BELAJAR SETIA DALAM PELAYANAN Buku Kenangan 70 Tahun Pdt. Em. Kuma/a Setiabrata M Th
Editor: Daniel Stefanus Kata Pengantar
Hak Cipta © STT CIPANAS Diterbitkan oleh STT CIPANAS Jl. Gadog I/36, Cipanas, Pacet, Sindanglaya 43253, Indonesia
1.
2. ISBN : 978-602-70123-5-6 Dilarang mengutip dan memperbanyak atau menya~in, baik secara menyeluruh maupun sebagian, dengan mencetak, fotokopi, elektronik, dsb. tanpa izin tertulis dari STT Cipanas.
4.
Cetakan ke-1, 2018
5. 6.
3.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kehidupan Dari Sang Entah, Menuju Sang Entah (Bambang Subandrijo) Bapa Dan lbu: Sebuah Pencarian Irisan Allah Sebagai Bapa Dalam lnjil Matius Dan Allah Sebagai Ibu Dalam Teologi Feminis (Pelita H. Surbakti) Konsep Kesaksian Dalam 1 Yohanes 1:1-15 Dan Implikasinya Bagi Gereja Indonesia (Chandra Gunawan) Pesan Teologis Orasi Daud Di Akhir Pemerintahannya: Analisis Teks 1 Tawarikh 28: 1-10 (Maria Evvy Yanti) Injil Dalam Perjanjian Lama (Barnabas Ludji) Mencermati Pelayanan Pastoral Di Indonesia (Daniel Susanto) Peran Utama Suami-Istri Kristen (Alexius Letlora) When The New Normal Is Abnormal: Reflection On Social Pastoral Challenge In Indonesia (Johannes Setiawan) lman Dan Kesetiaan: Paralelisme Yanus Pada Roma 1:17 (Agus Santoso) Misi Dan Evangelisasi Dalam Diskursus Teologi (Raja Oloan Tumanggor) Integritas (Martin Elvis) Pengertian Kata "Makanan" Pada Doa Bapa Kami (Agus Dharma) Pemikiran Kritis James Dunn Mengenai Baptisan Roh KuDus (Isak Roedi) Pendeta Jadi Bendahara: Bolehkah? (Jan S. Aritonang) On The Challenge Of Being PGI Treasurer (Huub Lems) Kumala Setiabrata: Bapak Keuangan PGI (Richard Daulay)
7 9 37
69 92
101 116 135 142 149 159 171 179 192 211 220 229
3
KONSEP KESAKSIAN DALAM 1 YOHANES 1:1-5 DAN IMPLIKASINYA BAGI GEREJA INDONESIA (Oieh: Chandra Gunawan) 1
Pendahuluan V esempatan untuk mengembangkan pelayanan misi di lndo~esia masih sangat besar dan layak diprioritaskan. Dalam mengembangkan pelayanan misi di Indonesia yang lebih efektif untuk masa kini dan mendatang, gereja perlu memikirkan ulang baik pelayanan misi yang telah dikerjakan di Indonesia ataupun konsep teologi yang melatarbelakanginya. Kontribusi dari penerapan hermeneutics masa kini dalam berbagai studi teologi,2 termasuk di dalamnya misiologi, 3 telah mengingatkan gereja untuk lOosen Perjanjian Baru STI Cipanas yang sedang studi program doktoral di Theologische Universiteit Kampen. 2 Bdk. Craig G. Bartholomew, Introducing Biblical Hermeneutics: A Comprehensive Framework for Hearing God in Scripture (Grand Rapids: Baker, 2015), bab 2; Craig G. Bartholomew dan Michael G. Goheen, The Drama ofScripture: Finding our Place in Biblical Story (Grand Rapids: Baker, 2004), bab 5. 'Bdk. Timothy C. Tennent, Theology in the Context of World Christianity (Grand Rapids: Zondervan, 2007), bab 1; Justice Anderson, "An Overview ofMissiology," in Missiology: An Introduction to the Foundation, History, and Strategy of World Mission, 2nd. & rev. ed., ed. John M. Terry (Nashville: B & H, 2015), 11, 16-17.
70
lebih empati dalam memahami orang-orang yang dilayani dalam sebuah pelayanan misi; listening dan understanding pun dipandang sebagai aspek utarna dalam mernbaca konteks lokal dari pelayanan rnisi. Jika pelayanan rnisi di rnasa lalu bersifat kolonial, sekarang gereja rnenyadari bahwa model tersebut tidak lagi relevan dan mernbutuhkan sebuah konsep dan bentuk pelayanan misi yang lebih berpusatkan pada "orang-orang yang dilayani." 4 Perubahan paradigrna dalam memaharni dan rnengaplikasikan pelayanan rnisi berdarnpak positif dan negatif. Pada satu sisi, pelayanan rnisi rnenjadi lebih relevan dengan orang-orang yang dilayani sehingga rnereka rnenjadi lebih terbuka dan dapat rnenerirna pelayanan misi yang dikerjakan dengan respons yang baik. Di sisi lainnya, pendekatan yang terlalu berorientasi pada konteks dapat rnembuat misi gereja kehilangan elemen esensial dari pelayanannya. 1 Yohanes 1:1-5, menegaskan bahwa kesaksian tentang Yesus merupakan pokok pemberitaan yang para rasul telah pelihara dan rnenjadi elemen dasar dari pengikut Kristus. Oleh sebab itulah, dilihat dari aspek ini, pelayanan rnisi tidak dapat dilepaskan dari pemberitaan dan kesaksian rnengenai Yesus. Walaupun Indonesia adalah negara yang pluralis dan penduduknya rnerniliki ragam keyakinan agarna, pelayanan rnisi tidak dapat inengabaikan pernberitaan mengenai Yesus sebagai Tuhan danjuru selarnat sebab hal inilah yang rnenjadi esensi dari • kesaksian dan pelayanan rnisi gereja sejak awal mula berdirinya. 5 Ketegangan antara apa yang rnenjadi esensi da1am pelayanan rnisi dan konteks dari pelayanan rnisi Indonesia yang pluralis bahkan rentan terhadap isu keagarnaan ini haruslah menyadarkan gereja Indonesia ataupun pelayanan rnisi (asing dan lokal) yang dikerjakan di Indonesia untuk berirnprovisasi sehingga gereja tetap Bdk. George R. Hunsberher, "Proposals for a Missional Hermeneutic: Mapping a Conversation," Missiology: An International Review 39.3 (2011): 309-321; Michael Barram, "The Bible, Mission, and Social Location: Toward a Missional Hermeneutic," Interpretation 61.1 (2007): 42-58. 5Bdk. Kisah Para Rasul 2:22-36; Roma 10:9; 1 Yohanes 2:1-2. 4
l
71
. dapat berkiprah dengan tetap setia pada tradisi imannya namun juga tetap relevan bagi konteks Indonesia. Artikel ini rnencoba untuk mendiskusikan relasi antara konsep kesaksian rnengenai Kristus yang sangat esensial bagi gereja dan pelayanan misi, sebagairnana ditekankan dalam surat 1 Yobanes 1:1-5, dan konteks gereja Indonesia masa kini yang hidup dalarn masyarakat pluralis. Research question dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: "bagairnana konsep kesaksian dalam surat 1 Yohanes harus dipahami dan diaplikasikan dalarn konteks Indonesia rnasa kini? Untuk rnenjawab pertanyaan tersebut, pendekatan biblical linguistics yang berorientasi pada analisa semantic domain dan discourse analysis akan digunakan untuk menolong pernbaca rnernaharni konteks dan rnakna dari konsep kesaksian dalam 1 Yohanes 1:1-5.6 Selanjutnya, penulis akan menggunakan pendekatan Sejarah Penebusan untuk rnendiskusikan bagaimana pesan kitab suci dan tradisi irnan Kristen dapat memperlengkapi gereja rnasa kini dalarn mengernbangkan pelayanan rnisi yang relevan dengan konteks Indonesia. Tu1isan ini dibagi rnenjadi empat bagian. Da1am bagian perlama, kita telah rnendiskusikan Jatar belakang, research question, rnetode serta susunan dari tulisan ini. Dalarn bagian kedua, penulis akan rnernbahas mengenai gagasan kesaksian dalam Perjanjian Baru (PB) dan, terutarna, dalarn surat 1 Yohanes. Pendekatan semantic domain akan digunakan untuk rnenelaah ragarn penggunaan istilah yang digunakan untuk rnembicarakan konsep kesaksian serta penggunaannya dalarn surat 1 Yohanes. Dalam bagian ketiga, penulis akan rnenerapkan pendekatan meta/unction analisis untuk rnernaharni baik konteks linguistic dari surat 1 Yohanes dan ekspresi bahasa yang digunakan dalarn 1 Yohanes 1:1-5. 7 6
Lih. Stanley E. Porter, Linguistic Analysis of the Greek New Testament: Studies in Tools, Methods, and Practices (Grand Rapids: Baker, 2015), bab 9. 7 Metafunction analysis berupaya memahami makna dari sebuah pernyataan berdasarkan linguistic expressions yang digunakan seseorang dalam sebuah proses komunikasi (lisan ataupun tulisan).
72
Konsep Kes(lksi
Dalam bagian keempat, penulis akan mendiskusikan mengenai pergumulan gereja masa kini dalam memahami misi dan upaya untuk memikirkan ulang konsep misi dan kesaksian yang relevan untuk gereja Indonesia. Setelah itu, penulis akan menutup diskusi ini dengan kesimpulan.
misalnya) melalui sebuah kesaksian; amartyros, digunakan untuk mengekspresikan sebuah keadaanlkejadian yang tidak disaksikan oleh siapa pun; synepimartyreo, digunakan untuk menggambarkan tindakan seseorang dalam menambahkan kesaksian seseorang yang telah memberikan kesaksian terlebih dahulu; katamartyrei5, digunakan untuk melukiskan tindakan seseorang dalam memberikan kesaksian yang memberatkan seseorang; martys, digunakan untuk mengindentifikasi seseorang yang bertindak sebagai saksi mata atau orang yang memberikan kesaksian bagi seseorang lainnya; psseudomartyreo, digunakan untuk menggambarkan tindakan seseorang dalam memberikan kesaksian palsu; psseudomartyria dan psseudomartys, digunakan untuk melukiskan isi dan identitas dari orang yang memberikan kesaksian palsu. 10 Dalam kategori yang kedua, gagasan kesaksian digunakan bersama dengan berbagai istilah lain dalam kaitannya dengan "apa yang seseorang lihat." 11 Dalam kelompok kata ini, ada berbagai istilah yang digunakan, dan salah satunya adalah autoptes yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang yang memiliki pengalaman langsung dalam sebuah peristiwa, menjadi seorang saksi mata. Istilah ini digunakan hanya I kali dalam PB, yakni dalam Lukas 1:2. Gagasan ini digunakan dengan cara yang berbeda dari penggunaan istilah katoptrizomai, misalnya, yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang yang tidak melihat suatu peristiwa secara langsung. 12 lstilah martyreo dan martyria digunakan I2 kali dalam surat I Yohanes, yakni: I:2; 4:I4; 5:6, 7, 9 (4X), IO (3X), IIY Istilah martyreo dalam teks tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda. Daiam I :2, gagasan martyrei5 digunakan untuk memperlihatkan peran dari para saksi mata (para rasul dan saksi mata
Konsep Kesaksian dalam Surat 1 Yohanes Untuk memahami konsep kesaksian daiam Aikitab, khususnya dalam PB, seseorang harus menelaah bukan saja istilah "kesaksian" namunjuga berbagai istilah paralellainnya. Karya Johannes P. Louw dan Eugene A. Nida (Greek-English Lexicon of the New Testament: Based on Semantic Domain) akan sangat menolong pembaca Alkitab dalam memahami ragam penggunaan gagasan kesaksian dalam PB. Louw dan Nida menemukan bahwa gagasan kesaksian digunakan dalam dua konteks kelompok kata (semantic fields), yakni: (i) kelompok kata yang digunakan dalam konteks komunikasi, (ii) kelompok kata yang digunakan dalam konteks sensory events and states. 8 Dalam kategori yang pertama, gagasan mengenai kesaksian digunakan bersama dengan berbagai istilah lain yang digunakan dalam konteks witness dan testify. 9 Ada berbagai istilah yang digunakan dalam bahasa Yunani untuk mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan kedua hal di atas, yakni: martyreo,,. yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah tindakan dalam memberikan informasi mengenai seseorang berdasarkan pengalaman orang tersebut sebagai saksi mata; martyria, yang digunakan untuk membicarakan isi dari apa yang seseorang saksikan; symmartyreo, digunakan untuk menggambarkan tindakan seseorang dalam memberikan bukti tertentu (untuk sebuah kasus, 8
Johannes P. Luow dan Eugene A. Nida, Greek-English Lexicon of the New Testament Based on Semantic Domain Vol 2: Indexes (New York: UBS, 1989), 333. 9 Johannes P. Luow dan Eugene A. Nida, Greek-English Lexicon of the New Testament Based on Semantic Domain Vol 1: Introductions and Domains (New York: UBS, 1989), 418-419.
10
73
Jbid. lbid., 227-282. 12 Ibid. 13 Bdk. Andreas Kostenberger dan Raymond Bouchoc, The Book Study Concordance of the Greek New Testament (Nashville: Broadman & Holman, 2003), 1406. 11
75
74
Konsep KesC}ksi
pertama lainnya) dalam memberikan keakuratan informasi mengenai kehidupan dan pelayanan Yesus. 14 Gagasan martyreo dalam 4:14 juga digunakan untuk menegaskan peran dan panggilan dari para saksi mata dan juga semua orang percaya (pembaca surat 1 Yohanes) dalam memberikan kesaksian iman mengenai karya Kristus dalam kehidupan orang percaya. 15 Dalam 5:6, 7, 9, istilah yang sama digunakan untuk menekankan kesejatian diri Yesus, yang mati dan bangkit, melalui kesaksian dari Allah sendiri; 16 dalam 5:10-11, gagasan martyreo dan martyria, digunakan untuk menyebut "berita injil," yang berfungsi sebagai "isi/ inti dari kesaksian tentang Yesus" dan sekaligus sebagai evidence, yang didasarkan atas kesaksian Allah sendiri, yang menguatkan keakuratan kesaksian dari para saksi mata dari kehidupan Yesus.17 Dilihat dari berbagai penggunaan gagasan kesaksian da1am 1 Yohanes, kesaksian mengenai Yesus dipandang sebagai tradisi iman yang bersumber dari kesaksian Allah sendiri dan yang harus juga disaksikan bukan hanya oleh para rasul dan para saksi mata pertama tetapi juga oleh semua orang percaya. Penggunaan konsep kesaksian dalam surat Yohanes haruslah dipahami melampaui penggunaan istilah martyreo. Dalam 1 Yohanes, berbagai metaphorical expressions digunakan untuk menggambarkan kesaksian dari para saksi mata. Misalnya saja • dalam 1 Yohanes 1:1-3, penulis surat ini menggunakan k1ausa ho akekoamen, ho heorakamen tois ophthalmois hemon, ho etheasametha kai hai cheires hemon epselaphesan "apa yang kami
dengar, apa yang kami lihat dengan mata kami, apa yang kami pandang dan tangan kami sentuh" untuk menggambarkan sebuah pengalaman langsung penulis sebagai bagian dari kelompok orang yang menjadi saksi mata dari kehidupan dan pelayanan Yesus. 18 Dalam contoh ini, kita melihat bahwa walaupun istilah martyreo hanya muncul 1 kali dalam prolog 1 Yohanes, namun gagasan mengenai kesaksian tetap dominan dalam bagian ini dan diungkapkan dalam bentuk metaphorical expressions mengenai pengalaman seorang saksi mata. Penulis 1 Yohanes perlu menggarisbawahi bahwa kesaksian lnjil didasarkan atas kesaksian para saksi mata untuk menolong pembacanya memahami dan menerima kebenaran dari kesaksian yang mereka terima dari para rasul ataupun saksi mata pertama lainnya. Dalam literatur Yohanes, kesaksian Injil dipandang bersumber terutama pada kesaksian Allah sendiri. Sebagai contoh, dalam Yohanes 16:26, Yesus berkata: Hotan elthe ho parakletos han ego pempso hymin para tau patros, to pneuma tes aletheias ho para tau patros ekporeuetai, ekeinos martyresei peri emou "ketika sang penolong itu, yang aku kirim kepadamu dari Bapa, datang, Roh kebenaranitu, yang datang dari Bapa, Dia itu akan bersaksi tentang Aku." 19 Hal yang sama ditegaskan dalam 1 Yohanes 5:9: ei ten martyrian ton anthr8p8n lambanomen, he martyria tou theou meizon estin; hoti haute estin he martyria tou theou, hoti memartyreken peri tou huiou autou "jika kita menerima kesaksian dari [para] manusia, kesaksian dari Allah itu adalah lebih besar, bahwa, ini adalah kesaksian Allah, bahwa Ia bersaksi tentang anak-Nya."20 Konsep misi dalam literatur Yohanes terkait erat dengan gagasan kesaksian Injil. Kesaksian inilah yang menjadi inti berita sekaligus motivasi utama dari pekerjaan misi gereja. Kosten-
14 Bdk. Robert W. Yarbrough, 1-3 John, BECNT (Grand Rapids: Baker, 2008), 29; I. H. Marshall, The Epistles of John, NICNT (Grand Rapids: Eerdmans, 1978), 103; Richard Bauckham, Jesus and the Eyewitnesses: the Gospels as Eyewitness Testimony (Grand Rapids: Eerdmans, 2006), bab 6, 13-15. 15 Marshall, The Epistles ofJohn, 219-220. 16 Lih. Judith M. Lieu, I, II, & III John, The New Testament Library (Louisville: WJK, 2008), 209-212; Matthew D. Jensen, Affirming the Ressurection of the Incarnate Christ: A Reading of 1 John, SNTSMS !53 (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 179-186. 17 Bdk. Marshall, The Epistles ofJohn, 241.
18
Bdk. Yarbrough, 1-3 John, 33-40. Lih. juga Yohanes 5:37 dan 8:18. 20 Lih. juga I Yohanes 5:6-8. 19
76
berger berpendapat bahwa "John's presentation of Father, Son, and Spirit is a function of his mission theology. " 21 Jika apa yang ahli ini katakan benar, pada satu sisi, ajaran tentang misi Allah dan misi gereja dalam literatur Yohanes harus dipandang sebagai ajaran yang berakar pada kesaksian iman mengenai karya Allah Tritunggal dalam keselamatan, dan di sisi lainnya, ajaran tersebut harus dilihat sebagai puncak dari pokok ajaran dalam tulisan Yohanes. Dengan kata lain, kesaksian Injil merupakan dasar dan pokok berita dari pelayanan misi. Kesaksian Injil dalam Prolog Surat 1 Yohanes Dalam bagian ini, kita akan mendiskusikan dua aspek dari penafsiran terhadap 1 Yohanes 1:1-5, yang diidentifikasi oleh kebanyakan ahli sebagai prolog dari surat 1 Yohanes. Pertama, diskusi mengenai konteks linguistic dari surat 1 Yohanes. Kedua, pembahasan mengenai ekspresi linguistic dari gagasan kesaksian dalam 1 Yohanes 1:1-5. Untuk memahami konteks linguistic dari surat 1 Yohanes, kita harus mendiskusik!n mengenai berbagai participants yang terlibat dalam proses komunikasi antara "pengirim surat" dan "penerima." 1 Yohanes menggunakan beberapa kata ganti yang digunakan dalam surat ini. Dia menggunakan kata ganti orang pertama tungga1, misalnya saja dalam 1 Yohanes 2:12: Grapho (cetak tebal dari penulis) hymin, teknia, hoti apheontai hymin hai hamartiai dia to onoma autou "aku menulis kepadamu, anakanak, bahwa dosa-dosa diampuni bagi kamu demi nama Dia." Penggunaan kata gantijenis ini digunakan untuk mengidentifikasi individu sang penulis surat. Meskipun demikian, penulis surat ini temyatajuga menggunakan kata ganti orang ketigajamak, misalnya saja, dalam 1 Yohanes 1:3: ho heorakamen kai akekoamen, apange/lomen kai hymin, hina kai hymeis koinonian echete meth' J. Kostenberger, A Theology of Johns Gospel and Letters: Biblical Theology ofthe New Testament, Biblical Theology of the New Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2009), 540.
21 Andreas
Konsep Kes'lksi'ln d'li'lm 1 Yoh'lnes 1:1-5 d'ln lmplik'lsiny'l ...
77
· hemon (cetak tebal dari penulis) "apa yang kami lihat dan apa yang kami dengar, dan kami proklamasikan kepada kalian, dan supaya kamu memiliki persekutuan dengan kami." Walaupun penggunaan kata ganti orang ketiga jamak dapat diartikan sebagai "inclusive we" (dalam bahasa Indonesia: "kita"), namun dalam 1 Yohanes 1:3, kata ganti orang ketiga jamak yang digunakan jelas digunakan sebagai "exclusive we" (dalam bahasa Indonesia: "kami"). Hal ini terlihat dari penggunaan kata hymin (kata ganti orang kedua jamak yang digunakan untuk membedakan pembaca denganpenulis surat 1 Yohanes). Walaupun para sarjana tidak sepakat dalam mengidentifikasi siapakah yang dimaksudkan dengan "exclusive we" dalam surat 1 Yohanes, 22 ada cukup bukti yang mendukung untuk menyimpulkan bahwa kata ganti tersebut digunakan untuk menyebut orang-orang Kristen generasi pertama yang menjadi saksi mata pertama dari kehidupan dan pelayanan Yesus. 23 Penu1is surat Yohanes menyebut pembacanya dengan kata ganti orang kedua jamak. Mereka sepertinya adalah pembaca yang mengetahui lnjil Yohanes dan mungkin juga menjadi pembacanya.24 Walaupun kita tidak dapat mengetahui dengan pasti gambaran detail dari komunitas orang percaya ini, kita dapat mengetahui bahwa mereka pemah mengalami "guncangan iman" karena hadimya orang-orang yang disebut ho pseustes "sang penipu" dan ho antichristos "sang anti Kristus" (2.22). Para ahli
22 Bdk. Raymond E. Brown, The Epistles of John: Translated with Introduction, Notes, and Commentary, AB (New York: Doubleday, 1982), 94-96; Alan Culpepper dan Paul N. Anderson, eds., Communities in Dispute: Current Scholarship on the Johannine Epistles, Society of Biblical Literature Early Christianity and its Literature 13 (Atlanta: SBL, 2014); Bauckham, Jesus and the Eyewitnesses, bab 6, 12-15. 23 Untuk diskusi lebih lanjut, 1ih. P. H. R. van Houwelingen, "John and the Others: To Whom Does the "We" in the Fourth Gospel's Prologue and Epilogue Refer," Fides Reformata 19.2 (2014): 95-115. 24 Bdk. Lieu, I, II, & Ill John, 8.
78 tidak sepakat dalam mengidentifikasi kelompok orang ini, 25 namun mereka pada umumnya sepakat bahwa kelompok orang ini sepertinya menolak ajaran mengenai kemanusiaan Yesus. Dalam 1 Yohanes 2:22, penulis berkata bahwa sang anti-Kristus itu adalah ho arnoumenos ton patera kai ton huion "mereka yang menyangkali Bapa dan Anak." Dalam 1 Yohanes 4:2, penu1is juga berkata bahwa seseorang yang memiliki Roh Allah mereka akan mengakui bahwa Iesoun Christon en sarki elelythota "Yesus Kristus [yang] datang dalam daging." Berdasarkan makna propositional kalimat tersebut, kita dapat melihat sebuah "presupposition" mengenai inkamasi Yesus. Penulis surat 1 Yohanes dan para saksi mata pertama dengan tegas menyaksikan bahwa Yesus adalah manusia sejati, namun lawannya menyangkali apa yang disaksikan oleh para saksi mata tersebut. Dilihat dari komunikasi yang terlihat dalam surat 1 Yohanes, kita dapat melihat adanya indikasi bahwa walaupun kelompok yang membawa kekacauan dalam jemaat yang menjadi pembaca surat 1 Yohanes telah meninggalkan komunitas gereja (2: 19), pengaruh dari ajaran tersebut masih cukup kuat dan dapat merusak kesatuan tubuh Kristus dalam jemaat. Inilah alasannya mengapa penulis surat 1 Yohanes berbicara mengenai persekutuan sesama orang percaya yang didasarkan atas keyakinan iman yang benar (1 :3-4), kehidupan dalam kebenaran (1 :5-2:2) dan da1am kasih sebagai bentuk nyata dari kasih seseorang pada Tuhan (2:3-11). Dalam konteks inilah surat 1 Yohanes dituliskan, yakni, untuk memberikan bimbingan pastoral bagi jemaat yang terluka dan trauma setelah kepergian guru-guru palsu yang mungkin membawa pergi sebagian orang da1am jemaat sekaligus mengingatkan mereka untuk menata ulang panggilan dan fokus pelayanan 25 Daniel R. Streett, They Went out from Us: The Identity of the Opponents in First John, BZNW 177 (Berlin: Walter de Gruyter, 2011), bab 1. Ada beberapa pandangan yang berbeda diusulkan para saljana untuk mengidentifikasi orang yang disebut anti-Kristus dalam 1 Yohanes, yakni: (i) kaum Gnostic, (ii) kaum Docetic, (iii) ke1ompok Cerinthians, (iv) orang-orang Yahudi, (v) orang-orang yang salah memahami Injil Yohanes.
79
mereka dalam pekerjaan Allah, yakni, membangun komunitas umat Tuhan yang hidup dalam kasih dan kebenaran. Prolog 1 Yohanes pada dasamya terbagi tiga bagian, yakni, penjelasan mengenai berita injil mengenai Yesus yang menjadi pusat dari pemberitaan dan kesaksian para saksi mata (1 Yoh. 1: 1-2), berita Injil mengenai Yesus Kristus yang menjadi landasan dan perekat dari kesatuan orang percaya (1 :3-4 ), dan pesan dari Injil Yesus Kristus mengenai integritas hidup orang-orang percaya (1:5). Bagian pertama dari prolog ditulis dalam sebuah struktur kalimat kompleks. Penulis mengawali prolognya dengan menggunakan kata ho yang merupakan kata ganti dalam bentuk neuter tunggal. Walaupun pembaca masa kini sulit untuk memahami dengan pasti hal apakah yang penulis maksudkan dengan kata ganti terse but, berdasarkan semantic meaning yang terekspresikan melalui kalimat-kalimat yang digunakan penulis, kita dapat melihat adanya indikasi bahwa penulis sedang membicarakan mengenai "berita lnjil" yang menjadi inti dari kesaksian para saksi mata dari kehidupan dan karya Yes us. Penulis sepertinya menggunakan kata ganti bentuk neuter dan bukan bentuk maskulin tunggal yang bisa digunakan untuk menunjuk pada Yesus ataupun bentuk feminin tunggal yang bisa digunakan untuk menunjuk pada pesan Injil sebab ia ingin mengaitkan antara berita Injil dan pribadi Yesus sebagai inti dari berita yang mereka sampaikan sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan. 26 Seseorang yang menerima berita Injil haruslah menerima dan percaya kepada Yesus, dan sebaliknya seseorang yang menerima Yesus haruslah menerima berita Injil yang diberitakan para saksi mata. Dalam bagian kedua, penulis surat 1 Yohanes menekankan bahwa berita Injil mengenai Kristus yang mereka terima dan teruskan kepada setiap orang percaya merupakan kunci dari persekutuan di antara orang-orang percaya. Penulis berkata: 26
Bdk. Pieter J. Lalleman, 1, 2 en 3 Johannes: Brieven van een kroongetuige, Commentaar op het Nieuwe Testament (Kampen: Kok, 2005), 130-131.
80
Konsep Kesaksi
apangellomen kai hymin, hina kai hymeis koinonian echete meth' hem on "dan kami memproklamasikan [Kristus ], dan supaya kamu mempunyai persekutuan dengan kami." Kata sambung kai yang digunakan bersama dengan anak kalimat hina hymeis koinonian echete meth' hemon mengindikasikan pemikiran penulis yang mengharapkan pembacanya melihat bahwa ada kaitan yang tidak terpisahkan antara berita Injil yang diterima oleh pembaca surat 1 Yohanes dan persekutuan yang tercipta antara mereka dan para saksi mata kehidupan Yesus. Demikianjuga dengan kata sambung hina yang digunakan untuk menghubungkan anak kalimat tersebut dengan induk kalimatnya,27 istilah ini pun mengindikasikan bahwa hubungan persekutuan antara pembaca surat 1 Yohanes dan para saksi mata tidak mungkin akan terjadi tanpa penerimaan mereka atas kesaksian dari para saksi mata. 28 Jadi, penulis surat 1 Yohanes ingin mengingatkan pembacanya bahwa mereka dan para saksi mata tidak mungkin tetap mempertahankan persekutuan dengan orang-orang yang menolak berita Injil tentang Yesus sebab kesaksian iman itulah yang mendasari persekutuan di antara semua orang percaya. Bagian ketiga pada dasamya merupakan "linking idea" yang menghubungkan prolog dengan nasihat mengenai pentingnya hidup kudus dalam ayat 6-10. Walaupun mayoritas penafsir membatasi bagian prolog sampai ayat 4, namun kata sambung kai yang digunakan di awal ayat 5 mengindikasikan bahwa ayat ini masih terkait dengan bagian prolog. Dilihat dari tema yang dikomunikasikan dalam ayat 1-4 dan ayat 5, kita memang tidak melihat adanya kaitan langsung yang dapat menghubungkan keduanya, namun kita tetap tidak dapat mengabaikan kata sambung kai yang memang berfungsi sebagai penghubung antar kalimat. 29 Itulah sebabnya, ayat 5 sebaiknya dilihat sebagai sebuah "ide
penghubung" yang menjembatani gagasan mengenai Injil Yesus Kristus sebagai pusat berita dari para saksi mata, Injil sebagai kunci yang mempersatukan orang-orang percaya, dan panggilan hidup kudus sebagai pesan utama dari berita Injil. Tujuan dari penulis surat 1 Yohanes mengaitkan gagasan mengenai Kristus dan pentingnya kekudusan adalah untuk menolong jemaat memahami bahwa iman yang sejati pada Kristus selalu membuat orang percaya hidup dalam kebenaran dan kasih. Dua aspek ini penting dalam konsep iman yang diajarkan Yohanes sebab melalui kedua hal itulah orang percaya dapat menyatakan imannya dalam bentuk yang kelihatan dan konkret dalam masyarakat. Seperti yang ditegaskan oleh Kostenberger, tujuan akhir dari apa yang Yohanes ajarkan dalam tulisannya, termasuk dalam surat 1 Yohanes, adalah supaya jemaat mampu berkiprah dalam karya misi Allah di dunia ini. Jadi, dalam 1 Yohanes 1:1-5, kita menemukan bahwa kesaksian Injil mengenai Yesus Kristus adalah bagian penting dan mutlak dalam kehidupan dan pelayanan orang percaya. Menolak kesaksian mengenai Yesus sama saja dengan menolak kesaksian Allah mengenai diri Kristus.
27
Kata sam bung hina merupakan sebuah purpose conjunction. Bdk. Marshall, The Epistles ofJohn, 3. 29 Lih. Steven E. Runge, Discourse Grammar of the Greek New Testament: A Practical Introduction for Teaching and Exegesis (Peabody: Hendrickson, 2010), 23-27. 28
81
Kesaksian Gereja dalam Perspektif Sejarah Penebusan Gereja bukanlah hadir dan bertumbuh sekadar karena konteks. Komunitas gereja dibangun dalam Kristus dan bertumbuh serta berkembang secara berkesinambungan dan membentuk "sejarah penebusan." Untuk itu, orang-orang percaya perlu melihat keberadaan gereja bukan hanya berdasarkan apa yang sekarang menjadi pergumulannya, namun juga berdasarkan apa yang telah gereja alami sebelumnya. Tradisi iman dalam gereja mernperlihatkan pengalaman gereja dalam melewati pergumulan zarnannya; dan dari hal tersebut, gereja masa kini bisa belajar baik dari kelebihan maupun kekurangan mereka. Dalam gereja mula-mula, kesaksian Injil dipandang sebagai aspek yang penting, yang harus dipertahankan dan diajarkan pada
Konsep Kes<1ksi<1n cbl
82
setiap generasi orang percaya. Sebagai contoh, dalam suratnya kepada jemaat Trallians (pasal 6-7) yang berhadapan dengan guru-guru yang mengajarkan ajaran yang berbeda dari apa yang diberitakan oleh para rasul, termasuk dalamnya ajaran mengenai pribadi Yesus, Ignatius menegaskan: 30 I urge you, therefore, ... partake only of Christian food and keep away from every strange plant, which is heresy. These people, while pretending to be trustworthy, mix Jesus Christ with themselves--like those who administer a deadly drug with honeyed wine, which the unsuspecting victim accepts without fear, and so with fatal drinks down death. Therefore be on your guard against such people. And you will be, provided that you are not puffed up with pride that you cling inseparably to Jesus Christ .... " 31 Dalam apostolic period, ajaran mengenai Kristus masih menjadi perdebatan. Di era ini banyak kelompok muncul dengan ajaran yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh para rasul dan para saksi mata lainnya. Dalam konteks inilah, Ignatius membicarakan mengenai Christian food (te christiane trophe), dimana ajaran yang benar mengenai Kristus dilukiskan sebagai "makanan." Tentu, metafora ini digunakan Ignatius karena ia melihat adanya relasi yang paralel antara keyakinan iman yang benar dan makanan jasmani, dimana keduanya memiliki fungsi yang sama yakni memenuhi kebutuhan manusia. Sebaliknya, ajaran yang salah digambarkan sebagai tanaman asing (allotrias botanes); metafora ini sepertinya digunakan oleh Ignatius untuk menggambarkan tanaman beracun yang bisa sangat mematikan jika dimakan oleh manusia. Penggambaran ini pun digunakan oleh Ignatius 30
Bdk. William R. Schoedel, Ignatius ofAntioch, Hermeneia (Philadelphia: Fortress, 1985), 146-148; Clayton N. Jefford, Reading the Apostolic Fathers: An Introduction (Peabody: Hendrickson, 1996), 53-71. 31 Michael W. Holmes, The Apostolic Fathers: Greek Texts and English Translations, 3rd. ed. (Grand Rapids: Baker, 2007), 219.
83
. untuk memperlihatkan betapa berbahayanya ajaran yang salah mengenai Yesus. "Johannine tradition," yang menekankan pentingnya ajaran yang benar mengenai Kristus dan pentingnya iman kepada Kristus, dipandang penting dalam apostolic writings walaupun kutipan langsung dari tulisan Yohanes tidak banyak ditemukan dalam koleksi tersebut. Jefford menjelaskan: 32 For the most part, individual authors [of apostolic writings] rarely quote directly from the Gospel of John or 1-3 John. Instead, it is only the themes that those materials preserve that appear in various texts within the apostolic fathers-the letters of Ignatius, the Martyrdom of Polycarp, the Epistle to Diognetus, and perhaps the Didache-suggesting that the influence of the Johannine tradition was more profound than a simple survey of biblical quotations might imply ... [They] breathed the same literary air and shared the diverse memories of the evolving, ancient Christian faith. Jadi, generasi setelah para rasul tetap konsisten dalam memeliharakan ajaran dari apa yang para rasul terima dari Kristus dan mereka menjadikan hal tersebut sebagai patokan dalam menilai dan mengevaluasi berbagai pandangan yang muncul dalam gereja mula-mula. Mereka tentunya mencoba untuk mengembangkan tradisi iman yang mereka terima dari para rasul sesuai dengan konteks dan pergumulan kontemporer mereka. Demikian juga dengan berbagai konsili yang diselenggarakan gereja dalam upaya mereka merumuskan ajaran iman mengenai Kristus, kita melihat bahwa gereja mula-mula maupun gereja setelah era tersebut memandang berita Injil dan keyakinan iman yang benar, yang salah satunya adalah mengenai Kristus, sebagai aspek utama dalam iman Kristen dan bahkan menjadikan hal terseJ2Clayton N. Jefford, The Apostolic Fathers and the New Testament (Peabody: Hendrickson, 2006), 143.
84
85
but identitas dari orang percaya. Dalam studinya mengenai peran pengakuan iman dalam gereja dan sejarah, Leith menegaskan: 33 From the beginning Christianity has been theological, involving men in theological reflection and calling them to declarations of faith. A nontheological Christianity has simply never endured, although such has been attempted, for instance, by individual seers (Spiritualisten) in the sixteenth century and also by collaborators with totalitarian ideologies (e.g., the positives Christentum of the German Christians) in the twentieth century. Jadi, gereja tidak mungkin dapat bertahan tanpa pengakuan iman; dan melalui kesaksian Injil yang orang-orang percaya pegang dan sampaikan, gereja sedang memperlihatkan pengakuan iman dan kesaksiannya pada dunia. Kesaksian dan pengakuan iman inilah yang justru membuat gereja bertahan dalam dunia ini, 34 khususnya saat gereja harus berhadapan dengan berbagai ideologi dan filosofi yang berbeda dari apa yang tradisi iman gereja ajarkan. Gereja Indonesia perlu memandang kesaksian Injil sebagai aspek utama dalam kehidupan dan pelayanan orang percaya. Meskipun demikian, konteks Indonesia yang beragam membuat kesaksian iman tidak selalu mudah untuk diberitakan. Dalam rangka mengembangkan kesaksian Injil di Indonesia, gereja perlu membedakan antara area pelayanan misi yang masih terbuka dengan model pemberitaan Injil secara langsung dan verbal dan area dimana pelayanan misi haruslah dikerjakan dalam bentuk yang berbeda, secara indirect dan, juga mungkin, secara nonverbal. Gereja di Indonesia seharusnya dapat melihat adanya kesempatan dan peluang yang masih cukup besar dalam mengerjakan 33
John H. Leith, peny., Creeds of the Churches, 3rd.ed. (Louisville: John Knox, 1982), 1. 34 Ibid., 1-2.
. pemberitaan Injil secara langsung dan verbal di berbagai wilayah Indonesia yang masyarakatnya secara mayoritas beragama Kristen. Tentu, gereja perlu datang dan melayani mereka bukan dengan model "hit and run," kita perlu memiliki perencanaan dan model pelayanan yang holistik dan empatik; pelayanan yang di dalamnya melibatkan bukan hanya program pemberitaan Injil namun juga berbagai program yang dapat menolong orang-orang yang dilayani menjadi individu dan komunitas yang mampu memberikan dampak dan impak pada orang-orang di sekitar mereka. Program seperti ini haruslah dibangun bukan berdasarkan pemikiran ideal dari sang misionaris atau gereja penyelenggara pelayanan misi namun berdasarkan kondisi riil dari orang-orang yang dilayani dan masyarakat dimana mereka hidup. Untuk dapat melakukan hal ini, gereja perlu mendengarkan dan mengerti pergumulan dari orang-orang yang akan dilayani dan mengembangkan sebuah model pelayanan misi yang "bottom-up" (bukan "topdown"). Untuk dapat mengerjakan model pelayanan misi yang demikian, orang-orang percaya perlu mengembangkan sebuah model missional-hermeneutics yang berorientasi pada aspek listening dan understanding. Di sisi yang lain, gereja perlu juga memikirkan ulang model dan bentuk pelayanan misi yang relevan untukjemaat yang hidup di daerah dan wilayah yang mayoritas pendukuk dan masyarakatnya berbeda keyakinan dengan iman Kristen. Hal penting yang bisa dilakukan gereja dan orang percaya untuk dapat menyatakan kesaksian Injil dalam konteks masyarakat yang pluralis adalah melalui improvisasi "bahasa kesaksian" yang digunakan orangorang Kristen. Kita dapat belajar dari Yakobus, saudara Yesus, yang menuliskan surat kepada orang-orang Yahudi di perantauan (Yak. 1.1) dengan bahasa yang sangat genera/; 35 ia tidak 35 Bdk. Luke Timothy Johnson, The Letter of James: A New Translation with Introduction and Commentary, AB 37A (New York: Doubleday, 1995), 16-29. Yakobus menggunakan paraenesis yang merupakan sebuah bentuk sastra yang umum digunakan oleh guru moral Yunani-Romawi abad pertama Masehi.
86
Bela jar Setia dalam Pelayanan
menggunakan berbagai frasa yang merupakan istilah teknis dalam kekristenan; ia hanya menyebut nama Yesus beberapa kali dan tidak secara langsung memberitakan Injil kepada para pembacanya. Meskipun demikian, pembaca Kristen pastilah dapat menangkap bahwa, walaupun bahasa yang digunakan Yakobus bukanlah "bahasa teknis" dalam kekristenan, namun ajaran yang dia sampaikan dan nasihat yang dia berikan berakar pada tradisi dan ajaran Yesus. 36 Yakobus tentunya memilih menggunakan cara berkomunikasi yang seperti ini karena hal inilah yang paling relevan untuk digunakan dalam menjangkau orang-orang Yahudi zamannya yang mungkin akan bereaksi secara negatif jika ia menggunakan model-model pemberitaan Injil secara langsung. Hikmat dalam memberikan kesaksian injil yang ditunjukkan Yakobus seharusnya dapat mengajar kita, gereja yang hidup dalam masyarakat yang plural is, untuk dapat secara kreatif membahasakan ulang bahasa kesaksian kita dalam bahasa-bahasa yang lebih general sehingga penolakan terhadap kesaksian Injil menjadi berkurang. 37 Sebagai contoh, istilah "memberitakan Injil" atau "menginjili" adalah istilah teknis dalam kekristenan. Meskipun demikian, istilah ini dipandang negatif oleh orang-orang yang berbeda keyakinan dengan iman Kristen karena dipandang sebagai bentuk kristenisasi. Kita tentu tidak dapat membuang gagasan memberitakan lnjil yang merupakan aspek utama dalam panggilan kita sebagai orang Kristen; meskipun demikian, kita sebenarnya dapat merephrase, memodifikasi, dan memperluas konsep ini dalam bahasa dan gagasan yang lebih general dan positif dalam pandangan masyarakat yang pluralis. Kita dapat mengembangkan gagasan "kontribusi gereja bagi umat manusia" sebagai bagian dari kesaksian Injil orang Kristen dalam dunia ini. Untuk dapat mengimprovisasi model kesaksian Injil dalam masyarakat yang pluralis, 36
Bdk. Richard Bauckham, James: Wisdom ofJames, Disciple ofJesus the Sage, New Testament Readings (London: Routledge, 1999), 107-108. 37 Bdk. Leith,. Creeds, 3.
Konsep Kesaksian dalam 1 Yohanes 1:1-5 dan lmplikasinya ...
87
gereja tentunya perlu mengembangkan gagasan soteriologi yang tidak hanya berfokus pada "keselamatan personal/individual" namun juga pada aspek pengharapan dan visi akan adanya "human restoration." Dalam surat-surat Paulus kita dapat melihat bahwa keselamatan yang Allah ketjakan dalam dunia ini tidak berhenti pada keselamatan individual namun berlanjut pada misi Allah untuk memulihkan dunia ini. Orang percaya dipanggil Tuhan bukan sekadar untuk "menikrnati hubungan yang baru dengan Tuhan" namun untuk menjadi agen dan instrumen Allah dalam memulihkan dunia ini; dalam kitab Wahyu, penulis Alkitab memperlihatkan visi dari kerajaan Allah, yakni turunnya Yerusalem baru" (ten polin ten hagian lerousalem kainen eidon katabainousan ek tau ouranou [cetak tebal dari penulis]). Dalam Roma 8: 18-25, Paulus juga berbicara mengenai karya keselamatan yang pada dasamya melibatkan "human restoration." Untuk mengembangkan sebuah kesaksian Injil dalam masyarakat pluralis, gereja perlu mengembangkan public theology yang relevan untuk konteks Indonesia. Breitenberg Jr., mendefinisikan public theology sebagai "[theological discourse which] is concerned with issues, institutions, interactions, and processes that are of importance and pertinence both to the church or other religious communities and to the larger society, including those of the same religious tradition, those of other faiths, and those who claim no religious beliefs and maintain no formal religious ties." 38 Dalam upaya mengembangkan public theology, gereja tidak boleh sekadar berorientasi pada isu etika, ekonomi, sosial, kultur ataupun politik; kesaksian Injil adalah ground sekaligus tujuan dari public theology. Dalam proses membangun public theology di Indonesia, hermeneutics yang berorientasi pada listening dan understanding kembali memegang peranan yang sangat penting 38
E. Harold Breitenberg Jr., "What is Public Theology?" in Public Theology for a Global Society: Essays in Honor ofMax L. Stackhouse, peny. D. K. Hainsworth danS. R. Paeth (Grand Rapids: Zondervan, 2010), 5.
88
Konsep Kes
dalam membantu orang-orang Kristen untuk dapat berdialog dan bekerj a sama dengan orang yang berbeda agama/keyakinan dengan mereka sekaligus untuk melatih mereka untuk memiliki kepekaan dalam menentukan batas toleransi yang bisa diberikan dalam dialog dan kerja sama tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kesimpulan Kesaksian iman adalah mutlak dalam gereja. Dalam surat 1 Yohanes dan apostolic writings, kita melihat bahwa pengakuan iman dipandang sebagai aspek esensial dalam gereja. Perumusan, pengakuan, dan kesaksian iman orang percaya membuat gereja memahami tradisi iman mereka dengan lebih mendalam; itulah sebabnya, kesaksian iman tidak boleh diabaikan sebab hal inilah yang akan membuat gereja bertumbuh dan bertahan dari segala tantangan zaman. Meskipun demikian, konteks masyarakat Indonesia yang multiagama membuat panggilan gereja untuk menyaksikan imannya menjadi tidak mudah untuk dikerjakan. Itulah sebabnya, gereja perlu berimprovisasi dalam menyaksikan imannya. Konteks religius masyarakat Indonesia yang pluralis juga harus membuat orang-orang Kristen belajar membahasakan kesaksian iman mereka dalam bahasa yang lebih general tanpa mengurangi pesan dari Injil Kristus. Gereja pun perlu memikirkan dan menggumulkan mengenai public theology; kesaksian iman dan perhatian kita pada dunia ini haruslah menjadi fokus pelayanan misi gereja di Indonesia.
89
Anderson, Justice. "An Overview ofMissiology." Dalam Missiology: An Introduction to the Foundation, History, and Strategy of World Mission. 2nd., & rev. ed. Diedit oleh John M. Terry, 3-18. Nashville: B & H, 2015. Barram, Michael. "The Bible, Mission, and Social Location: Toward a Missional Hermeneutic." Interpretation 61.1 (2007): 42-58. Bartholomew, Craig G. Introducing Biblical Hermeneutics: A Comprehensive Framework for Hearing God in Scripture. Grand Rapids: Baker, 2015. Bartholomew, Craig G., dan Michael G. Goheen. The Drama of Scripture: Finding our Place in Biblical Story. Grand Rapids: Baker, 2004. Bauckham, Richard. Jesus and the Eyewitnesses: The Gospels as Eyewitness Testimony. Grand Rapids: Eerdmans, 2006. __ .James: Wisdom ofJames, Disciple ofJesus the Sage. NTR. London: Routledge, 1999. Breitenberg Jr., E. Harold. "What is Public Theology?" In Public Theology for a Global Society: Essays in Honor of Max L. Stackhouse. Diedit oleh D. K. Hainsworth dan S. R. Paeth, 3-17. Grand Rapids: Zondervan, 2010. Brown, Raymond E. The Epistles ofJohn: Translated with Introduction, Notes, and Commentary. ABC. New York: Doubleday, 1982. Culpepper, Alan dan Paul N. Anderson, eds. Communities in Dispute: Current Scholarship on the Johannine Epistles. SBLECIL 13. Atlanta: SBL, 2014. Holmes, Michael W. The Apostolic Fathers: Greek Texts and English Translations. 3rd. ed. Grand Rapids: Baker, 2007. Hunsberher, George R. "Proposals for a Missional Hermeneutic: Mapping a Conversation." Missiology: An International Review 39.3 (2011): 309-321.
91
90
Konsep Kesaksi<1n dal<1m 1 Yoh<1nesi:1-S d<1n lmplik<1siny<1 ...
Jefford, Clayton N. The Apostolic Fathers and the New Testament. Peabody: Hendrickson, 2006. __ .Reading the Apostolic Fathers: An Introduction. Peabody: Hendrickson, 1996. Jensen, Matthew D. Affirming the Ressurection of the Incarnate Christ: A Reading of I John. SNTSMS 153. Cambridge: Cambridge University Press, 2012. Johnson, Luke Timothy. The Letter of James: A New Translation with Introduction and Commentary. ABC 37A. New York: Doubleday, 1995. Kosten berger, Andreas J. A Theology of Johns Gospel and Letters: Bihlical Theology of the New Testament. BTNT. Grand Rapids: Zondervan, 2009. K()stenberger. Andreas dan Raymond Bouchoc. The Book Study Cnncordanee o/the Greek New Testament. Nashville: Broadman & Holman. 2003. Lalkman. Pietcr J. 1, 2 en 3 Johannes: Brieven van een kroongetuige. CNT. Kampen: Kok, 2005. Leith. John H .. pcny. Creed1 rJj'rhe Churches. 3rd.ed. Louisville: John Knox, 19~2. L1eu. Jud1th IV! /, 11, & Ill John. NTL. Louisville: WJK, 2008. Luow, Johannes P., dan Eugene A. Nida. Greek-English Lexicon of the Nevv Testament Based on Semantic Domain, 2 Vo1s. New York: UBS, 1989. Marshall, I. H. The Epistles ofJohn. NICNT. Grand Rapids: Eerdmans, 1978. Porter, Stanley E. Linguistic Analysis of the Greek New Testament: Studies in Tools, Methods. and Practices. Grand Rapids: Baker, 2015. Runge, Steven E. Discourse Grammar of the Greek New Testament: A Practical Introduction for Teaching and Exegesis. Peabody: Hendrickson, 2010. Schoedel, William R. Ignatius of Antioch. Hermeneia. Philadelphia: Fortress, 1985.
Streett, Daniel R. They Went out from Us: The Identity of the Opponents in First John. BZNW 177. Berlin: Walter de Gruyter, 2011. Tennent, Timothy C. Theology in the Context of World Christianity. Grand Rapids: Zondervan, 2007. Van Houwelingen, P. H. R. "John and the Others: To Whom Does the "We" in the Fourth Gospel's Prologue and Epilogue Refer." Fides Reformata 19.2 (2014): 95-115. Yarbrough, Robert W. 1-3 John. BECNT. Grand Rapids: Baker, 2008.