PENERAPAN TEORI GOOD GOVERNANCE DALAM PROSES PENYELESAIAN MALADMINISTRASI OLEH OMBUDSMAN Oleh: N U R I Y A N T O, S.H., M.H. (Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Angkatan 26 Untag Surabaya)
A. Latar Belakang Kondisi penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia sekarang ini, walaupun secara konsep sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP) sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Tapi dalam tataran implementasi, masih sangat memprihatinkan, pungutan liar dan KKN masih dibudayakan oleh oknum yang hanya mementingkan kebutuhan sendiri, tidak peduli dengan nasib bangsanya.1 Kondisi ini tercermin dalam peringkat daya saing investasi Indonesia yang masih terpuruk, di antaranya tersaji dalam bahan hasil survey yang dilakukan oleh World Bank’s Report on Doing Business, pada tahun 2013 menempatkan Indonesia berada di urutan 120 dari 189 kawasan ekonomi dan negara dari segi kemudahan berusaha2. Hasil survey tersebut menunujukkan betapa terpuruknya daya saing investasi Indonesia dalam dunia bisnis internasional. Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara-negara kecil seperti Singapura, Malaysia, Thailand serta Vietnam. Persepsi internasional masih menyetarakan negara kita dengan Mesir yang sedang dalam prahara politik dan negara-negara terbelakang di belahan dunia lainnya. Buruknya sistem penyelenggaraan pelayanan publik sangat berpengaruh terhadap daya saing investasi dan juga berujung pada perkembangan perkonomian Indonesia di mata iternasional, karena di antara faktor-faktor yang merupakan kelemahan daya saing untuk menarik investasi langsung di suatu negara adalah penyelenggaraan pelayanan publik, terutama dalam bidang regulasi perijinan dan sarana dan prasarana penunjang kemudahan berusaha seperti tersedianya bandar udara, pelabuhan serta sarana transportasi yang layak. Di samping faktor keamanan yang harus kondusif. Undang-Undang Pelayanan Publik memaparkan konsep penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas yang selaras dengan konsep pelayanan publik terkini. Sedangkan Undang-Undang Ombudsman memberikan kewenangan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Ombudsman sebagai lembaga negara independen. Di samping itu, kedua paket UU tersebut juga memberikan mekanisme penyelesaian permasalahan (sengketa) yang terjadi akibat penyelenggaraan pelayanan publik, yang berlandaskan prinsip alternative dispute resolution (ADR) dan dengan pendekatan yang persuasif, yang mengedepankan pembinaan kepada penyelenggara pelayanan publik yang telah melakukan maladministrasi. 1
Nuriyanto, 2014, 14 Tahun Ombudsman RI: Buruknya Pelayanan Publik, Bagaimana Solusinya?, Artikel Harian Bhirawa edisi 10 Maret 2014; 2 http://www.doingbusiness.org/rankings, yang diakses pada tanggal 10 Mei 2014 pukul 19..00 WIB;
2
Konsep penyelesaian sengketa tersebut sangat kondusif untuk penyelenggaraan pemerintahan ke depan (futuristic) dan juga selaras dengan konsep penyelesaian sengketa yang sudah menjadi budaya di dunia bisnis, baik lokal maupun global, yang lebih mengedepankan prinsip win-win solution.3 B. Perumusan Masalah Bagaimana penerapan teori good governance dalam proses penyelesaian maladministrasi yang dilakukan oleh Ombudsman? C. Pembahasan Praktek penyelesaian maladministrasi oleh Ombudsman, di samping harus memberikan akases yang sebesar-besarnya, seluas-luasnya serta semudah-mudahnya kepada masyarakat untuk menyampaikan laporannya dan menyeimbangkan kedudukan antara warga negara dan atau penduduk sebagai pelapor dengan pejabat pemerintahan sebagai terlapor serta memberikan pelayanan penyelesaian maladministrasi secara gratis. Di sisi lain penyelesaian maladministrasi tersebut juga harus mencerminkan prinsipprinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat sebagaimana terangkum dalam teori good governance. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip good governance tersebut, maka pada setiap tahapan penyelesaian maladministrasi yang dimulai dari investigasi, klarifikasi, mediasi, ajudikasi, konsiliasi, rekomendasi, saran serta diakhiri dengan kegiatan monitoring harus mencerminkan prinsip-prinsip tersebut, diantaranya adalah: - Transparancy, berarti keterbukaan; Penyelenggaraan penyelesaian maladministrasi haruslah bersifat terbuka dengan tetap berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan keterbukaan ini para pihak sebagai pihak yang berkepentingan juga publik pada umumnya dapat mengakses informasi yang diperlukan yang menjadi hak mereka. - Independency, berarti ketidak tergantungan; Merupakan keadaan seseorang atau lembaga yang menyelenggarakan kegiatan secara profesional dengan tidak tergantung pada atau bahkan tidak terpengaruh oleh pihak lain. Menurut UU, salah satu kewenangan Ombudsman adalah penyelesaian maladministrasi secara imparsial (tidak memihak). Dengan demikian, Ombudsman sebagai lembaga yang berwenang mengawasi pelayanan publik memang dituntut untuk bersifat dan bersikap independen. Artinya, semua pihak termasuk semua lembaga negara pemegang kekuasaan tidak boleh mempengaruhi kemerdekaan apalagi memberikan tekanan apa pun kepada Ombudsman. Dalam kaitan ini, hendaknya semua pihak menghargai independensi Ombudsman dan jangan sekali-kali mencoba mempengaruhi tugas dan kewenangannya agar dapat memberikan keadilan kepada pencari keadilan dan keadilan tersebut dapat memberi manfaat kepada bangsa dan negara. - Accountability adalah kejelasan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan peraturan yang berlaku; Ombudsman mempunyai tugas pokok mengawasi pelayanan publik dan menyelesaikan maladministrasi yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan baik dalam bentuk hukum acaranya maupun hukum materiilnya. Dengan demikian, akuntabilitas Ombudsman dapat dilihat melalui kesesuaian antara pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dengan 3
Nuriyanto, 2014, Penyelesaian Maladministrasi Oleh Ombudsman, Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Untag 1945, Surabaya, hal. 9;
3
-
-
peraturan perundang-undagan yang berlaku. Di samping itu akuntabilitas Ombudsman juga dapat diukur dari keadilan putusan, saran dan rekomendasinya. Jadi akuntabilitas Ombudsman dapat diketahui sejauh mana efektifitas produk penyelesaian maladministrasi yang dihasilkannya. Responsibility, pertanggungjawaban; Meskipun bersifat independen dan tidak ada yang mempengaruhinya, Ombudsman tetap harus mempertanggujawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Pertanggungjawaban Ombudsman terutama diberikan kepada pihak-pihak terkait, di samping pihak pelapor dan terlapor. Kepada mereka, pertanggungjawaban diberikan dengan memberikan putusan dan rekomendasi yang adil. Dengan putusan dan rekomendasi yang adil maka orang yang lemah tidak akan berputus asa terhadap Ombudsman dan pada saat yang sama orang yang kuat tidak congkak membanggakan diri. Di samping kepada para pihak, pertanggugjawaban Ombudsman diberikan kepada masyarakat, bahwa putusan dan rekomendasi yang dijatuhkan memberikan efek pendidikan dan pencerahan, sehingga masyarakat semakin sadar untuk mentaati hukum. Fairness, yang berarti adil; Fairness merupakan salah satu asas yang berlaku bagi Ombudsman di seluruh dunia yang dalam menyelesaikan maladministrasi tidak boleh membeda-bedakan orang. Dengan kaidah ini, Ombudsman memperlakukan para pihak secara sama, tidak boleh membeda-bedakan orang, suku, ras dan agama serta strata sosialnya.4
Dari uraian di atas, kaidah dalam good corporate governance bukan hanya relevan tetapi secara teoritik sudah mengakar menjadi kaidah pengelolaan perusahaan-perusahaan yang profesional. Sehingga tidak berlebihan kaidah tersebut juga diadopsi dan berevolusi menjadi good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sudah barang tentu, ada beberapa modifikasi dalam aplikasinya, karena tujuan akhir perusahaan dan pemerintahan adalah berbeda. Perusahaan bertujuan untuk memberikan keuntungan yang sebesarbesarnya kepada pemegang saham, sedangkan pemerintahan pada umumnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya, terutama Ombudsman memberikan pengawasan dan penyelesaian yang seadil-adilnya kepada pencari keadilan yang menjadi korban maladministrasi. Karena maladministrasi merupakan faktor penghambat terwujudnya masyarakat sejahtera yang dicita-citakan. Salah satu contoh penerapan prinsip good governance dalam praktek penyelesaian maladministrasi oleh Ombudsman adalah pelapor mendapatkan hak-haknya dalam setiap tahapan penyelesaian. Setiap Ombudsman melakukan klarifikasi, investigasi dan lain-lain wajib memberitahukan kepada pelapor dengan cara memberikan tembusan surat-surat yang dikirimkan atau memberitahukan dengan cara lisan atau melalui telpon. Hal ini juga dilakukan ketika Ombudsman mendapatkan jawaban klarifikasi, temuan hasil investigasi dan lain sebagainya juga harus diberitahukan kepada pelapor. Prinsip-prinsip good governance tersebut sebenarnya sudah menjadi jiwa dalam praktek penyelesaian maladministrasi oleh Ombudsman, karena Ombdsman di seluruh dunia, termasuk Indonesia sudah menerapkan prinsip-prinsip universal antara lain: kepatutan (appropriateness), keadilan (justice), non-diskriminasi (non discrimination), tidak memihak (impartial), akuntabilitas (accountability), keseimbangan (balances), keterbukaan (transparancy) dan kerahasiaan (confidentiality). Oleh karena itu tidak
4
Ibid, hal. 135-137, analisis tersebut diadopsi dan disesuaikan konsteksnya dari http://www.pa-jakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=305:gcg, diakses pada tanggal 10 Mei 2014, pukul 19.30 WIB;
4
sepatutnya diragukan lagi, seluruh praktek penyelesaian maladministrasi sudah identik dengan prinsip-prinsip nilai sebagaimana terkemas dalam teori good governance. Hanya saja terdapat satu hal yang sampai saat ini belum bisa dilaksanakan oleh Ombudsman, yaitu pelapor yang datang langsung belum bisa mendapatkan nomer register laporan/pengaduan sesaat setelah pelapor menyampaikan laporan kepada Ombudsman. Sesegera mungkin setelah sumber daya manusia dan sarana-prasarana memadai nomer pengaduan harus dituliskan dalam surat tanda terima laporan/pengaduan. Hal ini sebagai cerminan prinsip kepastian hukum dan efektifitas pemberian layanan kepada pelapor.
D. PENUTUP 1. Kesimpulan Dengan pendekatan persuasif dan mekanisme penyelesaian alternatif penyelesaian sengketa yang mengedepankan prinsip win-win solution, di samping mampu melindungi kepentingan pelapor juga memberikan kesempatan kepada terlapor untuk melakukan perbaikan pelayanan publik dengan menegakkan prinsip ultimum remedium, yang mengesampingkan terlebih dahulu penyelesaian yang formail-legalistik. Prinsip-prinsip penyelesaian inilah yang merupakan penerapan teori good governance. 2. Saran Pemerintah Republik Indonesia harus lebih serius terhadap keberadaan Ombudsman, karena selama ini agaknya Ombudsman hanya dijadikan lembaga pelengkap agar NKRI dianggap sebagai negara hukum yang demokratis oleh dunia internasional saja. Sementara anggaran dan pengembangan SDM Ombudsman kurang diperhatikan. DAFTAR PUSTAKA Nuriyanto, 2014, 14 Tahun Ombudsman RI: Buruknya Pelayanan Publik, Bagaimana Solusinya?, Artikel Harian Bhirawa edisi 10 Maret 2014; http://www.doingbusiness.org/rankings, yang diakses pada tanggal 10 Mei 2014 pukul 19..00 WIB; Nuriyanto, 2014, Penyelesaian Maladministrasi Oleh Ombudsman, Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Untag 1945, Surabaya; http://www.pa-akartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id =305:gcg, diakses pada tanggal 10 Mei 2014, pukul 19.30 WIB;