PAPER
Masalah Perbatasan
(Sengketa Pulau Senkaku/Diayou antara China dan Jepang)
Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Studi Perbatasan dan Transnasionalisme
Disusun Oleh:
A.AULIA HARDINA HAKIM
E13114002
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
Pendahuluan
Persoalan terkait perbatasan seringkali menjadi salah satu permasalahan pokok yang terjadi di beberapa negara. Permasalahan perbatasan kerap kali menjadi sangat sensitif disebabkan karena persoalan perbatasan sendiri menyangkut kepentingan dan kedaulatan suatu negara. Konsep kedaulatan sendiri sangat erat kaitannya dengan wilayah dan kepemilikannya hal inilah kemudian yang menyebabkan dunia internasional kerap kali menjadikan permasalahan perbatasan sebagai permasalahan yang cukup pokok untuk diselesaikan. Konflik yang terjadi akibat perbatasan kemudian dapat memicu beragam dampak dan respon, dampak-dampak yang ditimbulkan kemudian tidak hanya akan dirasakan oleh internal negara tetapi juga di lingkup eksternal atau internasional, hal ini kemudian menghadirkan respon terkait permasalahan perbatasan sendiri. Beberapa faktor yang kerap kali memicu terjadinya permasalahan terkait perbatasan adalah perbedaan penafsiran terhadap suatu perjanjian ataupun suatu bentuk klaim sepihak yang diajukan suatu negara terkait perbatasan tertentu. Salah satu contoh sengketa perbatasan yang terjadi adalah perebutan kepemilikan pulau Diayou atau Senkaku antara China dan Jepang, perebutan pulau ini telah berlangsung sejak tahun 1969, sengketa ini berawal sejak Economic Commission for Asia and the Far East ditahun yang sama mengumumkan bahwasanya terdapat kandungan hidrokarbon jumalh besar di sekitaran lokasi pulau Diayou/Senkaku tersebut.
Permasalahan antara kedua negara ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. China sendiri telah melakukan klaim terhadap pulau ini sejak abad ke-15, baik China ataupun Taiwan keduanya kemudian saling mengakui bahwasanya kepemilikan terhadap pulau Senkaku atau Diayou ini merupakan bagian dari wilayah kedaulatan China. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadinya persoalan di kedua negara ini, salah satunya adalah terkait penentuan batas wilayah kedaulatan kedua negara yakni overlapping antara ZEE Jepang dan landas kontinen China. Selain itu, hingga saat ini persoalan saling klaim antar keduanya masih terjadi. Baik China maupun Jepang kerap kali melakukan tindakan-tindakan yang mensyaratkan bahwa kepemilikan terhadap senkaku atau diayou adalah milik kedua negara dengan metode dan ragam bukti yang mereka ajukan. Persoalan terkait sengketa kedua negara atas pulau Diayou atau Senkaku ini juga memicu respon dari dunia internasional, beragaim solusi juga ditawarkan kepada kedua negara ini, persoalan terkait sengketa perebutan wilayah Senkaku dan Diayou ini pun sampai saat ini masih dalam proses penyelesaian konflik.
Pembahasan
(Gambar Peta Lokasi Wilayah Sengketa Pulau Senkaku/Diayou diakses melalui international.sindonews.com)
Kronologi Konflik
"The Senkaku Islands" adalah istilah kolektif yang mengacu pada sekelompok pulau yang mencakup Uotsuri, Kitakojima, Minamikojima, Kuba, Taisho, Okinokitaiwa, Okinominamiiwa, dan Tobise yang terletak di sisi barat dari Nansei Shoto Islands. Kepulauan Senkaku, pernah dihuni oleh Jepang untuk pabrik bonito kering, dan kini tak berpenghuni. Kuba Island (dan pulau sekitarnya) adalah di bawah kepemilikan pribadi. Daerah lainnya adalah milik negara. Secara administratif, adalah bagian dari kota Ishigaki, Okinawa Prefecture. (Affairs, 2013)
Kepulauan Senkaku atau Diayou dan wilayah sekitarnya memiliki nilai dan potensi strategis serta ekonomi yang besar. Pulau-pulau yang dekat jalur pelayaran perdagangan internasional, terdapat daerah penangkapan ikan oleh kedua negara baik China ataupun Jepang diwilayah tersebut, terdapatnya potensi sumber daya alam yang berlimpah ruah baik minyak, gas, dan deposit mineral di sekitar pulau menyebabkan negara-negara yang berkonflik saling mengklaim batas wilayahnya.
Perebutan kepemilikan Pulau Diaoyu (Menurut nama yang diberikan China) dan Senkaku (berdasar nama yang diberikan Jepang) telah berlangsung sejak tahun 1969. Sengketa ini diawali ketika ECAFE (Economic Commission for Asia and the Far East) menyatakan bahwa diperairan sekitar Pulau Daioyu/Senkaku terkandung hidrokarbon dalam jumlah besar. Kemudian pada tahun 1970, Jepang dan Amerika Serikat menandatangani perjanjian pengembalian Okinawa, termasuk pulau Daioyu/Senkaku kepada Jepang. Hal inilah yang kemudian diprotes China, karena China merasa bahwa pulau tersebut adalah milik China. Sengketa ini semakin berkembang pada tahun 1978, ketika Jepang membangun mercusuar di Pulau Daioyu untuk melegitimasi pulau tersebut. China telah mengklaim kepemilikan atas Diayou ini sejak abad ke-15, begitupula Taiwan yang telah mengklaim kepemilikan Diayou sejak abad ke 16. Akan tetapi, pihak Jepang mengklaim bahwa ketika pulau itu disurvei oleh mereka pada 1800-an, dan tidak menemukan tanda-tanda keberadaan pendudukan China di wilayah tersebutm pada akhirnya wilayah di pulau-pulau Senkaku tersebut dimasukkan kedalam wilayah Jepang pada tahun 1895 setelah kemenangan mereka dalam Perang Sino-Jepang I. (Roy-Chaudhury, 2016) Pulau-pulau kemudian berada di bawah pendudukan Amerika pada tahun 1945, ketika Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II, namun segera kembali pada tahun 1972. Sebelum tahun 1971, baik China atau Taiwan membuat klaim apapun terhadap "kedaulatan teritorial" terhadap wilayah Senkaku atau Diayou. Pada akhir tahun 1960, ECAFE melakukan survei perairan di sekitar Senkaku/Diayou dan mengumumkan adanya tabungan minyak berpotensi di bawah dasar laut. Setelah ECAFE ini merilis temuannya pada tahun 1971, Taiwan membuat klaim teritorial pertama ke pulau-pulau yang kemudian diikuti oleh China.
China menyatakan bahwa China pertama kali ditemukan dan diberi nama pulau-pulau Diaoyu Dao. Catatan sejarah awal dari nama-nama Diaoyu Dao dapat ditemukan dalam buku Voyage dengan angin Tail diterbitkan di 1403. China sendiri juga menyatakan bahwa perairan sekitar pulau-pulau ini secara tradisional telah digunakan China sebagai wilayah operasional nelayan saat memancing sejak beberapa generasi silam, pemerintah menggunakan catatan-catatan sejarah untuk membenarkan kedaulatan China atas teritorial tersebut. China juga kemudian melakukan klaim terkait kepulauan yang digunakan ini telah ada sejak Dinasti Ming sebagai pertahanan pesisir terhadap bajak laut Jepang. China juga menegaskan bahwa peta asing dan China menunjukkan bahwa pulau-pulau milik China. China berpendapat bahwa Jepang mencuri pulau-pulau selama Perang Sino-Jepang I (Roy-Chaudhury, 2016). Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan 1943 Deklarasi Kairo dan 1945 Potsdam Deklarasi sebagai bukti, menyatakan bahwa Jepang setuju untuk menandatangani dokumen-dokumen tersebut, mereka sepakat "untuk mengembalikan ke Republik China semua wilayah Jepang telah dicuri dari Dinasti Qing dari China seperti Manchuria, Formosa dan Pescadores."namun ada, tidak ada indikasi Kepulauan Senkaku yang disebutkan dalam dokumen.
Dilain pihak, Pemerintah Jepang dengan tegas menyatakan bahwa pulau-pulau Senkaku adalah jelas merupakan wilayah yang melekat dari Jepang. Mereka membantah klaim Historis yang dilakukan China terkait pengadministrasian pulau melalui survei mereka pada tahun 1885 yang menunjukkan tidak ada tanda-tanda yang telah dikuasai oleh negara manapun. Jepang juga tidak memvalidasi poin yang diangkat oleh China untuk kedaulatannya. Jepang mengatakan disurvei pulau selama 10 tahun di abad ke-19 dan menentukan bahwa mereka tak berpenghuni. Pada 14 Januari 1895 Jepang mendirikan sebuah penanda kedaulatan dan secara resmi dimasukkan pulau-pulau dalam wilayah Jepang. (News, 2014) Mereka menyatakan bahwa pulau ini bukan merupakan bagian dari Taiwan maupun Kepulauan Pescadores. Selanjutnya, Kepulauan Senkaku yang termasuk dalam Perjanjian Okinawa reversi 1972 antara Amerika Serikat dan Jepang di mana hak administratif dikembalikan ke Jepang setelah pendudukan Amerika. Hingga saat ini China telah perlahan dan telah melanggar pulau-pulau batas-batas dengan mengirimkan militer dan kapal nelayan ke perairan Senkaku sendiri, meskipun protes dari pemerintah Jepang tentu saja mengikuti. Sejumlah insiden terjadi karena adanya kapal nelayan China dan Taiwan di zona-zona yang diklaim oleh Jepang hingga saat ini masih terjadi diwilayah tersebut hal ini kemudian kembali pada hal dasar dimana tidak jelasnya garis batas kepemilikan antara kedua belah pihak dalam hal ini negara Jepang ataupun China. Pada September 2010 konfrontasi antara Jepang dan China terjadi ketika China memancing provokasi pukat di perairan Kepulauan Senkaku, hal ini menunjukkan bagaimana mudahnya insiden yang tampaknya kecil memicu konfrontasi diplomatik yang terjadi sampai saat ini. (Smith, 2011)
Faktor Pemicu
Beberapa faktor pemicu yang kemudian menyebabkan terjadinya sengketa terkait perbatasan dan kepemilikan pulan antara kedua negara ini adalah antara lain Pertama, perbedaan interpretasi terkait garis perbatasan laut di Laut China Timur (The East China Sea) antara negara Jepang dan China, yang sampai saat ini belum menemui kesepakatan, kedua negara telah melakukan proses ratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait hukum laut di tahun 1982 namun hal tersebut tidak menjadi acuan kedua negara dalam menyelesaikan persoalan ini dikarenakan saling klaim yang terjadi antara keduanya. Jepang kemudian mengusulkan pembagian wilayah tersebut berdasarkan pada garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya (berjarak 200 mil dari garis dasar/baseline), sedangkan China mengacu pada kelanjutan alamiah dari landas kontinennya (berjarak di luar 200 mil dari garis dasar). Pembagian yang diusulkan oleh Jepang kemudian dianggap bersifat sepihak dan sesuai dengan isi konvensi yang menegaskan tata-cara penetuan garis perbatasan namun hal terkait kedaulatan kedua negara bukan menjadi hal yang dapat dibicarakan terkait status legal dan yurisdiksi suatu persoalan, sebab pengukuran Zona Ekonomi Eksklusif dan landasan kontinental seharusnya berdasar pada perjanjian antara kedua pihak yang saling berbatasan agar tercapai kesesuaian antara kedua belah pihak. Kedua, adalah terkait perbedaan persepsi sejarah kepemilikan Senkaku (nama yang diklaim oleh Jepang) ataupun Diaoyu (dalam bahasa China) di setiap pihak bermuara pada klaim berbeda. China menganggap kepemilikan atas Senkaku sudah ada sejakasa Dinasti Ming (1368-1644), dimana nama wilayah tersebut telah tercantum di sebuah buku berjudul Departure Along the Wind (Roy-Chaudhury, 2016). Selain itu, kepulauan ini beserta pulau-pulau kecil yang mengitari kerap kali disebutkan berada dalam lingkup pertahanan maritim negara China sendiri pada masa itu. Selain itu kepulauan Diayou sendiri kerap kali digunakan oleh nelayan negara China sebagai basis operasionalnya. Selain itu, pada saat kekalahan China dalam perang Sino-Jepang (1894-1895), Taiwan (termasuk Diaoyu Islands) diserahkan ke Jepang. Namun, akhir PD II, kepulauan ini dikembalikan oleh AS ke China berdasarkan perjanjian "Tiga Besar" (AS, Inggris, China) di Kairo tahun 1943. (Irewati, 2012)
Kemudian, negara Jepang pasca kemenangannya dalam perang Sino-Jepang menerima penyerahan pulau Senkaku dari China. Hal ini kemudaian dianggap sebagai bagian teritorial Jepang secara resmi. Sejak itu, survei atas kepulauan ini dilakukan Jepang dan diyakini bahwa kepulauan ini tidak berpenghuni. Survei saat itu menunjukkan tiadanya tanda- tanda bahwa kepulauan Senkaku berada di bawah kontrol dari negara China sendiri. Berdasarkan keputusan kabinet pada14 Januari 1895, kepulauan ini dimasukkan ke teritorial Jepang. Sejak itu, Senkaku menjadi bagian integral dari Kepulauan Nansei Shoto, dimana hal ini kemudian diyakini oleh Jepang bahwa kepulauan tersebut tidak menjadi bagian dari Taiwan ataupun lainnya, yang diserahkan ke China setelah PD II selesai. Selain itu, kepememilikan tersebut dibuktikan melalui sebuah Map 1969 buatan pemerintah negara China yang memasukkan Kepulauan Senkaku ke wilayah Jepang. Berarti ada pengakuan resmi sejak itu bahwa Senkaku masuk dalam wilayah otoritas Jepang. Persoalan ketiga, yakni munculnya sengketa ini dipicu setelah kedua pihak menyadari adanya sumber cadangan minyak dan gas di sekitar pasca ECAFE mengumumkan kandungan hidrokarbon yang berada dalam kepulauan Senkaku atau Diayou tersebut. Hal tersebut menjadi pemicu besar kedua negara saling klaim untuk memiliki wilayah ini. Mengingat pula, baik negara Jepang dan China adalah dua negara yang sangat bergantung pada suplai minyak dan gas dari luar negaranya, menyadari keberadaan cadangan energi yang berada dekat dengan wilayah mereka, tentu saja hal tersebut memicu kedua negara untuk memiliki wilayah tersebut beserta dengan seluruh sumber energi yang berada didalamnya.
Solusi, kondisi kontemporer konflik, dan perbandingan dengan Indonesia.
Dalam suatu persoalan perbatasan terdapat beberapa model penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak yakni model penyelesaian melalui jalur non-hukum ataupun melalui jalur hukum sendiri, jalur hukum biasanya dilakuakn melalui kesepahaman suatu negara baik melalui proses negosiasi ataupun mediasi atau melalui perjanjian bilateral yang saling diakomodasi dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Jalur hukum bisa dilakukan melalui proses arbitrase atau diangkat menuju makhamah internasional, International Court of Justice ataupun International court lainya hal ini akan bersifat mengikat kedua belah pihak jika jalur penyelesaian yang dipilih adalah melalui jalur hukum. Alternatif yang ditawarkan adalah terlibat dalam hubungan bilateral diplomatik baik negosiasi dalam rangka membangun beberapa bentuk pengelolaan bersama pulau-pulau tersebut mengingat negosiasi akan menghindari ketidakpastian ajudikasi dan hasil sewenang-wenang berdasarkan hukum anakronistik. (Harry, 2014)
Melirik kasus yang terjadi antara China dan Jepang, perwuudan perundingan antara kedua negara harus dilakukan proses delimitasi atau penegasan batas wilayah untuk menentukan batas-batas legal kedua negara juga harus ditempuh untuk menegaskan garis yang saling diklaim dan overlapping antara kedua negara. Selain itu upaya yang dihadirkan menjadi solusi terkait persoalan kedua belah pihak adalah menggunakan Joint Development. Proses Joint Development ini dapat dilakukan untuk menangani kondisi jangka pendek antara kedua negara, melalui perjanjian ini kedua negara dapat menemukan kesepakatan dengan membangun suatu perbatasan bersama atau common line. Joint Development Agreement juga melalui pengelolaan bersama tidak hanya akan menyelesaikan sengketa perbatasan laut kedua negara, tetapi memiliki unsur politis. Hal ini akan mampu memperbaiki hubungan antara China dan Jepang, karena menyangkut kepentingan kedua negara, sehingga kedua negara harus selalu menjaga hubungan baik agar kesepakatan dapat berjalan dengan baik. Penyelesaian sengketa ini juga merupakan usulan dari Jepang, akan tetapi China tetap melakukan penolakan terhadap usulan Jepang ini.
Terkait kondisi kontemporer permasalahan pulau Diayou atau Senkaku, sampai saat ini belum dapat diselesaikan. Kedua negara telah mengadakan pertemuan untuk membicarakan dan menyelesaikan sengketa. Namun dari beberapa kali pertemuan yang telah dilakukan belum terdapat langkah konkrit penyelesaian, sebab kedua negara tetap bersikeras bahwa pulau tersebut merupakan bagian kedaulatan dari negara mereka, akibat overlapping antara ZEE Jepang dan landas kontinen China. Hal inilah yang belum terjawab oleh Hukum laut yang disahkan oleh PBB di tahun 1982. Meskipun saat ini banyak yang menggunakan pendekatan median/equidistance line (Garis dari wilayah terdekat) untuk pembagian wilayah yang saling tumpang tindih, namun belum dapat menyelesaikan perebutan antara kedua negara, karena adanya perbedaan interpretasi terhadap definisi equidistance line sendiri.
Pola permasalahan sengketa antara negara Jepang dengan China bisa menjadi pembanding bagi Indonesia, dalam menghadapi konflik antara wilayah Indonesia dan Palau. Negara Indonesia dan Palau juga terlibat dalam persoalan perbatasan di kedua negara, kesamaan antara keduanya ada pada persoalan penentuan zona ekonomi eksklusif kedua negara, Indonesia dan Palau saling klaim terhadap batas wilayah yang overlapping baik China-Jepang, Indonesia-Palau menghadapi persoalan terkait Zona Ekonomi Eksklusif dan Konsep overlapping sendiri. Kedua permasalahan juga sama-sama belum menemukan titik penyelesaian, konflik antara Indonesia-Palau dalam prosesnya telah diajukan beberapa tata cara penyelesaian sengketa antar keduanya namun terdapat salah satu pihak yang tidak menyepakati proses penyelesaian yang diajukan salah satu negara dalam hal ini yang diajukan oleh Palau terhadap Indonesia, sama halnya dengan Jepang yang mengajukan pernyelesaian dengan menggunakan jalur wilayah tengah perbatasan terhadap China, namun keduanya baik China- Indonesia sama-sama menolak proses penyelesaian sengketa perbatasan yang sama-sama dialami terkait zona ekonomi eksklusifnya. Pola penyelesaian konflik antar keduanya yang sedang diajukan secara internasional juga hampir memiliki kesamaan yakni dengan melakukan Joint Development Agreement ataupun melakukan proses delimitasi di wilayah batas kedua belah pihak.
Kesimpulan
Permasalahan perbatasan yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal salah satunya terkait kepentingan suatu negara, persoalan perbatasan kerap kali disebabkan oleh pembagian atau penentuan batas wilayah yang tidak melalui kejelasan, baik China-Jepang ataupun Indonesia-Palau sama-sama mengalami permasalahan tidak jelasnya garis atau batas zona ekonomi eksklusif antara kedua negara, hal itu yang menyebabkan hingga saat ini persoalan ataupun sengketa masih terjadi, proses penyelesaian sengketa juga sampai saat ini belum melakukan penyelesaian hingga mengundang respon internasional dalam proses penyelesaiannya.
Bibliography
Affairs, M. o. (2013). The Senkaku Island. Ministry of Foreign Affairs Asia.
Harry, R. J. (2014). A Solution Acceptable to All? A Legal Analysis of the Senkaku-Diaoyu Island Dispute. Cornell International Law Journal Vol. 46 , 679.
Irewati, A. (2012, September 24). Senkaku, antara Jepang dan China. Retrieved April 10, 2017, from Kompas.com: http://internasional.kompas.com/read/2012/09/24/05341379/Senkaku.antara.Jepang.dan.China
News, B. (2014, November 10). How uninhabited islands soured China-Japan ties. Retrieved April 10, 2017, from BBC.com: http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-11341139
Roy-Chaudhury, S. (2016, August 1). The Senkaku Islands Dispute. Retrieved April 11, 2017, from International Policy Digest: https://intpolicydigest.org/2016/08/01/senkaku-islands-dispute/
Smith, S. A. (2011). Japan and the East China Sea Dispute. Foreign Policy Research Institute and the Reserve Officers Association , 370.