BAB III TINJAUAN PUSTAKA
I.
Mekanisme Penurunan Kesadaran
Kesadaran
diatur
oleh
ascending reticular activating system
(ARAS) dan kedua hemisfer hemis fer otak. ARAS terdiri dari beberapa jaras saraf yang menghubungkan menghubungkan batang otak dengan korteks serebri. Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mesensefalon. Batang otak
berperan
penting
dalam mengatur kerja jantung, pernapasan,
sistem saraf pusat, tingkat kesadaran, dan siklus tidur.1 Tingkat kesadaran
secara
kualitatif
dapat
dibagi
menjadi
kompos mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma. Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkunganny lin gkungannya. a. Apatis berarti keadaan seseorang ses eorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan orang lain dan
lingkungannya. Somnolen berarti
seseorang
dalam
keadaan
mengantuk dan cenderung tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan namun
dan
mudah
mampu
secara
verbal,
tertidur kembali. Sopor/stupor berarti kesadaran hilang,
hanya berbaring dengan mata bila
memberikan jawaban
dibangunkan,
kecuali
tertutup, dengan
tidak
menunjukkan
rangsang
reaksi
nyeri. Koma berarti
kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar. Karakteristik koma adalah tidak adanya arousal dan awareness terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Pada pasien koma terlihat mata berbicara,
dan
tidak
ada
pergerakan
rangsangan auditori, taktil, dan nyeri. 3
sebagai
tertutup, respons
tidak
terhadap
II. Meningoensefalitis 1. Definisi Meningoensefalitis
Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen, nama lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis, meningocerebritis Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau virus. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus. 2 2. Etiologi Meningoensefalitis
Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak langsung, titik ludah atau muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin penderita yang terinfeksi. Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah timbulnya gejala klinik. Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita agar terjadi penularan Mumpsvirus, dibandingkan dengan penularan virus Measles Atau Varicella-zoster Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak. Infeksi pada manusia terjadi melalui gigitan arthropoda, misalnya nyamuk yang mengandung Togavirus. Manusia adalah hospes alami Herpes simpleks virus, namun banyak strain yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya kelinci, tikus, marmot, anak ayam dan kera.
Virus ini mencapai otak melalui saraf olfaktoris, kemudian menyebar dari sel ke sel sehingga menimbulkan nekrosis neuron yang luas.
Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO, Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya dan ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis epidemika, Mononukleosis infeksiosa Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar yaitu: di negara berkembang, penyebab terbesar yaitu. Di Amerika Serikat terdapat ensefalitisSt.Louis, West Nile virus, Eastern and Weastern equine virus, Bunyavirus Termasuk Virus Ensefalitis Cali fornia. Di Eropa Tengah dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes simpleks-type 2 merupakan penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis Jepang adalah penyebab ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika dan Timur tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia.Ensefalomieletis pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering dikaitkan dengan campak.
Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan infeksi Virus Epstein Barr, cytomegalovirus, coxsackie B Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan dengan virus tertentu yaitu orang-orang dengan sel imunitas yang lemah termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV dapat berkembang menjadi ensefalitis yang disebabkan oleh Herpes zoster atau Cytomegalovirus.2,3 Pada umumnya invasi jamur ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen dari infeksi di paru-paru. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan selaputnya sebanding dengan metastasis kuman Tuberculosa ke ruang intrakranial, baik di permukaan korteks maupun di araknoid dapat dibentuk granuloma yang besar atau yang kecil, yang akhirnya berkembang menjadi
abses.
Penyebab
karena
bakteri
yang
mencapai
cairan
serebrospinal akan memperbanyak diri dengan cepat karena ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada komplemen, antibodi opsonin dan sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H. influenzaeeksperimental, hanya memerlukan satu bakteri hidup untuk memulai infeksi pada CSS. Bakteri Streptococcus dapat menyebabkan meningitis pada semua kelompok umur, dan pada penderita umur lebih dari 40 tahun merupakan agen penyebab yang paling sering. 4 3. Patofisiologis Meningoensefalitis
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales. Mula-mula terja di peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk dinding yang kuat
membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear , sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.8,9 Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virusvirus yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virusvirus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster . Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia. 10 Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan
bagian tubuh lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus, dll. 2 4. Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda neurologik fokal, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejalagejala psikiatrik.. Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Pada riwayat pasien meliputi demam, muntah, sakit kepala, letargi, lekas marah, dan kaku kuduk. Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan orang dewasa. Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejan g terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori, fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi , halusinasi, perilaku agresif, stupor, koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya
dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena septikimia. Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus ditandai dengan anoreksia dan malaise, diikuti pembesaran kelenjar parotid sebelum terjadinya invasi ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, sakit tenggorok, nyeri otot, dan demam, disertai dengan timbulnya ruam kulit makulo papular yang tidak disertai gatal terdapat pada wajah, leher, dada dan badan. Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit kepala, demam, kejang disertai penurunan kesadaran. Ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi Famili Togavirus (memiliki gejala yang sangat bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala sampai terjadinya sindrom demam akut disertai demam berdarah dan gejala-gejala sistem saraf pusat). Western Equine Virus (WEE) pada umumnya menimbulkan infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa dapat berupa letargi, kaku kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang tidak tetap. Gejala berat pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah, yang sesudah sembuh akan menimbulkan cacat fisik dan mental yang berat. Gejala yang mungkin tampak dengan penyebab Japanese B enchephalitis virus adalah panas mendadak, nyeri kepala, kesadaran yang menurun, fotofobi, gerak tidak terkoordinasi, hiperhidrosis. Pemeriksaan laboratorium berupa uji serologis misalnya ELISA terhadap bahan atau cairan serebrospinal menunjukkan adanya IgM. Uji fiksasi komplemen menunjukkan nilai titer yang meningkat 4 kali lipat. 7
Gambar 2.3. Pemeriksaan tanda Kernig dan Pemeriksaan Tanda Brudzinski
Tanda Kernig positif: Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna. Tanda Brudzinski: tanda ini didapat apabila leher klien difl eksikan, maka hasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas yang berlawanan.4 5. Diagnosis
a. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan Pungsi Pumbal
Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang keruh karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan yang mati dan bakteri.
Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan serebrospinal, biasanya disertai limfositosis, peningkatan protein, dan kadar glukosa yang normal.
Penyebab
dengan
Mycobakterium
tuberkulosa
pada
pemeriksaan cairan otak ditemukan adanya protein meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, gula menurun, klorida menurun.
Pemeriksaan
cairan
meningoensefalitis
yang
serebrospinal diperiksa
pada
secara
amuba
mikroskopik,
mungkin dapat ditemukan trofozoit amuba. Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein yang meningkat, kadar glukosa normal atau turun. Penyebab dengan Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun. Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil, atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT scan atau MRI kepala. 5 2) Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar glukosa, kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit. Gangguan elektrolit sering terjadi karena dehidrasi . Di samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic Hormon) yang menurun.
Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering positif.
3) Pemeriksaan Radiologis
CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan menunjukkan edema otak.
Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes simpleks, diagnosa dini dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk amplifikasi DNA virus.
Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi otak difus.
6. Tatalaksana Meningoensefalitis
Pada perinsipnya tatalaksana pada ME terdiri atas terapi suportif dan terapi definitif. Terapi suportif merupakan terapi untuk mengatasi gejala penyerta yang terjadi misalnya diberikan antipiretik untuk mengatasi demam, anti konvulsan untuk mengatasi kejang, dan steroid golongan dexametason untuk mengatasi inflamasi dan edema vasogenik pada otak. Terapi dexamethasone yang dengan dan
dosis
pertama
mortalitas
diberikan antibiotik
secara
sebelum
dapat
bermakna,
atau
bersamaan
menurunkan
morbiditas
terutama
pada
meningitis
pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi ruang risiko
subaraknoid edema
yang
secara tak langsung dapat menurunkan
serebral,
gangguan aliran darah
di
peningkatan
otak,
tekanan
vaskulitis,
dan
intrakranial,
cedera
neuron.
Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam secara intravena. dexamethasone harus menunjukkan pneumoniae,
Sejumlah
dihenti-kan
penyebab namun
MB
kelompok
pemberian dexamethasone apapun
pakar
berpendapat
jika
hasil
bukan H.
pemberian
kultur
influenzae atau
CSS S.
pakar
lain
merekomendasikan
etiologi
MB
yang
ditemukan.
Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis
dapat meningkatkan kesintasan. Pada penelitian
pemberian dexamethasonetidak
menurunkan
angka
mortalitas
lain, dan
morbiditas secara bermakna.6,7 pengobatan spesifik untuk ME HSV adalah asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam selama 10-14 hari untuk infeksi herpes simpleks. Asiklovir juga efektif terhadap virus Varicella zoster. Meningitis pada neonatus (organisme yang mungkin adalah E.Coli, Steptococcus grup B, dan Listeria) diobati dengan sefotaksim dan aminoglikosida, dengan menambahkan
ampisilin jika Listeria dicurigai. Akibat Haemophilus memerlukan pengobatan sefotaksim. Meningitis tuberkulosis diobat i dengan rifampisin, pirazinamid, isoniazid, dan etambutol. Herpetik meningoensefalitis diobati dengan asiklovir intravenous, cytarabin atau antimetabolit lainnya. Pengobatan amuba meningoensefalitis dilakukan dengan memberikan amfoterisin B secara intravena, intrateka atau intraventrikula. Pemberian obat ini dapat mengurangi angka kematian akibat infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati meningoensefalitis yang disebabkan oleh amuba lainnya.10 7. Prognosis Meningoensefalitis
Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan mental, yang
dapat
muncul
selama
perawatan.
Bila
meningoensefalitis
(tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua. Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang mendasari, antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat, serta adanya kondisi patologik lainnya. Tingkat kematian virus mencakup 40-75% untuk herpes simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk gondok. Penyakit pneumokokus juga lebih sering menyebabkan gejala sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti hidrosefalus, palsi nervus kranials, defisit visual dan motorik, serta epilepsi. Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta patogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi oleh bakteri gram negatif dan S. pneumoniae. Gejala neurologi tersering adalah tuli , yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cedera berat seperti hemiparesis atau cedera otak umum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari
rumah sakit akan membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implan koklea belum lama ini memberi harapan bagi anak dengan kehilangan pendengaran.10