada sampel epitel rongga mulut seorang perempuan. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan pada hipotesis Lyon. Banyaknya seks kromatin dalam sebuah sel adalah sama dengan jumlah kromosom X dikurangi dengan satu. Barr body dapat ditemukan pada sekitar 40% sel wanita. Pada wanita normal akan memiliki barr body pada inti sel karena memiliki dua kromosom X, sedangkan pada pria tidak memiliki barr body karena kromatin X-nya hanya satu. Fungsi pemeriksaan barr body adalah untuk mengetahui jenis kelamin individu secara genetic (Ilyas, 2012).
IX.
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan Barr body merupakan suatu gambaran badan kecil yang dapat menimbulkan bintik berwarna dengan pewarnaan inti sel. Barr body hadir dalam jumlah yang banyak pada inti sel yang berasal dari wanita namun tidak ada pada inti sel pria. Ukurannya berdiameter sekitar 1µ dengan perkiraan rerata 0.7x1.2 µ, baik pada inti sel mukosa bukal dan pada beberapa jaringan manusia. Barr body umumnya terletak di bagian tepi inti sel. Namun, dapat juga ditemukan di bagian lain dalam inti sel walaupun jarang terjadi. b. Saran Pada waktu pengambilan sel mukosa pipi dengan cara pengkerokan sebaiknya dilakukan dengan maksimal dan pada waktu pembuatan apusan sel mukosa diusahakan apusan yang dibuat tipis sehingga tidak terlalu tebal agar sel epitelnya tidak bertumpuk dan Barr Body dapat terlihat pada waktu pengamatan dibawah mikroskop.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2017. Penentuan Jenis Kelamin. Dapat dilihat pada: wka-cool32.blogspot.co. id/2017/06/laporan-praktikum-genetika-i-penentuan.html.
Diakses
pada:
Kamis, 26 Oktober 2017 pukul 21.25 WIB. Renny, dkk. 2011. Pengamatan Kariotipe, Barr Body, dan Drumstick. Fakultas MIPA. Universitas Indonesia. Ilyas, dkk. 2012. Body Barr dan Drumstick. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jenni,
I.
2012.
Barr
Body
dan
Drumstick.
Dapat
dilihat
pada:
http://jenniirmacikitairawatysaraan.wordpress.com/2011/05/14/barr-body-drum stick/. Diakses pada: Kamis, 26 Oktober 2017 pukul 21.00 W IB. Syafitri, dkk. 2013. Metode Pemeriksaan Jenis Kelamin Melalui Analisis Histologis dan DNA Dalam Identifikasi Odontologi Forensik. Jurnal PDGI. Vol. 62, No. 1, Hal. 11-16. Galdames, dkk. 2011. Sex Determination by Observation of Barr Body in Teeth Subjected to High Temperatures. International Jurnal Morphol. Vol. 29, No. 1